OPINI
Sebab-musabab Rusuh Papua. Karena Penghianatan Elite Politik?
Pengkhianatan terhadap bangsa dan negara adalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran sejarah bangsa dan negara yang tersurat dalam Pancasila dan UUD 1945. Termasuk pengingkaran terhadap ketetapan suci Bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan keringat dan darah pejuang. Jakarta, FNN - Negara Kesatuan Republik Indoneaia (NKRI) baru saja merayakan hari ulang tahun yang ke-74. Hari ulang tahun kemerdekaan biasanya dirayakan sebagai momen bersuka cita. Berbangga karena momen bersejarah lepas dari penjajahan. Karena persatuan, kita mencapai kemerdekaan. Maknanya merdeka itu bersatu. Namun pada bulan kemerdekaan kemarin tepatnya pada tanggal 19 Januari 2019 rakyat indonesia dibuat khwatir. Bukannya hari kebahagiaan “persatuan” malah menjadi hari kericuhan “pertengkaran”. Rakyat Papua turun ke jalan melakukan protes kepada pemerintah, yang berujung kantor-kantor pemerintahan menjadi sasaran amukan massa. Protes ini berlangsung di Papua Barat dan Papua. Hal ini diduga karena perlakuan tidak wajar terhadap mahasiswa papua di Surabaya dan Malang, yang berbuntut papua minta merdeka. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Keliatan wajah NKRI mulai muram. Apakah karena ada satu dan lain hal terkait para elite negara indonesia di Jakarta?. Daerah yang terletak paling timur indonesia ini memanas. Pemerintah pusat mulai sibuk “grasak-grusuk”mencari solusi. Hingga Panglima TNI dan Kapolri harus berkantor di wilayah papua. Saat ini, Bumi cendrawasih menjadi fokus para elite negara. Hingga segala sektor kehidupan di daerah tersebut dibahas oleh pemerintah pusat. Pasalnya masalah ini menjadi tranding. Elite di Jakarta tidak menginginkan papua lepas dari NKRI, karena tindakan tersebut merupakan pengkhianatan kepada NKRI yang memiliki sejarah yang sama. Lain halnya dengan masalah papua. Para elite negara indonesia tampil ke publik secara terang-terangan mengajukan gagasan untuk amandemen UUD 1945 lagi. Bahkan para elite politik merencanakan akan menambahkan sepuluh kursi untuk pimpinan MPR. Bukannya memikirkan NKRI lagi serius terhadap ancaman disintegrasi bangsa yang menganga di depan mata, para elite negara “gontok-gontokan” merebut jabatan kekuasaan. Ada apa di negara kita?. Apakah ini yang dinamakan the will of power? Saking percaya diri. Elite politik lupa bahwa tujuan amandemen itu untuk siapa. Rakyat kah?, partai politik kah? kelompok tertentu kah?, atau agenda lain?. Entah mereka paham atau tidak. Namun kedudukan para elite negara ini mencerminkan mereka sebagai orang-orang yang pandai. Gagasannya untuk mengganti UUD 1945 dan tatanan sistem NKRI yang merupakan budaya bangsa Indonesia akan terjawab dengan masalah papua hari ini. Bukankah UUD 1945 merupakan manifestasi budaya bangsa sebagai suatu fakta sejarah?. Kalau iya. Maka, amandemen UUD 1945 merupakan agenda perubahan budaya bangsa indonesia ya?. artinya para elite mengingkari fakta sejarah. Apakah tindakan pengingkaran ini adalah suatu penghianatan terhadap bangsa dan negara indonesia?. Sudah barang tentu suatu pengkhianatan yang amat besar. Pengkhianatan terhadap bangsa dan negara adalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran sejarah bangsa dan negara yang tersurat dalam Pancasila dan UUD 1945. Termasuk pengingkaran terhadap ketetapan suci bangsa indonesia yang diperjuangkan dengan keringat dan darah pejuang. Apa bedanya Papua minta merdeka yang dicap sebagai sebuah penghianatan terhadap NKRI dengan para elite politik negara yang mengganti sistem NKRI yang merupakan manifestasi budaya bangsa indonesia sebagai fakta sejarah. Tidak kah disebut pengkhianatan? Mengapa rakyat papua dituduh berkhianat sementara para elite bangsa indonesia yang merubah UUD 1945 bebas dari tuntutan?. Bukankah Penghianatan itu bentuk makar terhadap Bangsa Indonesia dan sejarahnya?. Apakah papua minta merdeka karena Pemerintah Pusat tidak adil "Berkhianat" Kepada sejarah yang berujung kesenjangan kepada papua?. Sudah barang tentu hal tersebut menjadi suatu mata rantai yang tidak terpisahkan. Logika struktur adalah dari pusat ke daerah. Pemerintah tidak adil "ngaco" pastinya daerah pun demikian. Harusnya pemerintah memberikan contoh kepada rakyatnya. Bagai air mengalir dari hulu ke hilir, kalau hulunya kotor pasti hilir ikut keruh. Apakah kedua kejadian ini memiliki kesamaan?. Karena papua menyuarakan merdeka disebut sebagai penghianatan kepada NKRI dan para elite negara yang mengganti UUD 1945 sebagai budaya bangsa indonesia menjadi budaya asing tidak disebut penghianatan kepada NKRI?. Seyogyanya sistem NKRI ini harus sejalan dengan 20 Mei 1908, 2 Mei 1920, 28 Oktober 1928, 1 Juni 1945, 17 Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945 malah diubah menjadi sistem asing yang potensinya membenturkan sesama anak bangsa. Padahal Papua adalah masalah laten yang terus-menerus terjadi dan dapat dipastikan akar masalah yang sesungguhnya. Jika elite negara di Jakarta benar-benar serius menyelesaikan masalah papua, sudah dari dulu masalah tersebut teratasi. Masalah papua adalah puncak gunung es dari berbagai persoalan di Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, KKN yg kian menggila, politik yg oligarkis, dan krisis Ekonomi yg mengancam mengakibatkan sentimen muncul dari seluruh wilayah di Indonesia. Sentimen kedaerahan muncul karena lemahnya nalar berbangsa para elite, lemahnya nalar berbangsa karena basis logikanya sudah dirusak dengan pola sistem didalam amandemen UUD 1945. Jika para elite negara hanya mementingkan keluarganya, kelompoknya, partainya dan tidak menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) maka keadaannya terus menerus terjadi seperti ini. Apalagi langkah-langkah yang ditempuh pemerintah hanya cenderung mengobati dan menggunakan cara-cara kuno “mengkambing-hitamkan” kelompok-kelompok tertentu sebagai peredam, maka kita akan menyaksikan keadaan yang sama di daerah lain di indonesia. Hari ini kita melihat gejolak di papua. Besok kita akan melihat semua daerah di indonesia melakukan hal yang sama. Luka di NKRI sudah meradang dan menganga. Hanya menunggu waktu dan momentum maka NKRI menjadi berserakan. Karena pengkhianatan terhadap sejarah bangsa berujung ketidakadilan. Sungguh mereka membuat makar kepada NKRI dan sejarahnya. Namun kebenaran bangsa akan mencari jalannya sendiri. Karena sadar atau tidak. Kita, Anak bangsa Indonesia sementara dilatih menjadi manusia penghianat yang mengingkari perjuangan pendahulu kita.
Ironisnya RKUHP: Ancaman Wartawan, Ringankan Koruptor
Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR mengancam kebebasan pers. Salah satu isi pasal itu memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden. AJI Indonesia dan LBH Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan. AJI menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang. “Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito pada Selasa (03/09/2019). RKUHP dijadwalkan untuk disahkan pada akhir September 2019 ini. Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi memastikan, RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan ini meskipun diwarnai protes. Sejak 2016, AJI telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR. “Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” kata Sasmito. Dalam lima tahun terakhir, dalam catatan AJI, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya, jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sendiri menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. “Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito, seperti dilansir BBC.com, Rabu (4/9/2019). Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Karena DP itu dasar semua tindakannya itu UU Pers. Tidak mungkin pada UU yang lain,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (03/09/2019). DP juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. “DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry yang akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan 'tindak pidana pers'. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana. “Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal. Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09/2019). Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR mungkin hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim. “Jadi, nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut,” ungkap anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi. Pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan. Menurut Taufiq, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim. Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers. “Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal,” kata Taufiq. Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara. “Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik,” tambah Taufiq. Namun, menurut Fickar, pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, sulit bagi pers untuk dilarang meliput. “Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241. Pasalnya, presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar dan pendapat. “Karena jabatan (presiden) memang untuk dikritisi. Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi,” tambahnya. Ringankan Koruptor Pasal-pasal yang menyangkut kebebasan pers, bertolak belakang dengan pasal-pasal untuk terpidana korupsi. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. “Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya,” katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit mengembalikan kerugian negara. “Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah,” katanya. Melansir BBC Indonesia, berdasarkan draf RKUHP, setidaknya ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara. Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta. Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” jelas Zaenur. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Antara “ancaman” terhadap wartawan dengan para koruptor diperlakukan berbeda. Kriminalisasi pada wartawan atau warganet yang mengkritisi kebijakan Presiden bisa dianggap “menghina presiden”. Tampaknya, pasal “menghina presiden” ini sengaja dipertahankan DPR bukan semata-mana untuk menjaga kewibawaan Presiden Joko Widodo. Tapi, sebagai “jaminan keamaman” dari DPR kepada Presiden Jokowi. Seperti diketahui, selama 4 tahun terakhir, menjelang akhir jabatan, Presiden Jokowi banyak dikritisi oleh wartawan maupun warganet terkait dengan kebijakannya yang dianggap telah merugikan rakyat. Inilah yang sering ditulis wartawan yang kritis. Untuk mengantisipasi dan membungkam “suara rakyat” itulah maka Presiden Jokowi diberi “jaminan keamanan” oleh DPR. Sebagai balasannya, koruptor diringanin hukumannya.
Yang Harus Dilarang Itu Memuja-muji Presiden, Bukan Menghinanya
Karena itu, salah besar kalau kita berasumsi bahwa kemuliaan seorang presiden bisa diciptakan dengan pembuatan pasal-pasal penghinaan. Sangat keliru dan sangat feodalistik jika Anda berpendapat bahwa seorang presiden akan mengukir kemuliaan dengan memenjarakan para penghinanya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabarnya, saat ini sedang diproses pembuatan pasal-pasal tentang penghinaan presiden. Pasal-pasal itu telah dicantumkan ke dalam RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Sudah disepakati oleh DPR. Tinggal ketuk palu. Kalau sudah diketuk, para terdakwa penghina bisa masuk penjara empat setengah tahun. Presiden mungkin puas bisa memenjarakan orang yang menghina dia. Tapi salah kaprah. Kalau pasal penghinaan presiden disahkan. Rugilah rakyat. Rugi besar. Kenapa? Karena beberapa hal. Pertama, seorang presiden pada dasarnya adalah orang yang hina. Dia mengemis kepada rakyat minta dipilih menjadi presiden. Sering pula dia terpaksa membeli suara. Hina sekali, bukan? Kedua, presiden itu pejabat publik. Dia pasti sudah tahu risiko yang akan dihadapi. Presiden itu dipilih bukan untuk dipuji-puji. Dia didudukkan untuk dikritik. Dikritik tajam. Saking tajamnya terkadang tak beda dengan penghinaan. Sebetulnya presiden tidak perlu tersinggung, atau merasa terhina. Sebab, dia sudah dimuliakan secara konstitusional. Dia menjadi kepala negara, dia menjadi panglima tertinggi, dan dia dibekali kekuasaan yang besar. Dengan kekuasaannya itu, presiden dimuliakan di mana-mana. Dia juga banyak dipuji dan ditakuti. Para jenderal bintang empat selalu merunduk di depan dia. Singkatnya, kemuliaan yang paling masif untuk manusia, ada pada presiden. Karena itu, sangat wajar kalau kemuliaan presiden itu diimbangi dengan penghinaan. Tentunya penghinaan yang memiliki dasar yang masuk akal. Supaya dia tidak menjadi angkuh. Tidak sombong. Kalau si presiden memang hebat, visioner, adil, taat, tidak korupsi, maka hampir pasti tidak ada alasan untuk menghina dia. Tapi, kalau sebaliknya si presiden sok pintar, sok kuasa, tidak memihak rakyat, dan kerjanya menggadaikan kedaulatan negara, maka sangat wajarlah dia dihina baik disengaja apalagi tak disengaja. Karena dia memang hina. Ketiga, presiden itu perlu dihina agar Indonesia ini bisa memiliki kepala negara yang tangguh, jujur, dan berkemampuan. Sehingga, di masa-masa selanjutnya otomatis akan muncul tokoh yang mendekati kesempurnaan. Yang tak mampu paati tak berani muncul. Keempat, presiden yang mulia itu tidak pernah merasa hina. Sebagai contoh, Gubernur DKI Anies Baswedan tidak pernah merasa teesinggung atau terhina di tengah hujan penghinaan terhadap dirinya. Anies malah merasa terhormat ketika dia dihina. Karena dia yakin dirinya tidak hina dan apa yang dia kerjakan sebagai gubernur juga tidak hina. Dia tidak punya beban keterhinaan. Nah, orang seperri Anies ini, kalau dia menjadi presiden, tidak akan menuntut pembuatan pasal penghiinaan presiden. Karena bagi dia, penghinaan akan dijadikan peluang untuk menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Anies tidak perlu dibantu dengan pasal-pasal penghinaan untuk meraih kemuliaan. Karena itu, salah besar kalau kita berasumsi bahwa kemuliaan seorang presiden bisa diciptakan dengan pembuatan pasal-pasal penghinaan. Sangat keliru dan sangat feodalistik jika Anda berpendapat bahwa seorang presiden akan mengukir kemuliaan dengan memenjarakan para penghinanya. Jadi, demi Indonesia yang lebih baik, yang harus dilarang adalah memuja-muji presiden. Bukan menghinanya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa rata-rata presiden terjerembab dalam kehinaan karena puja-puji. Sebaliknya, seorang presiden yang pantas dimuliakan akan tetap mulia meskipun dia setiap hari dia dihina-hina.
Langit Suram Ekonomi Dunia
Argentina dalam kubangan krisis. Dan ekonomi terbesar ketiga di kawasan Amerika Latin tersebut tengah berjuang menghindari krisis yang kian dalam. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Awan pekat menyelimuti ekonomi global. Para investor berupaya menyelamatkan asetnya. Mereka menahan diri untuk mengembangkan duitnya. Sejumlah negara sudah masuk jurang resisi. Sampai kini, kondisi masih sulit diprediksi. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat memperburuk keadaan. Belum lagi pengaruh hard Brexit dan krisis Argentina Sejak Senin (2/9) dini hari, rakyat Argentina antre di bank-bank untuk menarik dana mereka, jauh sebelum bank buka. Para nasabah ini menunggu untuk menarik dana setelah pemerintah Argentina memberlakukan kontrol mata uang sebagai upaya menstabilkan pasar keuangan, sejak Minggu (1/9). Argentina dalam kubangan krisis. Dan ekonomi terbesar ketiga di kawasan Amerika Latin tersebut tengah berjuang menghindari krisis yang kian dalam. Langkah-langkah sementara tersebut memungkinkan pemerintah membatasi pembelian mata uang asing setelah terjadi kemerosotan nilai mata uang peso yang sangat sensitif. Saat ini, semua perusahaan harus meminta izin dari bank sentral Argentina untuk menjual peso dan membeli mata uang asing untuk melakukan transfer ke luar negeri. Langkah terbaru tersebut mengikuti pengumuman pemerintah untuk menunda pembayaran utang sebesar US$100 miliar. Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) mengatakan, surat utang tersebut telah masuk dalam ketegori default atau berpeluang gagal bayar. Nilai tukar peso jatuh ke titik terendahnya bulan lalu, atau merosot hingga lebih dari 30% sejak pemilihan umum pada Agustus 2019. Pelaku pasar mengharapkan beberapa bentuk kontrol modal dari pemerintah Argentina. Namun, ada yang khawatir langkah itu dapat membahayakan pencairan dana IMF terbaru dari program bailout bersejarah senilai US$57 miliar. Tak hanya Argentina. Aura gloomy sudah menerpa berbagai negara. Turki berada di pintu neraka resesi. Pada periode April-Juni 2019, ekonomi Negeri Kebab itu terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Pada kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY. Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY pada tahun yang sama. Mengacu pada definisi ini, Turki sudah masuk ke jurang resesi. Data Purchasing Managers' Index Awan gelap juga menyelimuti sejumlah negara. Salah satu indikator yang dipantau oleh pasar adalah data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini memberi gambaran apakah dunia usaha melakukan ekspansi, menahan diri, atau justru mengalami kontraksi. Di AS, angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2. Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016. Negara-negara lain tak jauh beda. PMI Singapura versi IHS/Markit periode Agustus tercatat 48,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 51. Dunia usaha di Negeri Singa sedang letoy. Angka PMI Agustus ini menjadi yang paling rendah dalam tujuh tahun terakhir. PMI Hong Kong versi Markit pada Agustus tercatat 40,8, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,8. Lagi-lagi angka di bawah 50. Sudah 17 bulan terakhir dunia usaha di bekas koloni Inggris ini mengalami kontraksi. Bahkan angka Agustus menjadi yang terendah sejak Februari 2009. Selamatkan Aset Ekonomi benar-benar dalam ketidakpastian. “Semakin ke sini semakin sulit memperkirakan arahnya ke mana. Ini juga dipengaruhi hard Brexit dan krisis Argentina," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Nanang Hendarsah, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (4/9). Saat ini, nilai tukar negara maju dengan kekuatan ekonomi besar tengah melemah. Yen melemah, franc melemah, sebagai safe haven baru. Sedangkan rupiah membaik, tapi tidak bergerak banyak. Sejak awal tahun rupiah masih terapresiasi 1%. Padahal emerging market semua terdepresiasi secara year to date. Nanang memperingatkan, meski ada outflow karena ketidakpastian global, tetap waspada. “Setiap hari bisa berubah. Risk dari trade war ini harus dianggap biasa, karena tak ada outlook yang jelas," terangnya. Sinyal lain juga diperlihatkan Berkshire Hathaway Inc., perusahaan induk milik investor ternama di pasar saham dunia, Warren Buffett. Perusahaan ini membukukan total kas hingga US$122 miliar atau setara dengan Rp1.732,4 triliun hingga akhir Juni 2019. Tingginya likuiditas perusahaan berkode saham BRK di New York Stock Exchange (NYSE) ini menjadi 'peringatan' bagi pelaku pasar karena secara tidak langsung investasi di pasar saham dinilai terlalu mahal dan bisa juga menjadi indikasi kesulitan keuangan dalam waktu dekat. Pasalnya jumlah kas yang luar biasa besar tersebut sejatinya dapat digunakan untuk meningkatkan porsi kepemilikan atas saham Apple, Amazon, Bank of America atau bisa juga dimanfaatkan mengakuisisi perusahaan sebagaimana yang dilakukan Buffet sebelumnya. Akan tetapi, Buffet memilih untuk tidak menggunakannya. BRK membawahi sekitar 66 perusahaan di antaranya General Re, Duracell, Helzberg Diamonds, Benjamin Moore & Co, Berkshire Hathaway Automotive, dan Justin Brands. Posisi kas BRK pada semester I-2019 setara dengan 60% dari total portofolio perusahaan dengan nilai mencapai US$208 miliar. Bloomberg mencatat bahwa dalam 32 tahun terakhir, jumlah kas yang mendominasi portofolio BRK hanya tercatat pada tahun-tahun menjelang krisis, seperti krisis keuangan 2008, dikutip dari Market Insiders. Menerawang langit ekonomi yang tampak suram, sulit memprediksi apa yang bakal terjadi ke depan. Bagi investor, ketimbang menduga-duga dengan diliputi rasa cemas, lebih baik wait and see dulu. End
Sahkan Revisi UU KPK, DPR Tak Mau Korupsi Dibasmi
Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK: kurang ajar. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Waspadai manuver para koruptor. Sekarang, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dipangkas habis. Tidak ada gunanya lagi. Yang berkuasa nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. Ada semacam “board of directors” (dewas direktur) yang akan mengendalikan kerja KPK. Hampir pasti, para koruptor atau siapa saja yang berkepentingan akan bisa menyusup ke DP. Mereka bisa ‘order’ apa yang mereka inginkan. Bisa ‘order’ agar kasus si anu dihentikan, agar kasus ini dikaburkan, agar kasus itu didiamkan. Satu kata: kurang ajar. Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK. Proses pengebirian ini berlangsung di DPR. Atas inisiatif lembaga wakil rakyat ini. Hebatnya, semua fraksi setuju. Yang mereka sepakati itu adalah revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, kemarin (Kamis, 5/9/2019) Ini poin-poin penting yang akan membuat KPK menjadi singa ompong. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telefon dan penggeledahan. Kalau DP tak setuju, tidak bisa dilaksanakan. Ini tentu celah yang berbahaya. Oknum DP bisa saja nanti memberitahukan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Bisa diterbitkan semacam SP3. Ini juga bisa membuka peluang untuk ‘deal’. Nantinya bisa saja oknum DP mengarahkan agar kasus seseorang dihentikan saja oleh KPK. Yang tak kalah penting adalah status karyawan KPK akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telefon. Ini yang justeru dipangkas oleh DPR. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang kena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak adalah dari fraksi PDIP. Dan di DPR-RI, fraksi PDIP-lah yang terbesar. Itu artinya, revisi ini menjadi tanggung jawab PDIP. Mereka inilah yang menjadi penentu di DPR. Kalau mereka tak setuju, pasti revisi tidak akan terjadi. Fraksi yang kedua adalah Golkar. Partai ini juga mencatat sekian banyak kadernya dijaring KPK lewat OTT. Begitu juga Partai Nasdem, Partai Demorkrat, Partai Gerindra, dll. Jadi, publik sekarang tahu bahwa DPR tidak menghendaki korupsi diberantas dan dicegah di Indonesia ini. Mereka sebaliknya menginginkan agar kader-kader mereka tetap bisa bebas mencuri uang negara atau memperkaya diri sendiri melalui wewenang yang mereka miliki di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketua KPK Agus Rahardjo menggelar jumpa pers, kemarin (5/9/2019). Dia mengatakan KPK sedang beradada di ujung tanduk. Agus tidak menjelaskan apakah itu tanduk banteng PDIP atau tanduk-tanduk yang sedang bermunculan di kepala para anggota DPR yang sangat bersemangat dengan revisi ini. Diberitakan bahwa DPR akan memburu pengesahan revisi sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.*** 6 September 2019
Anak Kesayangan Rini Soemarno Terjerat Manisnya Gula
Oleh Rudi S Kamri Jakarta, FNN - Kemaren Pimpinan KPK mengumumkan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap I Kadek Kertha Laksana, Direktur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Setelah ditelusuri, Kadek Kertha ternyata hanya orang suruhan dari Direktur Utama PTPN III Dolly P Pulungan. OTT ini terkait kongkalikong impor gula dan hal ini terkait juga dengan boss besar raksasa importir gula PT Fajar Mulia Transindo, Pieko Nyotosetiadi. KPK menduga suap sebesar SGD 345.000 bukan yang pertama diterima Dolly dari Pieko. Dan saya juga sangat percaya dan meyakini dugaan dari KPK tersebut. Karena dengan melihat kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 6 juta ton per tahun dan produksi domestik hanya sekitar 2,5 juta ton. Masih ada 3,5 juta ton gula yang harus diimpor oleh PTPN III selaku holding BUMN Perkebunan. Dan PT Fajar Mulia Transindo adalah pemain besar dalam importir gula. Jadi sudah bisa anda bayangkan berapa besarnya uang yang bermain dalam patgulalipat bisnis gula ini. Jadi sangat masuk akal dugaan KPK bahwa uang suap SGD 345 ribu bukan keseluruhan fee atas permufakatan jahat ini. Siapakah Dolly Pulungan? Laki-laki kelahiran Surabaya, 25 Oktober 1963 ini dikenal publik merupakan salah satu anak kesayangan Menteri BUMN Rini Soemarno. Karena kedekatannya dengan sang ibu Menteri yang lajang ini, Dolly bisa leluasa mengelana di beberapa BUMN. Dalam hitungan bulan, seseorang bisa menduduki jabatan pimpinan puncak di beberapa BUMN. Ini luar bisa TAPI sangat tidak wajar. Dan ini dialami oleh seorang Dolly Pulungan. Sebagai catatan, Dolly Pulungan pernah tercatat sebagai Direktur Keuangan PTPN X, Direktur Utama PTPN XI, Direktur Utama Berdikari dan Direktur Utama PT Garam (Persero). Masih panjang lagi pengelanaan Dolly, September 2017 diangkat jadi Direktur Utama PTPN VII, hanya beberapa bulan disana dia lalu diangkat jadi Wakil Direktur Utama PTPN III cuma sesaat lalu hap.... Februari 2018 Dolly meloncat jadi Direktur Utama PTPN III yang merupakan perusahaan induk BUMN perkebunan. Waaaar byaasaah...... Bagaimana mungkin hanya dalam hitungan bulan seseorang bisa meloncat ke sana ke mari menjelajah beberapa BUMN? Kenapa tidak mungkin? Bagi orang yang tergabung dalam kelompok paduan suara "Rini Boys" tidak ada yang tidak mungkin. Tapi waktu membuktikan, tidak selamanya mereka bisa tertawa-tawa jumawa. Kali ini salah seorang anggota "Rini Boys" tersungkur dan terjerat manisnya gula. Syukur Alhamdulillah. Kelakuan jahat para mafia gula ini jelas merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Menteri BUMN dan anak buahnya dalam penyediaan kebutuhan gula nasional. Hal ini juga berakibat penyengsaraan rakyat karena menyebabkan harga gula menjadi tinggi. Apakah harus didiamkan ? Sebagai bagian dari rakyat kecil yang masih mengkonsumsi gula, saya harus marah dengan kongkalikong para begundal pemburu rente ini. Suara rakyat ini harus didengarkan oleh Presiden Jokowi agar jangan lagi ada orang yang berkuasa mutlak atas perusahaan negara seperti Rini Soemarno dalam kabinet Jokowi jilid II nanti. Karena akan menciptakan persekutuan jahat yang menyebabkan rakyat menanggung akibatnya. Dolly Pulungan hanya pemain kroco dan remah rengginang dalam permainan jahat ini. Dia harus dihukum berat agar menciptakan efek jera yang kuat. Tapi tidakkah Sang Menteri tidak tahu menahu dan bebas kecipratan dari uang setan ini ? Entahlah saya tidak yakin..... Saatnya bersih-bersih kolam Bapak Presiden !!! Salam SATU Indonesia.
Sri, Sebenarnya Kamu Kerja untuk Siapa?
Surat terbuka buat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Aku mau to the point saja. Sri, sebenarnya kamu kerja untuk siapa? Sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia, bukankah semestinya kamu kerja untuk rakyat Indonesia? Bukankah gaji dan seabrek fasilitas serba wah yang kamu nikmati itu dibayari oleh rakyat Indonesia? Bukankah dalam sumpah yang kamu ucapkan waktu dilantik sebagai menteri antara lain berbunyi: “Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia19945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia.” Sri, sumpahmu itu berat, lho. Apalagi kalau tidak salah, sebelum bersumpah, kalian para menteri yang muslim, termasuk kamu, mengatakan “demi Allah aku bersumpah...” Sumpah itu menyebut-nyebut asma Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Sumpah itu berimplikasi pada tanggungjawab dunia dan akhirat. Allah pasti akan mintai pertanggungjawabannya. Maksudku, itu kalau kamu percaya adanya kehidupan setelah mati, di akhirat. Tapi, terlepas kamu percaya atau tidak dengan balasan di akhirat kelak atas segala perbuatan di dunia, yang pasti kamu sudah bersumpah. Kamu juga sudah menikmati gaji dan bergelimang fasilitas sebagai menteri yang dibayari semuanya oleh rakyat Indonesia. Secara etik, mestinya kamu harusnya merasa punya utang budi kepada rakyat Indonesia. Kamu punya tanggungjawab moral untuk memenuhi sumpah kamu itu. Tapi Sri, kenapa justru perilakumu menabrak sumpah suci itu? Kenapa segala kebijakanmu justru banyak menyusahkan rakyat? Aku tidak mau membahas bagaimana kamu gigih memperjuangkan dan mengusung ekonomi neolib yang terbukti di banyak negara, dan juga di negeri kita, gagal mensejahterakan rayat. Aku juga tidak berminat menyoal hobimu membuat utang ribuan triliun dengan bunga supertinggi. Aku pun tidak mau singgung soal dari tahun ke tahun kamu alokasikan sebagian besar dana di APBN untuk membayar utang. Aku juga ogah ngomongin kenapa kamu justru rajin memangkas belanja sosial (subsidi) Pemerintah untuk rakyat Indonesia yang berakibatnya naiknya harga-harga kebutuhan dasar. Aku pula tidak ingin bicara tentang kepanikanmu dalam menggenjot penerimaan pajak, dengan cara sibuk memajaki aneka hal remeh-temeh yang membebani UMKM dan rakyat kecil. Padahal, pada saat yang sama kamu justru mengurangi bahkan membebaskan bermacam pajak ( tax holiday) barang-barang mewah dan bagi pengusaha dan asing dengan dalih investasi. Kenapa semua kali ini aku tidak berminat membahas itu semua? Karena kamu orang yang kopeg, ndableg. Tidak mempan masukan, apa lagi kritik. Berapa banyak orang dan pihak yang berteriak soal-soal tersebut? Tapi kan kamu selalu ngeles dengan berbagai dalih. Utang terkendali, lah. Mengelola APBN secara prudent, lah. Dan serenceng jurus berkelit lainnnya yang jadi andalanmu. Kamu abaikan semua kekhawatiran dan ketakutan akan kebijakanmu yang lebih banyak menyenangkan ‘pasar’ sekaligus pada saat yang sama justru menyusahkan rakyat Indonesia sendiri. Jadi, pertanyaan di pembuka surat ini sekali lagi aku ajukan kepadamu. Pertanyaan ini makin menemukan konteksnya, ketika kamu mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus SIM dan sekolah anaknya. Sadarkah kamu ketika mengucapkan usul ini? Sehatkah kamu saat mulutmu berucap seperti ini? Sri, kamu kan menteri. Mosok kamu tidak tahu, bahwa perpanjangan SIM itu penting banget, khususnya bagi para sopir dan pengendara motor, termasuk tukang ojek. Kamu bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka kalau saat bekerja di atas roda tanpa mengantongi SIM yang masih berlaku? Jika lagi apes, mereka akan ketanggor polisi. Mereka bisa kena tilang atau memberi ‘uang damai’ kepada Polantas. Mereka harus keluar uang tambahan, Sri. Kamu tahu, kan, bahwa mereka adalah orang-orang kecil yang mengandalkan duit receh agar bisa menghidupi anak, istri dan keluarganya. Dengan uang recehan itu mereka membeli beras, membayar tagihan dan atau pulsa listrik, membeli gas ukuran tiga kg, membayar uang sekolah anak-anak, membayar belanjaan di pasar-pasar tradisional, dan membayar segala kebutuhan dasar mereka. Jadi, kalau rakyat telat atau tidak sanggup membayar iuran BPJS, karena uang mereka sudah habis untuk berbagai kebutuhan dasar tadi. Jangankan membayar denda, untuk membayar iuran rutin bulanan saja mereka tidak sanggup. Mereka tidak punya duit, Sri! Kamu tahu konsekwensi bagi para penunggak iuran BPJS? Pasti kamu baca berita, ada yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya dari rumah sakit karena menunggak iuran BPJS seperti yang dialami Lilik Puryani, anak Suparni. Dia terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun yang menyodorkan pembayaran sebesar Rp6.800.000. Padahal, sangat boleh jadi, sepeda motor itu menjadi tulang punggung keluarga tadi dalam mengais nafkah yang receh-receh. Kamu pasti tahu persis, rakyat kecil tidak sama dengan kamu yang menteri. Buat kamu, Rp6,8 juta pasti tidak berarti, bahkan jika deretan nolnya ditambah beberapa lagi. Rakyat harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar bertahan hidup di tengah gempuran harga-harga yang terus merangkak naik. Sedangkan kamu, gajimu besar. Kekuasan dan kewenanganmu lebih besar lagi. Listrik dan kebutuhanmu yang lainnya ditanggung oleh negara. Supirmu dibayari negara. BBM mobil supermewahmu dibayari negara. Baju dinas di kementerinmu yang mentereng itu, juga dibeli dengan uang rakyat. Perjalanan dinasmu yang terbang dengan kelas eksekutif, kamar hotel mewahmu, kartu kreditmu semua dibayari negara. Kamu hidup dengan serba gratisan, Sri. Dan semua itu dibayari oleh rakyat. Kamu tahu persis, kan, Sri? Satu lagi. Sri, kamu kan intelektual. Gelar akademismu doktor lulusan luar negeri, Amerika Serikat pula. Keren sekali. Sebagai intelektual, kamu pasti paham betul pentingnya pendidikan. Kamu pasti tahu persis, bahwa dengan pendidikan peluang seseorang memperbaiki nasibnya lebih terbuka lebar ketimbang orang yang tidak atau kurang berpendidikan. Tapi, Sri, sebagai intelektual dan menteri kenapa kamu tega mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus sekolah anaknya. Jahat sekali kamu! Kalau dulu penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia yang mereka sebut inlander untuk bersekolah, aku masih bisa memahami alasannya. Belanda tidak ingin rakyat Indonesia pintar, agar mereka bisa melestarikan penjajahannya atas negeri yang berjuluk rangkaian Jamrud Katulistiwa. Tapi Sri, usul yang berimpilkasi menghalangi rakyat Indonesia bersekolah dan menjadi pintar kali ini datang dari kamu. Seorang menteri, intelektual sekaligus WNI asli keturunan Indonesia. Aku harus bilang apa dengan fakta seperti ini? Kamu benar-benar jahat. Kamu sadis terhadap rakyat Indonesia yang sudah menanggung gaji dan bermacam fasilitasmu sebagai menteri. Atau, barangkali kamu mau mengelak, bahwa tidak semua kebutuhan hidupmu dibayari rakyat? Mungkin kamu juga dapat penghasilan dari jasa atau sebagai pembicara di aneka forum bergengsi karena intelektulitas dan atau pengalamanmu. Tapi Sri, biarkan aku mengingatkanmu, bahwa betapa pun dan bagaimana pun, kamu tetaplah WNI. Kamu tetap rakyat Indonesia asli, bukan keturunan. Mosok kamu tega dan jahat kepada saudara-saudaramu sesamat rakyat Indonesia? Sri, sebagai menteri dan intelektual, kamu pasti tahu, bahwa ada amanat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kamu lupa, aku kutipkan sebagian dari paragraf empat UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,..” Cetak miring dan bold sengaja kulakukan untuk memberi penekanan, barangkali kamu luput memperhatikan. Pertanyaannya, bagaimana rakyat bisa cerdas jika kamu yang jadi menteri justru menghalang-halangi mereka bersekolah hanya karena mengunggak iuran BPJS? Di mana hati nuranimu? Masih adakah? Kalau pun ada, masihkah hati nuranimu itu hidup? Tidakkah cukup penderitaan rakyat saat bosmu yang presiden itu akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat? Di mana juga hatimu, ketika dengan enteng kamu bermaksud menaikkan gaji direksi BPJS? Padahal, fakta dan bukti menunjukkan mereka tidak becus mengelola perusahaan asuransi yang di-back-up kekuasaan. Terakhir, sebagai menteri keuangan, tentu kamu paham betul bahwa BPJS bukanlah pajak atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) . Tidak ada secuil pun aturan apalagi UU yang mewajibkan rakyat membayar iuran BPJS. Kalau sekarang rakyat dipaksa ikut dan membayar iuran BPJS, dengan segala sanksinya yang tidak masuk akal dan kejam, itu karena kalian para pejabat publik telah berlaku sangat zalim kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin menteri keuangan dan intelektual seperti kamu tidak paham perbedaan antara pajak, PNBP, dan iuran? Namanya saja iuran, mana bisa dijadikan kewajiban. Iuran itu hanya berlaku bagi yang terlibat. Iuran RT, misalnya, hanya wajib bagi warga lingkungan RT yang bersangkutan. Lagi pula, BPJS sejatinya adalah manipulasi negara terhadap rakyat. BPJS bukanlaah jaminan kesehatan oleh negara kepada rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Di situ disebutkan, “ negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.” BPJS hanyalah perusahaan asuransi yang berlindung di balik ketiak penguasa, ya di antaranya kamu. BPJS adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang amat luar biasa terhadap rakyatnya. Tolong tunjukkan kepadaku, di belahan bumi mana ada negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjadi peserta asuransi? Sudahlah Sri, bertobatlah. Jabatan yang kamu banggakan itu sama sekali tidak abadi. Cepat atau lambat akan selesai. Berakhir. Dan, yang lebih penting lagi, kalau kamu orang yang beragama, tentu kamu yakin adanya akhirat. Kelak, kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah yang anti suap dan KKN. Ngeri, lho Sri! [*] Jakarta, 6 September 2019
Industri Tekstil Kita di Pintu Kebangkrutan
Tekstil dan pakaian jadi dari China menjadi petaka bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kini, industri tekstil dalam negeri berada di pintu kebangkrutan. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Stok TPT menumpuk di gudang-gudang akibat barang tak bisa dijual. Ada sekitar 1,5 juta bal benang dan 970 juta meter kain menumpuk di gudang-gudang industri tekstil. Barang sebanyak itu nilainya kira-kira Rp30 triliun atau setara dengan 2-3 bulan stok. Stok yang menggunung, membuat industri tekstil kesulitan memutar modal kerja. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi, memperkirakan jika ini dibiarkan maka 2-3 bulan ke depan akan ada perusahaan yang tidak mampu membayar upah karyawan bahkan tidak mampu membayar pesangon untuk karyawan yang di-PHK. “Hanya beberapa perusahaan yang bermodal kerja kuat saja yang mampu bertahan,” ujarnya, Kamis (29/8). IKATSI telah menyampaikan secara resmi kepada beberapa menteri terkait atas kondisi itu dengan harapan keran izin impor ditutup. Jika banjir produk impor dikurangi maka produk dalam negeri yang menumpuk dapat terjual. "Intinya kami meminta pemerintah mengubah kebijakan perdagangan agar lebih pro produk dalam negeri dan bisa menguasai pasar domestik, sambil kita tingkatkan daya saing agar bisa lebih bersaing untuk ekspor," kata Suharno. Sekjen Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengganggap biang kerok lonjakan impor TPT adalah Permendag 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. "Impor seharusnya tidak diterapkan untuk bahan baku yang bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri," katanya. Sebelum aturan tersebut terbit, impor sudah membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi semakin kritis pasca beleid tersebut berlaku. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan impor TPT melonjak 13,8%. Sektor yang paling terpukul oleh barang impor adalah sektor pembuatan kain, sementara sektor yang masih cukup baik adalah industri paling hilir atau industri pakaian jadi. Di sisi lain, kondisi makin tak terkendali sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk China yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal Negeri Panda itu merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Pemutusan Hubungan Kerja Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPN-FKSPN), Ristadi, menyebut ada tiga juta pekerja di industri tekstil. Pada saat ini sudah sekitar 40 ribuan karyawan yang dirumahkan. "PT PIR ada 14 ribu yang di PHK belum lagi PT IKM dan PT UNL bahkan sudah tutup," sebutnya. Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil mengungkap tengah terjadi gelombang merumahkan pekerja dan PHK di industri tekstil Jawa Barat khususnya di wilayah Bandung Raya. "Laporan dari anggota kami per Juli kemarin, total sudah 36 ribu karyawan yang dirumahkan," katanya. Hitungan itu sepanjang dua tahun terakhir, 2017-2019. PHK terjadi menyusul langkah perusahaan menurunkan produksi. Kini banyak perusahaan pada tingkat utilisasi di kisaran 30- 40%. Selain kalah bersaing dengan barang murah dari China, dalam kasus industri TPT Bandung Raya, karena ada kebijakan menutup Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi industri yang dianggap mencemari sebagai bagian dari program Sungai Citarum Harum. "Bahkan beberapa sudah ada yang stop produksi seluruhnya, terutama IKM," tambahnya. Berlebihan API menganggap masalah impor memang sudah berlebihan. Soalnya, barang dari manca negara tersebut sudah diproduksi di Tanah Air. Itu sebabnya ia meminta Menteri Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.64/2017. Revisi itu diperlukan dalam hal pengetatan ketentuan kepada para importir pemegang angka pengenal importir umum (API-U). Pasalnya selama ini ketentuan impor yang diberikan kepada API-U terlalu longgar sehingga memicu lonjakan impor produk jadi melalui pusat logistik berikat (PLB). Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, juga mengakui ada impor berlebih pada produk TPT sehingga terjadi PHK. "Ijin impor ditutup saja dulu, kecuali impor bahan baku untuk kepentingan ekspor yang melalui Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)," tambah Redma. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengungkap industri tekstil mengalami penurunan sekitar 1% karena banyak impor bahan baku yang masuk selama 3 bulan pertama tahun ini. Padahal pada kuartal akhir tahun lalu sektor ini masih mampu tumbuh sebesar 6%. Salah satu yang menjadi perhatian Kemenperin adalah impor yang masuk melalui pusat logistik berikat. Menperin berjanji akan mereview lagi karena sekarang ada importir umum melalui PLB. “Apalagi perang dagang China-AS dan devaluasi China sehingga produk dari China akan kompetitif," kata Airlangga. PLB selama ini memudahkan bagi eksportir maupun importir dalam menyimpan barang mereka, sebagai kawasan berikat. Namun, Airlangga tak merinci persoalan apa yang terjadi pada PLB dan kaitannya dengan impor TPT yang berlebihan. “Dulu yang boleh impor API-P [angka pengenal impor-produsen] saja, sekarang API-U [angka pengenal impor-umum] boleh impor lewat PLB dan aturan di PLB tidak jelas. Semua barang bisa masuk PLB, jadi keblabasan,” imbuh Redma. Redma memberikan beberapa usulan revisi. Salah satunya terkait ketentuan impor. Produk TPT yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri HS 52, 54 sampai 62, diusulkan agar dimpor oleh hanya oleh importir yang mengantongi Angka Pengenal Impor-Produsen (API-P) yang mendapat pengenal impor tekstil saja. “Yang kami minta antara lain revisi Permendag No.64/2017 dan perbaikan impor melalui PLB serta perlindungan safeguard untuk produk hulu hingga hilir seperti yang dilakukan pemerintah Turki,” ujar Redma. Sedangkan untuk peningkatan daya saing, ia mengatakan pemerintah dapat membantu dengan memberikan insentif. Namun, insentif yang dimaksud, katanya, sebaiknya dipakai untuk meringankan ongkos produksi. Kementerian Perdagangan selalu berdalih impor diperlukan sebagai bahan baku ekspor. Padahal, dalam kasus impor tektil tidak begitu. Pasalnya pemerintah telah memberikan fasilitas kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Adapun untuk UKM garmen bahan bakunya bisa dipenuhi oleh UKM tenun dan rajut. Kini, industri tesktil sudah megap-megap. Hanya kepada Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, mereka berharap. Atur impor tekstil dengan benar. End.
Woi...Pemerintah Bilang Aja Terus Terang: Kami Tidak Becus Mengelola BPJS
Alih-alih pemerintah bisa memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan secara gratis kepada masyarakat miskin, yang terjadi sekarang pemerintah justru merampok uang rakyat melalui kewajiban membayar iuran BPJS. Kalau membandel, pengurusan surat-surat akan dipersulit. Bahkan yang lebih serem lagi pemerintah melalui PT BPJS akan menagih iuran BPJS secara door to door ke rumah-rumah penduduk. Oleh Tjahja Gunawan(Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Terus terang saya terpaksa menulis kembali persoalan BPJS ini karena jalan keluar yang diambil pemerintah benar-benar sudah sangat mendzolimi rakyat. Sebelum mengurai lebih jauh soal BPJS, saya sertakan hasil liputan portal berita kompas tanggal 7 Agustus 2019 berjudul "Jangankan untuk Denda, Bayar Iuran BPJS Saja Kami Telat". Suparni (55), istri almarhum Sabbarudin, warga Desa Gondang Karang Rejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mengaku tidak memiliki uang untuk membayar denda keterlambatan BPJS. "Jangankan untuk membayar denda, untuk membayar iuran bulanan saja terlambat," ujar Suparni, Rabu (7/8/2019). Akhirnya Lilik Puryani, anak Suparni, terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun. Lilik Puryani mengatakan, saat itu pihak rumah sakit tiba-tiba menyodorkan pembayaran sebesar Rp 6.800.000 ketika keluarga akan membawa pulang jenazah Sabbarudin. Keluarga yang tidak memiliki uang untuk membayar akhirnya menjaminkan sepeda motor kepada pihak rumah sakit. Kepala Bagian Keuangan RSI Siti Aisyiah Kota Madiun Fitri Saptaningrum didampingi Humas dan Pemasaran Syarif Hafiat mengatakan, prosedur di rumah sakit, biaya pasien harus dibayar lunas sebelum keluar dari rumah sakit. Menurut Fitri, saat itu pasien tidak dibiayai BPJS. Sebab, masih ada denda keterlambatan pembayaran premi BPJS yang belum dibayar. Dalam kasus diatas, seharusnya pemerintah yang turun tangan dengan membebaskan beban yang dialami keluarga Suparni. Derita yang dialami Suparni betul-betul sangat tragis. Suparni ditinggal suaminya meninggal, lalu keluarganya harus menanggung beban karena terpaksa harus menjaminkan sepeda motor pada pihak RSI Madiun agar bisa mengambil jenazah suaminya dari rumah sakit. Penderitaan yang hampir sama dialami masyarakat perkotaan akibat BPJS ini. Tetangga saya di Kompleks Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan mengeluh: "Saya sudah punya kartu berobat keluarga yang diberikan kantor. Eh saat anak saya diterima di perguruan tinggi pemerintah, diminta untuk membuat kartu BPJS untuk anak saya sebagai syarat kewajiban siswa.Saat mengurusnya, pihak BPJS menyatakan pembuatan kartu BPJS sesuai kartu keluarga dimana terdaftar nama ayah, ibu dan beberapa anak. Mereka bilang harus semua bikin BPJS dan setor dananya sesuai daftar nama di Kartu Keluarga. Jadi pemerintah mewajibkan semua orang untuk miliki BPJS, tidak peduli mereka yang sudah memiliki asuransi atau jaminan kesehatan dari kantor". Hal yang sama disampaikan salah satu pendengar Radio Dakta di Bekasi ketika saya menjadi nara sumber tetap di radio tersebut. Kini isu BPJS sudah menjadi masalah masyarakat akibat ketidakbecusan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan terutama PT BPJS Kesehatan dalam mengola dana masyarakat untuk program perlindungan kesehatan. Program BPJS Kesehatan diberlakukan 1 Januari 2014. Program ini mengganti asuransi kesehatan dari pemerintah yang dikenal dengan Askes. BPJS Kesehatan membagi pesertanya menjadi dua kategori yakni PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan peserta BPJS Kesehatan. Peserta BPJS Kesehatan dibagi dalam tiga kelas yakni kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu yang iurannya berbeda. Setelah dinaikkan per 1 April 2016, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas satu Rp 80 ribu/bulan, kelas dua Rp 51 ribu/bulan, dan kelas tiga Rp 25.500/bulan. Tahun 2020, iuran BPJS kembali akan dinaikkan kecuali peserta BPJS mandiri kelas tiga. Alih-alih pemerintah bisa memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan secara gratis kepada masyarakat miskin, yang terjadi sekarang pemerintah justru merampok uang rakyat melalui kewajiban membayar iuran BPJS. Kalau membandel, pengurusan surat-surat akan dipersulit. Bahkan yang lebih serem lagi pemerintah melalui PT BPJS akan menagih iuran BPJS secara door to door ke rumah-rumah penduduk. Sebenarnya selama ini masyarakat ditipu oleh BPJS Kesehatan. BPJS bukanlah jaminan kesehatan bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan dari pemerintah, padahal BPJS itu fungsinya tidak lebih dari asuransi. BPJS didanai dari uang pribadi masyarakat. Pemerintah meminta masyarakat menyetor sejumlah uang untuk dikumpulkan dan nantinya digunakan untuk biaya pengobatan. Seluruh uang yang disetorkan masyarakat kemudian dihimpun oleh PT BPJS Kesehatan. Lalu uang tersebut dialokasikan untuk membiayai pengobatan anggota BPJS yang sedang sakit. Sekali lagi, dana ini sebenarnya berasal dari masyarakat dan bukan dana APBN. Sekarang pemerintah telah mewajibkan seluruh masyarakat untuk membayar iuran BPJS. Sementara dana yang dikumpulkan secara massif tersebut hanya digunakan sebagian saja yakni hanya untuk anggota masyarakyat yang sedang sakit. BPJS adalah kamuflase pemerintah untuk menutupi penyelewengan dana subsidi BBM. Banyak diantara masyarakat yang mengira BPJS didanai dari pengalihan subsidi dari BBM ke bidang kesehatan. Masyarakat lupa bahwa setiap bulannya mereka harus menyetor dana minimal Rp 25.000 per bulan. Saat ini peserta BPJS berjumlah sekitar 168 juta orang. Dengan demikian, jumlah dana BPJS yang dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp.4,2 tilyun per bulan atau lebih dari Rp 50,4 trilyun per tahun. Itu uang yang dikumpulkan langsung dari masyarakat, bukan dari sektor pajak atau pengalihan subsidi BBM. Kok sekarang tiba-tiba PT BPJS kesehatan mengalami defisit keuangan sebesar Rp 32 trilyun. Jadi semakin jelas bahwa BPJS merupakan sebuah badan usaha yang fungsinya sebagai pengeruk keuntungan bagi pemerintah. BPJS Kesehatan bukan mengelola dana khusus dari APBN untuk jaminan kesehatan. Dengan adanya BPJS, pemerintah sama sekali tidak pernah memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat. Padahal selama ini pemerintah selalu menyebarkan propaganda bahwa BPJS adalah subsidi kesehatan gratis dari pemerintah. Padahal pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk BPJS. Dan BPJS itu murni seribu persen berasal dari dana masyarakat. Dengan biaya iuran BPJS sebesar Rp 25.000 per bulan, seharusnya masyarakat memperoleh kualitas pelayanan kesehatan maksimum di rumah sakit yakni di kelas VIP. Namun karena PT BPJS Kesehatan kini didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran bila pasien peserta BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS. BPJS tidak meng-cover obat-obatan yang bermutu bagus. Alhasil pasien cuma mendapatkan obat-obatan ala kadarnya. BPJS adalah pesan nyata dari Pemerintah yang artinya “Masyarakat miskin tidak boleh sakit”. Wajar bila kita berpendapat demikian, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS sangat jauh dari kelayakan. Bayangkan saja bila pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak di-cover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma bisa pasrah menahan sakit. Apakah ini yang disebut dengan Jaminan Kesehatan ? BPJS adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. End.
Awas! Dilarang Keras Menghina Presiden Jokowi!
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Di kalangan para pegiat demokrasi dunia, ada satu guyon (joke) yang sangat terkenal. Soal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Seorang warga AS ketika bertemu dengan koleganya dari Rusia, dengan bangga, pamer. Betapa bebasnya demokrasi di negaranya. Mereka sangat bebas menyatakan dan mengekspresikan pendapatnya. Bahkan bebas menghina Presiden Donald Trump, di depan Gedung Putih pula. “Coba kalau di Rusia. Pasti hal itu gak mungkin terjadi,” ujarnya membanggakan diri. Dengan santainya si orang Rusia menjawab. “Ah kami jauh lebih bebas! Siapa saja di Rusia bebas menghina Donald Trump sampai puas. Silakan lakukan dimana saja. Kapan saja! Termasuk depan kantor Putin, Kremlin. Setiap hari, setiap saat. Dijamin Anda gak akan ditangkap,” ujarnya sambil tertawa puas. Begitulah perbedaan negara demokrasi seperti AS, dan negara pseudo demokrasi model Rusia. Sebuah negara seakan-akan demokrasi. Di AS orang bebas menertawakan dan menghina Trump tanpa takut dikenakan pasal pidana, atau ditangkap polisi. Tak lama setelah Trump terpilih, di sejumlah kota, warga memajang boneka Trump dalam ukuran besar di tempat umum. Warga yang lewat bebas memukul dan menendang “Trump.” Komedian Roseann O’Donnell, akrab disapa Rosie bahkan sangat sering menjadikan Trump sebagai olok-olok dalam program TV. Salah satunya dalam program pagi TV ABC, The View. Selain Rosie, sederet pesohor juga terlibat perseteruan dengan Trump. Anna Wintour, Michael Moore, Steph Curry, Chrissy Teigen, Snoop Dogg, Mark Cuban, Meryl Streep, dan penyanyi kondang Madonna, termasuk dalam deretan selebriti yang sering menyerang Trump. Mereka aman-aman saja. Tidak ditangkap oleh polisi, apalagi dibawa ke pengadilan. Dikenakan pasal penghinaan terhadap Presiden. Paling banter reaksi Trump menyerang balik mereka, dengan kata-kata yang tak kalah kasarnya. Khas Trump. "Rosie kurang ajar, kasar, menjengkelkan dan bodoh - selain hal-hal itu, aku sangat menyukainya!" tulisnya melalui akun @realDonaldTrump. Nasib para pengecam Trump, sangat berbeda dengan para penentang Putin di Rusia. Banyak yang berakhir dengan tragis. Sakit berat, bahkan tewas karena beberapa sebab. Diracun, dibunuh, atau tewas dalam kecelakaan. Agak sulit menemukan bukti bahwa kematian mereka ada kaitannya dengan Putin. Tapi sulit juga mengabaikan fakta, bahwa sebelum tewas, mereka berseteru dengan Putin. Pada bulan Februari tahun 2017, penulis Vladimir Kara-Murza tiba-tiba sakit ketika akan menjenguk anaknya di AS. Dia koma selama sepekan. Menurut istrinya dia diracun. Pada tahun 2009, seorang pengacara bernama Stanislav Markelov tewas ditembak. Orang bertopeng memberondongnya di dekat Kremlin, tak lama setelah dia menulis artikel mengkritik Putin. Dalam peristiwa itu wartawati Anastasia Baburova ikut tewas ditembak. Dia sedang berjalan bersama Markelov, dan mencoba menolongnya. Markelov adalah pengacara sejumlah penulis oposisi penentang pemerintah. Salah satu kliennya wartawati Anna Politkovskaya. Penentang Putin yang sangat gigih dan berani. Politkovkaya tewas ditembak pembunuh bayaran (2006). Dia sedang di lift gedung apartemen tempat tinggalnya. (Bisa membahayakan wartawan) Bagaimana dengan Indonesia? Mulai sekarang Anda kudu berhati-hati. Apakah Anda seorang aktivis medsos, atau sekalipun Anda seorang wartawan. Jangan sampai sekali-kali membuat ujaran, cuitan, atau artikel yang menghina, atau setidaknya digolongkan menghina Presiden Jokowi. Anda bisa dijerat hukum. Dikriminalisasi. DPR baru saja merampungkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUKUHP) berisi pasal-pasal ancaman terhadap para penghina presiden. Rancangan Undang-Undang (RUU) itu rencananya akan disahkan akhir bulan ini. Sejumlah organisasi wartawan, termasuk Komnas HAM mengecam rumusan pasal RUU itu. Dalam penilaian Komnas HAM, menghina Presiden tidak bisa dipidanakan. Salah satu pasal kontroversial dalam RUU tersebut adalah Pasal 218 ayat 1 : Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal ini mengingatkan kita pada pasal-pasal karet. Banyak digunakan menjerat lawan politik pemerintah pada masa Orde Baru. Pasal yang diadopsi dari hukum pidana masa kolonial Belanda itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Terutama kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Tanpa adanya pasal penghinaan itu saja, selama ini banyak wartawan yang menjadi korban kriminalisasi. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kebebasan pers di Indonesia, berdasar catatan Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sangat buruk. Selama tiga tahun berturut-turut menempati peringkat 124 dari 180 negara. Kalau benar DPR tetap memaksakan untuk mengesahkan RUKHP, maka demokrasi Indonesia memasuki masa-masa kegelapan. Sebagai sebuah negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah adalah hal yang lumrah. Malah harus dilakukan. Sebagai bagian dari proses kontrol. Obat pahit yang menyehatkan. Membuat demokrasi tumbuh subur dan kuat. Fungsi media sebagai pilar keempat, adalah anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Sementara bagi warga negara, kebebasan berpendapat, termasuk kritik kepada pemerintah dan presiden, dijamin oleh konstitusi. Pak Jokowi tampaknya perlu belajar lebih rileks mengahadapi kritik kepada para pendahulunya. Presiden BJ Habibie, Megawati, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa Presiden SBY, ada demonstran yang membawa kerbau dan ditulisi nama Sibuya. Plesetan dari singkatan nama SBY. SBY paling banter cuma uring-uringan. Curhat ke media. Tidak sampai menggunakan aparat kepolisian untuk menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana penghinaan. Ketika kasusnya sudah menjurus ke fitnah secara pribadi, SBY menempuh jalur hukum. Dia mengadukan kasusnya ke polisi. Datang sendiri ke kantor polisi. Tidak menyuruh pengacaranya. Apalagi pendukungnya. Pada kasus penghinaan yang dilakukan oleh politisi Zainal Ma’arif dan pengacara Eggy Sudjana, SBY sebagai pribadi melapor ke polisi. Kasus Zainal berakhir karena yang bersangkutan minta maaf. Sementara Eggy divonis bersalah. Dia dijatuhi hukuman 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Eggy menyebut SBY, anaknya dan sejumlah pejabat tinggi negara memperoleh gratifikasi mobil Jaguar dari penguasaha Hary Tanoesoedibyo. Menjadi presiden di sebuah negara demokrasi, modalnya memang harus punya kuping tebal. Jangan gampang tersinggung, baperan. Marah dan menggunakan kekuasaan karena kritik. Beda kalau menjadi raja yang punya kekuasaan mutlak, absolut. Tidak perlu lah kita meniru Thailand. Kerajaan dengan sistem parlementer, tapi rajanya disembah seperti dewa! Di negeri Gajah Putih itu menghina Raja bisa dihukum seumur-umur. Ada yang dihukum sampai 150 tahun, karena dinilai menghina raja melalui akun facebooknya. Tirulah Thailand dalam keberhasilan meningkatkan ekspor produksi pangan dan buah-buahannya. Bukan sistem hukum yang T-E-R-L-A-L-U melindungi penguasanya. Toh di Indonesia sistem politiknya presidensiil. Bukan kerajaan. Kecuali kalau memang ada merasa seolah-olah raja!? Hal itu hanya akan terjadi di negara pseudo demokrasi. Seakan-akan demokrasi. Demokrasi seakan-akan. End