OPINI

Gerindra Mau Jadi Oposisi atau “Oplosan”?

Oleh: A. Sofiyanto (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “oposisi” atau menjadi oposan dipandang lebih bernilai positif dan terhormat karena menjadi penyeimbang atau berani melawan penguasa, bukan menjilat atau membebek. Sebaliknya, istlah “oplosan” cenderung bernilai negatif karena diartikan campuran untuk membuat minuman yang memabukkan atau bahkan cairan beracun. Setelah KPU menetapkan Jokowi-Maruf sebagai presiden-wapres terpilih 2019-2024 pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)--, meski dibayangi tudingan pemilu curang-- maka partai partai koalisi pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi (PADI) mau tidak mau harus menentukan pilihan politik. Memilih sebagai oposisi di luar pemerintahan Jokowi, atau menjadi “oplosan” (ikut bercampur) di dalam koalisi pemerintahan Jokowi ? Ada empat partai koalisi pengusung PADI yang lolos parliamentary threshold (PT) yaitu Partai Gerindra, PKS , PAN dan Partai Demokrat. PKS sudah tegas menyatakan menjadi oposisi di pemerintahan maupun DPR. Demokrat sudah loncat pagar alias pindah perahu yang lebih “empuk” yaitu ikut bergabung ke koalisi pemerintah 2019-2024. Ini dapat dilihat dari perilaku AHY, anaknya bos Demokrat yang sudah sowan kepada Jokowi dan bahkan bersama adiknya Ibas telah “bersilaturahmi politik” ke Megawati yang bisa diartikan untuk meminta “restu” alias menaklukkan hati Megawati yang selama ini keras “bermusuhan” dengan SBY bak minyak dan air. Sementara PAN nampaknya masih abu abu. Meski Amien Rais yang dikenal sesepuh yang juga pentolan PAN , mengarahkan partai berlambang matahari ini untuk menjadi oposisi. Namun, gelagat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang saat masih awal KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Zulkifli sudah mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Kabarnya, ucapan yang dilontarkan terlalu prematur oleh Zulkifli ini ditegur oleh Amien Rais yang juga besannya . Namun, seperti periode 2014-2019 sebelumnya, ternyata PAN menitipkan kadernya ke Presiden Jokowi untuk ditimang menjadi menteri. Entah atas persetujuan Amien Rais atau tidak, yang jelas sikap PAN saat itu lebih memilih jabatan menteri ketimbang oposisi. Lantas bagaimana dengan Gerindra, partai yang dipimpin capres Prabowo yang menjadi pemenang kedua dalam pemilihan umum 2019? Apabila menjadi oposisi, ada peluang bagi Gerindra untuk menjadikan partai ini lebih besar lagi. Namun, jika menjadi “oplosan” alias ikut bercampur dalam partai koalisi penguasa, maka kevokalan Gerindra di parlemen tidak maksimal dan bahkan mengkeret atau kurang berani mengeritik penguasa. Jika ini terjadi, maka Gerindra rugi dua kali. Pertama, Gerindra bakal tidak populer dan menjadikan suaranya akan bisa anjlok di pemilu 2024. Kedua, pendukung Prabowo bakal banyak yang kecewa sehingga minggat dari Gerindra yang juga berdampak menjadikan suara Gerindra akan terjun bebas di pemilu mendatang. Hingga sejauh ini, para pendukung PADI masih meyakini bahwa telah tejadi kecurangan di Pemilu 2019. Nampaknya, siapa pun petahana sangat berpeluang untuk berbuat curang dalam pemilihan presiden. Karena itu, lebih baik ada undang undang yang meniadakan petahana atau melarang masa jabatan dua periode seperti yang diusulkan Prof Dr Salim Said dengan kompensasi masa jabatan presiden ditambah menjadi enam atau tujuh tahun seperti diterapkan di beberapa negara maju. Kalangan pengamat menilai bahwa memang secara legal Jokowi menang berdasar putusan MK. Namun, legitimasi rakyat dan kaum cendekiawan lebih berpihak kepada capres Prabowo. Untuk itulah tidak mengherankan apabila Jokowi berharap kubu Prabowo mau bergabung ke pemerintahannya. Keinginan kubu Jokowi untuk “rekonsiliasi” dengan kubu Prabowo menjadi penting, sehigga tawaran bergabung dengan imbalan kursi jabatan menteri dihembuskan terus oleh pihak Jokowi. Tanpa “rekonsiliasi” dengan Prabowo, maka dibayangi ada kekhawatiran bagi Presiden Jokowi nanti bakal banyak dijemput aksi demo apabila melakukan kunjungan ke daerah daerah seperti Sumatera Barat dan daerah lainnya yang mayoritas pilih Prabowo. Apalagi Aceh yang sudah mengancam akan melakukan referendum jika presidennya Jokowi. Apakah ada orang Gerindra yang ngiler (tergiur) dengan tawaran menteri atau jabatan lainnya? Bilamana Gerindra menyatakan menerima tawaran jabatan tersebut, nampaknya Jokowi langsung melakukan reshuffle kabinet secepatnya dengan memasukkan kader Gerindra menjadi menteri hingga masa jabatan Jokowi pada akhir September 2019. Lantas bagaimana nasib Gerindra setelah Jokowi dilantik lagi sebagai presiden pada Oktober 2019? Saat itu nilai deal (dagang sapi) dari Gerindra sudah lemah, sehingga Gerindra asal diberi kursi menteri yang kurang bergengsi. Lagipula, dengan menjadi partai yang bergabung atau menempel kepada koalisi pemerintahan Jokowi di periode kedua, Gerindra terancam terpuruk karena bakal banyak pendukungnya yang kecewa dan lari lari meninggalkan partai pimpinan Prabowo ini. Wajar kecewa, karena pendukung sekaligus pemilih Prabowo pada Pemilu 17 April 2019 sudah banyak berkorban waktu, tenaga , pikiran serta finansial. Bahkan, ada korban nyawa dari pihak pendukung Prabowo. Kekecewaan pemilih ini akan membuat suara Gerindra nyungsep (menyusut) di pemilu 2024. Karena itu, mau tidak mau Gerindra harus menjadi oposisi jika ingin suaranya tetap besar. Artinya , oposisi merupakan pilihan terbaik bagi Gerindra ketimbang menjadi “oplosan” alias campuran dalam kabinet Jokowi. Sempat mengagetkan, di saat pendukung PADI merasa kecewa dengan proses dan hasil pemuilu 2019,tiba-tiba muncul video ucapan selamat dari cawapres Sandiaga Uno yang memberi ucapan selamat bekerja kepada Jokowi-Maruf untuk periode 2019-2014. Tentu ini semakin menyayat hari para pemilih loyal PADI. Untungnya, pada 1 Juli 2019 melalui instagramnya, Sandiaga Uno menyatakan memilih menjadi oposisi. Sehingga, para pemilih yang kecewa tadi rasanya menjadi plong kembali. Sebenarnya, PKS sudah berkali-kali mengajak Gerindra untuk menjadi oposisi. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera secara tegas mengajak semua partai pendukung PADI tetap menjadi oposisi menjadi penyeimbang/pengontrol untuk mengawal kebijakan rezim Jokowi di periode berikutnya. Namun, ada beberapa politikus Gerindra yang masih diragukan menyambut ajakan PKS tersebut. Diantaranya Ketua Bidang Advokasi DPP Gerindra, Habiburokhman misalnya, kepada wartawan, Selasa (2/7/2019), berkilah, “Kami sangat hormati pilihan PKS karena mereka sahabat setia kami. Tapi kami punya pertimbangan sendiri." Setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai presiden-cawapres terpilih 2019-2024, muncul isu Gerindra akan bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf, apalagi ada politikus Gerindra yang ucapkan selamat kepada Jokowi. Namun, Anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra Muhammad Syafi'i yang dikenal vokal meyakini Prabowo memilih berada di luar pemerintahan. Menurutnya, keberadaan oposisi menyehatkan iklim demokrasi. "Demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi. Saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi," kata Syafi'i di Gedung DPR, Senin (1/7/2019). Para pejuang sejati pendukung 02 ataupun yang mengklaim pembela kebenaran, keadilan dan kejujuran, tentunya berharap sikap Syafii ini bisa disepekati Prabowo dan akan menenggelamkan orang orang di Gerindra yang kebelet tawaran jabatan menteri atau sejenisnya dari kjubu sebelah. Syafi'i menegaskan, demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance, mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang. Menjadi oposisi dituntut pengorbanan untuk berjuang keras namun lebih terhormat di mata rakyat. Dibanding memilih menjadi “oplosan” ikut bercampur partai penguasa dan mendapat kue jabatan empuk tetapi ditinggalkan rakyat pemilihnya. Sekarang terserah Gerindra, ingin menempatkan diri sebagai oposisi yang terhormat atau mau menjadi “oplosan” yang bisa dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap rakyat pemilik suara pendukungnya? Please! (***)

Jokowi Berpotensi Diadili Terkait HAM Pilpres

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Laurent Gbagbo menjadi presiden pertama di dunia yang digiring ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. Mantan Presiden Pantai Gading itu ditangkap pada 11 April 2011 atas pelanggaran HAM berat, pasca pemilu November 2010. ICC (Mahkamah Kriminal Internasional) adalah lembaga peradilan internasional yang bisa mengadili individu atas kejahatan internasional seperti agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang juga berkedudukan di Belanda. Seperti dilansir The Guardian, Gbagbo menolak menyerahkan kekuasaan kepada lawan politiknya, Presiden Alassane Ouattara yang terpilih secara demokratis dalam pemilu di negaranya. Ia menuduh ada kecurangan yang menyebabkan Ouattara menang. Perang saudara pun tak terhindari. Sedikitnya 3.000 orang tewas dalam kerusuhan yang ia promotori demi mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden Pantai Gading. Sidang beberapa kali ditunda sebagai langkah antisipasi kekacauan dari simpatisannya. Presiden yang menjabat selama 10 tahun sejak 2000 itu diadili bersama sekutu terdekatnya sekaligus mantan komandan militernya, Charles Ble Goude. Keduanya didakwa atas tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Layar raksasa dibangun di Pantai Gading untuk memungkinkan masyarakat di Benua Hitam menyaksikan proses persidangan yang berlangsung di Belanda itu. Jaksa penuntut umum dan pengacara bersumpah akan berusaha untuk menguak krisis berdarah selama 5 tahun itu. “Tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengungkap kebenaran melalui proses murni hukum,” kata kepala jaksa ICC, Fatou Bensouda, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Kamis (28/1/2016). Setelah bersembunyi selama berbulan-bulan di istana presiden dan menjadikannya banteng pertahanan, Gbagbo akhirnya ditangkap oleh pasukan Ouattara, dibantu oleh PBB dan pasukan Prancis. Guru Sejarah itu diekstradisi tujuh bulan kemudian ke ICC. Istri Gbagbo, Simone, yang ketika itu masih dicari ICC atas keterlibatannya dalam kejahatan sang suami. Mantan ibu negara itu telah dijatuhi hukuman 20 tahun penjara di Pantai Gading tahun lalu dan pemerintah lokal menolak untuk menyerahkannya ke ICC. Di tempat lainnya, Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta juga pernah diadili ICC, di Den Haag, atas tuduhan mendalangi tindak kekerasan yang menyebabkan 1.000 orang meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya mengungsi dalam sengketa pilpres pada 2007. Kenyatta dituduh membiayai militan lokal untuk melakukan serangan balasan. Hari pertama sidang, Selasa (7/10/2014), Kenyatta tidak diharuskan hadir dalam persidangan ini. Demikian mengutip CNNINdonesia.com, Kamis (09/10/2014 20:50 WIB). Hari kedua, Kenyatta diminta hadir terkait penentuan apakah kasus ini bisa dilanjutkan atau tidak. Ini adalah pertama kali Kenyatta menghadiri persidangan sebagai warga sipil karena dia menunjuk wakil presiden untuk menjalankan tugas kepresidenan selama dia diadili. “Saya bersih, selalu bersih dan akan tetap bersih selamanya, sehingga saya tidak bersalah atas semua tuduhan yang mengarah kepada saya,” ujar Kenyatta sebelum bertolak dari Nairobi, Kenya. Selama sidang kedua pada Selasa (7/10/2014), jaksa penuntut menuduh pemerintah Kenya tidak menyerahkan dokumen kunci dalam kasus yang menyerang pemimpin negara mereka. Namun, pengacara Kenyatta membantah tuduhan ini. Jaksa penuntut sempat menghadapi serangkaian kendala terkait kasus ini akibat banyaknya saksi perkara mundur sementara yang lain mengaku berbohong. Jaksa penuntut juga sempat menunda persidangan beberapa kali karena kurangnya bukti. Dalam keadaan biasa, kekurangan bukti akan menyebabkan jaksa penuntut menarik tuntutan. “Namun pemerintah Kenya tak mau bekerja sama dengan pengadilan untuk membantu kasus ini,” ujar ICC pada September 2014. Pemerintah Kenya sebelumnya mengingkari kesepakatan untuk mendirikan pengadilan khusus bagi terduga pelaku kekerasan pasca pemilu sehingga mendorong pengadilan internasional untuk turun tangan. Kenya menyusul Sudan yang mempunyai pemimpin negara bersidang di hadapan ICC. Tidak seperti Kennyata, Presiden Sudan Omar al-Bashir tidak kooperatif dalam persidangan ICC dan menolak surat perintah penahanan dirinya atas tuduhan kejahatan di Darfur. Terkait HAM Pilpres Yang perlu dicatat dari contoh peristiwa di atas adalah bahwa ketiga presiden yang diadili di ICC bukan masalah PHPU-nya. Melainkan pelanggaran HAM yang berakar dari Pilpres juga. Inilah yang bakal dihadapi Presiden Joko Widodo sebagai penanggung jawab. Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutus, menolak permohonan Pemohon paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Gejala penolakan ini sudah terlihat saat MK menolak eksepsi Termohon KPU dan Terkait paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Justru dengan menolak eksepsi, maka secara hukum bisa menolak permohonan PHPU paslon 02. Jika dieksaminasi, sebenarnya dalil pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim MK itu banyak kejanggalan. Tapi undang undang menempatkan putusan MK final. Jadi, tak ada upaya hukum yang bisa membatalkannya. Bahasa Prabowo dalam sambutannya menghormati putusan dengan menyatakan kekecewaan. Pendukung tentu juga kecewa dan menilai putusan telah melegitimasi kecurangan. Meski harus kecewa tapi tentu tak harus putus asa ataupun patah semangat. Misi perjuangan mulia adalah dengan menegakkan kedaulatan rakyat dengan segala dimensinya. Prabowo sendiri menyatakan akan mencari jalan untuk perjuangan konstitusional berkelanjutan. Secara yuridis, Jokowi telah ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilpres oleh KPU. Kini pun memang Presiden. Perpanjangan resminya jika sudah dilantik nanti Oktober 2019. Meski sukses “memenangkan” kompetisi namun Jokowi memiliki agenda berat ke depan. “Tantangan agenda itu bisa merontokkannya jika ia tak pandai memimpin bangsa dan negara dengan baik. Sekurangnya ada tiga tantangan yang dihadapi dekat,” tulis Pemerhati Politik M. Rizal Fadillah, Jum’at (28/6/2019). Adanya problema pelanggaran HAM berat sebagai ekses Pilpres di mana penanggungjawab pemerintahan adalah dirinya. Ini berkaitan dengan kasus korban tewas 9 orang dalam insiden 22 Mei 2019. Masih simpang siurnya pelaku pembunuhan yang diantaranya tertembak ini apakah pihak perusuh, aparat, atau pihak ketiga. Begitu juga dengan meninggalnya hampir 700 petugas KPPS secara misterius. Pemerintahan Jokowi menjadi pihak yang didesak pertanggungjawabannya dengan tudingan “pelanggaran HAM berat” yang akan melibatkan penyelidikan lembaga kompeten HAM baik nasional maupun internasional. Inilah pintu masuk untuk minta pertanggungjawaban Presiden Jokowi di hadapan ICC seperti yang dialami tiga presiden (Pantai Gading, Kenya, dan Sudan) tadi. Siapa yang mengajukan? Amnesti Internasional, Komnas HAM, atau 34 perwakilan provinsi? Jika bangsa Indonesia tidak ingin dipermalukan dunia, mungkin langkah paling tepat adalah meminta Jokowi – Ma’ruf mengundurkan diri sebagai Presiden-Wapres Terpilih. Sebab, jika peradilan ICC ini jalan, dunia akan melihat akar pelanggaran HAM itu. Bahwa terjadi kecurangan Pilpres 2019 secara TSM oleh KPU dan Jokowi – Ma’ruf, seperti sudah diungkap dalam persidangan MK.

Menjadi Oposisi, Sandiaga Uno Sangat Benar

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Calon wakil presiden (cawapres) pasangan calon (paslon) 02, Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan untuk membangun Indonesia tidak harus berada di dalam pemerintahan. Harus ada kelompok di luar pemerintahan yang menjadi penyeimbang. Oposisi! Kelompok yang selalu menjaga dan mengingatkan pemerintah. “Bila ada mekanisme saling cek, saling kontrol saling menjaga, dan saling mengingatkan, maka Insya Allah jalannya pemerintahan akan baik,” ujar Sandi melalui akun instagramnya, Minggu (1/7/2019). Pilihan sikap Sandi ini menjadi kabar baik tidak hanya bagi para pendukungnya, baik bagi masa depan politiknya, juga baik bagi masa depan Indonesia. Sikap Sandi memberi harapan baru bahwa tidak semua politisi —apalagi politisi muda— yang bersikap pragmatis. Mengejar kekuasaan secara membabi buta, mengorbankan nilai-nilai idealisme. Sikap Sandi juga menunjukkan di dalam tubuh Partai Gerindra masih banyak pikiran-pikiran waras. Bisa membedakan benar, salah. Menjunjung tinggi idealisme, teguh menjaga kehormatan, menjaga idealisme, menghargai kesetiaan dan pengorbanan jutaan para pendukungnya. Sebelumnya sikap ini secara tegas sudah ditunjukkan oleh Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri. Tokoh senior dan kawan Prabowo sejak masih kecil itu juga dengan tegas menyatakan sebaiknya Gerindra tetap berada di luar pemerintah. Menjaga amanah lebih dari 70 juta massa pendukungnya. “Biar yang kalah di luar menjadi oposisi, kalau enggak bukan demokrasi. Masa semua pada kongkow-kongkow. Jangan, yang sehat dong,” kata Maher. Kita tinggal menunggu sikap Prabowo. Apakah dia sepakat dengan Sandi, Maher dan sejumlah tokoh senior lainnya. Terus berjuang dan menjaga amanah para pendukungnya. Atau lebih mendengar bisikan sekelompok kecil elit Gerindra yang bersikap pragmatis dan oportunis. Kelompok kecil ini mendorong Prabowo segera bergabung dengan Jokowi. Meninggalkan dan mengkhianati para pendukungnya. Melupakan janjinya “untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat.” Mengkhianati sikapnya yang menolak kecurangan. Melupakan ucapannya sendiri tidak akan kompromi terhadap ketidak-adilan dan ketidak-jujuran. Menukarnya dengan imbalan yang tak sepadan. Satu dua pos menteri, posisi sebagai ketua Wantimpres, jabatan di parlemen, dan pos-pos duta besar. Sikap Rasional Pilihan sikap Sandi memilih menjadi oposisi secara rasional, matematis dan politis jelas lebih taktis, strategis, dan dalam jangka panjang akan menguntungkan. Dia tidak berpikir jangka pendek, namun bisa melihat jauh ke depan. Sandi sejauh ini sudah menunjukkan sikapnya sebagai figur yang punya prinsip teguh. Dia rela menanggalkan jabatannya sebagai Wagub DKI ketika mencalonkan diri menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Padahal aturan perundang-undangan tidak mengharuskan mundur. Sandi menunjukkan kualitas pribadinya jauh lebih unggul bahkan dibandingkan kompetitornya tokoh senior sekelas Ma’ruf Amin. Dia tak mau melepas jabatannya sebagai Ketua Dewan Syariah di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri ketika menjadi cawapres. Posisi Ma’ruf inilah yang digugat dan banyak dipersoalkan. Kendati dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun publik sudah punya penilaian sendiri bagaimana kualitas seorang Ma’ruf. Sandi memang beda. Bukan orang yang mudah tergoda, apalagi kemaruk jabatan. Dia mau berjuang dan mengutamakan nilai-nilai moral dan etika. Tidak hanya berpegangan pada hal yang bersifat legal formal. Bisa dibayangkan, bila dengan reputasi semacam itu tiba-tiba Sandi sepakat menyerah dan mendapat imbalan jabatan. Apa kata dunia?! Katakanlah Sandi mendapat pos sebagai Menko Perekonomian seperti rumor yang berkembang. Hal itu tetap sangat tidak sepadan. Kontestasi Pilpres 2019 membawa Sandi menjadi tokoh muda terdepan, dalam jajaran kandidat pada Pilpres 2024. Dengan catatan tidak ada amandemen UUD 45 yang memungkinkan Jokowi untuk kembali mencalonkan diri ketiga kali, keempat kali, bahkan mungkin kelima kalinya. Diantara tokoh-tokoh muda seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, apalagi bila dibandingkan dengan Agus Harimurti, modal sosial dan politik Sandi jauh lebih unggul. Dia tinggal merawatnya. Hanya perlu bersabar, terus berjuang bersama puluhan juta massa pendukungnya. Menjalankan peran seperti yang telah dikatakannya, ikut membangun Indonesia di luar pemerintahan, lima tahun ke depan, Sandi Insya Allah akan memetik hasilnya. Sebaliknya bila Sandi ikut larut, terbawa arus elit Gerindra yang tak punya etos sebagai perjuang, karir politiknya juga akan ikut terlibas arus perubahan. Sebuah arus yang sedang mengalir deras di tengah rakyat Indonesia. Sikap Sandi bila benar-benar bisa istiqomah, teguh pada pendirian, akan baik bagi dirinya sendiri, baik bagi Gerindra, dan baik bagi Indonesia. Oposisi bukanlah anak haram. Oposisi adalah anak kandung demokrasi. Seperti obat, justru rasa pahitnya yang akan menyembuhkan dan menyehatkan.

Mengenang Kembali Wasiat dan Wakaf Nyawa Prabowo

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ketika atmosfir perlawanan terhadap kezaliman para penguasa mencapai puncaknya, Prabowo Subianto (PS) pernah berucap bahwa dia mewakafkan sisa hidupnya untuk bangsa dan negara Indonesia. Prabowo juga membuat surat wasiat. Walaupun isinya masih belum terungkap secara pasti. Kalau dilihat suasana patriotis dan penuh emosional di tengah kezaliman dan kesewenangan yang sedang dihadapi mantan Danjen Koppasus itu, tidaklah berlebihan jika wasiat itu diartikan sebagai pertanda bahwa beliau siap mati demi kebanaran, keadilan, dan kejujuran. Memang kemudian muncul klarifikasi bahwa wasiat itu maksudnya adalah bahwa langkah-langkah perjuangan haruslah selalu berada di koridor hukum. Namun begitu, semua orang masih ingat suasana perjuangan dalam 1.5 tahun belakangan. Termasuklah di masa-masa kampanye pilpres 2019. Ketika itu, Prabowo melihat kesewenangan para penguasa memang harus dihentikan sekalipun nyawa taruhannya. Artinya, sangatlah cocok tafsiran wasiat dan wakaf nyawa itu sebagai sinyal bahwa Pak Prabowo siap menghadapi apa saja. Termasuk kehilangan nyawa. Beliau bahkan sudah memahami konsep ‘hidup mulia atau mati syahid’. Yaitu, ‘isy kariman aw mut syahidan’. Slogan ini pernah dia ucapkan beberapa kali di depan publik. Beliau juga pernah mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang ditakutinya selain Allah SWT. Artinya, Prabowo siap sepenuhnya berjuang dengan segala pengorbanan. Rakyat pendukung beliau pun menjadi sangat bersemangat mendengar penegasan pemimpin yang gagah dan cerdas itu. Alhamdulillah, gerak maju Pak Prabowo untuk menyingkirkan apa yang dia sebut sebagai ‘para pengkhianat’ bangsa mendapatkan sambutan kuat dari publik. Kebetulan publik juga menginginkan pergantian pemimpin. Prabowo berhasil meyakinkan rakyat tentang ‘keberanian’ dia melawan kesewenangan. Orasi (pidato) yang ia sampaikan selalu berapi-api. Mampu membangkitkan semangat tempur para pendukung. Ke mana pun beliau pergi selalu membludak massa yang menyambut. Keyakinan semakin kuat untuk menghentikan pengkhianatan para penguasa. Logika mata menyimpulkan bahwa Pak PS tak terbendung lagi. Kemenangan sudah di tangan. Karena memang faktual bahwa kampanye lawan tanding beliau jauh tertinggal di belakang. Sepi selalu. Di mana-mana publik menyambut Jokowi-Ma’ruf dengan teriakan ‘Prabowo’ plus acungan dua jari. Kampanye Jokowi-Ma’ruf memang ‘memble’. Logika mata menyimpulkan bahwa kekalahan paslonpres 01 tak terelakkan. Di mana-mana orang yakin Prabowo-Sandi paling sedikit akan merebut 60% suara pemilih. Meskipun lembaga-lembaga survei membohongi khalayak bahwa Jokowi-Ma’ruf-lah yang akan menang. Kubu 02 yakin calon mereka akan masuk ke Istana. Keyakinan itu tak berlebihan. Mengingat begitu beratnya tim sukses Jokowi menghadirkan massa di kampanye-kampanye 01. Padahal, mereka menyediakan berbagai fasilitas bagus yang tidak dinikmati oleh massa kampanye 02. Sangat pantas diduga bahwa kesulitan dalam menampilkan kampanye besar itu membuat para penguasa tidak punya pilihan lain. Mereka harus menyalahgunakan berbagai instansi negara untuk membantu penyuksesan kampanye. Agar kampanye 01 terlihat meriah. Cara ini tetap tak mampu mendongkrak kampanye Jokowi-Ma’ruf. Padahal kepolisian terlibat aktif menggalang dukungan untuk 01. Di seluruh Indonesia. Namun demikian, kampanye-kampanye mereka selalu memalukan, bahkan di basis-basis pendukung Jokowi sekalipun. Jauh ke belakang, “tour the country” yang dilakukan Sandiaga Uno ke lebih 1,300 titik persinggahan, juga sukses luar biasa. Di sambut di mana-mana. Tanpa fasilitas apa-apa. Tanpa nasi bungkus. Bahkan tanpa segelas air pun yang disediakan panitia. Artinya, rakyat menunjukkan ketulusan mereka mendukung Praboso-Sandi. Bahkan sebaliknya rakyat yang mengumpulkan dukungan dana untuk 02. Di banyak tempat. Prabowo-Sandi menjadi sangat terharu. Mereka berjanji tidak akan menyia-nyiakan dukungan rakyat. Tidak akan mengkhianatinya. Rakyat bersungguh-sungguh mendukung dan berjuang karena mereka tidak ingin rezim Jokowi berlanjut dua periode. Mereka ingin Prabowo yang memimpin Indonesia. Semua pertanda elektoral menunjukkan 02 akan menang. Menang telak. Akhirnya, perasaan rakyat tertusuk. Marah. Sangat marah. Ketika KPU akhirnya memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan dugaan kuat berdasarkan perhitungan curang. Curang besar. Yang kemudian diperkuat oleh keputusan aneh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Juni 2019. Alhamdulillah, proses yang dilakukan untuk memenangkan Jokowi oleh KPU dan MK berjalan lancar. Sebaliknya, tidak terjadi protes apa-apa dari Prabowo ketika dia dinyatakan kalah. Suatu kali, pertengahan Mei 2019, Prabowo menyatakan sikap tegas tentang dugaan kuat kecurangan pilpres. Beliau bersumpah tidakan membiarkannya. Akan melawan kecurangan yang tanda-tandanya sangat jelas. “Tidak mungkin saya meninggalkan rakyat Indonesia. Saya siap timbul dan akan tenggelam bersama rakyat sampai titik darah yang terakhir. Selama rakyat percaya dengan saya, selama itulah saya akan tetap bersama rakyat melawan kecurangan,” kata Sang Jenderal. Begitulah kisah Prabowo yang dimulai dengan semangat patriotisme, wakaf nyawa, wakaf sisa hidup, dan surat wasiat. Inilah figur gagah berani yang diidolakan rakyat. Ratusan juta rakyat. Tua, muda, laki-laki dan perempuan. Emak-emak dan nenek-nenek. Remaja dan anak-anak. Di mana ada kampung, di situ ada dominasi Prabowo. Tapi, sekarang, semua menjadi gelap. Orang-orang ‘inner circle’ (lingkaran inti) beliau menjadi tak jelas. Mereka semua memakai topeng abu-abu. Siap lompat mengabaikan Sang Jenderal. Untuk menerkam sisa-sisa kueh yang dirampok dari rakyat. Untuk merebut beberapa kursi jorok yang amis berbau darah. Pak Prabowo menjadi galau. Bumi di pijak, tapi langit tak dijunjung. Langit semakin tinggi, bumi terasa sempit. Dada pun sesak. Semoga saja masih ada peluang untuk “Hidup mulia, atau mati syahid”. Bukan “Hidup hina, mati sakit”. Namun, untuk saat ini, kelihatannya perjuangan Prabowo berakhir dengan mati langkah. Mati kutu. Wallahu a’lam.

Apa Untungnya Prabowo Bertemu Jokowi?

Oleh: Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sepanjang ingatan penulis, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tidak pernah bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2004 atau sejak SBY menjadi Presiden selama dua periode hingga tahun 2014. Keduanya akhirnya baru bertemu dan saling bersalaman saat pemakaman Ibu Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 2 Juni 2019 lalu. Sebelumnya Megawati juga bertemu SBY secara tidak sengaja karena Ketua MPR-RI Taufik Kiemas yang juga suami Megawati, meninggal dunia pada bulan Juni 2013. Selama menjadi Presiden ke-6, SBY telah berusaha menjalin komukasi agar bisa melakukan rekonsiliasi dengan Megawati Soekarnoputri. Tapi upaya itu selalu kandas bahkan sepanjang SBY menjadi Presiden selama sepuluh tahun, Megawati tidak pernah sekalipun hadir pada setiap acara peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus di Istana Negara Jakarta. Dengan sikapnya itu apakah kemudian Megawati dianggap tidak konstitusional karena tidak mengakui dan menghormati SBY sebagai Presiden RI ke-6? Kan enggak. Apakah Megawati dikriminalisasi, dicari-cari kesalahannya oleh SBY ? Kan enggak juga. Apakah waktu itu ada pengurus atau kader yang disodorkan PDI Perjuangan yang masuk ke jajaran pemerintahan selama SBY menjadi Presiden selama dua periode ? Juga tidak ada. Megawati dan partai yang dipimpinnya konsisten berada di barisan oposisi, berperan sebagai partai yang berseberangan dengan pemerintah. Apakah salah ? Apakah melanggar konstitusi? Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, sikap Megawati dan PDI-P tentu tidak salah. Justru seharusnya begitulah sikap pemimpin partai oposisi. Tugasnya melakukan check and balance terhadap jalannya pemerintahan. Lalu mengapa sekarang Joko Widodo sibuk membujuk Prabowo Subianto agar mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi dengannya ? Bukankah Prabowo-Sandi sudah menyatakan menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) walaupun dengan rasa kecewa. Perlukah Prabowo juga memberi ucapan selamat kepada Presiden yang telah dimenangkan KPU ? Permintaan kubu Jokowi agaknya terlalu lebay juga. Setelah menang dengan cara curang, rupanya kubu Jokowi belum merasa tenang sebelum Prabowo dan Gerindra berhasil mereka rangkul. Jika merujuk pada Pilpres 2014, waktu itu Jokowi sengaja mengadakan safari politik dengan mengunjungi kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kartanegara Jakarta. Tujuannya untuk merangkul parpol koalisi pro Prabowo. Setelah Jokowi dan Prabowo salaman, Partai Golkar salah satu parpol pendukung Prabowo langsung lompat pagar merapat ke kubu Jokowi-Jusuf Kalla dan mendapat jatah menteri dan kursi Ketua DPR-RI. Partai lain pro Prabowo yang juga mendapat konsesi adalah PAN. Meskipun waktu itu Ketua Umum PAN Hatta Radjasa batal jadi Wapres, namun partainya mendapat jatah kursi Ketua MPR-RI yang hingga kini dipegang oleh Zulkifli Hasan. Perjalanan politik berikutnya, Zulhas terpilih sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Radjasa. Sedangkan Partai Gerindra dan PKS waktu itu tetap berada di luar pemerintah sebagai partai oposisi. Sama dengan Pilpres 2019, pada Pilpres lima tahun lalu juga terjadi pertarungan yang cukup keras baik diantara parpol pendukung Jokowi dengan parpol pro Prabowo. Sementara masyarakat terbelah dua sama seperti sekarang. Keberpihakan media mainstream tidak berubah, secara kasat mata sejak 2014 hingga sekarang tetap mendukung kubu Jokowi. Pada Pilpres 2014, boleh dibilang persaingan yang keras dan ketat hanya terbatas pada level kader dan para simpatisan Parpol. Oleh karena itu setelah proses rekonsiliasi dan bagi-bagi kursi kekuasaan selesai, semua elite dan kader parpol tidak ribut lagi dan menganggap proses politik sudah selesai. Sementara rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya pada pasangan Prabowo-Hatta Radjasa, dilepeh begitu saja. Mereka dibutuhkan hanya menjelang pemilu dan Pilpres saja. Setelah Pilpres berakhir, suara rakyat dianggap tidak ada. Strategi politik yang hendak dilakukan kubu Jokowi sekarang sama seperti tahun 2014. Dengan dalih untuk menghindari kemungkinan terjadinya gerakan boikot pada pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla, perlu ada rekonsiliasi dengan kubu Prabowo-Hatta Radjasa. Kini alasan yang dipakai kubu Jokowi dalam merangkul pihak oposisi, untuk meredam ketegangan di lapis bawah (grass root). Strategi menyerang dan merangkul lawan politik ini bagaikan pertandingan tinju. Satu sama lain saling memukul, kemudian begitu terdesak sengaja merangkul supaya pihak lawan tidak memiliki ruang untuk memukul lagi. Begitulah cara politik Machiavelli, berpolitik hanya untuk meraih kekuasaan semata. Segala cara dilakukan termasuk melakukan kecurangan. Keinginan dan ajakan kubu Jokowi untuk rekonsiliasi dibarengi dengan iming-iming pemberian jatah menteri dan kedudukan penting lainnya di pemerintahan. Menghadapi gencarnya berbagai upaya pendekatan ke kubu Prabowo-Sandi, sejumlah kalangan berusaha memberi penguatan kepada keduanya agar tetap konsisten sebagai oposisi. Jangan pernah mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi. Bagaimana dengan parpol pendukung Prabowo-Sandi lainnya ?. Seperti sudah kita ketahui bersama, Partai Demokrat sejak masa kampanye telah menyeberang ke kubu Jokowi karena Agus Harimurti, salah satu putra kesayangan SBY, telah dijanjikan kursi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Demikian juga PAN, ada kecenderungan untuk merapat ke kubu Jokowi. Sebaliknya PKS sudah sejak awal menyatakan untuk berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Sementara parpol yang mengatasnamakan Islam seperti PKB dan PPP, dalam setiap Pemilu selalu menjadi bagian dari penguasa. Pendekatan yang kini sedang gencar dilakukan kubu Jokowi lebih banyak ditujukan kepada para elite Partai Gerindra dan Prabowo-Sandi. Beberapa elite Partai Gerindra, nampak ada yang telah "masuk angin". Mereka mulai tergiur dengan iming-iming kursi menteri yang ditawarkan Jokowi-Ma'ruf Amin. Sejumlah orang di Partai Gerindra yang kerap mengemukakan pendapat tentang pentingnya rekonsiliasi berdalih bahwa beroposisi tidak harus di luar pemerintahan tapi juga bisa masuk ke dalam pemerintah, mengontrol dari dalam. Ini pernyataan klasik yang banyak kamuflasenya. Sebaliknya anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra M Syafii, lebih menginginkan partainya tetap menjadi oposisi. "Saya kira dalam demokrasi yang sehat ada dua pilar yang sangat baik, yaitu partai pendukung dan oposisi. Saya kira demokrasi tidak akan sehat kalau semua partai yang ada menjadi partai pendukung pemenang pemilu. Harus ada yang bersikap oposisi," ujar Syafii di Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019), sebagaimana dikutip portal berita Detik. Dibalik gencarnya strategi politik yang kini dijalankan kubu Jokowi timbul sejumlah pertanyaan yang mengemuka di kalangan masyarakat. Apakah ajaka rekonsiliasi itu murni hanya ingin merangkul Prabowo-Sandi dan parpol pendukungnya ? Atau ada target lain yakni ingin menjauhkan sosok Prabowo-Sandi dengan para pemilihnya terutama kalangan umat Islam dan para ulama yang mendukungnya. Berbeda dengan Pilpres 2014, dalam Pilpres kali ini Prabowo mendapat dukungan luas dari kalangan umat Islam, para ulama serta emak-emak militan. Sehingga kalau Prabowo sampai menerima ajakan untuk bertemu atau melakukan rekonsiliasi, sama artinya dia telah mencederai kepercayaan rakyat yang telah memilihnya dalam Pilpres 2019. Lebih dari itu, jika Prabowo sampai menerima bujuk rayu dan iming-iming dari kubu sebelah, maka dia tidak menghargai pengorbanan rakyat yang menjadi korban dalam kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019. Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat yang disampaikan dr Ani Hasibuan melalui tweeternya. "Sebenarnya ini bukan soal Prabowo dan Jokowi. Ini tentang rakyat yang tidak mendapat keadilan. Jadi kalau Pak @prabowo dan @sandiuno mau pelukan dengan kubu sebelah, mangga aja. Kita tidak butuh mereka kok. Ada Allah SWT tempat bersandar". Wallahu a'lam.

Palangkaraya Tidak Ideal dari Pertahanan Negara

Oleh Selamat Ginting (Jurnalis, Pemerhati Militer) Jakarta, FNN - Mengapa sebagai calon ibukota negara, Palangkaraya rawan dari sisi pertahanan keamanan negara? Rencana pemindahan Ibukota Negara keluar Pulau Jawa telah diwacanakan sejak zaman Presiden Sukarno, pada 1957. Empat dekake kemudian, Presiden Soeharto juga merencanakan pemindahan ibukota ke Jonggol, Jawa Barat, pada 1997. Pada Sidang Kabinet terbatas, 29 April 2019, Kepala Bapenas telah memaparkan ada tiga aternatif pemindahan ibukota negara kepada Presiden Joko Widodo. Pertama, tetap di wilayah DKI Jakarta. Namun dibuat distrik khusus. Kedua, pindah di wilayah yang dekat dengan Jakarta. Sekitar Jabodetabek. Ketiga, pindah keluar pulau Jawa. Secara prinsip pemerintah Jokowi setuju Ibukota Negara dipindahkan dari Jakarta. Palangkaraya di Kalimantan Tengah, kembali disebut-sebut ideal. Tetapi banyak yang tidak memahami kerawanan dari segi pertahanan keamanan negara (hankamneg). Palangkaraya adalah zona berbahaya dari segi hankamneg. Bahkan rawan terhadap kemungkinan adanya konsentrasi kekuatan pasukan militer darat lawan. Dalam hal ini, Angkatan Bersenjata Malaysia. Jarak Palangkaraya ke Serawak, Malaysia, sekitar 712 km. Atau 8 jam perjalanan darat. Mereka dapat menggelar pasukan darat secara leluasa. Termasuk menyusupkan pasukan intelijennya melalui perbatasan darat. Tentu saja dengan menyamar dengan beragam profesi. Mulai sopir bus, pedagang, turis dan segala macam. Akan mudah sekali pasukan artileri pertahanan udara (arhanud) Malaysia menembakkan meriamnya ke Palangkaraya. Kapal perang angkatan laut Diraja Malaysia juga dengan mudah menembakkan meriam ke Kalimantan Tengah. Dalam hitungan menit Palangkaraya luluh lantak. Tak ada waktu untuk menyelamatkan diri bagi kepala negara kekuar dari istana. Publik harus tahu, wilayah perbatasan darat merupakan garis lingkar pertahanan terdepan. Jadi, wilayah Kalimantan Tengah juga bukan merupakan daerah belakang. Sehingga, jauh dari ideal untuk dijadikan ibukota negara. Sebagai wartawan pemerhati militer, saya hanya mengingatkan dari perspektif pertahanan mendalam. Palangkaraya tidak ideal dari sisi hankamneg.

Demokrasi Kita Dalam Bahaya (Bagian II)

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - “Apakah Prabowo bisa menang?,” Pertanyaan itu muncul di jutaan benak publik Indonesia menggantikan pertanyaan sebelumnya “Apakah Prabowo menang Pilpres?.” Keyakinan bahwa Prabowo memenangkan Pilpres 2019 dan secara de facto Presiden RI 2019-2024 sudah selesai. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati mayoritas rakyat Indonesia. Bukan hanya karena klaim sepihak kemenangan oleh Prabowo, namun fakta adanya kecurangan yang sangat massif di lapangan. Publik sudah sampai pada pemahaman yang sama “Kalau benar Jokowi menang seperti dikatakan oleh lembaga survei, mengapa harus melakukan kecurangan?,” Bukankah seharusnya Jokowi benar-benar menjaga pilpres dan proses penghitungan suara berlangsung secara adil, jujur, dan bersih. Dengan begitu kemenangannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Tidak perlu diragukan dan ada sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi. Sampai sejauh ini tidak ada satupun pernyataan Jokowi tentang perlunya menjaga kualitas pilpres dan pentingnya menyelamatkan demokrasi. Dia hanya diam membisu melihat banyaknya kecurangan di depan mata. Sikap maupun pernyataan Jokowi sama sekali tidak menunjukkan seorang kandidat yang baru saja memenangkan kontestasi sebagaimana coba dibangun dan didesakkan ke memori publik oleh lembaga survey melalui quick count. Yang terjadi Jokowi malah mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk mencoba bertemu Prabowo. Publik memahami melalui sang super minister, mastermindmencoba menawarkan deal-deal politik dengan Prabowo, karena posisinya sedang terdesak. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, Jokowi tinggal memerintahkan birokrasi negara, Polri, kalau perlu melibatkan TNI untuk mengamankan pilpres dan hasilnya. Cegah semua kecurangan. Tangkap pelaku pencoblosan surat suara secara tidak sah. Tangkap siapapun yang melakukan kecurangan. Mulai dari petugas KPPS, oknum polisi, atau siapapun. Awasi penghitungan suara secara ketat, dan amankan semua proses penghitungan suara. Pada tanggal 22 Mei 2019, ketika selesai penghitungan suara, KPU melakukan pleno rekapitulasi suara, Jokowi sah secara legal dan formal menduduki kursi presiden untuk periode kedua. Setelah itu sebagai presiden terpilih, dia tinggal mengundang Prabowo ke istana, atau di tempat netral sebagai simbol rekonsiliasi nasional. Langkah yang sama juga pernah dia lakukan pada Pilpres 2014. Prabowo datang bertemu Jokowi di istana, Jokowi kemudian membalas kunjungan ke Hambalang, dan naik kuda bersama Prabowo. Case closed. Jokowi kembali menjadi presiden. Tinggal bagi-bagi jabatan dengan parpol pendukungnya. Bagi-bagi konsesi dengan kelompok oligarki pendukungnya. Rakyat Indonesia bisa kembali dininabobokan dengan janji-janji politiknya. Bagi-bagi kartu beraneka ragam, atau dibuat terpesona dengan pembangunan proyek infrastruktur megah hasil berutang dari pemerintah Cina. Bukankah seperti dikatakan oleh Luhut pada bulan April ini perjanjian proyek One belt, One road dengan pemerintah Cina akan segera ditandatangani di Beijing. Cacat sejak awal Pilpres kali ini, sudah cacat sejak awal. Cacat bawaan yang direncanakan secara cerdik, namun culas. Kecurangan sudah terjadi sejak mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan setelah selesai pelaksanaan. Karena itu tidak berlebihan bila banyak yang menyatakan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Target utamanya Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, bagaimanapun caranya, dan berapapun harganya. At all cost. Termasuk bila harus mengorbankan demokrasi. Tahap pertama. Dari sisi perencanaan sudah terlihat ketika parpol pendukung pemerintah bekerja keras mati-matian membatasi jumlah capres. Mereka menggolkan aturan presidential threshold (PT) 20 persen kursi atau 25 persen total suara secara nasional sebagai syarat untuk parpol atau gabungan parpol dapat mengusung capres/cawapres. Dengan PT tersebut para pendukung utama Jokowi sudah bisa membatasi capres yang ada maksimal hanya tiga pasang. Sampai disitu para pendukung merasa belum aman. Mereka melangkah lebih jauh agar Jokowi dapat menjadi calon tunggal. Lagi-lagi Luhut Panjaitan, inang pengasuh Jokowi yang menjadi operator. Pada tanggal 6 April 2018 Luhut bertemu secara diam-diam dengan Prabowo di sebuah restorant di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Luhut menawari Prabowo untuk menjadi cawapres Jokowi. Bila semua partai koalisi pendukung pemerintah bersatu ditambah Gerindra maka sulit bagi partai lain untuk mengusung capres sendiri. Tinggal Demokrat, PAN, dan PKS. Dari berbagai data survei yang mereka miliki, jika Jokowi dipasangkan dengan Prabowo, maka tidak ada lawan potensial yang bisa mengalahkannya. Dalam proses ini sejumlah lembaga survei sudah bekerja. Mereka membombardir publik dengan publikasi survei tingkat kepuasaan atas kinerja Jokowi sangat tinggi. Secara elektabilitas Jokowi juga tidak tertandingi. Di bawah Jokowi, yang mempunyai elektabilitas cukup lumayan hanya Prabowo. Publik dipaksa meyakini Jokowi satu-satunya capres yang dikehendaki rakyat. Gagal meyakinkan Prabowo, mereka berusaha mati-matian agar maksimal paslon yang maju hanya dua pasang. Andi Wijayanto ketua Cakra-9 —salah satu organisasi sayap pemenangan Jokowi— mengakui tugas itu berhasil mereka laksanakan. Mereka sukses menggergaji hak demokrasi rakyat dan memaksa pemilih hanya mempunyai dua pilihan : Jokowi atau Prabowo. Pada saat itu aparat kepolisian dan intelijen menekan gerakan #2019GantiPresiden. Salah satu inisiatornya Neno Warisman dikepung di Bandara Pekanbaru, Riau. Kepala Badan Intelijen Nasional (Kabinda) Riau terlibat dalam aksi itu. Targetnya gerakan ini tidak boleh membesar. Harus dikempesin. Sangat berbahaya bagi Jokowi. Tahap kedua, sebelum pelaksanaan. Kali ini yang menjadi operatornya adalah Kemendagri. Tiba-tiba mereka memasukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tambahan sebanyak 31 juta. Koalisi Indonesia Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi mempersoalkannya dan menyebutnya sebagai DPT siluman. Namun Depdagri bersikeras bahwa tambahan DPT itu sudah termasuk dalam DPT sebanyak 196 juta pemilih. Dengan asumsi partisipasi pemilih sebesar 80 persen, maka DPT tambahan 31 juta, setara dengan 20 persen suara sah. Kisruh itu berlanjut dengan munculnya data DPT ivalid sebanyak 17,5 juta. Dengan bermain-main di DPT, Paslon 01 sudah punya spare suara “cadangan” yang sangat besar. Jumlahnya setidaknya setara dengan klaim kemenangan oleh lembaga survei sebesar 7-9 persen. Pada tahap ini semua aparat birokrasi pemerintah mulai dilibatkan. Mulai dari aparat kepolisian yang melakukan pendataan pemilih, penggelontoran anggaran Bansos, dan pembagian dana-dana CSR dari sejumlah BUMN, tekanan terhadap kepala desa, bahkan sampai RW dan RT. Tahap ketiga, pelaksanaan berupa eksekusi di lapangan. Pada tahap inilah kecurangan yang sangat massif dan terungkap di publik. Dimulai dari pencoblosan surat suara atas paslon 01 di Malaysia, pertugas KPPS mencoblos sendiri surat suara, Bawaslu menemukan ribuan petugas KPPS yang tidak netral, dan adanya 6,7 juta surat undangan yang tidak sampai ke tangan pemilih, banyaknya kertas suara yang tidak sampai, termasuk hilangnya TPS di wilayah yang diidentifikasi menjadi basis 02. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi melaporkan ada sebanyak 1.261 kecurangan. Jumlahnya akan terus bertambah. Tahap keempat, pasca pencoblosan. Modus juga sangat beragam. Mulai dari perusakan dan pembakaran kertas suara, adanya penggelembungan suara di tingkat PPK, mengganti hasil perolehan suara di C1, dan yang paling banyak adalah kesalahan input data di KPU pusat. Anehnya kesalahan input itu seragam. Suara paslon 01 bertambah, dan suara paslon 02 berkurang. Kesalahan itu diakui oleh komisioner KPU dan mereka berdalih ada kesalahan input. Melihat berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif itu terlalu naif bila kemudian Paslon 02 dan pendukungnya hanya berpangku tangan, menunggu perhitungan suara selesai. Bila ada kecurangan di bawa ke jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhirnya sudah bisa diduga. Dapat dipastikan gugatan itu akan dimentahkan. Mereka terlalu naif bila mengikuti alur permainan yang memang telah disiapkan oleh kubu paslon 01. Mulai dari lapangan bermain, siapa yang boleh bermain, aturan permainan, wasit dan pengawas pertandingan, termasuk penonton sudah ditentukan. Wasit dan pengawas pertandingan tidak segan-segan mengeluarkan penonton kubu Paslon 02 yang mempersoalkan kecurangan. Sebaliknya mereka diam saja ketika ada penonton dan pendukung paslon 01 ikut bermain dan mengacaukan permainan. Demokrasi kita dalam bahaya. Demokrasi kita sedang dibajak oleh kelompok oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka memilih seorang penguasa yang lemah untuk didudukkan di singgasana, agar mereka bisa terus bermain secara leluasa, mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Demokrasi kita harus diselamatkan. Rakyat harus menunjukkan kekuatannya. Tunjukkan kekuatan rakyat yang ingin menyelamatkan demokrasi. Jangan mau diprovokasi. Tunjukkan rakyat Indonesia cinta damai. Tunjukkan bahwa jutaan orang bisa berkumpul menyampaikan aspirasinya tanpa berbuat anarkis. Jutaan orang berkumpul secara damai, tertib, tak selembar rumputpun yang rebah. Aksi 411, 212, Reuni Akbar 212 sudah membuktikannya. Bawaslu tidak mungkin bertindak sendiri. Mereka harus didukung, dibantu, diperkuat. Mereka tidak akan mampu menghadapi kartel ekonomi dan politik yang dimainkan oleh oligarki. Para oligarki ini adalah deep state, negara dalam negara. Ini bukan soal kalah menang. Bukan soal Prabowo menjadi presiden atau tidak. Ini soal suara rakyat, soal kedaulatan rakyat yang dibajak. Sekali lagi DEMOKRASI KITA DALAM BAHAYA. End

Kecurangan Malaysia: Mesin Fitnah 01 Mau Salahkan 02

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN – Tulisan ini diturunkan untuk membantu agar kubu 01 bisa sejenak memulihkan fungsi ‘lobus frontalis’ (otak depan) mereka. Sebab, dalam kasus coblos illegal di Malaysia, mereka mencoba mengolah fakta di pabrik fitnah dan hoax mereka menjadi kesalahan orang lain. Alhamdulillah, kubu 02 sejauh ini terjaga dari segala perbuatan yang hina dan licik. Tak sempat lama mesin fitnah 01 berpikir. Berpikir bagaimana cara untuk membuang kotoran kecurangan licik yang terjadi di Malaysia. Langsung bertebaran meme ‘akal miras’ (akal minuman keras) mereka. Sambil mabuk, para pendukung 01 ingin mengalihkan substansi isu coblos illegal itu menjadi skenario 02. Demi persaudaraan dengan Anda, wahai para pendukung dan pembuat fitnah di kubu 01, saya bantu untuk menemukan logika kasus coblos curang itu. Mungkin Anda semua sedang sempoyangan akibat miras, tak bisa berpikir jernih. Tak rela mengakui kesalahan dan fakta. Untunglah ada Pak Masinton Pasaribu (orang penting 01) yang menyiramkan air penyadar ke muka Anda yang sedang mabuk itu. Mari kita telusuri pakai akal sehat, wahai para operator mesin fitnah jahat 01. Anda me-meme-kan bahwa orang 02 mencoblos sendiri, gerebek sendiri, teriak sendiri. Ini sama sekali tidak logis. Yang logis? Fakta 1: Pak Masinton (seorang pemuka 01 asal PDIP) mengatakan bahwa sindikat jual suara sudah berlangsung sejak lama di Malaysia. Pak Masinton mengatakan, dia sendiri ditawari ‘suara murah’ dari Malaysia, tetapi beliau tolak. Kalau ditarik ke belakang, ke pilpres 2014, berat dugaan kecurangan ini sudah dilakukan untuk memenangkan Pak Jokowi, waktu itu. Check list: ‘lobus fontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 2: Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Malaysia diawasi langsung oleh Wakil Duta Besar yang duduk sebagai anggota PPLN. Untuk Anda ketahui, anak Dubes Rusdy Kirana, yaitu Davin Kirana, adalah caleg NasDem dapil DKI. Bantuan logika untuk adalah: bagaimana mungkin ribuan surat suara itu bisa jatuh ke orang 02 untuk dicoblos fitnah, sementara PPLN Malaysia yang diawasi Wakil Dubes itu bekepentingan untuk menjaga Davin Kirana? Anda pikir Wakil Dubes yang duduk di PPLN itu berani melawan Dubes yang sangat dekat dengan Pak Jokowi? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 3: PPLN Malaysia menolak pendampingan kotak suara keliling (KSK) oleh petugas Bawaslu. Siapakah yang menolah itu? Tentu Wakil Dubes yang Dubesnya punya anak untuk dimenangkan di pileg DPRRI. Tidakkah Anda memiliki logika bahwa Wakil Dubes yang bertugas di PPLN itu punya pengaruh dan otoritas besar? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 4: Orang 02 menggerebek sendiri, memviralkannya sendiri. Bantuan logika untuk Anda adalah: apakah bisa diharapkan orang 01 melakukan penggerebekan yang tulus-ikhlas sehingga terbongkarlah coblos illegal untuk capres 01 dan caleg Davin Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 5: Sebagai presiden, capres 01 memiliki dan menikmati keistimewaan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Siapakah, menurut akal sehat kalian, yang paling mudah melakukan kecurangan pemilu? Jokowi yang punya Mendagri, Jokowi yang punya Kapolri, Jokowi yang punya Menteri BUMN, Jokowi juga yang punya Dubes di Malaysia. Mungkinkan Prabowo mengerahkan ASN, Polisi, jajaran BUMN, mengerahkan Dubes Rusdy Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 6: Sama dengan isu Ratna Sarumpaet? Come on, kawan. Semua orang yang waras paham bahwa Pak Prabowo dan seluruh kubu 02 tidak pernah mengatur kebohongan Ratna. Hanya hati busuk dan akal sempit kalian di 01 yang memaksakan agar kebohongan itu ditimpakan ke kubu 02. Biar kalian paham, rangkaian kampanye 01 dan dukungan untuk Jokowi menjadi hancur-berantakan gara-gara hati kalian yang sudah berulat itu. Chcek list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. NOTE: supaya kalian tidak bingung, ‘lobus frontalis’ adalah otak depan yang berfungsi menerima dan mengolah infomasi; membuat ‘reasoning’ yang sehat; memahami bahasa, merancang kreativitas, dan menilai sesuatu. Cukup ini saja dulu, wahai saudara-saudaraku di kubu 01. Kalau terlalu banyak, khawatir masa pulih otak depan Anda habis waktu. Supaya berimbang, mohon tuliskan fakta dan logika Anda. Tapi, mohon Anda tulis dalam keadaan bebas pengaruh zat ‘fitnatanol’. Yaitu, fitnah yang mengandung alkolol 57% (seperti survey LSI Denny JA). (Penulis adalah wartawan senior)

Mind Games, Permainan Berbahaya KPU

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Benarkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang menjalankan mind games, permainan pikiran? Mereka coba mempengaruhi, memanipulasi rakyat Indonesia, —terutama pendukung Prabowo— agar meyakini bahwa pilpres sudah selesai. Tidak perlu lagi melakukan perlawanan. Para saksi tidak perlu lagi mencermati hasil penghitungan suara. Quick count yang dilansir lembaga survei sudah benar. Jokowi menang dan Prabowo kalah? Metode permainan psikologi untuk memanipulasi dan mengintimidasi pikiran orang itu cukup sederhana. Melalui Aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng, KPU memasukkan ( entry ) data dari daerah-daerah yang dimenangkan Jokowi. Sebaliknya untuk provinsi yang dimenangkan Prabowo, entry datanya diperlambat. Kalau toh dimasukkan, maka dipilih kota/kabupaten, bahkan kecamatan yang suaranya dimenangkan Jokowi. Abrakadabra…..! Melalui pemetaan dan pemilihan asal suara secara cermat, data yang ditampilkan oleh KPU angkanya bisa persis sama dengan hasil quick count. 54-45 persen. Spekulasi itu belakangan ini banyak bermunculan di media sosial. Jangan terlalu cepat percaya. Please cek ricek terlebih dahulu. Untuk membuktikannya silakan buka web resmi KPU dan masuk ke aplikasi Situng. Dijamin Anda akan kagum dengan hasil karya para komisioner KPU. Aneh tapi nyata! Kok bisa-bisanya mereka melakukan hal itu. Tega banget! Mengangap semua orang Indonesia bodoh dan bisa dibodohi. Praktisi public relations Heri Rakhmadi menulis sebuah opini dengan judul “Quick Count, Real Count KPU dan Angka Cantik 54 Persen.” Secara satire Heri mempertanyakan mengapa data real count KPU bisa sama persis dengan quick count? “Setelah menghiasi layar kaca dan portal berita, kini angka 54 persen juga terus menghiasi layar tabulasi real count milik KPU. Tentunya angka 54 persen ini kembali disematkan kepada Paslon 01, walau sesekali dia dengan centil naik ke angka 55 persen,” tulisnya. Wartawan Republika Harun Husein sudah dua kali membuat tulisan di akun facebooknya. Tulisan pertama berjudul “Real Count Masih Pilih Data.” Harun menyoroti derasnya data KPU dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diidentifikasi menjadi kantong suara Jokowi. Sebaliknya data dari Jawa Barat dan DKI Jakarta, kantong suara Prabowo masuknya beringsut. “Akibatnya, walaupun data masuk baru sekitar 7,75 persen dari total 813.350 TPS di seluruh Indonesia, hasilnya klop dengan _quick count_ dari lembaga-lembaga survei, seolah sudah distel sedemikian rupa,” tulisnya pada Sabtu (20/4) Pukul 23.49. Harun kembali membuat tulisan kedua dengan judul “Real Count (Masih) Rasa Quick Count.” “Sampai dengan Senin pagi ini, porsi Jateng di Real Count masih tetap yang terbesar, dengan 2,9 juta suara (13,9%), disusul Jatim 2,28 juta suara (10,9%), Jabar 1,9 juta suara (9,3%), DKI Jakarta 1,2 juta (5,7%). Sedangkan daerah-daerah lainnya jauh tertinggal.” Ketika dibuka pada Selasa malam (23/4) pukul 20.20 WIB komposisinya tidak berbeda jauh dengan yang ditulis Harun. Total prosentase suara yang masuk ke Situng KPU 26 persen, tapi di tiap-tiap daerah berbeda-beda prosentase masuknya. Beberapa daerah yang dianggap basis 01, seperti Jawa Tengah dan Bali tinggi inputnya. Jawa Tengah sudah 21 persen, Bali 35 persen. Sementara basis 02 seperti Jawa Barat baru 11,5 persen, Banten 15 persen. Jakarta yang seharusnya bisa lebih cepat, ternyata data yang diinput baru 26 persen. Menariknya lagi-lagi data yang diinput terkesan mencurigakan. Wilayah yang diidentifikasi sebagai basis 01 seperti Jakarta Barat sudah 30,7 persen. Lebih tinggi dari basis 02 Jakarta Selatan 27 persen, dan Jakarta Timur 20 persen. Di Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat tempat Jokowi memilih sudah masuk 49 persen, Menteng 50 persen. Namun Tanah Abang basis pendukung 02 baru 9,5 persen. Heri dan Harun tidak salah. Walaupun keduanya menulis dengan nada bercanda, sedikit ngledek, tapi pesannya sama. Mereka mencurigai data yang dirilis Situng KPU kok “secara kebetulan” mirip dengan hasil quick count. “Mbok data RC jangan statis seturut QC lah. Dinamis sikitlah, atau sekali-kali zig-zag seperti MotoGP yang ada adegan kejar-kejaran dan salip menyalip di tikungan, biar penontonnya antusias tepuk tangan mengelu-elukan jagoannya…,” pesan Harun. Sampai kapan KPU bisa menjalankan skenario mind games? Mempengaruhi pikiran publik agar percaya bahwa hasil quick count benar, dan Prabowo kalah? Sulit bertahan Bersamaan dengan semakin tingginya data yang masuk, maka dipastikan komposisinya akan berubah. Apalagi bila data dari Jabar yang menjadi basis 02 masuk. Jangan lupa Jabar memiliki jumlah pemilih terbesar di Indonesia, 17 persen dari DPT. Data Situng KPU akan berubah sangat signifikan dan tak terhindarkan Prabowo menang. Apalagi bila data dari Sumatera dan sebagian Sulawesi yang dimenangkan secara mayoritas oleh Prabowo masuk. Skenario permainan pikiran publik itu berantakan. Sampai disini kita bisa memahami mengapa KPU melakukan “kesalahan” input data yang sangat konsisten. Suara Jokowi bertambah, dan suara Prabowo berkurang. Polanya sangat baku. Suara Jokowi digelembungkan, dan suara Prabowo dikempeskan di ratusan TPS. Itu adalah bagian dari skenario besar kecurangan. Mereka bekerja secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan Pilpres. Apapun caranya, berapapun harganya, Jokowi harus menang! Bagaimana KPU bisa menjelaskan kasus di TPS 4, Petak Kaja, Gianyar, Bali. Suara Jokowi berubah dari 183 menjadi 1.183, dan suara Prabowo hanya 2. Jumlah seluruh suara sah di TPS itu sebanyak 185, jumlah suara tidak sah 4, sehingga total hanya 189 suara, baik yang sah maupun yang tidak sah. Di TPS 48 Tanah Baru, Depok, Jabar Jokowi 135 suara, Prabowo 114 suara. Suara tidak sah 3 suara, dengan jumlah pemilih 252 orang. Namun berdasarkan data Situng, suara untuk 01 dicatat 235 suara, dan 02 ditulis 114 suara. Ada penggelembungan 100 suara untuk Jokowi. Kalau ada waktu silakan buka media online dan medsos, dijamin Anda bakal kelelahan dan kewalahan karena mendapati “kesalahan” semacam itu. Kasusnya sangat buaanyaaak! Suara Jokowi menggelembung sampai tambun. Suara Prabowo dikempesin sampai kurus kering. Dengan jumlah TPS lebih dari 800.000, kalau mereka menambah rata-rata 10 suara, sudah ada penambahan 8 juta suara, atau sekitar 8 persen dari suara yang sah. Kalau mereka bisa menambah 100 suara seperti di Depok, jumlahnya 80 juta. Tambahan suaranya sudah 50 persen. Kalau 1.000 suara seperti di Bali, jumlahnya mencapai 800 juta suara. Jokowi menang 450 persen! Masuk akal? “Kalau mau curang ya sedikit cerdas lah. Mbok sekali-kali, ada suara Prabowo yang digelembungkan,” canda mantan Komisioner KPU Prof Chusnul Mariyah. End

Terlambat, Malaysia Tak Bisa Lepas dari Perangkap Cina

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mahathir mengakui, “Sudah terlambat.” Malaysia tidak bisa lagi lepas dari perangkap utang China. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, denda pembatalan proyek sangat mahal. Kedua, persentase pengerajaan proyek-proyek tsb sudah lumayan besar. Ketiga, proyek-proyek itu memang diperlukan tetapi tidak semuanya urgen. Salah satu dorongan yang paling kuat bagi Dr M (begitu beliau sering disingkat oleh media massa) untuk merebut kekuasaan dari PM Najib Razak adalah soal RRC yang ‘merajalela’ di Malaysia. Investasi RRC memang sangat besar di negara tetangga kita itu. Setidaknya ada 11 proyek raksasa yang dibiayai dengan utang dari RRC. Pada hari-hari pertama terpilih sebagai PM tahun lalu, Tun Mahathir mengirimkan pesan keras kepada Beijing tentang keinginan dan tekad beliau untuk mengendalikan arah perjalanan Malaysia. Caranya ialah dengan membatalkan proyek-proyek besar China. Mahathir sungguh-sungguh ingin melepaskan Malaysia dari jeratan utang RRC. Dan dia malah sempat mengatakan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, agar menghindarkan jebakan utang RRC. Mahathir juga mengatakan Najib Razak menggadaikan Malaysia kepada China. Malangnya, Malaysia sendiri akhirnya tak bisa lepas dari cengkeraman China. Paling banter Mahathir hanya bisa merundingkan kembali proyek-proyek besar untuk memperkecil biayanya. Salah satu yang bisa dipangkas adalah Jalur Kereta Pantai Timur (East Coast Rail Link, ECRL). Biaya ECRL yang semula ditetapkan 15.7 miliar USD diperkecil menjadi 10.7 miliar USD. Mahathir sangat ingin mengendalikan investasi RRC karena melihat pengalaman banyak negara lain. Negara-negara itu terpaksa menyerahkan proyek-proyek vital kepada RRC karena tak sanggup membayar cicilannya. Sebagai konsekuensinya, pihak RRC harus dibolehkan mengelola pelabuhan, bandara, jalan tol atau jaringan kereta api sebagai ganti pembayaran cicilan utang. Inilah yang terjadi di Djibouti, Angola, Sri Lanka, Pakistan, Montenegro (di Eropa timur), dan sejumlah negara lain. RRC-lah yang mengatur syarat dan ketentuan pengelolaan fasillitas-fasiitas penting itu. Mereka bisa saja membawa warga China ke negara-negara itu sebagai staf atau pekerja biasa. Perlu diketahui bahwa pembangunan pelabuhan, jalan tol, dan rel kereta api pasti akan selalu ditawarkan RRC. Bahkan mereka bantu dengan pinjaman lunak (soft loan). Mengapa? Karena jaringan transportasi (dara, laut, dan udara) sangat vital bagi ambisi proyek global China yang disebut Belt and Road Initiative (BRI). Tujuan utama BRI adalah untuk menyebarluaskan ‘business parks’ (pusat perindustrian) RRC ke seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang ‘takluk’ ke dalam desain besar hegemoni ekonomi ini hampir pasti akan terjerat utang yang berkepanjangan. Jerat utang itulah yang digunakan RRC untuk mengendalikan negara-negara ‘jajahan BRI’. Tidak saja kendali ekonomi, tapi pasti juga kendali politik. Semoga Indonesia masih bisa diselamatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. *Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)