OPINI

Provokasi China: Prabowo Bisa Terapkan Hankamrata!

Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sejarah Perang Rakyat 10 November 1945 di Kota Surabaya telah membuktikan pada dunia bahwa pertahanan rakyat adalah jalan terakhir yang ditempuh rakyat Indonesia ketika asing menyerang Indonesia. Tak ada rasa takut pada diri rakyat Indonesia! Konsep Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang akan melibatkan seluruh komponen bangsa bisa tetap diberlakukan karena telah teruji oleh sejarah, selain memiliki kehandalan dalam melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Hal itu disampaikan Menhan Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (11/11/2019). Prabowo mengatakan, untuk mempertahankan sistem pertahanan tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004. “Pertahanan keamanan rakyat semesta adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan semua ini untuk melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman,” katanya. Meski teknologi pertahanan Indonesia saat ini jauh tertinggal dengan negara-negara lain, tapi melalui konsep Hankamrata Indonesia diyakini akan bisa memenangkan sebuah perang. Tak akan ada yang bisa mengalahkan rakyat Indonesia! “Kita mungkin tidak bisa mengalahkan kekuatan teknologi bangsa lain, tetapi pertahanan kita yang berdasarkan pemikiran, konsep pertahanan rakyat, semesta perang kalau terpaksa kita terlibat dalam perang,” tegas Prabowo. “Perang yang akan kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war,” katanya dalam paparannya di komisi DPR yang menangani soal pertahanan dan keamanan tersebut, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menyebutkan bahwa konsep pertahanan tersebut sudah terdoktrin oleh masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Sehingga dengan konsep ini, perlu dilakukan program “Bela Negara” bagi warga Indonesia. “Itu adalah doktrin Indonesia selama ini. Lahir dari sejarah kita bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut bela negara,” katanya. Ia mengutarakan, bangsa Indonesia tidak akan diduduki oleh negara lain, apabila seluruh rakyat menjadi komponen pertahanan negara. “Jadi mungkin kita bisa dihancurkan prasarana kita, tapi saya yakin bahwa Indonesia tidak mungkin diduduki bangsa lain karena seluruh rakyat akan menjadi komponen pertahanan negara,” kata Prabowo. Belakangan ini, Indonesia protes kepada China yang menuding kapal ikan Tiongkok sempat memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini. Dan, China menolak protes Indonesia tersebut. "China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha yang terletak di LCS) dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam jumpa pers rutin di Beijing, Selasa (31/12), seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri China. Geng menegaskan China juga memiliki hak historis di LCS. Menurutnya, nelayan-nelayan China telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan sekitar Kepulauan Nansha, yang menurut Indonesia masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Padahal, klaim China atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Geng juga berdalih, kapal yang berlayar di kawasan itu baru-baru ini adalah kapal penjaga pantai China yang melakukan patroli rutin. “Patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat kami yang sah di perairan terkait,” kata Geng. Akibat insiden itu, Kemlu RI telah melayangkan protes kepada China dengan memanggil duta besarnya di Jakarta pada awal pekan ini. Melalui pernyataannya pada Rabu (1/1), Kemlu RI menolak “klaim unilateral” China tersebut. “Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” kata Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016,” tegas Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” tegas Kemlu RI. Meski berbatasan langsung dengan LCS, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan China di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik LCS segera diterapkan. Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik. Provokasi China Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Tercatat, pada 10 Desember 2019, Coast Guard China muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Bakamla Indonesia. Karena dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua Coast Guard China masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan ZEE Indonesia di utara Natuna. ZEE Indonesia itu diakui PBB. Kali ini China unjuk kekuatan. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibekingin oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. Kapal Bakamla KM Tanjung Datuk 301 mencoba mengusir kapal-kapal China itu. Mereka menolak dengan alasan, berada di wilayah laut China. Pejabat senior Bakamla, Nursyawal Embun, mengatakan pihak China pasti tahu bahwa mereka berada di ZEE Indonesia. Sebab, cukup jauh jaraknya dari wilayah laut yang dikuasai RRC. Pada 30 Desember 2019, Kemenlu RI melancarkan protes ke China. Tapi, hari berikutnya, 31 Desember 2019, kapal-kapal China masuk lagi ke perairan utara Natuna. Kemenlu kemudian memanggil Dubes China di Jakarta. Protes keras disampaikan. Wartawan Senior Asyari Usman mencatat, modus ekspansi laut China sangat jelas. Mereka kirim dulu kapal-kapal nelayan ke perairan Natuna. Kapal perang melakukan pengawalan. Ini membuat Bakamla akan berhati-hati bertindak tegas. Sebab, di belakang kapal-kapal nelayan itu ada kapal perang China yang stand-by. Bakamla tentu bisa meminta bantuan ALRI. Tapi, kekuatan AL China pastilah jauh lebih besar dan lebih tangguh. Dan, kalau sampai kapal perang Indonesia terpancing menggunakan kekerasan, itu akan dijadikan alasan oleh China untuk mengerahkan armada AL mereka lebih banyak lagi ke perairan ZEE Indonesia. Di sini perlu ketegasan Preside Joko Widodo atas klaim China di laut Natuna itu, seperti yang pernah diucapkannya saat Debat Pilpres 2014, “Kita bikin rame!” Inilah saatnya Menhan bisa terapkan Konsep Hankamrata! Saya yakin, rakyat Indonesia tidak akan pernah takut jika harus berkonflik (baca: perang) dengan negara asing! Penulis adalah wartawan senior

Shortfall Penerimaan Perpajakan

Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5%, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. By Andi Rahmat Jakarta, FNN - Pencapaian penerimaan perpajakan hingga akhir tahun 2019 mencatatkan pencapaian historik. Shortfall 19% dari target APBN Rp 1.577 triliun, atau secara absolut berkisar Rp 200 triliun. Meskipun demikian, saya tidak sedang membicarakan soal konsekuensi hutang ini. Tetapi diskusinya adalah menelisik soal atau sebab-musabah, dan pembacaan terhadap kinerja ekonomi. Cerita Shortfall ini bukan barang baru dalam catatan penerimaan perpajakan kita. Setidaknya sejak tahun 2017 hingga 2019, shortfall absolut penerimaan perpajakan selalu melampui angka Rp 100 triliun. Bahkan berturut-turut di tahun 2017 shortfallnya Rp 130 triliun, dan pada tahun 2018 Rp 108 triliun. Konsekuensinya, target defisit APBN selalu mengalami overshoot. Atau dengan kata lain terjadi penambahan hutang di luar perkiraan pembuat kebijakan fiskal. Yang utama dalam tulisan ini adalah soal simpulan terhadap pelambatan kinerja ekonomi kita. Supaya lebih netral dari segi istilah, ada bagusnya menggunakan istilah International Monetary Fund (IMF), sluggisnya kondisi perekonomian kita. Dua istilah itu, sama-sama tercermin dalam pencapaian pertumbuhan Pruduk Demontik Bruto (PDB) kita yang bergerak dibawah 5,2 % dalam emat tahun terakhir. Memang ada satu model perkiraan penerimaan perpajakan yang selama ini diterapkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, baik di DPR maupun di Kementerian Keuangan. Tampaknya kebijakan dibuat selalu overestimate terhadap target penerimaan perpajakan. Yang sebagiannya disumbangkan oleh simplifikasi terhadap simpulan posisi tax ratio ketimbang menelisik kinerja sektor ekonomi. Dari sisi fundamental APBN, shortfall atau target yang besar itu memang masih bisa dimitigasi resikonya. Bahkan dengan pendekatan mitigatif yang ekspansif sekalipun. Sebab, harus diakui, sejak periode SBY hingga Jokowi, penguatan fondasi struktural APBN kita memang cukup solid. Namun, shortfall perpajakan tetap merupakan suatu masalah serius yang mesti dilihat secara seksama. Kinerja penerimaan yang serial seperti itu menyalakan lampu kuning bagi kita semua. Khususnya para pembuat kebijakan di bidang ekonomi. Shortfall yang menunjukkan dua hal sekaligus. Fatiguenya fiskus dalam menyasar para objek pajak. Sementara kelelahan yang sama, juga dialami oleh objek pajak dan wajib pajak. Di level fiskus, kelelahan ini muncul karena sumber daya fiskus yang semakin ketinggalan. Perangkat administratif yang sudah mulai kadaluarsa. Selain itu, fondasi regulasi yang semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan objek pajak atau potensi objek pajak. Sumber daya yang dimiliki fiskus, terutama yang berkaitan dengan sumber daya manusianya, memang sudah waktunya diperkuat. Dari segi kuantitas, pertumbuhan SDM fiskus dalam sepuluh tahun terakhir sangat jauh dari ratio yang paling konservatif sekalipun. Rationya yang normal adalah 1 : 1.590 terhadap populasi dan 1 : 936 terhadap wajib pajak. Demikian juga dengan kualitas. Perkembangan sektor-sektor baru perekonomian yang justru sedang mengalami booming. Untuk itu, sopistikasi praktek ekonominya, juga membutuhkan kualitas SDM fiskus yang sebanding. Perangkat administratif perpajakan juga mengalami hal yang sama. Administrasi perpajakan masih menyulitkan fiskus dalam berinteraksi dengan perkembangan objek pajak. Ringkasnya, selain kantor atau tempat layanan perpajakan yang belum memadai, juga insentif administratif terhadap kinerja fiskus yang tidak sebanding dengan besarnya effort yang dibutuhkan. Dari sisi regulasi, sudah dua belas tahun lebih, dan terakhir kali kita melakukan overhaul menyeluruh terhadap regulasi perpajakan. Memang ada produk minor regulasi sektor perpajakan. Tetapi sifatnya lebih sektoral dan terbatas. Kebutuhan overhaul menyeluruh adalah kebutuhan yang pasti seiring dengan perkembangan sektor- sektor perekonomian. Sementara kelelahan yang dialami oleh objek pajak dan juga wajib pajak disumbangkan oleh sluggishnya perekonomian. Lapisan tarif yang juga tidak lagi kompetitif. Selain itu, perlu intensifikasi basis pajak dan untaxable objek pajak. Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5% saja, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. Dalam soal tarif, sudah jamak dimahfumi bahwa tariff bracket perpajakan kita sudah menjadi disinsentif bagi perekonomian kita sejak 12 tahun lalu. Terutama sewaktu kita melakukan overhaul, penetapan tarif itu, lebih mempertimbangkan dampaknya terhadap postur penerimaan negara dan rendahnya tingkat kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) kala itu. Ketika itu, besar tarif tidak seelastis dibanding sekarang terhadap kinerja ekonomi. Karenanya di tahun-tahun awal penerapan tarif perpajakan pasca overhaul, selain kinerja ekonomi yang positif, eksetensifikasi dan intensifikasi pajak tidak negatif terhadap kinerja perekonomian. Sedangkan intensifikasi basis pajak juga demikian. Fenomena yang terjadi pasca kebijakan Tax Amnesty adalah over regulasi pada basis pajak yang sama. Ekspansi berbau draconian terhadap wajib pajak, karena perburuan target yang irasional, menyasar hingga sektor sensitif seperti sektor keuangan dan perbankan. Objek pajak mengalami distress dan wajib pajak mengalami disinsentif yang jamak sekali dalam percakapan harian. Terakhir, masalah untaxable objek pajak. Terutama karena masalah ini terjadi pada sektor-sektor baru. Khususnya yang berbasis ekonomi digital. Selain itu, inversi perpajakan yang belum memadai antisipasinya dari sisi regulasi. Sebagai penutup. Saya hanya ingin menegaskan tentang perlunya kita sama-sama melihat ketimpangan ekonomi yang makin melebar. Kondisi ini disertai dengan pelemahan pertumbuhan kualitas kelas menengah yang taxable. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Bisnis dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Matinya Keadilan Sosial, Catatan Awal Tahun

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Keluhan Said Aqil Siradj (SAS) beberapa hari lalu tentang matinya keadilan sosial, disampaikan beliau pada acara haul leluhurnya di Cerebon, dihadapan puluhan ribu massa kaum Nahdatul Ulama (NU). SAS memperkuat keluhan yang sama yang beberapa tahun belakangan ini disampaikan Habib Rizieq Sihab. Keduanya mewakili mayoritas ummat Islam di Indonesia, yang artinya juga mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Dalam pidatonya tersebut, SAS menyampaikan bahwa oligarki (kapitalis) mengambil hampir semua kesempatan ekonomi di tanah air. Mereka oligarki kapitalis tidak menyisakan rakyat kebanyakan, kecuali sebagai penonton dan "kuda tunggangan" dalam peraihan kekuasaan. Habibi Rizieq, berbeda dengan SAS. Habib Rizieq langsung mengarahkan istilah oligarki pemilik modal ini dengan sebutan “Sembilan Naga”. Atau menurut Christian Chua, sebagai China kapitalis. Karena faktanya oligarki modal di Indonesia tidaklah berbeda dengan Cina kapitalis tersebut. Apa yang disampaikan SAS ini telah diteliti Professor Amy Chua, Yale University, dalam "World on Fire", 2003, yang menyebutkan demokratisasi dan free market ekonomi yang masuk ke negara-negara seperti Indonesia. Dimana etnik minoritis menguasai ekonomi, membuat jurang ketimpangan semakin dalam. Chua meneliti puluhan negara, di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Christian Chua, dalam "Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital", 2006. Sebuah disertasi, bukan hanya sejalan dengan temuan Amy Chua. Bahkan saat ini China kapitalis, bukan saja menguasai ekonomi, namun paska reformasi mereka telah menguasai negara. Christian Chua menggambarkan transisi Cina kapitalis dari masa "Bureaucratic capitalism" di era orde baru. Lalu masa "Oligarchic Capitalism" sekitar tahun 80-an sampai 1998, dan masa selanjutnya "Plutocratic Capitalism". Dimana kekuatan Cina kapitalis yang awalnya berlindung pada politico-bureaucrat, akhirnya saat ini memiliki kekuatan lebih unggul. Dalam demokrasi, awalnya para kapitalis shock karena harus terlalu banyak menawarkan konsesi kepada pusat kekuasaan yang menyebar. Namun, sejalan dengan demokrasi yang bersandar pada politik uang, maka sandaran politik kekuasaan kembali kepangkuan para kapitalis. Plutocrary artinya "the rule of wealth". Dalam politik, "plutocratic capitalism" maksudnya negara yang dikendalikan orang-orang kaya. Kadangkala istilah lain yang mirip adalah "Corporatocracy", untuk menunjukkan korporasi besar yang nengendalikan negara. Bukan individual-individual pengusaha. Kecepatan dan percepatan akumulasi asset para kapitalis ini, diteliti oleh Jeffrey Winter (2013) dan Arif Budimanta ( 2017). Menurut Budimanta, pada tahun 2016, Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di sini mencapai 548.000. Sedangkan di Singapore 46.000 dan Malaysia 152.000. MPI ini ukuran kekayaan para kapitalis dibandingkan rata-rata pendapatan penduduk (GDP perkapita). Menurut Jeffrey kesenjangan kekayaan kaum oligarki ini dengan rata-rata rakyat, di Indonesia, merupakan yang terburuk di dunia. Sebagai catatan tambahan, Oxfam, sebauh NGO Inggris, merilis riset 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin (2017). Pada tahun 2019, LPS mencatat 0,2% pemilik rekening di bank, menguasai 63,8% total simpanan bank. Professor Amy Chua berbeda dengan Christian Chua dalam melihat persoalan ketimpangan di Indonesia ini. Amy Chua melihat unsur etnisitas dalam pendekatannya, sebaliknya Christian Chua melihatnya dalam pendekatan struktural. Pendekatan Christian yang struktural lebih melihat peranan modal dalam hirarki kekuasaan. Bagi Christian Chua, dalam sistem Kapitalisme, siapa yang mengontrol modal maka dialah yang mengendalikan negara tersebut. Dan negara adalah alat para kapitalis untuk menggandakan keinginan mereka. Mengendalikan bisa langsung maupun bisa dengan menunjuk "manajer" untuk mengelola negara itu untuk sesuatu yang sudah diatur kaum kapitalis. SBY dan Arab Springs Pada pidato akhir tahunnya, mantan Presiden SBY, mengingatkan Jokowi untuk berhati2 akibat situasi ekonomi memburuk. SBY mencatat bahwa jumlah pengangguran dan setengah pengangguran, atau bekerja "part time" berada pada kisaran 36, 5 juta jiwa. Angka ini sangat besar. Sementara kemampuan pemerintah menurunkan jumlah pengangguran hanya 1% dalam 5 tahun. "Arab Springs" atau gejolak sosial (social unrest) seperti yang terjadi di negara2 Arab, beberapa tahun lalu, dipicu oleh kenaikan harga2 ketika pengangguran tinggi. Saat ini pemerintah menaikkan iuran BPJS dan segera menaikkan tarif listrik dll. Dan menurut SBY ini bisa memicu gejolak sosial tersebut. SBY, menurut data pertumbuhan di halaman World Bank. org, adalah satu-satunya presiden Indonesia yang spektakuler menaikkan GDP di atas 200 billon dollar pada tahun 2010. Rata-rata kenaikan tertinggi, misalnya saat ini, hanya sebesar 70 billion dollar saja setahun. World Bank sendiri mencatat SBY sendiri telah berhasil menurunkan jumlah populasi berpendapatan rendah (per capita expenditure per day < or = $ 2) dari 62,2% (2003) menjadi 43,3 (2010). Sedangkan "middle income" ($2-$10) jumlahnya naik dari 37,7% (2003) menjadi 56 5% (2010). Dengan reputasi di atas, tentu saja SBY dan kritikannya menjadi penting bagi kita melihat bahaya yang mengancam selama ini dan tahun depan. Sebuah gejolak sosial tentu selalu merupakan resultante gejolak politik dan ekonomi. Gejolak politik umumnya bukan terletak pada ukuran kestabilan elit, melainkan pada frustasi sosial yang parah. Frustasi sosial ini bersumber pada kebencian massa rakyat pada sebuah rezim (seperti kasus awal Arab Springs di Tunisia). Sedangkan gejolak ekonomi terjadi manakala pertumbuhan ekonomi memburuk dan kehidupan ekonomi semakin sulit. Apakah SBY melihat ini begitu dekat? Korupsi dan Hedonisme Skandal korupsi Jiwasraya yang diduga merugikan perusahaan negara puluhan triliun rupiah menjadi simbol kebusukan elit kekuasaan saat ini. Pada saat reformasi di mulai 20-an tahun lalu, pemerintahan bersih dan "peti mati" merupakan simbol penting yang utama. Saat ini, korupsi kelihatannya menjadi fenomena biasa dari orang-orang yang berkuasa. Korupsi Jiwasraya ini mengapa menjadi penting dibincangkan? Karena unsur kesengajaan dalam merugikan perusahaan negara tersebut nampak nyata. Menariknya lagi, pembobol Jiwasraya ini, salah satunya, mempunyai kedudukan penting sebagai bagian dari organ di kantor Kepala Staf Presiden Republik Indonesia. Pada saat ini rakyat tidak terlalu percaya lagi dengan agenda pemberantasan korupsi. Khususnya setelah presiden dianggap ikut melumpuhkan KPK, di mana DPR yang didominasi rezim, melakukan perubahan UU KPK. Sementara di waktu lainnya, presiden memberi Grasi pada terhukum koruptor, eks Gubernur Riau, beberapa waktu lalu. Perkembangan pesat korupsi saat ini diikuti dengan berkembangnya prilaku hedonis dikalangan elit kekuasaan. Skandal direksi Garuda dalam dimensi barang luxurious, seperti Harley Davidson dan Brompton dan dimensi sex, merupakan bentuk hedonis kaum elit kita. Tentu saja lomba pamer elit ini terjadi dibanyak elit lembaga negara, meski presidennya pada kampanye selalu dikatagorikan merakyat. Kecenderungan perilaku korupsi dan hedon kelihatannya berbanding lurus dengan penguasaan negara oleh kalangan orang-rang kaya. Lembaga DPR-RI yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kekayaan ratusan miliyar, menteri-menteri yang super kaya, dan lain-lain, menjadikan suasana "gemerlapan" di elit lebih mewakili kemiripan dengan elit-elit Francis dahulu ketika dikendalikan raja dan para Baron. Tantangan ke Depan Suara Said Aqil Sirodj dan Habib Rizieq Sihab, apalagi ditambah suara SBY sudah menunjukkan buruknya situasi kita saat ini. Situasi itu meliputi, apa tujuan bernegarakita? Dan apakah ada jalan baik di depan? Tujuan bernegara adalah menghadirkan Keadilan Sosial kepada seluruh rakyat, apakah mau di NKRI harga mati maupun di NKRI harga "bargain". Negara dalam bingkai kapitalisme, seperti pidato Ketum Nasdem, Surya Paloh, beberapa bulan lalu di Universitas Indonesia? Jika kapitalisme mendominasi tata kelola bernegara dan sistem ekonomi, maka pasti akan membuat yang kaya semakin kaya. Yang miskin juga semakin terpinggirkan. Negara tidak mempunyai makna sama sekali apabila grafik pemerataan tidak membaik dari waktu ke waktu. Apabila SBY, misalnya, pernah menunjukkan perubahan signifikan dari grafik pemerataan, perlu diteliti lebih lanjut, sejauh apa "cost" yang dibayarkan untuk itu? Jika "cost" nya terlalu besar, maka kita harus mencari alternatif berbelok dari jalan kapitalisme yang kita lalui. Untuk mengganti jalan kapitalisme ini, baik ala barat maupun pro Beijing, maka diperlukan jalan revolusioner. Karena kita harus menghancurkan struktur yang dikuasai oligarki saat ini. Christina Chua mengatakan "a removal of this oligarchy from power would require a new system, which, however, can only be realised if the general hierarchies of power turned upside down, as it only happens through revolutions". Perubahan ketimpangan ekonomi di barat, dalam Thomas Pikkety on Capital, yang ditelitinya sepanjang 1810-2010, salam 200 tahun, ada benturan ideologi dan perang dunia di eropa, yang mampu menggeser ketimpangan dari Gini Rasio 0,7 menjadi sekitar Gini Rasio 0,3 selama 200 tahun itu. Dimana ada jalan damai dalam menciptakan keadilan sosial (Shared Prosperity)? Untuk urusan ini, maka Said Aqil dan Habib Rizieq harus memulai membicarakan serius langkah-langkah strategis pada isu-isu keadila sosial tersebut. Tentu juga semua tokoh-tokoh nasionalis. Penutup Akhir tahun 2019 kita tandai dengan duka. Pernyataan ketua umum NU tentang oligarki menguasai Indonesia, adalah situasi memalukan dari bangsa yang lahir melalui revolusi sosial. Faktanya, saat ini, cukong-cukong bukan lagi bekerja diam, secara politik, seperti di masa orde baru. Sekarang mereka tampil memimpin negara. Itu adalah keniscayaan demokrasi. Problemnya adalah kekuatan elit rakyat seperti elit NU, yang dipimpin Said Aqil, kurang mendapat kepercayaan, apakah mereka akan benar-benar melakukan perhitungan ulang dalam membenahi arah bangsa ke depan, ataukah hanya sekedar memanas-manasi situasi sosial, yang bertujuan jangka pendek. Meskipun motif Said Aqil bisa kita kesampingkan, namun persoalan yang mempunyai fakta, seperti ketimpangan sosial dan kekuasaan oligarki, Cina kapitalis, harus ditata dalam sistem ketatanegaraan yang menjamin keadilan sosial ke depan. Misalnya, ketika Said Aqil menyinggung adanya kapitalis yang memiliki 5 juta hektar tanah di Indonesia. Lalu bagaimana cara untuk membatasinya? Namun, sekali lagi, tentu saja rakyat harus terus bergerak mencari solusi, agar keadilan sosial menemukan jalannya di Indonesia. #Selamattahunbaru2020 Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle

China Mulai Ajak Ribut di Natuna

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Terbukti. Ambisi teritorial RRC komunis terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. Mulai ajak ribut Indonesia. Pada tanggal 10 Desember 2019, kapal penjaga pantai (coast guard) RRC muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia. Kapal China itu dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua kapal penjaga pantai RRC masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di utara Natuna. ZEEI itu diakui oleh PBB. China unjuk kekuatan dalam insiden kedua ini. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibeking oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Ini artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. Kapal Bakamla KM Tanjung Datuk 301 mencoba mengusir kapal-kapal China itu. Mereka menolak dengan alasan bahwa mereka berada di wilayah laut RRC. Pejabat senior Bakamla, Nursyawal Embun, mengatakan pihak China pasti tahu bahwa mereka berada di ZEEI. Sebab, cukup jauh jaraknya dari wilayah laut yang dikuasai RRC. Pada 30 Desember 2019, Kemenlu melancarkan protes ke China. Tapi, hari berikutnya, 31 Desember 2019, kapal-kapal China masuk lagi ke perairan utara Natuna. Kemenlu memanggil Dubes China di Jakarta. Protes keras disampaikan. Sekarang, Anda mendapatkan gambaran tentang RRC yang mulai cari pasal di Kepulauan Natuna. Anda juga mendapatkan gambaran tentang kesiapan mereka untuk melancarkan tindakan militer. Modus ekspansi laut China sangat jelas. Mereka kirim dulu kapal-kapal nelayan ke perairan Natuna. Kapal perang mereka melakukan pengawalan. Ini membuat Bakamla akan berhati-hati bertindak tegas. Sebab, di belakang kapal-kapal nelayan itu ada kapal perang RRC yang stand-by. Bakamla tentu bisa meminta bantuan ALRI. Tapi, kekuatan AL China pastilah jauh lebih besar dan lebih tangguh. Dan, kalau sampai kapal perang Indonesia terpancing menggunakan kekerasan, itu akan dijadikan alasan oleh China untuk mengerahkan armada AL mereka lebih banyak lagi ke perairan ZEEI. Setelah banyak kapal perang RRC berada di ZEEI, tentu akan muncul pertikaian verbal. China tak akan menghiraukan argumentasi verbal. Mereka tak akan pergi dari ZEEI. Kekuatan AL-nya malah akan ditambah. Dalam sejarah pertikaian ZEE di wilayah lain, penyelesaiannya tidak mudah. Setelah persoalan semakin ruwet, RRC memiliki kemampuan diplomasi untuk menghimpun dukungan internasional. Di lain pihak, mereka juga kuat dalam pengerahan militer. Apalagi belakangan ini persaingan militer di Laut China Selatan boleh dikatakan menjadi dominasi RRC. Amerika Serikat (AS) tidak lagi diperhitungkan. Perlu diingat bahwa RRC adalah kekuatan militer kedua di dunia setelah AS. China akan siap terlibat pertikaian panjang di perairan utara Natuna. Mereka akan melakukan penguasaa de-facto. Protes verbal tak akan berguna. Mau protes militer, kita tak sanggup. Pertiakan panjang akan memberikan uluran waktu bagi RRC untuk membangun pangkalan angkatan luat di wilayah itu. Setelah itu, level berikutnya adalah pencaplokan pulau-pulau kecil terluar di Kepulauan Natuna. Terutama yang tidak berpenghuni. Bahkan, pulau-pulau yang berpenghuni pun bisa dibuat “tak berpenghuni” oleh China. Harap diingat, letak geografis Natuna (bagian dari Provinsi Kepulauan Riau) cukup jauh dari bagian Indonesia lainnya. Ini membuat tindakan logistik sipil dan logistik militer menjadi berat. Dengan kekuatan militer yang dimilikinya, RRC sudah sejak lama memancing keributan. Mereka mengklaim kedaulatan atas perairan Kepulauan Spratly beserta pulau-pulaunya. China bertikai dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei dan Taiwan. China memang belum mencaplok satu pun pulau di Kepulauan Spratly. Tetapi, sejak 2013 mereka melakukan tatik membuat pulau di dalam perairan kepulauan ini. Dari sini bisa dilihat tujuan jangka panjang China di Spratly. Sebab, kalau pulau-pulau buatan ini menjadi milik China, tentu akan diikuti dengan klaim perairan untuk pulau baru itu. Masyarakat internasional mengecam. Tapi China tutup kuping dan mata. Tidak akan ada satu negara pun, termasuk AS, yang bisa menghancurkan kembali pulau buatan tsb. Modus membuat pulau di Spatly ini harus diwaspadai. China akan menunggu peluang untuk melakukan hal yang sama di perairan Natuna. Kalau mereka sampai bisa membangun pulau di wilayah ZEEI di bagian utara Natuna, persoalan bisa sangat rumit. Dengan segala kondisi Indonesia yang ada saat ini, boleh jadi pembangunan pulau oleh China tidak terdeteksi. Kalau pun terdeteksi, Indonesia tak akan mampu mencegahnya. Paling-paling hanya nota protes. RRC tidak akan ambil pusing. Dalam jangka panjang, kekuatan militer China akan makin dahsyat. Pasti. Indonesia hanya seperti sekeping kerupuk yang tercecer di lintasan tank-tank China. Mungkin, itulah sebabnya RRC merasa sudah saatnya cari pasal di Natuna.[] 2 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Menanti Pansus Angket Jiwasraya

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Agar tidak terus-menerus menjadi tukang “cap setuju”. Tidak menjadi sub-ordinat eksekutif, tetapi juga tidak untuk membelah, memacetkan pemerintahan, melainkan demi akuntabilitas kebijakan dalam berpemerintahan, MPR melangkah maju ditahun 2001. MPR mengubah UUD 1945 yang sangat sakral dan keramat di masa Orde Baru. Dalam UUD 1945 yang dirubah tersebut, MPR membekali DPR “benteng paling hebat.” Benteng itu tertuang dalam pasal 20A UUD 1945. Benteng itu dipertalikan rasionya dengan konteks perlakuan terhadap anggota DPR di masa Orde Baru. Itu betul. Meskipun demikian, rasio kehadiran benteng itu juga dipertalikan dengan pradigma presidensialisasi. Paradigma itu bekerja melalui penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penghapusan GBHN mengakibatkan presiden, siapapun orangnya, tersematkan secara konstitusional sebagai aktor tunggal, bebas dalam mendefenisikan kebijakan pembangunan. Isu Konstitusional Pada masa-masa tanpa “benteng yang hebat” itu, DPR mempunyai keunikan. DPR orde baru dapat memunculkan sejumlah orang berkelas. Orang-orang seperti Ibu Aisyah Amini, Pak Zarkasih Noor, Dja’far Sidiq dan Babe Ridwan Saidi dari Fraksi PPP. Dari ABRI ada Ibu Brigjen Polisi Roekmini, dan Pak Brigjen TNI Syamsudin. Dari Fraksi Golkar ada Pak Marzuki Darusman, Pak Sarwono Kususatmadja, Pak Rahmat Witular dan Pak Tadjudin Noor Said, dan Pak Syamsul Muarif. Sedangkan dari Fraksi PDI ada Pak Aberson Marle Sihalolo, Pak Dokter Sukowaluyo dan Ibu Fatimah Ahmad. Mereka adalah sedikit di antara beberapa yang hebat. Orang-orang ini dikenal kritis terhadap serangkaian kebijakan pemerintahan Pak Harto. Pak Harto boleh saja hebat. Namun pada level tertentu, beberapa anggota DPR pada masanya, berhasil menempatkan pemikiran dan tindakan politik yang memusingkan Pak Harto. Pidato Pak Harto di Pekanbaru Riau, tentang Amandemen UUD 1945 misalnya memicu kritik keras anggota DPR dari PPP. Pak Harto, apapun sebutan orang untuk pemerintahannya, keluar menanggapinya. Beliau mengirimkan seorang menterinya untuk secara resmi menjelaskan kandungan tujuan pidatonya itu kepada DPR. Gagal meyakinkan pada pertemuan pertama, Pak Harto kembali mengirimkan menteri lain, dengan level yang lebih energik dan terampil dalam semua aspek. Harus diakui masa itu bukan masa tentang penggunaan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Interpelasi dan angket, dua hak konstitusional itu baru digunakan pada masa pemerintahan Pak SBY. Penggunaan Hak Angket yang paling mengerikan itu terjadi tahun 2009, pada awal masa pemerintahan Pak SBY periode kedua. Kasus Bank Century menjadi objek angket itu. Walaupun tanpa dilanjutkan ke hak untuk menyatakan pendapat. Tetapi itu saja sudah sangat hebat. Hebat sekali ketika itu. Terlihat disepanjang sidang angket itu, hal-ihwal tentang rendahnya mutu akuntabilitas kebijakan menangani pengelolaan bank diselidiki dan dubuka untuk bisa diketahui oleh publik. Cukup membuat terang sejauh penggunaan angket century itu. Terutama yang berkaitan dengan jumlah uang yang dicurigai rendah derajat akuntabilitasnya. Jumlahnya hanya sampai Rp 7,4 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dari Rp 13,7 triliun dalam kasus Jiwasraya. Betul kasus ini telah diselidiki oleh Kejaksaan Agung. Relatif hampir sama dengan kasus Century. Sebelum diangketkan oleh DPR, kasus Century telah diselidiki oleh Polri. Tetapi Century tetap saja diangketkan. Untuk kasus yang lain, seperti penjualan kapal super jumbo milik Pertamina Very Large Crude Carrier (VLCC), DPR terlihat membentuk “Pansus Angket VLCC “ pada tahun 2007. Ketua Pansusnya adalah Prof Dr. Hayus Lumbun, yang belakangan pensiun sebagai Hakim Agung. Padahal ujungnya Mahkamah Agung menyatakan, tidak ada kerugian negara dari penjualan kapal super jumbo VLCC. Begitu juga dengan kasus PT Pelindo Dua. Ketika itu DPR dengan mudah berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Pada tanggal 5 Oktober 2015, DPR berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Yang menjadi Ketua “Pansus Angket Pelido Dua” ketika adalah Ibu Rieke Diah Pitaloka. Meskipun kemudian, ujungnya tidak berbeda jauh dengan Century. Apakah Jiwasraya memenuhi kualifikasi isu konstitusional untuk diangketkan? Politisi akan datang dengan argument, antara satu dengan yang lainnya saling menyanggah. Termasuk berbeda dalam merespon pernyataan Presiden Jokowi tentang durasi waktu masalah yang dilintasi oleh Jiwasraya. Tetapi justru karena telah lama terjadi itulah, masuk akal didalami lebih jauh. Apa masalah dasarnya? Apakah masalahnya baru diketahui setelah peristiwa gagal bayar atau apapun istilahnya dengan jumlah sebesar Rp 13,7 triliun lebih naik ke Kejaksaan Agung? Bila telah diketahui jauh sebelumnya, masalahnya apa tindakan pemerintah? Masuk akalhkah masalah itu dibiarkan saja sebagai masalah teknis bisnis? Pantaskah secara konstitusional masalah ini dikualifikasi sebagai masalah rutin saja dalam bisnis? Apakah negara berbisnis? Bisnis ya bisa rugi, bisa juga untung. Itu alamiah. Tapi dalam konteks kasus Jiwasraya ini masalahnya tidak sederhana. Mengapa? Dari sejarahnya, secara universal bisnis ini muncul dalam kerangka pemikiran konstitusional. Kerangka dasarnya adalah memberi kepastian keamanan sosial ekonomi kepada rakyat. Disitulah letak esensi konstitusional lembaga ini. Pada titik itu, masalah ini tidak cukup diterima sebagai masalah rutin bisnis semata. Ini sudah masuk masalah konstitusional. Masalah ini terhubung. Sekali lagi terhub ung, dengan keharusan negara memberi jaminan keamanan, perlindungan atas kehidupan rakyat. Perlindungan kepada rakyat secara konstitusional merupakan kewajiban absolut negara. Itu sebabnya Franklin Delano Rosevelt, presiden Amerika pada era resesi besar ekonomi pada tahun 1930-an meluncurkan kebijakan sejenis sebagai bagian esensial Social Savety net Policy. Ya untuk memberikan jaminan perlindungan, keamanan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Atas dasar itulah, isu Jiwasraya cukup memadai untuk dikerangkakan sebagai isu konstitusional, bukan bisnis semata. Bukan Cabang Khusus Presiden DPR secara parsial memang telah memberi tanda-tanda kecil hendak menangani masalah ini melalui dua Komisi. Mungkin dibentuk Panitia Kerja (Panja), gabungan dua Komisi. Komisi VI dan XI. Mengapa hanya Panja gabungan komisi? Mengapa tidak langsung ke angket? Angket memungkinkan semua anggota DPR terlibat, memungkinkan semua anggota dari semua Komisi terlibat. Ini tidak mungkin terjadi di Panja biasa. Disisi lain angket dibekali kewenangan subpoena. Tindakan paksa dengan konsekuensi hukum. Pansus saja tidak bisa. Tetapi memang Panja biasa lebih mudah memprosesnya. Panja biasa tidak dikerangkakan pada syarat rigid, dan relatif berat. Angket justru dikerangkakan padanya. Syarat inisiator, quorum rapat dan quorum pengambilan keputusan harus dilalui. Tidak itu saja inisiator harus menyiapkan argumen terulis. Dokumen itu harus ditandatangani minimum 25 orang. Praktis Panja biasa lebih mudah. Karena biasa saja. Berbeda secara radikal dengan Angket. Bila disetujui, maka dibentuk Pansus Angket. Namanya juga Pansus Angket. Masalahnya siapa yang mau namanya tercatat sebagai inisiator? Itu lagi soal yang besar. Sangat besar. Politisi picisan akan menandai mereka pemanggil badai, pembuat onar kecil. Itu sebabnya butuh nyali. Nyali ditentukan sejumlah faktor. Siapa yang mau mengambil risiko berat itu? Haruskah muncul tangan kuat sebagai penyokong tak terlihat? Mungkin juga tidak. Tetapi siapa yang bernyali bila politisi picisan melebel mereka sebagai pencipta politik pembelahan pemerintahan. Padahal sejarah century memperlihatkan dengan jelas tidak berakhir dengan datangnya politik dua aliran secara radikal. Negara setelah angket itu tidak jatuh ke dalam politik dua aliran. Sebut saja aliran pemerintah dan aliran non pemerintah, atau nama lain yang sama maknanya. Memang pemerintahan terbelah dalam dua aliran politik, pernah ditakutkan George Washington, John Adams dan Thomas Jefferson pada masanya. Tetapi sekali lagi ini tidak terjadi pasca angket Century. Ketakutan yang sama yang menyertai akhir pilpres 2014, nyatanya melayang juga. Polarisasi itu sangat artifisial, tidak idiologis. Polarisasi yang mirip memang terlihat saat ini. Hanya PKS, PAN dan Demokrat di luar blok pemerintah. Ini memang masalah bila dibawa ke dalam syarat angket. Penyatuan mereka tidak bakal menembus angka ½ anggota DPR untuk bisa meresmikan angket. Tetapi masalah konstitusionalnya adalah Parpol ada atau tidak dalam pemerintahan, anggota DPR ya anggota DPR. Semangat dasarnya harus semangat penyelenggara kekuasaan DPR. Semangat ini, disertai catatan kecil diperlihatkan Demokrat pada masa lalu. Mereka pastikan bahwa kendati Ketua Umumnya menjadi Presiden, mereka mungkinkan DPR bekerja menyelidiki kebijakan pemerintah. DPR, mereka pastikan tak menjadi organ khusus, subordinat pemerintah. Mereka juga tak mau mereduksi secara radikal DPR, dengan argumen politik partisan. Mereka terlihat tahu kelas mutu politik partisan itu. Mutunya sangat rendah dalam sejarah politik. Anggota DPR, demi bangsa harus bertemu pada satu titik. Titik ini bernama kepentingan konstitusional bangsa. Jenis kepentinganya bisa berupa revitalisasi akuntabilitas politik sebuah kebijakan, rule of law dan proteksi terhadap kelangsungan hidup rakyat. Harus diingatkan akuntabilitas selalu menjadi esensi, energy utama tata kelola negara. Itu absolute, dan harus diterima sebagai isu yang mengintegrasikan. Bukan sebaliknya terus terbelah, terus terpola pada arus asal jadi pro dan penantang asal-asalan pemerintah. Akan hebat bila DPR tenggelam dalam kesadaran ini. Mari menantikan pekerjaan kecil ini. Keberhasilan pekerjaan kecil ini akan menaikan derajat akuntabilitas penyelengaraan pemerintahan. Akuntabilitas itulah, yang pada level tertentu sedang dirindukan kiyai Agil Siroj, pimpinan utama NU. Belakangan ini Kiyai Agil mengungkap ketidak-konsistinan Kemenkeu memenuhi MOU dengan mereka. Kiyai ini juga bicara tentang oligarki ditubuh politik bangsa. Apa esensinya? Amburadulnya politik partisan. Politik partisan menenggelamkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayolah DPR. Gulirkanlah angket. * Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Tahun 2019: Kehancuran Indonesia Persneling Tiga

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tidak ada yang bisa dikenang sebagai sesuatu yang baik sepanjang 2019. Semua bidang kehidupan: ekonomi, bisnis, sosial, politik, penegakan hukum, peranan media, dlsb. Bidang politik mencatat rangkaian peristiwa yang semuanya sangat memprihatinkan. Ada penipuan kolosal suara rakyat di pilpres 2019. KPU yang dikangkangi oleh pemegang kekuasaan. Inilah penjaga demokrasi yang dikooptasi oleh para penguasa. Begitu juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung tidak independen. Ada dua lagi lembaga yang juga menghamba kepada misi politik pribadi. Yaitu, Polri dan media massa. Di bawah pimpinan Tito Karnavian, Kepolisian tidak segan-segan memihak kepada Jokowi sebagai capres petahana. Polisi mengemban tugas untuk memenangkan Capres 01 di pilpes 2019. Begitu pula media massa mainstream. Tidak ada yang tak memihak Jokowi kecuali tvOne. Selebihnya bergerombol mendukung Jokowi. Tanpa akal sehat sama sekali. Media mainstream terang-terangan melacurkan diri untuk kepentingan Jokowi. Penyelenggaraan pilpres 2019 sendiri penuh dengan kecurangan dan malapetaka. Banyak muslihat dalam penghitungan suara cepat (quick count). Tak bisa dipercaya. Ada tangan-tangan kotor. Sementara itu, 600 orang petugas KPPS meninggal dunia tanpa ada penyelidikan independen. Baru pertama kali pemilu yang memangsa begitu banyak nyawa petugas. KPU hanya memberikan santunan 37 juta yang sebenarnya identik dengan penghinaan. Noda pilpres tak sampai di situ. Ada rekonsiliasi yang paling aneh di dunia. Capres 02 bergabung ke kabinet Jokowi dan menjadi salah seorang bawahan presiden yang sangat diragukan kemurnian kemenangannya itu. Aliansi ini memberikan pendidikan politik yang sangat buruk. Tapi, para pelaku mengatakan semua itu strategi. Sedangkan publik melihatnya sebagai “penyimpangan orientasi seksual di dunia politik”. Minimal bencong politik. Rekonsiliasi aneh ini bertujuan untuk menyatukan kedua kubu. Tapi, itu tak terjadi. Sebab, akal sehat dan akal sakit tak mungkin berbaur. Yang sangat fatal adalah nasib demokrasi. Rusak berat gara-gara manuver konyol para politisi sinting. Rakyat sekarang menjadi apriori dan tak percaya lagi pada demokrasi. Dari bidang politik, kehancuran Indonesia di 2019 berlanjut ke bidang ekonomi dan bisnis. Utang luar negeri bertambah terus. Pada akhir 2019, utang pemerintah ada pada posisi 4,750 (empat ribu tujuh ratus lima puluh) triliun. Tiap tahun harus disediakan hampir 400 triliun untuk cicilan. Impor menjadi “amalan rutin” pemerintah. Boleh dikatakan, tidak ada yang tak diimpor. Beras, gula, garam, kedelai, bahkan jagung. Semen dan baja. Dua komoditas terakhir ini terasa “lucu dan tak masuk akal” diimpor. Stok beras tidak kurang, tapi terus saja diimpor. Lain lagi dengan baja. Produsen baja nasional, BUMN Krakatu Steel (KS), sengaja dibunuh. Baja impor dari China menghancurkan KS. Perekonomian hanya tumbuh 5%, kata Sri Mulyani. Para ekonom mengatakan, kalau cuma 5%, tak perlu ada menteri keuangan dan institusi Ekuin lainnya. Yang paling celaka adalah pemberantasan korupsi. KPK dibonsai oleh DPR dan Jokowi. Mulai dari perangkat peraturan-perundangan KPK yang dihajar hingga babak-belur sampai pimpinan barunya yang disesuaikan dengan kebutuhan para politisi busuk. Terutama dicocokkan dengan skenario PDIP. Tentu bisa Anda tebak mengapa PDIP habis-habisan menghancurkan KPK. Di bidang sosial, kehancuran yang berlangsung sepanjang 2019 sangat dahsyat. Pengedaran dan konsumsi narkoba semakin tak terkendali. Jumlah pengguna aktif jenis Sabu, tidak berkuang dari angka 4.2 juta orang. Bahkan cenderung bertambah. Keterbelahan masyarakat semakin meruncing antara pendukung rezim zalim dan rakyat yang melawan kezaliman itu. Ini terjadi karena penguasa memihak pada pendukung mereka. Penegakan hukum sangat cepat terhadap lawan penguasa. Sebaliknya tak pernah berproses terhadap orang-orang yang mendukung penguasa. Penista agama Islam selalu bisa melenggang. Pengkritik pejabat mendekam di penjara. Belum lagi kita bicara korupsi BUMN. PT Garuda bonyok. Pimpinannya berlagak seperti pemilik. Perusahaan Asuransi tertua, Jiwasraya, kini hancur berantakan. Dengan utang puluhan triliun. Diduga, orang-orang kuat mencuri duit BUMN ini. Dalam jumlah besar. Bukan ratusa miliar, melainkan belasan triliun. Ada pula indikasi uang Jiwasraya dipakai untuk biaya pilpres 2019. Sebegitu hancurkah Indonesia? Itulah yang terjadi. Semua dalam kondisi yang mencemaskan. Laju kerusakan pada 2019 cukup tinggi. Bisakah kehancuran itu diperbaiki? Persoalannya, rem negara ini sudah blong. Rem itu adalah DPR, MPR, media massa, para tokoh bangsa. Tak berfungsi lagi. Kekuasaan presiden berjalan tanpa rem. Kehancuran itu kini berada di persneling tiga. Satu gigi lagi ke atas, masuklah kecepatan penuh. Tinggal menunggu apa yang akan ditabrak.[] 1 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Ada Orang Kuat Ingin Cegah Kasus Air Keras Novel

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Entah siapa yang punya kerja. Tiba-tiba kemarin muncul demo di depan Kejaksaan Agung. Yang berdemo menamakan diri Himpunan Aktivis Milenial (HAM). Sangat mengherakan. Selama ini tak pernah terdengar nama himpunan itu. Mereka menuntut agar kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan, dibuka kembali. Dulu, di tahun 2004, Novel menangani kasus pencurian sarang walet ketika dia bertugas sebagai polisi di Bengkulu. Novel dituduh menganiaya para tersangka pencuri. Tapi, Kejaksaan Negeri Bengkulu menututp kasus itu pada 2016. Luar biasa ini HAM. Beberapa hari saja setelah penangkapan dua polisi aktif tersangka air keras Novel, mendadak muncul aksi demo mereka. Rapi sekali. Lengkap dengan semua aksesori demo. Harus diakui kehebatan para aktivis milenial. Terutama kehebatan para sponsornya. Demo ini sangat politis. Dengan tujuan agar kasus air keras bisa diganggu. HAM bisa menunjukkan “aksi cepat tanggap”. Generasi milenial yang patut diapresiasi. Biasanya, para milenial memihak ke KPK. Atau sekalian memihak ke café-café. Lebih banyak main gadget di situ. Tapi, kali ini, kesadaran hukum milenial yang tergabung dalam HAM, sangat tinggi. Mereka menuntut agar Novel Baswedan ditangkap dan diadili. Kelihatannya, ada segerombolan orang yang tak rela kasus air keras Novel diselesaikan tuntas. Mereka takut kedua tersangka akan menceritakan skandal besar yang mungkin akan menjatuhkan seseorang dengan posisi tinggi. Tentu HAM bebas melakukan unjuk rasa. Namun, sangat disayangkan kalau mereka tidak paham bahwa negara ini sedang diacak-acak oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan besar. Gerombolan perusak negara itu berpenampilan cendekia. Tampak seperti orang bijak. Padahal, mereka adalah orang-orang yang bermental koruptif dan berpikiran brutal. Publik berharap dan yakin Kapolri Idham Aziz tidak akan kendur. Semua yang terkait dengan kasus air keras Novel, perlu diurai sampai tuntas. Termasuk kaitan antara air keras itu dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Novel dalam posisinya sebagai penyidik KPK. Novel sedang memproses 6-7 kasus korupsi waktu disirami air keras, dua setengah tahun lalu. Salah satunya diduga melibatkan seseorang yang sangat kuat di pemerintahan Jokowi. Orang inilah yang dipercaya sedang berusaha mencegah penuntasan kasus air keras.[] 30 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Dinasti Politik dan Skenario Lembu Peteng

Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet Oleh Hendrajit Jakarta, FNN - Biasanya, kalau anak sendiri diturunkan langsung jadi pak camat atau pak lurah, gen dinastinya sedang kepepet. Dalam skenario raja raja jawa dulu, raja malah mendukung diam diam seorang penggantinya, seolah merupakan tandingan elit kraton yang mapan. Padahal dia didorong keluar dari lingkaran kraton, untuk diplot jadi putra mahkota. Misalnya Sultan Demak Raden Patah, menggantikan raja Brawijaya V seolah olah akibat pemberontakan kerajaan Islam terhadap kerajaan Majapahit. Padahal Raden Patah juga anak kandung Brawijaya V yang justru dijagokan bapaknya. Presiden Ferdinand Marcos, diam diam menjagokan Fidel Ramos, sepupunya sendiri dan putra mantan menlu Narcisco Ramos, sebagai presiden Filipuna masa depan. Meski terinterupsi gara-gara pembunuhan terhadap Benino Aquino sehingga istrinya Cory jadi simbol oposisi melawan Marcos, namun Ramos menjadi pemain kunci bersama Cory dalam kejatuhan Marcos. Sehingga, setelah era Qory, Ramos jadi presiden Filipina berikutnya. Bahkan sempat dua periode. Raden Patah atau Ramos di era modern, inilah yang namanya Lembu Peteng. Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet. Sedang berlangsung perang senyap dan intrik para elit kraton. Dan model mereka ini, sangat takut sekali dengan istilah Suksesi Kepemimpinan Nasional. Apa sebab? Begitu oposisi berhasil melembagakan diri di luar lingkaran kraton, wacana suksesi kepemimpinan justru dipicu dari dalam kraton itu sendiri. Berarti isyarat lembu peteng akan segera merebut kekuasaan. Dan meruntuhkan dinasti lama, membangun imperium baru. Maka itu, dalam suasana gonjang ganjing langit kelap kelap kayak sekarang, rakyat harus punya skenario sendiri. Sutradara sendiri. Para aktornya sendiri. Rakyat harus mampu menyusun dan membentuk pikirannya sendiri. Dari rahim inilah akan lahir pemimpin pemimpin rakyat sejati. Bukan lembu peteng. Penulis adalah pengkaji geopolitik dan wartawan senior

Idham Azis dan Lystio Sigit Menulis Hukum

Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Idham Azis baru berada di puncak pangkat dan organisasi Kepolisian. Tanggal 1 November 2019 pria asal Soppeng, Sulawesi Selatan ini resmi menyandang pangkat Jendral dan mangku jabatan Kapolri. Jendral Polisi dan Kapolri ini dikenal tidak banyak bicara. Ia, sejauh ini teridentifikasi sebagai jendral yang berjarak begitu jauh dengan diskusi teori demokrasi. Ia tak pernah terlihat sebagai sosok yang doyan bicara tentang hal non kepolisian. Tipikal ini terlihat samar-samar dimiliki pula oleh Listyo Sigit, Komandan Bareskrim baru. Dalam jabatan ini Listyo, mau tak mau harus dinaikan pangkatnya dari Irjen ke Komjen. Menarik, jabatan Kabareskirm sebelumnya dipangku oleh Idham. Sampai dititik ini keberadaan Idham dan Lystio pada pangkat dan jabatan masing-masing menjadi sangat menarik. Mengapa Idham dan mengapa Listyo? Apakah semasa di jabatan Kabareskrim, Idham telah memiliki data meyakinkan, yang detailnya membawa dirinya pada pengetahuan tak terbantahkan tentang siapa yang beralasan hukum ditetapkan jadi tersangka dalam kasus “air keras” itu? Beralasan untuk mengatakan positif. Tetapi mengapa tak diungkap saat dirinya masih kabareskrim? Berlasan untuk dianalisis. Apakah hambatan, tantangan tak terjelaskan dalam serangkaian aspek mendatanginya setiap detik dan sentimeter? Itukah tembok tak tertandingi yang dihadapinya? Itukah yang mengakibatkan Idham tidak dapat mengumumkan tersangka selagi dirinya berada di jabatan Kabareskrim itu? Dari dunia manakah hambatan dan tantangan itu mengalir? Idham sendirilah yang tahu, tentu bila semuanya ada. Setiap orang memiliki lautannya sendiri. Setiap hati punya derajatnya sendiri, juga mimpinya sendiri untuk hari ini, esok dan kelak. Itu fitrah. Alamiah. Alamiah pula bila hatinya setiap saat menemani dirnya, menagih dengan langgam menekan dan mengepung dirinya untuk menuntaskan kasus menjijikan ini. Hati yang tergoda dengan kebaikan tak akan bisa, untuk alasan apapun, berkelit, apalagi sembunyi. Tidak. Ia akan berontak, membawa pemiliknya tunduk pada kebaikan, pada kebenaran. Itukah yang membawa Idham memanggil Listyo, tentu karena Idham memercayai kesanggupan Listyo mengungkap tuntas kasus ini? Idham, Kapolri inilah yang tahu. Tak lebih. Apapun yang mungkin dalam konteks itu, faktanya keduanya telah memberi bukti yang andal, bernyali, memiliki otak dan hati. Dua Komandan hebat ini menuntun dan memandu serta memberi bobot atas hakikat tanggung jawab. Kini lorong gelap, dramaturgi, jalan berliku penuh duri dan kerikil mematikan yang dilintasi kasus ini selama 2,5 tahun, tersingkir sudah. Semua kerumitan artifisial tersingkir sudah. Semua lingkaran hitam, menjijikan dan konyol serta berat selama 2,5 tahun melayang sudah. Lalu apa yang layak dipetik sebagai pelajaran hukum, bahkan pelajaran hati dari keberhasilan awal penetapan dua tersangka ini? Lupakanlah soal politik dan sejenisnya sebagai penjelasan paling meyakinkan atas terungkapnya kasus ini. Pelajaran tak ternilai dari peristiwa penetapan dua tersangka ini adalah penegasan bahwa ketangguhan hukum, kekuatan hukum, sekaligus kebaikan hukum tidak pernah, dengan semua alasan yang tersedia bersandar pada substansi hukum. Tidak. Sama sekali tidak. Ketangguhan hukum ditentukan sepenuhnya oleh ketangguhan penegak hukum, ketangguhan orang yang menegakan hukum itu. Tidak lain selain itu. Sejarah kehebatan hukum bukan sejarah tentang substansi hukum. Sejarah kehebatan dan ketangguhan hukum adalah sejarah tentang manusia khusus, yang menegakan hukum itu. Sejarah manusia yang menegakan hukum adalah sejarah tentang orang-orang khusus. Mereka disebut khusus karena tahu bahwa menyembunyikan kebenaran, menenggelamkan keadilan adalah cara kotor terbaik yang umum, menghancurkan bangsa dan negara itu. Mereka tahu bahwa dunia politik, hukum dan demokrasi itu sendiri memiliki derajat toleransi meremehkan dan memalsukan hukum dan keadilan. Tetapi orang-oran hebat tahu bahwa demokrasi dirangsang begitu kuat oleh hasrat mewujudkan keadilan untuk memanusiakan. Untuk membuat manusia beradab dan bermartabat. Dan hebatnya mereka tahu kebalikannya atau sisi hitam demokrasi. Sisi hitam itu adalah tersedia ruang besar bagi demokrat picisan memutarbalikan, memalsukan, menggelamkan keadilan dan kebenaran. Argumen demokrasi, mereka tahu penuh warna-warni. Selalu dalam setiap warna warni argumen demokrasi itu dapat dipalsukan semudah setiap orang bernapas. Demokrat picisan, dalam konteks ini selalu cukup cerdas menyodorkan pertimbngan teknis dalam menutup keculasannya untuk menenggelamkan hukum. Tetapi tidak bagi demokrat tanpa lebel, tanpa suara. Bagi mereka hukum itu sama sekali bukan sekadar teks, teknis-strategi dan taktik- rigid dan sejenisnya. Bukan itu. Hukum adalah perkara hakikat manusia. Perkara hakikat manusia adalah perkara harkat dan martabat. Perkara harkat dan martabat manusia adalah pekara induk keadilan. Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. Penegak hukum yang tidak mengerti hakikat manusia, yang juga berarti tak megerti hakikat keadilan. Mudah membelokan, bahkan menghancurkan hukum dengan rasa gembira. Penegak hukum pintar akan menggunakan kepintarannya memperbesar dan melicinkan jalan teknis menenggelamkan kasus. Ya karena jalan teknis adalah jalan otak. Sementara keadilan adalah jalan hati, dan jalan rasa. Jalan “hati” dengan alasan yang bisa didiskusikan, suka atau tidak, senang atau tidak, sedang dititi dengan hati-hati oleh Idham, Sang Kapolri dan Sigit Listio, sang Komandan Bareskrim. Itulah pelajaran lain yang diberikan keduanya. Keduanya, siapapun harus percaya, dalam kasus ini tahu lebih dari siapapun bahwa dua tersangka itu hanyalah awal yang kecil. Tuntun dan pandulah terus kelanjutan penyidikan dengan hati yang terdidik. Teruslah pergi ke detail fakta kredibel yang tersedia dalam kasus ini. Teruslah masuk ke dalam, ke sudut-sudut yang lebih menantang. Teruslah memandu hasrat terkendali dalam penyidikan kasus ini dengan serangkaian pertanyaan hipotetis kritis. Cara ini akan membawa Bapak berdua terlihat anggun, seanggun desiran angin pagi berdesir ditepian pantai. Postur memuakan kasus ini, yang kini mulai mencair, saya percaya tidak bakal Bapak berdua biarkan menemukan lagi momen untuk kembali bergairah, bergerak naik. Keberhasilan kecil ini, apapun alasannya, telah terlihat manis. Jagalah itu dengan baik. Bapak berdua telah memulai dengan sangat manis. Teruslah melangkah sampai fakta tak terbantahkan dan dipertentangkan berdasarkan timbangan keadilan menghadirkan akhir yang adil. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Perampokan Dana Jiwasraya dan Pengungkapan Kasus Novel, Mana Lebih Berbahaya?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Menjelang akhir tahun 2019, terdapat dua isu besar yang menyedot perhatian publik. Pertama, kasus korupsi asuransi Jiwasraya yang mencapai Rp 13,7 Trilyun. Kasus ini sekarang sudah ditangani pihak kejaksaan agung. Tapi meskipun kejaksaan agung sudah memeriksa 89 saksi, sampai sekarang belum ada satu orangpun yang dijadikan sebagai tersangka. Langkah penyidikan yang dilakukan tim kejaksaan atas kasus korupsi di perusahaan asuransi Jiwasraya akan terus dipantau publik karena banyak dana masyarakat yang tersangkut di perusahaan BUMN tersebut. Bahkan ada sekitar 400-an warga Korea Selatan yang menyimpan dananya di perusahaan asuransi Jiwasraya terutama dalam produk investasi dan proteksi JS Saving Plan. Selain kasus Jiwasraya, pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan juga tidak kalah menarik. Pasalnya, setelah dua setengah tahun kasus ini mengambang dan tidak jelas, baru sekarang pelakunya bisa ditangkap. Dalam kasus ini, ibarat jeruk makan jeruk karena pelakunya adalah oknum aparat polisi yang masih aktif (di Brimob) yakni RM dan RB. Sementara pemeriksaan terhadap kedua oknum polisi tersebut, juga dilakukan oleh aparat kepolisian. Kasus ini juga menimbulkan banyak tanda tanya di benak masyarakat. Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi 11 April 2017, tapi mengapa baru terungkap di akhir tahun 2019 ? Padahal, aparat polisi sudah lama mengantongi alat bukti diantaranya berupa video CCTV proses penyiraman air keras tersebut. Justru setelah Kapolri dan Kabareskrim diganti, kasus Novel Baswedan ini baru bisa diungkap. Ada apa sebenarnya yang terjadi ? Begitulah pertanyaan masyarakat awam. Apakah ini terkait dengan kasus-kasus di kepolisian yang diungkapkan Novel Baswedan terutama menyangkut "Buku Merah". Seperti kita ketahui, Novel diserang pada 11 April 2017 saat berjalan menuju kediamannya, setelah menunaikan ibadah salat Subuh di Masjid Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyiraman air keras ini, kedua mata Novel terluka parah. Dia sempat menjalani operasi mata di Singapura. Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya, namun polisi mengaku kesulitan menangkap pelaku atau dalang penyerangan terhadap Novel Baswedan. Polisi bahkan telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Namun, hingga masa kerja tim itu berakhir, pelaku saat itu tidak berhasil ditangkap. Presiden Jokowi juga sempat memberi target ke Kapolri terdahulu, Jenderal Pol Tito Karnavian, untuk mengungkap kasus Novel dalam tiga bulan. Target itu diberikan Jokowi pada 19 Juli 2017, setelah tim gabungan pencari fakta yang dibentuk Tito gagal mengungkap kasus tersebut. Namun hingga tenggat waktu yang diberikan berakhir, kasus Novel belum juga terungkap. Jokowi justru mengangkat Tito Karnavian jadi Mendagri. Tapi begitu Kapolri digantikan oleh Jenderal (Pol) Idham Azis dan Kabareskrim yang baru dijabat Listyo Sigit Prabowo, barulah kasus Novel Baswedan bisa terungkap. Meski demikian, jangan sampai dua oknum polisi yang sudah dibekuk tersebut hanya dijadikan sebagai tumbal. Bareskrim harus mampu mengungkap aktor utama dibalik kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Kalau nanti yang didakwa dan dipenjara hanya dua oknum polisi tersebut, sangat boleh jadi mereka hanyalah orang suruhan yang sengaja dijadikan korban. Sementara aktor intelektual atau pihak yang menyuruh melakukan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, tidak diungkap secara terang benderang. Kembali pada pertanyaan tulisan ini, mana yang lebih berbahaya, kasus korupsi dana asuransi Jiwasraya atau kasus Novel Baswedan ?. Menurut penulis, keduanya sangat berbahaya bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dana asuransi yang dirampok sebesar Rp 13,7 trilyun, bukan hanya merugikan masyarakat dan negara tetapi juga bisa mengganggu industri asuransi secara keseluruhan. Industri asuransi merupakan lembaga kepercayaan sama halnya dengan perbankan. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perusahaan asuransi, jangan berharap industri jasa ini akan ini akan berkembang. Oleh karena itu, kejaksaan agung harus bisa bekerja dengan cepat, profesional, proporsional, cermat dan akurat. Kejagung harus bisa secepatnya menetapkan tersangka agar kasus korupsi Jiwasraya ini tidak menjadi bola liar. Kejaksaan Agung harus bisa menjelaskan keterlibatan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo dalam kasus korupsi ini. Sekaligus menjelaskan keterkaitan beliau saat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP). Kejakgung juga harus bisa menjawab pertanyaan publik selama ini yang menduga dana Jiwasraya digunakan untuk kegiatan kampanye Pilpres Jokowi pada tahun 2018. Kasus Jiwasraya maupun penyiraman air keras ke Novel Baswedan, kini sama-sama sedang ditangani aparat hukum. Yakni Kejakgung dan Bareskrim Mabes Polri. Jangan sampai perjalanan kasus hukum kedua kasus ini diintervensi oleh kelompok kepentingan bisnis dan politik. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis wartawan senior.