OPINI

Kemuliaan Dan Kehinaan Karena Kekuasaan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (19/05). Rosulullah SAW diperintahkan membaca dan memahami Al-Qur'an Surat Ali Imron 26. Begitu juga dengan kaum beriman yang biasa membaca Al-Qur'an. Ayat ini berhubungan dengan hakekat dari kekuasaan. Dimana manusia selalu berusaha, dan berlomba untuk mendapatkan kekuasasaan. Demi kemuliaan dirinya. Bunyi terjemah ayat tersebut adalah, "Katakanlah (Muhammad) Wahai Allah Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Ada empat hal kandungan utama ayat Al-Qur’an tersebut. Pertama, Allah adalah pemilik dari segala kekuasaan. Kedua, Allah yang memberikan dan mencabut kekuasaan. Ketiga, Allah yang memuliakan dan menghinakan pemegang kekuasaan. Keempat, segala kebajikan yang berhubungan dengan kekuasaan ditentukan oleh Allah SWT. Ketika orang berlomba dengan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, maka konten ayat ini menjadi penting. Mengingatkan bahwa kebaikan dan kemulian menurut kita itu belum tentu demikian adanya. Kemutlakan dari kemuliaan itu menurut Allah "tu'izzu man tasya".Begitu juga kehinaan "tudhilu man tasya". Keagamaan harus menjadi orientasi. Dahulu, pada masa Pemerintahan Soekarno sampai tahun 1955, masih bagus. Pemilu dengan sangat demokratis. Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 juga baik. Karena kembali ke UUD 1945 dengan penghargaan pada kekuatan politik keumatan. "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945". Setelah itu, terjadi kediktatoran Presiden mulai tampak ke permukaan. Demokrasi Terpimpin, dan Nasakom. Tahun 1965 dalam HUT PKI Soekarno berpidato "Subur Subur Suburlah PKI". Akrab sekali Soekarno dengan PKI. Akhinya kemuliaan yang diperoleh, namun kehinaan yang didapat Soekarno. Masa Pemerintahan Soeharto sampai pembentukan ICMI, ada penghargaan kepada umat Islam. Andai Presiden berhenti saat itu mungkin ceritra kebaikan dominan. Namun para penjilat mendorong untuk terus berkuasa, sehingga tahun 1998 dijatuhkan dengan lebih sakit. Begitulah hukum kekuasaan. Saat lagi bagus-bagusnya, mestinya berhenti. Segera turun dari kekuasaan. Dikiranya berlama-lama di puncak kekuasaan itu membuat sang penguasa mulia di mata rakyatnya. Padahal yang terjadi, justri sebaliknya. Masa pemerintahan setelah Soeharto, "datar datar" saja. Kecuali masa pemerintahan Gus Dur, yang diturunkan rakyat. Karena mencoba membubarkan DPR. Itupun karena didorong-dorong oleh kekuatan "kiri" yang merasa nyaman dengan gayanta Gus Dur. Sekarang, masa pemerintahan Jokowi. rasanya tidak ada penghargaan terhadap kekuatan politik umat Islam. Malah dibilang, jangan campur agama dengan politik, deradikalisasi, dan intoleransi. Menghapus pelajaran perang dalam Islam adalah contoh sentimen yang negative itu. Semestinya Presiden Jokowi membaca tingkat kepercayaan yang rendah tersebut. Sebab Presiden telah menjadi bahan olok olokan. Pertanda penghargaan kepada Presiden sudah sangat rendah. Berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 seharusnya sekarang waktunya untuk Jokowi mundur dari jabatan Presiden. Kalau mundur sekarang, mungkin nama baik masih bisa diselamatkan. Jika terus menjalankan kekuasaan secara kontroversial, seperti akrab dengan RRC, masuknya TKA Cina yang menyalahgunakan fasiltas visa kunjungan untuk bekerja di pabrik peleburan nikel. Begitu juga dengan rencana pindah ibukota, Perppu Otoriter, RUU Omnibus Law Cipta Kerja, dan korupsi yang juga merajalela. Maka bukan mustahil Jokowi bisa diturunkan secara konstitusional. Kembali ke ayat Al-Qur'an, Surat Ali Imron, ayat 26 di atas, maka jabatan-jabatan yang dipegang dan dipertahankan tersebut, belum tentu dapat memuliakan. Bahkan bisa jadi menghinakan kelak. Disinilah, pandangan hidup yang sekularis dan pragmatis telah banyak membuktikan kekeliruannya. Mengabaikan agama dan kekuatan agama di Indonesia, justru akan menuai badai yang bisa menyakitkan nantinya. Tak terkecuali Jokowi atau siapapun. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Soekarno Mencela Muktamar Alim-Ulama Tahun 1957 "Komunis Phobia"

By Prof. Dr. K.H. Buya Hamka Cerita dari almarhum BUYA HAMKA ini, telah dipublikasikan oleh Majalah Panjimas dari tahun 1967-1981, terbitan Pustaka Panjimas halaman 319. Dan telah dirilis kembali oleh Islam Media. Jakarta, FNN - Senin (18/05). Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh dengan tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur dalam menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya. Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden Soekarno bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia”. Dan itu adalah suatu perbuatan yang amoral. Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan. Terdiri dari Parpol dan Ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa syarat (reserve). Malanglah nasib Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, Bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden Soekarno. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Disebabkan kurangnya publikasi atau tidak ada yang berani mendukung konferensi Alim-Ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencaci maki Alim-Ulama kita. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali? Agar menyegarkan ingatan Umat Islam, dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke-IV yang berlangsung bulan Juli tahun 1966 lalu. Sebab Muktamar Alim-Ulama yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa : Ideologi-ajarant komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, dan kafirlah dia. Orang tersebut tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam. Tiada pusaka mempusakai, dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam. Bagi orang-rang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme seperti PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain dengan keyakinan dan kesadaran, mka sesatlah dia. Wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut. Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang tahun 1957 itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. Muhammad Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah, para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presiden Soekarno sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar). Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, Alim-Ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Akibatnya, K.H. Muhammad Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi tersebut, pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan, selama kurang lebih empat tahun. Dan banyak lagi Alim-Ulama yang terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda, bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua penderitaan itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Disamping itu, ada "ulama” lain, yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu. Bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom. Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita. Dalam indoktrinasi pidato-pidato Soekarno, Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Ulama yang dipandang kontra revolusi, yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan. Namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat, karena anti Soekarno, dan anti komunis. Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis. Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia, sebelum Allah membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Alim-Ulama itu. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan ,dan bersyukur dalam kemenangan. Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme /Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”. Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang Alim-Ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para Alim-Ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Sebagai ulama, mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para Nabi. Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya. Seperti yang dialami Nabi Ibrahim A.S. yang dipanggang dalam api unggun yang besar dan bernyala-nyala, ataun seperti yang dialami Nabi Zakariya A.S. yang gugur karena digergaji dan lain-lain. Bgitulah para Nabi utusan Allah itu. Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu. Karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama yang lama. Namun hanya dari peristiwa sejarah yang lalu.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (bagian 1): FPI Ormas yang Sangat Toleran

Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati, kapan dan dimana saja. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TULISAN ini saya buat setelah mengikuti peristiwa penggerebekan atau penutupan lapo tuak di Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara akhir April lalu. Penggerebekan dilakukan masyarakat bersama anggota Front Pembela Islam (FPI) setempat, karena laporan keresahan masyarakat atas lapo tuak yang buka di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam, ke kecamatan dan kepolisian setempat tidak direspon atau ditindaklanjuti Menurut berita yang saya baca di media resmi (bukan media sosial), penutupan paksa lapo (kedai) tuak itu dilakukan karena pemiliknya, seorang perempuan, tidak menggubris permohonan masyarakat sekitar lapo tuak yang mayoritas Muslim agar menutup usahanya, terutama di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam. Bahkan, ada suruhan dari pemilik lapo yang mendatangi pihak FPI, dan diduga menyodorkan sejumlah uang agar kegiatan di kedai itu tetap jalan. Jelas FPI menolak. Sejak kapan FPI mau disogok? Imam Besar Habib Rizieq saja yang dicoba disogok Rp 1 triliun agar membatalkan demo 212 menolak mentah-mentah. Wah, kalau mau disogok, FPI sudah menjadi ormas Islam yang kaya raya, tetapi sudah pasti dicaci-maki dan ditinggal anggota, pendukung dan simpatisannya. Sejak lama, banyak yang berusaha menyogok FPI. Usaha menyogok datang dari berbagai kegiatan bisnis haram, mulai dari importir minuman keras, importir video porno, bandar narkoba, bandar judi (sewaktu judi masih merajalela), sampai tukang sabung ayam. Nah, di media sosial, pihak yang membela pemilik lapo tuak juga menulis macam-macam, mencoba memojokkan dan mengadu-domba antara FPI dan umat Islam. Mereka dengan keangkuhannya menyebut, "Mana toleransi orang Islam. Mau cari makan saja tidak boleh." Ada lagi kalimat, "Saya tidak benci Islam, tapi saya benci FPI. Bubarkan FPI. FPI tidak punya izin." Yang lebih menyedihkan dan membuat emosi, ada tulisan di medsos yang kalimatnya, "Buka warung nasi dan kopi kok dilarang, padahal pintunya sudah ditutup kain, sehingga orang dari luar tidak dapat melihat (yang makan dan minum di dalam)." Padahal, pemilik lapo, Lamaria Manulang jelas mengakui menjual tuak (minuman yang terbuat dari air aren yang dicampur bahan tertentu, sehingga bisa memabukkan). Alasannya, karena ada supir angkot yang memintanya menjual barang haram bagi umat Islam itu. Katanya, tuak untuk obat corona virus diseade 2019 (Covid-19). Waduh hebat sekali ya. Aneh! Siapa sebenarnya sopir angkot itu? Apakah provokator atau hanya alasan yang dibuat-buat perempuan pemilik lapo? Atau sudah kongkalikong antara pemilik lapo dan sopir angkot. Sudah tahu tuak diharamkan umat Islam, kok masih berani menjualnya, terutama di bulan Ramadhan dan di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Facebook saya pun habis-habisan diserang pendukung penjual tuak itu. Dari nama-nama dan marganya, saya pastikan semua Nasrani atau Kristen. Makanya, saya sempat mengirim pesan ke WA Grup, "Saya lagi 'berperang' melawan kelompok B-3." Mereka menyerang dari berbagai penjuru. Mulai dari kata-kata menuding saya pendukung khilafah, pendukung FPI, alumni 212, tidak toleran, kok puasa tidak sabar dan macam-macam. Bahkan menuduh saya seorang radikal. Saya akan mulai dari uraian atas tuduhan mereka tidak toleran atau intoleran dari FPI, umat Islam dan saya. Saya selalu menjawab, betapa indahnya toleransi itu jika masing-masing memahami makna dan artinya. Saya juga sering menjawab, "Jangan ajari saya toleransi." Toleransi dalam pandangan saya memiliki makna yang luas dan dalam. Tidak hanya dalam beragama, tetapi toleransi itu juga menyangkut hubungan antar suku, ras dan golongan. Bahkan, toleransi itu bagi saya juga menyangkut hubungan keluarga, hubungan antar partai dan seterusnya. Sebab, jika makna toleransi itu hanya pada agama, artinya pemahamannya sangat dangkal dan sempit. Apalagi cuma toleransi antar umat beragama. Padahal, ada juga toleransi inter (sesama) umat beragama. Dalam Islam, toleransi sudah dipupuk antara pengikut Mazab Imam Hanafi, Mazab Imam Maliki, Mazab Imam Syafi'i dan Mazab Imam Hambali. Dalam praktik sehari-hari, toleransi antara muslim yang bergabung dalam Nahdhalatul 'Ulama atau NU sebagai pengikut Imam Syafi'i dan Muhammadiyah sebagai pengikut Imam Hambali terus dipupuk dan dibina. Di dalam keluarga saja, misalnya kita harus toleran, saling mengerti dan saling memahami. Jika tidak toleran (misal, suami seenaknya pada istri dan anak-anak), bisa dipastikan ikatan keluarga itu cepat bubar. "Bapaknya kejam, suka mukul, suka berkata kasar dan lain-lain," begitu saya beberapa kali merekam perbincangan dengan wanita yang bercerai dengan suaminya. "Jangan ajari saya toleransi," demikian kalimat yang hampir selalu saya tulis untuk menjawab serangan dari kaum radikal kafir Kristen ke Islam dan saya melalui FB. Kelompok yang menyerang saya menulis beragam kalimat yang sangat menyakitkan dan melukai umat Islam. Saya tahu, mereka memancing saya agar emosi. Akan tetapi, selalu saya jawab dengan kalimat yang logis dan masuk akal. Misalnya, ketika mereka menyebut pimpinan kadrun (kadal gurun, bagi kelompok 212), saya jawab apa adanya. "Pimpinan kadrun (maksudnya Habib Rizieq Shihab), kabur ke luar negeri. Tidak berani pulang. Takut ya dan kalimat lainnya," tulis salah seorang pemilik akun FB. Saya cuma menjelaskan, "Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati. Siap kapan dan di mana pun dibunuh. Akan tetapi, istri dan anak-anak (semua anaknya perempuan) takut dan trauma," jawab saya. Sama halnya saya dan Anda. Kalau cuma diancam dibunuh saya tidak takut, mungkin juga Anda. Tapi kalau sampai istri dan anak Anda diancam dibunuh dan diperkosa, Anda masih berpikir bagaimana menyelamatkan mereka. Lagi pula, cukup wajar dalam setiap pertikaian politik, seseorang yang berseberangan dengan pemerintah mengasingkan diri. Coba banya cerita Nelson Mandela, pemimpin oposisi Filipina, pemimpin oposisi Myanmar dan lain-lain yang mengasingkan diri demi perjuangan menegakkan kebenaran. Intoleran masuk klenteng Kok tidak lapor ke polisi? Percuma melaporkannya. Sebab, ruang zikir Habib Rizieq di Pesantren Mega Mendung, Puncak, Bogor Jawa Barat yang ditembaki orang tidak dikenal dan sudah dilaporkan, tidak ada kelanjutannya. Belum lagi saat Habib Rizieq ceramah di daerah Cawang, Jakarta, dua mobil penuh bensin (satu sudah terbakar) dan meluncur ke arah jamaah dan panggung) juga tidak ada kelanjutannya. Tentang kalimat mereka yang menulis , "Saya tidak benci Islam, tapi benci FPI apalagi izinnya tidak diperpanjang." Saya jawab bahwa berdasarkan undang-undang, tidak diperlukan perpanjangan izin sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) apa pun, tidak hanya FPI. "Jika Anda benci FPI berarti benci Islam juga," tulis saya. Ketika mereka mengeluarkan video ada orang ceramah memakai peci putih, pake koko dan kain sarung menyebut FPI tidak perlu, saya pun mengirimkan video anggota FPI yang melakukan penyemprotan disinfektan di Klenteng, Petak 9, Jakarta. Kalau FPI tidak dibutuhkan dan intoleran, apakah pengelola klenteng akan membiarkan mereka masuk? (Bersambung).** Penulis, Wartawan Senior.

Penjara Setia Menunggu Pejabat Pemberi Likuiditas

By Dr. Margarito Kamis Hukum sudah bergerak lebih jauh dari itu, ia telah berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum sudah dipakai menghancurkan tujuannya sendiri,Ia telah dipakai memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi. Hukum telah menempatkan kekuatan kolektif untuk memihak pihak yang keji yang ingin tanpa pengorbanan diri sama sekali, memanfaatkan kedirian kebebasan dan hak milik orang lain (Frederick Bastiat, Filosof Perancis). Jakarta FNN – Senin (18/05). Kebijakan penyelamatan ekonomi nasional, di dalamnya termasuk menyelematkan korporasi di bidang keuangan, baik maupun non bank, yang dipayungi Perppu Nomor 1 Tahun 2020, telah disahkan DPR menjadi undang-undang. Payung hukum tersebut, kini sedang memasuki babak teknis. Presiden dalam kerangka itu telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020. Ya Tuhan, ternyata judul PP ini lebih panjang dari judul Perppu. Sekadar meringankan ingatan saja. Saya ambil bagian paling awal judul dari PP Nomor 23 Tahun 2020 untuk menyebut PP ini. Saya sebut saja PP ini Tentang “Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional”. Disingkat “PPEN”. Sekali lagi, ini hanya sekadar untuk memudahkan. Bukan untuk mengubahnya. Karena nama PP hanya dapat diubah secara formal dengan PP juga. Presiden Bertanggung Jawab Secara umum, PP mengatur prinsip-prinsip teknis pelaksanaan program, yang tidak terlalu jauh jaraknya dari penjara ini. Disebut umum, karena tidak ditemukan aturan tentang cara menentukan korporasi diberi bantuan likuditas atau tidak. Termasuk berapa besaranya? Lalu kapan diberikan? Termasuk tidak ditemukan di dalamnya ketentuan tentang bagaimana asesmen terhadap derajat kesehatan asset korporasi. Apa kriteria korporasi yang layak mendapat bantuan atau pinjakan likuiditas? Sama-sekali tidak tergambar dalam PP ini. Ini yang sangat menarik. Mengapa menarik? Para pejabat, terutama yang disebut dalam Perpu, khususnya BI dan OJK, terlihat tak mau menanggung sendiri tanggung jawab atas pelaksanaan Perppu ini. Tanggung jawab yang saya maksudkan adalah tanggung jawab hukum. Ini cukup jelas. Kejelasan itu tergambar pada pasal 7 PP ini. Esensi pasal 7 PP ini adalah perumusan, penetapan dan strategi pelaksanaan kebijakan tidak bisa diputus sendiri atau bersama-sama hanya oleh BI dan OJK. Pasal ini memerintahkan dua Menko bidang ekonomi, Menteri, BI, OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) secara bersama-sama merumuskan dan menetapkan strateginya. Tidak itu saja. Kebijakan yang telah dirumuskan oleh mereka, tidak bisa serta-merta dapat ditetapkan menjadi kebijakan pemerintah. Tidak itu. Dalam arti hukum administrasi negara, kebijakan itu harus diberi bentuk hukum untuk dijadikan dasar pelaksanaan. Caranya adalah teknis kebijakan yang telah dirumuskan, harus dibawa lagi ke rapat kabinet. Pada rapat kabinet inilah, Presiden dapat mengundang BI dan OJK. Bila rapat kabinet menyetujui kebijakan yang telah dirancang oleh tim yang disebut pada pasal 7 ayat (1) barulah kebijakan itu dapat dilaksanakan. Ini menarik. Apa yang menarik? Kebijakan itu sepenuhnya memiliki sifat hukum sebagai kebijakan pemerintah. Tanggung jawab atas kebijakan itu beralih dan dipiklul sepenuhnya oleh Presiden. Ini escap bagus buat para pejabat. Harus Diaudit BPK Apakah, dengan demikian pasal 7 PP ini menjadi jebakan kepada Presiden? Tidak bisa berspekulasi. Tetapi apapun itu, para pejabat yang hadir dalam rapat kabinet harus sungguh-sungguh professional. Sekali lagi harus professional. Jauhkan sejauh mungkin sindrom timbang rasa. Semua pengetahuan profesional harus digunakan, sembari mengombinasikannya dengan naluri professional. Argumen profesional dalam rapat kainet itu harus terekam, dicatat. Tujuannya, tentu bagi para pejabat itu adalah untuk memenej ombak yang mungkin datang jauh sesudah kebijakan itu diimplementasi. Apalagi, PP ini jelas tidak menggunakan asumsi pra audit. Yang digunakan adalah post audit oleh BPKP. Ini metode konfensional. Mau telah diaudit atau belum, atau apapun namanya oleh BPKP, hal itu tidak menghalangi BPK melakukan audit. Mau diapakan hasil audit BPK, itu urusan lain. Isu utamanya adalah BPK tak terhalang untuk mengaudit. BPK hanya perlu profesional dan menyatakan apa adanya atas hasil auditnya. Bayangan ketakutan para pejabat yang diserahi kewenangan eksekusi kebijakan ini secara teknis, terutama pemberian likuiditas, terlihat begitu kuat dalam PP ini. Itu terlihat pada pasal 7 ayat (5). Secara esensial ketentuan pasal ini mengatur rapat kabinet dapat menyertakan lembaga penegak hukum dan BPKP. Ini juga escap yang canggih. Cara ini untuk menghindarkan risiko ke person-person pelaksana kebijakan. Sekaligus merupakan cara menyebar tanggung jawab ke semua person yang hadir dalam rapat itu. Tetapi cara ini, dengan alasan tata negara yang bisa diberikan, tidak mengapus tanggung jawab Presiden. Escap ini justru melokalisir. Menempatkan Presiden di pusaran tanggung jawab. Akankah skema tanggung jawab ini berjalan sebagaimana adanya? Tunggu dulu. Ini kan hanya level perumusan dan penetapan kebijakan. Bukan pada pelaksanaan. Dititik inilah masalahnya. Sindrom Penjara Sindrom ini yang sebenarnya membayangi perancang PP ini, dengan cara dimunculkannya pasal 7 itu. Tetapi dilihat dari sudut hukum, masalahnya tidak sepenuhnya selesai hanya dengan menempatkan Presiden pada pusaran pembuatan kebijakan. Masalah sebenarnya pada tanggung jawab hukum – terletak pada pelaksanaan kebijakan. Beban dan penyebaran teknis tanggung jawab, ditentukan secara dominan pada level pelaksanaan kebijakan itu. Inilah yang harus ditimbang secara matang oleh para pejabat yang akan melaksanakan kebijakan secara teknis ini. Pejabat BI, OJK, LPS dan Menteri Keuangan, benar-benar harus cermat secara teknis. Mengapa? Dilihat dari sudut sifat hukum, maka masalahnya adalah apa bedanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Apakah Bank Peserta itu bukan Bank Umum? Bila sama, mengapa yang satu dikategori Bank Peserta? Dan yang lain dalam status yang sama dikategori Bank Pelaksana? Mengapa bank dengan status hukum yang sama difungsikan secara berbeda? Bagaimana kriteria teknis dan hukumnya? Apakah pembedaan kategorisasi Bank sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana didasarkan pada ketersediaan likuiditas bank-bank itu? Bila ya, maka soalnya bagaimana menjelaskan kemungkinan bank Bank Perserta mengalami masalah likuditas, sebagaimana diatur pasal 12 PP ini? Bagus, PP ini mengatur Bank Pelaksana yang memiliki program retsruksisai dengan segala variannya, diberi likuiditas oleh Bank Peserta. Ini terlihat logis. Tetapi masalahnya kebijakan restrukturisasi bank-bank pelaksana terhadap debitur dilakukan atas dasar apa? Apakah dilakukan atas dasar korporasi itu tidak bisa bayar kredit? Apakah korporasi itu tidak bisa ekspansi usaha? Apakah betul mereka bermasalah karena korona? Apakah rill perform korporasi sebelum korona, yang kreditnya direstrukturisasi atau ditambah kreditnya? Tidak perlu ditampilkan secara utuh dan dicek secara profesional seluruh aspeknya oleh Bank Pelaksana. Apakah status asetnya tidak perlu dicek secara detail? Andai mau diperbesar skala kreditnya, tentu oleh Bank Pelaksana, apakah jenis, skala dan prospek usaha korporasi yang hendak diberi tambahan kredit? Apakah tak perlu dicek secara detail? Siapa yang mengecek? Bank Pelaksana atau OJK? Apa yang terjadi bila Bank Pelaksana berkeras harus dicek, tetapi OJK berpendapat lain? Misalnya OJK berpendapat Perppu bukan PP, yang memberi kewenangan kepada mereka untuk memungkinkan korporasi tertentu tak mengumumkan informasi tertentu? Dapatkah terminologi informasi tertentu itu diinterpretasi meliputi asset, jenis usaha baru dan skalanya? Oleh karena telah ditentukan adanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana, maka BI tidak menyediakan likuiditas. OJK disisi lain, apakah juga tidak berwenang terlibat dalam urusan penentu korporasi mana yang perlu dan layak direstrukturisasi kreditnya atau ditambahkan kreditnya? Hebat betul bila BI dan OJK tidak menganggap ini sebagai masalah yang memerlukan analisis cermat. Tetapi apapun itu, cukup hebat, sindrom penjara yang menerpa sejumlah orang di masa lalu dalam kasus BLBI dan Kasus Century. Dua kasus tersebut, telah menuntun dengan sempurna para perancang PP ini. Tuntunan itu bekerja dengan disediakannya sekoci lain. Sekoci itu bernama menyertakan PT Jaminan Kredit Indonesia dan PT Asuransi Kredit Indonesia. Tetapi sekoci ini terlihat tak tangguh. Mengapa? Besar kemungkinan mereka juga memerlukan tambahan likuiditas. Itu diatur dalam pasal 18 ayat (3). Siapa yang memutuskan pemberian likuiditas kepada mereka? BI atau OJK atau Menteri Keuangan atau Bank Pelaksana? Lalu, apa saja parameter teknisnya? Setelah Kekuasaan Berganti Pemerintah memang selalu kaya dengan argumen, terlepas dari kandungan validitasnya. Bermaksud mencegah sindrom likuiditas yang truble pada setiap pemberian bantuan likuditas dengan cara menyertakan Lembaga Penjamin Kredit, tetapi lembaga itu sendiri membutuhkan likuiditas. Inilah yang memperbesar jalan menuju tuntutan hukum. Pembaca FNN yang budiman, niat baik saja tidak cukup menjamin bagi pejabat pelaksana teknis maupun kebijakan. Juga tidak bakal menjadi senjata ampuh untuk menghindar dari sindrom tuntutan hukum nantinya. Untuk itu, lupakan apa yang disebut “mens rea” yang abal-abal itu. Jalan terbaik adalah kenalilah detil semua loophole teknis yang terskemakan dalam PP ini. Tutupilah, dengan cara bangun panduan hukum selengkap mungkin, sebelum jauh memasuki wilayah berbahaya ini. Itulah cara terbaik menjauh dari sindrom tuntutan hukum. Bisa berupa sindrom penjara. Tentu saja sindrom penjara itu tidak sekarang. Kemungkinan itu di masa datang, jauh setelah kebijakan ini sudah dinikmati oleh korporasi. Pemerintah yang berkuasa juga kemungkinan sudah berganti. Sudah sulit untuk memberikan perlindungan hukum dan sejenisnya. Cermati dan kenalilah dengan benar, nama-nama besar pembuat kebijakan likuiditas seperti Sahril Sabirin, Burhanudin Abdullah, Hendro Budianto dan Haru Supratomo. Mereka semua menikmati kamar dan dinding penjara, bukan pada eranya Soeharto dan Habibie berkuasa. Pada saat kebijakan likuiditas itu dibuat. Tetapi mereka bernasip kurang baik, setelah Soeharto dan Habibie tidak lagi berkuasa. Banyak pasal tentang dugaan pelanggaran hukum, yang mungkin sekarang belum terlihat dan terbaca. Karena telah berhasil ditutup dan dikunci dengan sangat rapi. Bahkan tidak ada celah sedikipun. Coba lihat Pasal 27 Perppu Corona. Para pembuat kebijakan teknis sekalipun, tidak dapat dituntut secara hukum, baik itu pidana, perdata maupun tata usaha negara. Setelah kekuasaan ini berganti. Bakal ada saja pasal-pasal tentang pelanggaran hukum dalam kebijakan pemberian likuiditas hari ini yang ditemukan oleh penguasa baru nantinya. Sayangnya, ketika pasal-pasal itu ditemukan, umur dan stamina dari yang menjabat sekarang, sudah tidak lagi mendukung untuk bisa bersyukur menikmati kehidupan di penjara. Semoga saja bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Usir TKA Cina

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (18/05). Spanduk terpampang di Pakanbaru Riau, "Usir TKA Cina dari Indonesia". Spanduk ini cukup menarik. Seolah-olah merepresentasi keterusikan perasaan masyarakat pribumi atas mengalirnya TKA dari Cina. Demikiann juga tekad masyarakat Konawe Sulawesi Tengga, yang menolak kehadiran 500 TKA asal Cina di daerahnya. Pemerintah Daerah mendukung, bahkan siap untuk memimpin gerakan penolakan. Secara terang-terangan Pemerintah Pusat membuka lebar pintu masuknya TKA Cina ke perusahaan yang ada di berbagai daerah. Selain Konawe, juga di Morowali Sulwesi Tengah Tengah dan Weda Maluku Utara. Tekanan berupa penolakan hanya sampai pada kebijakan penundaan. Menko Luhut bahkan telah menyatakan, Juni dan Juli nanti, 500 TKA Cina itu akan masuk lagi. Terkesan pak Menteri ini pasang badan untuk kedatangan pekerja dari Cina. Dalihnya, adalah mereka merupakan tenaga ahli yang dibutuhkan oleh perusahaan. Kekhawatiran dan keprihatinan atas banjirnya TKA Cina di tengah jutaan tenaga kerja lokal kita yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah membawa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bangkit dan angkat bicara. MUI prihatin dengan membanjirnya TKA Cina ke Indonesia. MUI seluruh Indonesia telah menyatakan sikap, untuk mengawasi dan mewaspadai kedatangan TKA Cina di seluruh daerah Indonesia. Meminta seluruh jajaran MUI agar melaporkan ke pihak berwenang bila mencurigai adanya TKA Cina yang datang. Apalagi jika sampai ditemukan penggunaan KTP palsu. Setingkat kata, para Ulama yang tergabung dalam MUI telah bereaksi atas kedatangan TKA Cina. Ini sinyal serius dan bahaya. Ada aspek keagamaan yang terancam atau terdampak. Mungkin juga aspek ideologi dan keamanan. Ada kekhawatiran tenaga kerja yang datang adalah penyusup. Badan tegap dan rambut cepak, khas penampilan tentara. Wajar saja para TKA Cina itu cukup menjadi alasan atas kecurigaan. Keadaan ini menyentak, dan menjadi perhatian khususnya bagi rakyat. Seharusnya juga menjadi perhatian Pemerintah. Ada lima hal yang perlu untuk mendapat penekanan. Pertama, perlu keterbukaan mengenai hubungan sebenarnya RI dengan RRC, apakah semata bisnis atau juga politis? Apa isi MOU atau Perjanjian yang telah dibuat, baik G to G maupun B to B. Semuanya harus dibuka ke publik. Presiden harus menggunakan mimbar kebesaran di Istana negara dan berpidato untuk masalah ini. Biar semua masyarakat mengetahui. Kedua, berapa sebenarnya target TKA Cina yang akan didatangkan ke Indonesia? Bagaimana proporsi dan hubungan kerja dengan tenaga local? Baik itu aspek penggajian maupun fasilitas lainnya? Ini juga harus dibuka ke publik. Biar semua masyarakat paham. Ketiga, filter atau acuan apa yang disiapkan Pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari masuknya TKA Cina ke Indonesia? Dalam rangka menghindari penyusupan oleh tentara Cina maupun penyebaran ideologi komunis. Ini juga harus disampaikan ke publik. Biar semua masyarakat bisa mengerti. Keempat, bagaimana jaminan sistem keamanan rahasia negara dengan kedekatan hubungan antar kedua negara? Adakah kewaspadaan terhadap para pengusaha taipan yang mungkin juga menjadi agen rahasia dari negara RRC ? Ini juga harus disampaikan ke publik. Biar semua masyarakat menyadarinya. Kelima, perlu pendataan akurat dari seluruh etnis yang ada di Indonesia (Jawa, Sunda, Minang dan lainnya) termasuk etnis Cina. Mengingat RRC atau PKC senantiasa menempatkan warga Cina diaspora menjadi bagian dari perjuangannya. Hal ini penting sekurangnya untuk strategi pembauran. Tanpa melanggar UU Kewarganegaraan tentunya. Persoalan penolakan bahkan "Usir TKA Cina" tidak boleh dianggap enteng atau diabaikan oleh Pemerintah. Ini harus dipandang sebagai keresahan yang harus terklarifikasi dan terpola bagi solusi aman dan menenangkan. Jangan tunggu sampai sudah men jadi masalah baru bergerak. Seperti pada awal-awal penanganan pandemi virus Covid-19 yang terkesan lambat dan anggap enteng. Ada kekhawatiran dari rakyat dan bangsa Indonesia bahwa setelah mengalami penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, maka kini ancaman penjajahan itu datangnya Cina. Sama seperti yang terjadi pada Belanda dulu. Yang awalnya adalah sebatas pada hubungan bisnis dan urusan investasi semata. Tetapi ujungnya adalah aneksasi dan kolonialisasi. Adakah kerjasama maritim, investasi, dan hutang luar negeri saat ini merupakan road map menuju penjajahan? Pemerintah Jokowi mesti menjawab dengan bukti-bukti. Bukan dengan basa-basi atau janji-janji lagi. Rakyat semesta kini menuntut kebenaran dan kejujuran. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

PLN Dicengkram Oligarki Listrik Swasta & Bankster

By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Senin (18/05). Sangat mengagetkan sekali. Sumber kredibel dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), BUMN non financial dengan asset terbesar di tanah air menyebutkan, sebagian besar, yakni sekitar 70% biaya operasional PLN bersifat regulated. Artinya, manajemen tidak akan secara leluasa untuk melakukan langkah dan strategi dalam menekan biaya (cost). Padahal komponen cost ini sekarang sudah sangat membebani operasional PLN. Pada saat penurunan harga energy primer seperti sekarang, seharusnya PLN dapat menekan biaya-biaya secara significant. Namun sangat disayangkan. Sebab ternyata manajemen PLN tidak dapat melakukan apa-apa untuk menekan biaya opresional. Ini dikarenakan seluruh biaya telah dicengkram oleh berbagai peraturan dan kontrak-kontak sebelumnya. Seperti sudah tersandera dari awal. Salah satu komponen cost yang paling besar adalah skema atau aturan mengenai pembelian listrik swasta. Dalam laporan keuangan, disebutkan bahwa pada tahun 2015 PLN dan entitas anak perusahaan terikat penjanjian dengan Penghasil Listrik Independen (IPP) “take on pay”. Artinya, PLN dengan entitas anak perusahaan mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang dihasilkan pembangkit listrik IPP. Jenis perjanjian “take on pay” ini ditetapkan sebagai sewa pembiayaan. Dimana porsi paling signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah dialihkan ke PLN dan anak perusahaan. Penjelasannya, masa sewa berlaku untuk sebagian besar umur ekonomis aset. Selain itu, terdapat opsi beli pada akhir masa sewa kelak. Listrik yang dihasilkan pembangkit listrik PLN dan listrik yang dibeli PLN dari IPP Swasta dalam skema “take or pay” tersebut, selanjutnya dijual oleh PLN kepada masyarakat. Nilai penjualan listrik PLN pada tahun 2017 lalu mencapai Rp. 263,477 triliun. Sementara pendapatan usaha PLN secara keseluruha mencapai Rp. 272,897 triliun. Jadanya, PLN dan anak perusahaan harus nombok Rp. 9,420 triliun. Akibatnya adalah beban usaha PLN sangat besar. Sebagian besar dari beban usaha PLN itu telah regulated. Sulit untuk dikurangi atau ditekan beban tersebut, dikarenakan beban sebagian besar bersumber dari regulasi dan berbagai UU dan Peraturan Pemrintah yang telah mematok harga energy primer. Pemerintah yang menentukan ukuran penyusutan melalui revaluasi asset, dan kontrak-kontrak pembelian listrik oleh PLN kepada sawasta. Jumlah beban usaha PLN selama tahun 2017 mencapai Rp. 308,188 triliun. Beban usaha tersebut terdiri dari beban bahan bakar dan pelumas. Beban usaha ini adalah merupakan komponen terbesar dalam beban PLN. Nilainya mecapai Rp. 137,266 triliun atau sebesar 44.5 % dari total biaya. Beban usaha terbesar kedua adalah pembelian listrik swasta. Nilanya Rp. 84,267 triliun atau 27,3% dari total biaya. Beban usaha terbesar ketiga adalah penyusutan, yang nilainya mencapai Rp. 30,744 triliun. Selanjutnya adalah pemeliharaan, dengan nilai Rp. 20,737 triliun. Nilai penyusutan yang terbesar bersumber dari revaluasi asset yang dilakukan PLN, dengan meningkatkan nilai asset hingga mencapai 150%. Penyesuaian ke nilai terpulihkan atas asset yang menggunakan model biaya, dan penyesuaian ke nilai terpulihkan atas asset tetap yang menggunakan model revaluasi, serta melebihi saldo surplus revaluasi. Untuk asset tetap tersebut dicatat sebagai beban lain-lain yang merupakan bagian dari penghasilan (beban) lain-lain bersih. Beban penyusutan dan pemeliharaan sangat besar, mecapai 16.7% dari total beban operasional PLN di tahun 2017. Beban keuangan lainnya adalah beban kepegawaian PLN. Nilainya terbilang besar. Mencapai Rp. 22,950 triliun. Jumlah pegawai PLN pada akhir Desember 2018 sebanyak 54.255 orang. Produktivitas pegawai pada tahun 2018 mencapai 4.324 MWh/pegawai dan 1.326 pelanggan/pegawai. Dengan demikian, setiap pegawai PLN dapat menerima upah Rp. 423 juta setiap orang setiap tahun. Beban operasional PLN sangat tinggi, karena harus membeli energy primer, yakni minyak, gas, dan batubara yang sangat mahal. PLN harus menanggung beban pemeliharaan pembangkit yang tidak lagi produktif. PLN juga menanggung beban penyusutan akibat revaluasi asset. Nilai beban usaha PLN secara keseluruhan selama tahun 2018 mencapai Rp. 308,188 triliun. Sangat besar dibandingkan kemampuan penjualan perusahaan, yang nilainya hanya mencapai Rp. 263,477 triliun. Akibatnya, kerugian tahun 2018 berdasarkan laporan keuangan Rp 7,366 triliun. Beban usaha PLN ini, belum lagi ditambah dengan kerugian akibat harus membeli semua energy primer dan listrik swasta dengan dolar. Sementara harus menjual listrik ke masyarakat dalam mata uang rupiah. Ini sangat buruk sekali dikarenakan penerimaan dengan rupiah. Sementara kewajiban dalam dolar. Bebarapa tahun terakhir, rupiah dianggap sebagai mata uang “sampah”. Sebab kenyataanya rupiah yang sangat rentan terhadap depresiasi. Akibatnya, kerugian kurs mata uang (loss on foreign asing) bersih yang dialami oleh PLN mencapai Rp. 10,926 triliun. Sangat mengkuatirkan praktek keuangan macam ini. Pada bagian lain, PLN juga harus berdarah-darah menghadapi beban bunga yang sangat besar. Jauh di atas rata rata beban bunga yang dihadapi perusahaan BUMN lain. Akibatnya PLN menderita beban keuangan sangat besar mencapai Rp. 21,624 triliun atau sekitar 7% dari beban perusahaan secara keseluruhan. Jumlah itu setara dengan seluruh beban karyawan perusahaan tersebut. Selamat menjalsakan ibadah puasa. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Berat Beban Luhut Pandjaitan Menghadapi Said Didu

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Menyusul laporan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) ke polisi, mantan sekretaris Menteri BUMN Muhammad Said Didu (MSD) sudah diperiksa Bareskrim Polri, Jumat (15/5/2020). Pemeriksaan berlangsung 12 jam. Pak Luhut memberikan teladan yang baik. Dia menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan. Dia merasa MSD mencemarkan nama baiknya. Pantas diapresiasi. Pak Luhut memang perlu membela namanya yang selalu baik itu. Mungkin baru kali ini beliau merasa ada orang yang merusak nama baiknya. Pak Luhut mulanya menyampaikan somasi. Menuntut permintaan maaf dari Pak Said. Supaya tidak dibawa ke polisi. Tetapi, Pak Said tidak meminta maaf. Dia merasa tidak mencemarkan nama baik LBP. Ketika dia dalam obrolan dengan Hersubeno Arief mengatakan: “…di dalam kepala Luhut itu hanya ada uang, uang dan uang…”, Pak Said mengatakan bahwa yang dia persoalkan adalah perilaku seorang pejabat negara yang hanya memikirkan soal ekonomi di tengah kondisi yang sedang sulit. Bukan mengatakan bahwa Luhut hanya memikirkan keuntungan pribadi. Tetapi, bagi Pak Luhut, ucapan MSD itu dianggap sebagai serangan pribadi. Karena MSD tidak mau meminta maaf, Pak Menko pun melanjutkannya ke Bareskrim. Sekarang, akan berlangsung pertarungan hukum. Sesuatu yang tentunya sangat menarik untuk disaksikan. Pak Luhut diwakili oleh empat advokat hebat. Sedangkan Said Didu dibela oleh puluhan pengacara. Mungkin ratusan. Semuanya pengacara relawan. Siapakah yang ‘kuat’ diantara kedua pihak yang berperkara ini? LBP atau MSD? Luhut tentu sangat kuat. Karena beliau memang ‘orang kuat’. Pertama, dia adalah tangan kanan Presiden. Kekuasaannya di pemerintahan sangat besar dan luas. Kedua, dia memiliki jaringan solid yang menjangkau ke seluruh penjuru. Ketiga, LBP memiliki ‘unlimited resources’ yang mampu mengirimkan pesan kepada semua orang bahwa dia adalah ‘orang kuat’. Bagaimana dengan Said Sidu? Dia mantan pejabat. Tidak punya kekuasaan. Apalagi sekarang dia beroposisi. Tetapi, opini publik ada di belakang Said. Sentimen kekinian juga berkubu ke tokoh Sembilan Oposisi harapan rakyat ini. Selain itu, paket semangat terbesar dikirimkan oleh 800-an pensiunan tentara dan polisi. Dari yang berpangkat rendah sampai yang tertinggi. Ada sersan, ada peltu, ada kapten, mayor, letkol, kolonel, AKBP, dlsb.Diantara yang mendukung itu ada 34 brigjen dan 14 mayjen. Ada satu jenderal berbintang tiga, dan satu bintang empat AL yaitu Laksamana Slamet Subianto (mantan KSAL). Semuanya pensiunan. Jurubicara Luhut, Jodi Mahardi, mengatakan nama para jenderal itu dicatut. Tetapi, sejauh ini para jenderal tidak mengatakan nama mereka dicatut. Paket semangat juang dari para jenderal ini sangat penting bagi Pak Said. Dukungan mereka membuat Pak Luhut seperti mantan jenderal yang tak berteman. Terkucil sendirian. Siapakah yang paling berat bebannya dalam perkara ini? LBP atau MSD? Yang jelas, Said Didu dipersepsikan memiliki pijakan moral yang kuat. Dilihat sebagai pejuang rakyat. Yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Dan tidak memiliki kepentingan pribadi apa pun. MSD tak punya beban apa-apa. Sebaliknya, Pak Luhut dianggap memperkarakan Said tanpa landasan moral. Dia dipandang sebagai penguasa yang sewenang-wenang. Yang arogan. Tidak membela rakyat. Siapakah yang akan menang? Bagi masyarakat, Said Didu sudah menang sejak awal. Masuk penjara pun dia, Said tetap dianggap menang. Bahkan dianggap sebagai pahlawan rakyat. Sebaliknya, Luhut akan dilihat sebagai orang yang kalah sejak awal. Meskipun dia nanti berhasil memenjarakan Said. Yang menjadi masalah, bagaimana kalau MSD tak terbukti mencemarkan nama baik LBP? Siapkah Luhut kalah dalam kasu ini? Tampaknya, dilematis bagi Pak Menko. Sebab, kalau tak terbukti bersalah, publik akan menafsirkannya dengan sederhana bahwa Said benar. Jadi, berat beban Pak Luhut menghadapi Said Didu.[] 17 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Akurasi Diragukan, "Rapid Test" Produk China Dijual Mahal di Indonesia

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Berdasarkan laporan hasil investigasi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama majalah berita mingguan TEMPO menyebut, tiga merek alat rapid test yang diragukan akurasinya, yakni Biozek, VivaDiag, dan Wondfo. Misalnya, pada 30 April 2020 lalu, hasil tes VivaDiag terhadap 443 warga Banjar Serokadan, Kabupaten Bangli, Bali, menunjukkan hasil positif. Belakangan, setelah mereka menjalani uji usap atau swab test, hanya ada satu orang yang positif corona. Direktur PT Kirana Jaya Lestari, Aurelia Ira Lestari, perusahaan yang mengimpor VivaDiag, menyatakan alat VivaDiag bernomor 3097 sudah ditarik dari seluruh fasilitas kesehatan. Tapi di lapangan, VivaDiag sudah terlanjur dipakai untuk rapid test. Dua dari 3 merek alat rapid test yang diragukan akurasinya dipakai di NTB. Yakni VivaDiag dan Wondfo. ”Itu kami dapat bantuan dari pusat, silahkan wawancara sama BNPB,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan NTB dr Hj Nurhandini Eka Dewi, Senin (11/5/2020). Melansir LombokPost, Selasa (12 Mei 2020 10:23 am), dalam uji cepat terhadap pedagang di Pasar Mandalika, para petugas medis menggunakan alat bermerek VivaDiag. ”Alat ini kami terima dari provinsi,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram dr H Usman Hadi. Hasilnya, dari 23 sampel yang diperiksa, 2 orang reaktif. ”Kami sudah minta untuk istirahat dulu, karantina mandiri salama 14 hari,” kata Usman. Selanjutnya, Dinas Kesehatan Mataram berkoordinasi dengan RSUD untuk dilakukan uji swab agar hasilnya akurat. ”Selama karantina, kedua pedagang yang reaktif akan dipantau,” katanya. Terkait akurasi alat tes cepat itu, Usman menjelaskan, penggunaan alat tes mengacu pada beberapa hal. Antara lain, adanya rekomenasi dari BNPB dan ahli patologi. Kemudian apakah barang itu tersedia di pasaran atau tidak? Pertimbangan lainnya, jika dalam pemakaiannya alat itu menggunakan darah tetes, mereka tidak akan menggunakannya. ”Kita pakai darah serum istilahnya itu, supaya lebih valid,” jelasnya. Dalam tes cepat lalu, mereka menggunakan darah serum sehingga secara medis lebih akurat. Meski mereknya VivaDiag atau Wondfo, ia tidak terlalu mempersoalkan. Pada kotak alat tes itu tertulis merek VivaDiag, didistribusikan PT Kirana Jaya Lestari. Dalam laporan Tempo, PT Kirana mendatangkan 900 ribu alat tes itu dari perusahaan China, VivaChek Biotech Hangzhou Co Ltd. Pihak perusahaan disebut sudah menarik VivaDiag bernomor 3097 dari seluruh fasilitas kesehatan. Sementara itu alat bermerek Wondfo Biotech diproduksi di Guangzhou, China. Pantauan Lombok Post, alat bermerek Wondfo ini digunakan untuk rapid test seluruh staf khusus dan pekerja di lingkungan pendopo gubernur dan wakil gubernur NTB, 15 April 2020. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, produk rapid test dengan merek VivaDiag sudah memenuhi rekomendasi. “Itu sudah sesuai rekomendasi Gugus Tugas, ada di daftarnya,” kata Wiku kepada Tempo, Ahad, 3 Mei 2020. Dalam daftar rekomendasi rapid diagnostic test (RDT) antibodi Covid-19 per 21 April 2020, merek VivaDiag berada pada urutan ke-13. Alat tes itu diproduksi oleh VivaChek Biotech (Hangzhou) Co., Ltd dan diimpor oleh PT Kirana Jaya Lestari. Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga memberikan rekomendasi pembebasan bea masuk dan pajak impor pada PT Kirana Jaya Lestari, yang tertuang dalam surat rekomendasi pada 31 Maret 2020. Perusahaan ini mengimpor rapid test VivaDiag sebanyak 900 ribu unit. Wiku menjelaskan, produk-produk rapid test yang direkomendasikan Gugus Tugas, termasuk VivaDiag, sudah terdaftar di WHO. Kemudian sesuai standar internasional dan memenuhi persyaratan untuk diadakan. “Jadi tiap pihak bisa membeli produk itu sesuai yang direkomendasikan,” katanya, mengutip Tempo, Minggu (3 Mei 2020 20:12 WIB). Terkait pro dan kontra penggunaan rapid test merek VivaDiag di Bali, Wiku menilai ada banyak faktor yang mempengaruhi. Ia mengatakan, sensitivitas dan spesifitas alat tes harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, Wiku menyebutkan, alat tersebut selalu disimpan dalam suhu ruangan 20-25 0 C mulai dari produksi hingga penggunaan. Kemudian cara menggunakannya sesuai instruksi. Kualitas barang ketika diimpor juga harus dicek. Tidak hanya VivaDiag dan Wondfo. Alat uji cepat Biozek yang didatangkan PT Kimia Farma dari Belanda diduga juga bermasalah. Hasil investigasi OCCRP bersama Tempo menunjukkan alat itu diproduksi di China. Sejumlah penelitian pun menunjukkan akurasi Biozek rendah. Dijual seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah per unit, Biozek telah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Istana. Begitu laporan Tempo Edisi 09-05-2020 berjudul Teperdaya Tes Corona. Asisten Manajer Pengadaan Langsung Strategis PT Kimia Farma, Pandji Yudha Yudistira, bertandang ke Apeldoorn, kota kecil di Provinsi Gelderland, Belanda, pada Selasa, 7 April 2020. Ia langsung mengunjungi kantor perusahaan farmasi Inzek International Tranding BV untuk mengecek peralatan rapid test merek Biozek. “Saya ke sana memastikan barang tersebut ada dan jumlahnya sesuai dengan yang kami minta,” kata Pandji. Diimpor oleh PT Kimia Farma, peralatan rapid test atau uji cepat virus corona merek Biozek mulai beredar di Indonesia pada pertengahan April lalu. Perusahaan pelat merah ini membeli 300 ribu unit rapid test kit dari perusahaan asal Belanda, Inzek International Trading BV. Belakangan ini, Organized Crime and Corruption Project (OCCRP), media investigasi yang berkolaborasi dengan Tempo menemukan peralatan uji cepat Biozek tidak diproduksi oleh Inzek International Trading BV itu. Chief Executif Officer Inzek International Tranding BV Zeki Hamid mengakui, alat rapid test Biozek diproduksi di China. Mengklaim untuk menolong sesama. Tempo mengungkap, di sejumlah fasilitas kesehatan, biaya pelayanan tes bisa cepat mencapai lebih dari Rp 500 ribu. Di salah satu rumah sakit swasta di Kota Bogor, Jawa Barat, biaya uji cepat dengan Biozek mencapai Rp 550 ribu. Sedangkan di laboratorium klinik Kimia Farma yang dihubungi Tempo, biayanya Rp 650 ribu. Penelusuran OCCRP menunjukkan harga pasaran Biozek sebenarnya hanya 5 euro atau sekitar Rp 80 ribu per unit. Seorang pejabat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan harga beli Biozek tak sampai US$ 3 per unit atau di bawah Rp 45 ribu. Alat rapid test Virus Corona atau Covid-19 produk China yang beredar di Eropa juga sempat diprotes karena faktanya tidak akurat. Akhirnya, Pemerintah China memperketat pengawasan terhadap ekspor alat rapid test setelah muncul keluhan dari negara-negara di Eropa itu. Melansir Merdeka.com, Kamis (2 April 2020 11:05) eksportir kini wajib mendapat sertifikat registrasi dari National Medical Products Administration (NMPA) agar dapat memperoleh izin bea cukai China. Seperti dilansir Reuters, Kamis (2/4/2020), ekspor kit rapid test ini berawal dari permintaan Beijing pada perusahaan-perusahaan farmasi di China untuk membantu memerangi pandemi virus corona. Hal itu disambut pada lonjakan perusahaan yang menawarkan alat tes ke negara-negara yang putus asa untuk menangani penyakit yang sangat menular itu. Karena longgarnya aturan ketika itu, beberapa pembuat alat uji China telah memanfaatkan peraturan Uni Eropa untuk memasukkan produk mereka ke pasar sebelum disetujui di dalam negeri. Pada Maret, Lei Chaozi, seorang pejabat di Departemen Pendidikan, mengatakan alat uji buatan China telah dipasok ke 11 negara, termasuk Inggris, Italia, dan Belanda. Boleh jadi, karena sudah dianggap "tidak bernilai", Biozek yang ada di Belanda itu dijual murah ke Kimia Farma. Tidak ada salahnya jika RS Rujukan Corona di Indonesia hati-hati dan waspada! Penulis Wartawan Senior.

Siap-siap "Herd Immunity", Bawalah Probiotik Siklus sebagai Bekal!

Sebuah testimoni Probiotik Siklus disampaikan oleh seorang Kepala Puskesmas di salah satu wilayah zona merah Covid-19 di Jawa Timur. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ijin sedikit testimoni saya menyampaikan Biotoksi (titipan tim Biosyafa melalui dr FM) utk 3 orang paramedis dan 1 orang dokter yang terkonfirmasi swab positif covid dan menjalani karantina mandiri. Dosisnya adalah untuk DEWASA: Biotoksi: 3 x 1 sendok takar; Bioimune: 3 x 1 sendok takar; Biozime super: 3 x 10 tetes. NB: kalau saya suka cara minumnya begini. Ambil air setengah gelas tambahkan semua produk Probiotik di atas sesuai dosis, aduk, tambahkan madu 1 sendok takar. Untuk Anak-Anak < 13 tahun: Biotoksi: 2 x sepertiga sendok takar; Bioimun: 2 x sepertiga sendok takar;Biozime super: 3 x 3 tetes. Cari cara yang menyenangkn untuk diminum anak anak. Untuk keluarganya juga saya anjurkan minum untuk pencegahan. Untuk 2 kasus paramedis, (kebetulan bersamaan/cluster TKHI). Mulai konsumsi tgl 15 April 2020 Swab kedua tgl 13 April 2020, keluar hasil tgl 21 (hasil masih positif). Swab ketiga tgl 20 April 2020, keluar hasil tgl 30 April (negatif). Alhamdulillah biidznillah. Testimoni dari seorang dokter, apalagi dia menjabat Kepala Puskesmas itu tentu tidak main-main. Bahwa selama ini masih belum ada obat atau vaksin untuk menghadapi pandemi Covd-19 atau Virus Corona, adalah benar. Tapi, jika ada sebuah formula Probiotik Siklus dengan nama Biosyafa yang ternyata berhasil menyembuhkan pasien positif corona, tidak bisa diabaikan begitu saja. Apakah upaya untuk membantu pasien supaya sembuh tetap disalahkan? Hal serupa juga disampaikan guru besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU, D.Sc. Karena itu mulai disarankan untuk berdamai dengan si Covid-19. Dilihat dari ilmu biologi, katanya, penyebaran Covid-19 tidak bisa diputus. Sebab proses mutasinya yang begitu cepat dapat menimbulkan varian baru dari virus ini, sehingga menyebabkan manusia kesulitan membuat vaksin maupun obat anti virus. Dengan kondisi ini yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan agar tidak terlalu banyak orang masuk rumah sakit hingga melebihi kapasitas akibat Covid-19 ini. Virus ini akan selalu ada, sehingga banyak orang mengharapkan adanya Herd Imunity. Yakni kekebalan tubuh pada suatu populasi. Herd Imunity ini juga tidak bisa lagi diharapkan karena saat Covid-19 dibawa ke lokasi lain dan dibawa lagi bisa masuk ke tubuh orang yang sudah kebal sehingga timbul pandemi baru. “Melihat kondisi seperti ini, saya pikir masyarakat harus move on. Tidak perlu berharap hilangnya virus Corona dengan putusnya mata rantai penularan 100 persen. Kita tidak bisa lagi hidup normal kembali seperti semula,” ujar Prof. Sutiman. Menurutnya, berbagai program kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam menangani Covid-19 ini seperti social distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun lockdown total sekalipun sepertinya sudah terlambat. Hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah mempersiapkan diri atau memulai menyusun tatanan dunia baru bersama Covid-19. Dengan target bukan memberantas virus melainkan menekan jumlah orang yang terinfeksi bersamaan serendah mungkin. Persiapan yang bisa dilakukan, yakni untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak bersentuhan atau menjaga jarak dan mengenakan masker. Ia menjabarkan bahwa keadaan seperti ini sejatinya sudah pernah dialami yakni saat Demam Berdarah menyerang. Tidak bisa memberantas, yang bisa dilakukan adalah dengan pencegahan. Kenyataannya pun orang meninggal akibat demam berdarah atau malaria masih terus ada. “Korban meninggal akibat demam berdarah karena kedisiplinan menguras bak mandi, menghilangkan atau menutup rapat genangan air tidak bisa dijalani dengan 100 persen oleh penduduk,” terangnya. Sama halnya dengan Covid-19. Tidak bisa sepenuhnya hilang akan terus ada mutasi bahkan jenis baru. Sehingga, yang perlu dilakukan masyarakat adalah dengan hidup di lingkungan baru, tambahan perilaku serta sosialisasi luas tentang hidup bersih. Tata kehidupan baru tersebut misalnya, tetap menjalani keseharian normal namun ditambah empat perilaku yang telah dianjurkan. Yaitu dengan jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dan bersihkan barang-barang yang dipegang banyak orang bergantian. Prof. Sutiman melanjutkan bahwa perilaku lainnya yakni masyarakat tidak boleh bersin dan meludah sembarangan agar tidak tertular Covid-19. Apabila sudah menerapkan hidup bersih dengan tambahan empat perilaku tersebut masker tidak harus dipakai apabila jaga jarak terpenuhi. Shaf salat berjamaah bisa tetap dirapatkan asal semua pakai masker. Sanitasi benda-benda tidak harus dilakukan terus menerus dalam jangka waktu yang pendek asal rajin cuci tangan. Cuci tangan tak harus terus menerus kalau benda-benda sekitar dijaga kebersihannya. “Untuk itu perlu program sosialisasi yang baru agar tidak banyak orang menganggap berat berubah ke perilaku baru ini. Perlu diingat bahwa perilaku baru ini juga berguna untuk mencegah penularan penyakit-penyakit lain,” tegas Prof. Sutiman. Perilaku baru ini hampir sama dengan aturan dalam berlalu lintas. Jumlah kecelakaan akan bisa ditekan apabila semua pengguna jalan mematuhi peraturan. Untuk itu, mulai sekarang mulai mempersiapkan hidup dengan Covid-19. Sebab selain perilaku baru, Indonesia juga diuntungkan dengan indeks Ultraviolet (UV) yang tinggi di atas 11. Artinya orang Indonesia telah terbiasa dengan dan mampu beradaptasi. “Berada di luar ruangan justru lebih aman dibandingkan dengan di dalam ruangan terus menerus. Kita lihat di Indonesia orang yang terinfeksi justru mereka yang bekerja di dalam ruangan. Ini menunjukkan bahwa udara luar lebih bersih dari Covid-19,” paparnya. Di dalam ruangan Covid-19 bisa berputar-putar di area tersebut dan mampu bertahan 8-10 jam sehingga kemungkinan menularkan ke orang lain lebih cepat. Namun perlu diingat pula meski indeks UV tinggi tapi bila di wilayah tersebut juga memiliki pencemaran tinggi maka kemampuan UV untuk menonaktifkan virus tidak berguna lagi. “Jangan berharap Covid-19 hilang dari Indonesia. Tapi mulailah mempersiapkan masyarakat untuk mengarah ke perilaku baru tersebut,” lanjut Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UB ini, seperti dilansir Edisi.co.id. Menurutnya, dunia ini tidak akan pernah bebas dari Covid-19 apalagi saat ini sangat sulit menyatukan negara untuk melawan virus ini. Sebab masing-masing negara memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau masyarakatnya. Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyosialisasikan perilaku dari tatanan baru ini. Yang jelas, dampak dari Covid-19 ini memang telah mengubah tatanan masyarakat. Seperti yang terjadi di Surabaya. Menyusul cluster Sampoerna, setidaknya 49 orang kini sedang dikarantina, setelah 74 rapid test reaktif, sedang dalam pengawasan. Kemudian, daerah Kedung Baruk, kabarnya 96 rapid test reaktif juga. Sedih dapat curhatan dari relawan. Ada anak-anak yang perlu perhatian karena bapak-ibunya harus dipindah-dikarantina di suatu tempat (tesnya positif, sementara anak-anaknya negatif). Siapa yang ngopeni…. ngasih makan sehari-hari selama 14 hari? Jika ingin berdamai dengan corona, seharusnya Presiden Jokowi segera mengambil langkah strategis seperti yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas di Jawa Timur tadi. Yang, mungkin juga telah pula dilakukan oleh dokter-dokter lain di Indonesia. Karena, kabarnya, sudah banyak dokter yang telah mengaplikasikan Probiotik Siklus untuk yang terpapar Covid-19 di kalangan dokter, paramedis, dan warga yang sembuh. Penulis Wartawan Senior.

Jubir Presiden Fadjroel Kok Lama Tidak Muncul?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ada yang sempat memperhatikan tidak? Lebih dari satu bulan terakhir Juru Bicara (Jubir) Presiden Fadjroel Rachman kok tidak ada kabar beritanya? Pernyataan, penjelasan dan wajahnya tak pernah nongol di media. Dia menghilang dari peredaran. Tidak muncul di publik. Ada apa?Negara tengah menghadapi situasi darurat. Bencana kesehatan, ekonomi, dan dikhawatirkan merambat ke politik. Komunikasi publik pemerintah juga sedang acakadut. Perlu penanganan serius. Antara satu pejabat dengan pejabat lainnya saling bantah. Berbalas pantun. Pernyataan dan aktivitas Presiden bahkan beberapa kali harus dijelaskan dan diluruskan. Dalam posisinya sebagai Jubir Presiden, Fadjroel harusnya selalu tampil. Memainkan peran penting. Menjelaskan, menafsirkan, dan kalau perlu meluruskan kebijakan pemerintah, khususnya Presiden. Biar publik tidak bingung. Biar kebijakan pemerintah dan pernyataan Presiden tidak disalahpahami publik. Bukankah itu tugas utamanya?Bumper utama Presiden. Harus pasang badan bila ada salah ucap, salah komunikasi. Turun tangan bila ada miss-interpretasi. Untuk itu lah dia diberi jabatan tinggi. Dibayar tinggi sebagai Staf Khusus Presiden dengan penugasan sebagai Jubir. Dia adalah kepanjangan lidah Presiden. Apa yang dia sampaikan akan dipahami publik sebagai sikap resmi Presiden. Silakan Googling deh. Bisa jadi salah. Yang sering muncul malah figur lain. Kalau tidak Bey Mahmudin, ya Donny Gahral Adian. Bey adalah Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden. Sementara Donny jabatannya adalah Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP). Jelas terlalu tinggi kalau harus menjelaskan, apalagi meluruskan pernyataan menteri dan Presiden. Pamali! Bisa kualat! Kayak buah jambu monyet yang bijinya di bawah. Dilihat dari tugas pokok dan fungsinya, Bey bertugas mengelola kegiatan keprotokolan, pers, media dan informasi. Sifatnya teknis dan administrasi. Tapi coba perhatikan. Belakangan ini semua kegiatan, maupun “pelurusan” informasi Presiden Jokowi semua datangnya dari Bey. Bukan Fadjroel. Yang paling aktual adalah soal pernyataan Jokowi mengajak warga berdamai dengan Corona. Ajakan ini banyak ditafsirkan sebagai pernyataan Jokowi menyerah kalah. Tak mampu lagi memimpin perang melawan Corona. Bey buru-buru menjelaskan, pernyataan Presiden itu menyiratkan pesan agar masyarakat bersabar dan tidak menyerah menghadapi pandemi Covid-19. "Covid-19 memang belum ada anti-virusnya, tapi kita bisa mencegah diri tertular darinya. Artinya, jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan," ujarnya. Bey pula yang menjelaskan kepada media ketika publik geger. Jokowi tampak membagi-bagikan sembako kepada warga di pinggir jalan. Peristiwa tersebut terjadi tanggal 9 April sehari sebelum (Pembatasan Sosial Berskala Besar) PSBB berlaku di wilayah DKI Jakarta. Dua hari kemudian, Sabtu (11/4) Bey kembali memberi pejelasan, tidak benar Jokowi membagikan-bagikan sembako di Istana Bogor. Malam itu warga tampak berbondong-bondong mendatangi Istana Bogor. Rupanya mereka berharap kebagian sembako karena sehari sebelumnya Jokowi kembali jadi Sinterklas di Bogor. Bey pula yang menjelaskan ke media ketika Jokowi malam-malam blusukan ke perkampungan di Bogor, Rabu (29/4). Jokowi tampaknya mendatangi rumah tiga warga, bagi sembako dan angpao. Beberapa kali blunder Sebelum “menghilang” Fadjroel tercatat beberapa kali melakukan blunder. Melalui keterangan tertulisnya Fadjroel, Kamis (2/4) menyatakan warga boleh mudik di tengah pandemi. Syaratnya wajib isolasi selama 14 hari dan statusnya Orang Dalam Pengawasan (ODP). Pengawasannya diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing. Pernyataan Fadjroel segera dibantah Menteri Sekretaris Negara Pratikno. "Yang benar adalah, pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik,” ujarnya. Dua hari kemudian Fadjroel kembali melakukan blunder. Dia menyatakan Pemerintah memberikan relaksasi kredit. Fasilitas itu diutamakan bagi mereka yang positif COVID-19. Bukan semua debitur. Tak lama kemudian dia meralat pernyataannya. Relaksasi kredit diberikan untuk seluruh masyarakat yang ekonominya terdampak pandemi Corona. “Syaratnya kredit di bawah Rp 10 miliar,” ujarnya Sabtu (4/4). Fadjroel masih tampil di program ILC TV One, Selasa (7/4). Saat itu topik yang diangkat: Badai Corona. Namun setelah itu dia “menghilang.”Media tidak lagi mengutip pernyataan, maupun komentarnya. Wajahnya juga tidak terlihat wora-wiri di layar kaca. Kemana Fadjroel?Apakah dia dinonaktifkan karena beberapa blundernya, atau ada penyebab lain? Seorang teman di istana ketika dihubungi mengatakan Fadjroel sehat-sehat saja. Alhamdulillah. Cuma dia saat ini seperti yang lainnya, bekerja dari rumah (WFH). Jubir kok WFH? Bukannya dia harus selalu menempel dan ikut ke mana dan di mana saja Presiden berada? Penjelasan ini walau terdengar aneh --khusus untuk poin bahwa Fadjroel sehat-- kelihatannya benar adanya. Fadjroel masih eksis di medsos. Pada tanggal 12 Mei akun twitternya yang tervirifikasi @Fadjroel mencuit : Alhamdulilah, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Selamat Presiden @jokowi, Wapres @Kiyai_MarufAmin, Menkeu Sri Mulyani, @KemenkeuRI, #Jubir #BungJubir, @JubirPresidenRI. Dua hari kemudian akun Fadjroel meretweet akun @JubirPresidenRI. Hari berikutnya Fadjroel juga lebih banyak retweet. Kalau dilihat akun @JubirPresidenRI yang juga terverifikasi, menggunakan foto profil Fadjroel bersama Jokowi. Namun dalam keterangannya disebutkan akun yang mulai aktif Januari 2020 itu dikelola oleh Tim Juru Bicara. Terakhir akun @Fadjroel meretweet akun @JubirPresidenRI tanggal 15 Mei. Mudah-mudahan Bung Fadjroel tetap sehat. Bisa kembali aktif membantu Presiden. Di tengah pandemi, kalau ada yang menghilang, biasanya selalu dikait-kaitkan dengan kemungkinan terkena Covid. Seorang psikolog bahkan menyarankan supaya kita selalu eksis di medsos. Setidaknya sesekali memberi komen di WAG. Tujuannya selain menjadi katarsis, biar tidak stress. Teman dan kerabat juga tahu bahwa kita masih sehat. Masih hidup! Berhubung posisi Fadjroel yang cukup penting, kalau kelamaan tidak muncul hanya akan menimbulkan spekulasi. Rumor, gosip, desas-desus. Gosip, rumor, dan desas-desus seputar istana selalu menarik perhatian. Apalagi dalam situasi pandemi. End. Penulis Wartawan Senior