OPINI

China Mulai Ajak Ribut di Natuna

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Terbukti. Ambisi teritorial RRC komunis terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. Mulai ajak ribut Indonesia. Pada tanggal 10 Desember 2019, kapal penjaga pantai (coast guard) RRC muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia. Kapal China itu dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua kapal penjaga pantai RRC masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di utara Natuna. ZEEI itu diakui oleh PBB. China unjuk kekuatan dalam insiden kedua ini. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibeking oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Ini artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. Kapal Bakamla KM Tanjung Datuk 301 mencoba mengusir kapal-kapal China itu. Mereka menolak dengan alasan bahwa mereka berada di wilayah laut RRC. Pejabat senior Bakamla, Nursyawal Embun, mengatakan pihak China pasti tahu bahwa mereka berada di ZEEI. Sebab, cukup jauh jaraknya dari wilayah laut yang dikuasai RRC. Pada 30 Desember 2019, Kemenlu melancarkan protes ke China. Tapi, hari berikutnya, 31 Desember 2019, kapal-kapal China masuk lagi ke perairan utara Natuna. Kemenlu memanggil Dubes China di Jakarta. Protes keras disampaikan. Sekarang, Anda mendapatkan gambaran tentang RRC yang mulai cari pasal di Kepulauan Natuna. Anda juga mendapatkan gambaran tentang kesiapan mereka untuk melancarkan tindakan militer. Modus ekspansi laut China sangat jelas. Mereka kirim dulu kapal-kapal nelayan ke perairan Natuna. Kapal perang mereka melakukan pengawalan. Ini membuat Bakamla akan berhati-hati bertindak tegas. Sebab, di belakang kapal-kapal nelayan itu ada kapal perang RRC yang stand-by. Bakamla tentu bisa meminta bantuan ALRI. Tapi, kekuatan AL China pastilah jauh lebih besar dan lebih tangguh. Dan, kalau sampai kapal perang Indonesia terpancing menggunakan kekerasan, itu akan dijadikan alasan oleh China untuk mengerahkan armada AL mereka lebih banyak lagi ke perairan ZEEI. Setelah banyak kapal perang RRC berada di ZEEI, tentu akan muncul pertikaian verbal. China tak akan menghiraukan argumentasi verbal. Mereka tak akan pergi dari ZEEI. Kekuatan AL-nya malah akan ditambah. Dalam sejarah pertikaian ZEE di wilayah lain, penyelesaiannya tidak mudah. Setelah persoalan semakin ruwet, RRC memiliki kemampuan diplomasi untuk menghimpun dukungan internasional. Di lain pihak, mereka juga kuat dalam pengerahan militer. Apalagi belakangan ini persaingan militer di Laut China Selatan boleh dikatakan menjadi dominasi RRC. Amerika Serikat (AS) tidak lagi diperhitungkan. Perlu diingat bahwa RRC adalah kekuatan militer kedua di dunia setelah AS. China akan siap terlibat pertikaian panjang di perairan utara Natuna. Mereka akan melakukan penguasaa de-facto. Protes verbal tak akan berguna. Mau protes militer, kita tak sanggup. Pertiakan panjang akan memberikan uluran waktu bagi RRC untuk membangun pangkalan angkatan luat di wilayah itu. Setelah itu, level berikutnya adalah pencaplokan pulau-pulau kecil terluar di Kepulauan Natuna. Terutama yang tidak berpenghuni. Bahkan, pulau-pulau yang berpenghuni pun bisa dibuat “tak berpenghuni” oleh China. Harap diingat, letak geografis Natuna (bagian dari Provinsi Kepulauan Riau) cukup jauh dari bagian Indonesia lainnya. Ini membuat tindakan logistik sipil dan logistik militer menjadi berat. Dengan kekuatan militer yang dimilikinya, RRC sudah sejak lama memancing keributan. Mereka mengklaim kedaulatan atas perairan Kepulauan Spratly beserta pulau-pulaunya. China bertikai dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei dan Taiwan. China memang belum mencaplok satu pun pulau di Kepulauan Spratly. Tetapi, sejak 2013 mereka melakukan tatik membuat pulau di dalam perairan kepulauan ini. Dari sini bisa dilihat tujuan jangka panjang China di Spratly. Sebab, kalau pulau-pulau buatan ini menjadi milik China, tentu akan diikuti dengan klaim perairan untuk pulau baru itu. Masyarakat internasional mengecam. Tapi China tutup kuping dan mata. Tidak akan ada satu negara pun, termasuk AS, yang bisa menghancurkan kembali pulau buatan tsb. Modus membuat pulau di Spatly ini harus diwaspadai. China akan menunggu peluang untuk melakukan hal yang sama di perairan Natuna. Kalau mereka sampai bisa membangun pulau di wilayah ZEEI di bagian utara Natuna, persoalan bisa sangat rumit. Dengan segala kondisi Indonesia yang ada saat ini, boleh jadi pembangunan pulau oleh China tidak terdeteksi. Kalau pun terdeteksi, Indonesia tak akan mampu mencegahnya. Paling-paling hanya nota protes. RRC tidak akan ambil pusing. Dalam jangka panjang, kekuatan militer China akan makin dahsyat. Pasti. Indonesia hanya seperti sekeping kerupuk yang tercecer di lintasan tank-tank China. Mungkin, itulah sebabnya RRC merasa sudah saatnya cari pasal di Natuna.[] 2 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Menanti Pansus Angket Jiwasraya

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Agar tidak terus-menerus menjadi tukang “cap setuju”. Tidak menjadi sub-ordinat eksekutif, tetapi juga tidak untuk membelah, memacetkan pemerintahan, melainkan demi akuntabilitas kebijakan dalam berpemerintahan, MPR melangkah maju ditahun 2001. MPR mengubah UUD 1945 yang sangat sakral dan keramat di masa Orde Baru. Dalam UUD 1945 yang dirubah tersebut, MPR membekali DPR “benteng paling hebat.” Benteng itu tertuang dalam pasal 20A UUD 1945. Benteng itu dipertalikan rasionya dengan konteks perlakuan terhadap anggota DPR di masa Orde Baru. Itu betul. Meskipun demikian, rasio kehadiran benteng itu juga dipertalikan dengan pradigma presidensialisasi. Paradigma itu bekerja melalui penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penghapusan GBHN mengakibatkan presiden, siapapun orangnya, tersematkan secara konstitusional sebagai aktor tunggal, bebas dalam mendefenisikan kebijakan pembangunan. Isu Konstitusional Pada masa-masa tanpa “benteng yang hebat” itu, DPR mempunyai keunikan. DPR orde baru dapat memunculkan sejumlah orang berkelas. Orang-orang seperti Ibu Aisyah Amini, Pak Zarkasih Noor, Dja’far Sidiq dan Babe Ridwan Saidi dari Fraksi PPP. Dari ABRI ada Ibu Brigjen Polisi Roekmini, dan Pak Brigjen TNI Syamsudin. Dari Fraksi Golkar ada Pak Marzuki Darusman, Pak Sarwono Kususatmadja, Pak Rahmat Witular dan Pak Tadjudin Noor Said, dan Pak Syamsul Muarif. Sedangkan dari Fraksi PDI ada Pak Aberson Marle Sihalolo, Pak Dokter Sukowaluyo dan Ibu Fatimah Ahmad. Mereka adalah sedikit di antara beberapa yang hebat. Orang-orang ini dikenal kritis terhadap serangkaian kebijakan pemerintahan Pak Harto. Pak Harto boleh saja hebat. Namun pada level tertentu, beberapa anggota DPR pada masanya, berhasil menempatkan pemikiran dan tindakan politik yang memusingkan Pak Harto. Pidato Pak Harto di Pekanbaru Riau, tentang Amandemen UUD 1945 misalnya memicu kritik keras anggota DPR dari PPP. Pak Harto, apapun sebutan orang untuk pemerintahannya, keluar menanggapinya. Beliau mengirimkan seorang menterinya untuk secara resmi menjelaskan kandungan tujuan pidatonya itu kepada DPR. Gagal meyakinkan pada pertemuan pertama, Pak Harto kembali mengirimkan menteri lain, dengan level yang lebih energik dan terampil dalam semua aspek. Harus diakui masa itu bukan masa tentang penggunaan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Interpelasi dan angket, dua hak konstitusional itu baru digunakan pada masa pemerintahan Pak SBY. Penggunaan Hak Angket yang paling mengerikan itu terjadi tahun 2009, pada awal masa pemerintahan Pak SBY periode kedua. Kasus Bank Century menjadi objek angket itu. Walaupun tanpa dilanjutkan ke hak untuk menyatakan pendapat. Tetapi itu saja sudah sangat hebat. Hebat sekali ketika itu. Terlihat disepanjang sidang angket itu, hal-ihwal tentang rendahnya mutu akuntabilitas kebijakan menangani pengelolaan bank diselidiki dan dubuka untuk bisa diketahui oleh publik. Cukup membuat terang sejauh penggunaan angket century itu. Terutama yang berkaitan dengan jumlah uang yang dicurigai rendah derajat akuntabilitasnya. Jumlahnya hanya sampai Rp 7,4 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dari Rp 13,7 triliun dalam kasus Jiwasraya. Betul kasus ini telah diselidiki oleh Kejaksaan Agung. Relatif hampir sama dengan kasus Century. Sebelum diangketkan oleh DPR, kasus Century telah diselidiki oleh Polri. Tetapi Century tetap saja diangketkan. Untuk kasus yang lain, seperti penjualan kapal super jumbo milik Pertamina Very Large Crude Carrier (VLCC), DPR terlihat membentuk “Pansus Angket VLCC “ pada tahun 2007. Ketua Pansusnya adalah Prof Dr. Hayus Lumbun, yang belakangan pensiun sebagai Hakim Agung. Padahal ujungnya Mahkamah Agung menyatakan, tidak ada kerugian negara dari penjualan kapal super jumbo VLCC. Begitu juga dengan kasus PT Pelindo Dua. Ketika itu DPR dengan mudah berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Pada tanggal 5 Oktober 2015, DPR berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Yang menjadi Ketua “Pansus Angket Pelido Dua” ketika adalah Ibu Rieke Diah Pitaloka. Meskipun kemudian, ujungnya tidak berbeda jauh dengan Century. Apakah Jiwasraya memenuhi kualifikasi isu konstitusional untuk diangketkan? Politisi akan datang dengan argument, antara satu dengan yang lainnya saling menyanggah. Termasuk berbeda dalam merespon pernyataan Presiden Jokowi tentang durasi waktu masalah yang dilintasi oleh Jiwasraya. Tetapi justru karena telah lama terjadi itulah, masuk akal didalami lebih jauh. Apa masalah dasarnya? Apakah masalahnya baru diketahui setelah peristiwa gagal bayar atau apapun istilahnya dengan jumlah sebesar Rp 13,7 triliun lebih naik ke Kejaksaan Agung? Bila telah diketahui jauh sebelumnya, masalahnya apa tindakan pemerintah? Masuk akalhkah masalah itu dibiarkan saja sebagai masalah teknis bisnis? Pantaskah secara konstitusional masalah ini dikualifikasi sebagai masalah rutin saja dalam bisnis? Apakah negara berbisnis? Bisnis ya bisa rugi, bisa juga untung. Itu alamiah. Tapi dalam konteks kasus Jiwasraya ini masalahnya tidak sederhana. Mengapa? Dari sejarahnya, secara universal bisnis ini muncul dalam kerangka pemikiran konstitusional. Kerangka dasarnya adalah memberi kepastian keamanan sosial ekonomi kepada rakyat. Disitulah letak esensi konstitusional lembaga ini. Pada titik itu, masalah ini tidak cukup diterima sebagai masalah rutin bisnis semata. Ini sudah masuk masalah konstitusional. Masalah ini terhubung. Sekali lagi terhub ung, dengan keharusan negara memberi jaminan keamanan, perlindungan atas kehidupan rakyat. Perlindungan kepada rakyat secara konstitusional merupakan kewajiban absolut negara. Itu sebabnya Franklin Delano Rosevelt, presiden Amerika pada era resesi besar ekonomi pada tahun 1930-an meluncurkan kebijakan sejenis sebagai bagian esensial Social Savety net Policy. Ya untuk memberikan jaminan perlindungan, keamanan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Atas dasar itulah, isu Jiwasraya cukup memadai untuk dikerangkakan sebagai isu konstitusional, bukan bisnis semata. Bukan Cabang Khusus Presiden DPR secara parsial memang telah memberi tanda-tanda kecil hendak menangani masalah ini melalui dua Komisi. Mungkin dibentuk Panitia Kerja (Panja), gabungan dua Komisi. Komisi VI dan XI. Mengapa hanya Panja gabungan komisi? Mengapa tidak langsung ke angket? Angket memungkinkan semua anggota DPR terlibat, memungkinkan semua anggota dari semua Komisi terlibat. Ini tidak mungkin terjadi di Panja biasa. Disisi lain angket dibekali kewenangan subpoena. Tindakan paksa dengan konsekuensi hukum. Pansus saja tidak bisa. Tetapi memang Panja biasa lebih mudah memprosesnya. Panja biasa tidak dikerangkakan pada syarat rigid, dan relatif berat. Angket justru dikerangkakan padanya. Syarat inisiator, quorum rapat dan quorum pengambilan keputusan harus dilalui. Tidak itu saja inisiator harus menyiapkan argumen terulis. Dokumen itu harus ditandatangani minimum 25 orang. Praktis Panja biasa lebih mudah. Karena biasa saja. Berbeda secara radikal dengan Angket. Bila disetujui, maka dibentuk Pansus Angket. Namanya juga Pansus Angket. Masalahnya siapa yang mau namanya tercatat sebagai inisiator? Itu lagi soal yang besar. Sangat besar. Politisi picisan akan menandai mereka pemanggil badai, pembuat onar kecil. Itu sebabnya butuh nyali. Nyali ditentukan sejumlah faktor. Siapa yang mau mengambil risiko berat itu? Haruskah muncul tangan kuat sebagai penyokong tak terlihat? Mungkin juga tidak. Tetapi siapa yang bernyali bila politisi picisan melebel mereka sebagai pencipta politik pembelahan pemerintahan. Padahal sejarah century memperlihatkan dengan jelas tidak berakhir dengan datangnya politik dua aliran secara radikal. Negara setelah angket itu tidak jatuh ke dalam politik dua aliran. Sebut saja aliran pemerintah dan aliran non pemerintah, atau nama lain yang sama maknanya. Memang pemerintahan terbelah dalam dua aliran politik, pernah ditakutkan George Washington, John Adams dan Thomas Jefferson pada masanya. Tetapi sekali lagi ini tidak terjadi pasca angket Century. Ketakutan yang sama yang menyertai akhir pilpres 2014, nyatanya melayang juga. Polarisasi itu sangat artifisial, tidak idiologis. Polarisasi yang mirip memang terlihat saat ini. Hanya PKS, PAN dan Demokrat di luar blok pemerintah. Ini memang masalah bila dibawa ke dalam syarat angket. Penyatuan mereka tidak bakal menembus angka ½ anggota DPR untuk bisa meresmikan angket. Tetapi masalah konstitusionalnya adalah Parpol ada atau tidak dalam pemerintahan, anggota DPR ya anggota DPR. Semangat dasarnya harus semangat penyelenggara kekuasaan DPR. Semangat ini, disertai catatan kecil diperlihatkan Demokrat pada masa lalu. Mereka pastikan bahwa kendati Ketua Umumnya menjadi Presiden, mereka mungkinkan DPR bekerja menyelidiki kebijakan pemerintah. DPR, mereka pastikan tak menjadi organ khusus, subordinat pemerintah. Mereka juga tak mau mereduksi secara radikal DPR, dengan argumen politik partisan. Mereka terlihat tahu kelas mutu politik partisan itu. Mutunya sangat rendah dalam sejarah politik. Anggota DPR, demi bangsa harus bertemu pada satu titik. Titik ini bernama kepentingan konstitusional bangsa. Jenis kepentinganya bisa berupa revitalisasi akuntabilitas politik sebuah kebijakan, rule of law dan proteksi terhadap kelangsungan hidup rakyat. Harus diingatkan akuntabilitas selalu menjadi esensi, energy utama tata kelola negara. Itu absolute, dan harus diterima sebagai isu yang mengintegrasikan. Bukan sebaliknya terus terbelah, terus terpola pada arus asal jadi pro dan penantang asal-asalan pemerintah. Akan hebat bila DPR tenggelam dalam kesadaran ini. Mari menantikan pekerjaan kecil ini. Keberhasilan pekerjaan kecil ini akan menaikan derajat akuntabilitas penyelengaraan pemerintahan. Akuntabilitas itulah, yang pada level tertentu sedang dirindukan kiyai Agil Siroj, pimpinan utama NU. Belakangan ini Kiyai Agil mengungkap ketidak-konsistinan Kemenkeu memenuhi MOU dengan mereka. Kiyai ini juga bicara tentang oligarki ditubuh politik bangsa. Apa esensinya? Amburadulnya politik partisan. Politik partisan menenggelamkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayolah DPR. Gulirkanlah angket. * Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Tahun 2019: Kehancuran Indonesia Persneling Tiga

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tidak ada yang bisa dikenang sebagai sesuatu yang baik sepanjang 2019. Semua bidang kehidupan: ekonomi, bisnis, sosial, politik, penegakan hukum, peranan media, dlsb. Bidang politik mencatat rangkaian peristiwa yang semuanya sangat memprihatinkan. Ada penipuan kolosal suara rakyat di pilpres 2019. KPU yang dikangkangi oleh pemegang kekuasaan. Inilah penjaga demokrasi yang dikooptasi oleh para penguasa. Begitu juga Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung tidak independen. Ada dua lagi lembaga yang juga menghamba kepada misi politik pribadi. Yaitu, Polri dan media massa. Di bawah pimpinan Tito Karnavian, Kepolisian tidak segan-segan memihak kepada Jokowi sebagai capres petahana. Polisi mengemban tugas untuk memenangkan Capres 01 di pilpes 2019. Begitu pula media massa mainstream. Tidak ada yang tak memihak Jokowi kecuali tvOne. Selebihnya bergerombol mendukung Jokowi. Tanpa akal sehat sama sekali. Media mainstream terang-terangan melacurkan diri untuk kepentingan Jokowi. Penyelenggaraan pilpres 2019 sendiri penuh dengan kecurangan dan malapetaka. Banyak muslihat dalam penghitungan suara cepat (quick count). Tak bisa dipercaya. Ada tangan-tangan kotor. Sementara itu, 600 orang petugas KPPS meninggal dunia tanpa ada penyelidikan independen. Baru pertama kali pemilu yang memangsa begitu banyak nyawa petugas. KPU hanya memberikan santunan 37 juta yang sebenarnya identik dengan penghinaan. Noda pilpres tak sampai di situ. Ada rekonsiliasi yang paling aneh di dunia. Capres 02 bergabung ke kabinet Jokowi dan menjadi salah seorang bawahan presiden yang sangat diragukan kemurnian kemenangannya itu. Aliansi ini memberikan pendidikan politik yang sangat buruk. Tapi, para pelaku mengatakan semua itu strategi. Sedangkan publik melihatnya sebagai “penyimpangan orientasi seksual di dunia politik”. Minimal bencong politik. Rekonsiliasi aneh ini bertujuan untuk menyatukan kedua kubu. Tapi, itu tak terjadi. Sebab, akal sehat dan akal sakit tak mungkin berbaur. Yang sangat fatal adalah nasib demokrasi. Rusak berat gara-gara manuver konyol para politisi sinting. Rakyat sekarang menjadi apriori dan tak percaya lagi pada demokrasi. Dari bidang politik, kehancuran Indonesia di 2019 berlanjut ke bidang ekonomi dan bisnis. Utang luar negeri bertambah terus. Pada akhir 2019, utang pemerintah ada pada posisi 4,750 (empat ribu tujuh ratus lima puluh) triliun. Tiap tahun harus disediakan hampir 400 triliun untuk cicilan. Impor menjadi “amalan rutin” pemerintah. Boleh dikatakan, tidak ada yang tak diimpor. Beras, gula, garam, kedelai, bahkan jagung. Semen dan baja. Dua komoditas terakhir ini terasa “lucu dan tak masuk akal” diimpor. Stok beras tidak kurang, tapi terus saja diimpor. Lain lagi dengan baja. Produsen baja nasional, BUMN Krakatu Steel (KS), sengaja dibunuh. Baja impor dari China menghancurkan KS. Perekonomian hanya tumbuh 5%, kata Sri Mulyani. Para ekonom mengatakan, kalau cuma 5%, tak perlu ada menteri keuangan dan institusi Ekuin lainnya. Yang paling celaka adalah pemberantasan korupsi. KPK dibonsai oleh DPR dan Jokowi. Mulai dari perangkat peraturan-perundangan KPK yang dihajar hingga babak-belur sampai pimpinan barunya yang disesuaikan dengan kebutuhan para politisi busuk. Terutama dicocokkan dengan skenario PDIP. Tentu bisa Anda tebak mengapa PDIP habis-habisan menghancurkan KPK. Di bidang sosial, kehancuran yang berlangsung sepanjang 2019 sangat dahsyat. Pengedaran dan konsumsi narkoba semakin tak terkendali. Jumlah pengguna aktif jenis Sabu, tidak berkuang dari angka 4.2 juta orang. Bahkan cenderung bertambah. Keterbelahan masyarakat semakin meruncing antara pendukung rezim zalim dan rakyat yang melawan kezaliman itu. Ini terjadi karena penguasa memihak pada pendukung mereka. Penegakan hukum sangat cepat terhadap lawan penguasa. Sebaliknya tak pernah berproses terhadap orang-orang yang mendukung penguasa. Penista agama Islam selalu bisa melenggang. Pengkritik pejabat mendekam di penjara. Belum lagi kita bicara korupsi BUMN. PT Garuda bonyok. Pimpinannya berlagak seperti pemilik. Perusahaan Asuransi tertua, Jiwasraya, kini hancur berantakan. Dengan utang puluhan triliun. Diduga, orang-orang kuat mencuri duit BUMN ini. Dalam jumlah besar. Bukan ratusa miliar, melainkan belasan triliun. Ada pula indikasi uang Jiwasraya dipakai untuk biaya pilpres 2019. Sebegitu hancurkah Indonesia? Itulah yang terjadi. Semua dalam kondisi yang mencemaskan. Laju kerusakan pada 2019 cukup tinggi. Bisakah kehancuran itu diperbaiki? Persoalannya, rem negara ini sudah blong. Rem itu adalah DPR, MPR, media massa, para tokoh bangsa. Tak berfungsi lagi. Kekuasaan presiden berjalan tanpa rem. Kehancuran itu kini berada di persneling tiga. Satu gigi lagi ke atas, masuklah kecepatan penuh. Tinggal menunggu apa yang akan ditabrak.[] 1 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Ada Orang Kuat Ingin Cegah Kasus Air Keras Novel

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Entah siapa yang punya kerja. Tiba-tiba kemarin muncul demo di depan Kejaksaan Agung. Yang berdemo menamakan diri Himpunan Aktivis Milenial (HAM). Sangat mengherakan. Selama ini tak pernah terdengar nama himpunan itu. Mereka menuntut agar kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan, dibuka kembali. Dulu, di tahun 2004, Novel menangani kasus pencurian sarang walet ketika dia bertugas sebagai polisi di Bengkulu. Novel dituduh menganiaya para tersangka pencuri. Tapi, Kejaksaan Negeri Bengkulu menututp kasus itu pada 2016. Luar biasa ini HAM. Beberapa hari saja setelah penangkapan dua polisi aktif tersangka air keras Novel, mendadak muncul aksi demo mereka. Rapi sekali. Lengkap dengan semua aksesori demo. Harus diakui kehebatan para aktivis milenial. Terutama kehebatan para sponsornya. Demo ini sangat politis. Dengan tujuan agar kasus air keras bisa diganggu. HAM bisa menunjukkan “aksi cepat tanggap”. Generasi milenial yang patut diapresiasi. Biasanya, para milenial memihak ke KPK. Atau sekalian memihak ke café-café. Lebih banyak main gadget di situ. Tapi, kali ini, kesadaran hukum milenial yang tergabung dalam HAM, sangat tinggi. Mereka menuntut agar Novel Baswedan ditangkap dan diadili. Kelihatannya, ada segerombolan orang yang tak rela kasus air keras Novel diselesaikan tuntas. Mereka takut kedua tersangka akan menceritakan skandal besar yang mungkin akan menjatuhkan seseorang dengan posisi tinggi. Tentu HAM bebas melakukan unjuk rasa. Namun, sangat disayangkan kalau mereka tidak paham bahwa negara ini sedang diacak-acak oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan besar. Gerombolan perusak negara itu berpenampilan cendekia. Tampak seperti orang bijak. Padahal, mereka adalah orang-orang yang bermental koruptif dan berpikiran brutal. Publik berharap dan yakin Kapolri Idham Aziz tidak akan kendur. Semua yang terkait dengan kasus air keras Novel, perlu diurai sampai tuntas. Termasuk kaitan antara air keras itu dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Novel dalam posisinya sebagai penyidik KPK. Novel sedang memproses 6-7 kasus korupsi waktu disirami air keras, dua setengah tahun lalu. Salah satunya diduga melibatkan seseorang yang sangat kuat di pemerintahan Jokowi. Orang inilah yang dipercaya sedang berusaha mencegah penuntasan kasus air keras.[] 30 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Dinasti Politik dan Skenario Lembu Peteng

Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet Oleh Hendrajit Jakarta, FNN - Biasanya, kalau anak sendiri diturunkan langsung jadi pak camat atau pak lurah, gen dinastinya sedang kepepet. Dalam skenario raja raja jawa dulu, raja malah mendukung diam diam seorang penggantinya, seolah merupakan tandingan elit kraton yang mapan. Padahal dia didorong keluar dari lingkaran kraton, untuk diplot jadi putra mahkota. Misalnya Sultan Demak Raden Patah, menggantikan raja Brawijaya V seolah olah akibat pemberontakan kerajaan Islam terhadap kerajaan Majapahit. Padahal Raden Patah juga anak kandung Brawijaya V yang justru dijagokan bapaknya. Presiden Ferdinand Marcos, diam diam menjagokan Fidel Ramos, sepupunya sendiri dan putra mantan menlu Narcisco Ramos, sebagai presiden Filipuna masa depan. Meski terinterupsi gara-gara pembunuhan terhadap Benino Aquino sehingga istrinya Cory jadi simbol oposisi melawan Marcos, namun Ramos menjadi pemain kunci bersama Cory dalam kejatuhan Marcos. Sehingga, setelah era Qory, Ramos jadi presiden Filipina berikutnya. Bahkan sempat dua periode. Raden Patah atau Ramos di era modern, inilah yang namanya Lembu Peteng. Lha sekarang malah aneh. Puan jadi ketua DPR. Gibran nyoba nyalon Walkot Solo. Bukan lembu peteng. Tapi lembu padang. Berarti pertanda dinasti politik di semua lapisan sedang kepepet. Sedang berlangsung perang senyap dan intrik para elit kraton. Dan model mereka ini, sangat takut sekali dengan istilah Suksesi Kepemimpinan Nasional. Apa sebab? Begitu oposisi berhasil melembagakan diri di luar lingkaran kraton, wacana suksesi kepemimpinan justru dipicu dari dalam kraton itu sendiri. Berarti isyarat lembu peteng akan segera merebut kekuasaan. Dan meruntuhkan dinasti lama, membangun imperium baru. Maka itu, dalam suasana gonjang ganjing langit kelap kelap kayak sekarang, rakyat harus punya skenario sendiri. Sutradara sendiri. Para aktornya sendiri. Rakyat harus mampu menyusun dan membentuk pikirannya sendiri. Dari rahim inilah akan lahir pemimpin pemimpin rakyat sejati. Bukan lembu peteng. Penulis adalah pengkaji geopolitik dan wartawan senior

Idham Azis dan Lystio Sigit Menulis Hukum

Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Idham Azis baru berada di puncak pangkat dan organisasi Kepolisian. Tanggal 1 November 2019 pria asal Soppeng, Sulawesi Selatan ini resmi menyandang pangkat Jendral dan mangku jabatan Kapolri. Jendral Polisi dan Kapolri ini dikenal tidak banyak bicara. Ia, sejauh ini teridentifikasi sebagai jendral yang berjarak begitu jauh dengan diskusi teori demokrasi. Ia tak pernah terlihat sebagai sosok yang doyan bicara tentang hal non kepolisian. Tipikal ini terlihat samar-samar dimiliki pula oleh Listyo Sigit, Komandan Bareskrim baru. Dalam jabatan ini Listyo, mau tak mau harus dinaikan pangkatnya dari Irjen ke Komjen. Menarik, jabatan Kabareskirm sebelumnya dipangku oleh Idham. Sampai dititik ini keberadaan Idham dan Lystio pada pangkat dan jabatan masing-masing menjadi sangat menarik. Mengapa Idham dan mengapa Listyo? Apakah semasa di jabatan Kabareskrim, Idham telah memiliki data meyakinkan, yang detailnya membawa dirinya pada pengetahuan tak terbantahkan tentang siapa yang beralasan hukum ditetapkan jadi tersangka dalam kasus “air keras” itu? Beralasan untuk mengatakan positif. Tetapi mengapa tak diungkap saat dirinya masih kabareskrim? Berlasan untuk dianalisis. Apakah hambatan, tantangan tak terjelaskan dalam serangkaian aspek mendatanginya setiap detik dan sentimeter? Itukah tembok tak tertandingi yang dihadapinya? Itukah yang mengakibatkan Idham tidak dapat mengumumkan tersangka selagi dirinya berada di jabatan Kabareskrim itu? Dari dunia manakah hambatan dan tantangan itu mengalir? Idham sendirilah yang tahu, tentu bila semuanya ada. Setiap orang memiliki lautannya sendiri. Setiap hati punya derajatnya sendiri, juga mimpinya sendiri untuk hari ini, esok dan kelak. Itu fitrah. Alamiah. Alamiah pula bila hatinya setiap saat menemani dirnya, menagih dengan langgam menekan dan mengepung dirinya untuk menuntaskan kasus menjijikan ini. Hati yang tergoda dengan kebaikan tak akan bisa, untuk alasan apapun, berkelit, apalagi sembunyi. Tidak. Ia akan berontak, membawa pemiliknya tunduk pada kebaikan, pada kebenaran. Itukah yang membawa Idham memanggil Listyo, tentu karena Idham memercayai kesanggupan Listyo mengungkap tuntas kasus ini? Idham, Kapolri inilah yang tahu. Tak lebih. Apapun yang mungkin dalam konteks itu, faktanya keduanya telah memberi bukti yang andal, bernyali, memiliki otak dan hati. Dua Komandan hebat ini menuntun dan memandu serta memberi bobot atas hakikat tanggung jawab. Kini lorong gelap, dramaturgi, jalan berliku penuh duri dan kerikil mematikan yang dilintasi kasus ini selama 2,5 tahun, tersingkir sudah. Semua kerumitan artifisial tersingkir sudah. Semua lingkaran hitam, menjijikan dan konyol serta berat selama 2,5 tahun melayang sudah. Lalu apa yang layak dipetik sebagai pelajaran hukum, bahkan pelajaran hati dari keberhasilan awal penetapan dua tersangka ini? Lupakanlah soal politik dan sejenisnya sebagai penjelasan paling meyakinkan atas terungkapnya kasus ini. Pelajaran tak ternilai dari peristiwa penetapan dua tersangka ini adalah penegasan bahwa ketangguhan hukum, kekuatan hukum, sekaligus kebaikan hukum tidak pernah, dengan semua alasan yang tersedia bersandar pada substansi hukum. Tidak. Sama sekali tidak. Ketangguhan hukum ditentukan sepenuhnya oleh ketangguhan penegak hukum, ketangguhan orang yang menegakan hukum itu. Tidak lain selain itu. Sejarah kehebatan hukum bukan sejarah tentang substansi hukum. Sejarah kehebatan dan ketangguhan hukum adalah sejarah tentang manusia khusus, yang menegakan hukum itu. Sejarah manusia yang menegakan hukum adalah sejarah tentang orang-orang khusus. Mereka disebut khusus karena tahu bahwa menyembunyikan kebenaran, menenggelamkan keadilan adalah cara kotor terbaik yang umum, menghancurkan bangsa dan negara itu. Mereka tahu bahwa dunia politik, hukum dan demokrasi itu sendiri memiliki derajat toleransi meremehkan dan memalsukan hukum dan keadilan. Tetapi orang-oran hebat tahu bahwa demokrasi dirangsang begitu kuat oleh hasrat mewujudkan keadilan untuk memanusiakan. Untuk membuat manusia beradab dan bermartabat. Dan hebatnya mereka tahu kebalikannya atau sisi hitam demokrasi. Sisi hitam itu adalah tersedia ruang besar bagi demokrat picisan memutarbalikan, memalsukan, menggelamkan keadilan dan kebenaran. Argumen demokrasi, mereka tahu penuh warna-warni. Selalu dalam setiap warna warni argumen demokrasi itu dapat dipalsukan semudah setiap orang bernapas. Demokrat picisan, dalam konteks ini selalu cukup cerdas menyodorkan pertimbngan teknis dalam menutup keculasannya untuk menenggelamkan hukum. Tetapi tidak bagi demokrat tanpa lebel, tanpa suara. Bagi mereka hukum itu sama sekali bukan sekadar teks, teknis-strategi dan taktik- rigid dan sejenisnya. Bukan itu. Hukum adalah perkara hakikat manusia. Perkara hakikat manusia adalah perkara harkat dan martabat. Perkara harkat dan martabat manusia adalah pekara induk keadilan. Siapa yang mengerti hakikat manusia, ia mengerti hakikat harkat dan martabat manusia. Siapa yang mengerti hakikat dan martabat manusia, dia mengerti perkara hakikat keadilan. Siapa yang tahu dan mengerti hakikat keadilan ia tak kemana keadilan itu berinduk. Seagung apa keadilan itu. Keadilan itu tak bakal mampu meremehkan, menyembunyikannya untuk alasan apapun. Penegak hukum yang tidak mengerti hakikat manusia, yang juga berarti tak megerti hakikat keadilan. Mudah membelokan, bahkan menghancurkan hukum dengan rasa gembira. Penegak hukum pintar akan menggunakan kepintarannya memperbesar dan melicinkan jalan teknis menenggelamkan kasus. Ya karena jalan teknis adalah jalan otak. Sementara keadilan adalah jalan hati, dan jalan rasa. Jalan “hati” dengan alasan yang bisa didiskusikan, suka atau tidak, senang atau tidak, sedang dititi dengan hati-hati oleh Idham, Sang Kapolri dan Sigit Listio, sang Komandan Bareskrim. Itulah pelajaran lain yang diberikan keduanya. Keduanya, siapapun harus percaya, dalam kasus ini tahu lebih dari siapapun bahwa dua tersangka itu hanyalah awal yang kecil. Tuntun dan pandulah terus kelanjutan penyidikan dengan hati yang terdidik. Teruslah pergi ke detail fakta kredibel yang tersedia dalam kasus ini. Teruslah masuk ke dalam, ke sudut-sudut yang lebih menantang. Teruslah memandu hasrat terkendali dalam penyidikan kasus ini dengan serangkaian pertanyaan hipotetis kritis. Cara ini akan membawa Bapak berdua terlihat anggun, seanggun desiran angin pagi berdesir ditepian pantai. Postur memuakan kasus ini, yang kini mulai mencair, saya percaya tidak bakal Bapak berdua biarkan menemukan lagi momen untuk kembali bergairah, bergerak naik. Keberhasilan kecil ini, apapun alasannya, telah terlihat manis. Jagalah itu dengan baik. Bapak berdua telah memulai dengan sangat manis. Teruslah melangkah sampai fakta tak terbantahkan dan dipertentangkan berdasarkan timbangan keadilan menghadirkan akhir yang adil. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Perampokan Dana Jiwasraya dan Pengungkapan Kasus Novel, Mana Lebih Berbahaya?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Menjelang akhir tahun 2019, terdapat dua isu besar yang menyedot perhatian publik. Pertama, kasus korupsi asuransi Jiwasraya yang mencapai Rp 13,7 Trilyun. Kasus ini sekarang sudah ditangani pihak kejaksaan agung. Tapi meskipun kejaksaan agung sudah memeriksa 89 saksi, sampai sekarang belum ada satu orangpun yang dijadikan sebagai tersangka. Langkah penyidikan yang dilakukan tim kejaksaan atas kasus korupsi di perusahaan asuransi Jiwasraya akan terus dipantau publik karena banyak dana masyarakat yang tersangkut di perusahaan BUMN tersebut. Bahkan ada sekitar 400-an warga Korea Selatan yang menyimpan dananya di perusahaan asuransi Jiwasraya terutama dalam produk investasi dan proteksi JS Saving Plan. Selain kasus Jiwasraya, pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan juga tidak kalah menarik. Pasalnya, setelah dua setengah tahun kasus ini mengambang dan tidak jelas, baru sekarang pelakunya bisa ditangkap. Dalam kasus ini, ibarat jeruk makan jeruk karena pelakunya adalah oknum aparat polisi yang masih aktif (di Brimob) yakni RM dan RB. Sementara pemeriksaan terhadap kedua oknum polisi tersebut, juga dilakukan oleh aparat kepolisian. Kasus ini juga menimbulkan banyak tanda tanya di benak masyarakat. Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi 11 April 2017, tapi mengapa baru terungkap di akhir tahun 2019 ? Padahal, aparat polisi sudah lama mengantongi alat bukti diantaranya berupa video CCTV proses penyiraman air keras tersebut. Justru setelah Kapolri dan Kabareskrim diganti, kasus Novel Baswedan ini baru bisa diungkap. Ada apa sebenarnya yang terjadi ? Begitulah pertanyaan masyarakat awam. Apakah ini terkait dengan kasus-kasus di kepolisian yang diungkapkan Novel Baswedan terutama menyangkut "Buku Merah". Seperti kita ketahui, Novel diserang pada 11 April 2017 saat berjalan menuju kediamannya, setelah menunaikan ibadah salat Subuh di Masjid Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyiraman air keras ini, kedua mata Novel terluka parah. Dia sempat menjalani operasi mata di Singapura. Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya, namun polisi mengaku kesulitan menangkap pelaku atau dalang penyerangan terhadap Novel Baswedan. Polisi bahkan telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Namun, hingga masa kerja tim itu berakhir, pelaku saat itu tidak berhasil ditangkap. Presiden Jokowi juga sempat memberi target ke Kapolri terdahulu, Jenderal Pol Tito Karnavian, untuk mengungkap kasus Novel dalam tiga bulan. Target itu diberikan Jokowi pada 19 Juli 2017, setelah tim gabungan pencari fakta yang dibentuk Tito gagal mengungkap kasus tersebut. Namun hingga tenggat waktu yang diberikan berakhir, kasus Novel belum juga terungkap. Jokowi justru mengangkat Tito Karnavian jadi Mendagri. Tapi begitu Kapolri digantikan oleh Jenderal (Pol) Idham Azis dan Kabareskrim yang baru dijabat Listyo Sigit Prabowo, barulah kasus Novel Baswedan bisa terungkap. Meski demikian, jangan sampai dua oknum polisi yang sudah dibekuk tersebut hanya dijadikan sebagai tumbal. Bareskrim harus mampu mengungkap aktor utama dibalik kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Kalau nanti yang didakwa dan dipenjara hanya dua oknum polisi tersebut, sangat boleh jadi mereka hanyalah orang suruhan yang sengaja dijadikan korban. Sementara aktor intelektual atau pihak yang menyuruh melakukan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, tidak diungkap secara terang benderang. Kembali pada pertanyaan tulisan ini, mana yang lebih berbahaya, kasus korupsi dana asuransi Jiwasraya atau kasus Novel Baswedan ?. Menurut penulis, keduanya sangat berbahaya bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dana asuransi yang dirampok sebesar Rp 13,7 trilyun, bukan hanya merugikan masyarakat dan negara tetapi juga bisa mengganggu industri asuransi secara keseluruhan. Industri asuransi merupakan lembaga kepercayaan sama halnya dengan perbankan. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perusahaan asuransi, jangan berharap industri jasa ini akan ini akan berkembang. Oleh karena itu, kejaksaan agung harus bisa bekerja dengan cepat, profesional, proporsional, cermat dan akurat. Kejagung harus bisa secepatnya menetapkan tersangka agar kasus korupsi Jiwasraya ini tidak menjadi bola liar. Kejaksaan Agung harus bisa menjelaskan keterlibatan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo dalam kasus korupsi ini. Sekaligus menjelaskan keterkaitan beliau saat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP). Kejakgung juga harus bisa menjawab pertanyaan publik selama ini yang menduga dana Jiwasraya digunakan untuk kegiatan kampanye Pilpres Jokowi pada tahun 2018. Kasus Jiwasraya maupun penyiraman air keras ke Novel Baswedan, kini sama-sama sedang ditangani aparat hukum. Yakni Kejakgung dan Bareskrim Mabes Polri. Jangan sampai perjalanan kasus hukum kedua kasus ini diintervensi oleh kelompok kepentingan bisnis dan politik. Wallahu a'lam bhisawab. Penulis wartawan senior.

Harry Prasetyo, dan Jejak Duo Tahir di Jiwasraya

Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Bagaimana mungkin Presiden Jokowi tidak pusing? Skandal yang multi dimensi kini menimpa bangsa Indonesia. Skandal itu ada di sektor keuangan, politik, maupun hukum. Bila salah dalam mengantisipasi dan menanganinya, maka Jokowi bisa jatuh dari kursi. Seriuskah ? Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya Rp 13,7 triliun ini terbilang besar dan berat untuk mengatasinya. Menkeu yang orangnya Amerika di Indonesia ini sedang bermain di kubangan Cina, yang pasti sangat faham betul dampak dan pengaruh globalnya. Setelah skandal kasus Jiwasraya terbuka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang selama menjadi pengawas industry asuransi, keliatan mulai ikut-ikutan mencari solusi. Betapa serius, penting dan genting masalah ini. Padahal kegiatan operasional PT Asuransi Jiwasraya selama ini berada di bawah pengawasan OJK. Kalau sekarang OJK baru mulai mencari solusi penyelesaian menyelesaikan, maka publik patut bertanya, memang selama ini OJK berada ada dimana? Selama ini OJK ngumpet dan sembunyi di bagian mananya Indonedsia? Pengawasan seperti apa saja yang sudah dilakukan oleh OJK terhadap Jiwasraya? Mungkinkah OJK sudah mengetahui masalah sejak lama, namun pura-pura menutup mata? Atau OJK ikut serta dalam permainan yang membangkrutkan PT Asuransi Jiwasraya? Kasus Jiwasraya ini terpaksa menyeret Duta Besar (Dubes) Korea Selatan untuk Indonesia angkat bicara. Dubes Kim Chang Beom minta pihak Jiwasraya untuk membereskan 470 warga Koere Selatan menjadi korban gagal bayar polis Asuransi Jiwasraya. Semoga saja besok-besok tidak ada lagi Dubes negaralain yang angkat bicara, karena warga negaranya tersangkut masalah ini. Persoalan Jiwasraya ini bisa membuat industri asuransi Indonesia kehilangan kepercayaan di mata masyarakat interasional. Publik internasional bisa saja menolak produk-produk asuransi yang berasal dari Indonesia. Apalagi skandal Jiwasraya melibatkan perusahaan asuransi papan atas. Persoalan lain yang membuat kita malu adalah PT Asuransi Jiwasraya berstatus perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemegang saham mayoritas setiap perusahan BUMN adalah pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Keuangan. Sedangkan pengelolaan dan pengawasan manejemen perusahaan BUMN dilakukan Kementerian Negara BUMN. Ini Urusan Saya Presiden Jokowi biasanya melepas tanggungjawab kepada para bawahannya. Jokowi biasanya mengatakan "ini bukan urusan saya". “Ini urusannya menteri itu atau menteri ini”. Namun sekarang Jokowi harus menerima konsekuensi skandal PT Asuransi Jiwasraya. Jokowi terpaksa harus mengatakan "ini urusan saya, atau ini menjadi tanggungjawab saya". Masalah PT Asuransi Jiwasraya sekarang sudah semakin rumit, melingkar dan babalieut. Sebab diduga kuat ada keterlibatan lingkaran dalam Istana Negara atau Istana Kepresidenan. Diketahuai ada jejak sidik jari dari Tenaga Ahli Utama Staf Khusus, Kantor Kepala Staf Presiden (KSP) Harry Prasetyo. Harry Prasetyo adalah Mantan Direktur Keuangan PT Asuransui Jiwasraya. Harry menjabat sebagaik Direktur keuangan selama dua periode. Dia adalah aktor utama dari film berjudul “Skandal PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp 13,7 trliun”. Dai juga yang menjadi pelaku kunci atas perampokan duit PT Asurans Jiwasraya tersebut. Uang polis nasabah sebesar Rp 13,7 triliun digoreng Harry melalui saham-saham papan lapis bawah di Bursa Efek Indonesia. Saham yang dulunya ketika digoreng, masih dihargai di atas seribu rupiah setiap saham. Namun kini harga saham-saham tersebut tinggal lebih dari seratus rupiah per saham. Dato Tahir Mayapada Setelah publik ramai membicarakan skandal PT Asuransi Jwasraya, kini muncul tokoh baru yang ikut dibicarakan. Tokoh itu adalah Dato Seri Tahir Mayapada. Anggota Dewan Petimbangan (Wantimpres) ini diduga kuat terkait dengan penggorengan saham-saham lapis bawah yang dibeli PT Asuransi Jiwasraya. Tahir yang mendapat gelar Dato Seri dari Kesultanan di Malaysia ini adalah pemilik kalompok usaha Mayapada Grup. Dia dia duduga menampung saham kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro yang diberli dari Jiwasraya. Benny adalah pemilik PT Hanson International (MYRX), Sedangkan Teddy pemilik PT Rimo Internasional Lestari (RIMO). Kedua pengusaha kakak-berdik keturunan ini mendapat gelontoran dana investasi puluhan triliun rupiah dari Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo. Polanya, PT Asuransi Jiwasraya membeli surat hutang jangka menengah dari PT Hanson Internasional dan PT Rimo Internasional Lestari. Setelah skandal ini terbongkar, belakangan tersiar kabar kalau kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro dalam tahap pencekalan oleh penyidik dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Jika pencekalan tidak segera dilakukan penyidik, dikhawatirkan mereka berdua akan melarikan diri dari proses penyidikan. Mereka berdua bisa setiap saat kabur duluan ke luar negeri sebelum pencekalan dikeluarkan ke penyidik Pidsus Gedung Bundar. Bisa mengikuti jejak kaburnya Harry Prasetyo yang sudah duluan melarikan diri ke luar negeri. Walaupun demikian, ada juga yang menduga Harry Prasetyo sengaja disuruh kabur. Bila kakak-beradik Brnny danb Teddy ikut kabur, maka dipasstikan akan sangat mengganggu kelancaran proses penyidikan di kejaksaan. Mereka di Sekitaran Istana Selian keterlibatan Harry Prasetyo dan Dato Seri Tahir Mayapada, muncul nama baru yang diduga juga punya kaitan dengan skandal PT Asuransi Jiwasraya, yaitu Erick Thohir. Sekarang Arick Tohir sudah menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN). Diduga ada uang Jiwasraya yang dipakai untuk membeli saham perusahaan Erick Thohir, PT Mahaka Media Tbk. Untuk sementara, dugaan keterlibatan Harry Prasetyo, Dato Seri Tahir Mayapada dan Erick Thohir membuat positioning istana semakin terjepit. Istana tampaknya bakal kesulitan menjawab tudingan publik tentang keterlibatan tiga orang penting di sekitaran Jokowi tersebut. Wajar-wajar saja kalau ada dugaan publik bahwa jebolnya dana masyarakat dalam bentuk polis asuransi di PT Asuransi Jiwasraya ada kaitan erat dengan dana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Apalagi posisi Erick Thohir pada Pilpres 2019 adalah Ketua Tim Pemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Untuk menyelesaikan skandal Jiwasraya ini, rencannya pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan akan membentuk holding BUMN Asuransi. Namun keraguan atas opsi ini cukup tinggi di publik. Keraguan itu terutama karena tingkat kesehatan BUMN Asuransi sekarang di bawah rata-rata perusahaan asuransi. Yang paling sehat hanya perusahaan asuransi swasta. Jika pemerintah salah menyiapkan treatment terhadap skandal PT Asuransi Jiwasraya, bisa jadi bukan menyesaikan masalah yang sudah ada. Sebaliknya, malah memproduksi masalah. Jadinya, masalah utama tidak selesai, tetapi malah menambah masalah baru. Mengingat ceritra masih panjang, maka Erick Thohir, Sri Mulyani, dan tentu saja Jokowi seperti sedang berputar putar di "tong setan" (wall of death). Jika tidak pandai memicu dan mengendalikan kendaraan dengan baik, maka dipastikan akan jatuh dan tergelicir. Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. Kini memang masih oleng oleng saja. Selamat berjibaku Mr. President. Jabatan Presiden rasanya tidak termasuk yang diasuransikan. Karenanya risiko harus ditanggung sendiri. Presiden harus buktikan bahwa tidak ada korupsi kolusi dan nepotisme dalam skandal PT Asuransi Jiwasraya. Rakyat hanya bisa jengkel sambil menyaksikan duit negara dirampok lagi. Apakah ini negara perampok? Penulis adalah Pemerhati Politik

Ironis! Ketua DPR RI Minta PPATK Tidak Publikasi Kepala Daerah Pencuci Uang

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo dalam penegakan hukum tampaknya bakal mengalami kendala, menyusul kabar yang dirilis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perihal adanya kepala daerah yang menyimpan uangnya di kasino luar negeri. Ironisnya, kendala itu justru datang dari Ketua DPR Puan Maharani yang juga politisi PDIP. Puan minta kepada pihak PPATK dan Kemendagri tak mengumbar para kepala daerah yang memiliki rekening di kasino, tempat perjudian di luar negeri ke publik. Puan menyatakan, bila diumumkan ke publik akan berpotensi menimbulkan simpang siur di tengah-tengah masyarakat. “Alangkah baiknya kalau hal-hal itu tak langsung dipublikasikan ke publik karena menimbulkan simpangsiur atau praduga bersalah pada yang bersangkutan,” kata Puan di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/12). Puan berharap, agar Kemendagri dan PPATK menyampaikan nama-nama tersebut ke pihak penegak hukum ketimbang ke publik. Sebab, lanjut dia, pihak penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus tersebut. “Yang kami harapkan dari PPATK kalau kemudian ada kasus per kasus tolong lapor ke kejaksaan, kepolisian, KPK atau pihak hukum yang bisa tindaklanjuti temuan tersebut,” kata Puan, seperti dilansir berbagai media online tersebut. Di tempat yang sama, Politikus PDIP Johan Budi mengaku terkejut terkait temuan PPATK tersebut. Ia beranggapan bahwa kasus tersebut sudah berlangsung beberapa kali hingga melibatkan banyak pejabat negara. “Harus segera ditelusuri, karena kepala daerah yang mempunyai dana sampai puluhan miliar dan kemudian ditaruh di kasino, ini pasti ada tanya besar, apakah ini dalam rangka untuk money laundering atau uang dari mana ini?” tutur Johan. Senada dengan Puan, melihat hal itu, Johan meminta agar PPATK menyampaikan langsung ke penegak hukum aliran dana untuk diusut tuntas. Ia juga menyarankan agar Kemendagri dapat memantau transfer dana pusat ke daerah yang selama ini dikelola pemerintah daerah. Menurut Johan, hal tersebut bertujuan agar penerimaan daerah itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebelumnya, PPATK mengungkap modus oknum kepala daerah yang melakukan pencucian uang lewat kasino atau tempat perjudian di luar negeri. Ketua PPATK Kiagus Badaruddin mengatakan pencucian uang via kasino jadi modus baru yang terendus pihaknya tahun ini. Dia bilang ada dua cara yang digunakan oknum kepala daerah dalam modus ini. “Menyimpannya (uang tersebut) betul dalam rekening kalau dia mau main dia tarik. Atau juga menyimpannya dalam bentuk membelikannya dalam koin,” kata Badaruddin , seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019). Badaruddin menyampaikan detail, pelaku menukarkan uang hasil kejahatan dengan koin kasino di negara-negara tertentu. Kemudian mereka menunggu hingga jam operasi kasino berakhir untuk kembali menukarkan koin ke dalam bentuk uang tunai. Para oknum kepala daerah tersebut akan mendapat uang tunai plus tanda terima dari kasino. Setelah itu, tumpukan uang tunai itu diboyong ke Tanah Air dengan status legal. Pencucian uang yang dilakukan seperti ini akan mengurangi potensi penerimaan negara. Pasalnya, aset mereka menjadi sulit terdeteksi. PPATK menyebutkan, dana yang disimpan sejumlah kepala daerah dalam rekening permainan kasino luar negeri mencapai Rp 50 miliar. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan modus pencucian uang ini terbilang baru. Dengan skema yang lebih canggih, maka pemerintah semakin sulit melacak keberadaan aset yang seharusnya terkena pajak. “Modusnya memang berkembang, mulai revolusi dari yang standard sekarang lebih canggih. Ini dari sisi pemerintahan ada sisi potensi penerimaan pajak yang hilang,” ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019). Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mendesak PPATK, segera mengungkap nama-nama kepala daerah yang diduga memiliki dana berupa valuta asing dengan nominal setara Rp 50 miliar di rekening permainan kasino di luar negeri. “Jangan setengah-setengah mengungkap, tapi sampaikan sejelas-jelasnya dan sebut nama,” ujar Hidayat saat ditemui di sela Rapat Koordinasi Wilayah DPW PKS Jatim, di Surabaya, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (16/12/2019 08:29 WIB). Menurut Hidayat, PPATK haruslah mengungkap temuan itu dengan jelas dan transparan. Hal itu agar publik tak resah dan justru menuduh pihak yang tak terlibat. “Jangan hanya dibuat nanggung, tapi buka seterang benderang mungkin sehingga tidak ada yang menjadi tertuduh karena menebak-nebak,” ucapnya. Bahkan, Wakil Ketua MPR ini meminta PPATK harus berani mengusut tuntas temuannya ini jika ada politikus maupun pejabat lain yang turut terlibat. Yang terpenting PPATK jangan terkesan seolah-olah sudah bekerja, padahal itu bukan hanya kepala daerah. “PPATK harus menelusurinya sampai tingkat pusat, kemudian membukanya ke publik,” tegasnya. Mendagri Tito Karnavian sendiri sudah merespons soal ini. Tito mengatakan, akan menemui PPATK untuk mengkonfirmasi informasi terkait temuan itu. Minggu depan pihaknya akan koordinasikan ke PPATK. Tito mengaku, akan mendalami informasi PPATK lebih lanjut untuk mengetahui validitas faktanya. Ia juga mempersilakan lembaga penegak hukum untuk ikut menyelidiki informasi tersebut. Bagaimana dengan KPK? KPK masih menunggu langkah lanjutan dari PPATK terkait pencucian uang yang dilakukan kepala daerah tersebut. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang belum bisa memastikan apakah pihaknya sudah menerima laporan PPATK terkait temuan dugaan pencucian uang tersebut. “Saya harus cek dulu ya,” kata Saut saat dihubungi CNNIndonesia.com,Senin (16/12/2019). Pihaknya akan menindaklanjuti jika sudah menerima hasil temuan itu dari PPATK, terutama untuk mengusut ada tidaknya dugaan tindak pidana korupsi di dalamnya. Menurut dia, sesuai dengan kewenangan KPK, pihaknya masih bergantung pada langkah lanjutan dari PPATK. Karena informasi itu merupakan milik PPATK yang punya wewenang sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Akan didalami seperti apa informasi intelijen PPATK itu bisa dikembangkan dan mencari pelaku tipikornya sesuai kewenangan KPK. Itu informasi intelijen (PPATK),” kata Saut. Apa yang diungkap PPATK itu bukan isapan jempol. Bahkan, tak hanya kepala daerah saja yang “bermain” dan cuci uang di kasino di luar negeri, seperti Macau. Menariknya, kali ini bukan kepala daerah, tapi anggota dewan “yang terhormat”. Nilainya fantastis! Konon, mencapai Rp 700 miliar. Karena, kalau main, dia tidak pernah kalau, selalu menang. Siapa beliau? *** Penulis wartawan senior.

Aji Mumpung atau Politik Dinasti Jokowi: Anak-Menantu Maju Pilkada 2020

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Saat Agus Harimurty Yudhoyono maju Pilkada DKI Jakarta pada 2017, publik pun langsung menuding, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sedang membangun politik dinasti. Padahal, kala itu SBY sudah tidak menjabat presiden lagi. Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon menyinggung perihal nilai yang dipegang SBY. Ia menyebut, saat masih menjabat presiden SBY melarang anggota keluarga untuk mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada. “Pak SBY ketika itu berpikir presiden itu kan contoh kehidupan berbangsa,” tuturnya. Jansen menyatakan bahwa SBY kala itu enggan membentuk politik dinasti. “Jadi, dengan saya tidak memajukan saya saja di Pilkada, di daerah itu kan tumbuh politik dinasti,” kata SBY. “Apalagi kemudian kalau presiden yang sedang menjabat memajukan anak atau menantunya ke kontestasi Pilkada,” sindir Jansen, seperti dilansir TribunWow.com, Selasa (17 Desember 2019 10:11). Yang dimaksud Jansen itu adalah anak dan menantu Presiden Joko Widodo yang kini maju pada Pilkada 2020. Yakni, Gibran Rakabuming Raka yang maju pada Pilkada Kota Solo dan Bobby Nasution pada Pilkada Kota Medan. Pengamat Politik Adi Prayitno sayangkan langkah politik Gibran dan Bobby yang kemudian menyebutkan, Indonesia kini memasuki generasi keempat politik dinasti. Direktur Eksekutif Parameter Politik ini menyatakan ketidaksetujuannya atas langkah Gibran dan Bobby itu. Langkah politik tersebut dirasa Adi tidak sejalan dengan apa yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi soal pernyataan tidak ikut sertakan keluarga dalam dunia politik. Bahwa pernyataan-pernyataan yang pernah dikeluarkan Jokowi soal partisipasi keluarga dalam ranah politik. “Menurut saya yang bikin dunia ini seakan runtuh karena Jokowi dalam banyak kesempatan bahkan dalam kampanyenya menyatakan tidak akan menyertakan keluarga besarnya dalam politik,” katanya dalam acara 'DUA ARAH' KompasTv, Senin (16/12/2019). Kehebohan majunya Gibran dan Bobby berdasarkan penjelasan Adi terjadi karena pernyataan Jokowi untuk tak ikut sertakan keluarga di ranah politik. Itu yang menjadi perdebatan, kenapa misalnya ada Bobby dan Gibran itu menjadi penting dalam satu diskursus dinasti politik. Menurut penilaian Adi, Jokowi memiliki nilai pembeda yang unik dibandingkan presiden-presiden sebelumnya. Keunikan tersebut adalah tidak mengajak keluarga terjun ke dunia politik. Namun, masuknya Gibran dan Bobby dalam kontestasi Pilkada, menurut Adi adalah bentuk nyata dari politik dinasti. “Tentu apa yang terjadi hari ini, itu beyond theory (di luar teori), beyond (di luar) sangkalan-sangkalan,” kata Adi. “Pak Jokowi sejak awal dianggap sebagai presiden yang memiliki nilai pembeda dengan presiden-presiden sebelumnya yang selalu mengajak keluarga besarnya menjadi bagian penting dalam politik,” ungkap Adi lagi. “Kalau mau kita sebut sebenarnya masuknya Gibran dan Bobby dalam lingkaran kekuasan politik, ini adalah bagian dari generasi keempat politik dinasti di Indonesia,” tambahnya, seperti dilansir TribunWow.com. Sebelumnya, politik dinasti juga terjadi di beberapa daerah saat Pilkada. Beberapa Kepala Daerah pernah “mewariskan” kepada anak istrinya. Di Bangkalan, misalnya, almarhum KH Fuad Amin Imron telah mewariskan kepada putranya. Di Kabupaten Probolinggo, Bupati Probolinggo juga mewariskan jabatannya kepada istrinya. Begitu pula Walikota Batu sebelumnya telah mewariskan jabatannya kepada istrinya. Itulah contoh politik dinasti yang terjadi di Jawa Timur. Pengamat Politik Hendri Satrio menyebut pencalonan Gibran merupakan ajang aji mumpung. Menurutnya, Gibran memanfaatkan nama besar sang ayah, Presiden Jokowi. Dalam tayangan YouTube KompasTV, Kamis (12/12/2019), Hendri menyebut ini momentum yang baik bagi Gibran untuk memenangkan Pilkada 2020. Mulanya, Hendri menyoroti keputusan Jokowi yang mengizinkan Gibran mencalonkan diri sebagai calon wali kota Solo 2020. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution yang juga turut mencalonkan diri di Pilkada Medan 2020. “Kalau kemudian Pak Jokowi mempersilakan anak dan menantunya untuk maju di perhelatan Pilkada pada saat dia menjadi presiden, ini memang hal baru,” ujar Hendri. Namun, menurut Hendri banyak kasus serupa yang terjadi di daerah-daerah. “Tapi untuk seluruh Indonesia ini bukan hal baru karena memang banyak terjadi bahkan ada suaminya jadi bupati misalnya mempersiapkan istrinya menggantikan dirinya nanti, itu ada,” kata Hendri. Ia menyebut pencalonan Gibran dan Bobby pada Pilkada 2020 merupakan hal yang wajar. “Tapi pada saat kita memutuskan untuk memiliki demokrasi sebagai sistem pemerintahan hal-hal ini akan jadi wajar,” ujar Hendri. Ketua Bapilu DPP PDI-P Bambang Wuryanto berpendapat bahwa politik dinasti merupakan hal yang biasa terjadi. Hal itu ia katakan dalam menanggapi sejumlah kritik yang menganggap Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik. "Politik dinasti di wilayah dunia timur yang kayak gini, biasa. Bahwa dinasti atau tidak dinasti, kita ini di timur ada jarak dengan kekuasaan, itu biasa," ujar Bambang di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (11/12/2019). Kepada Jokowi Yth Presiden Jokowi. Dengan majunya Gibran putra kandung Bapak sebagai Cawalkot Solo melalui jalur PDI-P, dan Bobby menantu Bapak sebagai Cawalkot Medan melalui jalur Golkar, Bapak sedang menuju kepada pembuktian atas apa yang dituduhkan 45% rakyat Indonesia mengenai berbagai kebohongan dan politik pencitraan yang dilakukan selama 5 tahun yang lalu. Sekaligus perjalanan selama lima tahun ke depan sebagai pengkhiatan atas kepercayaan 55% pendukung Bapak. Padahal baru 55 hari pemerintahan periode kedua Bapak berjalan. Politik balas budi selamanya tidak akan pernah membuat negara manapun berjaya. Politik balas budi akan membuat rakyat sebagai pemilik sejati negara ini, akan menjadi budak bagi negaranya sendiri. Infrastruktur yang terbangun gegap gempita adalah panggung pencitraan terang benderang sekaligus menunjukkan betapa gelapnya jalan menuju penguasaan kekuasaan dan pemusatan sumber keuangan negara di tangan segelintir orang saja di bumi pertiwi ini. Ada 142 BUMN bersama dengan 800 perusahaan anak dan cucunya membuktikan bahwa pengerukan kekayaan negara, praktek money laundrying, korupsi, oligarki, manipulasi, dan nepotisme terus berlangsung sepanjang waktu, siapapun Presidennya, di negara Indonesia ini. Saya tidak katakan Bapak jahat kepada rakyat. Tetapi siapapun yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, di pucuk pimpinan negara maupun daerah, ketika hanya memikirkan kelanggengan kekuasaan dan pemusatan kekayaan, terbukti telah membuat negara ini menjadi penjahat kolektif bagi rakyatnya sendiri secara sistemik dan sistematis. Bapak akan jahat bila membiarkan semua ini terjadi. Dan kejahatan modern yang paling berat dan paling bengis adalah ketika siapapun pemimpinnya, tega memangsa rakyatnya sendiri. Terpuruknya kesehatan rakyat dari tahun ke tahun, jumlah kesakitan yang semakin meningkat, jenjang kekayaan dan kemiskinan sebesar 630.000 dibanding 1 di negara ini, BPJS sebagai perusahaan asuransi kesehatan yang mewajibkan setiap warga negaranya menjadi nasabahnya dengan paksaan, adalah bentuk penindasan negara kepada rakyatnya yang sungguh-sungguh tidak bisa ditoleransi. Rakyat Indonesia, yang membutuhkan Ibu yaitu bumi pertiwi dan Bapak yaitu pemerintah yang bijak bestari, telah menjadi yatim piatu di negara miliknya sendiri. Semoga apa yang saya tulis di atas salah. Walaupun saya sangat optimis bahwa apa yang saya tulis adalah benar. Semoga Allah swt memberi hidayah bagi Bapak dan keluarga. Jangan sampai kekuasaan yang digenggam menjadikan kemudharatan yang menghancurkan kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Saya perhatikan Markobar di banyak kota sepi pengunjung. Dan martabaknya sangat manis, menjadi penyumbang terjadinya Diabetes dan Kanker pada anak, remaja, dan generasi muda. Rasanya juga tidak istimewa. Biasa-biasa saja. Gibran masih harus belajar bisnis makanan yang membuat sehat rakyat, bukan hanya sekedar menguntungkan. @Tifauzia Tyassuma Dokter, Peneliti, dan Penulis Jika Presiden Jokowi tetap meluluskan niatan Gibran dan Bobby maju Pilkada 2010, Jokowi akan dinilai rakyat sedang membangun politik dinasti. Bahkan, rakyat akan menilai, ternyata keluarga Jokowi juga “haus kuasa”. Jika keduanya tetap bersikeras maju, Jokowi justru “terjebak” dalam citra negatif yang sangat mematikan! *** Penulis wartawan senior.