OPINI
Pemimpin Itu Rezeki, Bisa Datang dari Arah yang Tak Terduga
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, fnn - Bukan hanya duit, makanan, minuman, kesehatan, dll, saja yang disebut rezeki. Pemimpin juga rezeki. Karena itu, dia termasuk dalam kategori yang bisa muncul dari arah yang tak terduga-duga. Di luar perhitungan. “Man yattaqillaha yaj’allahu makhraja, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Barangsiapa takut kepada Allah, akan diberikan jalan keluar baginya. Dan akan diberikan rezeki kepadanya dari arah yang tak disangka-sangka). Bangsa Indonesia sedang memerlukan seorang pemimpin (rezeki) yang muncul dari arah yang tak terduga-duga itu. Dengan kapasitas yang tak pernah terduga pula. Mengapa diperlukan pemimpin dari arah yang tak disangka-sangka? Karena figur-figur yang dimunculkan dari arah biasa atau “arah yang diduga”, ternyata semuanya bisa “diduga” oleh kubu lawan. Jadi, ke depan ini umat perlu membiarkan ar-Razzaaq memberikan rezeki (pemimpin) yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Cuma saja, rezeki yang datang dari arah yang tak disangka-sangka biasanya turun di tengah situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Kondisi yang membuat orang fokus (khusyu’) meminta pertolongan hanya kepada-Nya saja. Sebagai contoh, ada keluarga miskin yang sudah tiga hari tak makan. Mereka sabar, tabah, berusaha, dan berdoa. Tiba-tiba saja, entah bagaimana, dia mendapat sumbangan dari seseorang yang tak disangka-sangka. Mereka akhirnya bersukacita, bahagia, dan bersyukur tak henti-hentinya. Rezeki yang tak disangka-sangka itu memberikan solusi menyeluruh bagi keluarga miskin tadi. Kini mereka tidak hanya bisa makan tiga kali sehari, melainkan bisa membuat usaha yang dapat menolong belasan keluarga miskin lainnya yang setara seperti mereka. Secara logika, jika mereka menanti rezeki reguler yang “bisa diduga” seperti selama ini, pastilah mereka sekeluarga akan tetap makan kelang-kelang hari. Sekarang, mereka lepas dari penderitaan lahir-batin berkat rezeki yang tak disangka-sangka itu. Begitulah tampaknya kondisi bangsa ini. Sedang menantikan turunnya seorang pemimpin yang tak disangka-sangka dengan kapasitas yang tak pernah terduga. Pemimpin yang siap mengambil langkah apa saja yang tak bisa diduga oleh lawan. Si pemimpin “min haitsu laa yahtasib” itu akan melancarkan gebrakan yang tak pernah disangka-sangka oleh orang lain. Lawan menghadapi suasana yang tidak mereka duga akibat kehadiran pemimpin yang tak disangka-sangka itu. Lawan tergemap. Gugup, gagap dan akhirnya lenyap. Mungkinkah pemimpin yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu muncul saat-saat sekarang? Wallahu a’lam. Jika dilihat dari contoh di atas, jelas ada prasyarat untuk itu. Artinya, umat ini perlu lebih dulu mengalami penderitaan berat. Kondisi ini akan membentuk ketakwaan terbaik dan ketawakkalan. Pada waktu itulah, mungkin, umat bisa mengharapkan rezeki (pemimpin) yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Penulis adalah wartawan senior)
Kenapa Kalian Sibuk Mau Jumpa Prabowo?
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini sibuk sekali Kubu 01 mau mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Entah mengapa mereka di Kubu 01 harus kasak-kusuk agar pertemuan itu terlaksana. Kalau presiden kalian menang bersih di pilpres 2019 ini, kenapa kalian sibuk mau bertemu dengan Prabowo? Untuk apa? Abaikan saja. Lupakan saja semunya. Jokowi ‘kan sudah dilegalkan MK tanpa ada satu pun gugatan Prabowo yang diterima. Berarti MK bilang kalian menang bersih. Ya sudah. Makan kalianlah jabatan presiden itu. Sudah dilegalkan MK, kok. Takut apa lagi? Sudah, ambil sana “hak” kalian itu. Tak usah kalian gubris kami dan Pak Prabowo. Aman kok. Tak akan ada yang mengganggu kalian. Buat saja suka-suka hati kalian. Ayo sana buat pesta pora. Pesta kemenangan bersih. Kemenangan tanpa cacat. Presiden yang dicintai rakyat. Tak perlu apa-apa kok kalian dari kami, dari Pak Prabowo. Indonesia ini punya kalian, bulat. Silakan ambil semuanya. Semua polisi, jaksa, satpol PP punya kalian. Semua kepala daerah punya kalian. Semua kades, kadus, kepling, perangkat desa, dll, kalian punya semua. Atur saja sesuai keinginan kalian. Romahurmuziy punya kalian. Setia Novanto punya kalian. Begitu juga Idrus Marham, dan para pakar korupsi lainnya. Masih belum cukup? Ada sembilan naga punya kalian. Ada Megawati, ada SBY, ada Surya Paloh, ada La Nyalla, ada Zulkifli Hasan. Ada Jusuf Kalla, ada semua mantan presiden dan wapres. Kalian punya semua. Ada juga Mahfud MD yang sangat bijak itu. Semua yang hebat-hebat kalian yang punya. Kurang apa lagi? Oh, barangkali DKI Jakarta harus di tangan kalian. Ambil saja. Mudah kok menyingkirkan Anies Baswedan. Jadi, kalian tak perlu kami, ‘kan? Kenapa kalian ganggu lagi kami? Mau minta jumpa Pak Prabowo segala. Sekali lagi, untuk apa? Tidak ada gunanya. Bagi kalian atau bagi Pak Prabowo. Juga tak ada gunanya bagi kami rakyat beliau. Sekarang kalian berkuasa. Buat saja apa yang kalian suka. Tak usah pikirkan orang lain. Tak usah pikirkan kami. Mau kalian jual negara ini, silakan. Mau kalian buat hancur, silakan. Mau kalian kapling-kapling, terserah. Mau kalian jual kepada RRC, tak ada yang melarang. Mau kalian tambah utang 10,000 triliun lagi, juga tak masalah. Perlu tambahan pendapatan APBN? Gampang! Naikkan listrik sebulan sekali. Naikkan semua jenis pajak. Harga materai seharusnya kalian naikkan menjadi 20 ribu atau 30 ribu. Tak akan ada yang ribut kok. Mau sumber pajak baru? Banyak. Pajak oksigen, pajak air, pajak jenazah yang mau dikuburkan, pajak bayi lahir, pajak usia lanjut karena umur panjang itu ‘kan sesuatu yang istimewa. Dan banyak lagi. Apa yang terpikir di benak kalian, dikenai pajak saja langsung. Terus, apa lagi ya? Oh iya. Mau kalian biarkan penista agama masuk ke masjid-masjid bawa anjing tanpa proses hukum, silakan. Mau kalian diamkan para penista Islam, silakan. Mau kalian penjarakan semua ulama, silakan juga. Kalian berkuasa penuh, kok. Buat saja apa yang kalian suka. Mau kalian bilang orang Islam itu teroris semua, terserah. Mau kalian katakan di dalam aksi damai umat Islam ada 30 teroris, seperti kata Moeldoko, suka hati. Kalian kok yang berkuasa penuh di negara ini. So, untuk apa kasak-kusuk mau jumpa Prabowo? Apa lagi yang mau kalian inginkan? Mau legitimasi? Kan sudah ada dari MK. Sudah ada dari KPU. Sudah ada dari Denny JA dan gerombolan survei mereka. Sudah ada dari media-media besar di sini. Apa lagi? Jadi, kepada Pak Prabowo dan Bang Sandi kami minta agar tidak usah saja menjumpai Jokowi. Tidak usah ucapkan selamat. Tak perlu hadir di acara pelantikan mereka. Kenapa? Karena tidak ada gunanya. Tidak ada kemaslahatannya. Tidak ada urgensinya. Jokowi tak perlu ucapan selamat kok. Jokowi tak perlu Anda kok, Pak Prabowo. Untuk apa? Mereka bisa buat apa saja, ‘kan? Kepada Andre Rosiade (petinggi Gerindra), kami mohon agar Anda tidak usah repot-repot mengatur pertemuan Jokowi dengan Pak Prabowo. Kecuali kalau Anda memang ingin mencederai rakyat Pak Prabowo. Atau, kecuali Anda baru merasa menjadi manusia kalau bisa masuk ke Kubu 01. Itu lain lagilah ceritanya. Atau, kecuali Anda baru saja selesai menjalani operasi pencangkokan “lobus frontalis” (otak bagian depan). Kalau ini alasannya, bisa dimaklumi. Sebab, setelah operasi itu berlangsung, Anda memang perlu istirahat menggunakan fungsi analitis.
Dilema Prabowo
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Andre Rosiade melepas berita tentang rencana pertemuan dua tokoh penting negeri ini: Prabowo Subianto dan Joko Widodo. “Juli ini,” ujar anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Gerindra ini, Rabu (3/7) kemarin, menyebut kapan pertemuan akan dilakukan. Berita ini sangat bisa dipercaya karena dari sumber yang kredibel: Gerindra. Tidak ada yang meragukan itu. Jika begitu, pertemuan tokoh ini berarti tidak lama lagi. Pertemuan ini memang bukan perkara sederhana. Pada satu sisi, pertemuan para capres kalah dan capres yang menang dalam pilpres 2019 ini diharapkan bisa mendinginkan tensi politik antarpendukung keduanya. Di sisi lain, bagi Prabowo pertemuan itu adalah pertaruhan bagi kredibilitasnya. Dari sinilah akan tergambar siapa sejatinya Prabowo: Pecundang atau bapak bangsa? Bagaimana pun setidaknya bakal ada dua sikap kelompok besar yang mengiringi pertemuan ini nantinya, yaitu kelompok yang menyambut dengan baik dan senang hati. Lalu, ada kelompok yang kecewa berat dan tidak lagi peduli dengan kedua tokoh tersebut. Pertemuan yang diharapkan bisa menurunkan tensi politik antarpendukung ini boleh jadi akan mengorbankan Prabowo. Pertemuan ini bisa melahirkan kekuatan baru anti-Jokowi yang tidak lagi menganggap penting sosok Prabowo. Kalimat yang sudah viral sebelumnya adalah, “tidak sedang membela Prabowo, tapi menegakkan kebenaran” akan berlanjut lebih masif lagi. Nantinya bisa jadi akan ada kalimat senada yang tetap mengarah pada sikap anti-Jokowi. Kelompok ini kekeuh menolak hasil pilpres curang. Jokowi, bagi kelompok ini, dianggap presiden yang tidak legitimate yang dilahirkan dari pemilu curang. Mereka yang berpendapat demikian tidak berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai keputusan MK jauh dari rasa keadilan. Boleh jadi kelompok ini bukan mayoritas pendukung Prabowo, namun mereka adalah pembenci Jokowi yang sangat militan. Setelah Gagal Publik sesungguhnya sudah menduga pertemuan itu akan terjadi. Apalagi sebelumnya sudah beredar kabar ada upaya-upaya serius dari Jokowi dan kelompoknya untuk merangkul Prabowo. Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Panjaitan, sudah berusaha bertemu Prabowo walau tak membuahkan hasil. Jangankan berbicara, bertemu saja tidak bisa. Lalu belakangan viral, Prabowo bakal diberi jabatan terhormat. Sandiaga Salahudin Uno masuk dalam kabinet. Calon wakil presiden ini dihargai sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanam Modal. Lebih jauh lagi, tokoh-tokoh di belakang Prabowo-Sandi bakal mendapat jatah menteri, duta besar, sampai kursi direksi dan komisaris BUMN. Sebelumnya, Jokowi juga sudah menggoda pimpinan partai Koalisi Adil Makmur. Ia, mengundang Agus Harimukti Yudhoyono ke istana sesaat setelah dirinya dinyatakan menang oleh hitung cepat sejumlah lembaga survey. Hasilnya, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memberi hadiah ucapan selamat atas kemenangan pasangan 01 pasca putusan MK. Padahal Prabowo-Sandi sampai detik itu belum menyampaikan hal yang sama. Tidak cuma itu. Kubu Jokowi juga membocorkan pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan atau Zulhas yang diwarnai permintaan Zulhas untuk jabatan Ketua MPR. Beredar kabar juga telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara dengan Prabowo di Bali, untuk membuka jalan pertemuan Jokowo dan Prabowo. Beberapa kabar yang beredar terkait upaya mempertemukan Jokowi-Prabowo ada yang akurat dan ada juga yang diragukan kebenarannya. Namun, meragukan kabar dari Gerindra sama saja tidak mempercapai semua informasi. Kalau sudah begitu, ya tunggu saja sampai ada siaran langsung. Pertemuan Prabowo dan Jokowi Juli ini memang baru sebatas rencana dan bisa saja batal. Kini Prabowo tentu masih menimbang-nimbang perlu tidaknya bertemu dengan seterunya dalam dua kali pilpres itu. Jika pun perlu, Prabowo tentu akan menimbang bagaimana caranya agar pisowanan penting ini mencapai hasil positif bagi bangsa dan negara, tanpa mengecewakan pendukungnya.
Mewaspadai Berbagai Opsi “Rekonsiliasi” Prabowo-Jokowi
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Setelah menjadi bahan spekulasi, rencana pertemuan Prabowo-Jokowi dipastikan akan terjadi pada bulan ini. Bulan Juli. Juru bicara partai Gerindra Andre Rosiade sudah memastikan hal itu, tanpa menyebut tanggal pasti. Hanya dia memberi ancar-ancar. Pertemuan akan dilakukan setelah Prabowo bertemu dengan para pendukungnya terlebih dahulu. Pernyataan Andre ini harus dilihat sebagai test the water. Seperti orang melempar batu ke dalam sungai. Menjajaki seberapa dalamnya air. Jika air terlalu dalam. Jika air terlalu deras arusnya, Prabowo tidak jadi nyemplung ke dalam air. Tapi bukan berarti batal nyemplung. Bisa jadi cari jalan lain. Jalan melingkar. Yang penting tujuan menyeberang tetap tercapai. Pernyataan bahwa Prabowo akan bertemu dengan para pendukungnya sebelum bertemu Jokowi, sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka paham ada risiko besar yang menanti kalau sampai tetap nekad. Kemarahan para pendukung paslon 02 yang muncul di media sosial, bisa menjadi gambaran yang jelas dan gamblang, betapa besar risiko yang akan dihadapi. Tagar #PrabowojangantemuiJokowi jadi trending topic di dunia maya. Jajak pendapat yang kami lakukan juga menunjukkan ribuan pendukung paslon 02 menolak keras rekonsiliasi. Bahkan sekedar bertemu pun BIG NO!. 99 persen menolak, dan hanya 1 persen yang setuju. Namun tampaknya sekelompok elit Gerindra masuk kelompok politisi pedagang yang sangat paham adagium “high risk, high return.” Makin besar risikonya, makin tinggi pula keuntungannya. Angka yang dipatok bisa makin mahal. Apalagi mereka sangat tahu kubu Jokowi benar-benar ngebet untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi. Ada beberapa yang opsi yang bisa dipilih oleh oleh Prabowo. Pertama, mereka akan benar-benar bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi. Kabarnya mereka akan mendapat dua pos kementerian (sedang tawar menawar pos apa yang akan dipilih dan diberikan), Prabowo menjadi Ketua Wantimpres, beberapa pos duta besar, dan juga posisi piminan di MPR dan DPR. Jika ini yang mereka pilih, nasib Prabowo dan Gerindra sudah bisa diprediksi seperti apa. Usia politik Prabowo akan berakhir hanya sampai disini. Dia tidak mungkin lagi menjadi capres atau wapres pada Pilpres 2024. Finish. Its over! Prabowo akan berkumpul dan bernasib sama seperti para politisi yang telah lebih dahulu bergabung ke dalam kubu Jokowi. Ditinggalkan massa pendukungnya. Tokoh-tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Yusuf Mansyur, TGB Zainul Majdi, dan Ma’ruf Amin bisa dengan tertawa lebar mengucapkan selamat datang, ahlan wa sahlan, welcome to the club. Nasib Gerindra akan sama dengan Demokrat, bahkan sangat mungkin lebih buruk. Rakyat bahkan malah bisa lebih memahami dan memaklumi apa yang dilakukan SBY dan Demokrat. Ada yang lebih buruk perilakunya, yakni Prabowo dan Gerindra. Dari pemilu ke pemilu suaranya akan tergerus. Gerindra akan mengalami perpecahan, karena masih banyak tokoh di Gerindra yang tak sepakat dengan langkah pragmatis dan oportunis. Ayam bertelur emas itu akan mati, karena dipaksa terus bertelur sebelum waktunya. Cerita anak-anak tentang hikayat petani rakus dan ayam bertelur emas itu harus benar-benar direnungkan. Opsi pertama ini bila tetap dipilih akan buruk buat Prabowo, juga buruk buat Jokowi. Target Jokowi melumpuhkan perlawanan oposisi tidak akan tercapai. Hal itu setidaknya sudah terbukti pada aksi 21-22 Mei di Bawaslu, dan yang sangat kasat mata pada aksi 27 Juni di MK. Prabowo-Sandi sudah secara tegas meminta massa pendukungnya tidak turun ke jalan, namun mereka abaikan. Mereka tetap turun ke jalan. Jumlahnya cukup banyak. Ratusan ribu. Sebagian datang dari berbagai daerah, kendati sudah diancam dan dirazia aparat keamanan. Yang paling menarik dalam aksi di MK adalah munculnya figur baru sebagai tokoh sentral komando di lapangan. Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua (71 th) menjadi ikon baru perlawanan. Hal itu menunjukkan kelompok perlawanan punya banyak stok simbol perlawanan. Hilang satu muncul seribu. Tidak bergantung kepada Prabowo sebagai tokoh sentral. Harga mahal yang harus dikeluarkan Jokowi untuk menggaet Prabowo tidak ada gunanya. Prabowo akan menjadi ikan yang dipisahkan dari airnya. Tanpa pendukung yang militan. Tanpa pendukung yang ikhlas menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya, Prabowo bukan siapa-siapa. Opsi kedua, oposisi pura-pura. Opsi ini paling memungkinkan dilakukan. Tetap berada di luar pemerintahan, namun sudah ada kesepahaman tidak akan mengganggu. Sebaliknya Prabowo dan Gerindra akan mendukung sepenuhnya setiap kebijakan pemerintahan Jokowi. Konsesi yang diperoleh tidak di kabinet dan di Wantimpres. Akan terlalu mencolok. Cukup di MPR-DPR, pos-pos komisaris di sejumlah BUMN, Dubes, dan yang paling tidak mencolok mata adalah konsesi bisnis. Seorang tokoh senior yang sangat dekat dengan Prabowo menggambarkan sebagai oposisi “Otak dan batang tubuh PS diluar bersama pendukungnya. Tangannya di pemerintah serta kakinya di parlemen. Strategi Rekonsiliasi-Oposisi dengan Diplomasi Kaki Tangan.” Dengan opsi ini Prabowo diharapkan dapat tetap bisa merangkul dan menjaga hati para pemilihnya. Bersamaan itu mereka bisa mendapatkan dan ikut menikmati keuntungan politis dan finansial sebagaimana halnya partai pendukung pemerintah lainnya. Bila opsi ini yang dipilih, posisi, peran Prabowo dan Gerindra bahkan lebih penting dibandingkan partai pendukung pemerintah. Jokowi bisa mengandalkan Prabowo dan Gerindra sebagai kanal, katup pengaman, sekaligus meredam perlawanan kelompok oposisi. Hanya saja Prabowo dan Gerindra harus benar-benar pandai memainkan perannya. Sebab rakyat saat ini sangat cerdas dan akses informasi terbuka luas. Ketika kepura-puraan ini terbuka, kemarahan pendukung akan kian tak terbendung. Opsi ketiga, tetap berada di luar pemerintahan menjadi oposisi bersama PKS dan PAN dengan catatan Amien Rais bisa mengendalikan gerakan bola liar di DPP PAN. Opsi ketiga ini bukan tanpa risiko. Prabowo harus benar-benar tegas mengendalikan elit Gerindra. Jangan sampai mereka membelot, berkhianat, atau menjadi intruder seperti telah terjadi selama ini. Risiko lain, elit Gerindra harus bersiap diri memperpanjang puasanya. Berada di luar pemerintahan perlu kesabaran dan ketabahan. Namanya juga orang berpuasa, jika benar-benar lulus ujian akan mendapat imbalan yang setimpal. Mereka bisa menyambut hari raya kemenangan pada lima tahun ke depan. Gerindra akan menjadi partai besar, Prabowo akan dikenang sebagai politisi yang teguh pendirian, istiqomah. Bukan politisi kaleng-kaleng. Dalam kondisi seperti ini Prabowo bisa memilih, tetap meneruskan karir politik sebagai politisi dan tokoh yang sangat dihormati, atau kembali menyepi ke padepokan Garuda Yaksa di Bukit Hambalang. Madeg pandhito seperti yang selama ini dia inginkan. Sebagai seorang resi, Prabowo bisa mendidik, melatih kader-kader bangsa yang tangguh, teguh pendirian, bermoral dan bermartabat. Dia bisa melanjutkan mimpinya menjadikan Indonesia sebagai bangsa pemenang. Bangsa yang dihormati dunia internasional, berdiri tegak sejajar dengan kekuatan dunia lainnya. Prabowo bisa berperan seperti Batara Wisnu yang menunggang kereta Garuda Yaksa mengawasi Indonesia dari ketinggian di angkasa. Manakala para pemimpinnya menyimpang, dia bisa turun mengingatkan dan mengoreksinya. Hidup ini memang sebuah pilihan Jenderal! end
Biarkan Prabowo Sandi Selingkuh
Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - KABAR terkini menyebutkan, Joko Widodo dan Prabowo akan bertemu dalam bulan Juli 2019 ini. Pertemuan semata-mata diharapkan demi persatuan bangsa. "Pak Prabowo akan bertemu dengan Pak Jokowi insya Allah bulan Juli ini. Dalam pertemuan itu kita berharap seluruh polarisasi bisa turun, tensi (politik) bisa turun antar pendukung," kata anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Gerindra, Andre Rosiade, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Ya, upaya meredakan tensi politik terus dilakukan kubu 01. Sejak Pilpres digelar, kubu 01 mencoba melakukan manuver untuk menemui Prabowo. Diawali dengan upaya mengutus Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Akan tetapi, usaha LBP yang sama-sama purnawirawan TNI dengan Prabowo kandas. Prabowo tidak merespon ajakan tersebut. Berbagai manuver politik terus dilakukan kubu 01, baik dengan cara halus maupun kasar. Cara kasar tentu dengan terus memojokkan Prabowo, baik yang dilakukan elite 01 maupun pendukungnya. Misalnya, dengan menyebutkan kubu 02 akan masuk menjadi bagian dari pemerintahan (dengan menawarkan kursi menteri, duta besar, dan menjadi direksi atau komisaris BUMN). Tak hanya itu, politik devide et invera atau pecah-belah pun dilakukan. Caranya, mengundang Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) ke istana dan bertemu dengan Jokowi. Hal ini pun menjadi perbincangan panas, karena secara nyata AHY yang adalah anak Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperlihatkan dukungan nyata atas kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Terlebih lagi AHY mengucapkan selamat atas kemenangan pasangan 01, terutama pasca putusan Mahkamah Kontitusi yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum, Minggu (30/6/2019). Padahal, Prabowo-Sandi sendiri belum mengeluarkan ucapan selamat. Lalu, mengapa Partai Demokrat dan AHY yang notabene bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandi dalam seketika berbalik ke 01? Kuat dugaan, Demokrat ingin mengincer kursi menteri. Politik pecah-belah lainnya adalah dengan menghembuskan Partai Amanat Nasional (PAN) juga merapat ke 01 dengan iming-iming kursi menteri. Ini karena Ketua Umum PAN Zukkifli Hasan sudah beberapa kali bertemu Jokowi. Namun, sampai kini merapatnya PAN ke 01 masih belum jelas. Upaya mempertemukan Jokowi dengan Prabowo terus dilakukan. Ada kabar telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara dengan Prabowo di Bali, untuk membuka jalan pertemuan Jokowo dan Prabowo. Kabar yang tidak jelas kebenarannya. Pun juga kabar pertemuan Prabowo dengan Jokowi, di Bangkok, Thailand yang ternyata tidak benar atau hoax. Padahal, kabar itu pertama kali dihembuskan oleh petinggi partai koalisi 01. Semuanya itu merupakan manuver politik yang dilakukan kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk memperlunak hati Prabowo. Manuver tersebut saya ibaratkan sebuah godaan politik centil, agar Prabowo-Sandi "berselingkuh", meninggalkan partai koalisi pendukungnya (PKS, PAN dan Demokrat), meninggalkan relawannya, meninggalkan rakyat pendukungnya, terutama emak-emak yang sangat militan. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan menerima godaan itu, lalu berselingkuh meninggalkan pendukungnya? Ataukah Prabowo-Sandi istiqomah (tetap pada pendirian) menjadi oposisi? Semuanya berpulang kepada Prabowo. Jika ia berselingkuh dengan gabung ke pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, maka pendukungnya akan kecewa dan meninggalkannya, lebih khusus akan meninggalkan Gerindra dalam Pemilu 2024 mendatang. Jika tetap menjadi oposisi, terutama bersama PKS, maka insya Allah kedua partai tersebut akan semakin kuat di masa mendatang. Jika menjadi oposisi saya percaya Geridra dan PKS semakin jaya. Termasuk jaya dalam berkoalisi pada pemilihan kepala daerah tahun 2020. ***
Hei BPN dan Pengkhianat Gerindra, Jangan Kalian Salahkan Relawan
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam dua-tiga hari ini beredar sejumlah tulisan yang pada intinya menyalahkan para relawan Prabowo-Sandi karena dianggap tidak muncul untuk menunjukkan militansi ketika para tokoh 02 ditangkap atau ditahan polisi. Ada tulisan Zeng Wei Jian (ZWJ) tentang Poros Ketiga. Bagi ZWJ, Poros 3 dimunculkan oleh entah siapa. Mungkin saja oleh ZWJ sendiri. Wallahu a’lam. Yang jelas, saya baru dengar poros ini. Juga tidak ada tersebut di grup-grup WA atau platform medsos lainnya. Dalam tulisan yang berjudul “Poros Ketiga”, ZWJ mengatakan “Poros 3 ancaman baru berbahaya untuk kelangsungan bangsa dan negara. Karena itu, Kubu 01 getol upaya merangkul Prabowo-Sandi.” Pada pokoknya, ZWJ ingin menggoreska kesan bahwa ‘silatruahmi’ yang berujung koalisi dengan Jokowi bukan masalah. Tidak apa-apa. Bagus. Menurut hemat saya, ZWJ tampaknya ‘ditugaskan’ untuk mempengaruhi para pendukung Pak Prabowo agar tidak menyalahkan atau menyerang para politisi Gerindra yang ‘desperados’ (kebelet) masuk koalisi Jokowi. Tentunya untuk ambil hadiah murahan. Tapi, menurut hemat saya, gagasan para pengkhianat Gerindra yang ditungkan di tulisan ZWJ sangat berbahaya bagi Pak Prabowo. Para politisi Gerindra terlalu picik melihat target-target pribadi mereka. Mereka gagal atau tidak mau melihat gambar besar perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran ke depan. ZWJ memuja-muji Sufmi Dasco dan Habiburrohman. Pujian setinggi langit. Seolah-olah Dasco sekarang harus diberi wewenang besar untuk mengendalikan Gerindra setelah dia, kata ZWJ, menjadi pahlawan hebat yang bisa membebaskan puluhan bahkan ratusan tokoh dan relawan 02 yang ditahan polisi. Ada pula tulisan yang diatasnamakan Adipati Kampret (AK) dengan judul “Prabowo Akan Tenggelam Bersama Rakyat”. Tulisan ini menyudutkan pendukung Prabowo dan para relawan. AK mempertanyakan ke mana saja para relawan dan pendukung Prabowo pada hari 21-22 Mei? Kenapa tidak ada yang berpidato berapi-api untuk menunjukkan militansi? Tulisan ini jelas-jelas meremehkan para relawan. Bagi saya, tulisan ini dapat disebut kurang ajar. Saya termasuk yang sangat tersinggung oleh Adi Kampret. Siapa pun Anda, saya katakan sekali lagi: Adan kurang ajar. Saya bisa jawab langsung pertanyaan Adi Kampret ini tentang ke mana saja para relawan dan pendukung Prabowo pada 21-22 Mei itu. Mohon maaf, saya sendiri menyaksikan langsung aksi damai di bulan Ramadan itu. Menurut heat saya, bukan relawan dan pendukung yang tidak hadir, Bung Adi. Tetapi, para petinggi BPN yang justru tak nampak batang hidung. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menelantarkan para peserta aksi damai itu. Pada 22 Mei, hari kedua saya juga menyaksikan langsung di lapangan. Massa pendukung 02 berdatangan sejak siang. Tidak ada tokoh yang tampil berorasi. Tapi, massa pendukung tetap tak beranjak. Hanya Pak Amin Rais yang datang bersama putri beliau. Dan, soal cerita tentang perangai orang-orang BPN, segudang pengalaman yang dirasakan banyak relawan, mereka curhatkan kepada saya. Nantilah, saya goreskan uraian tentang kelakuan orang-orang BPN yang pada pokoknya tidak berbuat apa-apa untuk memenangkan Pak Prabowo. Tulisan Adi Kampret mencoba menggiring opini bahwa Pak Prabowo menjadi tak berdaya karena para pendukung cuma galak di medsos. Tidak turun ke jalan-jalan. Tentunya kesimpulan seperti ini sangat menyesatkan. Terkesan Bung Adi seolah mewakili barisan BPN yang ingin cuci tangan. Ingin cuci tangan karena mereka tak becus mengelola program kerja pemenangan Prabowo-Sandi. Kemudian, ada tulisan Yahya M Ali, yang mengatributkan diri sebagai Pengamat Intelijen. Judul tulisannya, “Kepedihan Hati Prabowo dan Para Tokoh dan Relawan Kaleng-kaleng”. Di bagian awal, Yahya menguraikan soal sisi humanis Pak Prabowo. Kemudian dia juga, mirip seperti Adipati Kampret, menyerang para tokoh dan relawan pendukung Prabowo yang dia anggap ‘kaleng-kaleng’. Menurut Yahya, para tokoh dan relawan yang ditangkap polisi adalah orang cengeng. Dia istilahkan ‘merengek-rengek’ kepada Prabowo supaya mengusahakan pembebasan mereka. Inilah yang membuat Prabowo mengambil tindakan drastis. Yaitu, membuka komunikasi ke pihak penguasa dengan tujuan agar semua yang ditangkap, dibebaskan. Yahya M Ali menyebut para tokoh dan pendukung yang dikriminalisasikan, ditankap dan ditahan itu adalah orang-orang yang bermental omong kosong. Dia sebut ‘pejuang kaleng-kaleng’. Yahya mempersoalkan sikap para relawan dan pendukung yang tidak membela orang-orang yang ditangkap. Dia label para relawan itu hanya sok-sokan berteriak jihad tapi tidak berbuat apa-apa. Di satu sisi, Yahya ada benarnya. Tetapi, kita harus memamhami bahwa para relawan dan massa pendukung memerlukan tokoh-tokoh yang bisa membangkitkan semangat juang. Menurut hemat saya, keseluruhan tulisan Yahya M Ali hanya ingin membangun persepsi bahwa ‘strategi’ Gerindra untuk berkoalisi dengan Jokowi adalah langkah yang tepat dan tak terelakkan. Itulah yang dilakukan oleh ZWJ, Adipati Kampret, dan Yahya M Ali. Mereka ini sedang mesosialisasikan langkah rekonsiliasi dan koalisi dengan Jokowi. Tidak ada sedikit pun kritik mereka terhadap kinerja BPN dan perilaku beberapa anggota terasnya. Padahal, menyebutkan satu saja masalah fundamental di BPN, direktorat yang mengurusi saksi 02 di TPS boleh dikatakan tidak melakukan apa-apa. Untuk mendapatkan surat mandat saksi saja sulitnya minta ampun. Bahkan, Pak Prabowo terpaksa membekukan direktorat itu karena dana saksi tidak berikan kepada yang berhak. Saya menyarankan kepada mereka ini agar berhati-hati menimpakan kesalahan kepada para relawan, pendukung, dan keluarga para tokoh yang ditangkap penguasa. Tidak bagus kalau Anda seenaknya mengatakan relawan dan pendukung bermental ‘kaleng-kaleng’. Menurut saya, yang justru bermasalah adalah ‘inner circle’ Pak Prabowo. Banyak diantara mereka, tidak semua, yang sejak awal kelihatannya punya misi lain. Bukan untuk meyukseskan perjuangan Prabowo. Mohon maaf, saya menyebut mereka pengkhianat. Pak Prabowo juga pernah menjelaskan tentang orang-orang dekat beliau yang berkhianat. Jadi, saya mohon kepada orang-orang BPN dan Gerindra agar kalian tidak seenaknya menyalahkan dan meremehkan relawan Prabowo.
Gerindra Mau Jadi Oposisi atau “Oplosan”?
Oleh: A. Sofiyanto (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “oposisi” atau menjadi oposan dipandang lebih bernilai positif dan terhormat karena menjadi penyeimbang atau berani melawan penguasa, bukan menjilat atau membebek. Sebaliknya, istlah “oplosan” cenderung bernilai negatif karena diartikan campuran untuk membuat minuman yang memabukkan atau bahkan cairan beracun. Setelah KPU menetapkan Jokowi-Maruf sebagai presiden-wapres terpilih 2019-2024 pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)--, meski dibayangi tudingan pemilu curang-- maka partai partai koalisi pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi (PADI) mau tidak mau harus menentukan pilihan politik. Memilih sebagai oposisi di luar pemerintahan Jokowi, atau menjadi “oplosan” (ikut bercampur) di dalam koalisi pemerintahan Jokowi ? Ada empat partai koalisi pengusung PADI yang lolos parliamentary threshold (PT) yaitu Partai Gerindra, PKS , PAN dan Partai Demokrat. PKS sudah tegas menyatakan menjadi oposisi di pemerintahan maupun DPR. Demokrat sudah loncat pagar alias pindah perahu yang lebih “empuk” yaitu ikut bergabung ke koalisi pemerintah 2019-2024. Ini dapat dilihat dari perilaku AHY, anaknya bos Demokrat yang sudah sowan kepada Jokowi dan bahkan bersama adiknya Ibas telah “bersilaturahmi politik” ke Megawati yang bisa diartikan untuk meminta “restu” alias menaklukkan hati Megawati yang selama ini keras “bermusuhan” dengan SBY bak minyak dan air. Sementara PAN nampaknya masih abu abu. Meski Amien Rais yang dikenal sesepuh yang juga pentolan PAN , mengarahkan partai berlambang matahari ini untuk menjadi oposisi. Namun, gelagat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang saat masih awal KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Zulkifli sudah mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Kabarnya, ucapan yang dilontarkan terlalu prematur oleh Zulkifli ini ditegur oleh Amien Rais yang juga besannya . Namun, seperti periode 2014-2019 sebelumnya, ternyata PAN menitipkan kadernya ke Presiden Jokowi untuk ditimang menjadi menteri. Entah atas persetujuan Amien Rais atau tidak, yang jelas sikap PAN saat itu lebih memilih jabatan menteri ketimbang oposisi. Lantas bagaimana dengan Gerindra, partai yang dipimpin capres Prabowo yang menjadi pemenang kedua dalam pemilihan umum 2019? Apabila menjadi oposisi, ada peluang bagi Gerindra untuk menjadikan partai ini lebih besar lagi. Namun, jika menjadi “oplosan” alias ikut bercampur dalam partai koalisi penguasa, maka kevokalan Gerindra di parlemen tidak maksimal dan bahkan mengkeret atau kurang berani mengeritik penguasa. Jika ini terjadi, maka Gerindra rugi dua kali. Pertama, Gerindra bakal tidak populer dan menjadikan suaranya akan bisa anjlok di pemilu 2024. Kedua, pendukung Prabowo bakal banyak yang kecewa sehingga minggat dari Gerindra yang juga berdampak menjadikan suara Gerindra akan terjun bebas di pemilu mendatang. Hingga sejauh ini, para pendukung PADI masih meyakini bahwa telah tejadi kecurangan di Pemilu 2019. Nampaknya, siapa pun petahana sangat berpeluang untuk berbuat curang dalam pemilihan presiden. Karena itu, lebih baik ada undang undang yang meniadakan petahana atau melarang masa jabatan dua periode seperti yang diusulkan Prof Dr Salim Said dengan kompensasi masa jabatan presiden ditambah menjadi enam atau tujuh tahun seperti diterapkan di beberapa negara maju. Kalangan pengamat menilai bahwa memang secara legal Jokowi menang berdasar putusan MK. Namun, legitimasi rakyat dan kaum cendekiawan lebih berpihak kepada capres Prabowo. Untuk itulah tidak mengherankan apabila Jokowi berharap kubu Prabowo mau bergabung ke pemerintahannya. Keinginan kubu Jokowi untuk “rekonsiliasi” dengan kubu Prabowo menjadi penting, sehigga tawaran bergabung dengan imbalan kursi jabatan menteri dihembuskan terus oleh pihak Jokowi. Tanpa “rekonsiliasi” dengan Prabowo, maka dibayangi ada kekhawatiran bagi Presiden Jokowi nanti bakal banyak dijemput aksi demo apabila melakukan kunjungan ke daerah daerah seperti Sumatera Barat dan daerah lainnya yang mayoritas pilih Prabowo. Apalagi Aceh yang sudah mengancam akan melakukan referendum jika presidennya Jokowi. Apakah ada orang Gerindra yang ngiler (tergiur) dengan tawaran menteri atau jabatan lainnya? Bilamana Gerindra menyatakan menerima tawaran jabatan tersebut, nampaknya Jokowi langsung melakukan reshuffle kabinet secepatnya dengan memasukkan kader Gerindra menjadi menteri hingga masa jabatan Jokowi pada akhir September 2019. Lantas bagaimana nasib Gerindra setelah Jokowi dilantik lagi sebagai presiden pada Oktober 2019? Saat itu nilai deal (dagang sapi) dari Gerindra sudah lemah, sehingga Gerindra asal diberi kursi menteri yang kurang bergengsi. Lagipula, dengan menjadi partai yang bergabung atau menempel kepada koalisi pemerintahan Jokowi di periode kedua, Gerindra terancam terpuruk karena bakal banyak pendukungnya yang kecewa dan lari lari meninggalkan partai pimpinan Prabowo ini. Wajar kecewa, karena pendukung sekaligus pemilih Prabowo pada Pemilu 17 April 2019 sudah banyak berkorban waktu, tenaga , pikiran serta finansial. Bahkan, ada korban nyawa dari pihak pendukung Prabowo. Kekecewaan pemilih ini akan membuat suara Gerindra nyungsep (menyusut) di pemilu 2024. Karena itu, mau tidak mau Gerindra harus menjadi oposisi jika ingin suaranya tetap besar. Artinya , oposisi merupakan pilihan terbaik bagi Gerindra ketimbang menjadi “oplosan” alias campuran dalam kabinet Jokowi. Sempat mengagetkan, di saat pendukung PADI merasa kecewa dengan proses dan hasil pemuilu 2019,tiba-tiba muncul video ucapan selamat dari cawapres Sandiaga Uno yang memberi ucapan selamat bekerja kepada Jokowi-Maruf untuk periode 2019-2014. Tentu ini semakin menyayat hari para pemilih loyal PADI. Untungnya, pada 1 Juli 2019 melalui instagramnya, Sandiaga Uno menyatakan memilih menjadi oposisi. Sehingga, para pemilih yang kecewa tadi rasanya menjadi plong kembali. Sebenarnya, PKS sudah berkali-kali mengajak Gerindra untuk menjadi oposisi. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera secara tegas mengajak semua partai pendukung PADI tetap menjadi oposisi menjadi penyeimbang/pengontrol untuk mengawal kebijakan rezim Jokowi di periode berikutnya. Namun, ada beberapa politikus Gerindra yang masih diragukan menyambut ajakan PKS tersebut. Diantaranya Ketua Bidang Advokasi DPP Gerindra, Habiburokhman misalnya, kepada wartawan, Selasa (2/7/2019), berkilah, “Kami sangat hormati pilihan PKS karena mereka sahabat setia kami. Tapi kami punya pertimbangan sendiri." Setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai presiden-cawapres terpilih 2019-2024, muncul isu Gerindra akan bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf, apalagi ada politikus Gerindra yang ucapkan selamat kepada Jokowi. Namun, Anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra Muhammad Syafi'i yang dikenal vokal meyakini Prabowo memilih berada di luar pemerintahan. Menurutnya, keberadaan oposisi menyehatkan iklim demokrasi. "Demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi. Saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi," kata Syafi'i di Gedung DPR, Senin (1/7/2019). Para pejuang sejati pendukung 02 ataupun yang mengklaim pembela kebenaran, keadilan dan kejujuran, tentunya berharap sikap Syafii ini bisa disepekati Prabowo dan akan menenggelamkan orang orang di Gerindra yang kebelet tawaran jabatan menteri atau sejenisnya dari kjubu sebelah. Syafi'i menegaskan, demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance, mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang. Menjadi oposisi dituntut pengorbanan untuk berjuang keras namun lebih terhormat di mata rakyat. Dibanding memilih menjadi “oplosan” ikut bercampur partai penguasa dan mendapat kue jabatan empuk tetapi ditinggalkan rakyat pemilihnya. Sekarang terserah Gerindra, ingin menempatkan diri sebagai oposisi yang terhormat atau mau menjadi “oplosan” yang bisa dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap rakyat pemilik suara pendukungnya? Please! (***)
Jokowi Berpotensi Diadili Terkait HAM Pilpres
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Laurent Gbagbo menjadi presiden pertama di dunia yang digiring ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. Mantan Presiden Pantai Gading itu ditangkap pada 11 April 2011 atas pelanggaran HAM berat, pasca pemilu November 2010. ICC (Mahkamah Kriminal Internasional) adalah lembaga peradilan internasional yang bisa mengadili individu atas kejahatan internasional seperti agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang juga berkedudukan di Belanda. Seperti dilansir The Guardian, Gbagbo menolak menyerahkan kekuasaan kepada lawan politiknya, Presiden Alassane Ouattara yang terpilih secara demokratis dalam pemilu di negaranya. Ia menuduh ada kecurangan yang menyebabkan Ouattara menang. Perang saudara pun tak terhindari. Sedikitnya 3.000 orang tewas dalam kerusuhan yang ia promotori demi mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden Pantai Gading. Sidang beberapa kali ditunda sebagai langkah antisipasi kekacauan dari simpatisannya. Presiden yang menjabat selama 10 tahun sejak 2000 itu diadili bersama sekutu terdekatnya sekaligus mantan komandan militernya, Charles Ble Goude. Keduanya didakwa atas tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Layar raksasa dibangun di Pantai Gading untuk memungkinkan masyarakat di Benua Hitam menyaksikan proses persidangan yang berlangsung di Belanda itu. Jaksa penuntut umum dan pengacara bersumpah akan berusaha untuk menguak krisis berdarah selama 5 tahun itu. “Tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengungkap kebenaran melalui proses murni hukum,” kata kepala jaksa ICC, Fatou Bensouda, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Kamis (28/1/2016). Setelah bersembunyi selama berbulan-bulan di istana presiden dan menjadikannya banteng pertahanan, Gbagbo akhirnya ditangkap oleh pasukan Ouattara, dibantu oleh PBB dan pasukan Prancis. Guru Sejarah itu diekstradisi tujuh bulan kemudian ke ICC. Istri Gbagbo, Simone, yang ketika itu masih dicari ICC atas keterlibatannya dalam kejahatan sang suami. Mantan ibu negara itu telah dijatuhi hukuman 20 tahun penjara di Pantai Gading tahun lalu dan pemerintah lokal menolak untuk menyerahkannya ke ICC. Di tempat lainnya, Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta juga pernah diadili ICC, di Den Haag, atas tuduhan mendalangi tindak kekerasan yang menyebabkan 1.000 orang meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya mengungsi dalam sengketa pilpres pada 2007. Kenyatta dituduh membiayai militan lokal untuk melakukan serangan balasan. Hari pertama sidang, Selasa (7/10/2014), Kenyatta tidak diharuskan hadir dalam persidangan ini. Demikian mengutip CNNINdonesia.com, Kamis (09/10/2014 20:50 WIB). Hari kedua, Kenyatta diminta hadir terkait penentuan apakah kasus ini bisa dilanjutkan atau tidak. Ini adalah pertama kali Kenyatta menghadiri persidangan sebagai warga sipil karena dia menunjuk wakil presiden untuk menjalankan tugas kepresidenan selama dia diadili. “Saya bersih, selalu bersih dan akan tetap bersih selamanya, sehingga saya tidak bersalah atas semua tuduhan yang mengarah kepada saya,” ujar Kenyatta sebelum bertolak dari Nairobi, Kenya. Selama sidang kedua pada Selasa (7/10/2014), jaksa penuntut menuduh pemerintah Kenya tidak menyerahkan dokumen kunci dalam kasus yang menyerang pemimpin negara mereka. Namun, pengacara Kenyatta membantah tuduhan ini. Jaksa penuntut sempat menghadapi serangkaian kendala terkait kasus ini akibat banyaknya saksi perkara mundur sementara yang lain mengaku berbohong. Jaksa penuntut juga sempat menunda persidangan beberapa kali karena kurangnya bukti. Dalam keadaan biasa, kekurangan bukti akan menyebabkan jaksa penuntut menarik tuntutan. “Namun pemerintah Kenya tak mau bekerja sama dengan pengadilan untuk membantu kasus ini,” ujar ICC pada September 2014. Pemerintah Kenya sebelumnya mengingkari kesepakatan untuk mendirikan pengadilan khusus bagi terduga pelaku kekerasan pasca pemilu sehingga mendorong pengadilan internasional untuk turun tangan. Kenya menyusul Sudan yang mempunyai pemimpin negara bersidang di hadapan ICC. Tidak seperti Kennyata, Presiden Sudan Omar al-Bashir tidak kooperatif dalam persidangan ICC dan menolak surat perintah penahanan dirinya atas tuduhan kejahatan di Darfur. Terkait HAM Pilpres Yang perlu dicatat dari contoh peristiwa di atas adalah bahwa ketiga presiden yang diadili di ICC bukan masalah PHPU-nya. Melainkan pelanggaran HAM yang berakar dari Pilpres juga. Inilah yang bakal dihadapi Presiden Joko Widodo sebagai penanggung jawab. Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutus, menolak permohonan Pemohon paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Gejala penolakan ini sudah terlihat saat MK menolak eksepsi Termohon KPU dan Terkait paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Justru dengan menolak eksepsi, maka secara hukum bisa menolak permohonan PHPU paslon 02. Jika dieksaminasi, sebenarnya dalil pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim MK itu banyak kejanggalan. Tapi undang undang menempatkan putusan MK final. Jadi, tak ada upaya hukum yang bisa membatalkannya. Bahasa Prabowo dalam sambutannya menghormati putusan dengan menyatakan kekecewaan. Pendukung tentu juga kecewa dan menilai putusan telah melegitimasi kecurangan. Meski harus kecewa tapi tentu tak harus putus asa ataupun patah semangat. Misi perjuangan mulia adalah dengan menegakkan kedaulatan rakyat dengan segala dimensinya. Prabowo sendiri menyatakan akan mencari jalan untuk perjuangan konstitusional berkelanjutan. Secara yuridis, Jokowi telah ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilpres oleh KPU. Kini pun memang Presiden. Perpanjangan resminya jika sudah dilantik nanti Oktober 2019. Meski sukses “memenangkan” kompetisi namun Jokowi memiliki agenda berat ke depan. “Tantangan agenda itu bisa merontokkannya jika ia tak pandai memimpin bangsa dan negara dengan baik. Sekurangnya ada tiga tantangan yang dihadapi dekat,” tulis Pemerhati Politik M. Rizal Fadillah, Jum’at (28/6/2019). Adanya problema pelanggaran HAM berat sebagai ekses Pilpres di mana penanggungjawab pemerintahan adalah dirinya. Ini berkaitan dengan kasus korban tewas 9 orang dalam insiden 22 Mei 2019. Masih simpang siurnya pelaku pembunuhan yang diantaranya tertembak ini apakah pihak perusuh, aparat, atau pihak ketiga. Begitu juga dengan meninggalnya hampir 700 petugas KPPS secara misterius. Pemerintahan Jokowi menjadi pihak yang didesak pertanggungjawabannya dengan tudingan “pelanggaran HAM berat” yang akan melibatkan penyelidikan lembaga kompeten HAM baik nasional maupun internasional. Inilah pintu masuk untuk minta pertanggungjawaban Presiden Jokowi di hadapan ICC seperti yang dialami tiga presiden (Pantai Gading, Kenya, dan Sudan) tadi. Siapa yang mengajukan? Amnesti Internasional, Komnas HAM, atau 34 perwakilan provinsi? Jika bangsa Indonesia tidak ingin dipermalukan dunia, mungkin langkah paling tepat adalah meminta Jokowi – Ma’ruf mengundurkan diri sebagai Presiden-Wapres Terpilih. Sebab, jika peradilan ICC ini jalan, dunia akan melihat akar pelanggaran HAM itu. Bahwa terjadi kecurangan Pilpres 2019 secara TSM oleh KPU dan Jokowi – Ma’ruf, seperti sudah diungkap dalam persidangan MK.
Menjadi Oposisi, Sandiaga Uno Sangat Benar
Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Calon wakil presiden (cawapres) pasangan calon (paslon) 02, Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan untuk membangun Indonesia tidak harus berada di dalam pemerintahan. Harus ada kelompok di luar pemerintahan yang menjadi penyeimbang. Oposisi! Kelompok yang selalu menjaga dan mengingatkan pemerintah. “Bila ada mekanisme saling cek, saling kontrol saling menjaga, dan saling mengingatkan, maka Insya Allah jalannya pemerintahan akan baik,” ujar Sandi melalui akun instagramnya, Minggu (1/7/2019). Pilihan sikap Sandi ini menjadi kabar baik tidak hanya bagi para pendukungnya, baik bagi masa depan politiknya, juga baik bagi masa depan Indonesia. Sikap Sandi memberi harapan baru bahwa tidak semua politisi —apalagi politisi muda— yang bersikap pragmatis. Mengejar kekuasaan secara membabi buta, mengorbankan nilai-nilai idealisme. Sikap Sandi juga menunjukkan di dalam tubuh Partai Gerindra masih banyak pikiran-pikiran waras. Bisa membedakan benar, salah. Menjunjung tinggi idealisme, teguh menjaga kehormatan, menjaga idealisme, menghargai kesetiaan dan pengorbanan jutaan para pendukungnya. Sebelumnya sikap ini secara tegas sudah ditunjukkan oleh Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri. Tokoh senior dan kawan Prabowo sejak masih kecil itu juga dengan tegas menyatakan sebaiknya Gerindra tetap berada di luar pemerintah. Menjaga amanah lebih dari 70 juta massa pendukungnya. “Biar yang kalah di luar menjadi oposisi, kalau enggak bukan demokrasi. Masa semua pada kongkow-kongkow. Jangan, yang sehat dong,” kata Maher. Kita tinggal menunggu sikap Prabowo. Apakah dia sepakat dengan Sandi, Maher dan sejumlah tokoh senior lainnya. Terus berjuang dan menjaga amanah para pendukungnya. Atau lebih mendengar bisikan sekelompok kecil elit Gerindra yang bersikap pragmatis dan oportunis. Kelompok kecil ini mendorong Prabowo segera bergabung dengan Jokowi. Meninggalkan dan mengkhianati para pendukungnya. Melupakan janjinya “untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat.” Mengkhianati sikapnya yang menolak kecurangan. Melupakan ucapannya sendiri tidak akan kompromi terhadap ketidak-adilan dan ketidak-jujuran. Menukarnya dengan imbalan yang tak sepadan. Satu dua pos menteri, posisi sebagai ketua Wantimpres, jabatan di parlemen, dan pos-pos duta besar. Sikap Rasional Pilihan sikap Sandi memilih menjadi oposisi secara rasional, matematis dan politis jelas lebih taktis, strategis, dan dalam jangka panjang akan menguntungkan. Dia tidak berpikir jangka pendek, namun bisa melihat jauh ke depan. Sandi sejauh ini sudah menunjukkan sikapnya sebagai figur yang punya prinsip teguh. Dia rela menanggalkan jabatannya sebagai Wagub DKI ketika mencalonkan diri menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Padahal aturan perundang-undangan tidak mengharuskan mundur. Sandi menunjukkan kualitas pribadinya jauh lebih unggul bahkan dibandingkan kompetitornya tokoh senior sekelas Ma’ruf Amin. Dia tak mau melepas jabatannya sebagai Ketua Dewan Syariah di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri ketika menjadi cawapres. Posisi Ma’ruf inilah yang digugat dan banyak dipersoalkan. Kendati dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun publik sudah punya penilaian sendiri bagaimana kualitas seorang Ma’ruf. Sandi memang beda. Bukan orang yang mudah tergoda, apalagi kemaruk jabatan. Dia mau berjuang dan mengutamakan nilai-nilai moral dan etika. Tidak hanya berpegangan pada hal yang bersifat legal formal. Bisa dibayangkan, bila dengan reputasi semacam itu tiba-tiba Sandi sepakat menyerah dan mendapat imbalan jabatan. Apa kata dunia?! Katakanlah Sandi mendapat pos sebagai Menko Perekonomian seperti rumor yang berkembang. Hal itu tetap sangat tidak sepadan. Kontestasi Pilpres 2019 membawa Sandi menjadi tokoh muda terdepan, dalam jajaran kandidat pada Pilpres 2024. Dengan catatan tidak ada amandemen UUD 45 yang memungkinkan Jokowi untuk kembali mencalonkan diri ketiga kali, keempat kali, bahkan mungkin kelima kalinya. Diantara tokoh-tokoh muda seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, apalagi bila dibandingkan dengan Agus Harimurti, modal sosial dan politik Sandi jauh lebih unggul. Dia tinggal merawatnya. Hanya perlu bersabar, terus berjuang bersama puluhan juta massa pendukungnya. Menjalankan peran seperti yang telah dikatakannya, ikut membangun Indonesia di luar pemerintahan, lima tahun ke depan, Sandi Insya Allah akan memetik hasilnya. Sebaliknya bila Sandi ikut larut, terbawa arus elit Gerindra yang tak punya etos sebagai perjuang, karir politiknya juga akan ikut terlibas arus perubahan. Sebuah arus yang sedang mengalir deras di tengah rakyat Indonesia. Sikap Sandi bila benar-benar bisa istiqomah, teguh pada pendirian, akan baik bagi dirinya sendiri, baik bagi Gerindra, dan baik bagi Indonesia. Oposisi bukanlah anak haram. Oposisi adalah anak kandung demokrasi. Seperti obat, justru rasa pahitnya yang akan menyembuhkan dan menyehatkan.
Mengenang Kembali Wasiat dan Wakaf Nyawa Prabowo
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ketika atmosfir perlawanan terhadap kezaliman para penguasa mencapai puncaknya, Prabowo Subianto (PS) pernah berucap bahwa dia mewakafkan sisa hidupnya untuk bangsa dan negara Indonesia. Prabowo juga membuat surat wasiat. Walaupun isinya masih belum terungkap secara pasti. Kalau dilihat suasana patriotis dan penuh emosional di tengah kezaliman dan kesewenangan yang sedang dihadapi mantan Danjen Koppasus itu, tidaklah berlebihan jika wasiat itu diartikan sebagai pertanda bahwa beliau siap mati demi kebanaran, keadilan, dan kejujuran. Memang kemudian muncul klarifikasi bahwa wasiat itu maksudnya adalah bahwa langkah-langkah perjuangan haruslah selalu berada di koridor hukum. Namun begitu, semua orang masih ingat suasana perjuangan dalam 1.5 tahun belakangan. Termasuklah di masa-masa kampanye pilpres 2019. Ketika itu, Prabowo melihat kesewenangan para penguasa memang harus dihentikan sekalipun nyawa taruhannya. Artinya, sangatlah cocok tafsiran wasiat dan wakaf nyawa itu sebagai sinyal bahwa Pak Prabowo siap menghadapi apa saja. Termasuk kehilangan nyawa. Beliau bahkan sudah memahami konsep ‘hidup mulia atau mati syahid’. Yaitu, ‘isy kariman aw mut syahidan’. Slogan ini pernah dia ucapkan beberapa kali di depan publik. Beliau juga pernah mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang ditakutinya selain Allah SWT. Artinya, Prabowo siap sepenuhnya berjuang dengan segala pengorbanan. Rakyat pendukung beliau pun menjadi sangat bersemangat mendengar penegasan pemimpin yang gagah dan cerdas itu. Alhamdulillah, gerak maju Pak Prabowo untuk menyingkirkan apa yang dia sebut sebagai ‘para pengkhianat’ bangsa mendapatkan sambutan kuat dari publik. Kebetulan publik juga menginginkan pergantian pemimpin. Prabowo berhasil meyakinkan rakyat tentang ‘keberanian’ dia melawan kesewenangan. Orasi (pidato) yang ia sampaikan selalu berapi-api. Mampu membangkitkan semangat tempur para pendukung. Ke mana pun beliau pergi selalu membludak massa yang menyambut. Keyakinan semakin kuat untuk menghentikan pengkhianatan para penguasa. Logika mata menyimpulkan bahwa Pak PS tak terbendung lagi. Kemenangan sudah di tangan. Karena memang faktual bahwa kampanye lawan tanding beliau jauh tertinggal di belakang. Sepi selalu. Di mana-mana publik menyambut Jokowi-Ma’ruf dengan teriakan ‘Prabowo’ plus acungan dua jari. Kampanye Jokowi-Ma’ruf memang ‘memble’. Logika mata menyimpulkan bahwa kekalahan paslonpres 01 tak terelakkan. Di mana-mana orang yakin Prabowo-Sandi paling sedikit akan merebut 60% suara pemilih. Meskipun lembaga-lembaga survei membohongi khalayak bahwa Jokowi-Ma’ruf-lah yang akan menang. Kubu 02 yakin calon mereka akan masuk ke Istana. Keyakinan itu tak berlebihan. Mengingat begitu beratnya tim sukses Jokowi menghadirkan massa di kampanye-kampanye 01. Padahal, mereka menyediakan berbagai fasilitas bagus yang tidak dinikmati oleh massa kampanye 02. Sangat pantas diduga bahwa kesulitan dalam menampilkan kampanye besar itu membuat para penguasa tidak punya pilihan lain. Mereka harus menyalahgunakan berbagai instansi negara untuk membantu penyuksesan kampanye. Agar kampanye 01 terlihat meriah. Cara ini tetap tak mampu mendongkrak kampanye Jokowi-Ma’ruf. Padahal kepolisian terlibat aktif menggalang dukungan untuk 01. Di seluruh Indonesia. Namun demikian, kampanye-kampanye mereka selalu memalukan, bahkan di basis-basis pendukung Jokowi sekalipun. Jauh ke belakang, “tour the country” yang dilakukan Sandiaga Uno ke lebih 1,300 titik persinggahan, juga sukses luar biasa. Di sambut di mana-mana. Tanpa fasilitas apa-apa. Tanpa nasi bungkus. Bahkan tanpa segelas air pun yang disediakan panitia. Artinya, rakyat menunjukkan ketulusan mereka mendukung Praboso-Sandi. Bahkan sebaliknya rakyat yang mengumpulkan dukungan dana untuk 02. Di banyak tempat. Prabowo-Sandi menjadi sangat terharu. Mereka berjanji tidak akan menyia-nyiakan dukungan rakyat. Tidak akan mengkhianatinya. Rakyat bersungguh-sungguh mendukung dan berjuang karena mereka tidak ingin rezim Jokowi berlanjut dua periode. Mereka ingin Prabowo yang memimpin Indonesia. Semua pertanda elektoral menunjukkan 02 akan menang. Menang telak. Akhirnya, perasaan rakyat tertusuk. Marah. Sangat marah. Ketika KPU akhirnya memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan dugaan kuat berdasarkan perhitungan curang. Curang besar. Yang kemudian diperkuat oleh keputusan aneh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Juni 2019. Alhamdulillah, proses yang dilakukan untuk memenangkan Jokowi oleh KPU dan MK berjalan lancar. Sebaliknya, tidak terjadi protes apa-apa dari Prabowo ketika dia dinyatakan kalah. Suatu kali, pertengahan Mei 2019, Prabowo menyatakan sikap tegas tentang dugaan kuat kecurangan pilpres. Beliau bersumpah tidakan membiarkannya. Akan melawan kecurangan yang tanda-tandanya sangat jelas. “Tidak mungkin saya meninggalkan rakyat Indonesia. Saya siap timbul dan akan tenggelam bersama rakyat sampai titik darah yang terakhir. Selama rakyat percaya dengan saya, selama itulah saya akan tetap bersama rakyat melawan kecurangan,” kata Sang Jenderal. Begitulah kisah Prabowo yang dimulai dengan semangat patriotisme, wakaf nyawa, wakaf sisa hidup, dan surat wasiat. Inilah figur gagah berani yang diidolakan rakyat. Ratusan juta rakyat. Tua, muda, laki-laki dan perempuan. Emak-emak dan nenek-nenek. Remaja dan anak-anak. Di mana ada kampung, di situ ada dominasi Prabowo. Tapi, sekarang, semua menjadi gelap. Orang-orang ‘inner circle’ (lingkaran inti) beliau menjadi tak jelas. Mereka semua memakai topeng abu-abu. Siap lompat mengabaikan Sang Jenderal. Untuk menerkam sisa-sisa kueh yang dirampok dari rakyat. Untuk merebut beberapa kursi jorok yang amis berbau darah. Pak Prabowo menjadi galau. Bumi di pijak, tapi langit tak dijunjung. Langit semakin tinggi, bumi terasa sempit. Dada pun sesak. Semoga saja masih ada peluang untuk “Hidup mulia, atau mati syahid”. Bukan “Hidup hina, mati sakit”. Namun, untuk saat ini, kelihatannya perjuangan Prabowo berakhir dengan mati langkah. Mati kutu. Wallahu a’lam.