OPINI
Pilpres = Sepak Bola Gajah?
Oleh Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7). Peristiwa seperti ini juga terjadi lima tahun lalu saat Pilpres 2014. Sama seperti yang terjadi sekarang, lima tahun lalu pun sengketa Pilpres sempat dibawa ke MK. Bahkan ketika itu Prabowo Subianto sempat datang dan memberikan "ceramah" di depan sidang MK. Dan setelah dinyatakan kalah oleh MK, Prabowo akhirnya mau menerima kunjungan Jokowi di Jl Kartanegara Jakarta. Pertemuan politik tersebut sekaligus mengakhiri ketegangan politik yang terjadi antara pendukung dari kedua belah pihak. Demikian pula para elite politik yang sebelumnya sempat mengeras dan tegang selama pemilu, pasca pertemuan politik Prabowo-Jokowi, kembali cair. Ketika itu santer mengemuka isu akan adanya upaya penggagalan pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, pertemuan politik antara kedua "tokoh politik" tersebut segera dirancang dan diatur sebelum acara pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober 2014. Namun meskipun waktu itu Jokowi-Prabowo sudah bertemu dan diantara para elite politik yang berseteru sudah kembali cair dan berdamai, namun hubungan Prabowo dengan media massa masih ada ganjalan. Pada Pilpres 2014, Prabowo Subianto merasa diperlakukan tidak fair oleh media massa khususnya media mainstream. Waktu itu, Prabowo dibombardir dengan berbagai pemberitaan menyangkut HAM pada kerusuhan sosial bulan Mei 1998 serta penculikan aktivis mahasiswa. Pemihakan media massa kepada kubu Jokowi pada waktu itu sangat kentara, bahkan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post sampai membuat tajuk rencana berisi endorsmen khusus terhadap Jokowi. Pada saat media massa berpihak kepada Jokowi, polarisasi dalam masyarakat justru semakin tajam. Inilah benih terjadinya pembelahan dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi ini semakin tajam ketika ada kasus penistaan Al Qur'an yang dilakukan Gubernur DKI waktu itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2016. Kembali kepada pertemuan Prabowo-Jokowi. Drama politik lima tahun lalu, kembali terjadi sekarang pasca Pilpres 2019. Skenarionya nyaris sama, lima tahun lalu Jokowi yang mendatangi rumah Prabowo. Kali ini mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus. Alih-alih hendak menyatukan masyarakat yang sudah terbelah dan ingin menghilangkan istilah cebong dan kampret, pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT justru makin mempertajam polarisasi dalam masyarakat. Bukan hanya antara pendukung Jokowi dengan Prabowo tetapi diantara pendukung Prabowo pun terjadi perbedaan sikap yang tajam. Yakni antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan pertemuan Jokowi-Prabowo. Lalu masing-masing kubu pun membuat meme tentang MRT. Para pendukung kubu Jokowi tiba-tiba menyanjung Prabowo setinggi langit sambil memelesetkan MRT dengan Menyatukan Rakyat yang Terbelah (MRT). Sebaliknya para pendukung Prabowo yang tidak setuju dengan pertemuan tersebut mengartikan MRT sebagai Membuat Rakyat Terbelah (MRT). Jadi sebenarnya drama dan sandiwara politik kali ini adalah pengulangan peristiwa lima tahun lalu. Skenario dan pelakunya sama, yakni Jokowi dan Prabowo. Cuma beda pendampingnya saja, tahun 2014 Jokowi didampingi Jusuf Kalla sedangkan Prabowo didampingi Hatta Rajasa. Kini Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin sementara Prabowo menggandeng Sandiaga Uno. Tahun 2014, Prabowo tidak didukung secara massif oleh kelompok emak-emak militan dan umat Islam serta para ulama garis lurus. Bahkan dalam Pilpres 2019, Prabowo mendapat dukungan bahkan bantuan dana secara spontan dari para relawan dalam berbagai kampanyenya. Namun yang menyedihkan, dalam Pilpres kali ini, banyak korban jiwa berjatuhan. Petugas KPPS Pemilu yang meninggal dalam perhelatan demokrasi kali ini tidak kurang dari 700 orang. Yang memprihatinkan, pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kejadian ini. Tidak ada penyelidikan dan investigasi lebih lanjut atas meninggalnya petugas KPPS tersebut. Persoalan seolah selesai begitu saja dengan pernyataan Menkes bahwa mereka meninggal akibat kelelahan. Tidak hanya itu, dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019, juga banyak menelan korban jiwa dan orang-orang yang hilang. Dalam pelaksanaan Pilpres lima tahun lalu, juga ada kecurangan namun tidak sampai menelan korban jiwa yang banyak seperti sekarang. Setelah itu semua terjadi, tiba-tiba sekarang Prabowo bertemu Jokowi. Ah mungkin saya saja yang lebay menggunakan diksi tiba-tiba ada pertemuan itu. Sangat boleh jadi pertemuan kedua "tokoh" itupun sudah dirancang dengan rapih, sejak mereka sama-sama maju mendaftarkan diri ke KPU, bulan Agustus 2018 lalu. Ibarat sepak bola gajah, pemain dari dua kubu seolah sengit bermain di lapangan, demikian pula para penonton fanatiknya luar biasa memberikan dukungan yang kuat kepada timnya masing-masing. Namun sayang, penyelenggara pertandingan sepak bola sebenarnya sudah mengatur hasil akhir pertandingan ini. Penonton tentu saja kecewa. Patut diduga ajang Pilpres 2019 ini juga sama dengan pertandingan Sepak Bola Gajah. Pemenangnya sebenarnya sudah ditentukan. Meski demikian, masih saja ada kalangan yang penasaran sambil bertanya, sebenarnya apa sih alasan Prabowo menemui Jokowi ? Apakah karena alasan fulus, jabatan atau yang lebih bersifat personal ? Apakah Prabowo sudah tidak mempedulikan lagi besarnya pengorbanan masyarakat selama ini ? Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa mereka loh !. Begitulah pertanyaan masyarakat terutama dari kalangan emak-emak militan. Rupanya jangankan masyarakat, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun mengaku tak mengetahui pertemuan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. "Sama sekali belum tahu. Makanya itu, mengapa kok tiba-tiba nyelonong?" kata Amien, kepada wartawan di kediamannya di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta sebagaimana dikutip portal berita Detik. Selanjutnya Amien berjanji akan memberikan pernyataan setelah mendengar penjelasan langsung dari Prabowo. Partai koalisi Adil Makmur lainnya seperti PKS juga tidak mengetahui pertemuan Jokowi-Prabowo. Yang jelas, pertemuan itu sengaja diatur sehari sebelum acara pesta kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, di Sentul City Bogor, Minggu (14/7). Tentu masyarakat yang cinta akan kebenaran dan keadilan, tidak bisa terus menerus berkutat dalam permainan kotor para elite politik ini. Kita harus bergerak maju ke depan untuk mengatur strategi perjuangan selanjutnya demi menyongsong kehidupan yang lebih baik. Wallahu a'lam.
Jokowi Dapat Semuanya, Prabowo Berikan Seluruhnya
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dari pertemuan Lebak Bulus (13 Juli 2019), ada pertanyaan penting: Jokowi dapat apa, dan Prabowo dapat apa? Siap yang untung, siapa yang rugi? Kalau mau dijawab singkat, itulah judul tulisan kali ini. Yaitu, Jokowi dapat semuanya, sedangkan Prabowo memberikan seluruhnya. Jokowi dapat ‘full package’ dan Prabowo menyerahkan segalanya. Yang diperoleh Jokowi dan yang diberi Prabowo barangkali tidak ternilai secara material. Maksudnya, saya tidak tahu berapa yang pantas dibayar untuk legitimasi jabatan presiden. Mau Anda sebut 25 triliun? Atau 50 triliun? Wallahu a’lam. Tapi jangan salah paham. Saya hanya mencoba menggambarkan betapa mahalnya legitimasi jabatan presiden 2019 yang diperlukan oleh Jokowi dari Prabowo. Jangan sampai ditafsirkan ada deal 25 T atau 50 T. Nanti bisa menjadi fitnah. Sekali lagi, saya hanya mencoba untuk memberikan ‘price tag’ andaikata jabatan presiden itu layak diuangkan. Sekarang, legitimasi itu telah dikatongi Jokowi dengan senyuman lepas dan penuh makna. Senyuman yang menujukkan kepuasan yang utuh. Tidak sompel. Ini bisa terjadi karena Prabowo juga menyerahkan legitimasi itu dengan ‘sepenuh hati’. Betul-betul tulus. Itu terlihat dari suasana gembira-ria. Ada puja-puji yang menyenangkan semua hadirin. Termasuklah para broker yang mencarikan legitimasi itu. Prabowo tampak ikhlas sekali menyerahkan legitimasi yang diperlukan Jokowi tsb. Begitulah saya membaca ekspresi wajah Jenderal sendiri. Tulus-ikhlas bagaikan Anda menjual sesuatu dengan harga yang Anda harapkan dari pembeli. Nah, sekali lagi, jangan sampai salah tafsir. Kata ‘harga’ di sini bukan transaksional sifatnya. Ini hanya untuk membantu kita dalam melihat krusialnya legitimasi itu. Itu isu yang pertama. Isu lainnya adalah pendapat banyak orang bahwa Prabowo pintar memilih tempat (stasiun MRT). Pendapat itu menyebutkan Prabowo, secara halus, merendahkan Jokowi. Direndahkan karena bertemu di stasiun. Bukan di tempat yang mulia seperti Istana, hotel, rumah Prabowo, dst. Mohon maaf, logika ini perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena nilai legitimasi dari Prabowo itu tidak tergantung pada tempat penyerahannya. Kita ambil satu contoh yang mirip dengan legitimasi jabatan presiden itu. Katakan Anda baru saja lulus study S3 di Harvard University, Oxford atau Cambridge. Kemudian rektornya, entah dengan alasan apa, menyerahkan ijazah S3 Anda di toilet kampus. Apakah tempat penyerahan itu akan membatalkan gelar Anda? Tentu saja tidak. Begitu pula dengan legitimasi dari Prabowo. Tidak berkurang nilainya sedikit pun bagi Jokowi ketika itu diberikan Prabowo di stasiun kereta. Bahkan sekiranya Prabowo mengajak Jokowi ke toilet untuk menyalami dia dan mengucapkan selamat, juga tidak cacat sedikit pun asalkan disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang. Tidak terhormatkah di toilet? Sangat keliru. Itu tadi, kalau ijazah S3 Anda diserahkan oleh rektor di toilet, apakah gelar Anda tak berlaku? Menurut saya, Jokowi tidak memerlukan penyerahan legitimasi dari Prabowo di tempat yang terhormat. Yang dia perlukan adalah ucapan selamat yang disaksikan oleh publik, baik itu rekaman video apalagi siaran langsung. Singkirkanlah perasaan Anda bahwa pemberian legitimasi di stasiun MRT merupakan penghinaan terhadap Jokowi. It doesn’t work that way, guys. Persoalan lainnya adalah logika lucu yang perlu diluruskan tentang pertemuan Jokowi-Prabowo. Bahwa kesediaan Prabowo bertemu merupakan strategi mantan Danjen Kopassus itu untuk satu tujuan besar yang tidak bisa diapahami oleh publik. Banyak yang yakin bahwa Prabowo memenuhi undangan naik MRT plus makan siang di Senayan itu adalah taktik untuk memenangkan sesuatu. Bapak-Ibuk sekalian. Tidak ada yang salah untuk tetap menaruh harapan bahwa ‘strategi’ Prabowo itu akan berakhir dengan kemenangan. Inilah harapan yang sangat patut dikagumi. Karena, harapan itu mencerminkan suasana batin yang cukup kuat. Menunjukkan bahwa para pendukung Prabowo tidak mudah menyerah. Tidak gampang putus asa. Ini hebat luar biasa! Hanya saja, harapan itu tak punya referensi yang memadai untuk disebut realistis. Harapan itu bergantung sepenuhnya pada ‘devine intervention’ (kehendak Tuhan). Tak salah kalau disebut mukjizat. Orang yakin akan ada kejutan besar dalam waktu dekat ini. Dasarnya adalah pengajuan gugatan PAP (pelanggaran administrasi pemilu) ke Mahkamah Agung (MA). Sebagian orang percaya Prabowo akan menang dan otomatis menjadi presiden yang sah. Jokowi akan dilucuti. Prabowo-Sandi yang akan dilantik. Semudah itukah? Rasanya tak mungkin. Memang tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Tetapi, sebatas perkiraan realistis manusia, sangat tidak mungkin. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Misalnya, apakah masuk akal dengan satu ketukan palu MA semuanya berbalik untuk Prabowo? Apakah para hakim MA berani tampil beda dari para hakim MK? Dengan peta kekuatan institusional yang ada saat ini, apakah Anda yakin ‘kemenangan’ Jokowi bisa dianulir? Apakah orang-orang kuat Jokowi rela presiden mereka disingkirkan lewat selembar keputusan MA? Wallahu a’lam. Bagi saya, skenario ini jauh panggang dari api! Terus, strategi apalagi? Kawan, semua sudah selesai. Jokowi sudah berhasil mendapakan semua yang dia perlukan. Dan Prabowo sudah memberikan seluruh yang dia miliki.
Natalius Pigai, Komisioner KPK dan Mandat Reformasi untuk Pemberantasan KKN
Oleh: Haris Rusly Moti Jakarta, fnn - Berantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bergema di jalanan di tahun 1998. Istilah KKN menjadi istilah yang sangat populer kala itu. Gerakan pemberantasan KKN adalah anti tesa terhadap sebuah rezim yang dibentuk diantaranya oleh perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Gerakan reformasi itu telah mencapai usia 21 tahun. Namun, mandat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut makin jauh panggang dari api. Bahkan, katanya perilaku KKN justru jauh lebih ganas dari era Orde Baru. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme itu kini menjangkit kepada para pelaku gerakan reformasi yang dulunya lantang meneriakan anti KKN. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini bahkan telah menjadi tujuan setiap orang yang berniat menjadi pejabat negara. Semakin banyak “penjebakan” tangkap tangan yang dilakukan KPK tak membuat para pejabat jera. Bahkan tak mengurungkan niat para pejabat negara untuk merampok uang negara. Angka kejahatan korupsi justru meningkat seiring “keras”nya tindakan KPK. Karena itu, wajar jika banyak kalangan mengkuatirkan agenda pemberantasan korupsi justru berubah tujuan menjadi projek pemberantasan korupsi. Ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi tidak lagi dilihat dari makin berkurangnya angka korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi justru dilihat dari semakin banyaknya keberhasilan KPK melakukan operasi tangkap tangan. Kelihatannya Pimpinan KPK tak konsisten merekomendasikan penataan ulang sistem negara yang dapat mencegah menjamurnya korupsi. Dalam keadaan seperti itulah kita membutuhkan aktivis mahasiswa 1998 sebagai pengusung mandat pemberantasan KKN untuk hadir di dalam institusi negara yang bernama KPK. Sejak gerakan reformasi bergulir, belum pernah ada aktivis mahasiswa 1998 yang duduk di kursi Komisioner KPK. Padahal salah satu landasan dibentuknya KPK diantaranya adalah untuk mewujudkan salah satu mandat reformasi, yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Karena itu, langkah Natalius Pigai untuk ikut seleksi menjadi salah satu Komisioner KPK patut diapresiasi dan didukung. Natalius Pigai sendiri adalah salah satu aktivis gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta. Setidaknya melalui figur Pigai, aktivis gerakan mahasiswa 1998 dapat mempertanggungjawabkan mandatnya yang pernah diusung tahun 1998. Ada apa dengan mandat pemberantasan KKN? Kenapa mandat yang dulu dengan lantang diteriakan kini justru menjangkit balik sejumlah aktor reformasi tersebut? Kehadiran Pigai sebagai aktivis gerakan mahasiswa 1998 di KPK, kita harapkan menyumbang perspektif yang berbeda dengan mindset pemberantasan korupsi yang gagal mencegah menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Haris Rusly Moti, eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta
Pemimpin Itu Rezeki, Bisa Datang dari Arah yang Tak Terduga
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, fnn - Bukan hanya duit, makanan, minuman, kesehatan, dll, saja yang disebut rezeki. Pemimpin juga rezeki. Karena itu, dia termasuk dalam kategori yang bisa muncul dari arah yang tak terduga-duga. Di luar perhitungan. “Man yattaqillaha yaj’allahu makhraja, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Barangsiapa takut kepada Allah, akan diberikan jalan keluar baginya. Dan akan diberikan rezeki kepadanya dari arah yang tak disangka-sangka). Bangsa Indonesia sedang memerlukan seorang pemimpin (rezeki) yang muncul dari arah yang tak terduga-duga itu. Dengan kapasitas yang tak pernah terduga pula. Mengapa diperlukan pemimpin dari arah yang tak disangka-sangka? Karena figur-figur yang dimunculkan dari arah biasa atau “arah yang diduga”, ternyata semuanya bisa “diduga” oleh kubu lawan. Jadi, ke depan ini umat perlu membiarkan ar-Razzaaq memberikan rezeki (pemimpin) yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Cuma saja, rezeki yang datang dari arah yang tak disangka-sangka biasanya turun di tengah situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Kondisi yang membuat orang fokus (khusyu’) meminta pertolongan hanya kepada-Nya saja. Sebagai contoh, ada keluarga miskin yang sudah tiga hari tak makan. Mereka sabar, tabah, berusaha, dan berdoa. Tiba-tiba saja, entah bagaimana, dia mendapat sumbangan dari seseorang yang tak disangka-sangka. Mereka akhirnya bersukacita, bahagia, dan bersyukur tak henti-hentinya. Rezeki yang tak disangka-sangka itu memberikan solusi menyeluruh bagi keluarga miskin tadi. Kini mereka tidak hanya bisa makan tiga kali sehari, melainkan bisa membuat usaha yang dapat menolong belasan keluarga miskin lainnya yang setara seperti mereka. Secara logika, jika mereka menanti rezeki reguler yang “bisa diduga” seperti selama ini, pastilah mereka sekeluarga akan tetap makan kelang-kelang hari. Sekarang, mereka lepas dari penderitaan lahir-batin berkat rezeki yang tak disangka-sangka itu. Begitulah tampaknya kondisi bangsa ini. Sedang menantikan turunnya seorang pemimpin yang tak disangka-sangka dengan kapasitas yang tak pernah terduga. Pemimpin yang siap mengambil langkah apa saja yang tak bisa diduga oleh lawan. Si pemimpin “min haitsu laa yahtasib” itu akan melancarkan gebrakan yang tak pernah disangka-sangka oleh orang lain. Lawan menghadapi suasana yang tidak mereka duga akibat kehadiran pemimpin yang tak disangka-sangka itu. Lawan tergemap. Gugup, gagap dan akhirnya lenyap. Mungkinkah pemimpin yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu muncul saat-saat sekarang? Wallahu a’lam. Jika dilihat dari contoh di atas, jelas ada prasyarat untuk itu. Artinya, umat ini perlu lebih dulu mengalami penderitaan berat. Kondisi ini akan membentuk ketakwaan terbaik dan ketawakkalan. Pada waktu itulah, mungkin, umat bisa mengharapkan rezeki (pemimpin) yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Penulis adalah wartawan senior)
Kenapa Kalian Sibuk Mau Jumpa Prabowo?
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini sibuk sekali Kubu 01 mau mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Entah mengapa mereka di Kubu 01 harus kasak-kusuk agar pertemuan itu terlaksana. Kalau presiden kalian menang bersih di pilpres 2019 ini, kenapa kalian sibuk mau bertemu dengan Prabowo? Untuk apa? Abaikan saja. Lupakan saja semunya. Jokowi ‘kan sudah dilegalkan MK tanpa ada satu pun gugatan Prabowo yang diterima. Berarti MK bilang kalian menang bersih. Ya sudah. Makan kalianlah jabatan presiden itu. Sudah dilegalkan MK, kok. Takut apa lagi? Sudah, ambil sana “hak” kalian itu. Tak usah kalian gubris kami dan Pak Prabowo. Aman kok. Tak akan ada yang mengganggu kalian. Buat saja suka-suka hati kalian. Ayo sana buat pesta pora. Pesta kemenangan bersih. Kemenangan tanpa cacat. Presiden yang dicintai rakyat. Tak perlu apa-apa kok kalian dari kami, dari Pak Prabowo. Indonesia ini punya kalian, bulat. Silakan ambil semuanya. Semua polisi, jaksa, satpol PP punya kalian. Semua kepala daerah punya kalian. Semua kades, kadus, kepling, perangkat desa, dll, kalian punya semua. Atur saja sesuai keinginan kalian. Romahurmuziy punya kalian. Setia Novanto punya kalian. Begitu juga Idrus Marham, dan para pakar korupsi lainnya. Masih belum cukup? Ada sembilan naga punya kalian. Ada Megawati, ada SBY, ada Surya Paloh, ada La Nyalla, ada Zulkifli Hasan. Ada Jusuf Kalla, ada semua mantan presiden dan wapres. Kalian punya semua. Ada juga Mahfud MD yang sangat bijak itu. Semua yang hebat-hebat kalian yang punya. Kurang apa lagi? Oh, barangkali DKI Jakarta harus di tangan kalian. Ambil saja. Mudah kok menyingkirkan Anies Baswedan. Jadi, kalian tak perlu kami, ‘kan? Kenapa kalian ganggu lagi kami? Mau minta jumpa Pak Prabowo segala. Sekali lagi, untuk apa? Tidak ada gunanya. Bagi kalian atau bagi Pak Prabowo. Juga tak ada gunanya bagi kami rakyat beliau. Sekarang kalian berkuasa. Buat saja apa yang kalian suka. Tak usah pikirkan orang lain. Tak usah pikirkan kami. Mau kalian jual negara ini, silakan. Mau kalian buat hancur, silakan. Mau kalian kapling-kapling, terserah. Mau kalian jual kepada RRC, tak ada yang melarang. Mau kalian tambah utang 10,000 triliun lagi, juga tak masalah. Perlu tambahan pendapatan APBN? Gampang! Naikkan listrik sebulan sekali. Naikkan semua jenis pajak. Harga materai seharusnya kalian naikkan menjadi 20 ribu atau 30 ribu. Tak akan ada yang ribut kok. Mau sumber pajak baru? Banyak. Pajak oksigen, pajak air, pajak jenazah yang mau dikuburkan, pajak bayi lahir, pajak usia lanjut karena umur panjang itu ‘kan sesuatu yang istimewa. Dan banyak lagi. Apa yang terpikir di benak kalian, dikenai pajak saja langsung. Terus, apa lagi ya? Oh iya. Mau kalian biarkan penista agama masuk ke masjid-masjid bawa anjing tanpa proses hukum, silakan. Mau kalian diamkan para penista Islam, silakan. Mau kalian penjarakan semua ulama, silakan juga. Kalian berkuasa penuh, kok. Buat saja apa yang kalian suka. Mau kalian bilang orang Islam itu teroris semua, terserah. Mau kalian katakan di dalam aksi damai umat Islam ada 30 teroris, seperti kata Moeldoko, suka hati. Kalian kok yang berkuasa penuh di negara ini. So, untuk apa kasak-kusuk mau jumpa Prabowo? Apa lagi yang mau kalian inginkan? Mau legitimasi? Kan sudah ada dari MK. Sudah ada dari KPU. Sudah ada dari Denny JA dan gerombolan survei mereka. Sudah ada dari media-media besar di sini. Apa lagi? Jadi, kepada Pak Prabowo dan Bang Sandi kami minta agar tidak usah saja menjumpai Jokowi. Tidak usah ucapkan selamat. Tak perlu hadir di acara pelantikan mereka. Kenapa? Karena tidak ada gunanya. Tidak ada kemaslahatannya. Tidak ada urgensinya. Jokowi tak perlu ucapan selamat kok. Jokowi tak perlu Anda kok, Pak Prabowo. Untuk apa? Mereka bisa buat apa saja, ‘kan? Kepada Andre Rosiade (petinggi Gerindra), kami mohon agar Anda tidak usah repot-repot mengatur pertemuan Jokowi dengan Pak Prabowo. Kecuali kalau Anda memang ingin mencederai rakyat Pak Prabowo. Atau, kecuali Anda baru merasa menjadi manusia kalau bisa masuk ke Kubu 01. Itu lain lagilah ceritanya. Atau, kecuali Anda baru saja selesai menjalani operasi pencangkokan “lobus frontalis” (otak bagian depan). Kalau ini alasannya, bisa dimaklumi. Sebab, setelah operasi itu berlangsung, Anda memang perlu istirahat menggunakan fungsi analitis.
Dilema Prabowo
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Andre Rosiade melepas berita tentang rencana pertemuan dua tokoh penting negeri ini: Prabowo Subianto dan Joko Widodo. “Juli ini,” ujar anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Gerindra ini, Rabu (3/7) kemarin, menyebut kapan pertemuan akan dilakukan. Berita ini sangat bisa dipercaya karena dari sumber yang kredibel: Gerindra. Tidak ada yang meragukan itu. Jika begitu, pertemuan tokoh ini berarti tidak lama lagi. Pertemuan ini memang bukan perkara sederhana. Pada satu sisi, pertemuan para capres kalah dan capres yang menang dalam pilpres 2019 ini diharapkan bisa mendinginkan tensi politik antarpendukung keduanya. Di sisi lain, bagi Prabowo pertemuan itu adalah pertaruhan bagi kredibilitasnya. Dari sinilah akan tergambar siapa sejatinya Prabowo: Pecundang atau bapak bangsa? Bagaimana pun setidaknya bakal ada dua sikap kelompok besar yang mengiringi pertemuan ini nantinya, yaitu kelompok yang menyambut dengan baik dan senang hati. Lalu, ada kelompok yang kecewa berat dan tidak lagi peduli dengan kedua tokoh tersebut. Pertemuan yang diharapkan bisa menurunkan tensi politik antarpendukung ini boleh jadi akan mengorbankan Prabowo. Pertemuan ini bisa melahirkan kekuatan baru anti-Jokowi yang tidak lagi menganggap penting sosok Prabowo. Kalimat yang sudah viral sebelumnya adalah, “tidak sedang membela Prabowo, tapi menegakkan kebenaran” akan berlanjut lebih masif lagi. Nantinya bisa jadi akan ada kalimat senada yang tetap mengarah pada sikap anti-Jokowi. Kelompok ini kekeuh menolak hasil pilpres curang. Jokowi, bagi kelompok ini, dianggap presiden yang tidak legitimate yang dilahirkan dari pemilu curang. Mereka yang berpendapat demikian tidak berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai keputusan MK jauh dari rasa keadilan. Boleh jadi kelompok ini bukan mayoritas pendukung Prabowo, namun mereka adalah pembenci Jokowi yang sangat militan. Setelah Gagal Publik sesungguhnya sudah menduga pertemuan itu akan terjadi. Apalagi sebelumnya sudah beredar kabar ada upaya-upaya serius dari Jokowi dan kelompoknya untuk merangkul Prabowo. Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Panjaitan, sudah berusaha bertemu Prabowo walau tak membuahkan hasil. Jangankan berbicara, bertemu saja tidak bisa. Lalu belakangan viral, Prabowo bakal diberi jabatan terhormat. Sandiaga Salahudin Uno masuk dalam kabinet. Calon wakil presiden ini dihargai sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanam Modal. Lebih jauh lagi, tokoh-tokoh di belakang Prabowo-Sandi bakal mendapat jatah menteri, duta besar, sampai kursi direksi dan komisaris BUMN. Sebelumnya, Jokowi juga sudah menggoda pimpinan partai Koalisi Adil Makmur. Ia, mengundang Agus Harimukti Yudhoyono ke istana sesaat setelah dirinya dinyatakan menang oleh hitung cepat sejumlah lembaga survey. Hasilnya, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memberi hadiah ucapan selamat atas kemenangan pasangan 01 pasca putusan MK. Padahal Prabowo-Sandi sampai detik itu belum menyampaikan hal yang sama. Tidak cuma itu. Kubu Jokowi juga membocorkan pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan atau Zulhas yang diwarnai permintaan Zulhas untuk jabatan Ketua MPR. Beredar kabar juga telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara dengan Prabowo di Bali, untuk membuka jalan pertemuan Jokowo dan Prabowo. Beberapa kabar yang beredar terkait upaya mempertemukan Jokowi-Prabowo ada yang akurat dan ada juga yang diragukan kebenarannya. Namun, meragukan kabar dari Gerindra sama saja tidak mempercapai semua informasi. Kalau sudah begitu, ya tunggu saja sampai ada siaran langsung. Pertemuan Prabowo dan Jokowi Juli ini memang baru sebatas rencana dan bisa saja batal. Kini Prabowo tentu masih menimbang-nimbang perlu tidaknya bertemu dengan seterunya dalam dua kali pilpres itu. Jika pun perlu, Prabowo tentu akan menimbang bagaimana caranya agar pisowanan penting ini mencapai hasil positif bagi bangsa dan negara, tanpa mengecewakan pendukungnya.
Mewaspadai Berbagai Opsi “Rekonsiliasi” Prabowo-Jokowi
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Setelah menjadi bahan spekulasi, rencana pertemuan Prabowo-Jokowi dipastikan akan terjadi pada bulan ini. Bulan Juli. Juru bicara partai Gerindra Andre Rosiade sudah memastikan hal itu, tanpa menyebut tanggal pasti. Hanya dia memberi ancar-ancar. Pertemuan akan dilakukan setelah Prabowo bertemu dengan para pendukungnya terlebih dahulu. Pernyataan Andre ini harus dilihat sebagai test the water. Seperti orang melempar batu ke dalam sungai. Menjajaki seberapa dalamnya air. Jika air terlalu dalam. Jika air terlalu deras arusnya, Prabowo tidak jadi nyemplung ke dalam air. Tapi bukan berarti batal nyemplung. Bisa jadi cari jalan lain. Jalan melingkar. Yang penting tujuan menyeberang tetap tercapai. Pernyataan bahwa Prabowo akan bertemu dengan para pendukungnya sebelum bertemu Jokowi, sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka paham ada risiko besar yang menanti kalau sampai tetap nekad. Kemarahan para pendukung paslon 02 yang muncul di media sosial, bisa menjadi gambaran yang jelas dan gamblang, betapa besar risiko yang akan dihadapi. Tagar #PrabowojangantemuiJokowi jadi trending topic di dunia maya. Jajak pendapat yang kami lakukan juga menunjukkan ribuan pendukung paslon 02 menolak keras rekonsiliasi. Bahkan sekedar bertemu pun BIG NO!. 99 persen menolak, dan hanya 1 persen yang setuju. Namun tampaknya sekelompok elit Gerindra masuk kelompok politisi pedagang yang sangat paham adagium “high risk, high return.” Makin besar risikonya, makin tinggi pula keuntungannya. Angka yang dipatok bisa makin mahal. Apalagi mereka sangat tahu kubu Jokowi benar-benar ngebet untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi. Ada beberapa yang opsi yang bisa dipilih oleh oleh Prabowo. Pertama, mereka akan benar-benar bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi. Kabarnya mereka akan mendapat dua pos kementerian (sedang tawar menawar pos apa yang akan dipilih dan diberikan), Prabowo menjadi Ketua Wantimpres, beberapa pos duta besar, dan juga posisi piminan di MPR dan DPR. Jika ini yang mereka pilih, nasib Prabowo dan Gerindra sudah bisa diprediksi seperti apa. Usia politik Prabowo akan berakhir hanya sampai disini. Dia tidak mungkin lagi menjadi capres atau wapres pada Pilpres 2024. Finish. Its over! Prabowo akan berkumpul dan bernasib sama seperti para politisi yang telah lebih dahulu bergabung ke dalam kubu Jokowi. Ditinggalkan massa pendukungnya. Tokoh-tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Yusuf Mansyur, TGB Zainul Majdi, dan Ma’ruf Amin bisa dengan tertawa lebar mengucapkan selamat datang, ahlan wa sahlan, welcome to the club. Nasib Gerindra akan sama dengan Demokrat, bahkan sangat mungkin lebih buruk. Rakyat bahkan malah bisa lebih memahami dan memaklumi apa yang dilakukan SBY dan Demokrat. Ada yang lebih buruk perilakunya, yakni Prabowo dan Gerindra. Dari pemilu ke pemilu suaranya akan tergerus. Gerindra akan mengalami perpecahan, karena masih banyak tokoh di Gerindra yang tak sepakat dengan langkah pragmatis dan oportunis. Ayam bertelur emas itu akan mati, karena dipaksa terus bertelur sebelum waktunya. Cerita anak-anak tentang hikayat petani rakus dan ayam bertelur emas itu harus benar-benar direnungkan. Opsi pertama ini bila tetap dipilih akan buruk buat Prabowo, juga buruk buat Jokowi. Target Jokowi melumpuhkan perlawanan oposisi tidak akan tercapai. Hal itu setidaknya sudah terbukti pada aksi 21-22 Mei di Bawaslu, dan yang sangat kasat mata pada aksi 27 Juni di MK. Prabowo-Sandi sudah secara tegas meminta massa pendukungnya tidak turun ke jalan, namun mereka abaikan. Mereka tetap turun ke jalan. Jumlahnya cukup banyak. Ratusan ribu. Sebagian datang dari berbagai daerah, kendati sudah diancam dan dirazia aparat keamanan. Yang paling menarik dalam aksi di MK adalah munculnya figur baru sebagai tokoh sentral komando di lapangan. Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua (71 th) menjadi ikon baru perlawanan. Hal itu menunjukkan kelompok perlawanan punya banyak stok simbol perlawanan. Hilang satu muncul seribu. Tidak bergantung kepada Prabowo sebagai tokoh sentral. Harga mahal yang harus dikeluarkan Jokowi untuk menggaet Prabowo tidak ada gunanya. Prabowo akan menjadi ikan yang dipisahkan dari airnya. Tanpa pendukung yang militan. Tanpa pendukung yang ikhlas menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya, Prabowo bukan siapa-siapa. Opsi kedua, oposisi pura-pura. Opsi ini paling memungkinkan dilakukan. Tetap berada di luar pemerintahan, namun sudah ada kesepahaman tidak akan mengganggu. Sebaliknya Prabowo dan Gerindra akan mendukung sepenuhnya setiap kebijakan pemerintahan Jokowi. Konsesi yang diperoleh tidak di kabinet dan di Wantimpres. Akan terlalu mencolok. Cukup di MPR-DPR, pos-pos komisaris di sejumlah BUMN, Dubes, dan yang paling tidak mencolok mata adalah konsesi bisnis. Seorang tokoh senior yang sangat dekat dengan Prabowo menggambarkan sebagai oposisi “Otak dan batang tubuh PS diluar bersama pendukungnya. Tangannya di pemerintah serta kakinya di parlemen. Strategi Rekonsiliasi-Oposisi dengan Diplomasi Kaki Tangan.” Dengan opsi ini Prabowo diharapkan dapat tetap bisa merangkul dan menjaga hati para pemilihnya. Bersamaan itu mereka bisa mendapatkan dan ikut menikmati keuntungan politis dan finansial sebagaimana halnya partai pendukung pemerintah lainnya. Bila opsi ini yang dipilih, posisi, peran Prabowo dan Gerindra bahkan lebih penting dibandingkan partai pendukung pemerintah. Jokowi bisa mengandalkan Prabowo dan Gerindra sebagai kanal, katup pengaman, sekaligus meredam perlawanan kelompok oposisi. Hanya saja Prabowo dan Gerindra harus benar-benar pandai memainkan perannya. Sebab rakyat saat ini sangat cerdas dan akses informasi terbuka luas. Ketika kepura-puraan ini terbuka, kemarahan pendukung akan kian tak terbendung. Opsi ketiga, tetap berada di luar pemerintahan menjadi oposisi bersama PKS dan PAN dengan catatan Amien Rais bisa mengendalikan gerakan bola liar di DPP PAN. Opsi ketiga ini bukan tanpa risiko. Prabowo harus benar-benar tegas mengendalikan elit Gerindra. Jangan sampai mereka membelot, berkhianat, atau menjadi intruder seperti telah terjadi selama ini. Risiko lain, elit Gerindra harus bersiap diri memperpanjang puasanya. Berada di luar pemerintahan perlu kesabaran dan ketabahan. Namanya juga orang berpuasa, jika benar-benar lulus ujian akan mendapat imbalan yang setimpal. Mereka bisa menyambut hari raya kemenangan pada lima tahun ke depan. Gerindra akan menjadi partai besar, Prabowo akan dikenang sebagai politisi yang teguh pendirian, istiqomah. Bukan politisi kaleng-kaleng. Dalam kondisi seperti ini Prabowo bisa memilih, tetap meneruskan karir politik sebagai politisi dan tokoh yang sangat dihormati, atau kembali menyepi ke padepokan Garuda Yaksa di Bukit Hambalang. Madeg pandhito seperti yang selama ini dia inginkan. Sebagai seorang resi, Prabowo bisa mendidik, melatih kader-kader bangsa yang tangguh, teguh pendirian, bermoral dan bermartabat. Dia bisa melanjutkan mimpinya menjadikan Indonesia sebagai bangsa pemenang. Bangsa yang dihormati dunia internasional, berdiri tegak sejajar dengan kekuatan dunia lainnya. Prabowo bisa berperan seperti Batara Wisnu yang menunggang kereta Garuda Yaksa mengawasi Indonesia dari ketinggian di angkasa. Manakala para pemimpinnya menyimpang, dia bisa turun mengingatkan dan mengoreksinya. Hidup ini memang sebuah pilihan Jenderal! end
Biarkan Prabowo Sandi Selingkuh
Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - KABAR terkini menyebutkan, Joko Widodo dan Prabowo akan bertemu dalam bulan Juli 2019 ini. Pertemuan semata-mata diharapkan demi persatuan bangsa. "Pak Prabowo akan bertemu dengan Pak Jokowi insya Allah bulan Juli ini. Dalam pertemuan itu kita berharap seluruh polarisasi bisa turun, tensi (politik) bisa turun antar pendukung," kata anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Gerindra, Andre Rosiade, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Ya, upaya meredakan tensi politik terus dilakukan kubu 01. Sejak Pilpres digelar, kubu 01 mencoba melakukan manuver untuk menemui Prabowo. Diawali dengan upaya mengutus Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Akan tetapi, usaha LBP yang sama-sama purnawirawan TNI dengan Prabowo kandas. Prabowo tidak merespon ajakan tersebut. Berbagai manuver politik terus dilakukan kubu 01, baik dengan cara halus maupun kasar. Cara kasar tentu dengan terus memojokkan Prabowo, baik yang dilakukan elite 01 maupun pendukungnya. Misalnya, dengan menyebutkan kubu 02 akan masuk menjadi bagian dari pemerintahan (dengan menawarkan kursi menteri, duta besar, dan menjadi direksi atau komisaris BUMN). Tak hanya itu, politik devide et invera atau pecah-belah pun dilakukan. Caranya, mengundang Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) ke istana dan bertemu dengan Jokowi. Hal ini pun menjadi perbincangan panas, karena secara nyata AHY yang adalah anak Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperlihatkan dukungan nyata atas kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Terlebih lagi AHY mengucapkan selamat atas kemenangan pasangan 01, terutama pasca putusan Mahkamah Kontitusi yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum, Minggu (30/6/2019). Padahal, Prabowo-Sandi sendiri belum mengeluarkan ucapan selamat. Lalu, mengapa Partai Demokrat dan AHY yang notabene bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandi dalam seketika berbalik ke 01? Kuat dugaan, Demokrat ingin mengincer kursi menteri. Politik pecah-belah lainnya adalah dengan menghembuskan Partai Amanat Nasional (PAN) juga merapat ke 01 dengan iming-iming kursi menteri. Ini karena Ketua Umum PAN Zukkifli Hasan sudah beberapa kali bertemu Jokowi. Namun, sampai kini merapatnya PAN ke 01 masih belum jelas. Upaya mempertemukan Jokowi dengan Prabowo terus dilakukan. Ada kabar telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara dengan Prabowo di Bali, untuk membuka jalan pertemuan Jokowo dan Prabowo. Kabar yang tidak jelas kebenarannya. Pun juga kabar pertemuan Prabowo dengan Jokowi, di Bangkok, Thailand yang ternyata tidak benar atau hoax. Padahal, kabar itu pertama kali dihembuskan oleh petinggi partai koalisi 01. Semuanya itu merupakan manuver politik yang dilakukan kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk memperlunak hati Prabowo. Manuver tersebut saya ibaratkan sebuah godaan politik centil, agar Prabowo-Sandi "berselingkuh", meninggalkan partai koalisi pendukungnya (PKS, PAN dan Demokrat), meninggalkan relawannya, meninggalkan rakyat pendukungnya, terutama emak-emak yang sangat militan. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan menerima godaan itu, lalu berselingkuh meninggalkan pendukungnya? Ataukah Prabowo-Sandi istiqomah (tetap pada pendirian) menjadi oposisi? Semuanya berpulang kepada Prabowo. Jika ia berselingkuh dengan gabung ke pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, maka pendukungnya akan kecewa dan meninggalkannya, lebih khusus akan meninggalkan Gerindra dalam Pemilu 2024 mendatang. Jika tetap menjadi oposisi, terutama bersama PKS, maka insya Allah kedua partai tersebut akan semakin kuat di masa mendatang. Jika menjadi oposisi saya percaya Geridra dan PKS semakin jaya. Termasuk jaya dalam berkoalisi pada pemilihan kepala daerah tahun 2020. ***
Hei BPN dan Pengkhianat Gerindra, Jangan Kalian Salahkan Relawan
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam dua-tiga hari ini beredar sejumlah tulisan yang pada intinya menyalahkan para relawan Prabowo-Sandi karena dianggap tidak muncul untuk menunjukkan militansi ketika para tokoh 02 ditangkap atau ditahan polisi. Ada tulisan Zeng Wei Jian (ZWJ) tentang Poros Ketiga. Bagi ZWJ, Poros 3 dimunculkan oleh entah siapa. Mungkin saja oleh ZWJ sendiri. Wallahu a’lam. Yang jelas, saya baru dengar poros ini. Juga tidak ada tersebut di grup-grup WA atau platform medsos lainnya. Dalam tulisan yang berjudul “Poros Ketiga”, ZWJ mengatakan “Poros 3 ancaman baru berbahaya untuk kelangsungan bangsa dan negara. Karena itu, Kubu 01 getol upaya merangkul Prabowo-Sandi.” Pada pokoknya, ZWJ ingin menggoreska kesan bahwa ‘silatruahmi’ yang berujung koalisi dengan Jokowi bukan masalah. Tidak apa-apa. Bagus. Menurut hemat saya, ZWJ tampaknya ‘ditugaskan’ untuk mempengaruhi para pendukung Pak Prabowo agar tidak menyalahkan atau menyerang para politisi Gerindra yang ‘desperados’ (kebelet) masuk koalisi Jokowi. Tentunya untuk ambil hadiah murahan. Tapi, menurut hemat saya, gagasan para pengkhianat Gerindra yang ditungkan di tulisan ZWJ sangat berbahaya bagi Pak Prabowo. Para politisi Gerindra terlalu picik melihat target-target pribadi mereka. Mereka gagal atau tidak mau melihat gambar besar perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran ke depan. ZWJ memuja-muji Sufmi Dasco dan Habiburrohman. Pujian setinggi langit. Seolah-olah Dasco sekarang harus diberi wewenang besar untuk mengendalikan Gerindra setelah dia, kata ZWJ, menjadi pahlawan hebat yang bisa membebaskan puluhan bahkan ratusan tokoh dan relawan 02 yang ditahan polisi. Ada pula tulisan yang diatasnamakan Adipati Kampret (AK) dengan judul “Prabowo Akan Tenggelam Bersama Rakyat”. Tulisan ini menyudutkan pendukung Prabowo dan para relawan. AK mempertanyakan ke mana saja para relawan dan pendukung Prabowo pada hari 21-22 Mei? Kenapa tidak ada yang berpidato berapi-api untuk menunjukkan militansi? Tulisan ini jelas-jelas meremehkan para relawan. Bagi saya, tulisan ini dapat disebut kurang ajar. Saya termasuk yang sangat tersinggung oleh Adi Kampret. Siapa pun Anda, saya katakan sekali lagi: Adan kurang ajar. Saya bisa jawab langsung pertanyaan Adi Kampret ini tentang ke mana saja para relawan dan pendukung Prabowo pada 21-22 Mei itu. Mohon maaf, saya sendiri menyaksikan langsung aksi damai di bulan Ramadan itu. Menurut heat saya, bukan relawan dan pendukung yang tidak hadir, Bung Adi. Tetapi, para petinggi BPN yang justru tak nampak batang hidung. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menelantarkan para peserta aksi damai itu. Pada 22 Mei, hari kedua saya juga menyaksikan langsung di lapangan. Massa pendukung 02 berdatangan sejak siang. Tidak ada tokoh yang tampil berorasi. Tapi, massa pendukung tetap tak beranjak. Hanya Pak Amin Rais yang datang bersama putri beliau. Dan, soal cerita tentang perangai orang-orang BPN, segudang pengalaman yang dirasakan banyak relawan, mereka curhatkan kepada saya. Nantilah, saya goreskan uraian tentang kelakuan orang-orang BPN yang pada pokoknya tidak berbuat apa-apa untuk memenangkan Pak Prabowo. Tulisan Adi Kampret mencoba menggiring opini bahwa Pak Prabowo menjadi tak berdaya karena para pendukung cuma galak di medsos. Tidak turun ke jalan-jalan. Tentunya kesimpulan seperti ini sangat menyesatkan. Terkesan Bung Adi seolah mewakili barisan BPN yang ingin cuci tangan. Ingin cuci tangan karena mereka tak becus mengelola program kerja pemenangan Prabowo-Sandi. Kemudian, ada tulisan Yahya M Ali, yang mengatributkan diri sebagai Pengamat Intelijen. Judul tulisannya, “Kepedihan Hati Prabowo dan Para Tokoh dan Relawan Kaleng-kaleng”. Di bagian awal, Yahya menguraikan soal sisi humanis Pak Prabowo. Kemudian dia juga, mirip seperti Adipati Kampret, menyerang para tokoh dan relawan pendukung Prabowo yang dia anggap ‘kaleng-kaleng’. Menurut Yahya, para tokoh dan relawan yang ditangkap polisi adalah orang cengeng. Dia istilahkan ‘merengek-rengek’ kepada Prabowo supaya mengusahakan pembebasan mereka. Inilah yang membuat Prabowo mengambil tindakan drastis. Yaitu, membuka komunikasi ke pihak penguasa dengan tujuan agar semua yang ditangkap, dibebaskan. Yahya M Ali menyebut para tokoh dan pendukung yang dikriminalisasikan, ditankap dan ditahan itu adalah orang-orang yang bermental omong kosong. Dia sebut ‘pejuang kaleng-kaleng’. Yahya mempersoalkan sikap para relawan dan pendukung yang tidak membela orang-orang yang ditangkap. Dia label para relawan itu hanya sok-sokan berteriak jihad tapi tidak berbuat apa-apa. Di satu sisi, Yahya ada benarnya. Tetapi, kita harus memamhami bahwa para relawan dan massa pendukung memerlukan tokoh-tokoh yang bisa membangkitkan semangat juang. Menurut hemat saya, keseluruhan tulisan Yahya M Ali hanya ingin membangun persepsi bahwa ‘strategi’ Gerindra untuk berkoalisi dengan Jokowi adalah langkah yang tepat dan tak terelakkan. Itulah yang dilakukan oleh ZWJ, Adipati Kampret, dan Yahya M Ali. Mereka ini sedang mesosialisasikan langkah rekonsiliasi dan koalisi dengan Jokowi. Tidak ada sedikit pun kritik mereka terhadap kinerja BPN dan perilaku beberapa anggota terasnya. Padahal, menyebutkan satu saja masalah fundamental di BPN, direktorat yang mengurusi saksi 02 di TPS boleh dikatakan tidak melakukan apa-apa. Untuk mendapatkan surat mandat saksi saja sulitnya minta ampun. Bahkan, Pak Prabowo terpaksa membekukan direktorat itu karena dana saksi tidak berikan kepada yang berhak. Saya menyarankan kepada mereka ini agar berhati-hati menimpakan kesalahan kepada para relawan, pendukung, dan keluarga para tokoh yang ditangkap penguasa. Tidak bagus kalau Anda seenaknya mengatakan relawan dan pendukung bermental ‘kaleng-kaleng’. Menurut saya, yang justru bermasalah adalah ‘inner circle’ Pak Prabowo. Banyak diantara mereka, tidak semua, yang sejak awal kelihatannya punya misi lain. Bukan untuk meyukseskan perjuangan Prabowo. Mohon maaf, saya menyebut mereka pengkhianat. Pak Prabowo juga pernah menjelaskan tentang orang-orang dekat beliau yang berkhianat. Jadi, saya mohon kepada orang-orang BPN dan Gerindra agar kalian tidak seenaknya menyalahkan dan meremehkan relawan Prabowo.
Gerindra Mau Jadi Oposisi atau “Oplosan”?
Oleh: A. Sofiyanto (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “oposisi” atau menjadi oposan dipandang lebih bernilai positif dan terhormat karena menjadi penyeimbang atau berani melawan penguasa, bukan menjilat atau membebek. Sebaliknya, istlah “oplosan” cenderung bernilai negatif karena diartikan campuran untuk membuat minuman yang memabukkan atau bahkan cairan beracun. Setelah KPU menetapkan Jokowi-Maruf sebagai presiden-wapres terpilih 2019-2024 pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)--, meski dibayangi tudingan pemilu curang-- maka partai partai koalisi pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi (PADI) mau tidak mau harus menentukan pilihan politik. Memilih sebagai oposisi di luar pemerintahan Jokowi, atau menjadi “oplosan” (ikut bercampur) di dalam koalisi pemerintahan Jokowi ? Ada empat partai koalisi pengusung PADI yang lolos parliamentary threshold (PT) yaitu Partai Gerindra, PKS , PAN dan Partai Demokrat. PKS sudah tegas menyatakan menjadi oposisi di pemerintahan maupun DPR. Demokrat sudah loncat pagar alias pindah perahu yang lebih “empuk” yaitu ikut bergabung ke koalisi pemerintah 2019-2024. Ini dapat dilihat dari perilaku AHY, anaknya bos Demokrat yang sudah sowan kepada Jokowi dan bahkan bersama adiknya Ibas telah “bersilaturahmi politik” ke Megawati yang bisa diartikan untuk meminta “restu” alias menaklukkan hati Megawati yang selama ini keras “bermusuhan” dengan SBY bak minyak dan air. Sementara PAN nampaknya masih abu abu. Meski Amien Rais yang dikenal sesepuh yang juga pentolan PAN , mengarahkan partai berlambang matahari ini untuk menjadi oposisi. Namun, gelagat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang saat masih awal KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Zulkifli sudah mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Kabarnya, ucapan yang dilontarkan terlalu prematur oleh Zulkifli ini ditegur oleh Amien Rais yang juga besannya . Namun, seperti periode 2014-2019 sebelumnya, ternyata PAN menitipkan kadernya ke Presiden Jokowi untuk ditimang menjadi menteri. Entah atas persetujuan Amien Rais atau tidak, yang jelas sikap PAN saat itu lebih memilih jabatan menteri ketimbang oposisi. Lantas bagaimana dengan Gerindra, partai yang dipimpin capres Prabowo yang menjadi pemenang kedua dalam pemilihan umum 2019? Apabila menjadi oposisi, ada peluang bagi Gerindra untuk menjadikan partai ini lebih besar lagi. Namun, jika menjadi “oplosan” alias ikut bercampur dalam partai koalisi penguasa, maka kevokalan Gerindra di parlemen tidak maksimal dan bahkan mengkeret atau kurang berani mengeritik penguasa. Jika ini terjadi, maka Gerindra rugi dua kali. Pertama, Gerindra bakal tidak populer dan menjadikan suaranya akan bisa anjlok di pemilu 2024. Kedua, pendukung Prabowo bakal banyak yang kecewa sehingga minggat dari Gerindra yang juga berdampak menjadikan suara Gerindra akan terjun bebas di pemilu mendatang. Hingga sejauh ini, para pendukung PADI masih meyakini bahwa telah tejadi kecurangan di Pemilu 2019. Nampaknya, siapa pun petahana sangat berpeluang untuk berbuat curang dalam pemilihan presiden. Karena itu, lebih baik ada undang undang yang meniadakan petahana atau melarang masa jabatan dua periode seperti yang diusulkan Prof Dr Salim Said dengan kompensasi masa jabatan presiden ditambah menjadi enam atau tujuh tahun seperti diterapkan di beberapa negara maju. Kalangan pengamat menilai bahwa memang secara legal Jokowi menang berdasar putusan MK. Namun, legitimasi rakyat dan kaum cendekiawan lebih berpihak kepada capres Prabowo. Untuk itulah tidak mengherankan apabila Jokowi berharap kubu Prabowo mau bergabung ke pemerintahannya. Keinginan kubu Jokowi untuk “rekonsiliasi” dengan kubu Prabowo menjadi penting, sehigga tawaran bergabung dengan imbalan kursi jabatan menteri dihembuskan terus oleh pihak Jokowi. Tanpa “rekonsiliasi” dengan Prabowo, maka dibayangi ada kekhawatiran bagi Presiden Jokowi nanti bakal banyak dijemput aksi demo apabila melakukan kunjungan ke daerah daerah seperti Sumatera Barat dan daerah lainnya yang mayoritas pilih Prabowo. Apalagi Aceh yang sudah mengancam akan melakukan referendum jika presidennya Jokowi. Apakah ada orang Gerindra yang ngiler (tergiur) dengan tawaran menteri atau jabatan lainnya? Bilamana Gerindra menyatakan menerima tawaran jabatan tersebut, nampaknya Jokowi langsung melakukan reshuffle kabinet secepatnya dengan memasukkan kader Gerindra menjadi menteri hingga masa jabatan Jokowi pada akhir September 2019. Lantas bagaimana nasib Gerindra setelah Jokowi dilantik lagi sebagai presiden pada Oktober 2019? Saat itu nilai deal (dagang sapi) dari Gerindra sudah lemah, sehingga Gerindra asal diberi kursi menteri yang kurang bergengsi. Lagipula, dengan menjadi partai yang bergabung atau menempel kepada koalisi pemerintahan Jokowi di periode kedua, Gerindra terancam terpuruk karena bakal banyak pendukungnya yang kecewa dan lari lari meninggalkan partai pimpinan Prabowo ini. Wajar kecewa, karena pendukung sekaligus pemilih Prabowo pada Pemilu 17 April 2019 sudah banyak berkorban waktu, tenaga , pikiran serta finansial. Bahkan, ada korban nyawa dari pihak pendukung Prabowo. Kekecewaan pemilih ini akan membuat suara Gerindra nyungsep (menyusut) di pemilu 2024. Karena itu, mau tidak mau Gerindra harus menjadi oposisi jika ingin suaranya tetap besar. Artinya , oposisi merupakan pilihan terbaik bagi Gerindra ketimbang menjadi “oplosan” alias campuran dalam kabinet Jokowi. Sempat mengagetkan, di saat pendukung PADI merasa kecewa dengan proses dan hasil pemuilu 2019,tiba-tiba muncul video ucapan selamat dari cawapres Sandiaga Uno yang memberi ucapan selamat bekerja kepada Jokowi-Maruf untuk periode 2019-2014. Tentu ini semakin menyayat hari para pemilih loyal PADI. Untungnya, pada 1 Juli 2019 melalui instagramnya, Sandiaga Uno menyatakan memilih menjadi oposisi. Sehingga, para pemilih yang kecewa tadi rasanya menjadi plong kembali. Sebenarnya, PKS sudah berkali-kali mengajak Gerindra untuk menjadi oposisi. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera secara tegas mengajak semua partai pendukung PADI tetap menjadi oposisi menjadi penyeimbang/pengontrol untuk mengawal kebijakan rezim Jokowi di periode berikutnya. Namun, ada beberapa politikus Gerindra yang masih diragukan menyambut ajakan PKS tersebut. Diantaranya Ketua Bidang Advokasi DPP Gerindra, Habiburokhman misalnya, kepada wartawan, Selasa (2/7/2019), berkilah, “Kami sangat hormati pilihan PKS karena mereka sahabat setia kami. Tapi kami punya pertimbangan sendiri." Setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai presiden-cawapres terpilih 2019-2024, muncul isu Gerindra akan bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf, apalagi ada politikus Gerindra yang ucapkan selamat kepada Jokowi. Namun, Anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra Muhammad Syafi'i yang dikenal vokal meyakini Prabowo memilih berada di luar pemerintahan. Menurutnya, keberadaan oposisi menyehatkan iklim demokrasi. "Demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi. Saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi," kata Syafi'i di Gedung DPR, Senin (1/7/2019). Para pejuang sejati pendukung 02 ataupun yang mengklaim pembela kebenaran, keadilan dan kejujuran, tentunya berharap sikap Syafii ini bisa disepekati Prabowo dan akan menenggelamkan orang orang di Gerindra yang kebelet tawaran jabatan menteri atau sejenisnya dari kjubu sebelah. Syafi'i menegaskan, demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance, mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang. Menjadi oposisi dituntut pengorbanan untuk berjuang keras namun lebih terhormat di mata rakyat. Dibanding memilih menjadi “oplosan” ikut bercampur partai penguasa dan mendapat kue jabatan empuk tetapi ditinggalkan rakyat pemilihnya. Sekarang terserah Gerindra, ingin menempatkan diri sebagai oposisi yang terhormat atau mau menjadi “oplosan” yang bisa dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap rakyat pemilik suara pendukungnya? Please! (***)