OPINI

Pak Jokowi, Maluku Masih NKRI Kan?

Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Oleh Ikhsan Tualeka Jakarta, FNN - Bapak Presiden yang terhormat. Kalau mau diresapi dengan dalam, sebagai putra timur dari Maluku, saya merasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal. Terutama dalam konteks hubungan relasi antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan masyarakat Maluku. Ada banyak fakta yang dapat mengkonfirmasi anggapan itu. Sebagai contoh nyata. Baru-baru ini, pembantu utama bapak, Menkopolhukam, Wiranto, melakukan konferensi pers tentang Maluku. Wiranto didampingi oleh Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Kapolri dan sejumlah pejabat negara lainnya. Dengan menggunakan fasilitas negara, Wiranto mengatakan “pengungsi yang banyak di Maluku dapat menjadi beban pemerintah”. Bagi kami orang Maluku, luar biasa pernyataan Menkopolhukam Wiranto ini. Betapa tidak, karena Wiranto menyampaikan ini dalam kegiatan resmi Negara. Pernyataan yang sangat kontraproduktif itu, tentu adalah sikap resmi institusi negara. Bukan pribadi penyataan pribadi. Kenyataan ini menambah daftar panjang praktik, dan sikap diskriminatif pemerintah pusat kepada masyarakat Maluku. Tentu akan terlalu panjang untuk diulas dalam surat ini. Minimnya alokasi anggaran untuk Maluku. Tidak adanya regulasi spesifik sebagai landasan membangun dan mengangkat Maluku yang notabene memiliki karakteristik berbeda dengan daerah-daerah lain untuk dari lembah kemiskinan. Contoh ini adalah sedikit dari daftar panjang itu. Perlakuan yang tidak adil itu bisa dilihat dari bagaimana respon Pak Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap becana gempa yang terjadi di Maluku. Sampai sekarang Pak Jokowi belum juga datang menyambangi Maluku. Meski hingga catatan ini dibuat, gempa masih terus terjadi, dengan korban mencapai lebih dari 50 orang meninggal. Sedangkan yang mengungsi mencapai 100.000 ribu orang dan 6.523 unit rumah yang rusak Bandingkan dengan bencana disejumlah daerah lain. Dengan korban yang relatif lebih sedikit seperti gempa di Banten, banjir bandang di Garut, meleutusnya gunung Sinabung di Sumatera Utara, kebakaran hutan di Palangkaraya. Pada bencana alam di daerah lain,Pak Presiden langsung datang. Malah sehari setelah kejadian atau bencana terjadi, Pak Jokowi datang lengkap dengan jajaran pembantu bapak. Bahkan ada juga Pak Jokowi berkantor di lokasi bencana. Dengan kehadirin Pak Presiden yang cepat di lokasi bencana bisa ditafsirkan bermacam-macam. Orang bisa saja beranggapan itu karena jarak antara Istana Negara dengan lokasi-lokasi bencana relatif dekat. Memudahkan untuk malukan mobilisasi ke lokasi bencana. Itu tentu alasan klasik, karena bukankah Maluku juga masih masuk wilayah Indonesia? Dengan demikian Maluku berhak mendapat perhatian yang sama dari kepala negaranya. Dengan fasilitas yang dimiliki negara, tentu jarak bukan satu masalah. Apalagi ada pesawat kepresidenan. Ataukah Pak Presiden takut karena informasi dari para pembisik kalau gempa tremor masih terjadi walau dalam dalam skala yang lebih kecil? Kalau bapak takut akan gempa kecil itu, kami maklumi. Walau kamiu agak kecewa karena sebelumnya kami yakin Pak Jokowi seorang kesatria. Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Pak Presiden, datanglah. Kunjungilah anak-anak bangsamu yang tertimpa bencana di Maluku. Apalagi secara politik Maluku adalah provinsi yang berkontribusi dalam kemenangan bapak di dua kali perhelatan Pilpres. Kehadiran Pak Presiden tentu saja akan mengkonfirmasi analisa lembaga-lembaga otoritas terkait yang menyatakan tak akan ada gempa lebih besar lagi dari 6,5 Magnitude yang terjadi sebelumnya. Kondisinya relatif aman, sehingga Presiden perlu datang. Dengan Pak Presiden mengunjungi korban gempa di Maluku, akan turut membahwa pesan kebangsaan bahwa negeri para raja ini adalah bagian integral bangsa. Maluku yang berhak mendapat perhatian yang sama dengan daerah lain dari negara. Bukan dibiarkan menghadapi bencana sendiri tanpa kehadiran Negara yang diwakili Pak Preasiden Pak Jokowi, hanya satu kalimat untuk merangkum semua isi surat ini, “Sambangilah korban bencana di Maluku. Mereka juga adalah warga bangsa. Mereka jangan dikecewakan”. Kami orang Maluku tidak sedang mengemis kepada pemerintah pusat. Kami hanya sedang menagih tanggungjawab negara untuk mendapat perlakuan yang sama dengan daerah lain. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)

Istri Dandim atau Pidato Panglima TNI yang Jatuhkan Martabat Prajurit?

Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kapendam XIV Hasanuddin, Kolonel Inf Maskun Nafik menyebut Dandim 1417 Kendari, Kolonel Hendi Suhendi dicopot karena postingan istri soal Menko Polhukam Wiranto. Postingan istri Dandim Kendari itu dinilai menjatuhkan martabat prajurit Jika ditilik dari sisi redaksi, postingan istri Dandim ini sama sekali tidak menyebut mengatasnamakan institusi TNI, tidak pula menyebut nama sosok tertentu secara tegas. Boleh dibilang, status Facebook istri Dandim ini hanyalah bentuk ungkapan batin yang terjaga dalam koridor hukum. Postingan istri Dandim Kendari itu hanya mengatakan 'Jangan cemen pak,...Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang'. Ungkapan ini, tergolong ungkapan hiperbola (makna yang di lebih-lebihkan) tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu. Redaksi 'jangan cemen pak' itu bisa ditujukan kepada semua orang dengan panggilan Pak, bisa Pak lurah, Pak camat, Pak RT, Pak Tani, Pak Bayan, dan Pak Pak lainnya. Redaksi 'Pak' ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Jika ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu merupakan tafsiran bukan konteks bahasa tegas yang dituju oleh redaksi. Adapun postingan kedua, juga sifatnya netral. Sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Posting-an kedua, tertulis 'Teringat kasus pak setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti'. Dalam postingan kedua, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Coba kita bandingkan, jika tafsiran postingan itu dianggap menjatuhkan martabat prajurit dengan pidato khusus panglima TNI. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, lengkap bersama jajaran komando TNI membuat rekaman video yang meminta siapa pun dapat menyampaikan aspirasi di negara demokrasi ini. Dalam video itu juga muncul ultimatum, siapa pun yang melakukan tindakan anarkis, inkonstitusional, cara-cara yang kurang baik, termasuk ingin menggagalkan pelantikan presiden dan wapres terpilih hasil pemilu, akan berhadapan dengan TNI. Pertanyaannya, sejak kapan tupoksi TNI itu menjaga pelantikan Presiden ? Dan siapa yang dimaksud panglima TNI ingin menggagalkan pelantikan ? Jika merujuk peserta aksi demo karena konteks pidato penglima itu terjadi setelah demo masif mahasiswa, demo itu menuntut pencabutan UU KPK, menolak RUU KUHP. Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Sikap panglima TNI ini lah sebenarnya yang bisa ditafsirkan menjatuhkan martabat prajurit, menjatuhkan wibawa TNI. Tentara yang seharusnya menjadi Abdi Rakyat terkesan berubah menjadi Andi penguasa (baca: Jokowi). Saya kira, persoalan status Facebook istri Dandim ini juga tidak perlu ditindaklanjuti dengan pencopotan jabatan Dandim, apalagi akan memproses pidana di peradilan umum. Kalau mau merujuk UU ITE (UU No. 19/2016 Jo. UU No. 11/2008), melanggar pasal apa ? Pasal 28 ayat (2) tentang menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA ? Dimana unsur-unsurnya ? Ngawur saja memaksakan menyidik perkara ini dengan pendekatan UU ITE. Saya kira pejabat era now harus hati-hati mengeluarkan statement dan tindakan. Justru heboh pencopotan Dandim dan rencana akan memproses istri prajurit ke ranah pidana umum inilah yang merupakan tindakan yang menjatuhkan martabat prajurit. Masak prajurit dibuka aibnya keruang publik hanya karena status Facebook ? Dandim Kendari bukan pengkhianat, tidak memberontak, tidak disersif dalam tugas, tidak korup, tidak melawan perintah atasan, tidak gagal melindungi rakyat dari ancaman musuh, tidak terlibat politik praktis. Kok begitu amat sanksinya ? Saya kira, institusi TNI tidak boleh lebai menyikapi peristiwa ini. TNI wajib membedakan mana isu politik dan mana isu Sapta Marga Prajurit. TNI harus netral, TNI alat negara bukan alat kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Wiranto Ditusuk, Kok Malah Banyak yang Bersyukur?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Confirm. Masyarakat kita sedang sakit parah. Terbelah sangat dalam. Yang satu mendoakan, menginginkan, bahkan melakukan sesuatu yang buruk untuk yang lain. Bila keburukan itu benar-benar terjadi, banyak yang bersuka cita. Membesar-besarkannya. Menganggap doanya terkabul. Allah SWT telah membalas keburukan itu dengan balasan yang setimpal. Peristiwa penusukan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Menes, Pandeglang, Banten mengkonfrmasi hal itu. Di medsos banyak yang mengucapkan rasa syukurnya. Joke, meme, spekulasi, dan teori konspirasi bermunculan. Ada juga yang menduga ini hanya semacam sandiwara. Settingan. Semacam reality show. Ada memang yang sedih, bahkan kecewa. Mengapa luka tusuknya tidak cukup dalam. Mengapa Wiranto tidak terluka parah, atau mati sekalian! Ngeri banget! Suara-suara semacam itu sudah dipastikan muncul dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah. Atau setidaknya berseberangan secara personal dengan Wiranto. Sebagai balasan, situs seword.com yang dikenal sebagai pendukung Jokowi membuka kotak pengaduan. Mereka meminta pembacanya melaporkan bila menemukan netizen yang bersuara negatif, nyinyir atas Wiranto. Status yang nyinyir, lengkap dengan biodata dan fotonya —kalau ada— akan dipajang dan dilaporkan ke polisi. Mengapa bangsa ini menjadi kehilangan empati, pendengki dan menginginkan keburukan, bahkan kalau perlu mencelakakan dan saling membinasakan? Apakah hanya rakyatnya yang sakit? Atau mereka sebenarnya merupakan cermin dari perilaku para pemimpinnya. Di militer ada semacam kredo: Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah komandannya. Filsuf dan negarawan zaman Romawi Marcus Tulius Cicero dalam sebuah orasinya pernah menyatakan: Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Belajar dari pengalaman para pedagang ikan. Kalau mau selamat, tidak busuk semua. Kepalanya harus segera dipotong. Kebusukan suatu negeri, berawal dari kebusukan para pemimpinnya. Jadi harus dipotong dari pucuk pimpinannya. Sebaliknya Sayidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata: pemimpin yang buruk, merupakan cermin dari rakyatnya. Ketika seorang pemuda menggugat Ali mengapa pada masa pemerintahannya situasinya tidak sebaik pada masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar Bin Khattab? Khalifah Ali menjawab singkat : Karena pada masa Khalifah Abubakar dan Umar, rakyatnya seperti saya. Dan pada masa pemerintahan saya, rakyatnya seperti kamu! Sebuah pemerintahan yang brengsek, adalah cermin sebuah masyarakat yang brengsek pula. Mengapa memilih pemimpin yang brengsek?! Dalam khasanah pemikiran Islam dikenal sebuah kalimat bijak: Kalian akan dipimpin oleh orang seperti kalian! Nah lho……. Kita semua harus introspeksi. Mengapa semua ini terjadi. Tidak bisa langsung menuding bahwa rakyat kita brengsek. Begitu juga sebaliknya. Di media sosial ucapan-ucapan Wiranto yang dimuat media kembali bertebaran. Ketika ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, dia minta agak tidak perlu dibesar-besarkan. “Risikonya memang seperti itu,” ujarnya. Wiranto benar. Risiko seorang prajurit yang bertugas di daerah rawan, apalagi medan tempur: _kill or to be killed._ Membunuh atau dibunuh. Tapi ya tidak perlu disampaikan ke publik. Sensitif lah terhadap Keluarga prajurit. Ketika terjadi gempa di Ambon, Wiranto dikutip pernah menyatakan, agar para pengungsi segera kembali ke rumah, supaya tidak jadi beban pemerintah. Ucapan yang membuat warga Ambon gondok alang kepalang. Selain tidak sensitif, ucapan itu juga menunjukkan sebagai pejabat publik tidak punya empati. Lebih jauh lagi tidak paham tugas dan tanggung jawabnya. Tugas negara, tugas pemerintah mengurus rakyatnya. Jangan dianggap beban. Kalau tidak mau dibebani rakyat, ya jangan jadi pejabat pemerintah. Nah ketika sekarang Wiranto ditusuk orang, netizen membalas. “Tidak perlu dibesar-besarkan.” “Risikonya sebagai pejabat keamanan memang seperti itu.” “Segera keluar dari RSPAD. Jangan jadi beban pemerintah!” Bagaimana memahami sikap bangsa kita saat ini? Konsep the other yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Perancis Emmanuel Levinas, atau liyan dalam bahasa Jawa, tidak cukup memadai untuk menggambarkannya. Dalam bahasa Jawa, liyan, orang lain, merupakan konsep berpikir, yang satu merasa lebih unggul dan lebih benar dibanding yang lain. Tanpa sadar orang Jawa sering menyebut sesuatu yang tidak benar, sebagai tidak “njawani.” Tidak Jawa. Realita yang terjadi saat ini bukan hanya soal yang satu merasa superior dengan yang lain. Bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Tidak percaya satu dengan lainnya. Curiga satu dengan yang lain. Merasa paling benar dan yang lain selalu salah. Apapun yang dilakukan pihak lain, tidak ada yang benar. Beda dengan sikap kritis yang harus tetap menjunjung obyektivitas. Perlu keberanian untuk mengakui dan mengambil langkah konkrit. Presiden, pejabat pemerintah, berhentilah melakukan Framing, lebeling, pelakunya terpapar kelompok radikal, ISIS dan entah stigma apalagi. Berhentilah mengklaim merasa paling Pancasila, dan paling NKRI. Pasti akan ada reaksi balik. Akan ada perlawanan. Semua itu hanya akan memperparah pembelahan masyarakat. Peristiwa penusukan Wiranto harusnya menjadi sebuah alarm yang bersuara sangat nyaring. Ada yang salah dengan bangsa ini. Kita sedang menuju jurang kehancuran. Kita, rakyat, para pemimpin, terutama Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah konkrit! end

Tentang Arteria Dahlan (PDIP): Bisa Jadi Dia...

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kemarin tertunda berkomentar tentang Pak Arteria Dahlan. Gara-gara ada berita besar. Tentang Pak Wiranto. Arteria menghardik Pak Prof Emil Salim di acara Mata Najwa (9/10/2019). Dia tunjuk-tunjuk Pak Emil tanpa ragu sedikit pun. Tak ragu bahwa cara dia itu tidak menunjukkan akhlak seorang wakil rakyat. Nah, pagi ini mumpung ada waktu berkomentar tentang kegarangan Arteria. Mengapa Arteria menjadi tak sopan kepada Pak Emil? Mengapa politisi PDIP ini berperangai sombong? Ada hal-hal yang mungkin belum kita pahami tentang Arteria Dahlan. Pertama, bisa jadi dia menunjuk-nunjuk Pak Emil Salim sambil mengatakan pakar ekonomi itu sesat, karena dia sedang menjalankan misi rahasia untuk menghancurkan PDIP. Siapa tahu. Lho, kok disebut menghancurkan? Karena, kesombongan yang dipertontonkan oleh Arteria itu mendapat reaksi geleng-geleng kepala dari publik. Patut diduga dia sedang bersekongkol untuk membusukkan PDIP. Sikap Arteria yang angkuh itu bisa merugikan citra elektoral PDIP. Tapi, faktor ini mungkin tidak punya dasar yang kuat. Masa iya Banteng sejati mau menghancurkan partainya? Tak mungkinlah. Kedua. Kalau yang pertama tak mungkin, berarti Arteria memperlihatkan karakter aslinya: sombong, angkuh, arogan, dan sejenisnya. Jika ini benar, tentu bagus juga kita katakan kepada beliau bahwa piala kosombongan yang paling terkenal dalam sejarah manusia masih dipegang oleh fir’aun. Baik. Kalau misalnya Arteria tidak bermaksud mau menghancurkan PDIP dan tidak juga bermaksud menunjukkan kesombongan, terus apalagi? Ada yang ketiga. Boleh jadi dia sedang mencari perhatian pimpinan partainya. Barangkali saja Arteria mendapat info bahwa pimpinan PDIP diam-diam sedang melaksanakan tes kemampuan arogansi. Mungkin Arteria merasa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memamerkan kemampuan berdebat sangar dan angkuh di depan publik. Yang keempat, boleh jadi Arteria sedang stress karena utang atau karena hal yang lain. Jadi, kita tak tahu pasti apa penyebab Arteria tersulut dan begitu geram melihat Prof Emil Salim. Yang jelas, Pak Emil yang telah berusia 89 tahun masih tampak segar. Tak kelihatan stress. Tak tampak ada noda korupsi di wajah beliau. Mungkin inilah yang membuat Pak Emil lebih santai dalam berdiskusi. Sedangkan Arteria tampak garang. Cemberut. Siap menerkam. Dan sangat marah kepada Pak Emil yang ikut berjuang melawan sikap PDIP yang ingin melemahkan KPK. [] 11 Oktober 2019

Habis Manis Buzzer Dibuang

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Habis manis sepah dibuang. Begitulah jika orang makan tebu. Hanya manisnya saja yang diisap, sedangkan sepahnya dibuang. Makna ungkapan ini bisa macam-macam. Misalnya, dibuang setelah tidak dipakai lagi. Bisa juga diterjemahkan, disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi. Bisa juga dimaknai, selagi masih digunakan dirawat dengan baik, tetapi bila tidak dipergunakan lagi dicampakkan begitu saja. Begitulah nasib buzzer. Teranyar tentu saja buzzer Jokowi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut aktivitas para buzzer pendukung Presiden Joko Widodo saat ini merugikan presiden terpilih periode 2019-2024 itu. Dibilang habis manis sepah dibuang, karena buzzer itulah pasukan militan Jokowi di media sosial kala pemilihan presiden kemarin. Mereka rajin memproduksi hoaks dan menyerang lawan-lawan politik Jokowi. Kini Jokowi sudah menang. Ia merangkul kekuatan lawan. Sampai kini, para buzzer masih asyik menjalankan tugasnya. Mereka menggonggong pada saat Jokowi memutuskan menyetujui revisi UU KPK. Berbagai hoaks ditebar. Sampai pada akhirnya, Istana memandang permainan para buzzer sudah kelewatan. Mereka akan dibubarkan. Maknanya, alokasi anggaran untuk buzzer dihentikan. Suplai dana dari Istana ke buzzer ditutup. Dunia medsos tentu akan lebih tentram tanpa buzzer bayaran seperti itu. Maklum saja, gara-gara buzzer yang rajin menyebar hoaks, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah. Mereka mahir memutar balikkan fakta. Mereka juga berisik. Para buzzer sangat lihai mengelola fitnah dan kebohongan sebagai isu publik. Para tuyul modern ini sangat bersemangat mengotori ruang publik dengan fitnah dan pembodohan. Siapa Buzzer Istana Itu? Menarik, kesimpulan yang diambil tokoh pers Ilham Bintang dalam tulisannya berjudul “Ada Buzzer Istana Di ILC TVOne”, yang ditayangkan CeknRicek Rabu (9/10). Ilham menyorot aksi Ali Mochtar Ngabalin dalam acara ILC Selasa malam (8/10) itu. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden ini dinilai begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain. Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah. “Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?” tulisnya. Menurut Ilham, sebagai pejabat negara rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. “Paradoksal,” tegasnya. Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk. Buzzer bertajuk Ngabalin versi Ilham Bintang, tentu berbeda dengan buzzer di dunia medsos. Buzzer berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi pengikut, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Hanya saja, menurut Dahnil Anzar Simanjuntak dalam ILC, buzzer menyebar informasi dan gagasan bukan orisinil dari pikirannya. Sementara influencer menyampaikan gagasan dari hasil murni pikirannya. Buzzer menyebar informasi hoaks dari mereka yang membayar. Soal bayar membayar ini dalam dunia buzzer, menurut juru bicara Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto ini, seperti pasar gelap. Namanya saja pasar gelap, hanya sedikit yang tahu. Namun semua itu bisa dinilai dari pola kerja mereka. Arahnya ke mana. Siapa yang menggerakkan. Singkat cerita, buzzer dalam makna negatif, adalah sekelompok orang yang dibayar untuk kepentingan politik tertentu dengan tugas membuat dan menyebar fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Buzzer boleh juga disamakan dengan pembunuh bayaran. Mereka membunuh menggunakan diksi-diksi yang kasar. Mereka menyerang orang-orang yang bersifat krisis. Mereka kelompok yang terorganisasi. Senjata Makan Tuan Pasukan medsos yang oleh Tempo disebutnya pendengung. Namun, belakangan kata “pendengung” oleh sebagian pegiat medsos dirasa terlalu lembut sehingga diganti “penggonggong”. Pendengung dan penggonggong bahkan pengembik, punya maksud sama. Fungsinya seperti makna buzzer: lonceng, bel atau alarm. Ngung … untuk pendengung. Gukguk .. untuk penggonggong. Mbik… untuk mengembik. Pendengung untung lebah. Penggongong untuk anjing. Pengembik untuk kambing. Silakan dipilih, mana yang enak saja. Toh, semua bikin berisik. Tak hanya para tetangga yang terkena dengungan, gonggongan dan embikan itu. Sang pemilik rupanya juga kena dampak yang sama. Ibaratnya, senjata makan tuan. Wajar saja jika Jokowi akan mengevaluasi keberadaan buzzer itu. "Buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah. Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucap Moeldoko. Menurutnya, pada saat ini, para buzzer pendukung Jokowi justru melakukan cara-cara yang bisa merugikan pemerintahan Jokowi sendiri. Ia pun meminta buzzer-buzzer Presiden Jokowi di sosial media untuk tidak terus-menerus menyuarakan hal-hal yang justru bersifat destruktif. "Dalam situasi ini relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran. Yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," tergasnya. Merasa terdesak, belakangan para penggogong secara membabi buta menyerang pakar drone emprit Ismail Fahmi di Twitter. Serangan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Ismail Fahmi diserang karena dialah yang membocorkan asal hoaks oleh buzzer Jokowi. Ismail dengan teknologi drone emprit melakukan kerja secara profesional. Drone emprit membongkar kelakuan buzzer Jokowi ketika menyebarkan hoaks ambulans berisi batu dan bensin sampai grup whatsApp anak STM buatan oknum polisi. Mengundang Iba Pengakuan Moeldoko ini seperti membenarkan ulasan dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Keduanya membuat laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Ilmuan ini membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Angka itu cukup menggiurkan di saat ekonomi sulit saat ini. Banyak penganggur terdidik yang terjerumus dalam dunia buzzer. Kini, buzzer Jokowi akan jadi korban PHK. Sepertinya menyedihkan. Mengundang iba. Padahal harusnya mereka ikut menikmati kemenangan Jokowi di periode kedua ini. "Kekuasaan periode kedua belum dimulai, tapi Buzzers sudah dibuang alias disingkirkan alias diapkir. BPJS naik 100%, Tarif ini tarif itu naik. Honor hilang. Gimana nasib para Buzzer, ya...? Ckckck kasihan," cuit Tengku Zulkarnain, Senin (7/10). Tentu saja cuit Tengku Zul itu hanya sindiran saja. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyarankan para buzzer untuk tetap aktif menjalankan tugasnya lantaran hal itu dirasa bisa mempengaruhi keputusan kakak pembina buzzer. "Serang terus sana sini, mana tahu kakak pembina berubah pikiran. Ya nggak?," imbuhnya. Tengku Zul, tidak menyebut siapa Kakak Pembina yang dimaksud. Namun di kalangan pegiat medsos sudah tahu sama tahu, yang dimaksud Kakak Pembina adalah Moeldoko. Jika benar begitu maka: buzzer menggonggong, kakak pembina berlalu. Biarlah begitu. Kini, adalah saat yang tepat untuk buzzer taubat. Dalam perspektif Islam, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjingkannya adalah perbuatan keji yang diumpamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bahkan perilaku fitnah disebut lebih keji dari pembunuhan.

Lelaki Berludah Api dan Polisi

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ninoy Karundaeng saat ini adalah orang yang paling berbahaya di Indonesia. Dia ‘berludah api’. Apa pun yang keluar dari mulutnya membakar segalanya. Dan, itu adalah berarti bencana. Siapa pun yang namanya disebut Ninoy, bakal mengalami musibah dan sengsara. Ya, Ninoy korban amuk massa di sekitar Pejompongan Jakarta Pusat yang diselamatkan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) al Falah itu, kini benar-benar sakti mandraguna. Dia juga bak bocah manja yang tengah merayakan ulang tahun, yang segala keinginannya dipenuhi orang tuanya. Apa pun yang diinginkannya langsung diamini Polisi. Tidak tanggung-tanggung, 13 nama disebutnya, 13 nama itu pula yang langsung dicomot Polisi dan menyandang status tersangka. Dan, jangan lupa, tiga dari 13 itu adalah emak-emak. *Menculik itu salah, tapi...* Merujuk kasus Ninoy ini, di grup-grup percakapan _what apps_ (WA) ada yang nyeletuk, menculik itu suatu kesalahan. Tapi melepaskan orang yang diculik adalah kesalahan yang lebih besar lagi. Rupanya apes tengah menyergap sejumlah pengurus DKM masjid al Falah Pejompongan. Mereka melakukan beberapa ‘kesalahan’. Pertama, para pengurus masjid itu ‘bersalah’ karena TIDAK (dengan huruf besar) menculik Ninoy. Yang terjadi, justru mereka menyelamatkan _buzzer_ alias anjing penggonggong Istana itu dari amuk massa. Cerita dan latar belakang peristiwa ini sudah berseliweran di grup-grup WA dan ranah media sosial. Jadi, tak perlu lagi saya ulangi di sini. Masih dalam tuduhan menculik, nasib (paling) apes sepertinya dialami Sekjen Persaudaraan Alumni 212, Bernard Abdul Jabbar. Pasalnya, justru Bernard yang menyelamatkan anjing penggongong Istana itu dari amuk massa. Bahkan, meminjam kalimat Jubir PA 212 Habib Novel Bamukmin, Ninoy berutang nyawa kepada Bernard. Tapi, begitulah. Ninoy telah menyebut nama Bernard. Maka jam 3 dini hari, di jalan tol dalam perjalan pulang dari Lampung, mobil Bernard dipepet lima mobil Polisi. Dia ditangkap tanpa selembar pun surat perintah penangkapan ditunjukkan saat kejadian. ‘Kesalahan’ para DKM yang kedua, mereka memperlakukan Ninoy dengan baik, memberi makan dan minum. Bahkan mereka menyewakan mobil untuk mengantar pria yang tulisan-tulisannya di medsos sarat dengan tenebaran kebencian, hoax, dan fitnah kepada tokoh dan ummat Islalm itu pulang ke rumah. (Mana ada penculik melepaskan yang diculik, menyewakan mobil untuk mengangkut motor yang bersangkutan, dan mengantarkan pulang sampai ke rumah korbannya?) ‘Kesalahan’ ketiga, ya itu tadi, pengurus DKM melepaskan Ninoy. Maka, jadilah orang ini berludah api. Kebiasaannya menebar fitnah dan kebencian di dunia maya, kini wujudkan di dunia nyata, di hadapan Polisi. Serunya lagi, aparat berbaju cokelat yang oleh kalangan demonstran dan aktivis disebut Wercok alias wereng cokelat itu pun mengamini apa pun semburan ludah Ninoy. *Ninoy vs anjing* Masih ingat pepatah, menolong anjing terjepit menggigit? Maksudnya, anjing yang ditolong setelah lepas justru menggigit si penolong. Seperti itukah Ninoy? O, tidaaaak. Dia lebih hina lagi. Coba perhatikan, si anjing yang telah ditolong dari keterjepitannya itu menggigit penolongnya dengan moncongnya sendiri. Tapi Ninoy? Manusia rendah ini menggigit para penolongnya dengan menggunakan ‘moncong’ Polisi. Maka, jadilah para penolong tadi ditangkapi Polisi dan diganjar status tersangka. Ninoy juga tidak peduli dengan Bernard yang telah menyelamatkan nyawanya. Pendukung Jokowi garis keras itu dengan sengaja melupakan adegan saat dia berterimakasih serta mencium tangan Bernard karena nyawanya diselamatkan dari amuk massa. Bagaimana dengan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan, “ _saya telah ditolong dan diselamatkan oleh DKM masjid al Falah dan Tim Medis serta warga._”? Di surat pernyataan itu, lelaki hina dina tersebut juga menulis, “ _Saya tidak akan menuntut dan mempermasalahkan kejadian ini, dan semua sudah diselesaikan dengan baik_.” Bahkan, menjelang akhir surat pernyataannya, pria yang ternyata derajatnya lebih rendah daripada anjing ini menulis, “ _Saya juga mengucapkan terima kasih kepada DKM masjid al Falah dan Tim Media serta warga_.” Semua kalimat tersebut sama sekali tak bermakna. Di hadapan Polisi dengan gampang Ninoy mengatakan, bahwa surat pernyataan itu dibuat karena terpaksa, di bawah tekanan dan paksaan pihak lain, walau pun dia juga menulis “ _Demikian surat pernyataan ini saya buat berdasarkan kesadaran tanpa paksaan dari pihak mana pun._” Dan, lagi-lagi, polisi mengamini apa pun kata Ninoy. Kekesalan ummat Islam terhadap Ninoy khususnya ini membuat di grup-grup WA dan medsos berseliweran meme yang berbunyi, “ _Jika ada buzzer penghina Allah dan RasulNya yang dilindungi aparat, habisi saja tanpa jejak. Jangan ada saksi maupun bukti. Paham kaan...!?”_ Ummat marah, wajar saja. Ninoy si anjing penggonggong Istana yang ditolong malah menebar fitnah kepada orang-orang yang menolongnya. Sudah begitu, patut diduga Polisi menjadikan skandal ini sebagai pintu masuk menangkapi ulama dan aktivis ummat yang kritis terhadap penguasa. Polisi begitu sigap memproses kasus yang dianggap pelakunya melibatkan ummat atau tokoh Islam dan aktivis kritis. Tapi pada saat yang sama, sangat lambat bahkan enggan memproses laporan jika pelakunya para anjing penggonggong Istana atau mereka yang pro penguasa. Ditolaknya laporan atas fitnah yang ditebar Denny Siregar atas ambulans Pemprov DKI yang dituding membawa batu dan bensin, adalah contoh terang-benderang ketidakadilan Polisi. Dengan seabreg fakta yang ada, tidak heran bila pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, menyatakan sejak dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Polri telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum dan telah berubah menjadi bumper Parpol pendukung Pemerintah. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa segala sesuatu ada masanya. Kali ini, boleh saja Ninoy dan kawanan anjing penggonggong Istana sedang berpesta-pora. Saat ini boleh jadi polisi sedang di atas angin. Tapi, sekali lagi semua ada waktunya. “... dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami *pergilirkan* di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), serta agar sebagian dari kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (TQS Ali Imron [3]:140). Ingat, tidak ada pesta yang tak berakhir. Begitu juga dengan kalian! Oya, satu lagi, siapa pun kalian, jika beriman dan punya Tuhan, tentu kalian paham dan yakin, bahwa setiap perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sekecil apa pun, pasti akan mendapat balasan di akhirat. Dah, gitu ajah! [*] Jakarta, 10 Oktober 2019

Akankah Kerusuhan di Ekuador Menjalar ke Asia?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekuador bergolak. Pemantiknya adalah berbagai isu yang terkait dengan problem ekonomi dan keuangan. Nah, inikah titik awal resesi ekonomi dunia yang diramalkan itu? Wallhu a’lam! Sudah tujuh hari ini berlangsung protes rusuh di Ekuador, sebuah negara Amerika Latin. Kerusuhan melanda ibukota, Quito. Puluhan ribu warga penduduk asli datang menyerbu Quito. Akibatnya, presiden negara yang berpenduduk 16.5 juta itu terpaksa memindahkan kantornya ke kota pelabuhan, Guayaquil –150 kilometer dari ibukota. Rakyat Ekuador menentang kebijakan pemerintah Presiden Lenin Moreno. Dia menghapus subsidi BBM, memotong gaji sektor publik, dan menaikkan pajak. Moreno menggantikan Presiden Rafael Correa dalam pilpres 2017. Harga BBM naik lebih 100% sejak subsidi dicabut Kamis lalu. Kebijakan “austerity” (penghematan) ini dilakukan sebagai persyaratan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menstabilkan keuangan Ekuador. Dalam beberapa dekade ini, aksi protes penduduk asli (indigenous) berhasil menggulingkan tiga presiden di Ekuador. Laporan-laporan menyebutkan, ratusan orang ditahan dalam aksi protes yang disertai tindak kekerasan itu. Saking besarnya aksi protes rakyat, Presiden Moreno mengumumkan keadaan darurat. Tetapi tindakan ini tak berhasil menghentikan aksi rakyat. Aksi-aksi protes ini membuat Ekuador lumpuh total. Sekarang, stabilitas negara itu terancam. Aksi kerusuhan tidak hanya berlangsung di ibukota, tetapi juga kota-kota lain. Penguasa memberlakukan larangan keluar malam mulai pukul 17.00. Ekuador sudah lama mengalami masalah keuangan. Sejak masa kekuasaan Rafael Correa, negara kaya minyak ini masuk ke dalam jebakan utang RRC. Sudah USD11 miliar uang China dikucurkan. Ternyata, tak cukup. Ekuador minta tambahan. Pinjaman itu dicairkan sekitar 2015. Dengan bunga tinggi. Sebelumnya, China mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga air dengan biaya USD2.2 miliar. Seperti di Indonesia, pembuatan bendungan untuk proyek listrik ini dikerjakan oleh para teknisi China. Sektor perminyakan Ekuador pun telah dikuasai China. Hampir 90% ekspor minyak negara ini dikirim ke RRC sebagai pembayar utang. China membangun dan mengoperasikan pabrik penyulingan minyak besar di dekat kota Manta. Biayanya cukup besar. Kapasitasnya juga besar. Dengan uang pinjaman miliaran dollar, Ekuador dipaksa menjual minyaknya kepada RRC. Alberto Acosta, mantan menteri energi pada era Correa, menyindir keras kehadiran China di Ekuador. Acosta mengatakan, “Persoalannya ialah kami mencoba menggantikan imperialisme Amerika Serikat dengan imperialisme China.” “China itu belanja ke segenap penjuru dunia, menukar duit mereka menjadi sumber tambang dan investasi. Mereka tidak hanya datang membawa uang dan teknologi, tetapi sekaligus bunga tinggi,” kata Acosta kepada New York Times belum lama ini. Sebagaimana Ekuador, banyak negara lain yang kini mulai dilanda kesulitan ekonomi. Atau bahkan sudah lama mengalami masalah ekonomi. Dalam laporan yang berjudul “Trade and Development Report 2019”, organisasi perdagangan dan pembangunan PBB (UNCTAD yaitu United Nations Conference on Trade and Development) memperingatkan tentang resesi ekonomi tahun depan (2020). Badan ini mengatakan, isyarat resesi itu sangat jelas dan berbahaya. Dalam banyak contoh di masa lalu, resesi ekonomi bisa menjadi penyebab instabilitas politik dan krisis kepercayaan terhadap penguasa. Di Asia, banyak negara yang bisa rentan gara-gara resesi. Termasuk Indonesia. Pada 1998, Presiden Suharto lengser karena krisis keuangan. Karena krisis utang. Pada waktu ini, Indonesia kembali mengalami jumlah utang pemerintah dan swasta yang bisa memicu krisis keuangan. Begitu pula dengan banyak negara di benua-benua lain. Pertanyaannya, mungkinkah kerusuhan seperti di Ekuador menjalar ke kawasan Asia? Jawabannya: tidak seorang pun menghendaki itu terjadi. Untuk Indonesia, apakah pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi kemungkinan gangguan ekonomi-keuangan (resesi) seperti yang diprediksi oleh UNCTAD? Seharusnya, tanpa ditanya pun mereka selalu siap. Periode kedua Presiden Jokowi bisa saja dilanda krisis yang bersumber dari tumpukan utang. Membayar cicilan 300-400 triliun rupiah per tahun tampaknya bukan beban yang ringan. Jika resesi ekonomi juga melanda Indonesia tahun depan (2020), persoalan yang muncul bisa sangat serius.[] 10 Oktober 2019

H2C Para Buzzer: Ditinggalkan atau Jadi Komisaris?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menilai, aktivitas para buzzer atau pendengung Presiden Joko Widodo saat ini justru merugikan Jokowi sendiri. Karena itulah dia menghimbau para pendengung Jokowi ini untuk lebih positif dalam bersuara. Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (04/10/2019 14:45 WIB), dia melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. “Jadi yang perlu dibangun emosi positif lah,” kata Moeldoko di Jakarta. Moeldoko merespons tentang aktivitas para pendukung Jokowi beberapa hari belakangan ini. Dua kasus dia soroti, yakni terkait penyebaran informasi ambulans DKI Jakarta yang disebut membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR. Lalu, dari kasus tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM, yang ternyata nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Kedua informasi tersebut dianggap sejumlah pihak telah menyesatkan alias hoaks. Berdasarkan analisa DroneEmprit terkait mobil ambulans DKI Jakarta membawa batu dan bensin, diketahui bahwa pihak pertama yang menyebarkan informasi itu adalah akun-akun yang dikenal kerap 'membela' Jokowi ataupun pemerintah. Mereka antara lain, @OneMurthada, @Paltiwest, @digeeembok, @Dennysiregar7, dan akhirnya juga diunggah oleh akun @TMCPoldaMetro. Setelah ramai 'dilawan', akhirnya Polda Metro mengakui keliru menyebut ambulans DKI bawa batu dan bensin. Sementara itu, sejumlah akun yang mengunggah tangkapan layar grup WA anak STM antara lain, @TheREAL_Abi, dan @OneMurtadha. Namun akun-akun tersebut sudah menghapus unggahannya setelah para pengguna Twitter lainnya mengkritisi isi tangkap layar itu. Moeldoko menyatakan kehadiran buzzer awalnya untuk memperjuangkan dan menjaga marwah pemimpinnya. Namun, bagi Moeldoko, dalam kondisi Pemilu sudah selesai, buzzer sudah tak diperlukan lagi. Menurut mantan panglima TNI itu, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan yang malah bersifat destruktif. “Karena kalau buzzer-buzzer ini selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati. Nah itu lah destruktif dan itu sudah enggak perlu lah. Untuk apa itu?" tuturnya. Moeldoko berharap para buzzer menurunkan semangat yang berlebihan dalam mendukung seorang tokoh idolanya, dalam hal ini Jokowi. Dia juga tak ingin buzzer yang mendukung Jokowi ini justru menyebarkan kebencian. Moeldoko juga telah mengimbau para buzzer untuk menggunakan bahasa yang nyaman dan tak menyakiti pihak lain. Dia mengaku sudah menyampaikan langsung kepada influencer, tokoh-tokoh relawan dan tokoh-tokoh yang lainnya. Mengutip Detik.com, Jum’at (4/10/2019 09:13:18 WIB), analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia Ismail Fahmi menilai, buzzer membuat pemerintah menjadi tak bisa mendengarkan kritik yang disampaikan masyarakat di media sosial. Sebab, menurut Ismail, para buzzer pendukung Jokowi langsung 'menghajar' saat ada kritik. Ismail awalnya menjelaskan soal buzzer yang dipelihara negara. Dia menyebut buzzer negara memelihara buzzer semenjak tahun 2014. “Sekarang, sejak 2014, dalam menghadapi media sosial itu, negara bukan memberikan berita positif, tetapi negara malah menaruh buzzer untuk menghadapi opini. Itulah yang kemudian apa, menyebabkan buntu. Mereka yang mengkritik jadinya seperti buzzer,” kata Ismail. Karena tak mendapatkan tanggapan dari pemerintah, dan pemerintah juga mendengar. Jadi, “Buzzer membereskan aja, ketika ada ini, diberesin ini. Ketika ada sesuatu yang bikin ramai, ditangkal isu lain,” lanjut Ismail. “Kemudian ada satu isu yang pemerintah mau angkat, dia bikin kampanye luar biasa, yang menghalangi langsung dihajar oleh buzzer itu,” imbuh Ismail kepada wartawan, Kamis (3/10/2019). Menurut Ismail, buzzer di media sosial membuat pemerintah tidak bisa mengetahui aspirasi apa yang disampaikan masyarakat melalui media sosial. Dia menilai pemerintah seharusnya membuat sistem yang bisa menampung kritikan masyarakat di media sosial. “Seharusnya tidak ada buzzer di Istana, tidak ada buzzer di oposisi, yang ada adalah rakyat, yang ada adalah publik yang menyampaikan suara di media sosial, menyampaikan kritikan. Kemudian pemerintah mendengarkan big data, mendengarkan sinyal itu,” ucapnya. Moeldoko sendiri menepis anggapan bahwa buzzer di media sosial yang pro-pemerintah 'dikomandani' kantornya. Justru, seperti dikutip Detik.com, Kamis (03 Oktober 2019, 17:23 WIB) Moeldoko menilai para buzzer perlu ditertibkan. “Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik,” ucap Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019). Menurutnya, para buzzer cenderung tak ingin sosok yang diidolakannya diserang. Tapi, bila itu terjadi, disebut Moeldoko, para buzzer tersebut pasti bereaksi. “Contohnya begini – bukan saya maksudnya – para buzzer itu tidak ingin idolanya diserang, idolanya disakitin. Akhirnya masing-masing bereaksi. Ini memang persoalan kita semua, juga kedua belah pihak, bukan hanya satu pihak. Kedua belah pihak,” ucapnya. Selain itu, dia berpendapat buzzer sebaiknya menggunakan kalimat yang tidak menyerang lawan politik idolanya. “Ya sebenarnya bukan santainya, tapi perlu mencari diksi-diksi yang lebih.... Kan tidak harus menyerang, tidak harus saling menjelekkan, tidak harus saling mengecilkan. Menurut saya sih buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah, kan pemilu juga udah selesai,” imbuhnya. Moeldoko juga menepis Kantor Staf Presiden (KSP) 'mengomandani' buzzer pendukung Jokowi. KSP, disebutnya, justru mengimbau pendukung Jokowi tidak menyerang lawan politik atau yang berseberangan. “Oh tidak, tidak. Sama sekali kita... justru kita KSP itu mengimbau 'udah kita jangan lagi seperti itu'. Beberapa kali saya sudah ngomongkan, janganlah kita politik yang kita kembangkan itu, kalau saya boleh mengatakan politik kasih sayang,” ujarnya. Kakak Pembina Para buzzer Jokowi ini bekerja secara senyap. Setidaknya itu yang digambarkan Seword.com. “Tim ini memang tidak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini,” tulis Seword, Kamis (02 Mei 19 pukul 07: 36). Nama-nama yang disebut Seword antara lain: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Eko Kuntadhi, Habib Think, Salman Faris, Katakita, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Komik Kita, Komik Pinggiran, dan Sewordcom. “Semua datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan Kakak Pembina,” ungkap Seword. Meski ditampik Moeldoko, Kakak Pembina yang dimaksud adalah dirinya KSP. Di berbagai grup WA malah disebutkan setidaknya ada 120 Aliansi Gerakan Relawan/Buzzer Jokowi. Jika benar yang mereka ini binaan Istana, tentu saja ada konsekensi ekonominya. Berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan Istana untuk operasional para buzzer ini setiap bulannya? Tak mungkin mereka “bekerja” secara suka rela tanpa bayaran. Tidak mungkin sekelas Denny Siregar dibayar senilai recehan. Ninoy Karundeng saja terima bayaran Rp 3,2 juta/bulan, seperti pengakuannya dalam video “interograsi” yang tersebar luas di grup WA belum lama ini. Apalagi, jika mereka bekerja secara profesional. Dapat dipastikan, bayarannya di atas Rp 5 juta, bahkan Rp 25 juta/bulan. Sebuah angka yang cukup menggiurkan tentunya. Jika beruntung, bisa seperti Kartika Djoemadi, pendiri Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) yang diluncurkan pada 12 Agustus 2012, diangkat menjadi Komisaris Danareksa pada 27 Oktober 2015, setelah sukses pada Pilpres 2014. Begitu Jokowi resmi menyatakan diri menjadi Capres2014, JASMEV yang tadinya non aktif ini kembali lagi dalam dunia sosial media, dan menyatakan akan membantu Jokowi bersama puluhan ribu relawan JASMEV di seluruh Indonesia dan luar negeri. Tujuannya memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Karena pertarungan Pilpres 2014 tidak mengusung Ahok sebagai wakil Jokowi, membuat JASMEV mengubah akronimnya menjadi Jokowi Advanced Social Media Volunteers. Bagaimana dengan buzzer Jokowi untuk Pilpres 2019 setelah mengulang kemenangan? Jika Jokowi tidak lupa, pasti ada yang diangkat seperti Kartika. Semoga tidak H2C alitas Harap-Harap Cemas! ***

Mungkinkah Jokowi Berantas Korupsi?

Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin memproduksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi, Presiden yang mengawali karir politik sebagai Walikota Solo ini, oleh sebagian kalangan terlihat unggul dalam pembangunan infrastruktur. Selama memerintah Solo, pria ini dianugrahi penghargaan tokoh anti korupsi. Tindakan-tindakan pemerintahan macam apakah yang membawa dirinya menerima penghargaan? Hanya dirinya dan pemberi penghargaan yang tahu. Sebagai tokoh antikorupsi, harusnya Pak Jokowi dapat mengikuti jalan berani yang telah dilakukan oleh Martin Vizcara, Presiden Peru. Martin menggenggam jabatan Presiden Peru menggantikan Pedro Pablo Kuczynki menyusul skandal suap yang menimpa dirinya. Sebelum menjadi wakil presiden, Martin, disini terlihat mirip Pak Jokowi menjabat sebagai Gubernur Moquequa. Salah satu provinsi di Selatan Peru. Juga seperti Pak Jokowi, selama Martin memerintah di Moquequa. Ketika itu Martin dikenal memiliki reputasi sebagai orang yang sangat konsisten dalam menerapkan good governanace. Reputasi itu pula yang menjadi modal terbesar dirinya. Modal itulah yang membuat Pedro Pablo jatuh hati kepada Martin. Perdo lalu memintanya untuk menjadi wakil presiden, dan membawanya sukses memasuki pemilu presiden tahun 2016. Pasangan Perdo-Martin sukses terpilih pada pemilu itu. Posisinya sebagai wakil presiden, tidak memungkinkan Martin mengaktualisasikan gagasan-gagasannya. Tetapi tidak setelah dirinya menjadi Presiden. Martin mengambil langkah dengan resiko besar memerangi korupsi. Konsisten Mungkinkan Pak Jokowi, pria penerima penghargaan anti korupsi, yang akan dilantik untuk jabatan presiden kedua kalinya ini mengikuti langkah Martin? Sikap yang paling menonjol dari Martin adalah tetap konsisten ditengah pemerintahan yang sungguh-sungguh terbelah. Pak Jokowi, sejauh ini tidak berada dalam pemerintahan yang terbelah. DPR – minus Pan dan PKS, boleh dikatakan all the presiden team. Malah the presiden dream team. PAN dan PKS hampir pasti tak bakal aneh-aneh. Gerindra toh terlihat bakal jinak. Lalu masih ada stok benteng lain di luar gedung DPR yang sangat dahsyat. Para Buzzer adalah kekuatan lain yang sangat dahsyat itu. Akankah landscap dan semua modal politik tak tertandingi, yang kini dimiliki dan melingkarinya itu membawa Jokowi pada titik “main sikat” seperti Martin lakukan di Peru? Sulit menemukan jawaban kongklusif. Tetapi apa yang ditakuti Pak Jokowi dari parlemen yang telah tersatukan, terunifikasi dengan pemerintah? Toh politisi-politisi mutakhir selalu terlihat tidak mengayuh tindak-tanduk politiknya dengan sikap hitam-putih. Mereka selalu cair, untuk tak mengatakan abu-abu. Kenyataan pemerintahan seperti itu, dalam batas yang nyata berbeda dengan yangh Martin hadapi di Peru. Martin menemukan dirinya berada dalam pemerintahan yang terbelah. Partainya Keiko Fujimori mendominasi Parlemen Peru, dan Keiko sendiri menjadi ketuanya. Keiko sang Ketua National Congress adalah pesaing Martin bersama Pedro pada pemilu 2016. Mungkin saja ia memiliki ambisi menenggelamkan Martin. Namun demikian Martin tetap konsisten. Bagaimana dengan Pak Jokowi? Akankah sama konsistennya dengan Martin? Entahlah. Bila ya, maka Pak Jokowi mungkin akan membawa dirinya pada langkah-langkah, tidak usah main sikat, tetapi reformatif yang tertata dalam pertempuran melawan korupsi. Pak Jokowi tidak usah banyak bicara. Tetapi tidak usah juga menyembunyikan gagasan anti korupsinya. Kalau gagasan itu memang ada. Tindakan pemerintahannya di Solo yang membawa dirinya memperoleh penghargaan, harus terlihat lebih jelas dalam tata kelola birokrasi lima tahun ke dapan. Martin di Peru. Presiden yang semasa memimpin Provinsi Moquequa di Peru Selatan, menerapkan good and clean government. Jelas sekali komitmen dan konsistensinya. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden menggantikan Pedro Pablo Kuczynski yang diimpeach, Martin menunjukan konsistensi dan kelasnya. “Peru come first, and we must leave behind squabbles”. Begitulah isi pidato Martin yang menghebohkan, dan membuat gegap gempita rakyatnya. “Saya akan bekerja mengembalikan kepercayaan kepada institusi-institusi publik, “kata Martin dalam pidatonya itu. Itu karena Martin tahu masalah besar yang melilit politik dan birokrasi. Sama dengan Indonesia. Masalah terbesar bangsa Indonesia adalah korupsi. Dalam penilaian Martin, korupsi telah mewabah sedemikian gilanya. Korupsi menggurita dalam birokrasi sejak pemerintahan Alberto Fujimori, Presiden Peru periode 1991-2000. Presiden Fujimori terpaksa diimpeach, dan akhirnya dipenjara karena berbagai skandal korupsi. Selangkah Saja Seperti itulah korupsi dimuka bumi ini. Dulu maupun sekarang tidak ada bedanya. Tidak di Indonesia, tidak juga juga di Peru. Dimana-mana modusnya tidak pernah jauh dari kesepakatan-kesepakatan kotor. Suap-menyuap, penyalah-gunaan wewenang, dan kick back proyek. Pedro, presiden yang digantikan Martin misalnya, dituduh menerima ratusan ribu dolar Amerika Serikat dari Odebrecht, perusahaan konsultan Brasil yang mengerjakan sejumlah proyek di Peru. Martin mungkin terlalu progresif untuk ukuran sebuah negara yang menderita korupsi parah. Untuk meyingkirkan hambatan-hambatan politik yang mungkin menghadang langkah-langkah reformatifnya, ia pada kesempatan pertama meminta pemilu dipercepat dari seharusnya 2021 menjadi Januari 2020. Setelah menggenggam jabatan presiden, Martin melangkah dengan sangat progresif. Martin bahkan mengintroduksi larangan terhadap politisi korup mengikuti kontestasi itu. Gagasan ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Peru yang hendak diubah. Langkah ekstrim ini, jelas tidak perlu dilakukan Pak Jokowi. Toh pemilu sudah usai dengan segala duka dan pilu yang menyertainya. Ada politisi di legislative dan eksekutif yang telah berbagai level untuk tertangkap KPK, karena melakukan korupsi. Tidak usah jadi perangsang mengadopsi langkah dan tindakan tipikal Martin di Peru. Tidak usah Pak Jokowi. Tetapi bukan itu masalahnya. Pak Jokowi perlu maju selangkah lagi saja. Mengenali dan memetakan secara jelas dan terukur, penyebab dan cara berkelahi dengan korupsi sejauh ini. Itu saja dulu. Selalu saja ada pandangan yang berbeda. Persis seperti pandangan-pandangan undang-undang KPK Perubahan. Ditambah yang pro Perpu atau anti Perpu. Ada juga yang pro korupsi dan anti korupsi. Itu jelas pasti ada. Namun itu biasa saja. Tetapi mengidentiikasi kenyataan itu saja tidak cukup. Bukan itu cara berpikirnya. Yang wajar dilakukan Pak Jokowi adalah mengenal. Sekali lagi mengenal lebih dalam. Lebih jernih pada setiap sudut tersembunyi dan semua sayap diskursus penanganan korupsi. Pada titik itu, Pak Jokowi perlu membuka gudang politik “minyak untuk pangan” yang diterapkan PBB di Irak. Program ini bermotif mengurung mendiang Saddam Husen, yang Amerika identifikasi sebagai manusia paling berbahaya dan korup pada masanya itu. Tetapi apa hasilnya? Toh, rakyat tetap menderita, bahkan sesudah Sadam pergi untuk selamanya. Nyatanya program ini menyediakan begitu banyak lubang korup, yang dinikmati pialang-pialang kekuasan dalam dunia politik ekonomi, khususnya minyak Internasional. Hingga saat ini korupsi malah mengila d Irak. Rakyat terus terlilit penderitaan diberbagai sudut kehidupan. Korup tetapi berbaju antikorupsi. Begitulah yang dapat digambarkan dari program “minyak untuk pangan” di Irak pada masa Saddam Husen. Inilah yang terlihat tak sepenuhnya dikenali Martin di Peru. Salah satu kenyataan inilah yang mengakibatkan, , National Congres yang didominasi partai oposisi pimpinan Keiko Fujimori, menolak gagasannya. Martin memang tidak hilang akal. Dia membawa gagasannya itu ke referendum khas Chaves di Venezuela. Korupsi yang menurutnya menggurita di negerinya boleh saja disajikan sebagai penyebab paling utama anggota parlemen bersatu menolak gagasannya. Tetapi parlemen melihat sisi lain dari gagasannya itu. Apa? Mengapa harus gunakan referendum? Siapa yang menjamin referendum itu tidak sama tujuannya dengan yang digunakan Chaves, bahkan Alberto Fujimori? Bukankah Fujimori juga hendak mengubah konstitusi melalui referendum? Dan konstitusi yang direferendumkan itu memungkinkan dirinya menjadi presiden untuk ketiga kalinya Pak Jokowi karena itu, harus memiliki pengetahuan, gagasan dan langkah-langkah pemberantasan korupsi dirancang secara tepat. Ini akan ditentukan selamanya oleh kemauan berkelas Pak Jokowi memaknai penghargaan antikorupsi yang disandangnya. Pak Jokowi tidak perlu memberangus politisi, seperti yang dilakukan Martin di Peru. Juga tidak perlu mengubah Undang-Undang Dasar untuk memungkinkan dirinya maju lagi pada pemilu presiden berikutnya. Itu juga tidak perlu Pak Jokowi. Toh masa jabatan keduanya saja belum dimulai. Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin produksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan. Bila Pak Jokowi dapat, tentu berdasarkan data ternalar. Memetakan fenomena korupsi dalam politik pintu berputar, itu akan jadi point paling hebat. Politik pintu berputar, tidak lain selain sebagai cara menciptakan dan melanggengkan klik-klik intitusi. Wujud politik pintu berputas ini adalah pejabat yang telah pergi dari satu institusi, tetapi atas nama menjaga relasi, semangat institusi, mereka bisa masuk dan keluar institusi itu sesuka hati. Mereka juga mendapat akses, mendapat informasi, bahkan kekebalan. Apa sesudah itu? Korupsi tidak surut. Mungkinkah semua itu dilakukan Pak Jokowi? Itu soalnya. Respon merangkak terhadap berbagai peristiwa mematikan, mulai dari bencana Lombok, Sulteng, kematian aneh sekitar 700 petugas PPS pemilu. Belakangan bencana Ambon dan kerusuhan mematikan di Wamena Papua, memungkinkan setiap orang memilih untuk tidak berharap. Tetapi siapa tahu. Mungkin ya, mungkin tidak. Sejarah akan bicara pada wakutunya kelek. Penulias adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Sultan Khairun Ternate

Polemik Menuju Periode Kedua, Aman atau Lengser?

Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Terkait Revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo hari-hari ini dalam posisi terjepit. Kabarnya, versi Ketum Partai NasDem Surya Paloh, sebenarnya Presiden Jokowi sepakat dengan Parpol Koalisi Jokowi, yakni menolak penerbitan Perppu KPK. Makanya, hingga hari ini, Presiden Jokowi belum juga menyatakan sikapnya, membatalkan rencana menerbitkan Perppu KPK atau melanjutkan UU KPK yang sudah ditetapkan DPR RI dengan berbagai resiko diantara keduanya bila bersikap. Sejumlah tokoh yang berjumpa Presiden Jokowi pada Kamis, 26 September 2019, lalu yang menggelar konferensi pers di Galeri Cemara, Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (4/10/2019), misalnya. Melansir Tribunnews.com, Jum’at (4/10/2019), konferensi pers ini digelar untuk menyikapi kabar batal dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK oleh Presiden Jokowi. Sejumlah tokoh yang hadir dalam acara diskusi ini antara lain pakar hukum Bivitri Susanti, Prof DR Emil Salim, mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Slamet Rahardjo. Di sini, Prof Emil memberikan pemaparan terkait tujuan kegiatan acara. “Menyadari sejarah yang lampau, prestasi KPK yang gigih berjuang, kami merasa perjuangan ini harus diteruskan demi kebersihan aparat pemerintah dari korupsi,” katanya. Prof Emil menjelaskan bahwa undang-undang KPK yang telah diresmikan sifatnya memperlemah. Dan langkah itu terkait upaya pembatasan proses penyidikan dan penyadapan yang memang dimiliki oleh lembaga anti rasuah tersebut. Pelemahan tersebut dinilai berdampak signifikan bagi pekerjaan KPK. Karena itu, Prof Emil bersama tokoh yang hadir ini mendukung Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu KPK. “Kalau ini semua dibatasi, itu namanya KPK dikebiri. Karena itu, kami minta Presiden untuk terbitkan Perppu dan kami mendukung Presiden menolak UU KPK itu,” ujar Prof Emil. Indonesia Cоruрtіоn Watch (ICW) mengakui, angin ѕеgаr sempat dihembuskan Istana soal kabar Prеѕіdеn Jоkоwi akan ѕеgеrа mеnеrbіtkаn Pеrаturаn Pеmеrіntаh Pengganti Undаng-Undаng (Perppu) Revisi UU 30/2002 tentang KPK. Hingga detik іnі Pеrррu KPK belum dikeluarkan, Presiden ѕереrtіnуа masih mеnghіtung untung rugi dаn dіhаdарkаn раdа ѕіtuаѕі dіlеmаtіѕ seperti mаkаn buah ѕіmаlаkаmа bila betul-betul mеnеrbіtkаn Perppu. Pеnеlіtі ICW Kurnіа Rаmаdhаnа mеngіngаtkаn Jokowi, akan аdа еfеk уаng jauh lеbіh besar jіkа Perppu KPK іtu tidak segera dіtеrbіtkаn. Kurnіа mеnуеbut аdа delapan еfеk jika Jоkоwі tіdаk menerbitkan Pеrррu. Pеrtаmа, реnіndаkаn korupsi аkаn mеlаmbаt, kаrеnа рrоѕеѕnуа sekarang hаruѕ mеlаluі izin dаrі Dеwаn Pengawas,” ujаrnуа ѕааt kоnfеrеnѕі реrѕ di Kаntоr YLBHI, Jаkаrtа, seperti dilansir Uzonews.com, Minggu (6/10/2019). Kedua, KPK tak lаgі menjadi іnѕtіtuѕі utаmа penindakan kоruрѕі. Karena, KPK аkаn menjadi bagian dаrі pemerintah. Kеtіgа, jіkа Jokowi tidаk terbitkan Pеrррu mаkа аkаn mеmреrburuk сіtrа реmеrіntаhаn. “Mаѕа jabatan Jokowi-JK аkаn bеrаkhіr 14 hаrі lаgі. Seharusnya іtu memberikan lеgасу уаng baik dеngаn саrа tеrbіtkаn Perppu,” jelas Kurnіа. Keempat, adalah Jоkоwі ingkar jаnjі terhadap Nawacita yang ѕеlаmа ini dia gadang-gadang. Lаlu, Indеkѕ Prestasi Korupsi Indоnеѕіа аkаn stagnan аtаu turun ѕеhіnggа berakibat kераdа сіtrа реmеrіntаh di mаtа іntеrnаѕіоnаl jatuh. Kurnіа juga mеnjеlаѕkаn efek yang аkаn terjadi jika Jokowi rаgu mеngеluаrkаn Pеrррu mаkа Jokowi tеlаh mеnсіdеrаі реnghаrgааn Bung Hatta Anti-Corruption Awаrd (BHACA) уаng dіѕеmаtkаn kераdаnуа ѕааt mеnjаbаt ѕеbаgаі Walikоtа Surakarta раdа 2010. “Yаng paling utаmа jіkа ѕаmраі реlаntіkаn pada 20 Oktober mendatang, Pеrррu tidаk kunjung diterbitkan maka Jоkоwі tеlаh mеngkhіаnаtі аmаnаt reformasi, уаіtu memberantas KKN,” tеgаѕ Kurnіа. Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, yang bikin Jokowi Andi Lao, antara dilema dan galau, soal Perppu batalin Revisi KPK, karena ada hal yang krusial secara politis. Bukan sekadar pro koruptor atau anti koruptor. Apapun motif di balik ide revisi KPK maupun terpilihnya Irjen Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru itu, implikasinya bukan soal berkomitmen dengan pemberantasan korupsi atau tidak. Tapi lebih politis lagi. Akibat revisi KPK dan terpilihnya Firli Bahuri, KPK selain ganti sistem, juga ganti formasi dan tentunya aktor kunci. Kalau sudah sampai sini, kesalahan ada pada kedua belah pihak. Bahwa KPK selama ini tidak pernah murni jadi alat pemberantasan korupsi. Kedua, KPK dibentuk lebih untuk penanganan OTT gratifikasi dan suap, ketimbang membangun strategi pencegahan korupsi yang didasarkan pada sistem politik yang koruptif di semua bidang. Akibat fokus pada gratifikasi dan bukannya memadamkan bara apinya, yaitu sistem politik yang koruptif dan melemahkan sistem kenegaraan, maka KPK kemudian jadi sistem berkumpulnya sebuah klik politik buat mengimbangi aktor-aktor politik di DPR dan Eksekutif. Sehingga dengan kerangka pemberantasan korupsi yang menyempit pada OTT gratifikasi dan suap, KPK jadi alat pukul buat melumpuhkan lawan politik yang bertabrakan agendanya dengan klik politik yang menguasai sistem dan password KPK selama ini. “Dan, korban utamanya adalah politisi DPR, DPD dan para menteri di pemerintahan Presiden Jokowi – Wapres Jusuf Kalla,” ungkap Hendrajit. Berkumpulnya para tokoh yang dimotori Gunawan Mohammad, Kuntoro Mangkusubroto, Arifin Panigoro, Eri Riana, merupakan cermin kegelisahan klan politik yang tergusur seturut munculnya revisi uu KPK dan naiknya Firli Cs. Pada tataran inilah, Jokowi jadi Andi Lao. Bukan soal ngeluarin Perppu. Di balik sistem KPK selama ini, ada kartel politik di luar lingkup DPR-MPR yang memegang grip Jokowi di balik layar. “Selain kubu para jenderal seperti Wiranto, SBY, Hendro, dan Luhut,” lanjutnya. Jika Jokowi terbitin Perppu, berarti Presiden bukan sekadar menghadapi DPR. Melainkan bakal menghadapi para skemator yang ingin mengubah sistem dan formasi KPK yang selama ini dikuasai klik yang para tokohnya bertemu Jokowi di Istana tempo hari. “Jalan keluarnya menurut saya, masyarakat harus ajukan skema baru di luar versi revisi atau versi klik KPK lama yang sebenarnya juga sarat kepentingan dan sudah bersenyawa dengan Istana sejak Luhut dan Teten Masduki di ring satu Jokowi,” ujar Hendrajit. Alternatifnya, menurut Hendrajit, pemberantasan korupsi harus terintegrasi ke dalam strategi untuk melumpuhkan musuh yang telah dan akan melemahkan sistem kenegaraan kita. Dan, “Strateginya bukan lagi menekankan pemberantasan, tapi pencegahan.” Bukan eradication, tapi prevention. Ketika musabab korupsi karena sistem politiknya yang memang koruptif, maka masalah pokok dari kejahatan korupsi bukan gratifikasi dan suap saja. Melainkan penyalahgunaan kekuasaan melalui mekanisme negara di dalam negara. Juga, merajalelanya tim siluman. Dan klan politik di balik KPK yang sekarang ini lagi gerah dan kejang kejang, selama ini juga tak membantu banyak. Sekaranglah momentum berbagai elemen masyarakat mengajukan skema dan skenario alternatif. Jokowi Lengser? Dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berjudul “Perppu KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik”, LSI melaporkan temuannya perihal penurunan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi selama 5 tahun menjabat Presiden. LSI mencatat, tada 12 persen menyatakan sangat puas; 54,3 persen publik mengaku cukup puas dengan kinerja presiden, sisanya kurang puas dan tidak puas pada kinerja presiden. Selain itu LSI juga memaparkan tren kepuasan publik terhadap kinerja presiden. “Jokowi sudah 5 tahun menjadi presiden. Secara umum apakah sejauh ini Ibu/bapak sangat puas dengan kerja Presiden Jokowi?” demikian pertanyaan survei wawancara yang diajukan sebagaimana terlampir dalam keterangan tertulis rilis LSI, Minggu (6/10/2019). Dalam grafik disajikan, ada penurunan tren kepuasan publik dalam rentang waktu 8 bulan. Pada Maret 2019, ada 71 persen publik puas atas kinerja Jokowi. Tapi, pasca pilpres sampai Oktober ini tren kepuasan publik atas kinerja Jokowi justru turun menjadi 67 persen. Melihat kenyataan politik seperti itu, Jokowi harus segera mengambil pilihan dilematis. Jika Jokowi tak mau menerbitkan Perppu KPK, dia akan berhadapan dengan mahasiswa penolak UU KPK. Kalau terbitkan Perppu KPK, dia berhadapan dengan DPR. Kalau mau “aman”, tentunya Jokowi bisa memilih mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Tanda-tanda ini bisa dicermati dari pidato Presiden Jokowi saat HUT TNI ke-74 di Halim Perdana Kusuma, Sabtu (5/10/2019), lalu. “Pada kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pejabat-pejabat dan perwira tinggi utama yang telah membantu periode kepemimpinan Presiden tahun 2014-2019. Terima kasih kepada Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla; kepada Menkopolhukam Bapak Tedjo Edhy Purdijatno, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, dan Bapak Wiranto; kepada Menteri Pertahanan Bapak Ryamizard Ryacudu; Kepada Panglima TNI Bapak Moeldoko, Bapak Gatot Nurmantyo, dan Bapak Hadi Tjahjanto; kepada KASAD Bapak Mulyono dan Bapak Andika Perkasa; kepada KASAL Bapak Ade Supandi dan Bapak Siwi Sukma Aji; serta kepada KASAU Bapak Ida Bagus Putu Dunia, Bapak Agus Supriatna, dan Bapak Yuyu Sutisna.” Apakah pidato Jokowi itu isyarat pamitan bahwa dia akan memilih undur diri karena merasa sudah tidak mampu sebagai Presiden? Penulis adalah Wartawan Senior