OPINI
RUU HIP, PDIP-Jokowi Pecah Kongsi?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Tak ada angin tak ada hujan, PDIP tiba-tiba menyatakan menolak usulan pemerintah Amerika Serikat (AS) memindahkan ibukota Palestina ke Abu Dis. “PDIP tidak setuju dengan usulan tersebut karena justru hadir sebagai bentuk ketidakadilan baru,” ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam rilis yang disebar ke media Kamis (18/6). Sikap partai, lanjut Hasto, konsisten dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sesuai spirit Dasa Sila Bandung. Pernyataan Hasto yang terkesan ujug-ujug, sekonyong-konyong itu tentu membuat kita sejenak bingung. Ada apa ini? Bukankah isu pemindahan ibukota Palestina ke Abu Dis —sebuah desa dekat Yerusalem Timur ini — merupakan isu yang sudah cukup lama? Usulan itu muncul bersamaan dengan keputusan Israel memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dari tracking media, Presiden Jokowi pada tanggal 17 Desember 2017 sudah menyerukan agar negara-negara anggota organisasi konferensi Islam (OKI) menolak dan mengecam keputusan Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Jadi isu itu sudah heboh lebih dari dua tahun lalu. Yang menjadi isu utama pemindahan ibukota Israel. Bukan usulan Abu Dis menjadi ibukota masa depan Palestina. Abu Dis hanya isu kembangan. Mengalihkan tuntutan rakyat Palestina bahwa Yerusalem adalah ibukota sah Palestina. Ya semacam gula-gula dari AS dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, bagi rakyat Palestina. Dari sisi media, rilis Hasto itu sesungguhnya tidak layak berita. Karena tidak aktual. Dari teknis media tidak ada newspeg nya. Tidak ada cantolan berita. Bahasa mudahnya, ya masuk kategori berita yang ujug-ujug tadi. Kalau mau aktual, harusnya PDIP memilih isu keputusan Donald Trump memberlakukan UU Hak Asasi Manusia Etnis Uighur. UU itu baru disetujui Trump pada tanggal 7 Juni 2020. Itu baru keren. Baru gagah. Pasti liputannya lumayan besar, dan akan mendapat banyak dukungan. Melalui UU itu pemerintah AS diberikan kewenangan untuk mendeteksi pejabat China yang bertanggung jawab atas "penahanan paksa, penyiksaan, dan kekerasan" terhadap kaum Uighur dan minoritas lainnya. Kelihatannya berita yang muncul sekonyong-konyong itu erat kaitannya dengan kontroversi RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP). RUU usulan PDIP itu sekarang ini ditolak oleh warga sak-Indonesia. Termasuk Presiden Jokowi! Isu Palestina dipilih, walau tidak aktual tapi relatif lebih aman. Keuntungan lain bisa dikait-kaitkan dengan Bung Karno yang rumusan Pancasilanya coba dimasukkan kembali dalam RUU HIP. Sementara isu Uighur, walau aktual jelas langsung menyinggung Cina. Bohir yang sedang membiayai berbagai infrastruktur di Indonesia. Banyak kepentingan politik di negara tirai bambu itu. Juga kepentingan oligarki yang didominasi para taipan. Tujuan dan target politik yang ingin dicapai sudah bisa diduga. Tidak terlalu sulit membacanya. Pertama, PDIP ingin mengajuk hati rakyat, khususnya umat Islam. PDIP bukan musuh umat Islam. Justru mendukung sepenuhnya sikap umat Islam dan para pegiat HAM. Sikap AS harus dikecam. Harus dilawan. Jadi musuh bersama. Kedua, memulihkan kerusakan politik yang sudah terjadi.Tidak benar bahwa PDIP anti agama. Tidak benar PDIP mendukung kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Beberapa hari sebelumnya Ahad (14/6) Hasto juga membuat rilis. PDIP setuju mencantumkan TAP MPRS No XXV tahun 1966 Tentang Larangan PKI, dan menghapus pasal yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Hanya saja PDIP masih mencoba menawar. Partainya, kata Hasto, menyetujui penambahan klausul larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme- komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme. Coba perhatikan frasa kata radikalisme dan khilafahisme. Frasa itu dimasukkan berbarengan dan sejajar dengan marxisme-komunisme. Selama ini umat Islam merasa radikalisme-khilafahisme merupakan frasa yang digunakan pemerintah dan khususnya PDIP untuk memojokkan. Membuat umat Islam seakan-akan anti Pancasila. Pasti banyak yang belum lupa ketika memperingati Pekan Pancasila bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 muncul slogan “Saya Pancasila, Saya Indonesia.” Slogan ini diperkenalkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dalam status di akun Instagram-nya pada 26 Mei 2017. Tagar #SayaPancasilaSayaIndonesia bergema dimana-mana. Kampanye ini dirancang oleh Badan Ekonomi Kreatif. Sekarang yang terjadi malah terbalik. Melalui RUU HIP justru PDIP yang mendegradasi Pancasila. Dari sumber segala sumber hukum, diturunkan derajatnya hanya sekelas UU. Ikut buang badan Kontroversi RUU HIP ini benar-benar membuat PDIP babak belur. Dalam Bahasa Rocky Gerung “Banteng sedang kejeblos gorong-gorong.” Bukan hanya parpol pendukung pemerintah yang balik badan menarik dukungan. Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengembalikan RUU itu ke DPR. Presiden Jokowi malah melangkah lebih jauh. Dia bertindak cepat, bertemu sejumlah senior purnawirawan TNI di Istana Bogor, Jumat (19/6). Para purnawiran TNI-Polri dipimpin mantan Wapres Try Sutrisno menolak RUU HIP. Tidak dicantumkannya TAP MPRS tentang larangan PKI membuat tanduk para senior TNI langsung berdiri. PDIP dinilai sudah nekad menabrak The biggest taboo. Isu PKI ini benar-benar tidak boleh dilanggar. Kepada para purnawirawan, Jokowi menegaskan "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," ujarnya dikutip dari rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden. Pemerintah juga dengan tegas menutup pintu terhadap komunisme. “Pemerintah tidak pernah ragu,” tegasnya. Langkah politik dan pernyataan Jokowi ini merupakan pukulan telak dan beruntun bagi PDIP. Kalau melihat gaya politik Jokowi, ada kemungkinan Jokowi juga akan segera bertemu dengan Ormas-ormas keagamaan dan elemen penting penentang RUU HIP. Meredam gejolak, dan --meminjam istilah anggota DPR dari PDIP Aria Bima-- buang badan. Banteng moncong putih itu benar-benar ditinggalkan sendirian oleh sekutunya. Yang lebih menyedihkan kini “Petugas Partai” yang ditempatkannya sebagai presiden juga memilih posisi berseberangan. Inilah untuk pertamakalinya Jokowi menyatakan secara terbuka menentang sikap dan pilihan politik PDIP. Sebaliknya PDIP tampaknya juga sudah tampaknya mulai gerah dengan Jokowi. Bila kita cermati dari empat poin rilis Hasto soal Palestina, detil-detil poinnya merupakan sindiran halus kepada Presiden Jokowi. Hasto menggunakan pintu masuk isu Palestina untuk megembalikan ingatan publik saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dan kaitannya dengan Pancasila. Saat itu Indonesia dengan semangat politik yang bebas aktif, berperan besar dalam berbagai gerakan menentang imperialisme dan mewujudkan perdamaian dunia. Saat dunia mengalami krisis, muncul ketegangan di berbagai belahan dunia, maka seharusnya Indonesia mengambil peran. Sebuah peran yang pernah dimainkan oleh Bung Karno. Sayangnya dalam penilaian Hasto, saat ini energi bangsa lebih banyak terkuras ke dalam. Penuh hiruk pikuk siapa dapat apa. Semangat outward looking sebagaimana pernah digelorakan dan diperankan Bung Karno harus dikembalikan. Indonesia harus kembali mengambil tanggung jawab tersebut. “Sebab di tengah berbagai sikap dan tindakan elite yang terlalu melihat ke dalam, energi bangsa terkuras dan melupakan tanggung jawab Indonesia bagi dunia,” tegas Hasto. Kritik atau tepatnya otokritik Hasto sangat pas menggambarkan posisi Indonesia di bawah Jokowi. Situasi politik dalam negeri hiruk pikuk dengan isu-isu yang memecah belah bangsa. Contoh terbaru adalah kontroversi RUU HIP. Peran Indonesia dalam kancah internasional benar-benar mundur ke belakang. Boro-boro menjadi pemimpin dunia. Presiden Jokowi bahkan tercatat lima kali berturut-turut tidak hadir dalam Sidang Majelis Umum Dewan Keamanan PBB. Apakah krisis politik akibat RUU HIP ini akan menjadi langkah awal yang nyata pecah kongsi PDIP-Jokowi? End Penulis Wartawan Senior
PDIP Tidak Bisa Lagi Dipercaya Dalam Urusan Pancasila
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Drama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sedang ‘pose’ (pause). Pembahasannya ditunda. Tapi, semua komponen besar umat Islam menuntut agar RUU itu dibatalkan. Tuntutan pembatalan ini kelihatannya akan digaungkan terus. Sampai RUU itu dicabut. Agar RUU yang sangat berbahaya itu tidak lagi mengganggu ketenteraman publik. Ada pelajaran besar dari drama RUU HIP. Pelajaran itu ialah bahwa PDIP, mulai sekarang, tidak bisa lagi dipercaya dalam urusan Pancasila. Partai Banteng tidak bisa dipercaya lagi sebagai tempat untuk menitipkan Pancasila. Meskipun mereka akhirnya memasukkan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan komunisme-PKI sebagai konsideran RUU, dan kemudian menggugurkan Pasal 7 tentang pemerasan (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, tetap saja PDIP tidak bisa dipercaya sampai kapan pun. Mereka akan berusaha terus mengutak-atik dasar negara ini. Pancasila tidak akan aman di tangan PDIP. Khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Melalui konsep Trisila yang digagas oleh elit Partai Banteng, KYME dilecehkan menjadi “ketuhanan yang berkebudayaan” (KYB). Bisa ditebak arah KYB. Yaitu, secara perlahan akan melenyapkan total dasar ketuhanan dalam kehidupan umat. Umat Islam mencatat ini. Semua sudah terang benderang. Dilihat dari pemikiran mereka untuk memeras lima sila menjadi tiga dan seterusnya menjadi satu, tak diragukan lagi PDIP sedang membidik sila ketuhanan. Mereka, tampaknya, ingin sekali menghapus KYME. Ada indikasi bahwa PDIP gerah dengan sila pertama itu. Para politisi senior Banteng mengatakan inisiatif Trisila dan Ekasila di RUU HIP bukan datang dari mereka. Begitu juga soal peniadaan Tap MPRS larangan komunisme-PKI di deretan konsideran RUU. PDIP merasa terfitnah. Tapi, semua orang bisa menelusuri kronologi RUU ‘toxic’ itu. Tim koran ‘Republika’ yang melakukan investigasi menemukan bahwa PDIP adalah pihak yang mengusulkan RUU HIP di Badan Legislasi (Baleg) DPRRI. Wakil Ketua Baleg, Rieke Diah Pitaloka dari PDIP, ditunjuk menjadi ketua panitia kerja (panja) RUU tersebut. Entah dengan alasan apa, parpol-parpol lain mendukung pembahasan RUU ini. Kecuali PKS dan Partai Demokrat. Hanya PKS yang menolak dengan alasan yang sangat mendasar. Sedangkan Demokrat menolak dengan alasan bahwa tidak baik membahas RUU krusial di tengah wabah Covid-19. Dalam 3-4 hari ini, PDIP mengaktifkan mesin bantahan. Tetapi, seluruh rakyat sudah tahu apa yang mereka lakukan. Banteng saat ini sedang sibuk meyakinkan umat Islam bahwa mereka adalah partai yang ramah Islam (Islam friendly). Tiba-tiba saja, dua hari lalu (18/6/2020) PDIP mengeluarkan ‘press release’ yang berisi tentangan terhadap upaya Amerika untuk memindahkan ibukota Palestina dari Yerusalem ke Abu Dis. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengajak semua elemen bangsa bersatu melawan pemindahan ibukota Palestina itu. Tak lupa, Hasto menyebutkan bahwa perjuangan Palestina untuk merdeka selalu ada dalam pikiran Bung Karno. Memang apa saja tentang Palestina pastilah selalu membangkitkan sentimen umat Islam di sini. Hasto memanfaatkan soal ibukota itu untuk mendinginkan isu Trisila dan Ekasila. Dia mengatakan energi bangsa banyak terkuras ke urusan domestik. Sekarang saatnya ‘ouward looking’ alias ‘mengurus dunia’, kata Hasto. Serius mau mengurus dunia? Dan, apa iya sangat urgen untuk ‘ouward looking’ pada saat dan situasi seperti sekarang ini? Boleh-boleh saja. Tapi, Trisila dan Ekasila plus penyingkiran Tap MPRS larangan komunis-PKI di RUU HIP tak akan pernah terlupakan. Rakyat sulit memulihkan kepercayaan kepada PDIP.[] 20 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior senior)
Meski Bisa Sembuh, Covid-19 Tetap Jadi "Histeria"
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Mengapa sampai terjadi kasus keluarga pasien korban Virus Corona atau Covid-19 membawa lari jasad yang meninggal? Semua itu terjadi karena mereka tidak percaya kalau korban sudah terinfeksi Covid-19, apalagi hasil swabnya belum keluar. Mereka juga tidak tahu dan mengerti soal virus atau bakteri yang sedang mewabah di negara kita sekarang ini. Yang mereka tahu hanya, ada orang meninggal dibungkus plastik dikawal paramedis yang berpakaian “antivirus” Alat Pelindung Diri. Tidak ada yang boleh mendekat, apalagi sampai memegang jenazahnya. Karena mereka bisa tertular. Sehingga nantinya bisa dikarantina mandiri atau malah masuk RS rujukan Covid-10. Jadi, mereka ini awam, tidak mengerti bahaya Covid-19 itu. Apalagi, sampai sejauh ini tidak ada korban Covid-19 di Indonesia yang diotopsi jenazahnya, seperti yang dilakukan di China dan Italia. Sehingga bisa diketahui dengan jelas organ tubuh apa yang diserang Covid-19 sampai menyebabkan kematian. Melansir Detik.com, Senin (02 Mar 2020 17:23 WIB), seorang profesor kedokteran hukum di Tongji Medical College di Wuhan, Liu Liang, mengungkapkan ada beberapa temuan. Yakni, beberapa temuan selama membedah pasien terinfeksi Virus Corona. Prof. Liu Liang telah memimpin operasi bedah terhadap sembilan (9) jenazah pasien dari 12 yang dioperasi ilmuwan China. Profesor Liu Liang membedah dengan hati-hati tubuh pasien corona yang baru meninggal. Tanpa otopsi, pihaknya tak akan pernah tahu kebenaran yang mengejutkan. Dalam “Laporan Pengamatan Umum Anatomi Korban Meninggal karena Pneumoonia virus Corona” Journal of Forensic Medicine ini ditulis, ada cairan kental abu-abu di paru-paru jasad, lendir putih berbusa di rongga trakea dan bronkial paru-paru. Lendir yang seperti jelly itu melekat kuat. Cairan kental inilah yang menghalangi alveoli (kantung udara), memblokir saluran udara, memblokir paru-paru interstitial, memblokir tabung bronkial, secara bertahap membiarkan paru-paru kehilangan fungsi ventilasi; Membuat pasien dalam keadaan hipoksia, dan akhirnya mati karena gagal bernafas. Cairan kental ini merenggut nyawa pasien Corona dan membuat mereka menderita pada saat-saat terakhir kehidupan mereka. Ketakutan mereka mencapai ekstrem. Mereka berjuang seperti tenggelam di dalam sumur, berteriak “tolong”. Mereka dipenuhi dengan keputus-asaan dan rasa sakit. Mereka terengah-engah, bahkan jika mereka memakai masker oksigen dan ventilator, mereka juga tidak bisa menghirup oksigen. Mengapa mereka tidak bisa menghirup oksigen dengan dukungan ventilator? Karena cairan kental itu menghalangi jalur oksigen. Jalannya tidak bisa dilewati. Sejumlah besar oksigen dihirup, tapi penyumbatannya tambah meningkat. Oksigen tidak dapat disalurkan ke dalam darah, dan akhirnya mereka tercekik oleh cairan kental ini. Oleh karena itu, Profesor Liu Liang menunjukkan bahwa penggunaan alat ventilator oksigen secara buta tidak hanya gagal untuk mencapai tujuan tetapi bahkan mungkin menjadi kontra-produktif. Tekanan oksigen akan mendorong lendir lebih dalam ke ujung paru-paru, sehingga semakin memperparah keadaan hipoksia pasien. Dengan kata lain bahwa pengobatan Barat hanya melihat hipoksia pasien, tapi tidak melihat penyebab di balik hipoksia pasien. Cairan kental ini disebut dahak, harus ditangani sebelum memberikan oksigen, jika tidak, berapapun banyaknya oksigen disalurkan juga akan sia-sia. Kita hanya perlu membuka saluran udara ini dengan menghilangkan dahak, menghilangkan kelembaban, membiarkan alveoli mengering, dan membiarkan bronkus halus lancar dan tidak terhalang, dengan demikian tidak diperlukan ventilator oksigen sama sekali; Pasien akan pulihkan fungsi paru-paru sendiri, dan dia akan menghirup oksigen dari udara. Mengutip Dr. Aji Soso Santoso, Adventist Medical Center Manila, yang sudah membaca berita mengenai penelitian Prof Liu Liang seperti komen yang disampaikan Prof Hendrajit. Temuan ini diperkuat oleh Dr. Luciano Gattinoni dari Universitas Kedokteran di Gottingen, Jerman, dalam laporannya mengenai penanganan pasien corona yang menderita gagal nafas di Italia Utara di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Maret lalu. “Dr. Gattinoti menganjurkan untuk meninjau pendekatan yang berbeda untuk pasien corona yang kritis. Kemudian Dr. Nathalie Stevenson dan Prof. Gary Mills dari NHF Foundation, Inggris memberikan pandangannya,” tulis Dokter Aji Soso Santoso. Bahwa corona merupakan penyakit baru dan membutuhkan penanganan yang berbeda dari gagal nafas biasa. Hal ini dicatat dalam interview oleh Medscape UK. Menurutnya, untuk mencairkan dahak atau mucus dari paru-paru, pasien harus diberi minum obat mukolitik atau pencair dahak seperti ambroxol, mucohexin, erdosteine atau n-acetyl cysteine (yang terkuat). Bila tidak bisa minum, harus dialirkan lewat selang. “Tanpa bantuan mukolitik, dahak kental yang memenuhi bronkus itu tidak akan bisa keluar. Dengan bantuan obat di atas, dahak akan menjadi encer dan dapat dikeluarkan lewat batuk atau suction pump low pressure,” ungkap Dokter Aji Soso Santoso. Lalu bagaimana kalaupun sudah diberikan mukolitik dan sudah dilakukan suction tapi dahak tetap tidak mau keluar? Menurut Prof. Hendrajit, dalam kasus seperti ini Bronchoscopy bisa menjadi pilihan. Mengutip Direktur Global Future Institute tersebut, baru-baru ini juga dikabarkan bahwa penggunaan Ventilator pada pasien Covid-19 ternyata banyak menimbulkan efek negatif tidak seperti yang diharapkan. Kembali ke temuan Prof Liu Liang di Wuhan tersebut. Sebenarnya, hasil otopsi di Tongji Medical College di Wuhan itu juga ditemukan pada seorang pasien Covid-19 di Indonesia. Ini dilihat dari rontgen, paru-parunya tenggelam oleh bercak-bercak putih. Dari hasil otopsi yang dilakukan di China dan Italia, diperkuat hasil rontgen pasien Covid-19 di Indonesia, jelas dan bisa disimpulkan bahwa Covid-19 itu menyerang paru-paru sehingga pasien gagal nafas hingga menyebabkan kematian. Secara klinis, pasien yang sembuh dari Covid-19 biasanya dari hidung dan tenggorokannya akan keluar lendir terus-menerus hingga berhenti sendirinya. Bisa dibayangkan, kalau lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorokan. Itulah yang terjadi pada pasien Covid-19 yang pada akhirnya bisa menyebabkan saluran nafas buntu. Jika lendir ini tidak keluar, maka yang terjadi adalah pasien akan mengalami kematian. Karena gagal bernafas. Lendir ini memang harus keluar. Keluarnya lendir dari hidung dan tenggorokan itu sebenarnya adalah proses perbaikan yang sedang berjalan. Perlu dicatat, saat Covid-19 mereplikasi dirinya beratus-ratus kali lipat mereka membutuhkan media untuk hidup. Media untuk hidup itu berupa cairan yang di dalamnya ini berisi protein-protein yang mereka hasilkan tersebut. Nah, cairan tempat hidup mereka itu, ternyata bersifat toksik bagi tuan rumahnya (manusia). Reaksi antibodi pada cairan yang membahayakan tersebut, antara lain berupa memproduksi cairan untuk menghambat protein yang toksik itu. Perpaduan antara cairan protein yang toksik dengan cairan reaksi antibodi, akhirnya berupa cairan yang kental, dan volumenya banyak. Jika lendir (atau ingus) itu berhasil keluar dari hidung dan tenggorokan, maka bisa dipastikan pasien Covid-19 akan sembuh. Penulis Wartawan Senior
RUU HIP: PDIP Bersiap Hadapi Tsunami
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - PDIP dan partai-partai pendukung pemerintah salah kalkulasi soal RUU HIP. Kelihatannya mereka menduga bakal selamat, sukses menyelundupkan dan menggolkan undang-undang, seperti sebelumnya. Mumpung sedang pandemi. Mumpung rakyat sibuk dengan urusan perut dan periuk nasi. Mumpung elemen masyarakat kritis dan mahasiswa tak bisa turun ke jalan. Optimisme itu tidak berlebihan. Sejauh ini mereka selalu sukses. Bekerja untuk kepentingan oligarki, meloloskan undang-undang di balik tabir pandemi. Mulai dari UU Minerba, sampai yang kelas kakap seperti UU Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara alias UU Covid-19. Semua berhasil digolkan. Melenggang mulus tanpa perlawanan yang berarti. Hanya riak-riak, gelombang kecil yang hilang dengan sendirinya. Tertelan waktu dan berbagai isu. Tapi kali ini mereka salah hitung. Terlalu serakah dan kemaruk. Aji mumpung. Mereka barangkali lupa dengan pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Ketika lampu menyala, dan musik berhenti, mereka seperti tersadar dari mimpi. Perlawanan publik kali ini bukan hanya riak ombak kecil, yang mengayun dan meninabobokan. Sudah berubah menjadi gelombang pasang. Bila salah antisipasi bisa menjadi tsunami. Menggulung mereka sampai jauh ke daratan. Tsunami politik tidak hanya bagi PDIP, tapi juga bagi pemerintahan Jokowi. Setelah terpecah belah selama rezim Jokowi berkuasa, baru kali inilah kekuatan agama dan nasionalis bersatu. Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sampai Forum Purnawirawan TNI Polri. Belum lagi berbagai ormas dan elemen-elemen masyarakat lain yang tak terhitung jumlahnya. Semua bersatu padu menolak RUU HIP. Padahal MUI masih dipimpin (non aktif) oleh Wapres Ma’ruf Amin. Di kalangan purnawirawan ada mantan Wapres Try Sutrisno yang kini menjadi anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Mereka adalah bagian dari rezim penguasa. RUU HIP tak lagi membuat mereka melakukan kalkulasi politik pragmatis. Ini merupakan soal prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Eforia kekuasaan PDIP tampaknya sedang eforia kuasa. Mereka lupa atau mungkin terlalu percaya diri. Berani dan nekad menabrak isu yang selama ini menjadi tabu terbesar ( the biggest taboo ) bangsa. Masalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebangkitan PKI. Dua isu itu langsung membuat berdiri tanduk berbagai elemen masyarakat. Menyatukan kekuatan yang selama ini terpecah belah. Tak ada pilihan lain bagi PDIP harus menarik diri. Mundur teratur. Kecuali bila ingin hancur. Apalagi partai-partai pemerintah yang sebelumnya sempat mendukung, langsung balik badan dan cuci tangan. PDIP ditinggal sendirian menghadapi badai. Tudingan anti agama dan memberi ruang kebangkitan PKI terlalu berat untuk ditanggung. Stigma ini sangat kuat melekat pada PDIP. Baik karena faktor sejarah maupun representasi anggota dewan dan pemilihnya. Apalagi rakyat kini sedang sangat sensitif dan waspada atas isu dominasi modal dan TKA Cina. Negara kapitalis sekaligus komunis. Pemerintah setelah melalui perdebatan sengit di jajaran Polhukam akhirnya melemparkan bola panas itu kembali ke DPR. Tinggallah PDIP yang kini harus bersih-bersih. Berkelit sana-sini, berusaha menyelamatkan diri. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan partainya bersedia memasukkan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam RUU HIP. Hasto juga menyatakan partainya setuju menghapus pasal tentang ciri pokok Pancasila yang dikristalisasi dalam Trisila dan Ekasila. Sebelumnya ketentuan itu dicantumkan dalam Pasal 7 RUU HIP. Dalam Pasal 2 disebutkan: Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.Sementara dalam Pasal 3 Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Usulan ini bukan barang baru. Formula dan rumusan kalimatnya persis seperi yang disampaikan Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tanggal 1 Juni inilah yang kemudian pada tahun 2016 ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Soal peras memeras Pancasila ini belakangan PDIP melalui Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengelak dan menyatakan bukan usulan partainya. Dia mengaku punyi buktinya. Namun dia menolak menyebutkan usulan siapa dan dari partai apa? Di medsos beredar pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kembali menyitir gagasan Bung Karno memeras Pancasila hanya menjadi Ekasila. Pidato itu disampaikan pada HUT PDIP ke-44 di Jakarta (2017). Dengan fakta-fakta itu agak sulit bagi PDIP membantah. RUU usulan itu berasal dari mereka. Yang menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HIP kader PDIP Rieke Diah Pitaloka. Secara historis maupun politik, PDIP paling berkepentingan. Jadi sulit bagi mereka untuk buang badan begitu saja. Belakangan para pimpinan DPR juga sepakat untuk menunda pembahasan. Namun itu tampaknya tidak cukup. Hampir semua elemen masyarakat menginginkan agar RUU tersebut dicabut, dibatalkan. Selain isu PKI dan atheisme yang menafikan keberadaan tuhan dan agama, banyak yang khawatir Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk rezim terhadap lawan-lawan politiknya. Kekhawatiran yang punya alasan sejarah cukup kuat. Orde Lama maupun Orde Baru pernah melakukan hal serupa. PDIP harusnya belajar dari sejarah. Mereka pernah berada dalam kekuasaan, kemudian berada di luar kekuasaan. Kini kembali berada di dalam kekuasaan. Alat pemukul yang mereka ciptakan selama berkuasa, boleh jadi saat ini efektif untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Namun jangan lupa, suatu saat bisa digunakan oleh penguasa untuk menggebuk balik mereka. Apa tidak ingat bagaimana rasanya menjadi oposisi. Mengalami represi berkepanjangan selama Orde Baru berkuasa? Bukankah sejarah selalu berulang? Secara hukum alam (sunatullah) kekuasaan itu juga akan dipergilirkan. Sekali lagi, belajarlah dari sejarah. Tidak ada kekuasaan yang abadi. Mawas dirilah….End Penulis Wartawan Senior
Manipulasi dan Bahaya Istilah "Gotong Royong"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (19/06). Rasanya saat-saat ini mulai disosialisasikan penggunaan kalimat gotong-royong. Makna sederhananya adalah kerjasama. Bisa juga bahu-membahu atau tolong-menolong sebagai konsekuensi dari proses kehidupan dan interaksi sosial. Makna seperti ini tentu saja sangat konstruktif, baik atau bagus-bagus saja. Apalagi makna itu disandarkan pada asas kekeluargaan dan kebersamaan. Meskipun demikian, gotong-royong itu masih netral. Konstruksi lain juga bisa bermakna buruk. Misalnya, jika kekeluargaan atau kebersamaan pada gotong-royong itu didasarkan pada kejahatan, kezaliman, dan dosa. Gotong-royong dalam keburukan adalah perbuatan yang tercela atau tidak beradab. Bisa juga biadab. Padahal agama telah mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Jangan bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan kejelekan. Pada sisi lain, gotong-royong juga dapat masuk dalam kategori manipulative, dan itu bias berbahaya. Apalagi jika dikaitkan dengan gotong-royongnya yang Ekasila. Gotong-royong disini bernilai ideologis, yang telah lewat dalam lintasan sejarah bangsa. Gotong-royong yang Ekasila ini sebagai hasil "perasan" dari Trisila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Gotong-royong yang dari Trisila lalu Ekasila ini adalah hasil pemerasan lagi dari Pancasila gagasan Soekarno 1 Juni 1945. Isinya itu adalah Kebangsaan atau Nasionalisme, Kemanusiaan atau Internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Jadi terma gotong-royong itu bisa saja multi makna. Dari yang positif hingga negatif. Tergantung dari sudut pandang yang mana. Bahkan dapat manipulatif dan berbahaya. Ketika dibuat spanduk sebagai sosialisasi "gotong-royong", maka ada kemungkinan munculnya makna yang bersifat ideologis. Dengan demikian, masyarakat harus berhati hati-hati menggunakan kata atau kalimat gotong-rotong tersebut. Sebab bisa memiliki makna yang berbeda-beda. Gunakan saja kalimat yang lebih aman seperti tolong-menolong, kerjasama, bahu-membahu atau masih banyak yang lain lagi. Hindari saja istilah "gotong royong". Jika ditarik ke masa Orde Lama, maka PKI lah yang paling suka mengkampanyekan istilah gotong-royongnya Soekarno tersebut. Mungkin saja relevan, sefaham atau sejalan dengan fahamnya komunisme yang "materialisme". "Sama rata sama rasa". PKI juga berslogan "kaum proletar bersatulah". Maksud PKI adalah bergotong royonglah. Sebab dengan Ekasila tersebut, maka nilai Ketuhanan dan lainnya menjadi lebur atau "out". Ini menjadi basis yang kuat untuk mengembangkan faham komunisme. Umat Islam harus memahami dan kenali dengan istilah gotong-royong ini dengan benar, agar tidak terjebat dalam permainan kata-kata semata. Konsepsi Presiden soal Kabinet Gotong Royong didukung penuh oleh Ketua PKI DN Aidit. Dia menyebut nama Kabinet Gotong Royong "sesuai dengan tuntutan rakyat". Dalam Sidang Konstituante Ir. Sakirman dari PKI menyatakan “Sila Gotong Royong sudahlah cukup sebagai satu-satunya sila”. PKI juga sangat berkeinginan untuk mengesampingkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, PKI sangat mendukung dan memperjuangkan konsep Soekarno tentang Ekasila atau gotong royong. Konsep Ekasila, lalu gotong-rotongnya Soekarno inilah yang mau diperjuangkan di RUU HIP. Kini jika kaum "kebangsaan" sangat alergi dengan istilah Jihad, Syari'at atau Khilafah, mengapa kaum atau umat Islam tidak alergi terhadap terma gotong-royong ? Saatnya umat Islam menjauhi peristilahan "gotong royong" karena sangat multi makna. Bisa sangat berbahaya. Bahayanya adalah "gotong royong" terus menerus dipublikasikan. Tujuannya agar pada waktunya rakyat Indonesia dapat menerima "gotong royong" sebagai satu-satunya sila, yaitu Ekasila. Ini adalah perjuangan dari kelompok PKI. Mereka tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan “Ekasila, lalu gotong-royong” itu. PKI dan neo PKI kapanpun sama saja. Mereka itu tidak ada beradanya. Tukang memanipulasi, dan menjpu rakyat kalau momentumnya sudah ada atau memungkinkan. Munculnya RUU HIP adalah bentuk nyata dari tipu-tipu model tersebut. Untuk itu, umat Islam harus waspadalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PDIP Mau Buang Badan, Tapi Badannya Terlalu Besar
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kembali ke isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). PDIP akhirnya mundur. Mereka bersedia mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunisme dan PKI sebagai konsideran RUU. Mereka juga bersedia menghapuskan Trisila dan Ekasila dari RUU itu. PDIP adalah pihak yang mengusulkan kedua materi ini. Kedua hal ini memunculkan tentangan keras dari semua ormas dan lembaga Islam. Peniadaan Tap MPRS larangan PKI, komunisme dan marxisme-leninisme itu, plus degradasi Pancasila menjadi “Gotong Royong” dan agama disetarakan dengan kebudayaan, memicu kecurigaan terhadap RUU HIP. Kecurigaan itu sampai pada dugaan bahwa pihak yang memprakarsai RUU ingin membangkitkan kembali komunisme dan PKI di Indonesia. Tentu saja umat beragama, terutama umat Islam, bereaksi sangat keras. NU dan Muhammadiyah menolak. Mereka meminta agar RUU HIP tidak saja direvisi, melainkan dicabut total. Tidak usah dibahas lagi. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI malah mengeluarkan maklumat keras bernada ultimatum jika RUU HIP masih berkonten pasal-pasal anti-agama. Didukung 34 MUI provinsi, MUI Pusat menyimpulkan RUU HIP ‘original’ bisa menjadi jalur legal bagi para pendukung PKI dan komunisme untuk bangkit kembali. Yang sangat mengkhawatirkan, selain penyingkiran Tap larangan komunisme-PKI, adalah Pasal 7 RUU HIP. Di ayat (2) pasal ini, Trisila diuraikan sebagai “sosio-nasionalisme”, “sosio-demokrasi”, dan “ketuhanan yang berkebudayaan”. Dua istilah pertama yang ini entah apa maksudnya. Tapi, yang terpenting, kita perlu fokus ke istilah ketiga. Yaitu, “ketuhanan yang berkebudayaan”. Terminologi ini berpotensi mengaburkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di Pancasila. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” memberikan ruang yang sangat bebas untuk menafsirkan eksistensi agama dalam kehiudpan berbangsa dan bernegara. Salah satu tafsiran orang adalah menyamakan agama dengan kebudayaan. Atau, bisa dikatakan pasal ini akan ‘mewajibkan’ agama menyerap kebudayaan. Jadi, RUU HIP sengaja diisi dengan diksi dan narasi yang tak jelas. Penuh dengan poin-poin yang tidak substantif. Seandainya menjadi UU, maka anasir-anasir pro-PKI secara bertahap akan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan infiltrasi komunisme ke dalam sistem sosial yang berbasis ketuhanan. Kalau sempat menjadi UU, berarti inflitrasi itu legal. Dengan membaca kemungkinan ini, umat Islam tampanya akan menyalakan ‘sistem peringatan dini’ (early warning system). Agar umat senantiasa waspada. Terutama terhadap manuver PDIP. Kelihatannya, partai berlambang Banteng galak tsb tidak akan menyerah. Mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka bisa saja datang kembali dengan upaya penghapusan Tap MPRS larangan komunisme-PKI. Dan juga gagasan ekstraksi (menciutkan) Pancasila. Supaya, berat dugaan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa perlahan bisa hilang dan tidak tertulis lagi di dokumen negara maupun teks-teks akademik. Wakil Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menegaskan bahwa peniadaan Tap MPRS larangan komunisme di deretan konsideran RUU HIP, bukan inisiatif partainya. PDIP difitnah seolah mendukung kebangkitan kembali komunisme. Begitu juga soal Trisila dan Ekasila. PDIP juga terfitnah, kata Basarah. Namun, catatan yang ada menunjukkan bahwa kedua hal itu berasal dari Partai Banteng. Kalau bukan PDIP, kenapa mereka yang sibuk mengatakan bahwa Tap MPRS larangan komunisme sekarang sudah dicantum di RUU. Sedangkan Trisila dan Ekasila sudah dihapus. Kelihatannya, PDIP mau buang badan. Cuma, badannya terlalu besar. Sehingga, mau dibuang ke mana pun, tetap terlihat.[] 18 Juni 2020(Penulis wartawan senior)
Perlawanan Rakyat, Kekerasan Polisi dan Reformasi Institusi
by Farouk Abdullah Alwyni & Kamal Abdullah Alwyni Jakarta FNN – Kamis 918/06). Belajar dari kasus demonstrasi besar-baran akibat kematian George Floyd di Amerika Serikat. Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang sangat dramatis. Demonstrasi yang berlangsung di banyak kota-kota di Amerika Serikat (AS). Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di Amerika seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan. Demonstrasi yang sama juga terjadi di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, Tokyo, dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah Amerika. Telah menyebar di lebih dari 650 kota di 50 negara bagian (The Washington Post, 7 Juni 2020). Demo-demo ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam George Floyd, akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe). Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit di berbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd. Mereka mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya. Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder”. Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut. Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran di banyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini. Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles. Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam. Mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, sampai kriminalitas murni. Bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat. Namun ddemikian, dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional. Sebab ada sebagain kecil yang ingin menumpang dari gelombang besar demo damai ini. Yang awalnya hanya menuntut keadilan untuk George Floyd, berubah menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya dari kelompok minoritas kulit hitam. Ada kelompokl yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi dan pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut. Banyak purnawirawan Jenderal di Amerika yang mengkritik respon Presiden Donald Trump. Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jenderal Purnawirawan James Mattis termasuk yang mengkritik respon Presiden Serikat Donald Trump terhadap demo-demo. Karena Trump dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi. Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat. Tidak punya niat baik untuk menyatukan Amerika Serikat. Mittis beranggapan semua ini terjadi sebagai akibat dari tiga tahun kepemimpinan Trump yang tidak matang. Kemarahan banyak elite dan para mantan elite politik dan pemerintahan Amerika Serikat, diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah Gereja Historis (St. John’s Episcopal Church). Hanya satu blok dari White House, di Washington untuk hanya berfoto dengan para pembantunya, dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible. Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja itu dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai di seputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga Amerika untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Terakhir Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Mark A. Milley. Chairman of the Joint Chiefs of Staff itu juga menyampaikan penyesalan dan maafnya karena ikut berfoto di gereja dengan Trump di atas. Begitu juga Menteri Pertahanan (Defense Secretary), Mark Esper menyatakan bahwa dia tidak tahu jika tujuan perjalanan Trump ke gereja hanya untuk berfoto. Esper sendiri tidak setuju dengan cara Trump yang ingin menggunakan militer untuk meredam demonstrasi. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di Amerika merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam. Kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai. Mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan keker san. Selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini, banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat Amerika lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian. Juga rasa keterpanggilan melakukan terhadap sistim yang lebih baik an berkeadilan. Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara massif. Kondisi ini nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, George Bush, dan bahkan Jimmy Carter yang menginginkan police reform. Para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur juga punya keinginan yang sama. Tentang perlunya police reform. Semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan perlunya menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga Amerika (73%) mendukung demo-demo damai yang ada. Terakhir seorang senator sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman. Apalagi jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga. Sebab seharusnya warga negara Amerika dilayani dan dilindungi oleh polisi. Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi. Hukunman terhadap polisi yang bersalah seharusnya tidak memakan waktu yang lama. Apalagi jika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force. Sistim Kepolisian secara menyeluruh di Amerika mulai disorot. Walaupun demikian, juga harus diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada tersebut buruk. Banyak juga polisi yang baik-baik. Yang ditunjukkan selama belangsunya demo-demo yang ada di seluruh wilayah Amerika. Dimana sebagian polisi, mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran. Polisi tersebut ikut merunduk. Mereka meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi, apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian? Yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples. Dari yang terjadi di Amerika sekarang ini, tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Jika kita juga mau melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Bawaslu. Ketika itu pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tidak berdaya. Terutamaketika saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta tanggal 22 Mei 2019. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Kalau di Amerika, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo seperti yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum. Belajar dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika negara seperti Amerika dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional, masih terus dikritisi. Mereka juga selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada. Tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia. Jangan segan-segan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian. Terutaman yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai. Jangan sampai hanya sekelompok oknum kepolisian yang melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat. Namun tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal. Harus ada sanksi hukum setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum. Kita Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi, barulah memperbaiki kondisi yang ada. Khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum dan keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hokum. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo bahwa “polisi harus menegakkan, bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –not abuse- the law). Sebagai sebuah negara mayoritas muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan yang luar biasa. Yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “jika Fatimah anakku mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya”. Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab. Dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid Hukuman akan diberikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab kepada Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash, karena sang Gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang dengan jabatannya. Gubernur Mesir juga telah bersikap zolim kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda. Sikap yang sangat ditolak oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan dapat tegak di negara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di Amerika sekarang. Menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) & Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat.
Penjara Sudah Menanti Pejabat Kebijakan Pemulihan Ekonomi
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Kamis (18/05). Dalam rapat terbatas beberap hari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Pernyataannya terhubung dengan pengelolaan dana penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Dana sebesar Rp. 677, 2 trilyun harus digunakan secara benar. Dalam rangka itu, Presiden tegas mempersilahkan penegak hukum melakukan tugas. Kepada para aparatur hukumnya, Presiden ingatkan agar profesional dalam menegakan hukum. Gigitannya, kurang lebih begitu esensinya. Harus tepat. Gigitlah yang benar-benar menyimpang, dan sebaliknya jangan gigit yang tidak benar-benar menyimpang. Pak Presiden, dapat diduga telah memiliki data terpercaya tentang postur governance pengelolaan dana ini. Mengajak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (PBKP) mengawasi pengelolaan dana ini. Jelas maknanya. Rupanya governance pengelolaan dana tidak terlalu meyakinkan Presiden. Itu sebabnya BPKP harus semakin dilibatkan, tentu untuk meningkatkan level governancenya. Jalan ke Pernjara Terbuka Pijakan hukum pengelolaan dana pemulihan ekonomi didasarkan sepenuhnya pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah dinaikan statusnya melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Perpu ini telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi akibat Covid. Satu-satunya hal yang hebat dalam Perpu ini adalah ketentuan dalam pasal 27, pasal 28 dan pasal yang memberikan kewenangan ekstra kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selebihnya tidak. Tetapi dari yang hebat itu, pasal 27 adalah yang terhebat. Esensi pasal ini adalah pengelolaan dana ini tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara. Akibat logisnya siapapun yang mengelola, dalam makna mengurus distribusinya, tak perlu memusingkan diri dengan segala macam parameter ekonomi maupun hukum. Untuk apa memusingkan diri dengan semua itu? Tidakkah telah diatur secara tegas dalam pasal 27 Perpu bahwa tindakan-tindakan dalam kerangka pasal Perpu tidak bisa dituntut pidana, perdata maupun tata usaha negara? Pasal 27 itu, akan digunakan sebagai benteng oleh pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus dana pemulihan ini. Bilapun dalam kenyataannya benar-benar ada perbuatan melawan hukum, pasal 27 telah secara tegas menyatakan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dituntut secara pidana, perdata dan tata usaha negara. Pejabat siapapun itu akan menyodorkan pasal ini sebagai bentengnya. Beralasan pasal 27 ini sah digunakan oleh siapapun yang berwenang dalam mengelola dana ini, sebagai alasan pembenar. Esensi alasan pembenar tidak lain selain menghapus sifat melawan hukum perbuatan. Perbuatan menyimpangnya mungkin secara faktual ada, tetapi sifat melawan hukumnya, sekali lagi, hilang dengan sendirinya karena ada pasal 27 itu. Menariknya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang didalamnya berisi pasal 27 itu, dibuat oleh Presiden. Tidak mungkin Presiden tidak mengetahui pasal itu. Presiden harus diasumsikan tahu keberadaan pasal itu. Pada titik ini menarik pernyataan Presiden itu logis ditimbang secara komprehensif. Sedang apa Presiden dengan menteri-menterinya? Apakah Pak Presiden memiliki fakta yang meyakinkan yang menunjukan telah terejadi penyimpangan? Sehingga Presiden berubah arah, meningalkan pasal 27 itu? Kalaupun jawabannya positif, ya, tetap saja jadi soal. Mengapa? Pasal 27 itu sejauh ini sah digunakan sebagai dasar tindakan para pejabat itu. Suka atau tidak, pasal 27 itu sah berlaku dan sah dijadikan dasar tindakan hukum oleh para pejabatnya. Disebabkan pasal ini sah sejauh ini untuk dijadikan dasar tindakan hukum para pejabat, maka semua tindakan hukum pejabat pada saat ini tidak dapat dipersoalkan. Baik aspek formil maupun materilnya. Berapapun dana pemulihan yang diberikan ke Garuda, bagaimana jumlah itu diperoleh, dilakukan dengan skema apapun, penyertaan modal (PNM), talangan, bayar utang, tidak dapat dipersoalkan. Mau diberi R10 triliun, lebih dari itu atau kurang itu, atau berapapun, secara formi dan materil tidak bisa dipersoalkan. Untuk apa dipersoalkan, kalau akhirnya temuannya tidak dapat dikualifikasi merugikan keuangan negara? Penyimpangan prosedur, andai ada, juga tak bisa ditunjuk sebagai perbuatan yang melawan hukum. Bagaimana pejabat-pejabat itu merespons kewajiban mereka kepada PLN misalnya, juga terserah mereka saja. Menurut keterangan Direktur PLN di Komisi VII DPR, utang pemerintah di PLN sebesar Rp 48 triliun. Ini merupakan akumulasi utang pemerintah tahun 2018 dan 2019 (Merdeka.com 17/6/2020). Utang ini harus diurusi. Menariknmya, utang yan terjadi jauh sebelum covid ini, boleh jadi akan diselesaikan menurut skema perpu. Bila mengukiti skema ini, skemanya yang harus diambil bukan talangan, bukan juga PNM. Skema yang yan harus diambil adalah kompensasi atau baray utang. Tetapi andai pejabatnya memilih skema lain, harus dianggap sah. Berapa sebenarnya dana pemulihan ekonomi yang akan dan atau telah diplot untuk BUMN? Bergunakah jumlahnya dipersoalkan secara hukum? Mau Rp. 147 triliun, kurang dari itu atau malah lebih dari itu, secara formil dan materil tidak bisa dipersoalkan. Ini konsekuensi pasal 27 Perpu, suka atau tidak. Mudah Temukan Pelanggaran Tetapi apapun itu, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus soal ini harus tetap waspada. Pernyataan Presiden tersebut cukup beralasan untuk dipakai sebagai petunjuk adanya kehendak melepaskan pasal 27 itu. Presiden bisa jadi, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa pengujian pasal ini untuk menyatakan pasal itu inkonstitusional. Waspada, sekali lagi waspada. Ini harus jadi sikap dasar pejabat. Sikap ini harus diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pertimbangan-pertimbangan dibalik sebuah kebijakan harus benar-benar dapat dicek. Fakta dan rasionya harus kokoh. Kedua, bereskan semua tindakan yang perlu diambil dalam kerangka Perpu dan PP Nomor 23, sebelum pasal 27 Perpu dinyatakan inkonstitusional. Tetapi andai pasal 27 diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan konstitusional, terlepas dari putusan ini akan ditertawakan dan diejek, tetap saja harus waspada. Mengapa? Kalau kebijakan itu nyata-nyata tidak didasakan pada fakta yang cukup. Juga tidak cukup rasio teknisnya, maka kenyataan itu dapat dijadikan alasan penegak hukum menyatakan bahwa perbuatan itu sedari awal telah dimaksudkan lain dari yang diperintahkan oleh Perpu. Kenyataan itu dapat dipakai sebagai dasar konstruksi bahwa sikap batin pembuat kebijakan, sedari awal dimaksudkan lain dari seharusnya menurut Perpu. Itu masalahnya. Kalau sudah begini cara berpikir penegak hukum, maka mudah bagi mereka menemukan sifat melawan hukum perbuatan. Bila penyimpangan itu didukung tumpukan fakta, maka mudah bagi penegak hukum untuk membuat konstruksi berikut. Konstruksinya tidak ada hukum, yang sedari mula dimaksudkan untuk membenarkan tindakan melawan hukum. Atas dasar itu, mereka dapat dengan mudah menyatakan pasal 27 tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar atau alasan yang membenarkan semua tindakan menyimpang. Tumpukan fakta tentang penyimpangan, sekali lagi, akan diambil dan digunakan penegak hokum untuk menyatakan, pembuat kebijakan telah dimaksudkan untuk hal lain, selain yang diperintahkan Perpu. Hal lain itulah, yang akan dipakai penegak hukum untuk menyatakan sikap batin pembuat kebijakan hendak diarahkan pada hal lain itu. Bila begitu cara pandang penegak hukum, maka mudah bagi mereka mengualifisir perbuatan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Logiskah cara berpikir itu? Logis karena satu alasan, terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan sikap bathin pembuat kebijakan. Satu-satunya cara menutup jalan penegak hukum menggunakan jalan fikiran ini adalah pembuat kebijakan harus, sekali lagi, memastikan memiliki tumpukan fakta terferifikasi dan obyektif. Tumpukan fakta terferifikasi itu harus benar-benar harus dapat disajikan, kapanpun diperlukan. Rasio fakta itu harus benar dapat diterima. Hanya itu cara yang tersedia. Tidak lebih. Keikutsertaan penegakan hukum, misalnya mendampingi, menyaksikan penyaluran PNM, talangan atau bayar utang, sama sekali tidak dapat dijadikan benteng buat pembuat kebijakan. Kehadiran mereka pada level itu, sama sekali tidak dapat dijadikan keadaan yang determinatif. Kehadiran merka tidak berbicara apa-apa, selain hanya menjelaskan mereka menyaksikan tindakan akhir pejabat. Bagaimana proses tindakan itu, bagaimana angka-angka yang diperoleh, bagaimana memutuskan angka, jelas tidak diketahui oleh penegak hukum. Fakta bernilai tinggi adalah keadaan nyata yang digunakan sebagai dasar menentukan besaran. sebut saja dana talangan, PNM atau pembayaran kompensasi atau bayar utang. Juga fakta bernilai tinggi adalah kesesuaian fakta antara nilai buku dengan nilai yang direalisaikan. Selisih nilai akuntansi dengan nilai nyata, tentu akan jadi malapetaka. Penipuan Korporasi Licik Selisih nilai itu, mungkin dapat dibenarkan. Bila rangkaian fakta kongkrit menyediakan unsur-unsur yang dapat menerangkan secara logis selisih itu. Itu untuk kebijakan terkait langsung BUMN dan korporasi sawsta. Terhadap korporasi swasta, soalnya lebih sedikit lebioh kompleks. Justru kebijakan pemberian bantuan, atau talangan, ataupun namanya kepada korporasi swasta, harus lebih tinggi level kehati-kehatiannya. Semoga saja pengetahuan mengenai korporasi yang pada tahun buku terakhir membukukan laba, dan atau sebaliknya rugi, benar-benar tersaji dengan jelas. Level laba dan ruginya, plus aset yang nyatanya eksis berada dalam penguasaan nyata korporasi. Juga likuid serta asset yang nyata-nyata truble, harus jelas betul penilaian dan dapat disajikan setiap waktu. Keliru pada level ini sama dengan membuka jalan untuk penegak hukum mempersoalkan level rasionalitas kebijakan itu. Kekeliruan pada level itu, sama nilainya dengan menyodorkan senjata terkokang kepada penegak hukum. Fakta itu akan memudahkan mereka, seperti telah dikemukakan di muka, menyatakan pejabat telah sedari awal bermaksud menyimpang dari hukum. Konsekuensinya sikap bathin pejabat untuk perbuatan itu benar-benar dapat dipersalahkan. Suka atau tidak semua ini harus masuk dalam daftar kehati-hatian pejabat. Pernyataan presiden mengenai penegak hukum gigit sebisa mungkin “mereka yang nyata-nyata menyimpang dan yang tidak mengikuti aturan, tidak bisa disepelekan. Terlalu mudah bagi penegak hukum untuk menemukan dan merealisasikan pernyataan Presiden itu. Itu soal terbesarnya. Pada titik ini tidak ada faedah memperdebatkan pernyataan itu akan mengakibatkan pejabat tidak nyama bekerja. Tidak perlu. Jalan terbaik menyambut pernyataan Presiden itu adalah memastikan setiap kebijakan didukung dengan tumpukan yang kredibel, baik menyangkut kuantitas dan kualitasnya. Hanya itu cara menghindar dari kemungkinan diperiksa penegak hukum, lalu ditetapkan menjadi tersangka. Nauzubillaahi minzalik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Tarung di RUU HIP, "PDIP Vesrsus Umat Islam"
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (18/06). Inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah PDIP. Rakyat tahu itu PDIP sukses mempengaruhi sejumlah fraksi di DPR. Sukses, karena nyaris tanpa penolakan. Kecuali Fraksi PKS, yang dari awal konsisten ingin memperjuangkan masuknya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tak digubris. Fraksi yang lain diam. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tidak tanda tangan. Ketika maklumat MUI keluar, dan protes Umat Islam terjadi dimana-mana, sejumlah anggota fraksi membuat pernyataan. Mereka jadi ikut-ikutan teriak menolak RUU HIP. Langkah cari aman. Ah, kayak nggak tahu aja kelakuan parpol. Klasik dan jadul tuh! Saat ini, RUU HIP sudah diserahkan oleh DPR ke pemerintah. Bola sekarang ada di pemerintah. Semua mata tertuju kepada pemerintah. Konsentrasi rakyat fokus ke pemerintah. Lalu, bagaimana sikap pemerintah? Mendengarkan rakyat? Atau pasang badan mendukung PDIP? "Tunda", kata pemerintah. Pemerintah nampaknya ingin melihat-lihat dulu apa reaksi lanjutan dari masyarakat. Pertama, bagaimana reaksi PDIP. Kedua, bagaimana reaksi umat Islam. Mana yang paling kuat, biasanya itu yang akan jadi pilihan Jokowi. Polanya sering terbaca begitu. Jika pressure umat Islam kuat, pemerintah tak ada pilihan lain kecuali "menolak" RUU HIP. Jika sebaliknya, protes umat Islam meredup dan PDIP kuat tekanannya, maka pemerintah akan minta agar RUU HIP dilanjutkan pembahasannya di DPR. Sebagaimana diketahui, sikap MUI, NU, Muhammadiyah, Ansor, Pemuda Pancasila, FPI, dan sejumlah elemen masyarakat tegas dan jelas, “ Stop RUU HIP”. Hentikan pembahasannya. Jangan dilanjutkan. Batalkan itu RUU! Bukan revisi. Bukan juga ditunda. Sepertinya PDIP sebagai inisiator RUU HIP keberatan. Tak ada tanda-tanda mau menyerah. Lanjut! Coba bernegosiasi. Buat kompromi-kompromi. Tawarkan revisi. TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukkan. Tapi, larangan radikalisme dan Khilafah juga harus dimasukkan. Win win solution dengan umat Islam. Sampai disini, PDIP masih cukup percaya diri. Umat Islam melalui MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah ormas yang lain nggak menanggapi nego PDIP. Dianggap angina lalu saja. Belakangan, PBNU muncul. Suaranya sangat lantang, “hentikan”. Pandangan dan sikap PBNU tegas dan lugas. Dasar pemikirannya lengkap, terukur dan berkelas. Perseteruan antara MUI, NU, Muhammadiyah plus Ormas-Ormas Islam lainnya dengan PDIP sebagai inisiator RUU HIP nampaknya akan memakan waktu yang panjang. Maraton. Sudah hampir sepekan ini, dua kelompok di atas berdebat kusur di media. Adu argumen, adu cerdik dan juga adu strategi kedua belah pihak kemungkinan akan semakin ramai ke depan. Tidak saja di media, tetapi juga dalam bentuk aksi demonstrasi. Di sejumlah daerah sudah terjadi. Demo ada dimana-mana. Nampaknya makin panas. Perdebatan tidak saja soal materiil dan formilnya, tetapi juga menyoal apa motif RUU HIP ini dilahirkan. Soal yang terakhir ini justru paling yang menarik. Sekaligus semakin seru dan memans-manaskan situasi politik nasional selama pandemic Covid 19 ke dapan. Di sini, kepemimpinan Jokowi akan diuji. Rakyat menunggu keputusan jelas dan tegas dari Jokowi. Tidak mudah memang. PDIP, tak saja sebagai partai pemenang. Tetapi, PDIP juga partai yang paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai presiden. Sementara di sebelah PDIP, ada barisan MUI, NU, Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam memiliki kekuatan massa yang tak kecil. Terbesar di Indonesia. Jika isunya semakin matang, maka akan sangat merepotkan Jokowi. Legitimasi moral dan gelombang kekuatannya bisa lebih dahsyat dari 212. Asumsi ini tak terukur jika belum dibuktikan. Emang mau dibuktikan? Rakyat akan menunggu ke depan. Pertama, lebih kuat mana? Pressure PDIP vs pressure MUI yang didukung NU dan Muhammadiyah dan umat Islam itu. Kedua, kemana pilihan Jokowi akan berpihak. Kepada PDIP, atau kepada umatIslam? Rakyat sedang menunggu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Doking Si Kodok Peking di RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (18/06). Persoalan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) berismbas melebar. Dugaan adanya misi terselubung aktivis berfaham komunis atau neo-PKI berimbas pada ramainya di medsos soal Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menafikan komunis atau PKI saat ini. Bahkan menuduh yang mengungkit-ungkit soal PKI dan komunisme adalah Kadrun singkatan dari Kadal Gurun. Kadal Gurun atau Kadrun adalah predikat yang diberikan oleh aktivis PKI dahulu kepada para ulama, ustadz, aktivis Islam yang menjalankan agama Islam. Agama yang berasal dari daerah pegunungan atau gurun Saudi Arabia. Nabi Muhammad SAW adalah putera gurun. Lahir di Mekkah lalu hijrah dan berjuang serta wafat di Madinah. BAKOR KAN melaporkan Ade Armando atas sebutan Kadrun kepada masyarakat Minang. Menjelaskan bahwa Kadrun adalah predikat yang sering diungkap oleh PKI dahulu untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Tentu saja Ade membantah bahwa Kadrunnya tidak berkaitan dengan Kadrun PKI. Mana yang benar biarlah menjadi urusan hukum pembuktian nantinya. Hanya saja Franciscus Xaverius Arief Poyuono menyebutkan bahwa yang mengungkit persoalan PKI dan komunisme adalah Kadrun. Ini menjadi persoalan serius ketika penolakan dilakukan oleh umat Islam yang mendukung Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sikap tegas menolak RUU HIP yang ditengai ingin menghidupkan kembali faham komunisme dan PKI yang didukung MUI Provinsi dari seluruh Indonesia Dengan demikian, ada RUU HIP yang mengkhawatirkan kebangkitan PKI dan komunisme seluruhnya disebut Kadrun. Padahal apa yang dikemukakan oleh para ulama, ustadz, aktivis Islam, para Purnawiraaan TNI-Polri, ormas Islam dan banyak forum serta aspirasi yang menolak RUU berbau PKI dan komunisme ini sangat beralasan. Sangat obyektif, dan rasional. Bila memberi predikat seenaknya bagi mereka yang anti PKI dan komunis adalah Kadrun, maka itu dapat memancing konflik baru. Nanti bisa saja yang pro pada RUU HIP yang berbau PKI dan komunis itu disebut dengan Kodok Peking. Orang China menyukai kodok sebagai makanan pilihan paling disukai. Jadinya, pantas dan wajar saja bila yang pro dengan RUU HIP atau pro terhadap RRC atau yang menafikan keberadaan PKI dan komunisme disebut sebagai “Doking si Kodok Peking. Kodok Peking pro Peking adalah penghianat negara. Mereka yang memasukkan TKA China ke Indonesia menggeser tenaga kerja pribumi. Mereka yang menjalin hubungan sangat erat dengan Pemerintah Komunis RRC. Kodok Peking ini sangat "welcome" dan siap bekerja sama dengan Partai Komunis China. Kodok Peking adalah pemuja investasi dan hutang luar negeri dari China. Seakan-akan rela untuk dijajah oleh China. Kodok Peking adalah kodok yang kaki bagian bawahnya ada di Indonesia. Sedangkan kaki atas mengais-ngais di Peking. Hampir sulit terjadinya kebangkitan atau berkembangnya faham komunisme di dunia saat ini tanpa peran Peking (Beijing). Dahulu Sovyet yang dominan. Pejabat negara kita ada yang terang terangan menyebut Indonesia tak mungkin lepas dari China. Ini yang membuat rakyat semakin khawatir pada pengaruh RRC di segala bidang khususnya ekonomi dan politik. Poyuono dan banyak tokoh atau pemimpin negara tegas menafikan keberadaan PKI dan komunisme. Padahal fakta itu ada dan nyata. Tentu tak mungkin terang-terangan seseorang atau kelompok menyebut dirinya PKI. Apalagi menjadi kader penyebarnya. Hukum melarangnya dan sanksi hukum menghadangnya. Makanya mereka bergerak "tanpa bentuk". Makanya mereka melompat sana melompat sini. Malompat dari satu partai ke partai yang lain. Persis seperti kodok. Kodok Peking (Doking) adalah hewan yang dapat berubah bentuk menjadi hewan penyebar penyakit berbahaya. Kodok Peking biasanya berkolaborasi dengan virus virus jahat dan sesat lainnya. Menggerogoti ideologi suatu negara. mencengkeram secara ekonomi, dan mengendalikan secara politik. Bermain di pemerintahan dan ruang parlemen. Begitulah pola dan kebiasaan Kodok Peking beroperasi. RUU HIP disamping memunculkan penolakan, juga ada suara ribut Doking si Kodok Peking penjilat yang gemar lompat sana lompat sini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.