Penjara Sudah Menanti Pejabat Kebijakan Pemulihan Ekonomi

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum.

Jakarta FNN – Kamis (18/05). Dalam rapat terbatas beberap hari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Pernyataannya terhubung dengan pengelolaan dana penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional. Dana sebesar Rp. 677, 2 trilyun harus digunakan secara benar. Dalam rangka itu, Presiden tegas mempersilahkan penegak hukum melakukan tugas.

Kepada para aparatur hukumnya, Presiden ingatkan agar profesional dalam menegakan hukum. Gigitannya, kurang lebih begitu esensinya. Harus tepat. Gigitlah yang benar-benar menyimpang, dan sebaliknya jangan gigit yang tidak benar-benar menyimpang.

Pak Presiden, dapat diduga telah memiliki data terpercaya tentang postur governance pengelolaan dana ini. Mengajak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (PBKP) mengawasi pengelolaan dana ini. Jelas maknanya. Rupanya governance pengelolaan dana tidak terlalu meyakinkan Presiden. Itu sebabnya BPKP harus semakin dilibatkan, tentu untuk meningkatkan level governancenya.

Jalan ke Pernjara Terbuka

Pijakan hukum pengelolaan dana pemulihan ekonomi didasarkan sepenuhnya pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah dinaikan statusnya melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Perpu ini telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi akibat Covid.

Satu-satunya hal yang hebat dalam Perpu ini adalah ketentuan dalam pasal 27, pasal 28 dan pasal yang memberikan kewenangan ekstra kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selebihnya tidak. Tetapi dari yang hebat itu, pasal 27 adalah yang terhebat. Esensi pasal ini adalah pengelolaan dana ini tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian keuangan negara.

Akibat logisnya siapapun yang mengelola, dalam makna mengurus distribusinya, tak perlu memusingkan diri dengan segala macam parameter ekonomi maupun hukum. Untuk apa memusingkan diri dengan semua itu? Tidakkah telah diatur secara tegas dalam pasal 27 Perpu bahwa tindakan-tindakan dalam kerangka pasal Perpu tidak bisa dituntut pidana, perdata maupun tata usaha negara?

Pasal 27 itu, akan digunakan sebagai benteng oleh pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus dana pemulihan ini. Bilapun dalam kenyataannya benar-benar ada perbuatan melawan hukum, pasal 27 telah secara tegas menyatakan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dituntut secara pidana, perdata dan tata usaha negara. Pejabat siapapun itu akan menyodorkan pasal ini sebagai bentengnya.

Beralasan pasal 27 ini sah digunakan oleh siapapun yang berwenang dalam mengelola dana ini, sebagai alasan pembenar. Esensi alasan pembenar tidak lain selain menghapus sifat melawan hukum perbuatan. Perbuatan menyimpangnya mungkin secara faktual ada, tetapi sifat melawan hukumnya, sekali lagi, hilang dengan sendirinya karena ada pasal 27 itu.

Menariknya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang didalamnya berisi pasal 27 itu, dibuat oleh Presiden. Tidak mungkin Presiden tidak mengetahui pasal itu. Presiden harus diasumsikan tahu keberadaan pasal itu. Pada titik ini menarik pernyataan Presiden itu logis ditimbang secara komprehensif. Sedang apa Presiden dengan menteri-menterinya?

Apakah Pak Presiden memiliki fakta yang meyakinkan yang menunjukan telah terejadi penyimpangan? Sehingga Presiden berubah arah, meningalkan pasal 27 itu? Kalaupun jawabannya positif, ya, tetap saja jadi soal. Mengapa? Pasal 27 itu sejauh ini sah digunakan sebagai dasar tindakan para pejabat itu. Suka atau tidak, pasal 27 itu sah berlaku dan sah dijadikan dasar tindakan hukum oleh para pejabatnya.

Disebabkan pasal ini sah sejauh ini untuk dijadikan dasar tindakan hukum para pejabat, maka semua tindakan hukum pejabat pada saat ini tidak dapat dipersoalkan. Baik aspek formil maupun materilnya. Berapapun dana pemulihan yang diberikan ke Garuda, bagaimana jumlah itu diperoleh, dilakukan dengan skema apapun, penyertaan modal (PNM), talangan, bayar utang, tidak dapat dipersoalkan.

Mau diberi R10 triliun, lebih dari itu atau kurang itu, atau berapapun, secara formi dan materil tidak bisa dipersoalkan. Untuk apa dipersoalkan, kalau akhirnya temuannya tidak dapat dikualifikasi merugikan keuangan negara? Penyimpangan prosedur, andai ada, juga tak bisa ditunjuk sebagai perbuatan yang melawan hukum.

Bagaimana pejabat-pejabat itu merespons kewajiban mereka kepada PLN misalnya, juga terserah mereka saja. Menurut keterangan Direktur PLN di Komisi VII DPR, utang pemerintah di PLN sebesar Rp 48 triliun. Ini merupakan akumulasi utang pemerintah tahun 2018 dan 2019 (Merdeka.com 17/6/2020).

Utang ini harus diurusi. Menariknmya, utang yan terjadi jauh sebelum covid ini, boleh jadi akan diselesaikan menurut skema perpu. Bila mengukiti skema ini, skemanya yang harus diambil bukan talangan, bukan juga PNM. Skema yang yan harus diambil adalah kompensasi atau baray utang. Tetapi andai pejabatnya memilih skema lain, harus dianggap sah.

Berapa sebenarnya dana pemulihan ekonomi yang akan dan atau telah diplot untuk BUMN? Bergunakah jumlahnya dipersoalkan secara hukum? Mau Rp. 147 triliun, kurang dari itu atau malah lebih dari itu, secara formil dan materil tidak bisa dipersoalkan. Ini konsekuensi pasal 27 Perpu, suka atau tidak.

Mudah Temukan Pelanggaran

Tetapi apapun itu, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang mengurus soal ini harus tetap waspada. Pernyataan Presiden tersebut cukup beralasan untuk dipakai sebagai petunjuk adanya kehendak melepaskan pasal 27 itu. Presiden bisa jadi, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa pengujian pasal ini untuk menyatakan pasal itu inkonstitusional.

Waspada, sekali lagi waspada. Ini harus jadi sikap dasar pejabat. Sikap ini harus diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pertimbangan-pertimbangan dibalik sebuah kebijakan harus benar-benar dapat dicek. Fakta dan rasionya harus kokoh. Kedua, bereskan semua tindakan yang perlu diambil dalam kerangka Perpu dan PP Nomor 23, sebelum pasal 27 Perpu dinyatakan inkonstitusional.

Tetapi andai pasal 27 diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan konstitusional, terlepas dari putusan ini akan ditertawakan dan diejek, tetap saja harus waspada. Mengapa? Kalau kebijakan itu nyata-nyata tidak didasakan pada fakta yang cukup. Juga tidak cukup rasio teknisnya, maka kenyataan itu dapat dijadikan alasan penegak hukum menyatakan bahwa perbuatan itu sedari awal telah dimaksudkan lain dari yang diperintahkan oleh Perpu.

Kenyataan itu dapat dipakai sebagai dasar konstruksi bahwa sikap batin pembuat kebijakan, sedari awal dimaksudkan lain dari seharusnya menurut Perpu. Itu masalahnya. Kalau sudah begini cara berpikir penegak hukum, maka mudah bagi mereka menemukan sifat melawan hukum perbuatan.

Bila penyimpangan itu didukung tumpukan fakta, maka mudah bagi penegak hukum untuk membuat konstruksi berikut. Konstruksinya tidak ada hukum, yang sedari mula dimaksudkan untuk membenarkan tindakan melawan hukum. Atas dasar itu, mereka dapat dengan mudah menyatakan pasal 27 tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar atau alasan yang membenarkan semua tindakan menyimpang.

Tumpukan fakta tentang penyimpangan, sekali lagi, akan diambil dan digunakan penegak hokum untuk menyatakan, pembuat kebijakan telah dimaksudkan untuk hal lain, selain yang diperintahkan Perpu. Hal lain itulah, yang akan dipakai penegak hukum untuk menyatakan sikap batin pembuat kebijakan hendak diarahkan pada hal lain itu.

Bila begitu cara pandang penegak hukum, maka mudah bagi mereka mengualifisir perbuatan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Logiskah cara berpikir itu? Logis karena satu alasan, terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan sikap bathin pembuat kebijakan.

Satu-satunya cara menutup jalan penegak hukum menggunakan jalan fikiran ini adalah pembuat kebijakan harus, sekali lagi, memastikan memiliki tumpukan fakta terferifikasi dan obyektif. Tumpukan fakta terferifikasi itu harus benar-benar harus dapat disajikan, kapanpun diperlukan. Rasio fakta itu harus benar dapat diterima.

Hanya itu cara yang tersedia. Tidak lebih. Keikutsertaan penegakan hukum, misalnya mendampingi, menyaksikan penyaluran PNM, talangan atau bayar utang, sama sekali tidak dapat dijadikan benteng buat pembuat kebijakan. Kehadiran mereka pada level itu, sama sekali tidak dapat dijadikan keadaan yang determinatif.

Kehadiran merka tidak berbicara apa-apa, selain hanya menjelaskan mereka menyaksikan tindakan akhir pejabat. Bagaimana proses tindakan itu, bagaimana angka-angka yang diperoleh, bagaimana memutuskan angka, jelas tidak diketahui oleh penegak hukum.

Fakta bernilai tinggi adalah keadaan nyata yang digunakan sebagai dasar menentukan besaran. sebut saja dana talangan, PNM atau pembayaran kompensasi atau bayar utang. Juga fakta bernilai tinggi adalah kesesuaian fakta antara nilai buku dengan nilai yang direalisaikan. Selisih nilai akuntansi dengan nilai nyata, tentu akan jadi malapetaka.

Penipuan Korporasi Licik

Selisih nilai itu, mungkin dapat dibenarkan. Bila rangkaian fakta kongkrit menyediakan unsur-unsur yang dapat menerangkan secara logis selisih itu. Itu untuk kebijakan terkait langsung BUMN dan korporasi sawsta. Terhadap korporasi swasta, soalnya lebih sedikit lebioh kompleks.

Justru kebijakan pemberian bantuan, atau talangan, ataupun namanya kepada korporasi swasta, harus lebih tinggi level kehati-kehatiannya. Semoga saja pengetahuan mengenai korporasi yang pada tahun buku terakhir membukukan laba, dan atau sebaliknya rugi, benar-benar tersaji dengan jelas.

Level laba dan ruginya, plus aset yang nyatanya eksis berada dalam penguasaan nyata korporasi. Juga likuid serta asset yang nyata-nyata truble, harus jelas betul penilaian dan dapat disajikan setiap waktu. Keliru pada level ini sama dengan membuka jalan untuk penegak hukum mempersoalkan level rasionalitas kebijakan itu.

Kekeliruan pada level itu, sama nilainya dengan menyodorkan senjata terkokang kepada penegak hukum. Fakta itu akan memudahkan mereka, seperti telah dikemukakan di muka, menyatakan pejabat telah sedari awal bermaksud menyimpang dari hukum. Konsekuensinya sikap bathin pejabat untuk perbuatan itu benar-benar dapat dipersalahkan.

Suka atau tidak semua ini harus masuk dalam daftar kehati-hatian pejabat. Pernyataan presiden mengenai penegak hukum gigit sebisa mungkin “mereka yang nyata-nyata menyimpang dan yang tidak mengikuti aturan, tidak bisa disepelekan. Terlalu mudah bagi penegak hukum untuk menemukan dan merealisasikan pernyataan Presiden itu. Itu soal terbesarnya.

Pada titik ini tidak ada faedah memperdebatkan pernyataan itu akan mengakibatkan pejabat tidak nyama bekerja. Tidak perlu. Jalan terbaik menyambut pernyataan Presiden itu adalah memastikan setiap kebijakan didukung dengan tumpukan yang kredibel, baik menyangkut kuantitas dan kualitasnya. Hanya itu cara menghindar dari kemungkinan diperiksa penegak hukum, lalu ditetapkan menjadi tersangka. Nauzubillaahi minzalik.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

650

Related Post