OPINI

Seriuskah Kita Mengundang Murka Allah?

Oleh Iramawati Oemar Jakarta, FNN - Anda mungkin menilai saya terlalu baper, lebay, atau apalah, silakan. Tapi yang jelas saya merasa "NGERI", sebuah kengerian yang baru kali ini saya rasakan. Bukan kengerian yang sama ketika naik roller coaster super tinggi dan super cepat di Tokyo Dome, bukan pula kengerian yang sama ketika saya harus menjalani permainan "Tarzan X" dimana kita memanjat sampai ketinggian di atas 20 m lalu disuruh berayun-ayun dengan tali sementara di bawahnya hanyalah pepohonan yang menutupi jurang. Sebab kengerian itu masih bisa dihindari, ketika saya bisa memilih untuk tidak ikut. Tapi, ini kengerian bentuk lain. Kengerian akan adzab Allah yang akan menimpa, karena KEMUSYRIKAN sedemikian telanjang dipertontonkan, bahkan diundang, dipusat negeri, di rumah rakyat, dimana perhelatan pengambilan sumpah pemimpin negeri ini akam digelar. Sampai saat ini, belum terdengar ada yang keberatan – apalagi melarang – semisal dari unsur pimpinan DPR kah, atau unsur pimpinan DPD kah, atau unsur pimpinan MPR kah, atau pimpinan Sekretariat DPR/MPR kah. Dari 600an politisi Senayan, tidak adakah yang keberatan gedung tempat mereka sehari-hari bertugas didatangi dukun/paranormal atau apalah sebutannya, lalu mengadakan ritual disana, memohon pada sosok-sosok makhluk ghaib dari dunia mistis?! Saya makin miris lagi ketika melihat di galery WA dan linimasa FB bertebaran foto-foto aparat keamanan yang ditugaskan menjaga gedung wakil rakyat itu tampak asyik, gembira ria, berjoget bersama penyanyi yang bajunya ketat membalut tubuh, memperlihatkan lekuk liku bodynya. Tak sekedar berjoget, mereka "nyawer", menyelipkan uang. Rasa-rasanya jauh lebih terhormat jika si artis membawa kaleng bekas biskuit atau kardus bekas kemasan air mineral, lalu letakkan didepan tempatnya beraksi, seperti artis yang "ngamen" di luar negeri. Betapa tidak, si artis selain berpakaian ketat dan kurang bahan pada bagian belahan dada, dia juga sengaja meliuk-liuk sedemikian rupa, lalu lelaki-lelaki di sekitarnya memasukkan uang ke lekukan dadanya dan pant*tnya. Astaghfirullah hal 'adzhiim... Inikah cara bangsa kita menghadapi pelantikan presidennya?! Inikah buah dari REVOLUSI MENTAL yang digaungkan sejak 5 tahun lalu?! Hanya melestarikan kepercayaan mistisisme yang dahoeloe kala, ribuan tahun lalu, tumbuh ketika manusia masih menganut animisme dan dinamisme. Juga mempertontonkan tingkah laku aparat yang secara etika tidak pantas dijadikan teladan bagi masyarakat. Sedang menuju kemana peradaban bangsa kita?! Berjalan mundur kah?! Na'udzubillahi min dzaalik! Tepat ketika adzan Maghrib berkumandang, saya segera beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu. Entah kenapa, hati saya melow banget, miris rasanya membayangkan keseluruhan proses rutin 5 tahunan "pesta demokrasi" yang menelan dana 24 trilyun, mengorbankan hampir 700an petugas penyelenggara pemilu dan para saksi di berbagai daerah, belum lagi ekses-ekses yang terjadi sesudahnya dimana ada banyak darah tertumpah, bahkan nyawa anak-anak muda, remaja, yang harus melayang terkena popor senjata atau tertembus peluru. Ngiluuu...hati saya. Alhasil, sejak takbiratul ihram, Allaahu Akbar, air mata saya sudah mengalir. Makin deras menganak sungai ketika saya baca doa Iftitah, terutama ketika sampai lafadz "inna sholati, wa nusuki, wa mahyaaya wa mamaati liLlahi Robbil 'aalamiin..." Berkelebat selintas rekam jejak perjuangan betapa kami, sebagian anak bangsa, sejak 1,5 tahun lalu meng-azam-kan niat ingin mengganti pemimpin nasional. Namun sayang, endingnya ya seperti sekarang ini. Apakah kemarin kita – terutama saya – salah dalam meniatkan perjuangan?! Adakah kita salah dalam menempuh caranya?! Ya Robb kami, hamba mohon ampun jika ikhtiar kami keliru. Dan atas ijinMU, atas kehendakMU, apa yang kami upayakan belum berhasil. Tangisan saya kian menjadi ketika membaca surah al Fatihah sambil memahami maknanya ayat demi ayat. Sampai kalimat "iyya ka na' budu, wa iyya ka nasta'iin..." saya semakin merasa kecil. Begitu pula saat rukuk dan sujud, juga saat duduk antara 2 sujud. Apalagi saat sujud, rasanya terbayang neraka yang apinya menyala-nyala, hiii... allahumma ajirna minannaar... Ampuni kami yang lemah ini, yang tak mampu melarang, mencegah kemusyrikan itu, Ya Allah. Jadinya, 3 rakaat sholat saya dipenuhi dengan cucuran air mata. Seusai sholat, setelah istighfar, dzikir dan membaca doa (pagi) petang, saya buka surah Al Mulk. Tadi pagi di acara Khazanah saya mendengar katanya Rasulullah Muhammad SAW tidak tidur di malam hari sebelum beliau membaca surah AL MULK. Ternyata ini surah Makkiyah, artinya diturunkan di Mekkah, hanya 30 ayat, Al Mulk artinya "Kerajaan". Saya baca artinya sampai habis, tampaknya memang surat ini cocok dibaca kaum Muslimin Indonesia saat ini. Agar tidak tergelincir aqidahnya. Agar tidak takut rejekinya tertahan, sebab yang bisa menahan rizki itu hanya Allah. Dan apabila Allah menahan rizki kita, maka tidak ada makhluk apapun yang mampu memberi rizki, tidak juga penguasa. Yuk, mari, kita kencangkan doa-doa. Setidaknya, meski kemungkaran merajalela, orang bangga bermaksiat, at least masih ada, bahkan banyak, hamba Allah di negeri ini yang TAKUT akan adzabNYA yang sangat pedih! Kita berharap, semoga dengan doa-doa kita, mampu menahan datangnya murka Allah. Insyaa Allah, aamiin... 19 Okt 2019 (Iramawati Oemar)

Pelantikan Jokowi dan Kesabaran Revolusioner: Sebuah Renungan

Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle Jakarta, FNN - Jokowi akan dilantik sebentar lagi di gedung MPR RI. Seluruh dukun telah bergerak mengamankan peristiwa ini. Bahkan iblis terbesar penguasa laut, Nyi Roro Kidul, diundang para dukun itu untuk pengamanan. Puluhan ribu TNI Polri di seluruh pelosok negeri juga akan mengamankan pelantikan ini, khususnya 30.000 personel di Jakarta. Berbagai rute transportasi melintasi Gd. MPR dan Istana dibatasi. Kereta Api, Serpong Tanah Abang misalnya, hanya berhenti sampe stasiun Kebayoran Lama, tidak ke Tanah Abang agar tidak melintasi Gd. MPR. Car Free Day si batasi. Semua tema pengamanan menjadi sentral topik berita dan chit-chat rakyat di media sosial. Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Siapakah dan atau apakah ancaman tersebut? Pada tahun 2014, Prabowo beroposisi terhadap Jokowi. Baik dalam sikap maupun dalam agenda di DPR dan pernyataan publik. Namun, saat ini, Prabowo sudah tunduk pada Jokowi. Prabowo kemungkinan akan diberikan jatah 2 menteri plus satu jatah wakil menteri, termasuk dirinya akan menjadi Menteri Pertahanan. Dari sisi siapa, tentu seharusnya ketundukan Prabowo pada Jokowi membuat kekuasaan Jokowi sempurna. Jika sempurna maka pesta rakyat 2019 harusnya lebih besar dari pesta rakyat 2014 lalu. Tesis ini ternyata gagal. Topik dan anggaran pengamanan Jokowi mendominasi. Ini dapat berarti Prabowo bukanlah pemimpin yang mempunyai kekuatan, setidaknya kekuatan riil alias bukanlah macan benaran tapi mungkin dia hanya macan ompong. Lalu siapa musuh Jokowi itu? Habib Rizieq tentu tidak punya kekuatan menggerakkan Jin Ifrid sehingga perlu dihadang Nyi Roro Kidul. Kekuatan Rizieq adalah kekuatan sikap, menyatakan tidak mendukung Jokowi dan pemerintahannya. Karena menurut Rizieq kemenangan Jokowi adalah illegal. Tapi untuk apa 30.000 pasukan TNI Polri di siapkan mengamankan sebuah pesta? jika itu pesta kemenangan? Kesulitan mencari siapa atau sosok musuh Jokowi membuat kita pindah pada pertanyaan apakah ancaman terhadap pelantikan Jokowi? Pertanyaan ini merujuk pada situasi bukan sosok. Pertanyaan ini bersifat lebih abstrak. Sebuah kekuasan memerlukan moral dan legitimasi. Moral dan legitimasi adalah spirit dan substansi. Sebuah sakral. Berbeda dengan legalitas. Legalitas adalah pengakuan hukum formal. Legalitas dapat diperoleh melalui jalan baik, namun juga dapat melalui jalan jahat. Machiavelli, Sang Guru Politik Italia, mengajari kekuasaan tanpa moralitas. Menurutnya kekuasaan tidak ada yang jahat. Katanya, "cambuklah musuhmu 100 kali, lalu besoknya cambuklah hanya 99 kali, maka kamu akan menjadi pemimpin yang baik di mata dia" Namun, secara general, kekuasaan berkaitan dengan moral dan legitimasi tadi. Sebuah kekuasaan yang diperoleh dan dijalankan tanpa moral dan legitimasi umumnya menghantui pikiran pemimpin itu setiap malam. Commodus, raja Roma di masa kuno, dalam film Gladiator, misalnya, menjadi raja tanpa moral dan legitimasi. Dia menjadi raja menggantikan ayahnya, Raja Marcus Aurelius, setelah membunuh secara rahasia ayahnya, dan menuduh pembunuhnya adalah Maximus, jenderal kesayangan kerajaan. Senat memberi legalitas pergantian raja dan pesta besar2an dilakukan. Namun, tanpa moral dan legitimasi, Commodus, menjadi raja yang paranoid. Commodus harus menyingkirkan semua elemen kekuatan yang dicurigai memusuhinya. Commodus menggunakan uang negara besar2an untuk memanipulasi adanya dukungan sah rakyat. Apakah Jokowi mengerahkan pengamanan besar2an karena soal legitimasi dan moral? kita belum mengetahui secara pasti, namun dari sisi ancaman sosok, tentu dengan Prabowo mengemis jadi menteri Jokowi, soal sosok setidaknya tak ada lagi. Kesabaran Revolusioner Berbagai isu miring tetap diarahkan rezim Jokowi bahwa kekuatan2 yang akan menggagalkan pelantikan Jokowi eksis. Projo, organ pemenangan Jokowi, menyebarkan spanduk diberbagai penjuru ibukota "Kawal Terus Pelantikan Jokowi-Makhruf Amin". Polri mengidentifikasi ada rencana bom bunuh diri. Nasdem mengatakan "pendukung #02 belum move on" Dll berita media online. Termasuk mengaitkan gerakan demo mahasiswa kemarin dengan urusan pengggalan pelantikan. Bagi pendukung #02, tentu saja tuduhan atau penggiringan penggagalan pelantikan Jokowi terhadap mereka adalah sebuah "misleading". Dari berbagai media yang dapat kita pantau tidak satupun pernyataan Habib Rizieq Sihab, pemimpin oposisi utama, menyatakan seruan penggagalan pelantikan. Begitu juga ulama2 sentral dalam ijtima Ulama, tidak ada satupun yang melakukan gerakan makar itu. Seruan penggagalan misalnya datang dari Sri Bintang Pamungkas, tapi Sri Bintang sudah menyerang Jokowi sejak kasus makar 2016 lalu. Dan Sri Bintang tidak mengaitkan dimensi waktu dalam melawan Jokowi. Abdul Basith yang dituduh akan melakukan serangan Bom Molotov (bukan bom C4), dan membuat kekacauan, bukanlah ulama atau figur sentral dalam gerakan ijtima Ulama maupun kekuatan non ulama anti Jokowi. Sehingga, kelompok masyarakat yang tidak memberikan legitimasi dan moral bagi kekuasaan Jokowi, sesungguhnya tidak melakukan gerakan penggagalan atas pelantikan Jokowi. Dari segi ini, maka Habib Rizieq dan kekuatan rakyat (underground) yang menyatakan atau merasakan tidak mendukung Jokowi pada periode kedua ini, mempunyai kemampuan mengendalikan diri, sehingga tidak terpancing pada politik kekuasaan kontemporer. Ini adalah sebuah kemajuan besar politik umat Islam, khususnya, dan rakyat oposisi umumnya, yakni memelihara kesabaran (meski mungkin terhina telah mendukung Prabowo?). Politik dengan kesabaran adalah sebuah politik ajaran nabi, bukan Machiavelli. . Melihat politik bukan sekedar ambisi berkuasa, mengemis-ngemis jadi menteri, merampok harta negara, dlsb. Politik kesabaran adalah politik merujuk pada John Lock, bahwa pemimpin adalah sebuah pengabdian pada kontrak sosial. Menjadikan rakyat sebagai penguasa sesungguhnya. Pada saat ini kita akhirnya mengetahui sebuah fakta sosial: rezim Jokowi membangun tema keamanan, sedangkan Rizieq Sihab dan kaum oposisi mengutamakan kesabaran revolusioner.

Pak De, Ini Pidato Pelantikan atau Kampanye Pilpres?

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Sekilas, tanpa sengaja saya memutar tivi dan terlihat siaran langsung pidato kenegaraan Presiden terpilih periode 2019-2024. Sebelum akhirnya chanel TV dipindah oleh anak untuk khusuk menonton SpongeBob Squarepant, karena suasana bathin juga tak nyaman berlama-lama mendengar pidato Presiden. Namun, sekilas penulis menangkap ada dua kutipan substansi penting pidato presiden terlantik yang menarik untuk dikomentari : Pertama, saya tercengang (hampir saja jatuh dari kursi), ketika Jokowi selaku Presiden terlantik dengan bangga menyebut pendapatan per kapita rakyat negeri ini sebesar 324 juta per tahun. Awalnya Saya fikir Jokowi salah kutip. Namun pada pidato selanjutnya, Jokowi mempertegas pendapatan per kapita itu jumlahnya 27 juta per bulan. Satu jumlah yang tentu saja jika benar sangat membanggakan. Pendapatan ini sangat fantastis, karena dengan pendapatan ini rakyat sebenarnya tidak perlu ngeluh dengan kenaikan iuran BPJS yang menurut dirut BPJS hanya naik 5000 perak/hari. Angka pendapatan, yang seharusnya membuat rakyat di negeri ini bisa plesir ke Singapura setahun sekali, atau minimal ke Bali lah. Walau sudah yakin ini pasti ngibul, tetapi penulis perlu meyakinkan diri ini. Perlu memastikan bahwa apa yang barusan didengar dari Presiden yang baru dilantik adalah hoax. Setelah beberapa detik Googling, penulis mendapatkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia memang meningkat. Namun, angkanya hanya US$ 3.927 atau sekitar Rp 56 juta per kapita per tahun di 2018. Angka tersebut naik dibandingkan tahun 2017 Rp 51,9 juta dan 2016 Rp 47,9 juta. "PDB 2018 Rp 56 juta disetarakan US$ 3.927 per kapita, lebih tinggi dibandingkan 2016 dan 2017," begitu kata Kepala BPS Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Rabu (6/2/2019). Saya tidak tahu apakah ada data terbaru setelah per 6 Februari 2019. Tapi, mustahil angka 56 juta per tahun ini bisa meledak menjadi 324 juta per tahun. Sulit juga nalar ini membenarkan bahwa pendapatan per kapita rakyat saat ini 27 juta per bulan. Itu fantastis ! Fantastis ngibulnya. Semoga pada pidato lanjutannya ada keterangan yang merevisi, karena chenel tivi memang sudah dipindah ke film kartun SpongeBob. Kedua, penulis sempat juga menangkap pidato Presiden terpilih yang berjanji akan memastikan program pemerintahan, program birokrasi itu terdeliveri. Bukan sekedar dikirim. Bahkan, untuk kualitas pidato bahasa Inggris Jokowi yang ala kadarnya, Jokowi sempat mengunggah satu istilah 'making delivery'. Sontak saja pidato ini dihadiahi riuh tepuk tangan para hadirin. Tidak cukup itu, Presiden terlantik juga mengungkapkan yang dibutuhkan itu hasilnya bukan prosesnya. Prosesmya, programnya menurut Presiden terlantik sudah dilakukan. Namun dampaknya, hasilnya belum atau tidak dirasakan masyarakat. Mungkin maksud Presiden terlantik, Kedepan dirinya akan mengubah gaya kepemimpinan yang sebelumnya berorientasi pada proses, orientasi pada program, diubah pada gaya Pemerintahan yang berorientasi kepada hasil, berorientasi kepada rakyat. Namun kita semua paham, problemnya bukan pada orientasi kepemimpinan, bukan pada program atau target kegiatan, problemnya ada pada kapasitas dan kapabilitas. Kekuasan saat ini diselenggarakan oleh otoritas yang tidak cakap, tidak qualifite. Ibaratnya, urusan kecamatan yang ditangani oleh ketua RT. Wajar saja dahulu JK menyebut jika Jokowi jadi Presiden bisa Ancur bangsa ini. Nampaknya, inilah yang sedang terjadi. Kembali ke materi sambutan Presiden terlantik Jokowi, seharusnya Presiden bicara tentang narasi bangsa yang fokus pada visi, bukan langsung menerjemahkan pada misi apalagi yang sifatnya teknis. Proses mendelivery tugas pemerintahan itu teknis saja. Justru desain besarnya, itu bagaimana membangun narasi besar -melalui pidato Presiden terlantik- agar seluruh komponen anak bangsa bisa bersinergi mengeksekusi visi besar bangsa Indonesia. Lebih penting, adalah bagaimana Jokowi membuat jembatan penghubung melalui visi bersama yang diterima para pihak, agar keterbelahan bangsa ini segera diakhiri. Lagi-lagi, saya tidak bisa memaksa. Ini bukan terkait pidato biasa atau lomba deklamasi tingkat RT. Ini terkait kapasitas dan kapabilitas. Asyari Usman pernah menulis soal ini. Pidato Jokowi lebih mirip pidato kampanye Pilpres ketimbang pidato kenegaraan seorang Presiden yang baru saja dilantik. Apa yang disampaikan substansinya tidak jauh beda denga apa yang pernah diterima publik saat kampanye Pilpres beberapa waktu lalu. Saya harus memaklumi, realitasnya kapasitas dan kapabilitas Jokowi memang cuma segitu. Mau diapakan lagi ? [].

Lebih Baik Bersama Rakyat Ketimbang Pesta di Atas Luka

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Saya, tetap memilih menahan diri untuk terus bersama rakyat, menambal perih dan luka rakyat yang menganga, dan tdk ingin sedikitpun membubuhkan garam diatas luka itu. Saya paham dan sangat merasakan, betapa pedih dan sakitnya penderitaan yang dialami rakyat. Ayah Harun dan Reyhan, keduanya hingga saat ini tidak tahu kepada siapa akan memberi maaf, atas hilangnya putra tercinta. Untaian kata maaf, yang dipersiapkan bagi pihak yang melakukan tindakan keji kepada anak mereka, tdk bisa disampaikan karena hingga saat ini polisi tidak bisa menemukan pihak yang bertanggungjawab atas derita yang mereka alami. Seorang ayah, yang telah melabuhkan semua harapan kepada putra tercinta, yang memeras keringat dan membanting tulang demi masa depan sang putra, harus mengecap getirnya kenyataan, bahwa masa depan putra mereka telah direnggut, telah sirna dan tinggal cerita. Semoga diberi kesabaran dan keteguhan, Duhai ayah Harun dan ayah Reyhan. Keluarga dua mahasiswa di Kendari, juga tak mampu mengunggah doa, ampunan kepada siapa dimohonkan. Karena hingga saat ini, polisi tak bisa mengungkap pelaku pembunuhan mahasiswa di Kendari. Polisi, yang gagah mengejar bahkan menangkap 40 orang terduga teroris bermodal insiden 'jari kelingking Wiranto' hingga saat ini juga tak mampu mengeja nama, siapa yang menembak mahasiswa hingga tewas. Mereka, hanya bisa memproses 7 polisi yang membawa senjata tajam, tapi tak mampu menemukan siapa yang menggerakan jari telunjuknya ke pelatuk senjata, sehingga timah panas itu menembus dada mahasiswa, hingga menjemput ajal. 700 anggota KPPS yang tewas, korban Barisan Emak Militan, Korban tragedi 21-22 Mei, hingga korban genosida Wamena. Mereka, yang dibakar hidup-hidup, di perkosa hingga meninggal, semua itu tak mungkin terlupakan. Tak mungkin, jiwa ini terbawa suasana pesta pora istana, merayakan kemenangan diatas bangkai penderitaan umat. Tidak ! Saya akan tetap berada dan bersama umat, mereka kaum terzalimi, kaum mustad'afin. Mr. Presiden, Silahkan lafadzkan sumpah buaya, yang dahulu juga kau ucapkan dan telah terbukti kau ingkari. Kami sudah tak butuh redaksi itu lagi, kami meyakini redaksi itu dusta belaka. Mr. Presiden, jangan paksa kami bahagia setelah berbagai beban kau timpakan kepada kami. Beban BPJS, tarif listrik, tol, PHK dimana-mana, kerja susah usaha payah, semua itu jelas kami rasakan. Ini nyata, bukan sinetron. Karena itu, biarlah kami menanggung beban ini. Entah apa yang merasukimu tuan Presiden ? Teganya, engkau memaksa kami bahagia sementara batin kami dalam keadaan menjerit menahan sakit. Ingin rasanya, kami berdoa agar semua beban ini segera berakhir. Namun kenyataannya, pelantikan itu mengabarkan kepada kami, kami diminta untuk bersabar dalam tempo lima tahun lagi. Jangan cemas Mr. Presiden, Anda telah mengajari kami bagaimana bersabar, dan ikhlas menghadap segala ujian. Kami telah siap, untuk berjuang dan terus melakukan perlawanan, bukan hanya untuk lima tahun Kedepan, tapi sampai kapanpun, sampai ajal menjemput, atau tuan Presiden yang mendahului kami dijemput malaikat ijrail. Kami meyakini, pertolongan Allah SWT itu begitu dekat, pertolongan itu ada bersama umat, bersama ulama, bukan bersama Anda dan dukun-dukun Anda, bukan pula bersama Anda dan seluruh hantu jin perewangan Anda. Sorry tuan Presiden, saya lebih berbahagia berada bersama umat, ketimbang menghadiri pesta sadis yang Anda selenggarakan. Senang-senanglah, hanya ingat semua pasti ada saatnya. Ajal kekuasan, itu bisa berlaku kapan saja, tak selalu menunggu ritual lima tahunan. [].

Misteri Buku Merah KPK Kembali, Cicak vs Buaya Jilid Baru?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba kasus “Buku Merah KPK” kembali mencuat. Apakah ada agenda bersih-bersih di internal KPK? Dan, siapakah yang diuntungkan atau dirugikan? Benarkah KPK sarat dengan kepentingan? Sejumlah pertanyaan tersebut tentu saja mengemuka seiring dengan mencuatnya kembali kasus Buku Merah. Sebab, diduga “penghangusan” alat bukti yang menyeret orang “berpengaruh” terjadi di sana. Bukan main-main, dugaan keterlibatan orang berpengaruh itu menyeret orang nomor satu di institusi Kepolisian RI. Apalagi, bersamaan dengan mencuatnya ini, Presiden Joko Widodo menagih kasus Novel Baswedan yang belum “tuntas”. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian! Nama Tito Karnavian tertulis sebagai penerima dana dalam 7 lembar Buku Merah yang diduga disobek oleh penyidik KPK dari unsur Kepolisian tersebut. Rekaman CCTV di kantor KPK pada 7 April 2017 mengungkap dugaan perusakan buku laporan keuangan CV Sumber Laut Perkasa milik pengusaha Basuki Hariman, terpidana penyuap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Video tersebut didapatkan dan ditayangkan sejumlah media massa yang tergabung dalam IndonesiaLeaks, sebuah platform jurnalisme investigasi kolaboratif. Temuan lain dalam investigasi itu adalah dugaan aliran dana ke Tito Karnavian. Dalam laporan investigasi tersebut, salah satunya yang ditayangkan Tirto.id, IndonesiaLeaks menduga perusakan buku catatan yang disebut sebagai “buku merah” itu dilakukan beberapa penyidik KPK dari unsur Kepolisian. Dalam laporan IndonesiaLeaks itu juga menduga, perusakan tersebut satu rangkaian dengan penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Pada 11 April 2017, Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Namun, hingga batas waktu 19 Oktober 2019 ini, belum ada satu pun tersangka penyerangan itu yang ditangkap, meski Polri telah membentuk tim gabungan pencari fakta dan tim teknis. Temuan lain dalam investigasi IndonesiaLeaks itu adalah dugaan aliran dana dari perusahaan milik Hariman Basuki kepada pejabat Polri. Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menyebut laporan investigasi IndonesiaLeaks itu sebagai wujud nyata fungsi kontrol sosial yang diemban pers. Menurut Ade Wahyudin, setiap pihak dalam berita itu, yang keberatan dikaitkan dengan dugaan perbuatan hukum, dapat mengajukan komplain atau keberatan sesuai ketentuan UU 40/1999 tentang Pers. “Laporan ini sudah melalui proses jurnalistik. Kalau ada yang dianggap merugikan pihak tertentu, mekanismenya adalah hak jawab,” kata Ade Wahyudin kepada BBC Indonesia, Jumat (18/10/2019). LBH Pers merupakan salah satu mitra dalam kerja kolaboratif IndonesiaLeaks. Kelompok masyarakat sipil lain dalam platform ini antara lain ICW, Greenpeace, dan Auriga. Adapun beberapa media massa yang tercatat sebagai anggota IndonesiaLeaks adalah Tempo, Tirto.id, dan Kantor Berita Radio (KBR). Ade Wahyudin menilai kepolisian semestinya menindaklanjuti fakta-fakta yang ditemukan dalam laporan investigasi ini. Namun, sayangnya pihak Kepolisian tampaknya enggan bicara terkait dengan laporan IndonesiaLeaks tersebut. BBC sudah berusaha menghubungi Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Muhammad Iqbal, dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, untuk mengkonfirmasi langkah Polri terkait temuan jurnalistik tersebut. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, juga tidak menjawab pertanyaan tentang tindak lanjut laporan investigasi IndonesiaLeaks. Ia mengatakan, KPK sudah lama menyerahkan salinan rekaman CCTV kepada penyidik Polri dengan alasan untuk kepentingan penanganan kasus. “Dan salinan CCTV itu tadi saya cek juga ke bagian pemeriksa internal, salinan CCTV itu juga sudah pernah disampaikan sebelumnya ke pihak Polri untuk kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Febri kepada wartawan, Jumat (18/10/2019). KPK menyerahkan salinan rekaman CCTV ketika penyidik Polda Metro Jaya memeriksa sejumlah pegawai KPK pada Oktober 2018 untuk menyelidiki dugaan perusakan buku merah di Gedung KPK pada 7 April 2017. IndonesiaLeaks menyebut di salah satu buku merah itu ada catatan pengeluaran uang dari CV Sumber Laut Perkasa milik pengusaha Basuki Hariman ke sejumlah pejabat dari berbagai instansi negara, termasuk petinggi polisi. LBH Pers mendorong para pejabat publik yang berkaitan dengan isu perusakan buku merah untuk angkat bicara. Alasannya, ada kepentingan publik dalam persoalan itu. “Keputusannya ada di narasumber, mengklarifikasi atau diam saja,” kata Ade Wahyudin. Tapi, sebaiknya terbuka, kalau memang ada yang keliru atau proses hukum memang sedang berjalan, katakanlah kepada publik karena ada kepentingan publik dalam isu ini. Jika tentang persoalan pribadi, pejabat berhak diam. "Jadi sebaiknya pejabat publik bersuara dalam isu ini," tegasnya. Platform peraih penghargaan Udin Award Tahun 2018 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini merupakan wadah publik untuk menyampaikan informasi kepada media massa anggota IndonesiaLeaks. Salah satu tujuan dari pembentukan platform ini adalah memperkuat peran media massa guna mengawasi dan membongkar korupsi dan memberi tempat bagi kelompok yang terbungkam. Basis kerja pengiriman informasi publik ke IndonesiaLeaks adalah anonimitas atau kerahasiaan pemberi sumber awal. Karena situs yang terenkripsi, IndonesiaLeaks juga tidak dapat melacak pemberi informasi. Hingga saat ini, tidak ada satu pun keterangan dari mana mereka mendapatkan rekaman CCTV yang memperlihatkan dugaan perusakan alat bukti KPK. Dalam laporannya, Tempo menyebut rekaman yang mereka terima berdurasi 1 jam 48 menit. Rekaman itu mereka terima pertengahan 2019. Proses kerja jurnalistik IndonesiaLeaks sama dengan platform serupa di beberapa negara, seperti LeaksNG (Nigeria), Publeaks (Belanda), dan Mexicoleaks (Meksiko). Awal pendiriannya Desember 2017, IndonesiaLeaks mendapat asistensi Global Investigative Journalism Network, jejaring pers yang bergiat di laporan mendalam dan investigatif. Copy rekaman CCTV yang viral sekarang ini jelas menampar Jenderal Tito. Pasalnya, KPK sudah menyerahkan salinan rekaman CCTV ketika penyidik Polda Metro Jaya memeriksa sejumlah pegawai KPK pada Oktober 2018 untuk menyelidiki dugaan perusakan buku merah di Gedung KPK pada 7 April 2017. Ditagih Presiden Bersamaan dengan viralnya rekaman CCTV “perusakan” barang bukti Buku Merah oleh 2 oknum penyidik dari Kepolisian itu, Presiden Joko Widodo menagih Jenderal Tito terkait perkembangan kasus penyiraman air keras pada penyidik KPK Novel Baswedan. Hal itu disampaikan Kepala Staf Presiden Moeldoko. Sebelumnya, pada 19 Juli 2019, Jokowi memberi waktu tiga bulan kepada Jenderal Tito untuk mengusut kasus penyerangan terhadap Novel setelah Tim Pencari Fakta menyelesaikan tugasnya pada bulan yang sama. “Kebiasaan yang dijalankan oleh Pak Jokowi begitu. Selalu mengecek atas perkembangan pekerjaan yang telah beliau perintahkan,” kata Moeldoko, di Kantor KSP, Jakarta, Jumat (18/10/2019). Pada Juli 2019 lalu, Presiden Jokowi mengapresiasi kerja TPF bentukan Polri selama enam bulan ke belakang. Ia pun berharap hasil kerja TPF bisa ditindaklanjuti oleh tim teknis yang diketuai Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Idham Azis. Ketika itu Presiden Jokowi menyatakan penyiraman air keras ke Novel bukan kasus yang mudah. Menurutnya, jika kasus yang menimpa salah satu penyidik senior KPK itu mudah, maka dalam waktu satu sampai dua hari pelaku sudah bisa diungkap. Saat ditanya apakah akan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen jika dalam waktu tiga bulan tim teknis belum berhasil mengungkap pelaku penyiraman air keras ke Novel Bawesdan, saat itu Jokowi mengaku akan melihat hasilnya terlebih dahulu. “Saya beri waktu tiga bulan, saya lihat nanti setelah tiga bulan hasilnya kayak apa. Jangan sedikit-sedikit larinya ke saya, tugas Kapolri apa nanti,” ujarnya. Hampir 3 bulan usai Jokowi menyampaikan hal itu, belum terdapat tanda-tanda Polri berhasil mengungkap siapa pelaku penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik senior lembaga antirasuah itu. Polri seakan jalan di tempat menangani kasus tersebut. Adakah viralnya rekaman CCTV perobekan barang bukti Buku Merah oleh 2 penyidik dari Kepolisian tersebut untuk menekan Jenderal Tito? Apakah ini bisa disebut sebagai perang Cicak versus Buaya Jilid Baru? ***

Inaugurasi Horor

Oleh M Rizal Fadillah Jakarta, FNN - 2O Oktober 2019 adalah hari inaugurasi Presiden dan Wakil Presiden. Heboh sekali rasanya penghelatan politik ini. Ada nuansa ketakutan yang sangat, sehingga situasinya mencekam. Ada horor di sana. Horor isu penggagalan pelantikan, sehingga disiapkan perlindungan di banyak matra. Pasukan militer dan polisi mendominasi. Puluhan ribu bagaikan ada yang hendak kudeta. Dukungan kekuatan partai pendukung sudah pasti dan yang unik adalah pasokan mahluk halus yang diundang Ki Sabdo. Konon dari pengakuannya, itu perintah Jokowi. Segala jenis pasokan hadir dari Nyi Loro Kidul Nyi Blorong hingga Jin Kahyangan. Katanya lengkap. Dari aspek keagamaan banyak yang mengelus dada karena salah satu yang dilantik adalah seorang Kyai Ketua Umum MUI yang tidak (mau) mengundurkan diri. Tentu dilengkapi dengan banyaknya jabatan lain yang dipegang. Mistik mistik menyebabkan Negara Ketuhanan bergeser menjadi Negara Kehantuan. Tragis. Ketika viral "Ki Sabdo" menjampi jampi Gedung DPR/MPR RI teringatlah pada "penasehat" Raja Brawijaya yang bernama "Sabdo Palon". Ketika Majapahit dikalahkan oleh Kesultanan Demak maka Raja Majapahit Brawijaya masuk Islam. Penasehat "dedemit" nya Sabdo Palon diajak masuk Islam, tetapi ia menolak dengan keras dan berucap "Sabdo Palon matur sugal yen kawula boten ngrasuka agama Islam. Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang tanah jawi. Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Wus pinasthi sayekti pisahan". Intinya Sabdo Palon adalah "dedemit" pengasuh pemimpin tanah Jawa, daripada masuk Islam lebih baik berpisah dengan Brawijaya. Dan ia bersumpah akan bangkit lagi mengganti agama Islam. "Kula gantos Kang agami" katanya. Sabdo yang memasukkan banyak dedemit ke gedung DPR/MPR untuk memproteksi pelantikan menjadi fenomena baru yang memprihatinkan bangsa. Semakin merenung bisa bisanya Pak Jokowi yang selalu bersemangat jadi imam Shalat dan Pak Ma'ruf Amin yang Kyai sampai sangat toleran dan terpapar oleh mistisisme. Kemusyrikan yang menguasai dan mengendalikan politik. Rupanya aksi demo mahasiswa yang masif hendak dihadapi oleh para "dedemit" dari berbagai spesies dan genus. PasukanTNI dan Polri yang berjumlah puluhan ribu kalah pamor dan efektif oleh pasokan Dedemit dibawah komando Sabdo. Sungguh suatu pelecehan. Sejarah akan mencatat inilah inaugurasi terhoror sepanjang sejarah. Pasca pelantikan bisa bisa komunitas dedemit akan terus ikut mengisi ruang istana. Sehingga suasana magis meliputi penjuru Istana itu. Saran saja untuk Pak Jokowi, contohlah Raja Brawijaya yang rela "diceraikan" dirinya oleh Sabdo Palon demi agama Islam. Dunia mistik membuat Allah SWT tidak ridlo. Ulama, umat, dan kaum rasional akan melawan kemusyrikan dan kebodohan. Lengser keprabon merupakan sebuah keniscayaan. *) Pemerhati Politik Madinah, 20 Oktober 2019

Anomali-Anomali Pelantikan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil dan banyak kelainan. Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti. Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti mau perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi. Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak di antaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada. Jalan-jalan utama ditutup untuk umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden dan berbagai ruas jalan protokol yang menghubungkannya tak bisa dilalui. Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya untuk rakyat. Hanya petugas keamanan dan pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden dan wakil presiden yang boleh melaluinya. Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan. Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan. Lucunya beberapa kepala daerah di seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan car free day di jalan Ahmad Yani, Bekasi. Padahal lokasi sangat jauh dari arena pelantikan. Bupati Bogor Ade Yasin guru dan orang tua yang pelajar dan anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan. Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjuk rasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10). Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi. Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo. Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara. Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta. Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.” Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa. Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.” Di twitter seruan #BesokMatikanTVSeharian memuncaki trending topic. Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri. Situasinya berbeda jauh dengan Pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan. Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga. Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet. Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri. Tak heran bila banyak rakyat yang menyatakan kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “ Kalau begini ngapain harus pilpres segala?” Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka. Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. End

Kalau Benar Pakai Dukun, Kita Mundur Ratusan Tahun

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ada video tentang adegan paranormal. Namanya, Ki Sabdo. Sang Dukun sedang duduk bersila di lobi gedung Nusantara 5 di DPR, Senayan. Dia kelihatan membaca mantra. Tak lama kemudian selesai. Si perekam video bertanya kepada Pak Dukun tentang apa yang dia kerjakan. Menurut dukun yang berpakaian serba hitam itu, termasuk blangkonnya, dia sedang melakukan gladi bersih untuk peranan sebagai penjaga atau pengawal pelantikan Jokowi-Ma’ruf, 20 Oktober 2019. Ki Sabdo menjelaskannya dengan lengkap. Dia sudah membooking ratu pantai selatan, Nyi Roro Kidul berserta pengawalnya yang bernama Nyi Blorong. Juga diikutsertakan Jin Kayangan. Mereka inilah yang akan mengamankan pelantikan Jokowi-Ma’ruf. Intinya, kata Ki Sabdo, persiapan untuk pengawalan pelantikan sudah sangat mantap. Gladi bersih ini, sesuai video, dilakukan hari Jumat (18 Oktober 2019). Benarkah pihak Istana yang mengerahkan Ki Sabdo? Staf ahli utama kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan Istana tidak pernah mengerahkan paranormal atau dukun. Tetapi, di akhir video yang dimaksud di atas, Ki Sabdo mengatakan “iya” ketika ditanya apakah dia disuruh oleh Jokowi. Perlukah Jokowi mengerahkan kekuatan gaib untuk mengamankan pelantikannya? Soal perlu atau tidak, tentu ini tergantung Jokowi sendiri. Namun, pengerahan dukun untuk ikut mengamankan pelantikan memperlihatkan Jokowi meyakini kekuatan magis. Ini sepenuhnya hak beliau. Hak untuk mempercayai bentuk-bentuk kekuatan magis. Tidak ada yang bisa melarang. Cuma, apakah kepercayaan kepada kekuatan magis itu sesuai dengan norma-norma agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh Pak Jokowi? Tentu ini sangat kontroversial. Terlepas dari sudut pandangan norma agama, pengerahan paranormal atau dukun dengan tujuan untuk mengawal acara pelantikan presiden, memunculkan beberapa masalah. Pertama, pengerahan paranormal atau dukun mencerminkan ketidakpercayaan pada berbagai institusi keamanan negara. Terlihat ada keraguan terhadap kemampuan kepolisian, badan intelijen dan TNI untuk mengamankan rangkaian pelantikan. Semua lembaga keamanan ini tidak mengenal kekuatan magis sebagai musuh atau ancaman bagi mereka. Terkesan pengerahan dukun itu meremehkan aparatur keamanan. Kedua, pengerahan paranormal jelas menunjukkan kemunduran spiritual dan intelektualitas ratusan tahun. Tuhan Yang Maha Esa menurunkan bantuan kepada manusia agar makhluk yang terbaik ini terbebas dari belenggu kehinaan intelektualitas. Allah mengirimkan utusan silih berganti untuk menjelaskan agar manusia tidak menyembah atau bersujud kepada sesama makhluk. Penjelasan itu didakwahkan ke Indonesia sekitar 700-an tahun yang lalu. Sampai akhirnya kita mantap dalam teologi keesaan Allah. Kita yakin bahwa hanya Allah-lah sumber segala kekuatan dan kekuasaan. Jadi, pengerahan dukun mengembalikan Anda ke masa sebelum kedatangan risalah yang membebaskan manusia dari cengkeraman kebodohan (jahiliyah). Ketiga, pengerahan dukun (paranormal) akan menjadi teladan yang membingungkan bagi generasi milenial. Prinsip perdukunan tidak sejalan dengan ‘creative thinking’ (berpikir kreatif). Tidak akan bisa terhubung dengan ‘digitalized technology’ (teknologi terdigital). Intinya, penyertaan dukun dalam acara-acara kenegaraan akan menyampaikan pesan yang kontradiktif tentang kapasitas para pemimpin. Di satu pihak, para penguasa mengatakan mereka ingin mempercepat pembangunan sains dan teknologi. Namun, di pihak lain, para penguasa juga menunjukkan isyarat bahwa pikiran mereka terbelenggu oleh perdukunan yang tidak punya sambungan dengan sains dan teknologi itu sendiri. Akibatnya, muncul pertanyaan apakah para penguasa memahami atau tidak terobosan sains dan teknologi yang berlangsung terus-menerus. Apakah mereka mengerti bahwa sains dan teknologi adalah buah dari pembebasan manusia dari sungkupan kebodohan dan kelemahan. Itulah tiga hal yang perlu kita cermati terkait penyertaan dukun atau paranormal di dalam aspek-aspek kehidupan kita. Semoga kita tidak masuk ke dalam terowongan yang akan membawa kemunduran intelektualitas. Ratusan tahun ke belakang. [] 20 Oktober 2019

Spesialnya Wapres China dan Hinanya Rakyat Indonesia

Adapun China nampaknya memberi perhatian spesial kepada Jokowi. Wakil Presiden China, Wang Qishan, secara khusus diutus China untuk menghadiri pelantikan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Bahkan, Sebelum ke Jakarta, Wang Qishan terlebih dahulu berkunjung ke kampung halaman Jokowi di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah. [Catatan Pelantikan Jokowi - Ma'ruf] Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Wakil Ketua MPR Arsul Sani menyebut, pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 pada Minggu (20/10/2019) mendatang akan dihadiri oleh para tamu lebih dari 20 negara. Thailand mengutus deputinya untuk menghadiri pelantikan Presiden dan Wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Sementara Amerika Serikat dan Laos mengirim utusan khusus. Adapun China nampaknya memberi perhatian spesial kepada Jokowi. Wakil Presiden China, Wang Qishan, secara khusus diutus China untuk menghadiri pelantikan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Bahkan, Sebelum ke Jakarta, Wang Qishan terlebih dahulu berkunjung ke kampung halaman Jokowi di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah. Pada Jumat (18/10/2019), Wang Qishan mendapat jamuan spesial dari Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo di rumah dinasnya, Loji Gandrung. Berbagai tarian tradisional dan makanan tradisional disuguhkan kepada rombongan Wapres China ini. Wang dikabarkan pernah berada di Solo pada sekitar tahun 1960. Kedatangan ke Solo juga untuk bernostalgia masa kecilnya. Untuk menjamu dan melayani tamu-tamu dari luar negeri termasuk tamu spesial dari China, Istana telah menyiapkan 18 mobil Mercedes Benz. Mercedes Benz S 450 L untuk tamu kepala negara atau perdana menteri. Mercedes Benz E 300 untuk utusan kepala negara. Total anggaran yang dikeluarkan untuk menyewa 18 mobil Mercedes Benz tersebut mencapai Rp 1 miliar. Sementara untuk tempat penginapan, Istana merekomendasikan Hotel Fairmont, Mulia, Sultan, Four Season. Alasannya, agar tamu negara tidak memakan banyak waktu saat menempuh perjalanan menuju gedung DPR/MPR pada tanggal 20 Oktober. Lantas apa yang telah dipersiapkan istana untuk menyambut rakyat dalam pelantikan? Suguhan apa yang akan dipersembahkan istana untuk rakyat? Nampaknya rakyat nasibnya tak seindah tamu negara, apalagi tamu dari China. Rakyat tidak akan mendapatkan layanan mobil mewah, penginapan megah, apalagi sempat mendapat jamuan spesial dan tari-tarian hangat dari penguasa. Rakyat, telah disuguhi kawat berduri, larangan menyampaikan pendapat padahal itu satu-satunya yang dimiliki rakyat, bahkan sudah disiapkan 31.000 pasukan untuk 'menyambut' (baca: menghadang) rakyat. Wajar saja tak ada kebahagiaan yamg dirasakan rakyat dalam pesta ini. Hina sekali perlakuan rezim ini pada rakyatnya? Sementara Wapres China seperti mengunjungi salah satu provinsinya saja. Mendapat penyambutan dan pelayanan serba wah, bahkan bisa bernostalgia hingga ke solo, mendapat hidangan lezat diiringi tarian hangat. China juga tak mencukupkan staf atase atau kedubes yang menghadiri pelantikan. Mungkin karena China menganggap Indonesia salah satu provinsinya, maka yang diutus langsung Wapres China. Bahkan, layaknya mengunjungi provinsi bawahan, Wapres China juga nyambi plesir ke Solo, tidak hanya menghadiri pelantikan. Itulah perlakuan berbeda yang disuguhkan penguasa pada rakyat di negeri ini. Meskipun kekuasan ditopang oleh pajak rakyat, tapi mereka tidak bekerja melayani rakyat sebagaimana mestinya. Justru, kepada China yang tidak pernah membayar pajak pelayanannya begitu terlihat istimewa.

Menanam Pancasila dengan Pupuk Kemunafikan

Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dulu, di zaman Orde Baru, ada BP7. Huruf ‘p’-nya sampai tujuh biji. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BPPPPPPP). Terpaksa disingkat BP7. Tahu kenapa disingkat pakai angka ‘7’? Sebab, kalau diketik lengkap BPPPPPPP di dalam dokumen harian atau di dalam korespodensi, khawatir huruf ‘p’-nya kurang atau lebih. Tak percaya, coba Anda hitung huruf ‘p’ yang tertulis di atas. Ada tujuh biji atau tidak? Nah, begitulah susahnya pemerintah Orde Baru memasyarakatkan Pancasila. Dibuat badan khusus dengan biaya besar. BP7 menggurita ke seluruh Indonesia. Di mana ada kabupaten, di situ ada BP7. Waktu itu, para petinggi negara khawatir rakyatnya tidak paham Pancasila dan tidak pancasilais. Digagaslah BP7 sebagai mesin injeksi Pancasila. Saking hebatnya mesin injeksi ini, Anda tak akan bisa hafal kepanjangan BP7 itu dalam tiga kali baca. Coba saja. Mesin injeksi Pancasila buatan Orde Baru itu digunakan sebagai alat untuk memompakan nilai-nilai falsafah bangsa itu ke dalam diri pegawai negeri dan mahasiswa. Mereka ini dianggap sebagai lapisan yang menentukan Indonesia menjadi pancasilais atau tidak. Dilaksanakanlah penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan tujuan agar orang yang ditatar menjadi baik. Agar jiwa yang tidak pancasilais lenyap dari birokrasi. Dan agar para calon pemimpin yang sedang sekolah di perguruan tinggi, menjadi manusia pancasilais. Hasilnya? Korupsi merajalela. Penyelewengan uang negara makin marak. Jurang kaya-miskin melebar terus. Penggundulan hutan mencapai puncaknya. Para pelaku kejahatan ini semuanya hafal Pancasila. Mereka sudah diwisuda sebagai peserta penataran P4 100 jam atau 125 jam. Penataran Pancasila tak punya dampak apa-apa. BP7 buang-buang duit. Akhirnya badan ini dibubarkan. Fast forward, di bulan Juni 2017 dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Ada perasaan Pancasila tidak membekas. Banyak yang tidak paham. Inilah alasan untuk membuat model baru mesin injeksi Pancasila pengganti BP7. Persiden Jokowi lebih serius lagi. UKP-PIP dinaikkan menjadi Badan Pembinaan Idoelogi Pancasila (BPIP). Inilah versi mutakhir mesin injeksi Pancasila. Semua crew di sini bergaji besar. Target: manusia pancasilais sejati akan segera dirilis. Hasilnya? Omong kosong. Protipe pancasilais tak kunjung muncul. Korupsi tetap merajalela. OTT KPK, siapa takut? BUMN menjadi sarang korupsi. Pemilu menjadi ajang jual-beli suara. Pilpres penuh dengan kecurangan dan penipuan. Semua lembaga kepemiluan dihuni oleh orang-orang yang haus duit. Suara rakyat ditipu. Yang benar dikatakan salah, yang salah dibalik menjadi benar. Parpol-parpol tetap melakukan cara haram mencari dana operasional. Kelakuan para pimpinan parpol tak berubah. Masih terus munafik. Hidup mewah tapi sok peduli rakyat kecil. Pura-pura bersih, padahal maling semua. Pancasila mereka permainkan, mereka silatlidahkan. Semakin brengsek. Para pejabat tinggi di semua tingkat menjadi ganas. Semua diolah untuk memperkaya diri. Mereka berkoar-koar mau memperbaiki kehidupan rakyat. Tetapi sejatinya mereka munafik. Nah, ini dia. Kita temukan sekarang ‘keyword’-nya. Kata kuncinya: munafik dan kemunafikan. Kemunafikan itulah yang menjadi masalah besar. Bagaimana mungkin kalian bisa mengharapkan nilai-nilai luhur Pancasila tumbuh kalau pupuknya kemunafikan? Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Pancasila adalah hidup sederhana dan berbagi. Tetapi kalian semua rakus dan tamak. Kalian bercuap-cuap soal persatuan Indonesia, tetapi di balik itu kalian lakukan perbuatan yang memecah-belah bangsa. Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kalian ubah menjadi “keadilan sosialita bagi semua yang banyak duit korupsinya”. Jadi, salah siapa? Yang salah adalah kalian semua yang masih menghuni sistem kenegaraan ini. Kalian adalah problem. Bukan solusi. Kalian penipu, bukan yang ditipu. Kalian perampok, bukan korban. Itulah sebabnya Pancasila tak bisa mengakar. Karena kemunafikan kalian semua. Bukan sosialisasi Pancasila yang menjadi masalah. Bukan karena ketiadaan BP7 atau keberadaan BPIP yang menjadi masalah. Tetapi karena tidak ada keteladanan pancasilais dari kalian semua. Padahal, kalian paham Pancasila. Jadi, pecuma kalian tanam Pancasila kalau pupuknya kemunafikan. Percuma ada BP7 atau BPIP.