OPINI
Beduk Kematian KPK Itu Ditabuh Istana
Dengan bekal intruksi Presiden itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Sudah lama info skandal jahat ini tersimpan rapi. Dengan pertimbangan menjaga stabilitas politik nasional urung dipublikasikan. Namun dengan memperhatikan ancaman eksistensi lembaga anti KKN, dan kehancuran tatanan berbangsa bernegara, tampaknya tidak mungkin untuk tetap didiamkan. Sesunguhnya banyak pihak yang tidak suka dengan sepak terjang KPK. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghabisi KPK, baik dalam bentuk tekanan non fisik, intimidasi, hingga kekerasan seperti yang menimpa Novel Baswedan. Namun lembaga antirasuah itu, tampaknya tidak surut melakukan pemberantasan korupsi. Belakangan upaya pelemahan KPK itu menemukan momentumnya. Kasus yang menimpa Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy yang terkena OTT KPK (15/03/19), menjadi pintu masuk skandal pelemahan KPK dimulai, dan dirancang dengan sangat serius. Kisahnya bermula dari surat khusus yang dikirim Romy sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan di Rutan K4 KPK. Selain surat terbuka, diam-diam Romy ternyata, mengirim surat kepada Suharso Monoarfa, Penasehat Presiden, yang kemudian didaulat sebagai PJ Ketua Umum PPP. Surat terbuka Romy dalam sekejab telah beredar luas di media massa nasional, dan isinya diketahui umum. Sedang surat kepada Sumo, pangilan akrab Suharso Monoarfa, memang bersifat confidencial, sangat pribadi dan sangat rahasia. Isi singkatnya, Romy meminta kepada Sumo, agar membantu dirinya, dengan meminta kepada Presiden secara langsung, untuk membantu menyelesaikan kasusnya. Jika tidak, sesuai isi surat itu, Romy tidak segan-segan akan membongkar semua hal yang diketahuinya, termasuk tentang Pilpres 2019. Surat cinta yang juga berisi ancaman itu, ditanggapi Sumo dengan serius. Ini dapat dipahami, karena interaksi antara Romy dengan Presiden, bukanlah hubungan biasa. Hubungan diantara mereka, dibangun jauh sebelum Jokowi menjadi Presiden. Jalinan itu semakin intim setelah 2004, Romy selaku Staf Ahli Menteri Koperasi, turut menyerahkan bantuan modal kredit lunak senilai Rp 1 milyar kepada Jokowi, selaku pengusaha meubel di Solo. Wajar jika Romy merupakan salah satu ketua umum partai, yang sangat dekat dengan Jokowi. Saking dekatnya, Mas Romy, demikian Presiden selalu menyapa, seringkali diminta untuk datang selepas tengah malam, menemani Presiden yang sulit tidur, atau untuk sekedar tertawa cekikikan berdua. Tentu tidak hanya hahahihi, banyak hal tentang rahasia negara yang selain Tuhan, hanya mereka berdua yang tahu. Karena itu, pagi harinya, tanggal 17 Maret 2019, Sumo tergopoh-gopoh diterima Presiden di Istana Negara. Setelah sedikit menyampaikan pengantar, ia menyerahkan "surat cinta" Romy, kepada Presiden Jokowi. Sontak, sekejab setelah membaca surat cinta yang penuh dengan ratapan itu, wajah Presiden berubah tegang. Lantas, terjadilah diskusi serius, di antara keduanya, serta diputuskan untuk mengambil langkah cepat. Kurang dari satu jam setelah Presiden menelepon, Kapolri Tito Karnavian tiba di ruang Presiden. Kemudian Presiden memberikan perintah lesan, "Tolong diselesaikan dengan cepat, bersama Pak Harso". Dengan bekal intruksi itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif. Skenario penanganan kasus Romy berjalan mulus, sesuai keinginan Presiden. Saksi-saksi diperiksa seolah-olah kasus Romy ditangani serius. Namun Romy tidak pernah disentuh. Tampak sekali permainannya, seperti mengubur bangkai di tengah pasar. Malah dengan alasan mengeluh sakit, pada 2 April 2019, kurang dari 2 minggu sebelum Pemilu Presiden, Romy dibantarkan ke Rumah Sakit Polri, Jakarta Timur. Tidak jelas apa penyakitnya, sebab baik KPK maupun penasehat hukumnya, enggan menjelaskan. Namun diduga keras, saat itu Romy mulai rewel dan merengek-rengek ke Harso, agar segera dibebaskan. Sebulan berselang, tepatnya 2 Mei 2019, izin pembantaran Romahurmuziy dicabut dan Romi kembali mendekam di rutan KPK. Namun pada Rabu (8/5/2019), ia kembali mengeluh sakit. Saat itu, tim dokter di rutan KPK masih bisa menangani keluhan Romi. Akibatnya, Romi tidak ditahan. Kemudian permainan berlanjut, ia kembali harus dirawat di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur pada Senin (13/5/2019) malam. Hal itu dilakukan hanya lantaran alasan, bekas ketua umum PPP itu kembali mengeluh sakit. Meski demikian Romy sempat bersaksi pada sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019). Namun setelah itu, ia mengeluh sakit kembali, dan kemudin dirawat di RS yang sama. Aktivis ICW, Kurnia menduga bahwa kondisi sakit yang dialami Romy hanyalah alasan untuk berusaha menghindar dari proses pemeriksaan. Ia meminta agar KPK melakukan second opinion dari dokter yang lain dan jika terbukti Romi menggunakan alasan sakit untuk mengulur-ulur perkara, KPK bisa menjerat orang-orang yang terlibat dengan pasal obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan . Diakui atau tidak, dalam penanganan kasus Romy, KPK tampak tidak profesional. Jangankan bertindak cepat mengajukan Romy dalam persidngan, diperiksa saja tidak. Sangat aneh, karena KPK dalam 3 bulan terakhir, malah melakukan tiga kali perpanjangan penahanan. Begitulah episode sandiwara keluar masuk RS dijalani Romy, dengan leluasa berikut berbagai fasilitasnya. Tentu semua itu bisa terjadi karena ada kekuatan yang sangat berpengaruh. Dalam suasana tarik ulur pemeriksaan Romy itulah, Harso menjalankan gerilya politik. Beberapa kali, ia dipangil Presiden untuk menjelaskan perkembangan kasus "Mas Romy". Tepat dua hari sebelum pertemuan Prabowo Jokowi pada pertengahan Juli 2019, Presiden menyetujui untuk merubah UU KPK. Keputusan itu cukup melegakan Romy, yang sebelumnya sempat mengancam Harso, jika dia tidak bebas murni, maka semua pengurus DPC, DPW dan DPP PPP yang terlibat akan diseret masuk bui. Sangat tragis, ini bukti bahwa Romy telah mengunakan instrumen partai sampai di tingkat kabupaten, menjadi makelar jabatan. Kabarnya Romy juga doyan komisi Rp. 10 juta untuk urusan jabatan ketua KUA di tingkat kecamatan. Memuakkan. Manuver politik Harso, berlanjut dengan merubah kemudi kapal untuk berjalan miring, menuju ke arah ketua umum parpol, dan para politisi Senayan. Pertemuan para politisi itu mirip seperti praktek blantik sapi, jika tidak boleh disebut sebagai pertemuan komplotan para bandit. Bagi mereka, tidak penting soal bangsa dan negara, asal harganya cocok. Sayang operasi politik Harso itu, terbentur masalah teknis, DPR telah reses hingga 15 Agustus 2019, sehingga pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR baru dapat dilakukan pada masa sidang selanjutnya. Terlebih revisi UU KPK tersebut, tidak masuk dalam daftar inventarisasi RUU dan non RUU Periode 2014-2019. Anehnya pada masa sidang pertama, 16 Agustus 2019, tiba-tiba Baleg DPR mengajukan usulan revisi UU-KPK. Dan dengan diam-diam rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Permainan hampir berakhir karena Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat telah sepakat utk mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Langkah pelemahan lainnya, yang cukup mencolok dapat dilihat dari hasil kerja pansel KPK dengan menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Tidak usah kaget, karena semua atas pesanan Istana, maka dalam waktu yang singkat, hanya dua hari selepas diserahkan oleh Pansel, Presiden kemudian menyerahkan 10 nama capim KPK itu kepada DPR. Kali ini episode lonceng kematian KPK telah diskenariokan, ditabuh dan dijalankan dengan cantik oleh Istana. Maka berharap agar Presiden mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan KPK adalah tindakan konyol. Akhirnya, kita hanya dapat berharap dari hati nurani wakil rakyat, sembari bersandar pada pertolongan Allah SWT. Semoga bangsa ini tidak runtuh dalam kondisi mati konyol. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik
Esemka: Proyek Tipu-tipu?
Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Penantian mobil yang dijanjikan Joko Widodo pada tahun 2012 akhirnya terkabul juga. Selamat, selamat, selamat. Ternyata Jokowi nggak nggedebus, omdo, omong doang. Jokowi menunaikan janjinya. Pada Jumat, 6 September 2019 lalu, Presiden Jokowi meresmikan pabrik mobil Esemka yang terletak di Desa Demangan, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Abrakadabra, hanya dengan investasi Rp600 miliar berdirilah pabrik mobil seluas 12.500 meter per segi di atas 115.000 meter per segi lahan sewa dengan jangka waktu 30 tahun. Pabrik ini dilengkapi dengan ruang pamer, pengecatan, perakitan kendaraan, perakitan mesin, pengetesan mesin, pengetesan kendaraan, dan inspeksi. Presiden Direktur Esemka, Eddy Wirajaya, mengatakan investasi pabrik mobil Esemka ini seluruhnya murni swasta nasional. "Tidak ada campur tangan perusahaan asing. Investasinya 100% Indonesia," ujarnya, sebelum peresmian. Nilai invetasi Rp600 miliar untuk industri otomotif dibilang mini. Coba saja bandingkan dengan investasi yang dikeluarkan PT SAIC General Motors Wuling (SGMW) Motor Indonesia, produsen mobil China merek Wuling. Perusahaan ini merogoh kocek Rp9 triliun lebih atau US$700 juta pada 2015 lalu untuk membangun pabrik Greendland International Industrial Center, Desa Sukamahi, Kecamatan Cikarang Pusat, Kota Deltamas, Bekasi, (Jawa Barat). Di wilayah yang sama, tak jauh dari pabrik Wuling, Mitsubhisi juga membenamkan US$600 juta (Rp7,1 triliun) untuk membangun pabrik baru. Memang sih, besar kecilnya nilai investasi tentu tergantung kapasitas pabrik yang dibangun. Esemka hanya akan memprodusi puluhan ribu unit per tahun, sedangkan Wuling dan Mitsubhisi memproduksi ratusan ribu unit tiap tahunnya. Jadi deh, investasi Esemka murah meriah. Masalahnya, lantaran kecilnya nilai investasi itulah mengundang kecurigaan banyak pihak ini pabrik mobil beneran apa Cuma bohong-bohongan? “Ini memproduksi mobil, perakitan atau hanya menempel merek saja,” sendir Muhammad Said Didu, eks Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN dalam rekaman video di Youtube. Said mencurigai Esemka merupakan produk dari perusahaan mobil lain yang kemudian diberi merk Esemka. Sebab itu, mobil yang diluncurkan kemarin beda dengan mobil yang sebelumnya pernah dimunculkan Jokowi waktu menjadi Wali Kota Solo. "Alhamdulillah ada produsen mobil yang berkenan produknya diberi merek Esemka. Walau beda dengan Esemka Walikota Solo - itulah Esemka bisa berubah kapan saja,' ledek Said. Para pegiat medsos juga mencurigai mobil Esemka Bima mirip dengan mobil pabrikan asal China, Changan Star Truck. Kembaran itu mulai dari tampak depan, samping hingga bagian belakang mobil. Hingga akhirnya muncul tanda pagar atau tagar #ChanganJiplakEsemka dan menjadi trending topik di jagat maya. Para netizen ramai-ramai mengomentari kemiripan mobil tersebut. Esemka Bima boleh jadi memang rebadge mobil asal China, Changan Star Truck. Hal seperti itu sesungguhnya tak menjadi soal. Rebadge merupakan hal lumrah di industri otomotif, seperti terjadi pada Nissan Livina dan Mitsubishi Xpander, Holden Gemini-Isuzu Gemini, Ford Laser-Mazda 323, Mitsubishi Colt T120SS-Suzuki Carry Futura. Terbaru, adalah Wuling Almaz yang merupakan rebadge dari Baojun 530. Lalu, tinggal ditambahi saja Esemka- Changan Star Truck. Menjadi persoalan, jika Esemka itu diproduksi pabrik Changan di China, lalu dikirim ke Indonesia, selanjutnya pabrik Boyolali itu mengganti emblemnya menjadi Esemka. Kalau itu dilakukan, ya mirip proyek mobil nasional di zaman Orde Baru dulu. KIA disulap menjadi Timor di Indonesia. Mobil Korea itu diklaim sebagai mobnas dan bebas pajak impor setelah ditempeli merek Timor. Eddy tentu saja membantah hal itu. Suku cadang Esemka dipasok dari produsen dalam negeri. Esemka sampai saat ini telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan lokal untuk pengadaan suku cadang kendaraan seperti ban, velg, kaca, accu, altenator, starter, filter-filter, jok, grill, knalpot, van belt, bak kargo, tangki bahan bakar, chassis, dan per daun. Jadi Esemka bukan proyek tipu-tipu. Ya, kalau ada kurang-kurangnya harap dimaklumi. "Kalau ada kurang-kurang dikit, ya namanya juga pertama," ungkap Jokowi, saat menjajal mobil pikap Esemka Bima 1.200 cc warna putih.
Mengapa PDIP Terkesan Ingin Menghancurkan KPK?
Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya. By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu penganjur utama revisi UU tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan melumpuhkan lembaga ini adalah blok politik terbesar di DPR, yaitu PDIP. Partai wong cilik. Partai yang dulu melawan ketidakadilan. Partai yang pernah bersumpah untuk membasmi korupsi. Revisi yang telah desepakati oleh semua fraksi di DPR itu diusulkan oleh enam anggota DPR. Semuanya pendukung Jokowi. Dari PDIP ada dua, yaitu Masinton Pasaribu dan Risa Mariska. Dari Golkar ada Syaiful Bahri Ruray. Kemudian, Teuku Taufiqulhadi dari Parai Nasdem. Dari PPP ada Achmad Baidowi. Sedangkan inisiator dari PKB adalah Ibnu Multazam. Jika dilihat komposisi anggota DPR yang menggagas revisi UU KPK itu, PDIP terkesan ingin menghancurkan lembaga antikorupsi ini. Tak masuk logika politik untuk mengatakan orang lain yang menjadi biangnya. Kesimpulan ini bisa diuji. Misalnya, apakah usul revisi bisa sukses kalau PDIP menentangnya? Tak mungkin! Tidak mungkin revisi itu bisa lolos. Dengan begitu, apakah PDIP tidak lagi antikorupsi? Kalau dilihat statistik kasus korupsi di KPK, Partai Banteng lebih cocok disebut pura-pura antikorupsi. Apakah itu bermakna PDIP prokorupsi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu balik bertanya: apakah PDIP bisa disebut antikorupsi ketika mereka sekarang berusaha menghancurkan KPK? Apakah layak disebut antikorupsi padahal PDIP, sejak 2015, sibuk ingin memandulkan lembaga itu? Pikiran yang jernih pastilah menyebutkan bahwa manuver PDIP untuk melumpuhkan KPK, merupakan sikap yang tidak antikorupsi. Anda bebas menilai sendiri. Yang jelas, dalam hal-ihwal korupsi hanya ada dua kubu. Antikorupsi atau prokorupsi. Tidak ada kubu ketiga, kubu abu-abu. Menurut hemat saya, pada saat ini PDIP berada pada posisi terdepan untuk menghancurkan KPK. Mereka menghendaki wewenang lembaga pembasmi korupsi ini dicabut habis. Sangat pantas disangka bahwa atas inisitaif merekalah dicapai kesepaktan seluruh fraksi di DPR untuk mengubah UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Revisi ini mewajibkan KPK tunduk di bawah Dewa Pengawas (DP). Ini salah stau ciptaan revisi. Tujuannya sudah bisa dibaca. Yaitu, untuk mengekang pimpinan KPK supaya tidak bebas lagi melakukan tindakan yang paling ampuh untuk memergoki korupsi. Tindakan itu ialah penyadapan telefon para terduga. Kalau revisi itu disahkan, KPK harus meminta izin dulu kepada DP. Begitu juga kalau KPK mau melakukan penggeledahan. Harus ada restu dari DP. Revisi lainnya termasuk penghentian penyidikan kasus. KPK boleh menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Inilah salah satu yang sangat berbahaya. Bisa saja nanti para koruptor masuk jalan belakang untuk membuat ‘deal’ agar kasus seseorang dihentikan oleh KPK. Terus, apa yang kira-kira menyebabkan PDIP menjadi tidak antikorupsi lagi? Mungkin karena KPK selama ini terlalu banyak menjaring politisi dan kader Banteng. Atau, boleh jadi juga karena mereka masih belum selesai mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya. Wajar diakui bahwa KPK telah membuat PDIP kecewa dan malu. Di mana-mana, kader Banteng tertangkap basah melakukan transaksi korupsi. LSM antikorupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) membuat grafik partai politik yang paling korup dalam periode 2002 sampai 2014. PDIP menempati urutan teratas. Disusul Golkar, PAN, PKB, dan parpol-parpol lain. Tercatat 157 kader PDIP, 113 kader Golkar, 41 kader PAN, 34 dari PKB, dst, yang masuk jaring KPK (data KPK Watch). Di awal tahun ini, di bulan Februari 2019, ledakan dahsyat kasus korupsi menggemparkan seluruh pelosok Nusantara. Bupati Kota Waringin Timur, Supian Hadi, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi 5.8 triliun. Inilah rekor terbesar kerugian negara, mengalahkan kasus BLBI 4.5 triliun atau skandal KTP-el 2.3 triliun. Supian Hadi adalah kader PDIP. Salah seorang penggagas revisi dari PDIP, Masinton Pasaribu, sudah sejak lama tidak cocok dengan KPK. Di tahun 2015, dia pernah mengusulkan penggunaan hak inisiatif DPR untuk mengubah UU KPK. Menurut catatan situs JejakParlemen-id, pada 18 Februari 2018, di DPR, berlangsung rapat evaluasi KPK yang dihadiri pimpinan KPK. Di sini, Masinton mengkritik habis kinerja lembaga antikorupsi itu. Masinton mempertanyakan mengapa KPK tidak membawa kasus Pelindo II ke pengadilan padahal sudah memiliki dua barang bukti. Dalam hal ini, Masinton benar 100 persen. KPK seharusnya tidak menunjukkan keanehan terkait kasus Pelindo II. Audit BPK sudah menegaskan kerugian negara akibat skandal ini. Tidak ada alasan bagi KPK untuk mengulur-ulur waktu. Ada kesan, KPK tak berani. Atau, terkesan mau melindungi orang-orang tertentu yang menjadi aktor utama skandal Pelindo II. Masih di bulan Februari 2018, dalam rapat rekomendasi Pansus KPK, Masinton Pasaribu mengklarifikasi sikap PDIP tentang eksistensi KPK. Dia mengatakan, partainya konsisten untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Tetapi, dia menambahkan perlu ada perbaikan KPK berdasarkan hasil temuan-temuan Pansus KPK. Bahkan Masinton mendukung penambahan anggaran KPK demi pemberantasan korupsi. Penilaian dan penegasan Masinton itu tentu pantas diapresiasi. Tetapi, mengapa sekarang PDIP ingin menghancurkan KPK?
Tanduk Presiden dan DPR Mengarah ke KPK
Pantas saja Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengkritik keras sikap DPR dan pemerintah. Dia menyebut DPR dan pemerintah telah membohongi rakyat Indonesia. Ini karena dalam program-program kerja mereka selalu menyuarakan penguatan KPK. "Tapi pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam," tandasnya. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bulan ini menjadi September kelabu bagi komisi antirasuah, KPK. Gencarnya operasi tangkap tangan atau OTT KPK terhadap sejumlah kepala daerah dan partnernya ditingkahi perlawanan kaum politisi di Senayan. Anggota legislatif mengajukan inisiatif perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, Istana telah mengirim sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR dari hasil seleksi pansel yang oleh banyak kalangan dianggap bermasalah. “KPK di ujung tanduk,” seru Ketua KPK, Agus Rahardjo, Kamis (5/9). KPK memang selalu berhadapan dengan banyak mafia. Seperti kita tahu, kerja KPK selama ini antara lain adalah menggelandang koruptor ke bui. Para koruptor itu kebanyakan pejabat negara. Para pejabat itu mayoritas kader partai politik. Partai politik punya kaki tangan, anggota, dan simpatisan di semua lini pemerintahan. DPR adalah pusat pertemuan para politikus. Mereka juga ada di sekitar istana. Bahkan Presiden Joko Widodo adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP. Dia petugas partai, begitu Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menyebut. Secara spesifik Agus tidak menunjuk ujung tanduk siapa yang diarahkan ke KPK. Hanya saja, publik sudah cukup paham upaya mengkerdilkan KPK sudah dimulai dari pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, seleksi capim, sampai lahirnya sepuluh figur yang di dalamnya ada nama-nama yang “bermasalah”. Para pegiat antikorupsi sudah mencereweti semua itu. Ada anggota pansel KPK dari unsur tidak netral. Pansel Capim KPK terkesan mengistimewakan calon dari Polri untuk tetap lolos meski calon tersebut punya catatan buruk. Dalam Pansel ada Indiryanto Seno Adji dan Hendardi. Keduanya bekerja sebagai penasihat Kapolri Tito Karnavian. Presiden Joko Widodo tidak mempedulikan semua cerewetan itu. Anjing menggongong, kafilah tetap berlalu. Ada dugaan, Jokowi berusaha meloloskan calon yang bisa "mengawal" pendukungnya lolos dari jeratan KPK. Jokowi menyerahkan sepuluh nama hasil pansel tanpa revisi sedikit pun kepada DPR untuk dipilih menjadi lima nama. Sudah bisa diduga, lima nama itu tentu akan disesuaikan keinginan Presiden. Maklum saja, kebanyakan anggota DPR adalah dari partai penyokong Jokowi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengungkap di antara para capim itu ada yang ingin fungsi penyidikan di KPK hilang. Padahal, KPK ada justru untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi. Ada juga capim yang berasal dari organisasi yang pernah menghambat proses pengungkapan kasus korupsi, tersangkut masalah etik, bahkan berniat menghilangkan OTT. "Jadi bisa dibayangkan, OTT enggak ada, pencegahan tidak ada, penyidikan dihilangkan. Jadi sebetulnya apa yang tersisa dari KPK? Tidak ada," ujarnya. Kerja Sama Istana-Senayan Kembali ke urusan tanduk. Dari rentetan peristiwa itu maka patut dicurigai tanduk Presiden Jokowi mengarah ke KPK. Ada semacam kerja sama yang apik antara Istana dengan Senayan untuk mengebiri KPK. Pernyataan Agus bahwa “KPK di ujung tanduk” dilontarkan menyusul keluarnya hasil Rapat Paripurna DPR RI yang salah satunya adalah sebanyak sepuluh fraksi sepakat revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Pernyataan itu juga tidak lama setelah Presiden menyerahkan 10 nama capim KPK. Anggota Badan Legislasi DPR RI, Masinton Pasaribu, mengakui langkah mengajukan revisi UU KPK dilakukan karena pemilihan pimpinan baru KPK sedang berproses saat ini. UU KPK hasil revisi, kata dia, diharapkan bisa digunakan oleh jajaran pimpinan KPK periode 2019-2023 yang akan mulai menjabat pada Desember 2019. Ajaibnya, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Presiden Jokowi seakan-akan buang badan. “”Belum tahu saya. Nanti saya cek. Saya juga belum lihat detilnya seperti apa. Itu akan dibahas sesuai mekanisme sendiri nantinya seperti apa,” jawab Fadli, saat dikonfirmasi mengenai pengesahan revisi UU KPK yang mendadak itu. Jokowi juga begitu. "Itu inisiatif DPR," tukasnya, seperti dikutip melalui video resmi yang diunggah Sekretariat Kepresidenan, Kamis (5/9). "Saya belum tahu. Jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa," lanjutnya. Cara buang badan begini sungguh sangat disayangkan. "Ini merupakan lonceng kematian bagi KPK sekaligus memupus harapan rakyat akan masa depan pemberantasan korupsi," ujar Yudi Purnomo, Ketua Wadah Pegawai KPK, Jumat (6/9). Yudi menginformasikan bahwa pegawai KPK akan menggelar bentuk protes penolakan revisi UU KPK secara simbolik membuat rantai manusia. Dia mencatat, setidaknya terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK. Pertama, independensi KPK terancam. Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Pantas saja Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengkritik keras sikap DPR dan pemerintah. Dia menyebut DPR dan pemerintah telah membohongi rakyat Indonesia. Ini karena dalam program-program kerja mereka selalu menyuarakan penguatan KPK. "Tapi pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam," tandasnya. Revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR. Namun, RUU itu tidak akan mungkin dapat menjadi UU jika Presiden Jokowi menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut. Undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden. Di sinilah rakyat menunggu sikap presiden. Jokowi mesti konsisten tentang janjinya yang pernah diucapkan: tidak akan melemahkan KPK. Jika Presiden ingkar janji, maka tak hanya di ujung tanduk, KPK akan dikebiri, dihilangkan kejantanannya. KPK berada di tubir jurang. Pantas saja banyak pihak menyerukan, “save KPK”!
Lonceng Kematian KPK di Tangan Jokowi
Presiden Jokowi terkesan begitu mudah percaya kepada hasil penilian pansel. Presiden percaya kepada pansel tanpa menimbang dulu masukan dari koalisi masyarakat sipil terhadap rekam jejak kandidat-kandidat capim yang bermasalah. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Sebuah harian terkemuka edisi hari ini (6/9/2019) memuat sebuah ulasan berita dengan judul yang cukup menarik. “Nasib KPK di Tangan Presiden.” Begitu kira-kira judul berita itu yang terbit persis dengan satu hari selepas Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat sepakat mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Yang menarik dari pemberitaan itu adalah adanya operasi senyap yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam mempercepat proses pengusulan revisi UU-KPK. Rupanya diam-diam rancangan itu telah dilakukan pembahasan beberapa kali dalam waktu amat singkat di internal Baleg DPR. Seolah ada tenggat waktu yang dikejar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk membahas pasal demi pasal yang dinilai perlu dilakukan revisi. Tapi lebih pada menyoroti peran seorang Presiden dalam mengakomodasi tuntutan publik. Masyarakat sangat mengehendaki presiden melakukan upaya-upaya menyelamatkan lembaga anti rasuah ini agar tidak jatuh terpuruk. Sebagai kepala Negara, Presiden Jokowi tak boleh diam diri. Tidak boleh bersikap netral yang berlarut-larut. Tidak boleh membiarkan KPK diobok-obok tak berkesudahan. Sikap tegas presiden harus diambil. Tak bertindak cepat sama artinya mempertontokan lunturnya komitmen Jokowi pada pemberantasan korupsi. Substansinya serupa dengan berita harian edisi hari ini. Mengingatkan Presdien Jokowi agar tidak mengulangi kesalahan dua kali. Jokowi harus bersikap waspada terhadap anasir-anasir lingkar dalam kekuasaannya. Orang-orang di lingkaran presiden, ada yang tidak kapok-kapoknya berupaya melemahkan eksistensi KPK. Harus diakui, skenario drama baru pelemahan KPK ini bermula dari Presiden Jokowi. Presiden yang keliru membuka langkah penentu langgam permainan. Untuk itu, Presiden layak dikritik lantaran dinilai sembrono dan menyerah terhadap desakan segelintir elit politik yang bermain lewat pansel KPK. Mereka berusaha menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Presiden Jokowi terkesan begitu mudah percaya kepada hasil penilian pansel. Presiden percaya kepada pansel tanpa menimbang dulu masukan dari koalisi masyarakat sipil terhadap rekam jejak kandidat-kandidat capim yang bermasalah. Banyak kandidat capim KPK yang punya rekam jejak buruk. Terutama terhadap capim yang bermasalah, karena diduga belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ada juga capim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Kendati demikian, penilaian itu dibantah oleh Presiden Jokowi dengan narasi yang normative. Alasan Jokowi, terhadap semua capim yang diusulkan, telah dilakukan penelusuran dan pemeriksaan mendalam. Faktanya, Presiden terkesan tergesa-gesa menyerahkan sepuliuh nama capim kepada DPR dalam waktu begitu singkat. Hanya dua hari selepas diserahkan oleh pansel kepada presiden. Sikap Presiden Jokowi itu dinilai publik justru mempercepat lonceng kematian KPK. Tentu publik patut bertanya, langkah Presiden Jokowi yang begitu cepat menyampaikan sepuluh nama capim KPK untuk segera dipilih DPR. Anehnya, pada waktu bersamaan, DPR mengajukan usulan draft revisi UU-KPK. Ada gerangan apa ini? Boleh jadi langkah super cepat ini ditafsirkan publik sebagai upaya untuk menjinakan KPK. Pemerintah rupanya butuh pengamanan. Iya, pengamanan. Terutama pengamanan terhadap adanya kepastian terkait pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya didominasi oleh hutang luar negeri tak boleh terganggu oleh operasi KPK. Untuk itu, KPK mesti dibungkam. Salah satunya dengan melakukan operasi distorsi kewenangan. Caranya, dengan mempreteli kewenangan yang selama ini dinikmati oleh KPK. Selain itu, distorsi peran terhadap penyidik-penyidik senior di KPK. Mereka yang selama ini dinilai sebagai penggerak operasi-operasi yang dilakukan oleh KPK. Akhir-akhir ini operasi KPK itu mulai menyasar kepada beberapa Direksi BUMN. Umumnya pada pilpres tempo hari para Direksi BUMN dianggap turut berjasa memenangkan Jokowi. Dalam spektrum yang lebih luas, pemerintah kuatir operasi KPK itu menembus jantung kerja sama BUMN dengan korporasi-korporasi China dalam pembangunan infrastruktur. Dua Alasan Revisi Dalam kaitannya dengan kerja sama operasional pembangunan infrastruktur, menurut KPK, ekspansi bisnis dan investasi China ke Indonesia perlu dicermati. Investasi lewat Belt and Road Initiative (BRI) yang operasionalnya bekerja sama dengan BUMN patut diwaspadai. Kenyataannya, meski terkesan positif, proyek BRI China banyak dikritik karena dianggap sebagai jebakan hutang bagi negara berkembang. Untuk Indonesia, persoalannya bukan hanya semata hutang. Banyak pihak juga mencurigai BRI sebagai akal-akalan pemerintah China untuk menguasai kepemilikan proyek infrastruktur dalam negeri. Alasan KPK sangat masuk akal. Korporasi asal China dikenal tidak punya prinsip anti korupsi. Bagi KPK, kerja sama bisnis itu mesti diwaspadai. Rupanya kekuatiran KPK cukup punya alasan. Transparansi Internasional (TI) telah melakukan survey. Hasilnya dirilis pada tahun 2011 melibatkan sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara ekonomi besar, termasuk Indonesia. Semua negara anggota kelompok 20 (G-20) dilibatkan dalam survey. Sebanyak 28 negara yang disurvey itu, dinilai maju secara ekonomi. Dari hasil survey itu diketahui, China dan Rusia berada di peringkat paling bawah, yakni di posisi ke-27 dan 28. Itu artinya perusahaan pada dua negara tersebut ”paling curang”. Juga paling suka menyuap untuk melancarkan kegiatan bisnisnya, baik di dalam maupun luar negeri. Menurut peneliti TI, Elena Panfilova, hampir tidak ada lagi kejujuran dalam kehidupan bisnis yang berlaku pada korporasi China. Menurutnya, kemungkinan suap yang dibayarkan dari sebuah perusahaan swasta kepada yang lain ”adalah hampir setinggi penyuapan pejabat publik di semua sektor”. Elena Panfilova mengatakan, ”Penyuapan juga bisa disamarkan melalui penawaran hadiah bagi klien dan hospitalitas perusahaan yang tak dinilai.” Kondisi itu amat memprihatinkan. Sebab, perusahaan kedua negara, terutama China, saat ini merajai hampir semua benua. China juga sudah menancapkan taring bisnisnya ke Afrika dan Amerika Selatan. Juga di negara-negara di Asia, Eropa, dan juga Amerika. Penyuapan dan korupsi pasti akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan bisnis mereka. Tidak salah bila kita berkesimpulan kerja sama operasional BUMN dengan korporasi China di sini tak luput diwarnai dengan praktik suap. Tak adil bila menimpakan penilaian buruk hanya kepada faktor di luar tubuh KPK. Mesti diakui pula, sebagian alasan untuk melakukan revisi UU-KPK justru ada di tubuh KPK sendiri. Sedari awal KPK berdiri, para komisioner boleh dibilang gagal dalam merumuskan road map pemberantasan korupsi nasional yang berkelanjutan. Road map pemberantasan korupsi harus berbasis pada prioritas bidang penggarapan yang dilakukan secara konsisten. Baru kemudian pada tahun 2012, road map pemberantasan korupsi nasional baru selesai dirumuskan. Namun dalam hal penanganan grand corruption, sistem integritas nasional, dan fraud control system, ternyata fungsi-fungsi tersebut terabaikan. Penanganannya belum menjadi prioritas utama. Publik masih menilai kasus mega korupsi tak tertangani optimal dan jauh dari dari rasa keadilan publik. Kasus-kasus mega korupsi seperti BLBI, Century, e-ktp dan Pelindo tak berhasil terungkap tuntas. Sementara bagi Jokowi sendiri, maraknya operasi tangkap tangan yang semarak dilakukan KPK justru dinilai sebagai kegagalan KPK. Lembaga anti rasuah ini gagal dalam membangun sistem integrasi nasional. KPK juga gagal memberikan efek jera bagi para koruptor, sehingga praktik korupsi tak lagi sebagai perbuatan tabu yang menakutkan. Bagi Jokowi, keberhasilan KPK ada pada kuatnya fungsi pencegahan bekerja. Lantaran dua alasan inilah Presiden Jokowi sejatinya menghendaki KPK perlu segera diruwat. Komitmen Presiden Terlepas dari adanya kelemahan KPK itu, Presiden Jokowi sendiri pernah diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Keraguan itu muncul lantaran pada tahun 2017 berencana membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri. Alokasi anggarannya disiapkan sebesar 2,6 trilyun. Jumlah ini setara dengan anggaran KPK. Saat itu publik menilai, Presiden Jokowi hendak melemahkan KPK dengan mendistorsi kelembagaan. Pembentukan Detasement khusus pemberantasan korupsi di bawah Polri, yang nantinya berfungsi serupa dengan KPK merupakan upaya strategis presiden guna mengambil alih dan mereduksi kewenangan KPK. Secara gradual, Detasemen ini akan mengoptimalkan unit tipikor yang kini mati suri. Boleh jadi lantaran alasan anggaran, pembentukan Detasemen itu mendadak ditunda. Kendati begitu, ternyata Presiden Jokowi pernah pula menghentikan pembahasan revisi UU-KPK di DPR tahun 2016. Namun, tak berbuat banyak saat DPR kembali menggulirkan usulan revisi UU-KPK tahun 2017, tetapi ditolak rakyat. Lantas, bagaimana sikap Presiden selanjutnya? Bagaimana pun Presiden Jokowi mesti bersikap. Kepemimpinan Jokowi yang kuat dengan dukungan koalisi parpol di Parlemen dinilai mempuyai real politic yang lebih solid ketimbang kepemimpinan sebelumnya. Modal politik ini semestinya bisa digunakan untuk mencegah pelemahan KPK yang terus berlanjut. Sebagai langkah awal, dengan dukungan besar dari koalisi parpol, Jokowi dinilai mampu untuk mengendalikan parlemen. Jokowi harus menekan parlemen supaya tidak lagi meneruskan pembahasan Revisi UU-KPK. Begitu juga Jokowi perlu menghentikan pemilihan nama-nama capim KPK. Sebab ada yang terbukti tersangkut pelanggaran kode etik. Dua upaya minimal itu harus segera dilakukan oleh Presiden. Apabila praktik distorsi kelembagaan terhadap KPK terus dibiarkan, justru dikuatirkan menguatnya oligarki kekuasaan elit politik. Para juragan politik diduga punya hidden agenda dalam upaya melemahkan KPK akan terbukti. Bila hal itu terjadi, ke depan pemberantasan korupsi akan berjalan di bawah bayang-bayang kendali elit politik. Kondisi bisa terjadi lantaran kinerjanya mengabaikan kaidah-kaidah rule of the law yang berlaku. Ataukah, usulan revisi UU-KPK kali ini hanya sekedar sandiwara belaka guna mengukuhkan peran Presiden sebagai pendekar pemberantasan korupsi? Walllahu’alam bi sawab Penulis adalah Lawyer dan Pemerhati Masalah Korupsi
Selamat untuk Esemka, Tapi Kiyai Ma’ruf ke Mana?
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kita semua harus fair. Ketika Jokowi berhasil mewujudkan mobil Esemka, mari kita ucapkan selamat. Ucapkan ‘bravo’! Telah berhasil merealisasikan mobil buatan PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) di Boyolali, Jawa Tengah. Jokowi, kemarin (6/9/2019) meresmikan pabrik mobil itu. Dipajanglah Esemka Bima-1. Model pickup. Spesifikasi mobil ini mirip dengan mobil pickup Changan Star Truck yang dibuat di RRC. Kedua pickup ini memiliki mesin yang persis sama daya tariknya, yaitu 1,243-CC. Cuma, agak mengherankan mengapa Presiden Jokowi membuat ‘disclaimer’ alias pernyataan ‘lepas tangan’. Bahwa mobil yang dibuat di Desa Demangan itu bukan mobil nasional (mobnas)."Esemka ini hanya perusahaan nasional, jadi bukan mobil nasional,” kata Jokowi ketika meresmikannya. Dirut PT SMK, Eddy Wirajaya, juga membuat pernyataan ‘lepas tangan’ (disclaimer). "Kami (maksudnya Esemka-red) bukan mobil nasional, hanya mobil yang diproduksi di Indonesia. Jadi, jangan salah persepsi, karena pengertian mobil nasional itu luas," kata Eddy belum lama ini. Jadi, kalau bukan mobil nasional, mau disebut apa kira-kira? Untuk sementara kita sebut saja ‘mobil politik’. Sebab, Esemka adalah janji politik Jokowi. Esemka menjadi viral di negara ini. Menjadi salah satu front pertarungan politik Jokowi. Dia memanfaatkan Esemka untuk membangun citra politiknya. Tapi, peresmian Esemka kemarin itu bersuasana antiklimaks. Tidak ada lagi semangat nasionalisme di situ. Tidak ada yang berani mengklaim Bima-1 sebagai karya nasional. Jokowi jujur. Dirut SMK juga jujur. Alhamdulillah. Karena kejujuran itulah publik pantas mengucapkan selamat atas peresmian mobil politik ini. Orang yang pensaran dengan Bima-1, tidak perlu lagi melakukan investigasi atau penelusuran. Semua sudah jelas. Mobil ini hasil rakitan saja. PT SMK itu hanya ‘assembly plant’. Cuma pabrik perakitan. Semua komponen dibawa entah dari mana, kemudian diskrup menjadi Esemka. Biaya pabriknya juga cukup hanya 600 miliar. Harus diakui terlalu murah untuk disebut sebagai mobil nasional. Sebelum pamit, saya teringat Kiyai Ma’ruf Amin. Lebih setahun yang lalu, beliau mengumumkan bahwa mobil Esemka akan diproduksi pada bulan Oktober 2018. Waktu itu, janji Pak Kiyai tak terbukti. Pak Kiyai dibully habis oleh netizen. Nah, agak mengherankan kenapa Pak Kiyai tidak diajak dalam peresmian kemarin? Bukankah beliau telah mempertaruhkan reputasinya sampai babak-belur gara-gara Esemka? Ke mana Kiyai Ma’ruf? Seharusnya peresmian itu menjadi historis dan histeris bagi Pak Kiyai. Walaupun momentum Esemka-nya sudah lenyap. Hehe!
Mobil Esemka: Produksi Boyolali, Tampang Kok Mirip Cina?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Dalam soal bajak membajak dan meniru produk, Cina memang dikenal sebagai jagoan. Semua produk dan merek terkenal di dunia, Cina bisa membuat tiruannya. Namun kelakuan Cina kali ini sungguh keterlaluan. Mobil Esemka Bima 1.2 baru saja diresmikan Presiden Jokowi, Selasa (6/9). Dalam hitungan jam “tiruannya” sudah dibuat oleh Cina. Di media sosial, gambar mobil “tiruan” Esemka Bima 1.2 langsung beredar. Viraalllll. Bentuknya sama persis. Hanya mereknya yang berbeda: Changan Star Truck. Kalau Anda sempat memperhatikan, dijamin hanya akan bisa geleng-geleng kepala. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan sama sekali. Bentuk, desain, dan ukuran sama. Sekali lagi hanya merek alias emblemnya yang berbeda. Jangan terlalu serius dulu dan buruk sangka. Dugaan “pembajakan” mobil Esemka itu hanya olok-olok di kalangan para pegiat medsos. Harap dimaklumi kalau banyak yang sinis dengan peluncuran mobil Esemka. Publik telah terlalu lama menunggu mobil nasional yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi. Sudah 7 tahun lebih! Berkali-kali dijanjikan akan dirilis. Namun selalu urung dan tidak ketahuan juntrungannya. (Sejak tahun 2012) Mobil Esemka yang disebut-sebut sebagai embrio mobil nasional, pertama kali bikin heboh, saat Jokowi menjadi Walikota Solo (2012). Awalnya merupakan karya para siswa Jurusan Otomotif Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Para siswa SMK itu dibimbing oleh Sukiyat pemilik bengkel Kiat di Klaten. Sebagai Walikota Solo, pada 2 Januari 2012 Jokowi menerima mobil Esemka. Mobil jenis Sport Utility Vihicle (SUV) kemudian diberi plat nomor AD 1 A. Sesuai dengan plat kendaraan dinas walikota. Jokowi bahkan sampai rela mengandangkan mobil dinasnya yang lebih mewah, Toyota Camry. Mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc itu dikemudikan sendiri oleh Jokowi. Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo juga menerima kendaraan serupa. Mobil yang sangat dibanggakan Jokowi itu dikalim 80 persen komponennya dibuat oleh siswa SMK, dari berbagai sekolah di Solo dan Klaten. ”Saya bangga memakai buatan anak negeri sendiri. Kalau saya ada urusan di Jakarta, Semarang, atau daerah lain, akan saya pakai,” kata Jokowi kala itu. Untuk meyakinkan bahwa mobil tersebut layak dikendarai, dilakukan test drive ke Jakarta. Juga uji emisi Euro 2 di Balai Thermodinamika Motal dan Propulsi (BTMP), Serpong, Tangerang. Media super heboh. Puja-puji terhadap Jokowi mengalir tanpa henti. Berkat mobil Esemka ini nama Jokowi melambung. Dari seorang walikota yang relatif kurang dikenal, namanya menjadi perbincangan nasional. Dengan modal Esemka, dia mendapat tiket berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta (2012). Bersama pasangannya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dia terpilih menjadi Gubernur DKI. Seperti kita ketahui Jokowi kemudian terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2014. Dia kemudian terpilih kembali untuk periode kedua, pada Pilpres 2019. Berbeda dengan karir Jokowi yang terus melambung, nama Esemka justru menghilang. Tak ada kabar beritanya. Beberapa kali muncul sebagai isu dalam beberapa momen penting, namun kemudian kembali menghilang. Nama Esemka kembali menjadi perbincangan pada saat kampanye Pilpres 2019. Cawapres Ma’ruf Amin yang menjadi pasangan Jokowi mengaku, mobil Esemka akan diluncurkan pada bulan Oktober 2018. “Akan diproduksi besar-besaran dan diekspor.” Sampai pilpres berakhir, mobil Esemka yang digadang-gadang Ma’ruf tak kunjung meluncur di jalanan. Kepada wartawan yang mempertanyakan soal kelanjutan produksi mobil Esemka, Jokowi menjawab ringan. "Urusan saya, urusan apa dengan produksi Esemka? Enggak ada urusan pemerintah. Itu dikerjakan penuh oleh industri, dikerjakan penuh oleh swasta," katanya. Jokowi mengaku akan datang meresmikan, bila Esemka benar-benar jadi diproduksi. Kini Jokowi benar-benar meresmikan mobil Esemka. Tidak tanggung-tanggung. Bukan hanya mobil pick up Bima yang dipamerkan. Di pabriknya di Boyolali, ada tiga mobil SUV bongsor yang dipamerkan. Masing-masing diberi nama Garuda 1, Rajawali, dan Moose. Tampilannya cukup sangar dan bersaing dengan mobil-mobil dari merek ternama yang beredar di pasaran. Setelah melakukan test drive, didampingi oleh Menperin Airlangga Hartarto, dan Menhub Budi Karya Sumadi, wajah Jokowi tampak sumringah. Banyak senyum dan tertawa lebar. Jokowi sangat yakin mobil buatan “anak bangsa” itu akan laris manis. Menurutnya rakyat Indonesia harus membelinya. "Jadi memang wajib kita beli, kalau belinya produk impor keterlaluan. Dengan mengucap bismillah saya resmikan pabrik ini beserta fasilitasnya," tutur Jokowi. Mudah-mudahan kali ini mobil Esemka yang diluncurkan adalah mobil nasional dalam arti sebenarnya. Sebab kalau lihat tampilannya, tidak terlalu salah bila ada yang berkesimpulan: Mobil produksi Boyolali itu tampangnya kok mirip dengan mobil Cina ya? End
Sebab-musabab Rusuh Papua. Karena Penghianatan Elite Politik?
Pengkhianatan terhadap bangsa dan negara adalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran sejarah bangsa dan negara yang tersurat dalam Pancasila dan UUD 1945. Termasuk pengingkaran terhadap ketetapan suci Bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan keringat dan darah pejuang. Jakarta, FNN - Negara Kesatuan Republik Indoneaia (NKRI) baru saja merayakan hari ulang tahun yang ke-74. Hari ulang tahun kemerdekaan biasanya dirayakan sebagai momen bersuka cita. Berbangga karena momen bersejarah lepas dari penjajahan. Karena persatuan, kita mencapai kemerdekaan. Maknanya merdeka itu bersatu. Namun pada bulan kemerdekaan kemarin tepatnya pada tanggal 19 Januari 2019 rakyat indonesia dibuat khwatir. Bukannya hari kebahagiaan “persatuan” malah menjadi hari kericuhan “pertengkaran”. Rakyat Papua turun ke jalan melakukan protes kepada pemerintah, yang berujung kantor-kantor pemerintahan menjadi sasaran amukan massa. Protes ini berlangsung di Papua Barat dan Papua. Hal ini diduga karena perlakuan tidak wajar terhadap mahasiswa papua di Surabaya dan Malang, yang berbuntut papua minta merdeka. Kejadian ini bukan tanpa sebab. Keliatan wajah NKRI mulai muram. Apakah karena ada satu dan lain hal terkait para elite negara indonesia di Jakarta?. Daerah yang terletak paling timur indonesia ini memanas. Pemerintah pusat mulai sibuk “grasak-grusuk”mencari solusi. Hingga Panglima TNI dan Kapolri harus berkantor di wilayah papua. Saat ini, Bumi cendrawasih menjadi fokus para elite negara. Hingga segala sektor kehidupan di daerah tersebut dibahas oleh pemerintah pusat. Pasalnya masalah ini menjadi tranding. Elite di Jakarta tidak menginginkan papua lepas dari NKRI, karena tindakan tersebut merupakan pengkhianatan kepada NKRI yang memiliki sejarah yang sama. Lain halnya dengan masalah papua. Para elite negara indonesia tampil ke publik secara terang-terangan mengajukan gagasan untuk amandemen UUD 1945 lagi. Bahkan para elite politik merencanakan akan menambahkan sepuluh kursi untuk pimpinan MPR. Bukannya memikirkan NKRI lagi serius terhadap ancaman disintegrasi bangsa yang menganga di depan mata, para elite negara “gontok-gontokan” merebut jabatan kekuasaan. Ada apa di negara kita?. Apakah ini yang dinamakan the will of power? Saking percaya diri. Elite politik lupa bahwa tujuan amandemen itu untuk siapa. Rakyat kah?, partai politik kah? kelompok tertentu kah?, atau agenda lain?. Entah mereka paham atau tidak. Namun kedudukan para elite negara ini mencerminkan mereka sebagai orang-orang yang pandai. Gagasannya untuk mengganti UUD 1945 dan tatanan sistem NKRI yang merupakan budaya bangsa Indonesia akan terjawab dengan masalah papua hari ini. Bukankah UUD 1945 merupakan manifestasi budaya bangsa sebagai suatu fakta sejarah?. Kalau iya. Maka, amandemen UUD 1945 merupakan agenda perubahan budaya bangsa indonesia ya?. artinya para elite mengingkari fakta sejarah. Apakah tindakan pengingkaran ini adalah suatu penghianatan terhadap bangsa dan negara indonesia?. Sudah barang tentu suatu pengkhianatan yang amat besar. Pengkhianatan terhadap bangsa dan negara adalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran sejarah bangsa dan negara yang tersurat dalam Pancasila dan UUD 1945. Termasuk pengingkaran terhadap ketetapan suci bangsa indonesia yang diperjuangkan dengan keringat dan darah pejuang. Apa bedanya Papua minta merdeka yang dicap sebagai sebuah penghianatan terhadap NKRI dengan para elite politik negara yang mengganti sistem NKRI yang merupakan manifestasi budaya bangsa indonesia sebagai fakta sejarah. Tidak kah disebut pengkhianatan? Mengapa rakyat papua dituduh berkhianat sementara para elite bangsa indonesia yang merubah UUD 1945 bebas dari tuntutan?. Bukankah Penghianatan itu bentuk makar terhadap Bangsa Indonesia dan sejarahnya?. Apakah papua minta merdeka karena Pemerintah Pusat tidak adil "Berkhianat" Kepada sejarah yang berujung kesenjangan kepada papua?. Sudah barang tentu hal tersebut menjadi suatu mata rantai yang tidak terpisahkan. Logika struktur adalah dari pusat ke daerah. Pemerintah tidak adil "ngaco" pastinya daerah pun demikian. Harusnya pemerintah memberikan contoh kepada rakyatnya. Bagai air mengalir dari hulu ke hilir, kalau hulunya kotor pasti hilir ikut keruh. Apakah kedua kejadian ini memiliki kesamaan?. Karena papua menyuarakan merdeka disebut sebagai penghianatan kepada NKRI dan para elite negara yang mengganti UUD 1945 sebagai budaya bangsa indonesia menjadi budaya asing tidak disebut penghianatan kepada NKRI?. Seyogyanya sistem NKRI ini harus sejalan dengan 20 Mei 1908, 2 Mei 1920, 28 Oktober 1928, 1 Juni 1945, 17 Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945 malah diubah menjadi sistem asing yang potensinya membenturkan sesama anak bangsa. Padahal Papua adalah masalah laten yang terus-menerus terjadi dan dapat dipastikan akar masalah yang sesungguhnya. Jika elite negara di Jakarta benar-benar serius menyelesaikan masalah papua, sudah dari dulu masalah tersebut teratasi. Masalah papua adalah puncak gunung es dari berbagai persoalan di Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, KKN yg kian menggila, politik yg oligarkis, dan krisis Ekonomi yg mengancam mengakibatkan sentimen muncul dari seluruh wilayah di Indonesia. Sentimen kedaerahan muncul karena lemahnya nalar berbangsa para elite, lemahnya nalar berbangsa karena basis logikanya sudah dirusak dengan pola sistem didalam amandemen UUD 1945. Jika para elite negara hanya mementingkan keluarganya, kelompoknya, partainya dan tidak menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) maka keadaannya terus menerus terjadi seperti ini. Apalagi langkah-langkah yang ditempuh pemerintah hanya cenderung mengobati dan menggunakan cara-cara kuno “mengkambing-hitamkan” kelompok-kelompok tertentu sebagai peredam, maka kita akan menyaksikan keadaan yang sama di daerah lain di indonesia. Hari ini kita melihat gejolak di papua. Besok kita akan melihat semua daerah di indonesia melakukan hal yang sama. Luka di NKRI sudah meradang dan menganga. Hanya menunggu waktu dan momentum maka NKRI menjadi berserakan. Karena pengkhianatan terhadap sejarah bangsa berujung ketidakadilan. Sungguh mereka membuat makar kepada NKRI dan sejarahnya. Namun kebenaran bangsa akan mencari jalannya sendiri. Karena sadar atau tidak. Kita, Anak bangsa Indonesia sementara dilatih menjadi manusia penghianat yang mengingkari perjuangan pendahulu kita.
Ironisnya RKUHP: Ancaman Wartawan, Ringankan Koruptor
Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR mengancam kebebasan pers. Salah satu isi pasal itu memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden. AJI Indonesia dan LBH Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan. AJI menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang. “Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito pada Selasa (03/09/2019). RKUHP dijadwalkan untuk disahkan pada akhir September 2019 ini. Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi memastikan, RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan ini meskipun diwarnai protes. Sejak 2016, AJI telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR. “Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” kata Sasmito. Dalam lima tahun terakhir, dalam catatan AJI, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya, jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sendiri menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. “Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito, seperti dilansir BBC.com, Rabu (4/9/2019). Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Karena DP itu dasar semua tindakannya itu UU Pers. Tidak mungkin pada UU yang lain,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (03/09/2019). DP juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. “DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry yang akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan 'tindak pidana pers'. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana. “Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal. Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09/2019). Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR mungkin hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim. “Jadi, nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut,” ungkap anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi. Pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan. Menurut Taufiq, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim. Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers. “Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal,” kata Taufiq. Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara. “Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik,” tambah Taufiq. Namun, menurut Fickar, pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, sulit bagi pers untuk dilarang meliput. “Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241. Pasalnya, presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar dan pendapat. “Karena jabatan (presiden) memang untuk dikritisi. Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi,” tambahnya. Ringankan Koruptor Pasal-pasal yang menyangkut kebebasan pers, bertolak belakang dengan pasal-pasal untuk terpidana korupsi. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. “Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya,” katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit mengembalikan kerugian negara. “Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah,” katanya. Melansir BBC Indonesia, berdasarkan draf RKUHP, setidaknya ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara. Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta. Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” jelas Zaenur. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Antara “ancaman” terhadap wartawan dengan para koruptor diperlakukan berbeda. Kriminalisasi pada wartawan atau warganet yang mengkritisi kebijakan Presiden bisa dianggap “menghina presiden”. Tampaknya, pasal “menghina presiden” ini sengaja dipertahankan DPR bukan semata-mana untuk menjaga kewibawaan Presiden Joko Widodo. Tapi, sebagai “jaminan keamaman” dari DPR kepada Presiden Jokowi. Seperti diketahui, selama 4 tahun terakhir, menjelang akhir jabatan, Presiden Jokowi banyak dikritisi oleh wartawan maupun warganet terkait dengan kebijakannya yang dianggap telah merugikan rakyat. Inilah yang sering ditulis wartawan yang kritis. Untuk mengantisipasi dan membungkam “suara rakyat” itulah maka Presiden Jokowi diberi “jaminan keamanan” oleh DPR. Sebagai balasannya, koruptor diringanin hukumannya.
Yang Harus Dilarang Itu Memuja-muji Presiden, Bukan Menghinanya
Karena itu, salah besar kalau kita berasumsi bahwa kemuliaan seorang presiden bisa diciptakan dengan pembuatan pasal-pasal penghinaan. Sangat keliru dan sangat feodalistik jika Anda berpendapat bahwa seorang presiden akan mengukir kemuliaan dengan memenjarakan para penghinanya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabarnya, saat ini sedang diproses pembuatan pasal-pasal tentang penghinaan presiden. Pasal-pasal itu telah dicantumkan ke dalam RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Sudah disepakati oleh DPR. Tinggal ketuk palu. Kalau sudah diketuk, para terdakwa penghina bisa masuk penjara empat setengah tahun. Presiden mungkin puas bisa memenjarakan orang yang menghina dia. Tapi salah kaprah. Kalau pasal penghinaan presiden disahkan. Rugilah rakyat. Rugi besar. Kenapa? Karena beberapa hal. Pertama, seorang presiden pada dasarnya adalah orang yang hina. Dia mengemis kepada rakyat minta dipilih menjadi presiden. Sering pula dia terpaksa membeli suara. Hina sekali, bukan? Kedua, presiden itu pejabat publik. Dia pasti sudah tahu risiko yang akan dihadapi. Presiden itu dipilih bukan untuk dipuji-puji. Dia didudukkan untuk dikritik. Dikritik tajam. Saking tajamnya terkadang tak beda dengan penghinaan. Sebetulnya presiden tidak perlu tersinggung, atau merasa terhina. Sebab, dia sudah dimuliakan secara konstitusional. Dia menjadi kepala negara, dia menjadi panglima tertinggi, dan dia dibekali kekuasaan yang besar. Dengan kekuasaannya itu, presiden dimuliakan di mana-mana. Dia juga banyak dipuji dan ditakuti. Para jenderal bintang empat selalu merunduk di depan dia. Singkatnya, kemuliaan yang paling masif untuk manusia, ada pada presiden. Karena itu, sangat wajar kalau kemuliaan presiden itu diimbangi dengan penghinaan. Tentunya penghinaan yang memiliki dasar yang masuk akal. Supaya dia tidak menjadi angkuh. Tidak sombong. Kalau si presiden memang hebat, visioner, adil, taat, tidak korupsi, maka hampir pasti tidak ada alasan untuk menghina dia. Tapi, kalau sebaliknya si presiden sok pintar, sok kuasa, tidak memihak rakyat, dan kerjanya menggadaikan kedaulatan negara, maka sangat wajarlah dia dihina baik disengaja apalagi tak disengaja. Karena dia memang hina. Ketiga, presiden itu perlu dihina agar Indonesia ini bisa memiliki kepala negara yang tangguh, jujur, dan berkemampuan. Sehingga, di masa-masa selanjutnya otomatis akan muncul tokoh yang mendekati kesempurnaan. Yang tak mampu paati tak berani muncul. Keempat, presiden yang mulia itu tidak pernah merasa hina. Sebagai contoh, Gubernur DKI Anies Baswedan tidak pernah merasa teesinggung atau terhina di tengah hujan penghinaan terhadap dirinya. Anies malah merasa terhormat ketika dia dihina. Karena dia yakin dirinya tidak hina dan apa yang dia kerjakan sebagai gubernur juga tidak hina. Dia tidak punya beban keterhinaan. Nah, orang seperri Anies ini, kalau dia menjadi presiden, tidak akan menuntut pembuatan pasal penghiinaan presiden. Karena bagi dia, penghinaan akan dijadikan peluang untuk menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Anies tidak perlu dibantu dengan pasal-pasal penghinaan untuk meraih kemuliaan. Karena itu, salah besar kalau kita berasumsi bahwa kemuliaan seorang presiden bisa diciptakan dengan pembuatan pasal-pasal penghinaan. Sangat keliru dan sangat feodalistik jika Anda berpendapat bahwa seorang presiden akan mengukir kemuliaan dengan memenjarakan para penghinanya. Jadi, demi Indonesia yang lebih baik, yang harus dilarang adalah memuja-muji presiden. Bukan menghinanya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa rata-rata presiden terjerembab dalam kehinaan karena puja-puji. Sebaliknya, seorang presiden yang pantas dimuliakan akan tetap mulia meskipun dia setiap hari dia dihina-hina.