OPINI

Muncul Kandidat Independen, Pilwalkot Medan Bakal Seru

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Medan memang bukan Jakarta. Tetapi, dari aspek politik, setelah Jakarta jelas Medan di urutan kedua. Medan menjadi barometer kecerdasan umat Islam. Tetapi, bisa pula menjadi ‘argometer’ bagi kelompok-kelompok oportunis. Kalau Anda naik taksi non-online, tentu ‘argometer’ akan Anda tengok dulu sebelum mengeluarkan dompet. Setelah itu, barulah Anda buat transaksi dengan Pak Supir. Di pilkada mana pun juga di Indonesia ini, selalu ada tawaran ‘jasa dukungan’ yang memakai ‘argometer’. Tak terkecuali di Medan. Baik itu pilkada yang akan tayang bulan September-Oktober 2020 maupun pilkada-pilkada masa lalu. Umat sudah sangat muak dengan praktik tercela dalam pilkada Medan. Umat menjadi apatis. Sampai-sampai jumlah ‘turnout’ (yang datang ke TPS) di dua pilkada yang lalu (tingkat provinsi dan kota) turun ke level yang sangat rendah. Hanya 26% umat yang sudi mencoblos. Fakta ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan legitimasi kepala daerah. Sekarang, umat tak sabar dengan transaksi ‘jasa dukungan’. Umat ingin agar para rentenir dukungan politik itu segera dilenyapkan. Hanya dengan cara ini kepercayaan umat terhadap sistem politik bisa dipulihkan. Itulah sebabnya, koalisi keumatan Medan akan memajukan calon independen. Sebagai alternatif untuk cara-cara kotor yang merajalela selama ini. Itulah yang sedang diusahakan oleh para aktivis dan pimpinan berbagai ormas di Medan. Berbagai sumber koalisi keumatan Medan menyebutkan, mereka akan mengajukan dua tokoh umat yang memiliki integritas, kapabilitas, dan kapasitas yang lebih dari keperluan untuk mengubah Medan menjadi kota yang bermartabat dan berkeadilan. Dua tokoh umat yang terkerucut dari sekian banyak nama-nama “heavy weight” adalah Ustad H Azwir Ibnu Aziz dan Ustad Latif Khan. Tidak ada yang meragukan integritas Ustad Azwir. Dan tidak ada pula menyangsikan kapabilitas Ustad Latif Khan. Uztad Azwir adalah sosok yang ‘humble’ tetapi tegas dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Ustad Latif Khan sangat memahami hiruk-pikuk perpolitikan. Beliau mampu menjelaskan dengan runtun dan detail mengenai apa-apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki suasana ekonomi-sosial-politik kota Medan. Sekarang ini, kita semua menyaksikan kasak-kusuk berbagai kelompok yang hanya mengedepankan syahwat kekuasaan. Mereka sangat bernafsu untuk berkuasa di Medan Umat bisa mengamati orang-orang yang ingin masuk dengan misi pribadi. Bukan misi rakyat. Ini tidak boleh dibiarkan. Para relawan koalisi keumatan telah bekerja keras untuk menyukseskan pencalonan Ustad Azwir dan Ustad Latif Khan. Sejauh ini, reaksi umat terhadap kehadiran mereka sebagai kandidat independen sangat positif. Kedua tokoh ini akan mampu membangkitkan semangat perjuangan untuk menyelamatkan kota Medan. Tantangan yang dihadapi pastilah berat. Tetapi, dengan tekad keras dan ketawakkalan kepada Allah SWT, tidaklah berlebihan kalau pasangan ini nantinya akan merebut simpati umat. Para pengamat politik di sini berpendapat, kehadiran kandidat independen pasti akan menjadi alternatif yang mampu mendorong umat untuk datang ke bilik-bilik suara. Karena itu, kemunculan Ustad Azwir Ibnu Aziz yang berpasangan dengan Ustad Latif Khan akan membuat pemilihan wali kota Medan menjadi seru.[] 5 Februari 2020 (Penulis adalah waratwan senior)

Indonesia Pasca Jokowi, Belajar dari '98

Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Ekonomi Indonesia adalah ekonomi gelembung. Ekonomi yang dibangun dengan gelembung-gelembung persepsi, doping, dan artifisial. Angka pertumbuhan yang mandeg di 5% ternyata buah dari persepsi yang dibangun dengan public relations (PR) dan perilaku tak elok dalam berbisnis. Terungkapnya skandal mega korupsi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Bumiputera, dan sederet BUMN raksasa lain adalah beberapa contoh saja dari gelembung-gelembung ekonomi. Pada 1998 Indonesia diterjang krisis karena masalah kredit properti yang ugal-ugalan dan berujung dengan tumbangnya perbankan nasional. Kali ini, kontributor utama krisis adalah amburadulnya kinerja lembaga keuangan nonbank (LKNB) seperti asuransi, leasing, dan perusahaan-perusahaan fintech. Hal ini diperparah lagi dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang superjeblok. Skandal megakorupsi Jiwasraya yang merugikan negara Rp13 triliun dan Asabri Rp10 triliun, cuma puncak gunung es belaka. Masih banyak skandal lain di lingkungan BUMN yang jumlahnya ditaksir sekitar Rp150 triliun. Mereka kini antre, bakal terkuak satu per satu. Contoh ekonomi gelembung lain yang sering dibanggakan pemerintah adalah satabilnya nilai tukar rupiah. Padahal, penguatan rupiah terjadi karena doping yang dananya berasal dari utang. Bank Indonesia (BI) rajin mengintervensi pasar agar rupiah tetap bergerak di bawah Rp14.000/U$S. Padahal salah satu biang kerok terjadinya defisit transaksi berjalan ( Current Account Deficit/CAD) adalah neraca perdagangan yang njomplang­. Nilai tukar rupiah yang kuat akan menyulitkan ekspor, karena harga komoditas di pasar internasional jadi mahal. Tapi begitulah, rezim lebih mementingkan gengsi nilai tukar rupiah macho dan stabil ketimbang memperbaiki fundamental ekonomi. Singkat kata, pembangunan kita dilakukan berbasis utang dan utang. Menjaring utang bilateral maupun dari lembaga-lembaga multilateral sudah jadi hobi Sri. Dia bahkan tidak segan-segan mengobral bunga jauh di atas Vietnam, Thailand, dan Filipina yang rating mereka lebih rendah daripada Indonesia. Begitu juga dia sibuk menerbitkan surat utang negara (SUN) berbunga supertinggi dan menyebabkan kekeringan likuiditas. Ambyar Ketergantungan yang keterlaluan terhadap utang membuat jumlahnya kian menggunung. Angkanya kini telah tembus Rp5.000 triliun. Ngeri! Pembangunan bebasis utang juga membuat ekonomi tidak bisa lebih dari 5% karena akan terjadi overheating. Kalau sudah begitu, pemerintah buru-buru menginjak pedal rem agar ekonomi tidak ‘terbakar’. Bahkan hari ini (Rabu, 5 Februari 2020) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2019 hanya 4,97%. Ambyar sudah angka keramat 5% yang selama ini mati-matian pemerintah jaga. Di sini, sekali lagi, jadi menjadi bukti betapa kemampuan para menteri ekonomi Presiden Joko Widodo benar-benar di bawah banderol. Sudah tumbuh karena gelembung dan artifisial, angkanya pun hanya berkutat di 5%. Bahkan kini lebih rendah lagi pula! Status Menkeu terbaik yang disandang Sri terbukti sekadar buah kecanggihan PR dan hadiah dari pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan utang berbunga supertinggi yang diterbitkannya. Sejatinya dosa rezim ini bukan hanya berbohong kepada rakyat dengan angka-angka pertumbuhan imitasi. Penguasa juga terus membebani rakyat dengan aneka pajak. Pencabutan subsidi dan belanja sosial di APBN mengakibatkan harga-harga yang melambung tinggi. Rakyat sudah berusaha mati-matian menyiasati beratnya beban hidup sambil terus menabung dan memperbanyak stok kesabaran. Namun sudah menjadi sunnatullah, ban yang terus-menerus dipompa pada akhirnya bakal meledak juga. Begawan ekonomi Rizal Ramli menyebut, tidak diperlukan kampak atau golok untuk meledakkan gelembung. Cuma dibutuhkan peniti. Perlu peniti-peniti kebenaran dan fakta real agar gelembung-gelembung itu meledak. Sampai di sini saya 100% sepakat. Yang kini dibutuhkan adalah tampilnya orang-orang baik, lurus, berakal sehat, dan paham masalah. Mereka cuma perlu terus berbunyi, menyuarakan kebenaran. Orang-orang baik ini harus menyampaikan kepada publik, bahwa telah terjadi kebohongan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya sendiri. Bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa terjadi salah urus negara di tangan para pejabat publik yang khianat. Bahwa bukan saja terjadi bancakan, tapi penjarahan kekayaan negara oleh tangan-tangan kotor para penjahat melalui persekongkolan yang dibalut seabreg undang undang dan peraturan. Sayangnya, di tengah kezaliman dan ketidakadilan merajalela seperti sekarang, orang-orang baik dan pintar justru tiarap. Mereka diam seribu bahasa. Mingkem. Bisu. Orang-orang baik dan lurus itu merasa jerih dengan bermacam risiko yang belum-belum sudah bermain di khayal mereka. Intimidasi, persekusi, penjara, dan kematian adalah rangkaian ketakutan yang menari-nari dalam benak mereka. Bahwa semua itu bakal saja terjadi, mungkin saja. Inilah yang disebut sebagai risiko perjuangan. Kita tidak boleh jumawa dan sesumbar menyatakan tidak takut dengan bermacam risiko. Itu sombong. Allah tidak suka dengan orang yang sombong. Tapi kalau kita niatkan beribadah dalam menyuarakan kebenaran dan melawan kezaliman, maka Allah Yang Maha Perkasa tentu tidak tinggal diam. Dia akan ikut campur tangan, sehingga bukan mustahil perjuangan akan berujung pada kemenangan dan kemuliaan. Kalau Allah sudah menolong, siapa yang bisa mengalahkan kita? Tugas kita hanya terus berusaha, berdoa, dan bersabar serta istiqomah dalam perjuangan. Kalau pun risiko-risiko seram itu benar-benar datang, Allah pasti telah menyediakan ganjaran yang teramat besar, baik di dunia maupun akhirat. Persiapkan sebaik mungkin Dan, pada akhirnya sunnatullah pun terjadi. Ketidakadilan dan kebohongan akan membuat ban meledak. Rezim tumbang. Tapi, setelah itu apa? Kali ini kita harus cerdas dan cermat. Berbekal pengalaman 1998, ketika pak Harto jatuh, gerbong reformasi telah dibajak oleh para pencoleng yang sebelumnya ada di lingkar dalam kekuasaan. Mereka berganti casing , naik ke gerbong bahkan lokomotif reformasi. Orang-orang ini lalu berteriak paling lantang tentang reformasi dan pemberantasan korupsi. Hasilnya, kendati sudah berlalu lebih dari 20 tahun, reformasi tidak membuahkan kesejahteraan rakyat, kecuali hanya bagi segilintir elit culas dan laknat. Peran sebagai pendorong gerbong reformasi pada 1998 harus dijadikan sebagai pengalaman penting dan teramat mahal. Karenanya, para penggerak perubahan dan pejuang kebenaran harus menyiapkan segala sesuatunya pasca rezim tumbang. Tidak boleh lagi orang-orang baik dan berani itu hanya sibuk berteriak di jalanan, tanpa menyiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong Indonesia lebih baik. Langkah penting dan awal yang harus disiapkan adalah pemilihan presiden ulang. Kali ini Pilpres harus benar-benar steril dari campur tangan, apalagi dominasi partai. Pasalnya, di tangan para oportunis, partai justru menjadi bagian dan sumber masalah. Korupsi gila-gilaan banyak dilakukan orang partai, baik yang ada di DPR/DPRD maupun di kursi-kursi eksekutif, bahkan yudikatif! Buang jauh-jauh mantra presidential threshold (PT). PT terbukti telah menjadi pintu gerbang masuk dan langgengnya kekuasaan oligarkis. Biarkan semua putra terbaik bangsa mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin. Jangan takut kalau nanti akan muncul banyak Capres. Silakan saja. Toh pada akhirnya rakyat yang akan menentukan siapa yang terbaik sebagai pemimpin bangsa pada putaran kedua. Pilpres yang steril dari hegemoni oligarki akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang berani, punya kapasitas, kapabililtas, dan berintegritas. Pada akhirnya, Indonesia akan lahir sebagai negara berdaulat, maju, dan rakyatnya sejahtera. Dan, yang lebih penting daripada semua itu, rahmat dan berkah Allah akan melimpahi negeri. Semoga. Aamiin. [*] Jakarta, 5 Februari 2020 Edy Mulyadi, wartawan senior

“Salah Kaprah” Bila Polda Jatim Salahkan Member MeMiles

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Mengejutkan, itulah kata yang tepat digunakan untuk menggambarkan sikap orang-orang yang menamakan dirinya sebagai member menghadapi kasus MeMiles. Tidak sembunyi-sembunyi seperti halnya Harun Masiku, tersangka dalam kasus suap terhadap seorang Komisioner KPU. Mereka member MeMiles, tentu saja tak semuanya, malah mendatangi Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim). Mereka, seperti yang dilansir CNNIndonesia, memprotes tindakan penyidikan yang dilakukan penyidik Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Jatim atas kasus MeMiles. Sedikitnya 25 member MeMiles asal DKI dan bekasi mendatangi Markas Polda Jatim. Mereka perotes langkah Kepolisian Daerah Polda Jatim yang membekukan aplikasi investasi Milik PT Kam and Kam tersebut. Iksan (38) salah seorang member MeMiles, mengatakan kedatangannya sebagai bentuk keprihatinan atas penahanan pendiri MeMiles yang juga Direktur PT and Kam, Kamal Trachan (47). Iksan berharap Polisi menghentikan penyidikan dan meminta akses Memiles kembali dibuka. Menurutnya, polisi seharusnya menindak oknum atau orang yang memang bersalah. Jangan malah membekukan aplikasinya. Dalam penyidikan kasus ini, penyidik telah menyita 18 unit mobil, dua sepeda motor, puluhan barang elektronik dan beberapa asset berharga lainnya (CNNIndonesia, 15/1/2020). MeMiles mengaku memadukan tiga jenis bisnis. Menurut laman resmi mereka, yaitu advertising, market place dan traveling. Mereka “menjual” (tanda petik dari saya) slot kepada pengguna aplikasi dengan cara melakukan top up mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Dalam praktiknya bukan slot iklan yang membuat member tergiur. Melainkan iming-iming bonus dari top up tersebut. Mulai dari ponsel, motor, hingga mobil. Angkanya bisa berkali-kali lipat dari jumlah setoran, dan sangat tidak masuk akal (Tirto. Co.id, 16 Januari 2020). Titian Terjal Menariknya menurut Ashary, Wakil Ketua Komunitas Member MeMiles (KMM) merupakan aplikasi periklanan yang manarik uang dengan batas waktu tertentu. Berkat pemasangan iklan melalui aplikasi tersebut, pihaknya merasa diuntungkan, lantaran memancing pelanggan membeli produknya. MeMiles, kata Ashary selanjutnya, adalah aplikasi periklanan untuk bisa pasang iklan dengan cara beli slot iklan dengan batas waktu tertentu. Jika tidak menggunakan slot iklannya bisa hangus. Intan Kemala, Ketua Komunitas Member (KKM), dengan nada yang sama, disisi lain menyatakan selama ini pihaknya tidak merasa dirugikan dengan aplikasi MeMiles. Dirinya dan puluhan ribuan anggota lain, justru mendapat reward atau hadiah dari MeMiles. Kami ini bukan korban. Kami justru malah diuntungkan. Makanya kami butuh Memiles diaktifkan lagi (Jawa Pos.com, 11/1/2020). Kenyataan yang disodorkan Anshary dan Intan di atas menjadi alasan yang menghalangi jalan menuju tuduhan investasi bodong, atau investasi tipu-tipu. Beralasan yang sangat jelas dan jelas. Sayangnya, dalam kenyataan penyidik Krimsus Polda Jatim menembakan pasal 24 jo pasal 106 dan atau pasal 9 jo pasal 105 UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 6 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan muncul sebagai peluru cadangan. Peluru pertama mengatur perdagangan tanpa izin. Ini berbeda jauh dengan peluru kedua. Sebab peluru kedua mengatur perdagangan dengan “skema piramida ponzi.” Tetapi kedua peluru ini, dengan semua argumen hukum yang tersedia memiliki kesamaan elementer, disamping satu perbedaan yang juga elementer. Perihal peluru perbankan, mustahil bisa berfungsi. Peluru pertama dan kedua sama-sama menempatkan “pelaku usaha” sebagai sasaran tembakan. Hanya itu. Tidak lebih dari itu. Tetapi peluru pertama menempatkan syarat “izin usaha.” Peluru kedua menempatkan syarat “skema piramida.” Pada titik ini, penyidik dipaksa memasuki ruang interpretasi, siapakah yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaku usaha? Pemilik perusahaan dan menejemen? Member MeMiles juga? Jumlah member sebanyak kurang lebih 270-an ribu atau berapapun itu, jelas bukan masalah. Masalahnya terletak pada “member” dalam kenyataannya “membeli” slot iklan. Slot disediakan oleh PT Kam and Kam. Itu masalahnya. Pembeli mau dikualifikasi sama dengan pelaku usaha? Bila ya, dimanakah letak kesamaannya? Masalahnya sebab dan substansi antara pengusaha dengan pembeli? Membeli slot iklan. Lalu pembeli mengiklankan barang milik pembeli pada slot itu, dan barang yang diiklankan itu dibeli orang. Siapapun mereka itu, mau dikonstruksi sebagai sebab atau keadaan hukum yang mengubah status hukum pembeli menjadi pengusaha? Penjelasan pasal 9 mengenai “skema piramida” dimaksudkan sebagai usaha bukan dari hasil kegiatan penjualan barang. Kegiatan usaha itu memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan, terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut. Kombinasi unsur normatif pasal 9 dan penjelasannya, membawa siapapun pada satu titik. Titik itu adalah kedua pasal yang digunakan penyidik secara exprecis verbis menempatkan pengusaha, bukan pembeli-member- sebagai subyek. Orang yang bertanggung jawab. Pembelian adalah tindakan hukum perdata. Ketika barang atau jasa yang dibeli telah diserahkan, maka berakhirlah hubungan perdata antar pembeli dan penjual. Dalam hal terdapat cacat tersembunyi pada barang atau jasa yang dibeli, maka soalnya bergeser ke pidana. Bila penjualnya menolak bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijual itu, maka soalnya menajdi pidana. Siapa yang bertanggung jawab? Pasti Penjual. Bukan pembeli atau member MeMiles. Dititik ini muncul masalah lain. Masalahnya terpusat pada tindakan penyitaan terhadap mobil, dan barang lainnya dari member yang top up. Apakah hadiah top up itu beralasan disita penyidik Krimsus Polda Jatim? Bila ya, soal berikut yang muncul adalah apakah umroh juga bisa disita? Andai mobil hadiah itu dikonstruksi sebagai bukti-fakta adanya usaha MeMiles, yang saat ini dinyatakan illegal, maka harus diakui dengan tindakan itu memiliki alasan hukum? Sebatas itukah. Tak lebih dari itu? Mengapa member-member itu, sejauh ini, terlihat tidak tahu bahwa MeMiles merupakan usaha illegal. Ketidaktahuan itu menjadi alasan hukum hilangnya tanggung jawab hukum mereka. Tetapi bila mobil, hand phone dan lainnya tetap dikualifikasi barang illegal, karena usaha MeMiles dianggap illegal, sehingga top up dengan sendirinya juga illegal. Masalahnya apa pada kualifikasi hukum atas uang member yang top up itu? Illegal jugakah? Bila dinyatakan illegal, apa konstruksi hukumnya? Hukum positif tak cukup tersedia untuk diandalkan. Menariknya aplikasi MeMiles tidak disita. Dirkrimsus Polda Jatim cukup tegas dalam soal ini. Kita, kata Dirkrimsus Polda Jatim, nda menutup. Kita melakukan penyidikan, dia enggak bayar (server) ya matilah berarti. Kalau mau jalan terus, jalan terus aja, kalau bayar. Tetapi saya enggak menutup, saya memblokir rekening PT Kam and Kam (CNNIndonesia, 15/1/2020). Mengapa MeMiles tidak disita penyidik? Apa yang menghalangi penyidik menyita Memiles? Bukankah aplikasi MeMiles itulah yang memicu masalah ini? Bukan MeMiles yang menjadi bagian integral dari barang bukti? Itu satu soal. Soal kedua, uang yang disita. Soalnya apakah uang yang disita dari bank atau disita dirumah atau dikantor PT Kam and Kam? Andai disita di bank, maka tindakan penyitaan yang disediakan KUHAP adalah tidak lebih dari memblokir rekening. Memblokir rekening adalah kerangka kerja KUHAP untuk penyitaan barang bukti yang tersimpan pada rekening Bank. Tidak lebih dari itu. Menariknya lagi, uang yang disita itu diperlihatkan kepada publik. Jumlahnya sangat banyak. Apapun itu, sekali lagi, lebel penipuan terlihat tak lagi tepat disandangkan pada MeMiles. Ini nalar dari pasal yang diterapkan penyidik. Berusaha tanpa izin dan skema piramida ponzi bukan penipuan. Apalagi tak ada yang merasa dirugikan, atau tertipu. Bakal tertipu itu, pasti tidak sama dengan tertipu. Nuasa ponzi yang menggila mengiringi kasus ini dalam nada “berpotensi penipuan” sungguh jauh dari yang dapat dibayangkan. Potensi penipuan pasti bukanlah penipuan menurut bahasa hukum. Usaha tanpa izin, untuk alasan hukum, pasti juga tak dapat dianalogikan dengan penipuan. Berada di titian terjal terlihat sedang melilit gerak penuntasan kasus ini. Beberapa dimensi elementernya memiliki daya mengelincirkan. Dimensi status uang member, salah satunya, bisa menggelincirkan. Tetapi apapun itu, klaim ilmu hukum mencegah munculnya tesis titian terjal itu meliputi dan mencakup member. (Bersambung) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Kapal Selam Korsel (3): Jerman Siap Bantu “Transfer of Technology” Kapal Selam

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Perjanjian alih teknologi yang lebih dikenal dengan sebutan Transfer of Technology (TOT) dari Korea Selatan tidak mungkin bisa dilakukan. Karena, Korsel sendiri baru belajar untuk membuat kapal selam dari Jerman. Ketika pengadaan kontrak TOT dengan Korsel yang diagendakan Kemenhan, menurut Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan, ia ikut hadir dalam rapat yang diadakan di PT PAL pada 2012 itu. Persentase program yang dipaparkan oleh Korsel adalah program pendidikan yang Franklin dan timnya sampaikan pada 1994 di Jerman. Dalam rapat tersebut Franklin sangat tegas mengatakan kepada presenter dari Korsel bahwa Korsel meng-copy konsepnya, tapi tanpa bukti pengalaman mendidik. “Saya tegaskan untuk tidak membohongi dan membodohi bangsa Indonesia,” tegasnya. Menurut Franklin, Korsel belum pernah tahu dan berpengalaman bagaimana mendidik negara asing untuk membuat kapal selam. Ia dengan Jerman sepaham mengatakan bahwa 10-15 tahun ke depan bangsa Indonesia tidak akan mampu mandiri membuat kapal selam sendiri. Fakta yang terjadi di lapangan mengatakan bahwa sudah sejumlah anak bangsa Indonesia dikirim ke Korsel ke galangan kapal Daewoo. ”Mereka pulang dengan tangan kosong tanpa pendidikan yang diharapkan,” ungkap Franklin. “Fakta ini disampaikan oleh beberapa anak bangsa yang berbicara kepada saya,” lanjutnya. Setidaknya ada dua latar belakangnya mengapa anak-anak bangsa Indonesia ini tidak bisa mendapatkan pendidikan yang diharapkan. Pertama, Korsel itu baru memiliki teknologi pembuatan kapal selam yang berbobot 1400 ton. Artinya, Korsel tidak akan mentransfer sesuatu yang baru kepada siapapun dalam hal ini ke Indonesia. Karena di pasaran pembuatan kapal selam ke depan ini Indonesia dengan sendirinya menjadi negara pesaing/kompetitor Korsel ke depan. Kedua, Korsel bukan negara pendidik pembuatan kapal selam karena Korsel masih murid dari negara Jerman dalam pembuatan kapal selam. Sehingga, pendidikan tersebut tidak akan pernah ditransfer ke bangsa Indonesia. “Pendidikan TOT dalam konteks lainnya adalah On The Job Training (OJT-Training). Belajar sambil bekerja. Hal ini bangsa Indonesia tidak akan pernah menerima pendidikan tersebut,” ungkap Franklin. Menurutnya, pada 13 Januari 2020 malam, Franklin ditelepon oleh perusahaan Jerman pembuat kapal selam tipe 214 dan berunding tentang rencana pembuatan kapal selam di Indonesia. “Jerman memastikan berulang kali kepada saya bahwa Jerman akan memberikan pendidikan TOT bilamana negara Indonesia membeli kapal selam dari Jerman,” tegas Franklin. Karena itulah, ia meminta Pembuatan/Pengadaaan kapal selam dengan Korsel harus segera dihentikan. Pembohongan rakyat Indonesia dengan memberikan kapal selam yang bertipe prototype, yang tidak teruji dan tidak layak pakai sangat membahayakan bangsa Indonesia. “Kapal selam buatan Korsel bila dioperasikan maka keberadaan crew sangat terancam,” ujar Franklin. Jadi, pengadaan kapal selam yang tidak layak pakai ini didanai oleh bangsa Indonesia untuk mengembangkan teknologi Korsel. Sedangkan pengembangan teknologi kapal selam untuk Indonesia tidak mendapat dukungan penuh karena dana yang tidak tersedia. “Ini adalah pemborosan uang bangsa dan rakyat Indonesia serta pembohongan bangsa yang harus segera dihentikan,” tegas Franklin dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo yang entah sudah sampai ke tangan Jokowi atau belum. Ia menyarankan, kelanjutan dari perencanaan ke depan tentang pengadaan dan pemeliharaan kapal selam untuk negara Indonesia hendaknya dikerjasamakan dengan negara yang bisa dan mampu memberikan kapal selam terbaik. “Dan juga mampu memberikan pendidikan TOT yang bisa memampukan bangsa kita dalam waktu yang jelas dan terencana. Saya secara pribadi menyarankan ke Jerman yang membuat 2 kapal selam untuk Indonesia: Cakra dan Nanggala,” papar Franklin. Selama ini Indonesia sudah memiliki 2 kapal selam buatan negara Jerman oleh HDW di Kiel yaitu Cakra dan Nanggala. Dalam perbincangan dan pengalamannya dengan Jerman setiap pertemuan di Jakarta atau di Jerman, mereka siap membantu,” lanjutnya. Jerman siap membantu dalam dua tipe yaitu tipe 209 yang masih menggunakan tenaga Diesel dan tipe 214 tenaga Hybrid. Negara Jerman sudah terbukti berpengalaman dengan kelayakan kapal selam buatan mereka dengan standard internasional. Pendidikan TOT yang berkelas untuk tipe 209 tenaga Diesel akan diberikan oleh Jerman 100 persen. TOT untuk tipe 214 dengan tenaga Hybrid, juga bersedia dengan TOT yang dalam hal ini kondisinya harus didiskusikan mana dan apa yang akan ditransferkan. “TKSM siap berdialog dan membantu Indonesia,” tulis Franklin dalam suratnya tertanggal Jakarta, 13 Januari 2020. Spare parts dan after sales dengan pasti Jerman akan menyediakannya dengan jangka kurang lebih 25 tahun ke depan sesuai aturan yang berlaku di Jerman. Melihat ke depan, Indonesia akan memiliki 5 buah kapal selam: 2 kapal selam buatan Jerman dan 3 kapal selam buatan Korsel. Sesuai dengan jadwal maintenance, repair dan overhaul (MRO) yakni berjadwal tiap tahun maintenance, 2-3 tahun checks for repair dan overhaul. Sarannya adalah agar juga bangsa Indonesia dididik untuk memaintain, repair dan overhaul kapal selam ini ke depan nanti. Pekerjaan MRO ini tidak boleh diabaikan begitu saja untuk menghindari kapal selam ini kembali di bawa ke negara pembuatnya. Selanjutnya jika bangsa Indonesia mampu MRO, maka kita juga bisa ikut bersaing di market internasional karena ada lebih dari 160 kapal selam tipe 209 buatan Jerman digunakan oleh beberapa negara yang bisa kita tawarkan jasa MRO tersebut. “Saran penutup tulisan saya, NKRI merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang mempunyai 17.504 pulau, panjang garis pantai 81.000 km dengan luas perairan 5,8 juta km2,” kata Franklin. Kapal selam tipe 209 adalah teknologi yang sudah tua walau masih baik dan canggih. Tapi, berdasarkan dengan luasnya perairan NKRI sudah membutuhkan kapal selam yang mampu menyelam lebih lama dari tipe 209. Kapal selam tipe 214 dengan tenaga Hybrid adalah kapal selam yang mampu, dilengkapi dengan sistem pendorongan Fuel Cell (Air Independent Propulsion/AIP) dan sewaco yang lengkap (Cilyndrical Array Sonar, Passive Ranging Sonar, Flank Array Sonar, Cilyndrical Transducer Array, Towed Array Sonar, Intercept Array Sonar, Radar, ESM dan Optronic). Waktu/endurance menyelam hingga 80 hari menggunakan teknologi Hybrid atau lebih sedangkan tipe 209 menggunakan Diesel hanya mampu hingga 45 hari saja. Kemampuan bateri kapal selam sangat menentukan pada saat operasional menyelam. Ia menyarankan kapal selam tipe 214 sistem AIP sebagai penerus dan pengganti generasi kapal selam tipe 209 dalam pengadaan berikutnya. Pada saat kunjungan Menhan Prabowo Subianto ke UNHAN menyampaikan keinginannya untuk memiliki kapal selam tipe 214 ini. “Demikian penyampaian kerisauan dan pemahaman serta saran pribadi saya kepada bapak Presiden dan berharap menghentikan kerja sama dengan Korsel dan mengadakan hubungan kerja sama pembuatan kapal selam ke negara Jerman ke depan nanti,” lanjutnya. “Dan, saya bersedia membantu bapak dan bangsa Indonesia dalam merealisasikan rencana-rencana ke depan yang berkaitan khususnya dengan kapal selam, tapi juga dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam bidang pertahanan,” kata Franklin. (Bersambung) Penulis wartawan senior.

Sri Mulyani dan Janji Asal Janji Jokowi

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Berita mengejutkan hari-hari ini adalah Sri Mulyani menyatakan janji kampanye Jokowi tentang pemberian uang pengangguran. Janji yang didengungkan Jokowi tempo hari adalah janji omong kosong. Apakah janji omong kosong itu? Janji omong kosong adalah janji yang dibuat Jokowi hanya untuk kepentingan kampanye alias memberi harapan palsu pada rakyat. Memberikan harapan palsu, yang kata anak melinial disebut “PHP”. Karena kemungkinan untuk merealisasikan janji-janji itu jauh dari kenyataan. Jauh dari kenyataan karena Jokowi menyadari bahwa tidak ada kemampuan untuk merealisasikan, khususnya pendanaan, bagi perealisasian janji itu. Lalu apa itu janji palsu? Janji palsu adalah janji yang tidak direalisasikan Jokowi. Jika sebuah janji direalisasikan, tapi tidak berhasil, maka itu bukan janji palsu. Namun, jika sejak awal janji itu sekedar pencipta harapan bagi rakyat, tanpa mungkin merealisasikannya, maka janji itu sejak awal sudah palsu. Lalu apakah janji Jokowi tentang pra kerja itu janji palsu? Janji Jokowi pemberian kartu pra kerja adalah satu dari tiga kartu yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye. Selain kartu pra kerja adalah KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah dan Kartu Sembako Murah. Kartu Pra Kerja ditafsirkan berubah-berubah sejak janji itu dikeluarkan Jokowi kala kampanye itu. Penafsiran awal kartu itu ditujukan kepada dua juta pencari kerja. Dalam kartu itu akan diberikan uang pengangguran. Tafsir itu berkembang kemudian dengan pernyataan Jokowi bahwa paska pilpres yang dia maksud adalah kartu itu akan diberikan pada dua juta pengangguran atau pencari kerja. Untuk mereka termasuk pra kerja diberikan vokasi atau training hingga mereka bisa mendapat kerja. Penafsiran berkembang lagi bahwa kartu itu akan mempunyai peran selain untuk training juga peserta atau pemilik kartu akan dafat insentif setelah training. Lalu ada penafsiran lain dating dari Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), kartu itu akan menyasar ke pengantin yang baru, menikah tapi belum memiliki kerja. Berputar putarnya penafsiran kartu pra kerja itu, tentu terkait dengan informasi yang dibocorkan Sri Mulyani bahwa janji Jokowi tentang kartu pra kerja tidak direncanakan sejak awal. Dari sinilah awal mula pembicaraan hari-hari ini tentang janji bohong kartu pra kerja. Dalam situasi ekonomi negara yang sulit, dan kegelisahan pembayar pajak atas kehati-hatian penggunaan uang negara, kunci kepercayaan rakyat pada kepemimpinan nasional adalah penyusunan program secara hati-hati. Uang Rp 10 Triliun yang direncanakan untuk Kartu Pra Kerja, akan jadi bumerang, jika uang itu miskelola atau bahkan kalau tidak tepat sasaran. Tanpa perencanaan yang kuat, yang berbasis pada pencapaian Jokowi pada priode sebelumnya, maka pemerintah kesulitan menentukan siapa jumlah dua juta orang yang disasar kartu pra kerja. Karena jumlah pengangguran kaum muda sekitar 61% dari total pengangguran terbuka. Tahun 2019 lalu, sekitar tujuh juta jiwa pengangguran. Artinya, sasaran dua juta dari sekitar empat juta jiwa. Apakah nantinya pemberian kartu memakai metode "lotre"? Dalam situasi rakyat yang semakin susah saat ini, apalagi program pemangkasan subsidi mulai dijalankan rejim Jokowi, dipastikan pengangguran dan kemiskinan baru akan semakin besar. Pada Januari, 2019, Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro mengatakan ada 53 juta jiwa masyarakat rentan miskin. Sayangnya, pada Januari 2020, World Bank mengatakan ada 115 juta jiwa penduduk Indonesia yang rentan terhadap miskin. Dengan demikian rencana kartu pra kerja menjadi taruhan besar Jokowi saat ini. Jokowi harus bekerja keras untuk benar-benar bisa merealisasikan janjinya. Janji Jokowi terkait kartu pra kerja tentu belum dapat dikatakan janji palsu. Namun, janji-janji Jokowi 2014, terlalu banyak yang tidak terealisasi. Antara lain, janji pertumbuhan 7%, janji Land Reform, janji kabinet dan jaksa agung profesional, janji tidak rangkap jabatan, janji berantas korupsi, janji penuntasan kasus HAM, janji rupiah meroket, janji mengusut pelanggaran HAM masa lalu, dan masih banyak lagi. Kita anggap saja sementara ini janji Jokowi tentang pra kartu kerja masih omong kosong. Kita perlu menanti apakah janji itu palsu atau tidak. Untuk itu, kita tunggu sebaiknya kita tunggu saja. Mudah-mudahan bisa terealisasi sebelum berakhir 20124. Bocoran Sri Mulyani Bocoran Sri Mulyani tentang janji omong kosong Jokowi disampaikan di forum World Bank. Tentu saja kita tidak bisa menyepelekan pembocoran ini diantara orang-orang asing. Misbakhum, anggota DPR RI, misalnya, marah dengan pernyataan Sri Mulyani ini. Menurutnya hal itu tidak pantas dibocorkan orang terdekat Jokowi yang anggota kabinet. Namun, bagi kita pembocoran informasi ini penting untuk melihat berapa banyak sebenarnya janji-janji Jokowi yang mirip kartu pra kerja? Jokowi tidak boleh menjadi pemimpin, yang dalam sindiran SBY beberapa waktu lalu, "jangan jadi pemimpin kumaha engke, tetapi engke kumaha". Artinya, pemimpin itu jangan asal membuat janji. Untuk itu mungkin Misbakhum dan kalangan DPR RI perlu masuk pada substansi yang diperlukan rakyat. Rakyat butuh apa-apa saja yang merupakan janji-janji Jokowi yang dianggap Sri Mulyani membuat dia sampai sakit perut. Penutup Beberapa hari lalu, melalui kejujurannya atau pembocoran sengaja tentang janji pilpres Jokowi , Sri Mulyani memberitahu forum diskusi World Bank dan rakyat Indonesia bahwa program dan janji-janji Jokowi dalam kampanye banyak yang omong-kosong. Omong kosong maksudnya janji itu disampaikan tanpa mempunyai perhitungan dan kelayakan dari seorang presiden sebuah republik. Janji itu hanya untuk sekedar meraup suara. Antara lain program kartu pra kerja itu. Hal ini tentu menjadi bencana besar bagi sebuah negara. Sebab, seorang pemimpin negara harus diukur dari "satu kata dengan perbuatan". Kita mengetahui, uang negara Republik Indonesia, sangat tergantung Sri Mulyani, menteri keuangan dan bendahara negara. Sebagai petahana atau inkumben, tentu semua janji Jokowi harus terukur berbasis kemampuan terukur dari pembiayaan. Untuk melihat berapa banyak janji asal janji atau janji omong kosong Jokowi selama kampanye pilpres lalu, kita berharap keterbukaan lebih jauh dari Sri Mulyani. Atau DPR-RI memanggil Sri Mulyani. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Kapal Selam Korsel (2): Franklin Paham Kemampuan Galangan Kapal Daewoo

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Setelah penandatangan kontrak untuk kapal selam lagi, permasalahan pun muncul. Apakah pengadaan, pembelian, dan pelaksanaan Transfer of Technology (TOT) yang disebut sudah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan negara Indonesia terwujud? “Apakah ketiga kapal selam buatan Korea Selatan ini memenuhi standard dan teknis yang teruji dan layak pakai?” tanya Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo yang ditulis pada 13 Januari 2020 itu. Di galangan kapal Howaldtswerke Deutsche Werft (HDW) di Kiel, Jerman, Franklin pernah bekerja sebagai Direktur Pendidikan Pembuatan Kapal Selam. Salah satu negara yang dididik Fanklin adalah Korsel. “Saya paham dengan kemampuan dan kesanggupan dari Galangan Kapal Daewoo,” ungkap Franklin. Sebelum penandatanganan kontrak pengadaan kapal selam dengan Korsel pada 2012, secara pribadi Franklin menyampaikan dalam pertemuan di Mabesal dengan KSAL saat itu bersama dalam pertemuan-pertemuan lainnya dalam bidang terkait. Franklin meminta Kontrak Kerja Sama dengan Korsel ini harus dibatalkan karena Korsel itu bukanlah negara pembuat kapal selam dan hanya sebatas Perakit/Assambler. Korsel belum pernah menciptakan satu kapal selam yang sudah teruji dan layak. Tapi, himbauan tersebut diabaikan dan Kontrak pengadaan tersebut ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia. Artinya, “Kita telah mengorder kapal selam dari negara yang belum pernah menciptakan kapal selam sendiri,” tulisnya. Dengan keputusan tersebut, pada saat yang sama Franklin ditunjuk oleh KSAL Laksamana Suparno untuk menjadi tim pengawas dalam pembuatan Kapal Selam di Indonesia. Dalam rapat-rapat pertama di Kemenhan dan Kementerian terkait serta di PT PAL, Franklin dengan tegas mengatakan, Indonesia membutuhkan kapal prototype buatan Korsel terdahulu sebagai contoh sebelum kita tanda tangani kontrak pembeliannya. Maka mulai saat itu juga ia tidak lagi diundang ke rapat-rapat selanjutnya hingga hari ini. Hal ini termasuk juga di KKIP. Ada rencana memberikan posisi kedudukan sebagai counter part-nya Korsel. “Orang Korsel tersebut adalah mantan murid saya, sehingga dianggap bermasalah dan tidak menyamankan dalam kerja sama, itu alasan tidak jadi penempatan tersebut,” lanjut Franklin. Korea Selatan menyerahkan 3 kapal selam prototype atau kapal selam percobaan tidak teruji, tidak distandardisasi dan lisensi internasional dalam segala bentuk hal teknis. Menurut Franklin, Uji Kelayakan dari semua sistem yang ada di dalam kapal selam belum disertifikasikan. Sebelum penanda tanganan kontrak pada 2012 seharusnya tuntutan bangsa kita adalah agar Korsel mempresentasikan kapal contoh dengan segala test uji coba serta sertifikasi-sertifikasi nasional dan internasional dari kapal selam tersebut. “Korsel harusnya menunjukkan satu contoh kapal selam sejenis yang kita mau beli sebagai kapal selam prototype yang sudah teruji kelayakannya,” tegas Franklin. Juga, fakta-fakta mengatakan sesuai kesaksian dari User/TNI AL di Surabaya bahwa mereka menerima produk kapal selam yang sangat tidak layak pakai, baik secara teknis dan mereka ragu menggunakannya. Sebab, belum ada data-data akurat menunjukkan kelayakannya. Kapal selam ini memiliki masalah dalam hal kesenyapan dengan Radiated Noise Level yang rendah. Maksudnya, tingkat kesenyapan ini dibutuhkan agar tak bisa didengar atau dijangkau oleh lawan saat operasi. Selanjutnya juga tidak memiliki tingkat kemampuan penghindaran deteksi (silent-stealthy). Ketiga kapal selam ini sangat perlu dipertanyakan apakah memiliki senjata tempur yang teruji sesuai spesifikasi dan kebutuhan TNI AL. “Saat penerimaan kapal selam pertama saya ketahui bahwa Korsel belum mendapatkan alat senjata yang bisa diimplementasikan di dalam kapal selam yang pertama tersebut,” ungkap Franklin. Pengalaman bekerja di perusahaan pembuatan kapal selam di Kiel, Jerman perlu disampaikan dengan tegas bahwa untuk mempublikasikan satu produk kapal selam yang baru diciptakan membutuhkan kurang lebih tujuh (7) tahun proses segala tes uji kelayakannya. “Sesudah teruji dan disertifikasi barulah dipublikasikan. Ketiga kapal baru tersebut belum pernah melalui uji tes sejenis, sehingga diragukan kelayakannya,” tegas Franklin. Menurutnya, kedua kapal selam buatan Korsel itu adalah kapal yang sangat berbahaya bagi penggunanya/user. Berbahaya karena jika terjadi kecelakaan maut akibatnya. Bahaya dalam mempertahankan kedaulatan NKRI jika kecelakaan, kerugian negara bukan hanya secara finansial tapi juga kehilangan awak (pasukan TNI AL) yang berkualitas dan berpengalaman tinggi. “Korsel mengembangkan teknologi kapal selam mereka dengan menggunakan uang rakyat Indonesia,” ungkap Franklin. Perjanjian antara Jerman dan Korsel pada 1994 dituangkan dalam kontrak bahwa kapal selam tipe 209/1200 izin lisensi pembuatannya hanya boleh diproduksi untuk kepentingan nasional Korsel saja. Tidak ada untuk izin ekspor. Untuk menghindari pelanggaran kontrak antara Jerman dan Korsel maka Korsel menawarkan tipe 209/1400. Masalahnya tipe 209/1400 belum pernah ada saat mereka tawarkan kontrak pembelian tersebut. “Ketiga kapal selam yang kita sudah terima di Surabaya waktu itu adalah kapal prototype, kapal percobaan Korsel yang belum teruji kelayakannya,” tegas Franklin. “Dengan penanda tanganan kontrak tersebut maka kita membantu Korsel mengembangkan teknologi kapal selam mereka dengan uang negara Republik Indonesia,” lanjutnya. Korsel telah berhasil membohongi bangsa Indonesia. Bateri kapal selam adalah listrik penggerak kapal selam saat operasi menyelam. Bateri yang digunakan di kedua kapal selam yang baru dari Korsel itu menggunakan bateri buatan Korsel sendiri. Perlu dicatat, kata Franklin, bateri buatan Korsel tidak berfungsi sesuai dengan kebutuhan kapal selam tersebut. Bateri itu dibutuhkan untuk memberikan energi listrik kepada semua peralatan didalam kapal selam saat operasional. “Menurut pengalaman pribadi dan juga dari pengalaman pengguna/user AL bahwa bateri buatan Korsel tidak berfungsi maksimal,” tutur Franklin. Hal ini membahayakan kondisi kapal saat beroperasional dan bisa mematikan pengguna kapal selam (awak TNI AL). Perlu dipahami bahwa sekitar 65% isi peralatan teknis dalam kapal selam tersebut adalah produk-produk berasal dari Jerman. “Ini berarti bahwa ketergantungan Korsel ke negara Jerman masih sangat besar,” tambahnya. Peraturan pemerintahan Jerman adalah setiap peralatan senjata baik peralatan-peralatan senjata baik spare parts-nya harus memiliki izin ekspor dari pemerintahan Jerman dengan negara pengguna peralatan tersebut. Dalam pengadaan kapal selam dengan Korsel, Indonesia tidak mengadakan perjanjian-perjanjian apapun dengan pemerintahan Jerman tentang pengadaan kapal selam tersebut. Masalah dan bahaya ke depan ini untuk Indonesia, bila terjadi sesuatu hal dan membutuhkan peralatan teknis, spare parts dari negara Jerman, bisakah Indonesia mendapatkan peralatan itu karena izin ekspor dari awal kontrak pengadaan Indonesia tak miliki ijin tersebut. Tapi ke Korsel. Artinya Indonesia akan selalu tergantung Korsel terhadap peralatan-peralatan buatan Jerman. Mungkin saja suatu saat tertentu Indonesia diembargo Jerman atas permintaan peralatan-peralatan tersebut karena tidak adanya perjanjian-perjanjian disebut di atas. “Hal ini sudah pernah saya bicarakan langsung dengan galangan kapal HDW yang memiliki lisensi dengan Korsel. Mereka membenarkan apa yang saya tuliskan di atas ini,” katanya. (Bersambung). Penulis wartawan senior.

Kapal Selam Korsel (1): Surat Konsultan Kapal Selam untuk Presiden Jokowi

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat ini sedang mengevaluasi proyek pertahanan yang bersifat strategis nasional, yaitu produksi pesawat tempur IFX dan kapal selam yang bekerjasama dengan Korea Selatan. Untuk pesawat tempur kerjasama KFX/IFX saat ini masih tahap Engineering Manufacture Development (EMD) karena pihak Indonesia saat ini terkendala belum bayar uang urunan. Sedangkan untuk kapal selam, Indonesia sudah mendapatkan 2 kapal selam kelas Chang Bogo yang dibuat di Korsel dan 1 kapal selam yang sedang menjalani uji pelayaran yang dibuat oleh PT PAL Surabaya. Kini, Indonesia memesan 3 lagi kapal selam jenis yang sama. Namun, pesanan yang kedua ini menurut beberapa media luar negeri dibatalkan karena ada beberapa masalah mendasar. Namun pihak Kemenhan belum mengakui hal tersebut. Dalam evaluasi Kemenhan kemarin, seperti dikutip dari Kompas.com, dari 3 unit kapal selam batch pertama sudah sampai di Indonesia, dua kapal selam sudah diserahkan kepada TNI AL, yaitu KRI Nagapasa 403 dan KRI Ardadedali 404. Sedangkan untuk KRI Alugoro 405 masih menjalani uji intensif oleh PT PAL-DSME selaku principal kapal selam ini Menurut Ketua Pelaksana Harian Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Sumardjono, dulu waktu kapal pertama diserahterimakan di Korsel memang ada 12 masalah di kapal selam tersebut. ‘ “Lalu kita datangkan ahlinya langsung dari Korea, akhirnya berkurang masalahnya hingga saat ini tinggal 5 kendala. Kapal selam kedua sudah jauh lebih baik penyelesaiannya,” kata Sumardjono. Apa yang diungkapkan oleh Sumardjono itu tampaknya sesuai dengan pemberitaan media Prancis Latribune yang memberitakan Pemerintah Indonesia kecewa dengan performa kapal selam buatan Korsel tersebut, sehingga mencari alternatif pemasok kapal selam lain seperti U214 Turki/Jerman dan Scorpene Prancis. Adalah Dipl. Ing. Dipl. Wirtsch. Ing. Franklin M Tambunan, Konsultan Kapal Selam yang sangat mengetahui bagaimana kualitas kapal selam produksi Korsel tersebut. Karena itulah Franklin menyurati Presiden Joko Widodo. Dalam surat yang ditulisnya di Jakarta pada 13 Januari 2020 lalu itu Franklin yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, mengenalkan dirinya sebagai Direktur dari PT. Taimex Konsultan Internasional di Bidang Konsultan Perkapalan. Khususnya kapal selam dan international business development and trader di Jerman yang saat ini kembali di Indonesia. “Sebelum menjadi konsultan saya bekerja di galangan kapal HDW, Kiel, Jerman di berbagai posisi dan pernah juga menjadi Direktur Pendidikan Pembuatan Kapal Selam untuk negara-negara asing di luar Jerman,” ungkapnya. Franklin menulis kepada Menhan karena kerisauannya terhadap pengadaan dan pembelian kapal selam dari Korsel serta rencana kelanjutannya yang menurutnya, tidak akan membantu pertahanan dan kemandirian industri pertahanan nasional ke depan ini. Korsel atau galangan kapal Daewoo mulai dari berdirinya industri pembuatan kapal selamnya secara pribadi Franklin turut serta mengonsepkan pembuatan kontrak kerja sama itu serta timnya yang memberikan pendidikan kepada tenaga ahli Daewoo pada 1994 di Jerman. Oleh karena itu ia meminta menyampaikan pikiran dan tanggapannya terhadap kedua kapal selam yang sudah kita terima dari Korsel di Surabaya dan juga pengadaan joint section pada kapal ketiga serta rencana-rencana pengadaan kerja sama dengan Korsel ke depan ini. Pembelian kapal selam dari negara Korsel dan rencana program NKRI untuk mendapatkan pendidikan Transfer of Technology (TOT) dimaksudkan agar mampu mandiri memproduksi kapal selam ke depan nanti. Melihat dari sejarah kepemilikan dan pengoperasian kapal selam oleh TNI AL (dulu ALRI-Angkatan Laut Republik Indonesia) yang dimulai sejak September 1959 hingga 2019 menunjukkan, Indonesia telah berjaya menggunakan kapal selama 60 tahun di perairan NKRI mempertahankan kedaulatan RI. Demikian juga sejarah pemeliharaan, repair, dan overhaul semua kapal selam yang dimiliki oleh TNI AL senantiasa dibawa dari Indonesia ke negara pembuatnya. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan galangan kapal Indonesia seperti PT PAL hingga saat ini. Keinginan memiliki teknologi produksi atau reparasi-overhaul kapal selam sudah muncul pada tahun19 80-an saat Cakra dan Nanggala diproduksi di Jerman. Wacana-wacana tersebut pada akhirnya direalisasikan dengan keputusan pengadaan dan pembelian kapal selam pada 2012 dari Korsel serta rencana memperoleh pendidikan TOT kapal selam dari DSME, Korsel. “Pada 2019 TNI AL telah memperoleh 3 kapal selam dari Korsel dengan berharap mendapat kemampuan untuk memproduksi kapal selam sendiri di Indonesia,” ungkap Franklin ketika bertamu ke Redaksi fnn.co.id di Jakarta. “Membangun industri pertahanan strategis nasional menuju kemandirian Industri Pertahanan merupakan amanat Undang Undang RI Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan,” lanjut Franklin mengutip UU 16/2012 itu. Menurut Franklin, ahli kapal selam Korsel adalah muridnya Franklin. Korsel selama ini tidak pernah punya pabrik kapal selam. “Saat presentasi di Indonesia, Korsel tidak bisa tunjukkan prototipe. Yang ditunjukkan cuma gambar,” katanya. Bahan baku dibeli dari Jerman, dimodifikasi di Korsel lalu dirakit di Indonesia. Sebanyak 206 tenaga Indonesia dikirim ke Korsel untuk belajar membuat kapal selam, di mana yang mengajar adalah anak muridnya Franklin. Mereka belajar 1 minggu hingga 2,5 tahun, tergantung spek apa yang dipelajari. Padahal, hal ini sudah diingatkan Franklin pada 2012 saat pertama kali MoU dengan Korsel dibuat. Hari ini semua yang dikhawatirkan Franklin, terjadi. “Dua kapal selam yang kemarin dikirim ke PAL Surabaya harganya Rp 13,9 trilin. Itu pun Korsel masih minta tambahan lagi,” ujar Franklin yang cerita ini sambil menangis, “betapa parahnya bangsa Indonesia dibodohi Korsel,” lanjutnya. Kedua kapal selam itu dibuat di Korsel dan dalam bentuk utuh disetel di PAL. “Yang ketiga disambung di sini. Section 1-7 disambung di PAL lalu dilas,” kata Franklin. Korsel butuh dana lagi untuk perbaikan. “Sekarang ada 160 masalah kapal yang perlu dana lagi. Kenapa Indonesia mau menerima barang belum jadi? Ini projek nasional. TNI AL adalah user,” tegas Franklin. Mantan Menhan Ryamizard Ryacudu sebelum Pilpres 2019 lalu teken kontrak buat kapal selam lagi 2 kapal (batch 2). Prabowo minta dibatalkan. Ia minta supaya gunakan teknologi terbaru dari Jerman yang sudah teruji pembuat kapal selam. Prabowo tidak mau kapal yang hanya menyelam dalam kedalaman 10 m. “Maunya AIP (air independent propulsion) yang hanya Jerman yang punya. Artinya Prabowo sudah mencium gelagat ini! (*Bersambung*) Penulis adalah wartawan senior Franklin M Tambunan

Di Bawah Bayang-Bayang Chaos, Selanjutnya Apa?

Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Pemerintah tengah memompa ban atau meniup balon. Terus dan terus. Dan, sesuai sunnatullah, balon yang terus ditiup atau ban yang terus-menerus dipompa, pada akhirnya bakal meledak. Begitulah yang terjadi selama lebih lima tahun terakhir. Rezim yang berkuasa terus-menerus membebani rakyat dengan aneka tarif dan harga yang mahal. Tarif dasar listrik (TDL) naik awal tahun ini. Hal serupa juga terjadi pada tarif premi (pemerintah ngotot menyebutnya iuran) BPJS Kesehatan naik untuk semua kelas. Padahal, penguasa sudah sepakat dengan DPR bahwa yang naik hanya untuk premi kelas 1 dan 2. Tapi begitulah kekuasaan yang dibangun dengan kebohongan dan kecurangan. Kalau kesepakatan dengan DPR, sebuah lembaga terhormat yang tercantum dalam konstitusi saja bisa pemerintah ingkari, tentu bukan hal aneh jika penguasa dengan gampang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Zalim dan tidak adil Kezaliman dan ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya sendiri juga tampak jelas dari kebijakan dan struktur APBN. Di sini, berbagai alokasi anggaran belanja sosial terus dipangkas. Subsidi energi termasuk listrik dan BBM dibabat hingga ke titik nol. Rakyat dan kalangan UMKM dihisap habis-habisan lewat pajak yang digenjot gila-gilaan. Khusus untuk penerimaan pajak, pemerintah benar-benar ambyar. Realisasi penerimaan pajak 2019 yang hanya sekitar 84,4%, menunjukkan jebloknya kinerja Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Bahkan selama perempuan pejuang neolib ini menjadi Bendahara Negara, rasio pajak Indonesia menyentuh titik terendah. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2018 rasio pajaknya 11,5%, 2017 sebesar 10,7%, dan 10,8% pada 2016. Sedangkan tahun 2015 dan 2014 masing-masing 11,6% dan 13,7%. Angka-angka rasio pajak ini sudah memperhitungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA) dan mineral dan batu bara (Minerba). Jika rasionya hanya dihitung berdasarkan penerimaan yang dipungut Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, dipastikan angkanya lebih rendah lagi. Di sisi lain, sebagai hamba mazhab Neolib yang memegang teguh prinsip creditors first, Sri sangat disiplin dalam membayar cicilan dan bunga utang. Tahun ini, APBN menganggarkan pembayaran bunga utang 2020 mencapai Rp295 triliun. Jumlah itu ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun. Dengan demikian, total alokasi anggaran pembayaran pokok dan bunga utang mencapai Rp646 triliun. Tingginya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang ini disebabkan syahwat Sri dalam menjaring utang terbilang ugal-ugalan. Utang Indonesia setiap tahun bertumbuh rata-rata 20%. Padahal pertumbuhan PDB rata-rata cuma 5%. Ini artinya, utang kita naik 4 kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB. Di tataran kehidupan sehari-hari, pemangkasan aneka subsidi dan penggenjotan pajak yang gila-gilaan telah menyebabkan naiknya aneka harga kebutuhan pokok. Akibatnya, beban rakyat kian berat saja. Pada saat yang sama, pemerintah makin menunjukkan ketidakadilan yang luar biasa. Yang teranyar, misalnya, pemerintah memberikan tax holiday alias pembebasan pajak kepada pengusaha Prajogo Pangestu atas pabrik petrokimia yang bakal dia bangun. Tidak tanggung-tanggung, _tax holiday_ itu berlaku selama 20 tahun. Awal 2018 silam, pemerintah juga menggerojok lima perusahaan kelapa sawit besar senilai Rp7,5 triliiun. Kepada rakyat kecil dan UMKM pemerintah begitu bengis dalam memajak, sebaliknya bagi pengusaha besar penguasa cenderung memanjakan bahkan terkesan bertekuk-lutut. Kemarahan rakyat juga kian dipicu dengan parade mega korupsi yang satu per satu terkuak ke publik. Skandal mega korupsi Jiwasraya Rp13 triliun dan Asabri yang sekitar Rp10 triliun, menambah panjang daftar keserakahan elit ekonomi dan politik negeri ini. Konon, sebentar lagi juga bakal meledak kasus Bumiputra dan sejumlah BUMN lain. Belum lagi kasus kondensat yang merugikan negara hingga Rp35 triliun yang sampai kini tidak mangkrak dan tidak jelas penyelesaiannya. Seperti disebut di bagian depan tulisan ini, dengan berabagai ketidakadilan dan skandal mega korupsi tersebut, pemerintah ibarat tengah memompa ban. Terus dan terus. Pada akhirnya, ban akan meledak. Kemarahan rakyat pun bakal tak terbendung. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung dan ketidakadilan yang secara telanjang dipertontonkan penguasa, bukan mustahil akan berujung pada terjadinya kerusuhan sosial. _Chaos_ bahkan revolusikah? Mungkin saja. Jika kerusuhan sosial bakal revolusi benar-benar meledak, sanggupkah rezim ini mempertahankan kekuasaan? Sejarah membuktikan, tidak ada satu pun kekuasaan zalim yang mampu bertahan dari gelombang kemarahan rakyat! Begitu pun di Indonesia. Bukan mustahil ‘ramalan’ Rocky Gerung, bahwa Joko Widodo bakal tumbang sebelum 2024 menjadi kenyataan. Pilpres ulang Pertanyaannya kemudian, jika rezim ini benar-benar tumbang sebelum 2020, apa yang selanjutnya terjadi? Dalam konstitusi dikenal istilah Triumvirat yang diatur di dalam Pasal 8 ayat (3). Pasal itu berunyi: “ _Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak melakukan kewajiban dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama_.” Jika Presiden dan Wapres secara bersamaan tidak berfungsi, maka Triumvirat menjadi pelaksana tugas kepresidenenan. Namun, dengan seabrek fakta yang terjadi, presiden dan kabinetnya ternyata selama ini justru menjadi sumber masalah. Kinerja mereka yang diberi amanat mengurus negeri dan menyejahterakan rakyat jauh di bawah banderol. Di tangan mereka, rakyat justru kian menderita dan merasakan ketidakadilan yang tak terperi. Menyerahkan kekuasaan kepada DPR adalah tindak kedunguan luar biasa. Orang-orang di Senayan itu sama sekali tidak memiliki legitimasi moral. Integritas mereka sudah lama tercampak ke comberan. Indikatornya gampang saja, pada periode silam lebih dari 300 anggota DPR yang berurusan dengan kasus korupsi. Jadi, bagaimana? Harus ada Pilpres ulang. Agar kredibel, kali ini buang jauh-jauh aturan _presidential threshold_ (PT). Di tangan hegemoni oligarki yang menguasai parlemen seperti selama ini, PT telah menjadi alat melanggengkan kekuasaan korup dan menindas. Lewat aturan ini mereka telah menyingkirkan putra-putra terbaik bangsa untuk tampil memimpin negeri. Presdiential threshold juga menjadi senjata ampuh melahirkan presiden yang sama sekali tak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Tujuannya, agar presiden terpilih tetap bisa menjadi boneka yang patuh untuk mengamankan kepentingan bisnis dan politik para oligarki. Karenanya, pemilihan presiden pasca _chaos_ harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para putra terbaik bangsa, tak peduli berapa pun jumlah calon yang muncul. Bahkan, katakanlah, akan mucul 100 Capres, tetap tidak masalah. Toh, nanti rakyat yang akan menentukan. Pada putaran kedua akan terpilih calon yang benar-benar mumpuni, berintegritas serta punya kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin negara besar. Bukan seperti sekarang, planga-plongo dengan kapasitas dan kapabilitas jauh di bawah kebutuhan. [*] Jakarta, 4 Februari 2020 Penulis wartawan senior

Organisasi Pengusaha Pintu Masuk ke Dunia Politik (bag 2-habis)

Oleh : Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Di Indonesia, para pengusaha pribumi yang terjun ke arena politik umumnya memulai karirnya melalui jalur organisasi pengusaha seperti misalnya Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) atau Kadin Indonesia. Itu yang dilakukan Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Sandiaga Uno, MS. Hidayat serta pengusaha senior Abdul Latif dan Siswono Yudhohusodo di era Orde Baru. Hanya saja pengalaman berorganisasi Jusuf Kala lebih lengkap dibandingkan pengusaha lainnya. Sebelum aktif di organisasi pengusaha, Daeng Ucu panggilan akrab Jusuf Kalla sejak mahasiswa telah aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden, Jusuf Kalla hingga kini masih menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) yang dijabatnya sejak 2009. Keberhasilan seorang pengusaha dalam memimpin perusahaan, tidak otomatis sukses dan berhasil ketika dia terjun ke dunia politik. Walaupun di dunia politik Aburizal Bakrie berhasil menapaki kursi menteri dan Ketua Umum Partai Golkar, namun nampaknya dia tidak berhasil mempertahankan kredibilitas dan nama baiknya seperti halnya ketika dia masih menjadi seorang pengusaha. Justru setelah Ical masuk ke dunia politik praktis, kinerja dan reputasi Kelompok Usaha Bakrie semakin redup bahkan merosot. Setelah terjun ke dunia politik, Aburizal Bakrie malah menjadi figur yang kontroversial karena dianggap bertanggung jawab atas berbagai peristiwa yang menimpa perusahaannya. Misalnya seperti kasus semburan lumpur Sidoarjo di Jawa Timur. Perusahaannya juga terlibat dalam kasus tender operator Sambungan Langsung Internasional (SLI), tunggakan royalti batu bara, dan kasus pajak Bumi. Menjelang HUT ke-78 Grup Bakrie pada 10 Februari 2020, saya iseng bertanya kepada sahabat saya yang bekerja di perusahaan tersebut. "Mas, ada acara khusus nggak menjelang HUT Bakrie tahun ini?," tanya saya. Lalu sahabat saya segera menjawab melalui WA: "Sementara ini ngga ada acara besar Kang. Maklum kondisi keuangan belum sehat he...he...". Seperti halnya siklus bisnis yang naik turun, sebuah perusahaan pun bisa mengalami pasang surut tergantung situasi dan perkembangan ekonomi nasional maupun global. Namun tidak sedikit perusahaan yang bisa bertahan di tengah krisis ekonomi. Bahkan ada beberapa perusahaan yang mampu melakukan ekspansi usaha justru di saat ekonomi sedang lesu. Aburizal Bakrie adalah anak sulung dari empat bersaudara dari pasangan orangtua Achmad Bakrie (Lampung) dan Roosniah Nasution (Medan). Boleh dibilang ketika Ical lahir dari perut ibunya pada 15 November 1946, dia sudah hidup enak dan nyaman sebagai anak orang kaya. Ketika Ical lahir, perusahaan Bakrie & Brothers yang didirikan orangtuanya juga baru berumur empat tahun. Kendati demikian, ibaratnya Ical sudah menggunakan sendok dan garpu terbuat dari bahan emas untuk makan minum. Inilah yang membedakan perjuangan orangtua yang menjadi pengusaha dengan anaknya yang mewarisi perusahaan keluarganya. Perjuangan Achmad Bakrie ketika merintis usaha dan mendirikan perusahaan Bakrie & Brothers, niscaya berbeda dengan upaya Ical ketika meneruskan perusahaan keluarganya. Setiap zaman memang melahirkan generasinya sendiri-sendiri dengan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sebelum dikenal sebagai pengusaha besar, Achmad Bakrie ternyata mengawali bisnis pertamanya dengan berjualan roti. Meski demikian, langkah awal pada usahanya itu justru menjadi tonggak sejarah penting bagi kesuksesannya di masa depan. Achmad Bakrie tidak hanya lihai dalam berbisnis, dia juga dikenal jenius karena kejeliannya melihat dan memanfaatkan peluang usaha yang ada. Sesuatu yang besar, dimulai dari hal yang kecil. Pepatah klasik ini telah diterapkan oleh Achmad Bakrie muda. Sembari mengenyam pendidikan di sekolah elit pribumi Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Menggala, Lampung, dia menyempatkan waktu untuk berjualan roti. Dengan modal beberapa rupiah di saku bajunya, Achmad Bakrie muda membeli setumpuk roti yang ditumpangkannya ke sebuah truk untuk dijual. Makanan itu ditawarkan ke Telukbetung, distrik perniagaan di selatan kota Bandar Lampung. Setelah lulus dan mengantongi ijazah dari HIS, Achmad Bakrie kemudian bekerja pada Kantor Kontrolir Lampung Tengah di Sukadana. Tak lama kemudian, dia pindah ke NV Van Gorkom, sebuah perusahaan Swasta Belanda di Bandar Lampung. Dua tahun berkarir di perusahaan tersebut, Achmad Bakrie telah mendapatkan banyak ilmu penting terutama tentang organisasi modern. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke Handelsinstituut Schoevers di Jakarta. Setelah belajar di Ibukota Jakarta, Achmad Bakrie kemudian bekerja di apotek Zuid Sumatera Apotheek di Telukbetung. Hingga pada masa itu, kedatangan penjajah Jepang membawa berkah bagi dirinya. Di era penjajahan Jepang di Indonesia, justru banyak membantu kelancaran usaha Achmad Bakrie. Setelah apotek dimana dia bekerja bangkrut, obat yang tersisa di apotik tersebut dibeli olehnya. Beberapa waktu kemudian saat harga kebutuhan medis naik, Achmad Bakrie menjualnya kembali. Kemudian uang hasil berdagang obat itulah yang menjadi modal awal usahanya. Pada 10 Februari 1942, Achmad Bakrie sukses merambah bisnis jual-beli kopi, lada, tepung singkong, dan hasil bumi lain. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Bakrie & Brother General Merchant And Commission Agent di Telukbetung. Pada tahun 1952, NV Bakrie & Brother masih digunakan sebagai simbol bisnis. Namun pada dekade 1970-an, NV berubah status menjadi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Aburizal Bakrie sebagai anak tertua, ikut terjun mengelola bisnis milik sang ayah. Seiring dengan berjalannya waktu, kelompok usaha Bakrie pun mengalami pertumbuhan pesat hingga menjadi beberapa perusahaan. Seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk,masing-masing di bidang pengolahan sumber daya alam, PT Bakrie & Brothers Tbk sebagai induk usaha (holding), VIVA dan MDIA sebagai perusahaan media dan PT Bakrieland Development, anak perusahaan yang bergerak di bidang properti. Semua usaha tersebut, sempat meraup pendapatan sebesar Rp 11,95 Triliun. Dari berjualan roti, Achmad Bakrie sukses mengembangkan bisnisnya hingga bernilai triliunan rupiah di masa depan. Berkat kecerdikan dan keahliannya melihat situasi, dia berhasil menjadi pengusaha besar di Indonesia. Memang, segala sesuatu yang besar, pasti dimulai dari yang kecil. Achmad Bakrie lahir di Kalianda, Lampung Selatan 11 Januari 1914. Beliau meninggal dalam usia 83 tahun, tepatnya tanggal 15 Desember 1997, di Tokyo, Jepang. Achmad Bakrie meninggal saat Indonesia dilanda krisis moneter dan krisis ekonomi. Berbeda dengan cerita perjalanan hidup orangtuanya yang penuh perjuangan, Aburizal Bakrie sebagai anak tertua dari keluarga Achmad Bakrie hidup nyaman dan mendapat pendidikan terbaik. Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973, Ical memilih fokus mengembangkan perusahaan keluarga, dan terakhir sebelum menjadi anggota kabinet, ia memimpin Kelompok Usaha Bakrie dari tahun 1992 hingga 2004. Dengan demikian, Ical praktis memimpin perusahaan keluarganya hanya dalam waktu 12 tahun saja. Sekarang tampuk pimpinan perusahaan dikelola oleh dua adik kandung Ical yakni Nirwan D. Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie. Saat ini Bakrie Group dipimpin oleh Nirwan Abkrie sebagai Chairman dan Indra U. Bakrie sebagai Co-Chairman. Berbeda dengan Ical, kedua adiknya itu jarang tampil di media. Ketika saya masih aktif sebagai wartawan ekonomi pada tahun 1990-an, kinerja kelompok usaha Bakrie sedang berjaya. Ketika itu, Bakrie Group sedang melakukan transformasi dari manajemen keluarga (family business) ke manajemen modern dan lebih mengedepankan aspek profesionalisme. Waktu itu perusahaan ini sengaja merekrut tenaga profesional papan atas yakni Tanri Abeng, dimana kala itu beliau dikenal sebagai "Manajer Satu Milyar". Di internal keluarga Bakrie waktu itu, tidak mudah melakukan transformasi perusahaan. Dalam kultur perusahaan keluarga, semua pegawai Bakrie Grup adalah juga bagian dari keluarga Bakrie. Pernah suatu waktu Tanri Abeng tidak hadir dalam acara ulang tahun Ny Roosniah Nasution, ibunda Aburizal Bakrie. Kemudian Ibu Roosniah pun mempertanyakan ketidakhadiran Tanri Abeng tersebut kepada Ical. Lalu Ical menjelaskan kepada ibunya bahwa perayaan ulang tahun ini merupakan acara keluarga, bukan acara perusahaan sehingga Tanri Abeng tidak perlu datang. Aburizal Bakrie termasuk salah satu pengusaha pribumi yang dibesarkan Pemerintah Orde Baru melalui kebijakan Ginandjar Kartasasmita yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) pada periode 1983-1988 dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 1985-1988. Selain Ical, pengusaha pribumi yang besar karena fasilitas pemerintah diantaranya Arifin Panigoro (Grup Medco), dan Fadel Muhammad (Bukaka Grup). Pada periode itu, Ginandjar tak ragu mamasukkan pengusaha pribumi dalam berbagai proyek pemerintah. Para pengusaha pribumi tersebut sering pula dijuki sebagai “The Jhony Boy”. Pengusaha pribumi lainnya yang juga pernah dibesarkan melalui pemberian fasilitas dari pemerintah Orde Baru adalah Fahmi Idris, Abdul Latief, Pontjo Sutowo, dan Soegeng Sarjadi. Kelompok Usaha Bakrie di usianya ke 78 bukan hanya milik keluarga Bakrie tetapi juga merupakan tempat bekerja para tenaga profesional dan karyawan Bakrie yang kini mencapai sekitar 70.000 orang. Saat ini generasi ketiga keluarga Bakrie juga sudah ikut terlibat menangani jalannya perusahaan. Kedua anak Aburizal Bakrie yakni Anindya Bakrie dan Ardiansyah Bakrie sudah diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan. Anindya Bakrie (46) saat ini menjabat sebagai Direktur Bakrie Group. Dia juga merupakan pendiri sekaligus CEO dari Visi Media Asia (VIVA) Group yang mengelola stasiun televisi TvOne dan ANTV, serta portal berita VIVA.co.id. Di samping mengurus perusahaan, Anin panggilan Anindya Bakrie juga aktif di organisasi pengusaha sebagai Wakil Ketua Kadin Indonesia. Sementara putra bungsi Ical yakni Ardiansyah Bakrie (40), dipercaya sebagai Presiden Direktur TvOne sejak tahun 2007 sampai sekarang. Akankah Kelompok Usaha Bakrie ini bisa terus maju dan berkembang hingga usia 100 tahun atau lebih ? Hal itu sangat ditentukan oleh proses regenerasi pimpinan perusahaan pribumi ini. Jika pimpinan dan pengelola Bakrie Group fokus menjalankan perusahaan, niscaya bisa tumbuh berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Sebaliknya jika keluarga besar Bakrie generasi pewaris perusahaan tergiur lagi dengan dunia politik praktis, jangan berharap reputasi perusahaan ini bisa moncer seperti ketika masih dikelola oleh Achmad Bakrie dulu. Semoga. Penulis wartawan senior.

Grup Bakrie di Tengah Redupnya Pengusaha Pribumi (bag 1)

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Pada tahun 1990-an, Grup Bakrie merupakan salah satu perusahaan milik pribumi yang sedang melesat bagaikan meteor. Kinerja perusahaan yang didirikan Achmad Bakrie tanggal 10 Februari 1942 itu, memang menimbulkan decak kagum banyak kalangan sehinga wajar kalau waktu itu banyak orang yang berebut untuk memiliki saham perusahaan-perusahaan milik Bakrie&Brothers melalui pasar modal. Aburizal Bakrie atau biasa dipanggil Ical, sebagai generasi kedua penerus perusahaan merupakan figur yang merepresentasikan sosok pengusaha pribumi sekaligus sebagai nakhoda Bakrie & Brothers. Sehingga tidak heran kalau sejumlah pengusaha non pribumi merasa gelisah melihat perkembangan usaha Grup Bakrie, mereka juga khawatir menyaksikan sepak terjang Ical waktu itu. Maka kemudian pada tahun 1994, para konglomerat non pribumi tersebut melakukan manuver politik. Mereka menekan Presiden Soeharto agar Aburizal Bakrie tidak terpilih kembali menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Gerakan ini benar benar secara politis didorong oleh motivasi untuk menggusur para pengusaha pribumi dari pucuk pimpinan KADIN. Buktinya, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, yang sebenarnya juga pengusaha yang dibesarkan Soeharto, ikut-ikutan menekan Soeharto agar Aburizal Bakrie disingkirkan dari kepemimpinan KADIN. Untunglah, pada waktu itu para pengusaha pribumi yang dekat dengan Soeharto seperti Sukamdani Sahid Gitosarjono dan kerabat dekat Soeharto, pengusaha Probosutejo (Ketua Umum HIPPI), secara solid membela Aburizal Bakrie agar tetap memimpin KADIN untuk kedua kalinya. Namun tiga tahun kemudian atau tepatnya pada pertengahan tahun 1997, para pengusaha nasional termasuk Ical diterpa krisis moneter yang kemudian meluas menjadi krisis multidimensi yang akhirnya membawa pada proses kejatuhan rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Ketika itu banyak perusahaan yang bangkrut dan gelombang PHK terjadi di mana-mana.Kebangkrutan perusahaan nasional waktu itu antara lain karena banyak perusahaan yang mengalami krisis likuiditas dan utang yang menumpuk termasuk Grup Bakrie. Bahkan akibat krisis keuangan yang dahsyat waktu itu, Ical mengibaratkan dirinya hanya tinggal memiliki “celana kolor”. Hampir semua aset perusahaan Grup Bakrie diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga khusus yang dibentuk untuk merestrukturisasi perbankan dan perusahaan-perusahaan nasional. Lembaga ini dibentuk tahun 1999 saat Presiden RI dijabat oleh Prof Dr. BJ Habibie. Krisis moneter merupakan hantaman terberat sekaligus pelajaran berharga bagi para pengusaha nasional. Waktu itu banyak perusahaan yang collapse karena struktur usahanya memang rapuh. Usaha dan bisnis mereka banyak yang didirikan hanya dengan modal utang saja. Celakanya, utang perusahaan nasional waktu itu bukan hanya bersumber dari perbankan domestik tetapi juga dari lembaga keuangan dan perbankan internasional. Kendati demikian, periode krisis tersebut berhasil dilalui perusahaan besar. Setelah direstrukturisasi BPPN, secara bertahap sejumlah perbankan dan perusahaan nasional mulai bangkit kembali tidak terkecuali perusahaan milik Kelompok Usaha Bakrie. Secara perlahan sejumlah perusahaan di dalam negeri mulai recovery dan kegiatan ekonomi dan bisnis berjalan kembali dengan normal sehingga perekonomian nasional bisa bertumbuh positif setelah sebelumnya mengalami konstraksi atau bertumbuh secara negatif. Menurut daftar yang dirilis Majalah Forbes pada tahun 2007, Bakrie adalah orang terkaya di Indonesia. Bahkan menurut majalah Globe Asia tahun 2008, Bakrie adalah orang terkaya di Asia Tenggara. Namun, krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008, telah menjatuhkan peringkat Ical sebagai predikat orang kaya. Dan pada tahun 2012, Ical pun tidak lagi bertengger di daftar orang terkaya di Indonesia. Pada krisis ekonomi tahun 1998, Grup Bakrie berhasil lolos dan bangkit dari keterpurukan. Namun rupanya, pada krisis keuangan global tahun 2008, perusahaan ini tidak bisa melakukan recovery dengan cepat seperti halnya pasca krisis ekonomi tahun 1998. Ketika melakukan kilas balik ke belakang sambil mengingat interaksi saya sebagai wartawan dengan Kelompok Usaha Bakrie , ternyata pada tahun 1998 Aburizal Bakrie selain merasakan langsung dampak krisis ekonmi dia juga waktu itu ikut terlibat langsung dalam proses restrukturisasi dan penyelesaian utang perusahaan. Situasi tersebut berbeda dengan saat krisis keuangan global tahun 2008 dimana kala itu Ical tidak lagi in charge langsung menangani kesulitan yang dialami perusahannya karena sejak tahun 2004 ayah dari Anindya Bakrie, Ditha Bakrie dan Ardi Bakrie ini, telah memutuskan untuk mengakhiri kariernya di dunia usaha. Dia lebih tergiur dan terpincut dengan dunia politik praktis, lalu Ical pun masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu sebagai Menko Bidang Perekonomian pada tahun 2004 bersamaan dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI ke-6. Setahun kemudian, Ical posisinya bergeser menjadi Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat. Karir politik Ical terus meroket setelah dia terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar tahun 2009, menggantikan Jusuf Kalla. Waktu dan energi Ical pun betul-betul tercurah sepenuhnya untuk mengurus partai. Lalu pada tahun 2012, dia ditetapkan sebagai calon presiden Partai Golkar pada Pemilu Presiden Indonesia tahun 2014. Sebenarnya sejak tahun 2004, sosok Ical sudah berubah dari semula sebagai pengusaha menjadi politisi atau penguasa. Sejak itu Aburizal Bakrie sudah menyatakan secara resmi mengundurkan diri dari dunia usaha. Dan khalayak umum pun menyematkan sebutan padanya sebagai pengusaha-penguasa atau Pengpeng. Adakah yang salah dengan pilihan Ical ? Tentu tidak !. Namun yang jelas, dunia usaha dan bisnis sangat berbeda jauh dengan dunia politik praktis. Salah satu perbedaan menonjol antara seorang pengusaha dan politisi adalah soal reputasi. Di dunia bisnis, reputasi dan kredibilitas seorang pengusaha merupakan modal utama dalam memperluas jejaring usaha dan bekal penting dalam berinteraksi dengan mitra usaha. Sebalikya di dunia politik praktis, reputasi seorang politisi sangat dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan. Sehinggaa berlakulah ungkapan yang sudah diketahui masyarakat luas: “Di dunia politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan kekuasaan”. Dalam dunia politik, para politisi berlomba bahkan saling sikut-sikutan untuk meraih kursi kekuasaan sebaliknnya di dunia usaha dan bisnis para pengusaha berlomba untuk meraih keuntungan (profit). Bagi pengusaha tertentu yang memiliki idealisme, totalitas mereka dalam memajukan usaha dan bisnisnya dimaksudkan untuk membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dan bukan semata untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri dan keluarganya saja. (bersambung) Penulis wartawan senior.