Meski Bisa Sembuh, Covid-19 Tetap Jadi "Histeria"
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Mengapa sampai terjadi kasus keluarga pasien korban Virus Corona atau Covid-19 membawa lari jasad yang meninggal? Semua itu terjadi karena mereka tidak percaya kalau korban sudah terinfeksi Covid-19, apalagi hasil swabnya belum keluar.
Mereka juga tidak tahu dan mengerti soal virus atau bakteri yang sedang mewabah di negara kita sekarang ini. Yang mereka tahu hanya, ada orang meninggal dibungkus plastik dikawal paramedis yang berpakaian “antivirus” Alat Pelindung Diri.
Tidak ada yang boleh mendekat, apalagi sampai memegang jenazahnya. Karena mereka bisa tertular. Sehingga nantinya bisa dikarantina mandiri atau malah masuk RS rujukan Covid-10. Jadi, mereka ini awam, tidak mengerti bahaya Covid-19 itu.
Apalagi, sampai sejauh ini tidak ada korban Covid-19 di Indonesia yang diotopsi jenazahnya, seperti yang dilakukan di China dan Italia. Sehingga bisa diketahui dengan jelas organ tubuh apa yang diserang Covid-19 sampai menyebabkan kematian.
Melansir Detik.com, Senin (02 Mar 2020 17:23 WIB), seorang profesor kedokteran hukum di Tongji Medical College di Wuhan, Liu Liang, mengungkapkan ada beberapa temuan. Yakni, beberapa temuan selama membedah pasien terinfeksi Virus Corona.
Prof. Liu Liang telah memimpin operasi bedah terhadap sembilan (9) jenazah pasien dari 12 yang dioperasi ilmuwan China. Profesor Liu Liang membedah dengan hati-hati tubuh pasien corona yang baru meninggal.
Tanpa otopsi, pihaknya tak akan pernah tahu kebenaran yang mengejutkan. Dalam “Laporan Pengamatan Umum Anatomi Korban Meninggal karena Pneumoonia virus Corona” Journal of Forensic Medicine ini ditulis, ada cairan kental abu-abu di paru-paru jasad, lendir putih berbusa di rongga trakea dan bronkial paru-paru.
Lendir yang seperti jelly itu melekat kuat. Cairan kental inilah yang menghalangi alveoli (kantung udara), memblokir saluran udara, memblokir paru-paru interstitial, memblokir tabung bronkial, secara bertahap membiarkan paru-paru kehilangan fungsi ventilasi;
Membuat pasien dalam keadaan hipoksia, dan akhirnya mati karena gagal bernafas. Cairan kental ini merenggut nyawa pasien Corona dan membuat mereka menderita pada saat-saat terakhir kehidupan mereka. Ketakutan mereka mencapai ekstrem.
Mereka berjuang seperti tenggelam di dalam sumur, berteriak “tolong”. Mereka dipenuhi dengan keputus-asaan dan rasa sakit. Mereka terengah-engah, bahkan jika mereka memakai masker oksigen dan ventilator, mereka juga tidak bisa menghirup oksigen.
Mengapa mereka tidak bisa menghirup oksigen dengan dukungan ventilator? Karena cairan kental itu menghalangi jalur oksigen. Jalannya tidak bisa dilewati. Sejumlah besar oksigen dihirup, tapi penyumbatannya tambah meningkat.
Oksigen tidak dapat disalurkan ke dalam darah, dan akhirnya mereka tercekik oleh cairan kental ini.
Oleh karena itu, Profesor Liu Liang menunjukkan bahwa penggunaan alat ventilator oksigen secara buta tidak hanya gagal untuk mencapai tujuan tetapi bahkan mungkin menjadi kontra-produktif.
Tekanan oksigen akan mendorong lendir lebih dalam ke ujung paru-paru, sehingga semakin memperparah keadaan hipoksia pasien.
Dengan kata lain bahwa pengobatan Barat hanya melihat hipoksia pasien, tapi tidak melihat penyebab di balik hipoksia pasien. Cairan kental ini disebut dahak, harus ditangani sebelum memberikan oksigen, jika tidak, berapapun banyaknya oksigen disalurkan juga akan sia-sia.
Kita hanya perlu membuka saluran udara ini dengan menghilangkan dahak, menghilangkan kelembaban, membiarkan alveoli mengering, dan membiarkan bronkus halus lancar dan tidak terhalang, dengan demikian tidak diperlukan ventilator oksigen sama sekali;
Pasien akan pulihkan fungsi paru-paru sendiri, dan dia akan menghirup oksigen dari udara. Mengutip Dr. Aji Soso Santoso, Adventist Medical Center Manila, yang sudah membaca berita mengenai penelitian Prof Liu Liang seperti komen yang disampaikan Prof Hendrajit.
Temuan ini diperkuat oleh Dr. Luciano Gattinoni dari Universitas Kedokteran di Gottingen, Jerman, dalam laporannya mengenai penanganan pasien corona yang menderita gagal nafas di Italia Utara di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Maret lalu.
“Dr. Gattinoti menganjurkan untuk meninjau pendekatan yang berbeda untuk pasien corona yang kritis. Kemudian Dr. Nathalie Stevenson dan Prof. Gary Mills dari NHF Foundation, Inggris memberikan pandangannya,” tulis Dokter Aji Soso Santoso.
Bahwa corona merupakan penyakit baru dan membutuhkan penanganan yang berbeda dari gagal nafas biasa. Hal ini dicatat dalam interview oleh Medscape UK.
Menurutnya, untuk mencairkan dahak atau mucus dari paru-paru, pasien harus diberi minum obat mukolitik atau pencair dahak seperti ambroxol, mucohexin, erdosteine atau n-acetyl cysteine (yang terkuat). Bila tidak bisa minum, harus dialirkan lewat selang.
“Tanpa bantuan mukolitik, dahak kental yang memenuhi bronkus itu tidak akan bisa keluar. Dengan bantuan obat di atas, dahak akan menjadi encer dan dapat dikeluarkan lewat batuk atau suction pump low pressure,” ungkap Dokter Aji Soso Santoso.
Lalu bagaimana kalaupun sudah diberikan mukolitik dan sudah dilakukan suction tapi dahak tetap tidak mau keluar? Menurut Prof. Hendrajit, dalam kasus seperti ini Bronchoscopy bisa menjadi pilihan.
Mengutip Direktur Global Future Institute tersebut, baru-baru ini juga dikabarkan bahwa penggunaan Ventilator pada pasien Covid-19 ternyata banyak menimbulkan efek negatif tidak seperti yang diharapkan.
Kembali ke temuan Prof Liu Liang di Wuhan tersebut. Sebenarnya, hasil otopsi di Tongji Medical College di Wuhan itu juga ditemukan pada seorang pasien Covid-19 di Indonesia. Ini dilihat dari rontgen, paru-parunya tenggelam oleh bercak-bercak putih.
Dari hasil otopsi yang dilakukan di China dan Italia, diperkuat hasil rontgen pasien Covid-19 di Indonesia, jelas dan bisa disimpulkan bahwa Covid-19 itu menyerang paru-paru sehingga pasien gagal nafas hingga menyebabkan kematian.
Secara klinis, pasien yang sembuh dari Covid-19 biasanya dari hidung dan tenggorokannya akan keluar lendir terus-menerus hingga berhenti sendirinya. Bisa dibayangkan, kalau lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorokan.
Itulah yang terjadi pada pasien Covid-19 yang pada akhirnya bisa menyebabkan saluran nafas buntu. Jika lendir ini tidak keluar, maka yang terjadi adalah pasien akan mengalami kematian. Karena gagal bernafas. Lendir ini memang harus keluar.
Keluarnya lendir dari hidung dan tenggorokan itu sebenarnya adalah proses perbaikan yang sedang berjalan.
Perlu dicatat, saat Covid-19 mereplikasi dirinya beratus-ratus kali lipat mereka membutuhkan media untuk hidup. Media untuk hidup itu berupa cairan yang di dalamnya ini berisi protein-protein yang mereka hasilkan tersebut.
Nah, cairan tempat hidup mereka itu, ternyata bersifat toksik bagi tuan rumahnya (manusia). Reaksi antibodi pada cairan yang membahayakan tersebut, antara lain berupa memproduksi cairan untuk menghambat protein yang toksik itu.
Perpaduan antara cairan protein yang toksik dengan cairan reaksi antibodi, akhirnya berupa cairan yang kental, dan volumenya banyak.
Jika lendir (atau ingus) itu berhasil keluar dari hidung dan tenggorokan, maka bisa dipastikan pasien Covid-19 akan sembuh.
Penulis Wartawan Senior