Beduk Kematian KPK Itu Ditabuh Istana
Dengan bekal intruksi Presiden itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif.
Oleh Nasrudin Joha
Jakarta, FNN - Sudah lama info skandal jahat ini tersimpan rapi. Dengan pertimbangan menjaga stabilitas politik nasional urung dipublikasikan. Namun dengan memperhatikan ancaman eksistensi lembaga anti KKN, dan kehancuran tatanan berbangsa bernegara, tampaknya tidak mungkin untuk tetap didiamkan.
Sesunguhnya banyak pihak yang tidak suka dengan sepak terjang KPK. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghabisi KPK, baik dalam bentuk tekanan non fisik, intimidasi, hingga kekerasan seperti yang menimpa Novel Baswedan. Namun lembaga antirasuah itu, tampaknya tidak surut melakukan pemberantasan korupsi.
Belakangan upaya pelemahan KPK itu menemukan momentumnya. Kasus yang menimpa Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy yang terkena OTT KPK (15/03/19), menjadi pintu masuk skandal pelemahan KPK dimulai, dan dirancang dengan sangat serius.
Kisahnya bermula dari surat khusus yang dikirim Romy sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan di Rutan K4 KPK. Selain surat terbuka, diam-diam Romy ternyata, mengirim surat kepada Suharso Monoarfa, Penasehat Presiden, yang kemudian didaulat sebagai PJ Ketua Umum PPP.
Surat terbuka Romy dalam sekejab telah beredar luas di media massa nasional, dan isinya diketahui umum. Sedang surat kepada Sumo, pangilan akrab Suharso Monoarfa, memang bersifat confidencial, sangat pribadi dan sangat rahasia. Isi singkatnya, Romy meminta kepada Sumo, agar membantu dirinya, dengan meminta kepada Presiden secara langsung, untuk membantu menyelesaikan kasusnya. Jika tidak, sesuai isi surat itu, Romy tidak segan-segan akan membongkar semua hal yang diketahuinya, termasuk tentang Pilpres 2019.
Surat cinta yang juga berisi ancaman itu, ditanggapi Sumo dengan serius. Ini dapat dipahami, karena interaksi antara Romy dengan Presiden, bukanlah hubungan biasa. Hubungan diantara mereka, dibangun jauh sebelum Jokowi menjadi Presiden. Jalinan itu semakin intim setelah 2004, Romy selaku Staf Ahli Menteri Koperasi, turut menyerahkan bantuan modal kredit lunak senilai Rp 1 milyar kepada Jokowi, selaku pengusaha meubel di Solo.
Wajar jika Romy merupakan salah satu ketua umum partai, yang sangat dekat dengan Jokowi. Saking dekatnya, Mas Romy, demikian Presiden selalu menyapa, seringkali diminta untuk datang selepas tengah malam, menemani Presiden yang sulit tidur, atau untuk sekedar tertawa cekikikan berdua. Tentu tidak hanya hahahihi, banyak hal tentang rahasia negara yang selain Tuhan, hanya mereka berdua yang tahu.
Karena itu, pagi harinya, tanggal 17 Maret 2019, Sumo tergopoh-gopoh diterima Presiden di Istana Negara. Setelah sedikit menyampaikan pengantar, ia menyerahkan "surat cinta" Romy, kepada Presiden Jokowi. Sontak, sekejab setelah membaca surat cinta yang penuh dengan ratapan itu, wajah Presiden berubah tegang. Lantas, terjadilah diskusi serius, di antara keduanya, serta diputuskan untuk mengambil langkah cepat.
Kurang dari satu jam setelah Presiden menelepon, Kapolri Tito Karnavian tiba di ruang Presiden. Kemudian Presiden memberikan perintah lesan, "Tolong diselesaikan dengan cepat, bersama Pak Harso".
Dengan bekal intruksi itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif.
Skenario penanganan kasus Romy berjalan mulus, sesuai keinginan Presiden. Saksi-saksi diperiksa seolah-olah kasus Romy ditangani serius. Namun Romy tidak pernah disentuh. Tampak sekali permainannya, seperti mengubur bangkai di tengah pasar.
Malah dengan alasan mengeluh sakit, pada 2 April 2019, kurang dari 2 minggu sebelum Pemilu Presiden, Romy dibantarkan ke Rumah Sakit Polri, Jakarta Timur. Tidak jelas apa penyakitnya, sebab baik KPK maupun penasehat hukumnya, enggan menjelaskan. Namun diduga keras, saat itu Romy mulai rewel dan merengek-rengek ke Harso, agar segera dibebaskan.
Sebulan berselang, tepatnya 2 Mei 2019, izin pembantaran Romahurmuziy dicabut dan Romi kembali mendekam di rutan KPK. Namun pada Rabu (8/5/2019), ia kembali mengeluh sakit. Saat itu, tim dokter di rutan KPK masih bisa menangani keluhan Romi. Akibatnya, Romi tidak ditahan.
Kemudian permainan berlanjut, ia kembali harus dirawat di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur pada Senin (13/5/2019) malam. Hal itu dilakukan hanya lantaran alasan, bekas ketua umum PPP itu kembali mengeluh sakit.
Meski demikian Romy sempat bersaksi pada sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019). Namun setelah itu, ia mengeluh sakit kembali, dan kemudin dirawat di RS yang sama.
Aktivis ICW, Kurnia menduga bahwa kondisi sakit yang dialami Romy hanyalah alasan untuk berusaha menghindar dari proses pemeriksaan. Ia meminta agar KPK melakukan second opinion dari dokter yang lain dan jika terbukti Romi menggunakan alasan sakit untuk mengulur-ulur perkara, KPK bisa menjerat orang-orang yang terlibat dengan pasal obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan .
Diakui atau tidak, dalam penanganan kasus Romy, KPK tampak tidak profesional. Jangankan bertindak cepat mengajukan Romy dalam persidngan, diperiksa saja tidak. Sangat aneh, karena KPK dalam 3 bulan terakhir, malah melakukan tiga kali perpanjangan penahanan.
Begitulah episode sandiwara keluar masuk RS dijalani Romy, dengan leluasa berikut berbagai fasilitasnya. Tentu semua itu bisa terjadi karena ada kekuatan yang sangat berpengaruh.
Dalam suasana tarik ulur pemeriksaan Romy itulah, Harso menjalankan gerilya politik. Beberapa kali, ia dipangil Presiden untuk menjelaskan perkembangan kasus "Mas Romy". Tepat dua hari sebelum pertemuan Prabowo Jokowi pada pertengahan Juli 2019, Presiden menyetujui untuk merubah UU KPK.
Keputusan itu cukup melegakan Romy, yang sebelumnya sempat mengancam Harso, jika dia tidak bebas murni, maka semua pengurus DPC, DPW dan DPP PPP yang terlibat akan diseret masuk bui. Sangat tragis, ini bukti bahwa Romy telah mengunakan instrumen partai sampai di tingkat kabupaten, menjadi makelar jabatan. Kabarnya Romy juga doyan komisi Rp. 10 juta untuk urusan jabatan ketua KUA di tingkat kecamatan. Memuakkan.
Manuver politik Harso, berlanjut dengan merubah kemudi kapal untuk berjalan miring, menuju ke arah ketua umum parpol, dan para politisi Senayan. Pertemuan para politisi itu mirip seperti praktek blantik sapi, jika tidak boleh disebut sebagai pertemuan komplotan para bandit. Bagi mereka, tidak penting soal bangsa dan negara, asal harganya cocok.
Sayang operasi politik Harso itu, terbentur masalah teknis, DPR telah reses hingga 15 Agustus 2019, sehingga pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR baru dapat dilakukan pada masa sidang selanjutnya. Terlebih revisi UU KPK tersebut, tidak masuk dalam daftar inventarisasi RUU dan non RUU Periode 2014-2019.
Anehnya pada masa sidang pertama, 16 Agustus 2019, tiba-tiba Baleg DPR mengajukan usulan revisi UU-KPK. Dan dengan diam-diam rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Permainan hampir berakhir karena Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat telah sepakat utk mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR.
Langkah pelemahan lainnya, yang cukup mencolok dapat dilihat dari hasil kerja pansel KPK dengan menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Tidak usah kaget, karena semua atas pesanan Istana, maka dalam waktu yang singkat, hanya dua hari selepas diserahkan oleh Pansel, Presiden kemudian menyerahkan 10 nama capim KPK itu kepada DPR.
Kali ini episode lonceng kematian KPK telah diskenariokan, ditabuh dan dijalankan dengan cantik oleh Istana. Maka berharap agar Presiden mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan KPK adalah tindakan konyol.
Akhirnya, kita hanya dapat berharap dari hati nurani wakil rakyat, sembari bersandar pada pertolongan Allah SWT. Semoga bangsa ini tidak runtuh dalam kondisi mati konyol.
Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik