OPINI
Habibie Yang Sangat Demokratis Itu Telah Meninggalkan Kita
Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta, FNN - Reformasi tahun 1998 menjadi siklus perubahan penting dalam politik Indonesia. Setelah terjadi protes massa terhadap pemerintahan Soeharto, rezim yaang sudah berkuasa 32 tahun itupun tumbang. Akhirnya Baharuddin Jusuf Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden otomatis menggantikan Presiden menggantikan Soeharto. Naiknya Habibie pada awalnya tidak terlalu menggembirakan bagi kaum reformis. Karena dianggap masih "bagian orde baru". Bagi sebagian kaum reformis, yang namanya orde baru itu mutlak harus ditolak dengan sangat keras. Transisi politik dan demokrasi berpuncak. Krisis ekonomi masih belum bisa teratasi. Isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan mencuat ke permukaan. Korupsi politik dan KKN menjadi perhatian penting. Habibie tentu harus menguras pikiran dan tenaganya memperbaiki keadaan yang sedang gawat itu. Habibie juga harus mengambil sikap untuk menyelamatkan negara. Harus menegakkan hukum, mewujudkan demokrasi bagi negara yang berada dibawah kendalinya ketika itu. Ada banyak permasalahan hukum dan HAM selama pemerintahan orde baru yang menjadi tuntutan rakyat untuk segera di atasi. Tidak mudah bagi pemerintahan Habibie yang baru seumur jagung itu untuk membayar lunas tuntutan reformasi yang terus menggeliat. Kondisinya betul-betul sangat berat. Namun disitulah kegeniusan seorang Habibie. Dia mampu melakukan perbaikan secara cepat dan tepat. Meskipun dikenal sebagai presiden dengan masa jabatan terpendek, yaitu dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. Di bawah kendali pemerintahannya, Indonesia mulai melembagakan demokrasi. Habibir membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dibuka seluas-luasnya pendirian partai politik bagi masyarakat. Sehingga pemilu tahun 1999 dapat dibilang sebagai pemungutan suara paling demokratis setelah pemilu tahun 1955. Tinggi komitmen seorang Habibie tentang demokrasi, mendorongnya menggelar referendum di Timor Timur. Meskipun keputusan tersebut kontreversial, namun Habibie tetap kukuh dengan keputusannya. Ujungnya provinsi termuda Indonesia itupun lepas dari pengkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sosok Habibie adalah sosok demokratis tulen. Dia telah memberikan kebebasan bagi keterkungkungan pers selama 32 tahun. Dilahirkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini sebagai wujud dari komitmen Habibie menegakkan demokrasi di Indonesia. Kebebasan diberikan kepada media massa nasional untuk menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya tanpa harus disensor oleh kekuasaan. Hanya dengan semangat demokratis, yang menuntun jalannya pemerintahan Habibie, sehingga dapat memulihkan gejolak politik pada 21 Mei 1998. Meskipun pemerintahan Habibie hanya singkat, tetapi kecerdasan dan kemampuannya yang jenius, memudahkan melahirkan segala produk-produk demokrasi bisa terwujud secara cepat dan tepat. Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Presiden Habibie ingin mengubah tampilan wajah pemerintah. Dari yang begitu otoriter ke arah demokrasi. Dari pemerintahan yang dianggap KKN menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu muncul dorongan untuk membebaskan tahanan politik yang dikemukakan oleh tokoh reformasi, Deliar Noer ,Ali Sadikin, Amien Rais dan Adnan Buyung Nasution, ditanggapi dengan serius. Tiga hari setelah dilantik, Habibie membebaskan terdakwa kasus subversi Sri Bintang Pamungkas, Timsar Zubil, Muchtar Pakpahan dan lain-lain. Pengumuman ini disampaikan langsung ole Presiden Habibie. Itulah salah satu peristiwa penting yang terjadi pada tangga 24 Mei 1998. Mereka semua yang berada dalam tahanan politik lainnya yang diusahakan dibebaskan. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, Andi Arif , Nuku Sulaiman, Andi Syahputra, hingga Xanana Gusmao juga dibebaskan. Pembebasan terhadap para tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) orde baru ini membuktikan keseriusan Habibie menjalankan agenda demokratisasi dan mengakhiri cara politik feodalisme yang otoritarian. Rangkul Cendekiawan & Mendirikan ICMI Habibie merupakan salah satu tokoh Islam di zaman orde baru yang patut menjadi kebanggaan bagi umat Islam. Perhatiannya terhadap politik Islam dan masa depan Islam patut diapresiasi. Memang kebijakan orde baru antara 1980-an membuat ledakan besar bagi populasi kaum cendekiawan Islam Indonesia. Presiden Soeharto memberikan perhatian yang agak serius akan perkembangan pesantren dan pendidikan Islam. Ledakan besar intelektual Islam mendorong adanya keinginan untuk membentuk sebuah wadah ormas, kajian dan diskusi. Maka pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990, lahirlaqh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau disingkat ICMI. Pada pertemuan itu juga dipilih BJ Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Selanjutnya dibentuk juga lembaga pemikir. Namanya Center For Information and Development Studies (Cides). Lembaga ini tugasnya mendorong isu demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi kerakyatan. Begitu juga penerbitan Harian Republika dan Bank Islam Muamalat. Peran Habibie dalam mengkonsolidasikan kekuatan Islam zaman orde baru, dibantu oleh Dr. Imaduddin Abdurrahim dan Adi Sasono. Ketiganya menjadi pilar uatama titik temu antara Islam dan negara. Mereka bertiga juga menjadi bagian dari tampilnya para intelektual Islam dalam panggung politik yang dapat diterima oleh pemerintahan Soeharto. Hal itu sangat positif bagi umat Islam. Wajah orde baru yang sebelumnya tidak terlalu memberikan keramahan pada Islam, setelah ICMI terbentuk justru menampakkan perubahan sikap yang sangat berbeda. Tidak mengherankan fenomena tersebut menjadi bagian dari kembalinya tokoh-tokoh Islam di panggung politik orde baru. Sebagai pengimbang bagi kelompok Islam, Habibie dibantu oleh dokter Hariman Siregar, tokoh Malari tahun 1974. Kehadiran dokter Hariman Siregar untuk melihat perspektif pembangunan dan demokrasi secara nasional yang komperhensip dan menyeluruh. Akhirnya Semua Pergi Habibie adalah sosok teladan yang patut menjadi contoh bagi kita semua. Keteladanan dalam membangun akhlak politik yang ramah dan santun. Keteladanan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Kejeniusannya dalam merumuskan kebijakan yang memberikan manfaat bagi rakyat. Habibie patut dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan kebangsaan kita. Habibie yang menjadi pelaku sejarah itu telah meninggalkan kita menghadap Rob yang menciptakannya. Dia telah mengorbankan pikiran dan tenaganya demi negara. Habibie harus dikenang dengan menjadikan setiap sikap dan kepribadiannya sebagai panutan. Ditengah distorsi, peluruhan dalam kehidupan kebangsaan kita akhir-akhir ini, maka tidak ada jalan selain menimba pengalaman dan sejarah dari Habibie yang menjadi legenda di masa dahulu kita itu. Salah satunya contohnya adalah Habibie sebagai membangun demokrasi dan mengantarkan negara keluar dari kemelut politik. Akhirnya kita semua menjadi saksi bisa Habibie kini kembali menghadap kepada pencipta. Pemilik otoritas mutlak atas gelaga yang mernama kehidupan dan kematian. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan khilafnya. Semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya, serta dikumpulkan bersama para orang-orang yang sholeh. Amin. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Vice Presiden KAI.
BJ Habibie dan Islam Politik yang Tersandung
Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu kenangan dari almarhum BJ Habibie adalah Islam politik di era Presiden Soeharto. Selalu digambarkan sebagai putar haluan Pak Harto yang sangat fenomenal. Peristiwa pembantian umat Islam di Tanjung Priok pada 1984 banyak dikaitkan dengan kebencian Jenderal Leonardud Benny Moerdani terhadap Islam. LB Moerdani waktu itu menjabat sebagai Menhankam merangkap Panglima ABRI. Moerdani dijuluki sebagai jenderal bengis dengan wajah ketat. Dalam sejumlah buku memoir, LB Moerdani disebut-sebut sebagai penerus kelompok anti-Islam yang dikelola oleh Letjen Ali Moertopo Cs. Moerdani adalah gemblengan langsung Ali. Ali Moertopo mendirikan kelompok pemikir (think tank) yang diberi nama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1971. Banyak pengamat berpendapat bahwa CSIS adalah pabrik pemikiran dan konsep yang dianggap tidak suka Islam. CSIS-lah yang konon menyiapkan ‘blue print’ politik untuk pemerintahan Presiden Soeharto pada masa-masa awal kekuasaannya yang disahkan lewat pemilu pertama pada 1971. Think-tank inilah yang memasok pemikiran mengenai arah pembangunan pemerintah Orde Baru. Seiring dengan itu, Ali Moertopo menjadi sangat kuat di kabinet Pak Harto. Ali kemudian menjadi dominan dalam tahun-tahun selanjutnya. Dia memang diakui hebat dalam memainkan kartu Islam. Dikatakan, di masa Ali-lah muncul kelompok-kelompok Islam radikal dan berbagai peristiwa ‘anti-pemerintah’ yang mereka lakukan. Tujuan dari semua ini adalah untuk memojokkan umat Islam. Kartu Islam ini dimainkan terus oleh Ali bersama CSIS. Sampai akhirnya Pak Harto sendiri terjebak jauh dalam kebijakan yang tak bersahabat dengan umat Islam. Dekade pertengahan 1970-an hingga 1980-an adalah masa-masa puncak perseteruan Pak Harto dan umat Islam. Semua ini diyakini sebagai akibat rekayasa Ali Moertopo Cs. Pak Harto mencium gelagat tak baik dari Ali Moertopo. Dirasakan ada skenario yang bertujuan untuk mendistkreditkan Pak Harto. Singkat cerita, peranan Ali pun dipangkas. Sampai akhirnya Ali tersingkir dari kabinet dan meninggal dunia pada 1984 Tetapi, menurut beberapa sumber, Ali telah menyiapkan penerusnya. Yaitu, LB Moerdani yang disebut di awal tulisan ini. Diyakini bahwa Moerdani meneruskan pemikiran Ali. Hanya saja, dalam beberapa catatan memoir, Moerdani sangat loyal kepada Pak Harto. Begitu pun, Pak Harto disebut-sebut oleh para pengamat merasa terancam oleh gerak-gerik Moerdani. Dianggap ada bahaya besar ‘gerakan politik’ anti-Islam yang dikomandoi oleh Moerdani. Ini membuat hubungan Pak Harto dengan Moerdani menjadi tidak mulus, kata para pengamat. Sementara itu, di tubuh milliter dimunculkan terminologi ‘tentara hijau’ untuk menyebut para petinggi yang dikatakan memihak Islam politik. Pak Harto yang sebelumnya juga tidak mulus dengan umat Islam, akhirnya memutuskan untuk menghentikan itu. Pak Harto membaca gelagat LB Moerdani yang dikatakan semakin berbahaya. Beliau mencari kekuatan baru. Kekuatan baru yang diperlukan itu tidak ada. Kecuali umat Islam. Mulailah kelihatan manuver-manuver yang bertujuan untuk memeluk umat Islam. Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Tidak tanggung-tanggung. Pak Harto merestui Prof BJ Habibie yang waktu itu bertugas sebagai Menristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memimpin ICMI. Habibie menjadi ketua umum pertama ICMI. Kegusaran kalangan Islam membuat kehadiran ICMI menjadi sesuatu yang membangkitkan semangat baru. Apalagi, sponsor pembentukan ICMI bukan orang biasa. Tujuan resmi ICMI adalah memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan untuk rakyat. Tetapi, bisa dibaca bahwa ICMI mempunyai misi utama untuk mengimbangi apa yang disangkakan sebagai keberadaan ‘gerakan anti-Islam’. ICMI disosialisasikan secara masif. Berhasil menjadi wadah para sarjana dan cendekiawan muslim. Di mana-mana ada cabang ICMI. Ormas ini seolah berfungsi sebagai ‘parpol Islam’ di seluruh jajaran birokrasi dan kampus plus di level akar rumput. Meskipun berstatus ormas, ICMI mampu menjadi pengimbang ‘gerakan anti-Islam’ yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Pak Harto mendukung penuh. Habibie pun berubah menjadi sosok kekuatan politik. Beliau kemudian menjadi nakhoda Islam politik. ICMI berkibar. Apalagi ada keyakinan waktu itu bahwa ‘gerakan anti-Islam’ sedang berlangsung gencar untuk mengerdilkan umat. Figur Habibie sebagai pimpinan ICMI sangat menentukan sukses organisasi itu dalam menghimpun kekuatan umat. Wadah ini menjadi ‘melting pot’ (tempat bertemu) para cendekiawan dari berbagai latar belakang ormas dan instansi. Tetapi, politisasi ICMI tidak selalu mulus. Banyak yang mencemoohkannya. Antara lain tokoh ormas NU waktu itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Meskipun kemudian Gus Dur sempat mengatakan, ketika dia menjadi presiden ke-4 menggantikan BJ Habibie, bahwa umat Islam menjadi maju berkat keberadaan ICMI. Pak Harto memang serius merangkul umat Islam. Dan beliau menaruh harapan pada Habibie. Harapan besar itulah yang kemudian ditunjukkan ketika Pak Harto menggandeng Habibie menjadi wakil presiden pada 1998. Tetapi, ‘positioning’ umat Islam lewat tangan Habibie terkena badai ketika Indonesia dilanda krisis moneter (krismon) 1997-1998. Krisis ini bercampur krisis politik. Gerakan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Pak Harto menjadi matang. Tapi, ICMI menjadi tak kelihatan. Tenggelam oleh ‘persatuan’ semua elemen bangsa yang menginginkan Pak Harto lengser. Waktu itu, umat Islam tidak membawa bendera sendiri. Amien Rais sebagai motor tuntutan Reformasi, melancarkan gerakan yang sifatnya nasional. Meskipun beliau tokoh Muhammadiyah, tetapi Pak Amien mengedepankan suara rakyat secara umum. Rakyat yang merasa tertindas oleh kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Gerakan Reformasi akhirnya berhasil mendesakkan pengunduran diri Pak Harto. Pada 21 Mei 1998, Habibie disumpah menjadi presiden. Pak Harto turun. Tetapi, Pak Habibie malah tidak meneruskan Islam politik. Nakhoda Islam politik ini memilih untuk menjadi presiden semua orang. Tidak mengherankan, sebenarnya. Sebab, sejatinya Pak Habibie adalah seorang demokrat. Beliau hidup lama di alam demokrasi Barat. Demokratis adalah jiwa Habibie. Pak Habibie tidak menjadi presiden yang menonjolkan keinginan umat Islam. Tidak lagi ada ICMI di mata beliau. Tidak ada lagi Islam politik di tangan pakar ilmu pesawat terbang itu. Bahkan, setelah beliau berhenti menjadi presiden pada 20 Oktober 1999, Pak Habibie melakukan manuver ‘self-reinventing’ atau mengubah jati diri. Beliau menjadi seorang nasionalis sejati. Bersamaan dengan itu, Islam politik tersandung di sini. Namun, suasana Reformasi membuat Islam politik menemukan jalan baru. Meskipun ICMI tidak ada lagi, gerakan baru malah membuka peluang yang lebih besar lagi. Kekuatan Islam politik menjadi faktual. Malahan lebih kuat. Sekiranya digambarkan sebagai kompetisi terbuka, piala pertama yang direbut oleh Islam politik adalah hasil pilkada DKI 2017 yang mencegah Ahok menjadi gubernur. Pak Habibie menyaksikan ini. Suka atau tak suka, Habibie dengan ‘credential’ barunya sebagai seorang demokrat sejati harus mengakui kekuatan Islam politik itu. Ternyata, tidak harus selalu tersandung. Selamat jalan Pak Habibie. InsyaAllah husnul khatimah. 12 September 2019
Jam Dinding, Seprai dan Kacang Rebus dari Eyang Habibie
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Suatu hari pada awal tahun 1999 bersama beberapa orang wartawan, kami diterima audiensi oleh Presiden BJ Habibie. Saat itu hiruk pikuk reformasi mulai mereda. Belum muncul isu referendum Timor-Timur. Ruang kerja Pak Habibie di pojok kanan Gedung Bina Graha, di Jalan Veteran, Jakarta. Suasananya terasa sangat informal. Berbeda jauh dengan masa-masa Presiden Soeharto. Pada masa Pak Harto, aura Bina Graha — juga menjadi kantor presiden— dan komplek istana secara keseluruhan, terasa sedikit angker, penuh wibawa. Apalagi bila bertemu langsung dengan Pak Harto. Aura itu sangat terasa bagi siapapun yang pernah datang ke istana. Bahkan bagi kami wartawan kepresidenan yang sehari-hari mangkal di sana. Pak Habibie menyambut kami dengan santai. Mengenakan jas warna coklat susu, kotak-kotak dengan garis kecil. Beliau mempersilakan duduk. Sambil duduk di belakang meja kepresidenan, beliau menawarkan kacang rebus. “Ayo dik, ambil,” katanya sambil menyodorkan piring kacang rebus yang dimakannya. Panggilan “dik” biasa digunakan ketika menyapa wartawan. “Tulis yang bagus ya dik,” begitu biasanya pesannya seusai wawancara. Di meja kerja Pak Habibie nampak penganan lain berupa rebusan pisang, ubi jalar, dan singkong rebus. Makanan sangat sederhana, lokal Indonesia itu menjadi penganan yang ada sejak masa Pak Harto. Jangan dibayangkan makananan di istana berupa menu mewah. Sayur lodeh adalah satu menu favorit di istana. Sejumlah wartawan senior secara bercanda menyatakan, sayur lodeh buatan koki istana, merupakan sayur lodeh ter-enak sedunia! Kembali ke Pak Habibie. Sikap rileks, informal menjadi ciri khas dari beliau. Tidak berubah. Bahkan ketika sudah menjadi Presiden RI. Yang sedikit berubah adalah protokoler kepresidenan. Itu pun sering dilanggarnya. Sebelum menjadi Wapres dan kemudian Presiden, di kalangan wartawan yang ngepos di Kantor Menristek/Kepala BPPT, BJ Habibie dikenal sebagai pribadi yang cair. Satu hal lagi yang menjadi ciri khas Pak Habibie adalah rajin menghadiri undangan. Sampai ke dalam gang, kalau ada undangan dari wartawan BPPT yang menikah, Pak Habibie dan Bu Ainun akan menyempatkan hadir. Kado yang diberikan beliau juga sangat khas. “Kalau tidak jam dinding, pasti seprai,” kenang mereka sambil tertawa. Pak Habibie juga sangat ramah dan rajin menyapa. Dengan beberapa wartawan yang sudah dikenalnya secara dekat, beliau tidak segan menyapa dengan meneriakkan nama dari kejauhan. Layaknya seorang sahabat dekat. Tidak jaim. Pak Habibie juga dikenal sebagai orang gampang iba. Pagi hari ketika pak Habibie tiba di kantornya, para karyawan berderet menyambutnya. Biasanya mereka menyampaikan keluh kesahnya. Mulai dari masalah biaya anak sekolah, sampai mertua yang sakit. Para ajudan di belakang biasanya membawa koper berwarna coklat dan hitam. Salah satunya berisi uang dolar. Mereka yang punya kebutuhannya cukup besar dan beruntung, biasanya akan diberi uang dalam bentuk dolar. Hanya saja Pak Habibie punya satu “kelemahan.” Jangan pernah menunjukkan sebuah jam tangan yang belum dimilikinya. Dia akan berusaha sekuat tenaga mencarinya. Beliau memang dikenal sebagai penyuka jam tangan, juga kolektor mobil klasik. Salah satu mobil favoritnya adalah mobil klasik Mercedes-Benz 300 SL Coupe Gullwing. Mobil buatan tahun 1950an itu didapatkan dengan cara yang unik. Sudah menjadi barang rongsokan di hutan Jambi. Tersangkut di sebuah pohon. Pribadi yang cair, tidak jaim dan senang silaturahmi adalah ciri khas yang melekat pada Pak Habibie. Beliau juga terkesan tidak peduli dengan jabatan, termasuk sebagai presiden. Ketika anggota MPR menjegalnya. Menolak pidato pertanggungjawabannya, padahal belum dibacakan. Pak Habibie juga menanggapinya dengan rileks. Beliau tetap hadir ke Gedung MPR-DPR ketika Gus Dur dan Megawati dilantik menjadi presiden dan wapres. Kepada para pendukungnya yang sangat kecewa, Habibie menyerukan agar mendukung pemerintahan yang baru. Setelah tidak menjadi presiden, Pak Habibie masih terus menjalin silaturahmi dengan para presiden penggantinya. Ketika Megawati menjadi presiden, sampai SBY dan Jokowi, Habibie masih sering bertemu. Beliau dengan santai selalu hadir pada acara-cara kenegaraan, terutama pada peringatan HUT kemerdekaan RI 17 Agustus. Satu hal yang tidak bisa dilakukan Pak Habibie adalah bertemu mentornya, orang yang membesarkannya: Pak Harto. Beliau dilarang bertemu. Hal itu menjadi kesedihan tersendiri baginya. Pak Habibie juga rajin takziah, melayat ketika ada tokoh atau orang yang dikenalnya wafat. Ketika Haji Roosniah Bakrie ibunda pengusaha nasional Aburizal Bakrie wafat, 20 Maret 2012, Pak Habibie mengantarnya sampai ke tepi liang lahat. Dengan usia yang sudah sepuh (76) Pak Habibie duduk di sebuah kursi. Saking padatnya pelayat, banyak yang tanpa sadar berdiri berdesakan di depan Pak Habibie. Pantat (maaf) para pelayat tepat berada di depan mata Pak Habibie. Beliau tetap duduk dengan tenang. Anehnya ajudan beliau hanya membiarkan. Mungkin mereka tidak menyadarinya. Dengan sopan saya meminta mereka untuk minggir. Bagaimanapun Pak Habibie adalah tokoh sepuh dan pernah menjadi Presiden RI. Harus tetap dihormati. (Bapak demokrasi Indonesia) Di luar kepribadiannya yang unik dan menarik, bagi aktivis demokrasi yang jujur, Pak Habibie akan dikenang sebagai peletak demokrasi Indonesia dan kebebasan pers. Para tahanan politik dibebaskan. Pada masa beliau lah UU Pemilu dilahirkan. 7 Juni 1999 digelar pemilu pertama setelah era Reformasi. Sebuah pemilu yang dinilai sangat demokratis setelah Pemilu 1955. Pada masa Pak Habibie, keran kebebasan pers dibuka. Melalui Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut. SIUPP merupakan barang yang menakutkan di masa Orde Baru. Dengan pembatalan/pencabutan SIUPP, penerbitan sebuah media dihentikan alias dibreidel. Media bebas mengeritik pemerintah. Ironisnya justru saat ini kebebasan pers mengalami kemunduran. Pers banyak yang menghamba menjadi alat kekuasaan pemerintah. Di luar beberapa catatan itu, satu hal yang tak boleh dilupakan dari pria yang belakangan lebih senang dipanggil Eyang, adalah Referendum Timtim. Pada masa pemerintahan Habibie, Timtim lepas dari pangkuan Indonesia. Lepasnya provinsi paling bontot itu dijadikan alasan para lawan politiknya untuk menjegal Habibie. Dengan latar belakangnya, besar dan tumbuh dalam alam demokrasi di negara Barat, keputusannya melaksanakan referendum di Timtim bisa dipahami. Kebebasan menentukan nasib sendiri sebuah bangsa seperti Timtim, bagi seorang Habibie adalah salah satu bentuk penghormatan atas HAM dan demokrasi. Kita boleh tidak sepakat dengan pilihan dan sikapnya. Selalu ada sudut pandang yang berbeda, setiap kali kita menilai seorang tokoh besar, termasuk kepada Eyang Habibie. Tak lama setelah adzan maghrib berkumandang dari masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu sore (11/9) pukul 18.03, Eyang Habibie wafat dalam usia 83 tahun. Beliau dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Mari kita kenang, dan tauladani hal-hal yang baik dari beliau. Selamat jalan Eyang Habibie. Allohuma firlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu. Insya Allah husnul khotimah. Kami semua tinggal menunggu giliran. Insya Allah akan menyusulmu. End
Misteri Orang-orang Papua di Istana Presiden
Gubernur Papua Lukas Enembe mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Puluhan orang yang mengaku sebagai tokoh dan kepala suku Papua bertemu Presiden Jokowi? Tapi mengapa Gubernur Papua dan para tokoh Papua lainnya tak mengakui mereka? Wajah puluhan orang yang mengenakan batik Papua dan topi dari bulu burung cenderawasih, Selasa (10/9) tampak berbinar. Mereka duduk rapih di Istana Merdeka, Jakarta. 61 orang yang dipimpin oleh Ketua DPRD Jayapura Abisai Rollo itu menyebut dirinya tokoh Papua dan Papua Barat. Mereka diundang Presiden Jokowi menyusul kerusuhan di Papua Barat dan Papua pertengahan Agustus lalu. Kepada Presiden mereka menyodorkan sejumlah usulan untuk menyelesaikan masalah di dua provinsi di ujung Timur Indonesia itu. Presiden Jokowi sangat bersemangat menyambut usulan mereka. Termasuk soal pemekaran provinsi di lima wilayah adat, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Papua. Semua usulan diakomodir. Saking bersemangatnya Jokowi mengaku akan memaksa sejumlah BUMN dan perusahaan besar untuk menampung 1.000 sarjana asal Papua yang baru lulus. Sementara pemekaran provinsi, untuk sementara Jokowi menjanjikan, dua sampai tiga provinsi baru. “Siang hari ini saya mau buka (lapangan kerja), ini untuk BUMN dan perusahaan swasta besar yang akan saya paksa. Kalau lewat prosedur nanti kelamaan,” kata Jokowi. Jokowi juga sepakat dengan usulan untuk membangun istana di Jayapura. Apalagi Ketua DPRD Jayapura berjanji menyiapkan 10 hektar lahan gratis. “Tahun depan istana itu akan mulai dibangun,” ujar Abisai menirukan Jokowi. Tak lama setelah Jokowi bertemu para “kepala suku,” muncul pernyataan mengejutkan dari Gubernur Papua Lukas Enembe. Dia mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda dan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib juga bersikap sama. Mengapa mereka tidak dilibatkan? (Salah garuk) Pernyataan Lukas Enembe dan para tokoh Papua menyadarkan kita, ada yang salah dalam penanganan Papua. Seperti bunyi pepatah lama “Kepala yang gatal. Kaki yang digaruk.” Penyakitnya (gatal) tidak sembuh. Yang tidak sakit gatal malah menjadi luka yang lebih dalam. Ada kesan yang sangat kuat Presiden Jokowi menggampangkan persoalan. Atau, jangan-jangan tidak memahami persoalan. Hal itu menjelaskan mengapa Presiden sangat santai menghadapi persoalan Papua. Dia masih bisa nonton wayang dan dagelan sampai tertawa terbahak-bahak. Naik sepeda jalan-jalan di candi Borobudur dan bagi-bagi sertifikat. Masalah Papua, kata Lukas Enembe, tidak cukup hanya diselesaikan dengan membangun istana di Jayapura, membangun asrama mahasiswa, dan pemekaran wilayah seperti disampaikan oleh Abisai. Lagipula di tengah anggaran pemerintah yang sedang defisit, dari mana pula anggaran membangun istana dan pemekaran provinsi itu? Masalah Papua sangat complicated. Salah mendiagnose persoalan, apalagi menggampangkan persoalan. Harga yang dibayar akan sangat mahal. Pulau yang kaya dengan berbagai sumber daya alam itu bisa lepas dari tangan NKRI. Negara-negara adidaya yang sekarang terlibat dalam perang global, dengan senang hati menampung dan mengambil-alih. Hadirnya “para tokoh” yang dipimpin Abisai menjadi contoh kesalahan yang terang benderang. Ada kesan para pembantu dan bawahan Jokowi hanya memberi laporan yang menyenangkan. Abisai adalah Ketua DPRD Jayapura. Politisi Golkar ini pada Pilpres lalu menjadi ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Jaya Pura. Melihat level ketokohan dan posisinya, sudah jelas dia tidak dalam kapasitas mengatasnamakan tokoh Papua. Sebagai timses Jokowi, Abisai pasti tidak bisa mewakili aspirasi para tokoh yang menuntut pemisahan diri. Agak sulit untuk menemukan adanya tokoh sentral di Papua. Kecuali pejabat formal seperti gubernur atau ketua DPRP. Ada lebih dari 3.00 suku di Papua dan Papua Barat. Bahasa mereka pun berbeda-beda. Apalagi kepentingannya. Tidak mengherankan bila mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga mempersoalkan posisi Abisai. Pigai berasal dari suku Mee, salah satu suku terbesar di Papua. Mereka tersebar mulai dari pegunungan sampai kawasan pesisir di Paniai, Nabire, Doiyai, dan Dogai. Sementara Lukas Enembe berasal dari suku yang lebih besar, yakni Suku Dani. Mereka mendiami kawasan pegunungan. Mulai dari Tolikara,Wamena,Puncak Jaya, Ilaga,Yahukimo, Kurima,dan Tiom. Kalau mau klaim ketokohan, keduanya jelas lebih layak. Lebih representatif untuk diajak bicara. Bukan kali ini saja Jokowi dan para pembantunya terkesan salah memahami orang Papua. Dalam berbagai kesempatan dia membanggakan keberhasilannya membangun jalan Trans Papua. Dia juga pernah naik sepeda motor trail menyusuri beberapa kawasan di Papua. Sayangnya seperti dikatakan oleh Lukas Enembe, orang Papua tidak butuh jalan trans. Mereka tidak pernah melewati jalan itu. Yang dibutuhkan oleh orang Papua adalah dibangun kehidupannya. Pembangunan jalan Trans Papua malah sering menjadi sumber konflik dan masalah. Salah satu contohnya adalah insiden di Nduga. Anggota TNI dan warga menjadi korban tewas. Kasus Papua menjadi tantangan dan pertaruhan besar bagi Jokowi. Di harus membuktikan bahwa basis legitimasinya sangat kuat di dua wilayah ini. Pada Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf meraih suara di Papua Barat 79.81 persen. Di Papua prosentasenya bahkan lebih besar. Mereka memperoleh 90,12 persen. Di lima kabupaten, yakni Puncak Jaya, Puncak, Lany Jaya, Nduga dan Mamberamo Tengah malah meraih suara fantastis: 1.00 persen. Di kabupaten wilayah pegunungan ini pemilihan dilakukan dengan menggunakan sistem noken. Dengan modal politik seperti itu seharusnya Papua adalah masalah KECIL bagi Jokowi. Kecuali………….End
Lho....Opung Luhut Kok Takut Rem Mobil Esemka Blong?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pro kontra mobil Esemka terus berlanjut. Fakta ini menunjukkan “rekonsiliasi” yang coba dibangun oleh elit politik, tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mau Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan kek. Mau tetap di luar pemerintahan kek, masyarakat sudah telanjur terbelah dalam dua kekuatan besar. Pendukung dan penentang pemerintah. Kelompok pendukung pemerintahan Jokowi mati-matian membela mobil Esemka. Kelompok penentang menganggap mobil Esemka sebagai mobil tipu-tipu. Sama seperti kebanyakan program Jokowi. Bagi para pendukung Jokowi, sebagai pemain pemula, wajar Esemka bekerja sama dengan pabrikan lain. Termasuk pabrikan mobil dari Cina. Sebagaimana pepatah (Cina juga), seribu mil perjalanan, dimulai dengan langkah pertama. Mereka menyebut kubu seberang hanya pandai nyinyir. Tidak punya kontribusi nyata terhadap bangsa. Sekali nyinyir, sampai kapan pun akan tetap nyinyir! Sebaliknya, kubu penentang menilai, peluncuran mobil Esemka oleh Presiden Jokowi, merupakan bukti nyata, rezim pemerintah saat ini sepenuhnya berada di bawah kendali Cina. Mobil Esemka Bima 1.2 itu tak lebih cuma rebadge, alias ganti merek mobil Cina. Mantan Sekretaris Kementrian BUMN Said Didu menyebutnya sebagai pabrik tempel merek. Bukan pabrik mobil. Di tengah-tengah pro kontra tersebut, tiba-tiba muncul video dari Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Dalam video tersebut Luhut tampak sedang bercanda dengan wartawan. “Apakah mobil Esemka akan digunakan sebagai kendaraan resmi presiden Jokowi? Luhut menjawab: Kamu, wartawan saja yang naik. "Jangan suruh presiden naik, nanti kita sudah pilih-pilih gara-gara Esemka blong lagi remnya," kata Luhut. Video pendek tersebut langsung viral. Luhut dikenal sebagai tangan kanan Jokowi. Pendukung setia semua gagasan Jokowi. Jadi rada aneh kalau tiba-tiba bersuara miring. Ini berita besar! Sesuai dengan jargon, orang menggigit anjing. Bukan anjing menggigit orang! Luhut "menggigit" Jokowi, jelas berita besar! Setelah ditelusuri, ternyata pernyataan Luhut itu merupakan berita lama. Berita bulan Maret 2017. Konteks beritanya saat itu diketahui mobil presiden beberapa kali mogok. Wakil Ketua DPR Fadlizon menyarankan agar mobil presiden segera diganti dengan mobil Esemka. (Sangat relevan) Lepas dari soal berita baru, atau berita lama, seorang presiden menggunakan kendaraan produk “dalam negeri.” Produk “anak bangsa” sendiri merupakan sebuah kelaziman. Di beberapa negara malah menjadi semacam kewajiban. PM Mahathir dan para pejabat tinggi Malaysia menggunakan Proton Perdana. Ketika Jokowi berkunjung ke Malaysia belum lama ini, dia disopiri Mahathir naik Proton Persona. Kebetulan pula mobil yang dikendarai oleh Jokowi beberapa hari terakhir, kembali mogok. Kamis (5/9) mobil Mercedes Benz tipe S-600 Guard itu mogok ketika digunakan dalam kunjungan ke Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam peresmian pabrik Esemka di Boyolali, Jokowi menyerukan agar bangsa Indonesia membeli dan menggunakan mobil tersebut. "Kalau lihat produknya tadi, saya sudah buka, sudah nyoba, sudah lihat sudah test, memang wajib kita beli barang ini. Kalau beli barang dari produk lain ya kebangeten, apalagi yang impor," kata Jokowi. Menyambut pernyataan Jokowi, warga mendorong agar presiden dan para pejabat tinggi memberi contoh. Mereka harus terlebih dahulu menggunakan mobil produk Esemka. Jangan hanya mendorong rakyat, sementara mereka memilih produk lain. Sebagaimana diumumkan oleh Sekretariat Negara, untuk periode 2019-2024 akan ada pengadaan mobil baru. Presiden akan kembali menggunakan kendaraan Mercedes Benz Tipe S-600 Guard. Sementara para menteri tetap menggunakan merek Toyota. Kali ini naik kelas. Dari Toyota Camry menjadi Toyota Royal Saloon. Di dunia maya bergema seruan agar pengadaan mobil baru dari pabrikan Jerman dan Jepang itu dibatalkan. Diganti dengan mobil dari produk Esemka. Momennya pas! Sebagai pemimpin, Jokowi seharusnya memberi contoh. Sesuai dengan prinsip kepemimpinan, Ing Ngarso Sung Tulodo. Seorang pemimpin harus menjadi tauladan. Jangan Jarkoni. Hanya bisa berujar, tapi tidak menjalaninya. Dari beberapa kendaraan yang dipamerkan di pabrik Esemka di Boyolali, ada satu mobil yang tampaknya cocok untuk presiden. Namanya Esemka Moose. Tampilannya gagah dan sangar. Diklaim anti peluru. Lapis baja. Di bagian belakangnya ada tulisan: Armored by Esemka. Kereeennn. TOP Abizz..... Sebuah media melaporkan, Moose sangat mirip dengan mobil mewah merek Volvo XC90. Perbedaan yang mencolok hanya pada grill dan logo. Ketika diintip, di tengah roda kemudi ada logo Volvo. Barangkali ini hanya kebetulan saja. Jangan berpikir negatif dulu. Jangan-jangan ada teknisi Esemka yang iseng menempelkan, karena kemiripannya dengan Volvo. Boleh dong bangga, karena produk Esemka sudah mirip mobil kelas atas di Eropa. Untuk para menteri tersedia dua pilihan. Mobil Jenis SUV Garuda 1 dan Rajawali. Kalau lihat tampilannya, ketiga mobil itu — baik Moose, Garuda 1 dan Rajawali— sangat gagah. Pasti kalau digunakan oleh presiden, para menteri dan pejabat tinggi, dijamin tidak malu-maluin. Dengan predikat mobil buatan anak bangsa sendiri, akan membuat tampilan presiden dan para menteri lebih gagah lagi. Sekaligus sangat nasionalis. Sangat NKRI, karena menggunakan produk dalam negeri. Tak perlu khawatir dicemooh, ditertawakan dunia, kalau sekali-kali, atau beberapa kali mobil Esemka mogok. Mercedes Benz presiden saja sudah berkali-kali mogok. Toh orang berduit di seluruh dunia, tak berhenti menggunakan Mercedes Benz. Mobil Jerman itu tetap menjadi simbol prestise dan gengsi. Hanya yang perlu diantisipasi, kalau sampai remnya blong, seperti kata Opung Luhut. Kalau soal ini sudah berkaitan dengan keselamatan seorang kepala negara. Bagaimana kalau mobil pengangkut barang Esemka Bima yang remnya blong? Please jangan sampai diplesetkan bahwa Bima adalah singkatan dari “bikin malu.” Ini bukan soal bikin malu atau tidak. Tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Nyawa seorang warga negara juga sangat berharga lho. Bukan hanya nyawa seorang kepala negara. Jangan dibuat bercanda! End
Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Presiden Joko Widodo, dilanjutkan pertemuan Prabowo – Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo – mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu, meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019, namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua UU, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 19445, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas saat pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Para elit politik sudah tahu jika Jokowi tak bisa dilantik MPR, karena PKPU tentang Pilpres melawan UUD 1945. DPR terpilih juga tak bisa mengubah UUD 1945 dengan amandemen, karena perubahan hanya berlaku untuk Pilpres 2024. Bukan 2019! Jadi, Jokowi – Ma’ruf terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR, sesuai pasal 6A UUD 1945. Menang pada Pilpres 2019 lalu, tapi tak otomatis bisa dilantik. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 poin versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo - Sandi, bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Kalau MPR ngotot melantik Jokowi, itu melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi – Ma’ruf dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR, bukan melalui sidang MK atau keputusan KPU yang memenangkan Jokowi – Ma’ruf. Kalau ada putusan yang bertentangan dengan isi UUD 1945, maka batal demi hukum. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, paslon Presiden dan Wapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wapres. Dalam pasal tersebut ada tiga syarat dalam memenangkan Pilpres, yakni memperoleh suara lebih dari 50 persen, memenangkan suara setengah dari jumlah provinsi (17 provinsi) dan terakhir, di 17 provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen. “Jangan lupa masalah itu sudah diputus MK tahun 2014. MK memutuskan kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi,” kata Yusril Izha Mahendra, mantan penasehat hukum Jokowi – Ma’ruf. Pada 2014, MK berpendapat pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak berlaku ketika hanya terdapat dua pasangan calon sehingga pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, tidak perlu lagi menggunakan aturan tentang sebaran. Menurutnya, kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di pasal 6 UUD 1945, maka pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua. Yusril menambahkan, pada putaran kedua, ketentuan itu tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. “Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak,” kata Yusril. Namun, yang dilupakan Yusril adalah bahwa Jokowi – Ma’ruf tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 6A ayat (3) tersebut. Jokowi – Ma’ruf hanya menang di 8 provinsi, tidak sampai separuh dari jumlah provinsi (17 provinsi). Sedangkan Prabowo – Sandi menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Sehingga, keduanya telah memenuhi syarat sesuai pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu. Inilah dasar hukumnya mengapa Jokowi – Ma’ruf tidak bisa dilantik. Berikut bunyi lengkap Pasal 6A UUD 1945: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Coba simak, dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, secara implisit dapat dikatakan Jokowi – Ma’ruf belum bisa dinyatakan sebagai pemenang karena belum “setengah jumlah provinsi”. Makanya, karena tak bisa dilantik, maka Prabowo – Sandi yang memenuhi syarat itulah yang harus dilantik MPR. Prabowo – Sandi menang di lebih dari setengah jumlah provinsi, yakni tepatnya 26 provinsi dengan suara lebih dari 20 persen suara. Jokowi – Ma’ruf sendiri masih ada beberapa provinsi yang perolehan suaranya kurang dari 20 persen. Makanya, kalau Jokowi sangat ingin bertemu Prabowo itu tidak lain maksudnya adalah untuk mendapatkan legitimasi Prabowo secara politis. Perlu dicatat, jika Prabowo memberi jalan pada Jokowi – Ma’ruf untuk dilantik di MPR, justru mantan Danjen Kopassus ini bisa dianggap telah melanggar UUD 1945. Karena itulah, dia harus bisa menerima keputusan MPR atas dirinya. Bersama Sandi, Prabowo dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Ini juga perlu dicatat bahwa MK tidak berhak untuk mengubah UUD 1945. Catat! UUD 1945, bukan UU! Kedudukan MK tidak boleh di atas UUD 1945. MK itu tak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa salah satu wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi, jika ada putusan MK yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dinyatakan batal demi hukum! Dan semua pihak harus menerima dan menghormati itu! *
“Quo Vadis” Pemberantasan Korupsi Indonesia?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Adakah yang menarik terkait Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Jawabnya: Ada! Coba saja simak pasal-pasal untuk terpidana korupsi dalam RKUHP yang sedang digodok di DPR. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Langkah ini jelas bisa membuat korupsi di Indonesia akan semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. Setidaknya, ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan daripada pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama 2 tahun penjara. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar kisaran 4 hingga 20 tahun penjara. “Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Dalam Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Menurut penilaian Zaenur Rohman, DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga KPK dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” tegasnya. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Bagaimana dengan Revisi UU KPK? Inilah yang menarik! Ternyata wewenang KPK bakal dipangkas habis. Yang berkuasa di KPK nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. DP inilah yang nantinya akan mengendalikan kinerja KPK. Semua proses keputusan KPK tidak bisa langsung dieksekusi lagi. Karena harus “seizin” DP terlebih dahulu. Dengan fakta ini, DPR sudah melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK menjadi Komisi Perlindungan Korupsi! Komisi untuk melindungi perilaku korupsi. Jika ini terjadi, jangan salahkan rakyat kalau DPR dituding sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Sehingga perlu untuk diamankan sedemikian rupa sehingga tidak bisa disentuh (ditangkap) KPK. Atas inisiatif DPR itu, semua fraksi setuju dan sepakat untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Kamis (5/9/2019). Ada beberapa poin penting yang melemahkan KPK. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar atas KPK. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telepon dan penggeledahan. Kalau DP tidak setuju, ya KPK tidak bisa mengeksekusi. Ini jelas bisa disalahgunakan. Bukan tidak mungkin, bisa saja ada oknum DP membocorkan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Sehingga, bisa diterbitkan semacam SP3. Melansir tulisan wartawan senior Asyari Usman di fnn.co.id, Jum’at (6/9/2019), yang tidak kalah penting adalah status karyawan KPK yang akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telepon. “Ini yang justeru dipangkas oleh DPR,” tulis Asyari Usman. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang terkena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak terkena OTT KPK adalah dari PDIP. Kedua yaitu Golkar. Begitu juga Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain. “Jika mau jujur, sebenarnya justru Partai Demokrat-lah yang berada dalam urutan pertama sebagai partai terkorup. Tapi, karena KPK dikuasai oleh Partai Biru, sehingga kadernya masih terlindungi,” ungkap sumber Pepnews.com. Coba saja silakan petakan siapa saja anggota komisioner yang menjabat sekarang ini. Ketua KPK Agus Rahardjo disebut-sebut sebagai “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Makanya, banyak kader Demokrat yang”lolos”. Pertanyaannya kemudian, apakah Revisi UU KPK tersebut bukan dirangsang oleh sikap KPK selama ini, yang condong ke Partai Biru SBY? Karena, banyak skandal yang mengarah pada kader SBY, tapi tak diproses oleh KPK, seperti skandal Pelindo. Tapi, kalau ke kader partai lain, sangat cepat sekali. Sehingga banyak kader partai lain yang ditangkapi. Sementara pada 2018 dan 2019 ini tidak ada kader Demokrat yang ditangkapi. Padahal banyak yang bisa diproses dan ditersangkakan. Ketua DPP Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) Bambang Sulistomo akan mendukung semua pihak untuk melawan pihak-pihak yang berniat “merongrong” wibawa KPK. Putra Pahlawan Bung Tomo itu secara tegas menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi UU 30/2002 KPK. “Segala upaya pelemahan pada KPK akan berdampak pada pelemahan dan keutuhan NKRI,” katanya kepada Pepnews.com. KPK adalah lembaga independen untuk menjaga keutuhan NKRI, dan kelahiran KPK atas UU 30/2002, pada akhirnya merupakan bagian dari sejarah kehendak para pendiri bangsa dan upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa, yang berdampak luas pada semua teks jual-beli hukum. Yakni pada proses pemiskinan masyarakat, pada proses ketimpangan sosial ekonomi, pada proses krisis kepercayaan masyarakat. KPK mendapatkan harapan besar dari masyarakat agar mampu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. “IP-KI menolah upaya untuk melemahkan peran dan kekuatan KPK,” tegasnya. Contohlah Hongkong! Kalau DPR ingin Revisi UU KPK, maka KPK harus dijadikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC independen murni sejak pembentukan. Tidak ada personil polisi dan kejaksaan, masih aktif atau mantan. Semua rekrutmen murni dari sipil sejak awal. Sehingga sepak terjang ICAC sangat ditakuti semua pejabat Hongkong. ICAC hanya bertanggungjawab soal penangkapan pada Gubernur Hongkong. Bukan mengkonsultasikan pada Gubernur. Proses penyidikan dan penyelidikan juga berdasar investigasi, berdasar masukan warga dan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan petugas negara. Bukan berdasar laporan yang diterimanya. Sehingga yang diburu ICAC murni pelanggaran hukum korupsi. Yang menarik, ICAC juga berhak menangkap Gubernur Hingkong, jika terbukti korupsi. Padahal ICAC bertanggung jawab pada Gubernur Hongkong. Itulah keistimewaan ICAC yang diadopsi Jepang, FBI, dan banyak negara lain di Asia dan Eropa. ICAC disebut-sebut sebagai lembaga tersukses di dunia memberantas korupsi. ICAC didirikan pada 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif. Saat itu, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat kejahatan terorganisasi. Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum. Saat ICAC dibentuk hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam waktu tiga tahun, ICAC sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi. Dalam Millenium Survey terbaru bahwa pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong. Tampaknya KPK masih sulit untuk bisa menjadi seperti ICAC jika anggotanya berasal bukan dari masyarakat sipil murni! *
Tahun 2022 Ekonomi Tumbuh 4.6%, Jokowi Harus Batalkan Pindah Ibukota
Oleh Gde Siriana Yusuf Bank dunia di hadapan Jokowi saat bertandang ke istana Negara 2 September 2019 lalu, memaparkan prediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Diperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut hanya akan tumbuh pada angka 4,6%. Prediksi Bank Dunia juga menunjukkan tren negatif sejak 2018 (5.17%), 2019 (5.1%), 2020 (4.9%). Sementara sejak Agustus lalu, Jokowi justru mengumumkan rencana pindah Ibukota ke pulau Kalimantan yang membutuhkan dana tidak sedikit. Permasalahannya, bukan hanya anggaran yang besar. Namun apakah rencana pindah ibukota itu proper dalam situasi ekonomi nasional yang sedang sulit. Kondisi ini diperparah dengan gejolak ekonomi global yang diprediksi banyak lembaga ekonomi dan keuangan internasional sedang menuju resesi. Jika mengamati kondisi ekonomi saat ini saja, dengan pertumbuhan hanya berkisar 5%, maka pemerintah masih menghadapi trio defisit (neraca dagang, CAD & anggaran negara). Selain itu, masalah keuangan atau likuiditas seperti defisit BPJS. Bahkan pada tahun 2020 nanti, pemerintah merencanakan mengurangi subsidi energi, yang sangat mungkin diikuti dengan kenaikan harga (Tempo.com 6 Sep 2019). Jadi, dapat dikatakan rencana memulai pembangunan ibukota baru pada tahun 2022 sangat tidak relevan lagi. Sebaliknya, pemerintah harus segera membenahi ekonomi nasional di masa jelang krisis globa. Targetnya untuk menyelamatkan negara dari krisis yang lebih besar. Paradigma ini jauh lebih rasional ketimbang urusan pemindahan ibukota yang masih belum jelas dampaknya secara ekonomi dalam waktu dekat. Jokowi harus segera umumkan penundaan pemindahan ibukota hingga ekonomi nasional membaik. Langkah ini perlu dilakukan, agar semua kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengusaha dan masyarakat fokus pada penyelematan ekonomi nasional. Semua komponen bangsa harus dalam kebijakan yang sama menghadapi resesi ekonomi dunia Untuk itu, dipererlukan kebijakan yang efektif berdampak langsung pada persoalan mendasar yang sesungguhnya. Misalnya, produktifitas yang rendah dan perlambatan pertumbuhan angkatan kerja. Juga perlu reindustrialisasi dan relokasi industri ke lima pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua harus segera dimulai. Tanggalkan dulu mimpi pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Penundaan pindah ibukota oleh Jokowi juga dapat mencegah keraguan dan sikap menunggu para investor, baik asing maupun domestik tentang kapan kepastian pindah ibukota. Belum lagi jika reasoning Jokowi tentang pemindahahan ibukota seperti scheme pembiayaan BUMN-Swasta dan full swasta. Petimbangan lokasi di tengah-tengah wilayah Indonesia juga bisa saja akan ditiru oleh pemerintah propinsi. Misalnya, Jawa Timur akan pindahkan ibukota lebih ke tengah-tengah dengan scheme pembiayaan swasta dan tidak gunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Siapa pihak swasta yang tidak tergiur dengan Tera Project? Penulis adalah Direktur Eksekutif Government & Political Studies (GPS)
Undang-Undang KPK Bukanlah Barang Yang Haram Untuk Direvisi
Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Oleh Dr. Ahmad Yani Palu sidang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diputuskan oleh DPR RI. Proses menghidupkan lagi revisi undang-undang KPK sempat tertunda beberapa kali. Tahun 2017, sempat hangat isu revisi terhadap undang-undang tersebut. Namun penolakan dari internal KPK begitu kuat, sehingga tidak bisa terlaksana. Meskipun penolakan begitu kuat, DPR dengan kewenangan legislasi yang melekat padanya, akhirnya mengambil keputusan dalam suasana senyap. Sepi dari pemberitaan media, DPR RI pada hari Kamis 6 September 2019 menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan perubahan undang-undang KPK yang menjadi inisiatif DPR. Reaksi terhadap keputusan DPR merubah undang-undang KPK bermunculan. Lima unsur perguruan tinggi memberikan reaksi bersamaan. Alumni Universitas Indonesia (UI), Asosiasi Pengajar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta, Dosen Universitas Paramadina, Kampus Univeritas Gajah Mada (UGM), Universitas Mulawarman Samarinda, menolak revisi undang-undang KPK dengan alasan masing-masing. Kesimpulan dari lima unsur perguruan tinggi itu menyatakan bahwa revisi undang-undang KPK adalah upaya melemahkan KPK. Sebaliknya, dukungan terhadap inisiatif DPR merubah undang-undang KPK juga tidak kalah besarnya. Guru besar dan Dosen Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Tata negara, Hukum Keuangan Negara, dari berbagai Universitas baik negeri maupun swasta menyatakan mendukung DPR. Masyarakat dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Korupsi, Aliansi Masyarakat Cinta KPK, Forum Peduli Keadilan Bangsa dan lain sebagainya juga menyatakan dukungan terhadap perubahan undang-undang KPK. Terlepas dari dua kekuatan yang saling berlawanan itu, saya berpendapat Bahwa perubahan undang-undang merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Dukungan yang datang dari berbagai pihak itu hanya sebagai bahan masukan. Selama ini ada opini yang berkembang bahwa KPK itu lembaga super body yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun. Sehingga ketika regulasi ingin dilakukan perubahan, selalu dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap KPK. Padahal KPK bukan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan apapun dalam hal membuat dan merubah undang-undang. Penolakan KPK terhadap kehendak legislasi yang dimiliki oleh DPR dan pemerintah, sebenarnya mencerminkan sebagai lembaga yang tidak taat hukum. KPK ingin menjadi single power, dengan menempatkan diri sebagai lembaga paling "suci" yang tidak bisa dipersoalkan oleh lembaga lain termasuk lembaga inti negara. Kegagalan KPK Kegagalan KPK menempatkan diri sebagai lembaga negara bantu (Auxiliary State Organ) tidak hanya melahirkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun malah telah tjuga melahirkan institusi yang menyalahgunakan kekuasaannya (Abuse of power). Padahal kehadiran KPK adalah untuk melakukan trigger mecanism karena dua institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap gagal memberantas Korupsi. KPK dalam hal penindakan seharusnya berperan sebagai trigger mechanism. Yaitu mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum korupsi dengan baik, bukan melakukan penindakan berdasarkan seleranya sendiri. Peran KPK harus maksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kejaksaan dan kepolisian. Sebab, selama KPK dibentuk, fungsi kordinasi, supervisi, belum maksimal dalam menjalakan peran trigger mekanism atau mendorong upaya pemberantasan korupsi kepada lembaga-lembaga lain agar lebih efektif dan efisien, dalam hal ini Jaksa dan Polisi. KPK selalu mengambil jalan sendiri dalam penegakan hukum korupsi. Sampai hari ini keberhasilan KPK masih jauh panggang dari api. Kegagalan yang paling mencolok adalah pada fungsi pencegahan dan pada audit investigasi BPK. Pada tahun 2013-2017, KPK sama sekali gagal dalam melakukan pencegahan. Adapun penindakan yang dilakukan KPK dengan menggunakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sarat dengan tindakan entrapment (jebakan) kepada calon tersangka. Karena itu banyak pihak menilai bahwa KPK bekerja menurut selera kekuasaan bukan menurut aturan hukum. KPK adalah lembaga yang pada awalnya dibentuk dengan desain untuk yang sangat ketat. Kewenangan yang dimiliki sangat besar,untuk menindak pelaku korupsi. Dalam menangani perkara KPK tidak mengenal Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3). Karena itu dalam melakukan proses penegakan hukum yang benar dan adil, bukan atas dasar stigma, apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya (asas praduga tak bersalah) Namun dalam perjalanannya, pada beberapa kasus terlihat bahwa KPK tidak hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Beberapa tersangka yang ditetapkan menyalahi prosedur seperti Budi Gunawan, Hadi Purnomo, Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk), Ilham Arif Sirajuddin (Walikota Makassar) dan Serta Novanto, membuktikan KPK tidak hati-hati dalam menggunakan kewenangan yang melekat padanya. Meskipun Setya Novanto dan Ilham kembali ditetapkan tersangka setelah memenangkan Gugatan Pra-peradilan. Namun putusan pengadilan itu cukup menjadi bukti bahwa KPK bukanlah lembaga yang sepenuhnya benar dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Kegagalan KPK dalam supervisi, kordinasi, penindakan, pencegahan dan memonitoring sesuai perintah pasal 6 undang-undang KPK adalah cerminan kebijakan lembaga negara yang berpotensi merugikan negara dan kegagalan mencegah terjadinya korupsi. Kenyataan ini membuat Indonesia belum dapat menjadi peringkat negara yang aman dan bebas korupsi. Kegagalan itu menjadi satu masalah tersendiri bagi transisi demokrasi. Cara kerja KPK memperpanjang transisi demokrasi membuat iklim investasi banyak yang terhambat. Kebijakan tidak dapat diambil akibat adanya ketakutan terhadap ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sebab keputusan yang akan dibuat, bisa saja dianggap korupsi dengan dalil pasal 3 undang-undang KPK. Selain itu, KPK masih menjadi penikmat gegap gempita pujian dalam membongkar Big News, sehingga asyik sendiri. KPK gagal membongkar BiG Case, seperi kasus, sumber Daya Alam (SDA) dan Migas (SKK Migas). KPK hanya berhenti di kasus suap menyuap saja, seperti kasus perbankan, reklamasi, Trans Jakarta, Rumah Sakit Sumber Waras, dan perpajakan. KPK seharusnya Fokus kasus-kasus besar, seperti di SDA dan Migas, perpajakan, perbankan, pasar modal, hutang luar negeri, impor pangan dan barang lain, reklamasi, meikarta, kejahatan corparasi, cost recovery. Sayangnya, KPK terlalu ambisi menangkap korupsi kecil, seperti OTT Rp 100 juta, yang sebenarnya bukan domain kerja KPK diambil juga. Merevisi UU KPK Kegagalan-kegagalan KPK itu nampaknya oleh pendukung KPK tidak dianggap sebagai kegagalan. Mereka para pendung KPK terus memobilisasi opini untuk melawan hak anggota DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) maupun amandemen undang-undang. Tentu bagi saya ini merupakan cara yang tidak sehat dalam bernegara. Tanpa disadari, undang-undang KPK sudah beberapa kali dirubah melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa pihak dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kita patut merasa heran bahwa LSM boleh mengajukan perubahan UU KPK melalui Judicial Review tanpa diributkan oleh oknum-oknum di KPK. Sementara DPR dan Presiden yang memiliki fungsi sekaligus hak untuk membuat maupun merubah undang-undang, dianggap haram merubah undang-undang KPK. Saya pun sudah sejak lama mengusulkan perubahan undang-undang KPK. Ususlan tersebut, baik dalam rapat kerja dengan KPK maupun dalam beberapa tulisan. Sebab undang-undang KPK sekarang masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Harus diketahui bahwa hak DPR itu adalah yang melekat dan tidak boleh di persoalkan dengan cara memobiliasi massa dan membuat panggung protes. Sebab KPK tidak bisa melawan hak lembaga negara inti (state mein organ) dengan cara-cara "jalanan" seperti itu. Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Perubahan undang-undang KPK ini harus memberikan penegasan terhadap tiga hal. Pertama, menagaskan posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Apakah dia di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Tetapi melihat tugas dan kewenangannya, KPK adalah lembaga Eksekutif. Kedua, KPK tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan penindakan. Sebab KPK merupakan trigger mecanism yang harus bersinergi dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian. Ketiga, KPK harus diawasi oleh satu dewan, sehingga tidak "liar" dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masih perlukah ada KPK? Banyak isu yang berkembang bahwa perubahan undang-undang KPK akan memperlemah KPK. Bahkan akan mengarah pada pembubaran KPK. Isu seperti ini memang selalu hadir bersamaan dengan mencuatnya isu perubahan undang-undang KPK. Bagi saya, perubahan undang-undang KPK sama sekali tidak melemahkan KPK. Bahkan sebaliknya memperkuat sistem organisasi KPK. Pembentukan dewan Pengawas, memperjelas posisi KPK dalam tiga cabang kekuasaan, dan menambahkan beberapa aturan tentang kordinasi dan pencegahan, merupakan jalan perbaikan bagi KPK. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang sangat dibutuhkan. Perubahan undang-unang KPK juga mempertegas bahwa KPK masih sangat dibutuhkan oleh Negara. KPK juga masih diharapkan dapat memperbaiki kehidupan bangsa dan Negara, sehingga bebas dari KKN. Oleh karena itu, perubahan undang-undang KPK adalah jalan memperkuat posisi KPK dalam menjalan tugas dan kewenangannya Penulis adalah mantan Anggota Komisi III DPR RI dan Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas MuhammadiyahJakarta.
Kita Lihat, Apakah Presiden Jokowi Akan Ikut Hancurkan KPK
By Asyari Usman Semua orang sudah jelas melihat bahwa Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak lagi diinginkan keberadaannya oleh DPR. Semua fraksi di lembaga wakil rakyat itu setuju UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002 diubah (direvisi) sampai kandas. Sampai KPK tak punya apa-apa lagi. Karena revisi UU harus disetujui Presiden, maka manuver berikutnya ada di tangan Presiden Jokowi. Rakyat bisa mengamati apakah Jokowi akan ikut juga menghancurkan KPK atau tidak. Presiden bisa menolak revisi itu seluruhnya. Apa-apa saja yang membuat KPK ‘mati’ akibat revisi itu? Ada sembilan poin perubahan UU KPK yang membuat lembaga antikorupsi itu akan hancur. Independensi KPK terancam. Sebab, revisi itu menciptakan ‘atasan kedua’ KPK selain Presiden. Yaitu, Dewan Pengawas (DP). DP akan dipilih oleh DPR. Kekuasaannya sangat besar. Penyadapan telefon terduga koruptor harus mendapat izin dari DP. Begitu juga untuk tindakan penggeledahan, harus juga ada izin mereka. Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Padahal, inti dari tugas pemberantasan korupsi KPK itu adalah penyadapan telefon. Kalau DP tidak mengizinkan, berarti OTT tak bisa dilakukan. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Ini artinya DPR ingin agar KPK bisa mereka kekang gerak-geriknya. Hampir pasti akan banyak kepentingan pribadi para anggota Dewan yang akan dilindungi oleh DP. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi. Berarti, KPK tidak bisa melakukan rekrutmen secara independen. KPK dipaksa mengambil tenaga penyidik dari kepolisian saja. Ini sangat rawan. Bisa terjadi penyelewengan. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Anda bisa duga sendiri apa tujuan koordinasi ini. Sampai sekarang reputasi Kejaksaan tidak pernah pulih di mata rakyat. Revisi ini akan memberikan peluang kepada Kejaksaan untuk ‘mempengaruhi’ penuntutan di KPK. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Sudah pastilah KPK akan ditelefon terus-menerus oleh entah siapa-siapa di DP atau di institusi-institusi lain agar KPK tidak melanjutkan kasus ini atau kasus itu. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas. Ini menjelaskan bahwa KPK tidak bisa lagi mengambil alih wewenang penuntutan perkara-perkara yang mengalami kemacetan. Hanya bisa di tingkat penyelidikan. Tentu bisa ditebak mengapa revisi soal pengambilalihan penuntutan ini dimunculkan. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan. Revisi ini juga membuat KPK bangkrut total. Kalau revisi disetujui oleh Presiden, maka KPK tak bisa lagi meminta pencekalan tersangka korupsi. Tak bisa meminta bantuan bank. Tidak bisa pula meminta bantuan agar transaksi korupsi diblok. Juga tak bisa meminta bantuan Polri dan Interpol. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Ini berarti para calon pejabat atau pejabat petahana bisa sesuka hati mereka mau melaporkan atau tidak melaporkan harta-kekayaan mereka. Selama ini, KPK punya wewenang untuk menagih laporan harta-kekayaan penyelenggara negara. Itulah formula ‘racun ganas’ yang ditawarkan DPR untuk KPK. Apakah KPK akan dipaksa menenggak racun ini, tergantung pada sikap Presiden Jokowi.