Hancur Indonesia, Bila MK Terima Perpu Corona
By Dr. Margarito Kamis
Jangan lupa orang yang berlaku tidak adil, berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat, tetaplah berpikir seperti mukmin yang sejati dalam menyelesaikan masalah-masalah yang anda hadapi, dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan. (Imam Al-Ghazali).
Jakarta FNN – Rabu (14/03). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020. Judul Perpu ini begitu panjang. Susah untuk mengingat dan menuliskannya, sehingga saya hanya menyebutnya “Perpu Corona”.
PKS hanya sendirian yang tidak setuju Perppu Corona menjadi undang-undang. Selebihnya itu setuju. Menyebut mereka yang menyetujui Perpu ini, tak mempertimbangkan bahaya besar yang dibawa oleh Perppu Corona. Boleh jadi akan diolok-olok. Menyebut persetujuan mereka sebagai kesediaan termurah mengebiri kewenangan mereka sendiri. Sekaligus memanipulasi kedaulatan rakyat. Boleh jadi akan ditandai sebagai orang-orang berakal pendek.
Toh pengadilan, khususnya Mahkhmah Konstitusi (MK) masih ada. Pengadilan dapat mengesampingkan sebagian, bahkan seluruh pekerjaan bersama DPR dan Presiden. Bila anda tidak puas, gunakan hak konstitusi anda. Pergilah ke Mahkamah Konstitusi. Silahkan bertarunglah di MK sana. Sampai di sini terlihat sangat sederhana, dan sepintas selalu masuk akal.
Terlalu banyak yang terkecoh dengan hukum. Akibatnya, hukum diterima begitu saja sebagai hal hebat dalam berbangsa dan bernegara. Hukum mewakili satu peradaban lain, yang berbeda dengan peradaban bar-barian. Gambaran ini jelas bersifat reduksionis. Masyarakat bar-barian sekalipun, juga hidup dan diatur dengan hukum.
Hukum, memang tak selalu menipu layaknya demokrasi. Sekali lagi, tidak. Hukum justru menjadi permainan demokrasi paling canggih. Demokrasilah, yang menjadi induk kredo hukum harus diagungkan. Hukum supreme atau supremacy of law atau constitution as a law of the land.
Hebatkah itu? Ya hebat. Karena kehebatannya itu, maka mafia kecil-kecilan, kartelis berskala korporasi, dengan otokrat pemula yang bodoh serta demagok tersamar, juga menyukainya. Itu soalnya. Dan ini yang soal besar. Bukankah hukum-hukum itu dibentuk oleh politisi?
Hukum tidak pernah lebih dari endapan-endapan kepentingan yang saling menyanggah. Huruf-huruf hukum, anda tahu, tidak pernah lain selain kepentingan yang dikompromikan, diintegrasikan dan diadaptasikan. State of nature dari hukum negara dimanapun itu, tidak pernah lain selain kepentingan.
Agenda Korporasi Busuk Merampok
Jelas pada semua spektrumnya, hukum selalu mudah dimanipulasi. Dibelokan kearah apapun, sejauh kepentingan terkuat menjadi penyangganya. Itu sebabnya membicarakan hukum, sepenting apapun itu, tak pernah menjadi lebih penting dari bicara bagaimana hukum itu dirancang dan dibicarakan di ruang tersembunyi.
Demokrasi selalu muncul sebagai sarana legitimasi paling tangguh, dan tergantikan. Demokrasi memoles semua mimpi otokrat, demagok, korporat oligarkis dengan polesan khasnya. Polesan itu adalah hukum merupakan endapan, cerminan dan pantulan kehendak rakyat. Begitulah kehebatan tipuan dari demokrasi.
Meloloskan Perppu Corona, sejauh ini ditunjuk sebagai cara paling jitu bangsa ini mendemonstrasikan semangat kekelurgaan dan gotong-royong untuk menyerang seluruh akibat buruk Corona. Argumen sederhana khas politisi pemula itu, melambung tinggi di jagat politik mutakhir. Hanya itu saja. Tak lebih.
Heroik dan patriotik kedengarannya. Heroisme dan patriotism itu mengunci semua hasrat, andai ada, dan kebutuhan mengenal bahaya Perppu Corona ini. Heroisme buta itu menutup pencarian sistimatik terhadap, misalnya cukupkah keadaan sekarang menjadi fundasi perluasan kewenangan presiden?
Beralasankah keadaan sekarang, untuk kesekian kalinya saya ungkapkan, perluasan kewenangan BI, dan OJK? Beralasankah untuk terus-terus menjadikan krisis keuangan sebagai monster? Padahal krisis terlihat memiliki hukum khasnya. Datang dalam siklus yang acap dapat dikalkulasi sebelumnya.
Dua kali krisis keuangan, dua kali pula bangsa ini berurusan dengan hukum. Bukan dalam arti membuat hukum. Tetapi setelah membuat hukum, penanganan terhadap krisis menghasilkan masalah hukum. Politisi memang sulit diminta belajar. Mengambil pelajaran dari sejarah krisis yang sebelumya.
Sayang, politisi sedang tak tergoda dengannya. Pengalaman itu masih dianggap tak berguna oleh Senayan untuk diletakan di atas meja kalkulasi mereka. Tragis memang. Kenyataan yang begitu telanjang, tak mampu menggoda mereka menjadikannya guru yang mencerahkan.
Pahit, politisi belum mau menjadikan diri menjadi yang mencerahkan. Mengenal masa lalu bangsa yang hitam. Yang pernah melilit bangsa yang besar ini. Masih begitu gampang untuk disepelekan oleh politisi. Padahal China yang hari-hari ini begitu menakutkan bagi Amerika, mencapai level itu, karena para politisinya mengenal masa lalu. Mereka punya yang hasrat besar mengubah dan menjadikan China yang menakutkan, bahkan kelak memimpin dunia.
Pembaca FNN yang budiman, omong-kosong paling canggih saa ini adalah menyatakan korporasi-korporasi Indonesia babak belur. Bahkan akan gulung tikar sekarang dan setelah corona pergi. Entah kapan? Dan pembelaan terhadap korporasi yang paling membodohi rakyat adalah memberi kewenangan BI dan OJK untuk “mengistimewakan” korporasi, dan menyepelekan UMKM. Ini pembodohan sangat murah, menjijikan dan tidak bermutu.
Mahkamah Konstitusi (MK), mungkin tak punya pengetahuan dan alat untuk memetakan dimensi kartel, oligarkis dan otokrat, dibalik Perpu Corona itu, bila kelak mereka ditantang melalui Judicial Review (JR). Mungkin. Tetapi andai MK tertatih-tatih pada wilayah ini, mungkinkah MK tak tertatih-tatih juga pada isu, sebut saja, “beginikah cara mengidentifikasi keadaan genting dan memaksa” itu?
Andai, entah bagaimana formulanya, MK menghindar dari semua soal politik di atas. Mungkinkah MK menempuh jalan berputar pada secuil rumus dalam mengidentifikasi legalitas kemunculan keadaan kegentingan yang memaksa? Mungkin saja. Dan itulah jalan yang paling aman.
Akankah MK di jalan itu mengambil dari gudang khasanahnya; (1) ketiadaan hukum, dan (2) hukum yang tersedia tidak memadai, serta (3) ada kebutuhan yang terasa mendesak untuk menangani keadaan, sebagai dasar legitimasi konstitusi adanya kegentingan yang memaksa? Itu pekerjaan kecil yang standar.
MK tidak boleh terlalu naif dengan tak melampaui demarkasi kecil itu. MK harus memasuki wilayah yang lebih riskan. MK harus punya tesis, setidaknya mencurigai berdasarkan tuntunan sejarah, bahwa “krisis adalah cara kerja dari korporasi dan para oligarskis tamak dan busuk, yang secara samar-samar berusaha memanipulasi keadaan untuk memperbesar kekuasaan Presiden yang melebihi konstitusi.
MK Yang Dibanggakan Sejarah
Asyari Usman, jurnalis senior FNN, telah dengan sangat tepat mengidentifikasi “merusak negara” bisa dilakukan dengan menggunakan konstitusi. Asyari memang bukan jurnalis hukum dan politik. Tetapi tetap saja seorang jurnalis, yang sangat kredibel. Asyari mantan jurnalis BBC London, media massa nomor satu di Inggris. Pikirannya benar, sekalipun ditantang dengan argumen demokrasi.
Pikiran Asyari Usman itu, hemat saya memaksa MK, tentu agar bisa terlihat sebagai orang-orang yang gagah, dan berwibawa. MK harus berani untuk tak hanya berputar-putar pada konsep tradisional semata. Konsep-konsep itu, misalnya “presidential discretion” atau “presidential power” atau “implied power” atau “emergency power” atau “executive privilege”.
MK, mau tak mau harus menenggelamkan kepalanya ke dalam musabab konsep itu. Sebab di dalam musabab itulah dimensi busuknya dapat dikuak. MK dalam konteks impian itu, harus menyusuri dengan cermat, dimensi manipulatif khas politisi utilitarian, dan demagog terselubung. Kerena merekalah juga yang menggelindingkan konsep “presidential prerogative, dan “executive prerogative” mutakhir. Masalahnya, ini pekerjaan tidak mudah, kerna kelewat berat.
Seberat itu sekalipun, MK patut menghindar sejauh mungkin dari hanya mengemukakan konsep-konsep di atas sebisa dan seadanya. Sebisa mungkin, MK tidak mengetengahkan konsep-konsep di atas sekadar karena konsep itu telah begitu mewarnai khasanah pikiran tata negara Indonesia.
Mari mendambakannya. Percayakan sepenuhnya kepada Yang Mulia Hakim MK. Dengan perspektif itu, mereka pasti memiliki hasrat untuk dibanggakan oleh sejarah bangsa ini. Dibanggakan oleh anak-cucunya kelak. Mereka pasti ingin dikenang sebagaimana, mungkin diantara mereka, mengenang John Marshal, hakim pertama dalam sejarah Amerika yang menemukan Judicial Review.
Memikirkan semuanya, dalam keyakinan saya, tidak serumit para kimiawan memikirkan formulasi kimia untuk obat penyembuh penyakit corona, apalagi penyakit berat. Tidak. Menemukan pikiran baru, yang berbeda dengan pikiran tiga abad lalu jelas tak serumit ahli pesawat merancang sayap pesawat.
Perppu Yang Cocok di Abad 17
Tak taklid buta pada konsep constitutional dictathorship-nya Clinton Rositer, ilmuan politik ini, harus dipertimbangkan. Tak terjebak pada tesis ini, akan terlihat dalam sekejap sebagai sikap yang oke. Tetapi menjadikan pikiranh itu sebagai sampah. Bukan pilihan masuk akal.
Soalnya, dimana MK harus mengambil posisi? Takutlah dan kenallah MK. Perpu Corona ini cukup terang menunjukan bahwa, hanya dengan satu pukulan, kekuasaan budgenting DPR yang disediakan oleh para pendiri bangsa rontok seketika. Sialnya, DPR menerima dengan lapang dada. Entah karena terhipnotis dengan semangat royong-royong salah kaprah, atau hal lain? Entah apa itu.
Kecerdasan teruntun ketakutan akan diadili di hari penghitungan akhir yang pasti. Kecerdasan itui jelas harus dipunyai hakim-hakim MK. Itu dirindukan, karena tindakan pemerintahan berdasarkan Perpu Corona ini tak bisa dicek dan dikoreksi di pengadilan. Juga tidak bisa diawasi di DPR. MK, harus bilang bahwa gagasan Perpu Corona ini hanya cocok digunakan pada pertengahan abad ke-17 dulu.
Membebek tidak bakal dikenal dalam semua tradisi besar sebagai sikap baik. Itu sebabnya MK tak usah membebek pada Sir Edward Coke. Tetapi harus diakui Coke adalah pemikir tata negara paling gemilang di Inggris pertengahan abad ke-17. Dialah penantang paling gigih terhadap klaim raja absolut, Charles I pada 1648 tentang “royal prerogative”.
MK tak usah menelan mentah-mentah konsep “implied power”. Ini konsep Amerika, yang hanya untuk presiden mereka. Kewenangan dalam konsep ini tidak diatur dalam konstitusi. Ini konsep hasil penalaran Alexander Hamilton, Menteri Keuangan Pertama dalam Kabinet Presidensial George Washington.
Konsep “implied power” ini disodorkan dalam rangka menyingkirkan pikiran oposisi Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton. Sebab keduanya menolak gagasan pembentukan First American Bank, yang akan didahului dengan pembentukan UU-nya. Begitu asal sebab lahirnya konsep itu.
Konsep itu akhirnya memang lolos. Lolos bukan karena rasionalitasnya. Tetapi lebih karena Hamilton punya kedekatan spesial dengan George Washington. Kedekatan ini yang tidak dimiliki Thomas Jefferson dan Madison.
MK Bukan Kaki Tangan Presiden
Hukum tata negara, suka atau tidak, berasal dari pikiran liar politisi. Konsep “executive privilege” misalnya, muncul dalam kasus Watergate. “Executive privilege” ini adalah pikiran liar kelompok Richard Nixon, yang terus tersudut oleh skandal Watergate.
Amerika diuntungkan oleh pengadilan Washington DC, yang memerintahkan Gedung Putih segera menyerahkan rekaman asli ke parlemen. Bila pengadilan Washington DC membebek, dan menjadi kaki tangan Gedung Putih, maka konsep liar “executive privilege” diformalkan sebagai hukum tata negara.
Executive privilege, executive prerogative, executive discretion, semuanya merupakan pikiran liar. Semua punya sifat dictatorial. Pikiran itu menyembur diluar huruf-huruf UUD. Tak lebih. Pikiran itu memiliki bobot hukum, karena disahkan oleh pengadilan, dan politisi. Itu saja.
Musabab dibalik semua konsep-konsep di atas, andai dapat dieksplor oleh MK, dan menjadikannya senjata baru dalam khasanah pikiran tata Negara Indonesia, maka MK menemukan jalan manis. MK bukan hanya as a guard of the constitution, tetapi guard of the people sovereignty. MK juga akan dikenang dalam sekeping sejarah tata negara sebagai bukan special board of Indonesian presidential.
Buatlah pikiran baru, dengan argumen baru, khas Indonesia. Berilah warna Pancasila dalam semua dimensinya. Terangilah bangsa ini, dengan menemukan cara kerja demokrasi liberal UU ini. Pastikan liberalisme punya kaki tangan canggih memanipulasi hukum. Liberalisme selalu menadi induk korporasi, oligarks, otokrat, dan demagok memimpin menipu rakyat dan merampok uang negara.
Hakim-hakim MK, semoga tak membebek. Tidak juga merendahkan diri dan martabat kepada presiden dan DPR. Tetapi bila pasal 27 dan 28 Perpu yang sudah disetujui DPR itu, juga diterima oleh MK, maka kepingan sejarah Indonesia punya cerita lain.
Pasal 27 dan 28 Perpu Corona itu adalah cermin “otokrat, korporat oligarkis, demagok, dan democrat utilitarian”, suka atau tidak. Menyetujuinya sama dengan menulis sekeping sejarah negara Indonesia bahwa MK bisa menjadi kaki tangan Presiden dan DPR. Semoga tak secuilpun dalam kepingan sejarah republik ini, mencatat MK bisa berhianat pada bangsa dan negara dengan cara yang canggih. Semoga.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate