OPINI
Rekonsiliasi, Upaya Jokowi Lepas dari "Dalang?"
Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Fakta bahwa selama ini Presiden Joko Widodo berada dalam “kendali” para dalang yang ada di belakang kekuasaan politiknya, sudah bukan rahasia lagi. Sebagian rakyat juga sudah tahu siapa saja “dalang” penyokong kekuasaan Presiden Jokowi. Meski pada awalnya Jokowi menolak ide rekonsiliasi, namun akhirnya mantan Walikota Solo ini menerimanya setelah mendapat tekanan dari “kekuatan besar” yang pegang data dan bukti pencurangan Pemilu (Pileg dan Pilpres), 17 April 2019 lalu. Mau buktinya? Republika.co.id, Selasa (Selasa 02 Jul 2019 17:33 WIB) menulis berita: Ketua KPU Tegur 12 Provinsi yang Belum Selesaikan Situng. Namun, anehnya, pada 21 Mei 2019 dini hari KPU sudah mengumumkan pemenang Pilpres 2019. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, tak masuk akal jika pengisian data situng belum tuntas 100 persen. Sebab, TPS didirikan dan data dari TPS pun ada. “Jadi, kenapa kok tidak bisa selesai 100 persen? Kenapa berhenti di tengah-tengah,” ujarnya. “Semuanya saya tegaskan harus selesai 100 persen. Supaya untuk Pilpres 2024 nanti juga bisa selesaikan 100 persen,” tegas Arief. Dia melanjutkan, ada 10 provinsi lain yang belum 100 persen menyelesaikan situng,” ungkapnya kepada wartawan. Yaitu: Kepulauan Riau (99,6 persen), Jabar (99,7 persen), Jatim (99,7 persen), Kalsel (99,8 persen), Sulut (99,9 persen), Maluku (75,9 persen), Malut (99,1 persen), Papua (71 persen) dan Papua Barat (79,9 persen) dan Sumut. Sangat janggal bukan? Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan upaya mencari keadilan dari paslon 02. Apakah keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara pelanggaran TSM yang diajukan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu adalah benar berdasarkan UU? Dapatkah Bawaslu menolak pemeriksaaan sebuah laporan dari peserta pemilu yang merasa dirugikan? Mengapa Bawaslu tidak bersedia memeriksa perkara tersebut? Apakah Bawaslu dibenarkan menolaknya dengan alasan perkara tak dilengkapi dengan bukti pendukung? Bukti pendukung apa yang dimaksud oleh Bawaslu?Apakah bukti DPT Papua yang 3,5 juta, sedangkan jumlah penduduk Papua hanya 3,3 juta tidak merupakan bukti pendukung? Fakta bahwa pelanggaran pemilu secara TSM sudah menjadi pengetahuan publik. Fakta bahwa Prabowo – Sandi meraih suara pemilih terbanyak. Fakta bahwa aparat, KPU, Bawaslu, MK tidak netral, berpihak pada paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan koalisi partai pengusung 01. Fakta bahwa hasil pemilu dimanipulasi. Fakta Bawaslu berpihak ke 01 dan menjadi bagian dari pelanggaran TSM/pencurangan pemilu terlihat jelas pada keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara yang diajukan 02. Fakta bahwa Bawaslu membiarkan pelanggaran TSM oleh KPU, yang seharusnya menjadi tugas/kewajiban Bawaslu mencegahnya. Contoh pelanggaran TSM oleh KPU yang dibiarkan Bawaslu: Penetapan DPT 2019 sebesar 193 juta pemilih, di mana adanya dugaan terdapat sedikitnya 17,5 juta pemilih ilegal sudah disampaikan oleh paslon 02 ke KPU, namun tidak ditanggapi KPU. Seharusnya Bawaslu memeriksa KPU atas penetapan DPT 2019. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang diabaikan Bawaslu. Penetapan rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak transparan, pada pukul 01.00 dini hari, tidak didukung bukti C1 TPS, tidak disetujui paslon 02, kolutif dan manipulatif Tidak Diperiksa oleh Bawaslu. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang tidak diperiksa Bawaslu. Penyajian Rekap hasil pemilu pada Situng yang telah terbukti mengandung banyak kesalahan, sudah dilaporkan dan dibuktikan 02, namun tetap diteruskan oleh KPU. Fakta bahwa Situng sampai hari ini Gagal menuntaskan Rekap Pemilu. Banyak contoh pelanggaran TSM oleh kubu 01 yang sudah dilaporkan ke Bawaslu dan sebagian sudah diperiksa di MK, di mana pemeriksaan di MK itu jadi sia-sia karena MK dalam putusan menyatakan pelanggaran TSM itu kewenangan Bawaslu. Jadi, untuk apa MK periksa jika sebut Bawaslu yang berwenang. Alasan KPU menetapkan DPT 193 juta dan Rekap Pemilih 2019 sebesar 199,3 juta adalah menjamin hak pilih warga negara sudah terbukti sebagai alasan palsu. Padahal, alasan sebenarnya adalah agar KPU mudah memanipulasi hasil pemilu yang bisa merugikan 02 dan partai-partai tertentu peserta pemilu. Alasan KPU menetapkan 267 ribu TPS tambahan untuk memudahkan dan mempercepat proses PSU dan penetapan Rekap hasil pemilu sudah terbukti adalah alasan palsu. Hingga hari ini KPU tidak bisa menyajikan rekap 813.336 TPS berdasarkan rekap C1 yang sah. Padahal, alasan KPU sebenarnya dalam penetapan 267 ribu TPS Tambahan adalah: Pertama, sebagai sumber puluhan juta suara siluman yang ditambahkan untuk 01, PDIP, dan Nasdem; Kedua, untuk mencegah paslon 02 membuktikan pencurangan/manipulasi karena mustahil 02 dapat menyediakan 267 ribu saksi di TPS tambahan. Penetapan KPU menambah 267 ribu TPS baru sangat merugikan 02 dan hampir semua partai peserta pemilu, incasu penyediaan minimal 267 ribu saksi dengan waktu-sumber daya yang sangat terbatas. Penambahan 267 ribu TPS ini adalah bukti pelanggaran TSM oleh KPU, tapi dibiarkan oleh Bawaslu. Itulah sebagian pencurangan yang data dan buktinya telah dipegang oleh “kekuatan besar” tadi. Dengan fakta yang disodorkan ini, Jokowi hanya pasrah. Lepas Dalang Meski paslon 01 telah ditetapkan KPU berdasarkan putusan MK dan MA, tampaknya Jokowi dan TKN Jokowi – Ma’ruf belum yakin benar dengan “kemenangan” yang dipegangnya. Ini terlihat dari betapa risaunya mereka sebelum Jokowi bertemu Prabowo. Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus bisa disebut sebagai upaya rekonsiliasi yang dirancang bersama Teuku Umar (diwakili Budi Gunawan), Cendana, dan Hambalang (Prabowo). Ini lepas dari “Dalang” Penyokong Utama Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan AM Hendro Priyono adalah tiga jenderal purnawirawan penyokong utama Jokowi sejak menjabat Walikota Solo, selain CSIS. Ketiganya adalah tokoh utama di balik keberhasilan Jokowi menjadi presiden 2014-2019 dan penguasa sebenarnya di balik rezim Jokowi. Namun, posisi SBY adalah primus inter pares di antara tokoh-tokoh tersebut. Hendro, tokoh penemu, perekrut, dan pembina awal Jokowi sejal 2006. Luhut adalah tokoh penyandang dana segala pencitraan Jokowi pada masa-masa awal (2007-2011) melalui aliran uang puluhan miliar dari PT Toba Sejahtra ke PT Rakabu Sejahtera. Namun, SBY adalah tokoh terakhir namun menentukan. Selain ketiga jenderal itu, juga ada nama Letjen TNI Agus Widjojo (sekarang Gubernur Lemhanas) yang sudah terlibat dalam persiapan menjadikan Jokowi sebagai “presiden proksi”. Masih ada puluhan jenderal lain eks kelompok Begawan yang sejak 2011 turut membantu kemenangan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Jadi, wajar saja jika masih ada sebagian jenderal yang “setia” di belakang Jokowi. SBY tetap primus inter pares di antara semuanya. Posisinya sebagai presiden, strategi politik yang luar biasa, deception tiada tara, sumber daya yang lebih dari cukup dan lain-lain sudah menjadi jaminan keberhasilan Jokowi menang Pilkada 2012 dan Pilpres 2014. Catat, tanpa SBY, Jokowi bukan siapa-siapa! Sebagai primus inter pares, SBY memperoleh konsesi politik jauh lebih besar bila dibandingkan Hendro, LBP, dan yang lainnya dalam pemerintahan Jokowi. SBY adalah pemegang saham terbesar rezim Jokowi. Dari Singapura, SBY melempar gagasan untuk segera membuka ruang dialog antara Jokowi dengan Prabowo. Lantas, dilanjutkan dengan kecamannya kepada pihak-pihak tertentu yang melarang keras dan mengharamkan Prabowo bertemu Jokowi. Semua ini terjadi pasca pembatalan Prabowo untuk menemui SBY di Singapura. Pembatalan pertemuan Prabowo – SBY di Singapura adalah langkah tepat. Belakangan, saat takziyah di Puri Cikeas, SBY malah mendesak agar Prabowo “mengalah” lagi. Tak seperti pasca Pilpres 2014, kali ini Prabowo dengan tegas menolak permintaan SBY itu. Pasalnya, banyak data dan bukti terjadi pencurangan Pilpres 2019. Apalagi, saat persidangan PHPU di MK, persoalan pencurangan itu dilihat dan didengar rakyat. Meski pada akhirnya dikalahkan oleh MK dan dikuatkan MA, toh tampaknya Jokowi belum yakin benar dengan kemenangannya itu. Makanya, Jokowi dan kubunya sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Akhirnya, bertemulah keduanya di Lebak Bulus itu. Menariknya, pertemuan Jokowi – Prabowo itu tidak dihadiri oleh Luhut yang selama ini setia mendampingi Jokowi. Apakah ini pertanda Jokowi ingin melepaskan diri dari kendali Luhut Cs untuk rekonsiliasi bersama Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang? Kehadiran BG dalam pertemuan itu sangat mencolok. Boleh jadi, BG-lah yang ikut mengatur pertemuan Jokowi – Prabowo tersebut. Selain sebagai Kepala BIN, BG bisa dianggap sebagai tokoh yang “mewakili” Megawati Soekarnoputri (Teuku Umar). Tidak hadirnya Luhut yang selama ini digambarkan sebagai The Real President RI tersebut setidaknya bisa menjadi bukti adanya faksi dalam internal penyokong dan pendukung paslon 01. Sudah sejak 2015 Rencana Pilpres Jokowi vs Prabowo disiapkan. Penunggangan KPK – KPU – Bawaslu – MK disiapkan. Semua harus memenangkan Jokowi segala cara. Mastermind-nya SBY – Luhut – Hendro – CSIS. Kini, Jokowi mau lepas diri? ***
Misteri Pertamina di Del Sopo
Oleh Bagus Ra Kuti (Wartawan Senior) Rieke Diah Pitaloka mengorek dan mengapungkan masalah sensitif soal kelakuan pejabat tinggi negeri ini. Anggota komisi VI DPR RI ini, Kamis (18/7) mencecar Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, terkait rencana perpindahan gedung kantor BUMN migas itu dari kawasan Medan Merdeka Jakarta ke gedung Sopo Del milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. "Proses penunjukkannya seperti apa, kami minta data tertulis supaya semua ada datanya karena ini perusahaan negara. Janggal atau tidak? Urgensinya apa dan harus tertulis," cecar Rieke. Sesungguhnya isu tentang boyongan kantor PT Pertamina ke Sopo Del sudah tercium publik sebelum pemilu. Kala itu, Pertamina melelang proyek mengangkut-angkut barang pindahan tersebut di webnya. Sejumlah pihak mulai bergunjing. Rupanya isu itu benar. Eksekusinya dalam waktu dekat. Gedung milik Luhut itu bernama lengkap Sopo Del Office Tower and Lifestyle Center. Lokasinya di kawasan Mega Kuningan III, Jakarta Pusat. "Kami terharu kok bisa begini (memiliki gedung). Hidup itu ya begitulah, ini mistery of life," kata Luhut dalam acara peresmian gedung tersebut 19 Januari 2018 lalu. Luhut pantas bersyukur. Nggak dinyana, karir politik dan bisnis pensiunan jenderal ini moncer di masa tuanya. Gedung itu bertemakan budaya Batak Toba. Nama "Sopo" diambil dari Bahasa Batak yang berarti rumah atau tempat bernaung. Sedangkan Del berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti "selangkah lebih maju". Nama-nama ruangan diambil dari Bahasa Batak, semisal Tahuluk, Sortali, Artia, Anggara, Ringkar, Sikkora, dan Samisara. Kala itu, Luhut melakukan soft opening gedung mengundang koleganya di pemerintahan, partai politik, dan bisnis. Tampak hadir di antaranya Staf Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi; Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto; Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono. Sopo Del terdiri dari tiga tower dibangun di atas tanah seluas 1,7 hektare. Konstruksi gedung ini dikerjakan oleh perusahaan pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tower A terdiri dari 33 lantai dengan floor plan 1.900 meter persegi. Adapun Tower B yang menjadi perkantoran strata terdiri dari 18 lantai dengan floor plan 1.300 meter persegi. Tentu saja, tiga tower ini tak mungkin ditempati sebagai kantor perusahaan milik Luhut sendiri. Bisnis properti lagi menawarkan cuan tinggi. Luhut perlu membuka sewa perkantoran. Sebagai pejabat tinggi, tentu saja tak sulit baginya membisiki sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk berkantor di Del Sopo. Nicke menyebutnya itu hanya pindah sementara. Tak cuma pindah ke Sopo Del tetapi juga ke Menara Mandiri. "Pindah sementara iya sedang disiapkan, karena kita mau ke Menara Mandiri. Annex ke Sopo Del iya. Sudah ya," katanya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (19/7). Dia juga bilang dipilihnya gedung Sopo Del sudah melewati proses tender dan prosedur sesuai standar dari berbagai opsi pilihan lokasi dan gedung. Selama ini Pertamina berkantor di gedung miliknya sendiri di kawasan Medan Merdeka Jakarta. Gedung itu menurut Direktur Keuangan Pertamina, Pahala Mansury, akan direnovasi tahun depan. Wakil rakyat pantas mempermasalahkan dipilihnya Sopo Del untuk kantor BUMN migas kebanggaan bangsa ini. Jangan sampai hal itu dibiarkan sebagai misteri sehingga menjadi pelampiasan bagi pihak-pihak tertentu untuk menyalurkan hasrat aji mumpung. Mempung lagi menjabat, mumpung lagi kuat. Mumpung …mumpung …
Misteri Pertemuan Prabowo-Jokowi, Manuver Siapa?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengunggah sebuah gambar dalam akun Instagramnya @prabowo setelah pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Statisun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019). Prabowo menegaskan, ia tak akan pernah terjadi tawar menawar terhadap cita-cita dan nilai yang dipegangnya. “Seluruh hidup saya telah saya persembahkan kepada kepentingan Bangsa dan Republik Indonesia,” ungkapnya. “Saya tidak akan pernah tawar-menawar terhadap cita-cita dan nilai yang saya pegang yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur,” kata Prabowo. Ia juga menginginkan Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat Indonesia yang menikmati hasil kekayaan dari Indonesia sendiri. “Indonesia yang utuh dari Sabang sampai Merauke, Bhinneka Tunggal Ika yang berdasarkan UUD ’45,” tulis Prabowo dalam akun Instagramnya @prabowo. Sebelumnya, Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo Subianto Sabtu pagi tadi di Stasiun MRT Lebak Bulus. Pertemuan ini adalah hasil kerja sama tiga tokoh penting. Mereka adalah Kepala BIN Budi Gunawan, Sekretaris Kabinet yang juga politisi PDIP Pramono Anung dan politisi Partai Gerindra Edhy Prabowo. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengakui, Prabowo menyuratinya soal pertemuan dengan Jokowi. Dalam surat tersebut Prabowo menjelaskan tujuan bertemu Jokowi. Jumat (22/7/2019) sekitar pukul 23.00 WIB, utusan Prabowo antar surat ke rumahnya untuk memberitahu, besok atau lusa atau lain waktu, Prabowo akan bertemu Jokowi. “Tujuannya menjaga hubungan baik. Tidak disebutkan agendanya secara spesifik,” kata Sohibul. Ia menilai pertemuan tersebut wajar saja terjadi. Sebab, setiap partai memiliki sikap masing-masing. “Tidak setiap langkah politik elit harus dikomentari. Entar bikin gaduh. PKS tentu juga punya sikap politik sendiri yang akan ditentukan melalui Musyawarah Majelis Syuro,” kata Sohibul, Senin (15/7/2019). Sebelumnya, surat serupa juga dikirim Prabowo kepada Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais. Ia mengatakan mantan capres Prabowo sempat mengirimkan surat padanya ke kediamannya di Jogjakarta pada 12 Juli 2019. Seperti dilansir Viva.co.id, Senin (15/7/2019), surat tersebut berisi pemberitahuan Prabowo yang akan bertemu Jokowi pada Sabtu, 13 Juli 2019. “Isinya Pak Amien, kemungkinan 13 Juli akan ada pertemuan dengan Jokowi. Bagi saya Pak Amien, kepentingan lebih besar yaitu keutuhan bangsa NKRI, itu lebih saya pentingkan,” kata Amien menirukan surat Prabowo padanya, Senin, 15 Juli 2019. Ia menambahkan pada paragraf kedua surat Prabowo, dituliskan setelah pertemuan tersebut, Prabowo akan menemui Amien di Jogjakarta atau Jakarta. Dan, Selasa (16/7/2019), Amien sudah bertemu Prabowo di Jakarta. Terkait isu Rekonsiliasi, lucu baginya bila dalam bentuk bagi-bagi kursi. Justru bagi kursi bukanlah rekonsiliasi karena dianggap politisi tak lagi memiliki kekuatan moral dan tidak memegang disiplin partai. “Sekarang saya tetap, rekonsiliasi agar bangsa tak pecah saya 1.000 persen setuju, Mbah-nya setuju. Tapi, jangan sampai itu diwujudkan dengan bagi-bagi kursi, karena apa gunanya dulu bertanding ada dua paslon tapi ujung-ujungnya lantas bagi-bagi,” kata Amien. Perang Dalang Ada yang menarik dari catatan Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. “Lepas dari sikap kritis saya terhadap langkah politik Prabowo, amati riil politiknya. Kesampingkan dulu emosi. Jadi jangan cuma retorika. Atau spekulasi,” katanya. Ibarat cerita. Kita petakan dulu para aktornya. Pertama, di pihak Jokowi, principal character-nya ada tiga. Budi Gunawan, Pramono Anung, dan Erick Tohir. Di pihak Prabowo, ada dua. Ahmad Muzani dan Edhy Prabowo. “Apa yang bisa kita simpulkan sampai di sini. Kedua kubu nggak ingin bawa banyak pemain yang bikin ribet,” lanjut Hendrajit kepada PepNews.com. Kedua, seperti dalam tulisan Hendrajit sebelumnya, dengan formasi tiga serangkai BG-Pram-Erick, dirigen politik adalah BG. Apa karena dia Kepala BIN? Bukan. BG ini hububungan aatau pemain penghubung Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla sejak 2014. Karena BG orang kepercayaan Mega dari dulu. Kemudian, Pram. Sebetulnya dia juga orang kepercayaan Mega, tapi dari sayap lain. Dia alumni ITB. Beberapa kali jadi direktur operasi beberapa perusahaan minyak. Orang dekat pengusaha minyak Arifin Panigoro. Hebatnya Pram yang asli Jawatimuran (tepatnya Kediri) ini, bisa main cantik di PDIP, jadi orang kepercayaan Mega, tapi tak dimusuhi Taufik Kiemas (alm). Biasanya kalau dekat salah satu, pasti tidak disenangi satunya. “Jadi kalau Pram jadi Sekretaris Kabinet Jokowi, bisa kebayang kan pengaruhnya kayak apa,” ungkap Hendrajit. Bagaimana Erick? Tentu saja dia dilibatkan dalam pertemuan MRT bukan karena Ketua TKN Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Tapi karena Erick itu pengusaha dari jaringan JK. Dan bersama Sandi, sama-sama termasuk Astra Connection. Apapun ceritanya dulu, Erick dan Sandi pernah dekat Edward Suryajaya. “Eng ing eng. Mulai nyambung ye?” lanjutnya. Dalam formasi Prabowo, ada Muzani, orang setia Prabowo dari jaman masih susah plus Edhy Prabowo. Dari sini saja bisa tergambar, Prabowo ingin pegang kendali penuh. Tanpa direcoki pemain-pemain Gerindra lainnya yang punya hobi improvisasi. Setelah memotret para aktor. Apa skema dan skenario dari perundingan para aktor tersebut? Okelah anggap saja polibiro lima memang nggak diikutkan dengan berbagai alasan. Tapi apa agenda yang mau diseting Mega, JK, dan Prabowo? Inilah pertanyaan krusial di balik kemarahan dan kekecewaan publik pendukung Prabowo. Sebab kalau melihat konstruksi para aktor yang manggung di MRT, kelihatan sekali sarat kepentingan ekonomi bisnis para konglomerat. Semua itu terkait migas, tambang batubara, dan otomotif. Amerika Serikat, Jepang, China, pastinya ikut nimbrung juga. JK misalnya, dekat dengan Huwa Huwei. Erick dan Sandi dekat Astra dan Jepang. “Melalui keduanya, kalau Ginanjar Kartasasmita dan Jepang deal, Sandi dan Erick yang jadi eksekutornya di tingkat teknis,” ungkap Hendrajit. Lantas bagaimana dengan gang of five. AM Hendropriyono meski tak ikutan acara MRT, dia sekutu Ginanjar saat 1998 rame-rame mundur dari Kabinet Suharto. Luhut Binsar Panjaitan juga sama. Dia dan Arifin sudah Cs-an dari sejak KAMI-KAPPI 1966 waktu di Bandung. Arifin lebih senior. Apalagi ayahnya Luhut pernah di Stanvac, cikal bakal Medco miliknya Arifin. Susilo Bambang Yudhoyono juga seirama sama Hendro dan Luhut. Cuma kemudian SBY mampu membuat jaringan dan komunitas sendiri. Sehingga Hendro dan Luhut tidak bisa mengatur junior satu ini seenaknya. Dan Moeldoko walau pernah jadi Sekpri Hendro, lebih solid hubungannnya dengan SBY. Makanya, waktu masuk jadi Kepala KSP, Pram dan Pratikno, apalagi Teten Masduki, sempat kelimpungan. “Tapi sekarang kabarnya semua sudah happy. Dapat bagian yang sama,” ujar Hendrajit. Well, inilah medan tempur yang harus dihadapi Prabowo dalam perang diplomasi pasca pertemuan MRT? Prabowo yang mampu mengubah sistem atau malah terserap dan diubah oleh sistem? “Sekarang ngerti sendiri dong kalau emak-emak militan pada meradang?” lanjut Hendrajit. Hanya sampai di sinikah? Ternyata tidak juga. Coba saja petakan lagi siapa yang hadir saat Jokowi bertemu Prabowo. Prabowo bertemu Jokowi tersebut, bukan akhir dari Pilpres 2019. Tapi, ini adalah awal dari sebuah cerita. Pertemuan Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang. Kisahnya makin berbelit dan penuh kejutan buat SBY, Luhut, dan Hendro, serta CSIS. Mengapa Luhut yang biasanya selalu “mengawal” Jokowi tidak tampak batang hidungnya? Kalau Hendro dan SBY jelas tidak pernah secara atraktif menunjukkan berada di belakang Jokowi. SBY adalah primus inter pares diantara ketiganya. Saya yakin, saat ini yang kebingungan adalah SBY Cs dan CSIS. Kubu mereka selama ini berharap Prabowo tak menemui Jokowi, sehingga lebih mudah memainkan Jokowi. Inilah perangnya Ki Dalang di belakang Jokowi maupun Prabowo. Manuver MRT Lebak Bulus ini insya’ Allah akan berefek positif, paling cepat sepekan ke depan! ***
Saling Cakar di Internal Golkar
Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Ketua DPD II Golkar Cirebon Toto Sunanto mengaku dipecat. Toto menyebut pemecatan lantaran dirinya mendukung Bambang Soesatyo (Bamsoet) sebagai calon ketua umum Partai Golkar. DPP Partai Golkar membantah klaim tersebut. Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily mendapatkan informasi berbeda dari Ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi membenarkan ada pemecatan terhadap Ketua DPD Partai Golkar Kota Cirebon, Toto Sunarto. Namun menurut Dedi, pemecatan itu bukan karena Toto mendukung Bambang Soesatyo sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Dia menjelaskan, pemecatan terhadap Toto dilakukan pada dari 18 Juni 2019 lalu karena diduga melakukan sejumlah pelanggaran. Keputusan itu mengacu pada Surat Keputusan DPD Partai Golkar Jabar NOMOR : KEP- 116 /GOLKAR/VII/2019 tentang Pembentukan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Golkar Kota Cirebon. Sebelum melanjutkan membaca ulasan artikel ini, Anda perlu membaca ulang tulisan saya yang berjudul : Golkar dan Masa Depan Politik Ken Arok. Jadi, saya tegaskan bahwa soal perebutan kekuasan partai di kubu-kubu Golkar itu sudah biasa. Pasca konggres terjadi pembersihan trah politik di tubuh Golkar itu juga cerita lama. Anda masih ingat, pasca lengsernya ketum partai, Golkar mengalami proses pembersihan sejumlah loyalis eks Ketum di struktur Golkar yang baru. Sejarah de-wahonoisasi, de-harmokoisasi, de-akbarisasi, hingga de-ichalisasi, adalah potret dimana loyalis Ketum langsung dipangkas oleh Ketum yang baru dan tak diberi peran signifikan dalam stuktur kepengurusan partai. Kasus ini bukan murni terjadi pada Golkar, hal ini juga terjadi pada PKB, PPP, dan PKS. Di PKB ada program de-gusdurisasi yang digelorakan Cak Imin. Di PPP ada de-suryadharmaisasi ketika era Romi sebelum dicokok KPK. Di PKS ada de-anisisasi, pasca Anis Matta lengser dari kursi Ketum, semua loyalis Anis -termasuk Fahri Hamzah- didepak dari struktur pengurus inti partai. Kembali kepada kasus Golkar, pemecatan ketua DPD Golkar Cirebon itu tidak lepas dari dinamika perebutan kursi kekuasan, baik di partai dan didalam pemerintahan, yang dapat kita simpulan dari realitas politik sebagai berikut : Pertama, Toto Sunanto adalah loyalis Bamsoet. Dia dipecat sesaat setelah menyatakan dukungan bagi Bamsoet. Jadi, alasan pemecatan karena mendukung Bamsoet secara politik itu yang dapat diyakini kebenarannya. Adapun soal lain, soal laporan keuangan partai, soal pelanggaran AD ART itu dalih saja. Kalau mau dipecat, sangat mudah mencari kesalahan dan dibenturkan dengan AD ART partai. Apalagi, secara umum semua kader partai apalagi menjabat pimpinan struktural, mustahil tak memiliki borok politik. Secara internal, manuver Toto ini berbahaya bagi Airlangga. Secara berjenjang, juga berbahaya bagi Dedi Mulyadi selaku Ketum DPD Golkar Jabar. Dedi Mulyadi adalah tokoh gerbong politik Airlangga, trah Luhut, sehingga perlu menertibkan bawahannya untuk mengamankan klan politik Golkar yang dia berada dalam naungannya. Kedua, selain motif internal untuk mengamankan posisi Airlangga, langkah ini juga diyakini untuk memuluskan proses tawar menawar posisi menteri Golkar yang sedang dipandu oleh Airlangga selaku Ketum. Dedi Mulyadi yang namanya disebut-sebut masuk bursa calon menteri dari Golkar, merasa wajib mengamankan posisi Airlangga sebagai juru runding Golkar untuk bernegosiasi dengan rezim Jokowi, agar proposal menteri -dimana Dedi Mulyadi ada didalamnya- dapat diamankan. Jika posisi Airlangga tergeser Bamsoet, apalagi jika konggres dipercepat sebelum Desember, maka juru runding Golkar untuk negosiasi jabatan menteri bukan lagi Airlangga tetapi Bamsoet. Jika Bamsoet yang memimpin proses negosiasi, sudah jelas nama Dedi Mulyadi dicoret dari daftar calon menteri dan digantikan oleh loyalis Bamsoet. Jadi, pemecatan ketua DPD II Golkar Cirebon itu sangat berkaitan era dengan dinamika perebutan kursi kekuasan partai Golkar sekaligus perebutan kursi kekuasan menteri di pemerintahan Jokowi - Ma'ruf. Sampai disini Anda paham bukan ? Bahwa kerjaan partai itu hanya berebut kekuasaan, mereka tidak pernah memikirkan kita, mereka tidak pernah memikirkan rakyat. [].
Ruwetnya Jokowi Bagi Bagi Kursi
Oleh Nasrudin Joha Hihihi, ternyata yang paling ruwet itu bukan memenangkan konstestasi. Untuk menang, rumusnya sederhana : curang. Untuk curang, rumusnya juga sederhana : kuasai seluruh lembaga otoritas pemilihan dan alur justisia jika terjadi sengketa. Tapi, yang ruwet dan super membingungkan itu bagaimana membagi kompensasi kemenangan. Sebab, dengan rumus apapun proses distribusi menteri dan jabatan strategis kabinet Jokowi - Ma'ruf, sulit menemukan kata 'adil' dan 'sepakat' dari semua mitra koalisi. Pertama, jika porsi menteri dibagi berdasarkan jumlah kursi parlemen yang diperoleh partai di Senayan, jelas rumus ini tak akan bikin Happy semua partai. Hanura, PKPI, PSI, PPP akan merasa dirugikan. Hanura contohnya, Wiranto berani berada terdepan pasang badan untuk Jokowi. Bahkan, seluruh 'ancaman' elektabilitas secara politik, hukum dan keamanan, di back up penuh Wiranto. Padahal, Hanura tak punya satupun kursi di Senayan. Lantas, apakah kemudian Hanura juga tidak punya jatah menteri ? PSI dan PKPI juga sama, meski tak lolos Senayan keduanya 'getol' dukung Jokowi. Masak, mereka dianggap cuma kerja bhakti ? Masak tidak ada satupun jatah kursi ? Jika rumus porsi menteri berdasarkan porsi kursi parlemen yang diperoleh partai pendukung secara proporsional sebagaimana diusulkan JK, jelas ini akan membuat PSI, PKPI dan Hanura meradang. Hal ini, juga akan menyengsarakan PPP. Sebab, suara PPP turun drastis, tapi komitmen dukungan PPP pada Pilpres 2019 jelas jauh lebih besar ketimbang Pilpres 2014. Dahulu, dengan modal merapat saja PPP dapat satu porsi menteri. Masak, sekarang sejak awal berjibaku untuk Jokowi tidak ada tambahan ? Kedua, jika distribusi menteri dibagi berdasarkan rumus siapa yang paling awal bersama Jokowi ini juga akan membuat beberapa partai yang terakhir merapat menjadi tidak enak body. Misalnya saja, PBB yang baru merapat, atau kemudian PAN dan Gerindra yang mungkin merapat, jelas tak mau jika merapat tanpa jatah menteri. PAN dan Gerindra memang tidak punya andil sejak awal untuk memenangkan Jokowi, tapi PAN dan Gerindra -jika jadi merapat ke Jokowi- jelas punya peran besar memberikan legitimasi bagi kemenangan Jokowi. Konon, peran ini yang semula hendak dimainkan SBY saat membawa partainya merapat ke kubu Jokowi, bahkan pasca Ani meninggal, SBY saat Lebaran secara khusus kirim putra mahkota ke petinggi kubu Jokowi. Namun nahas, rupanya era politik SBY sudah berakhir. Semua kubu, baik 02 maupun 01 justru mengambil jarak dengan Demokrat. Ketiga, jika distribusi menteri berdasarkan proposal partai pendukung ini lebih memusingkan. PKB minta 10 kursi, Nasdem minta 11, Golkar suaranya lebih besar dari PKB dan tentu layak dapat jatah lebih besar, NU minta porsi sendiri dari jalur ormas bukan melalui jalur partai (PPP atau PKB), sedangkan PDIP justru geleng-geleng kepala sebagai partai pemenang harus mengajukan berapa. Jumlah menteri di kabinet Jokowi 34 dan 8 setingkat menteri. Sekarang PKB minta 10 Nasdem minta 11 Golkar lebih dari 11, terus PDIP berapa? PPP HANURA, PBB, PSI, berapa totalnya ? Pusing kan ? Ada benarnya juga usulan Bamsoet untuk bentuk nomenklatur kementrian baru, biar semua dapat jatah. Kementrian kebahagiaan, bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri. Kalau perlu bikin 1000 pos kementrian baru, kan Jokowi tinggal Teken Perpres ? Tak perlu baca dulu, langsung Teken saja. Makanya, kelakuan partai saat ini persis seperti anjing yang sedang menancapkan kuku dan taring pada daging buruan hasil kecurangan. Sambil mengeram, semua saling mengklaim paling berhak. PKB jelas, akan menancapkan kuku dan taring agar saham kemenpora dan Kemenakertrans tidak luput. Sambil terus menggonggong mencari porsi tambahan. PPP terus memegang kencang kursi Menag, meski meminta sejumlah porsi tambahan tapi bagi PPP jika porsi Menag masih ditangan, lumayan lah. Golkar, terus menggigit jatah di Mensos dan Menperindustrian. Nasdem Pasti menggigit kuat dengan gigi geraham porsi Mendag dan Jaksa Agung. Nasdem, paham betul betapa legitnya 'jualan barang' dan 'jualan kasus'. Demikianlah, anjing anjing partai ini saling menggonggong agar dapat jatah tulang lebih. Mereka, terus bermanuver agar tidak dipecundangi mitra koalisi. Pertarungan Sesungguhnya di kubu Jokowi, baru dimulai saat ini. Sementara darah dan nyawa yang melayang di peristiwa 21-22 Mei, nyawa 700 lebih anggota KPPS, tidak pernah difikirkan oleh anjing-anjing partai. Itulah realitas Demokrasi yang Anda bangga-banggakan. [].
Pasca Pemilu 2019: Langit Indonesia Makin Hitam
Oleh Ahmad Sastra Jakarta, FNN - Baru di tahun 2019, pemenang pemilu versi KPU tidak disambut antusias oleh mayoritas rakyat dan negara tetangga. Tidak ada ucapan selamat yang secara resmi ditujukan kepada pemenang pilpres. Nampaknya rakyat pesimis akan terjadi perubahan yang lebih baik atas negeri ini. Proyeksi pasca pemilu 2019, Indonesia akan makin diselimuti awan hitam yang menandakan masa depan suram atas bangsa ini. Bahkan seandainya pasangan pemenang dilantik sekalipun, bukan berarti urusan negeri ini akan beres. Sebab secara ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik makin menunjukkan kondisi karut marut. Revolusi mental yang telah dicanangkan bahkan cenderung sekuleristik dan mengabaikan etika agama. Akibatnya, rakyat akan makin merasakan ketidakjelasan masa depan bangsa ini. Di bidang ekonomi, tugas berat pasangan Jokowi-Ma’ruf harus menyelesaikan setidaknya lima beban berat ekonomi yakni kenaikan utang luar negeri, merosotnya nilai rupiah terhadap dolar, defisit neraca perdagangan, rendahnya target pertumbuhan ekonomi dan lesunya perekonomian sektor riil. Berbagai kasus korupsi dalam masa pemerintahan Jokowi juga belum tertangani dengan baik, tidak seperti yang dijanjikan dalam kampanye. Menurut Pusat Kajian Anti Korupsi (pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta, penanganan kasus korupsi masa Jokowi masih jauh dari harapan. Bahkan sebagaimana diketahui, justru banyak pendukung Jokowi, mulai dari menteri, anggota dewan, kepala-kepala daerah dan melibatkan 12 partai politik yang notabene mendukung Jokowi. Sistem politik transaksional padat biaya ala demokrasi justru telah menyeret bangsa ini dalam kubangan dalam jerat korupsi, kolusi dan nepotisme. Periode kedua, belum ada tanda-tanda korupsi akan berkurang, bisa jadi malah tambah parah. Dalam bahasa Ahmad Syafii Maarif, demokrasi itu cacat dan banyak bopengnya. Maarif membeberkan gambaran demokrasi yang tak kunjung menemukan bentuk yang memuaskan. Diakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang sarat dengan praktek politik uang (money politic). Bahkan demokrasi juga jauh panggang dari api soal pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam hal pemerataan kesejahteraan rakyat, bagi Syafii, demokrasi sangat mengecewakan. Indonesia akan terus bergelut dan berputar dalam lingkaran setan yang melelahkan (Republika,16/04/19). Komunisme dan kapitalisme adalah dua ideologi yang penuh nafsu dan tidak punya tenggang rasa. Tuhan telah mati dalam kesadarannya. Manusia merupakan sasaran penipuan. Yang satu bangkit untuk dahaga revolusi, yang lain giat mengejar pajak. Di antara dua batu, manusia remuk binasa (Sir Muhammad Iqbal, Javid Nama, h. 52). Terbukti dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme demokrasi, negeri ini justru makin terpuruk dan terjerat hutang rentenir dunia yang makin menggunung hingga disebut sebagai telah mencapai level berbahaya. Bahkan di tahun 2019, pemerintah harus membayar utang yang sudah jatuh tempo sebesar 409 triliun. Dalam statistik hutang luar negeri Indonesia edisi Maret 2019 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, pemerintah mencatat ULN sebesar 383,3 miliar dolar atau setara dengan Rp. 5.366 triliun dengan kurs Rp. 14.000. Utang LN Indonesia mengalami kenaikan sebesar 77 triliun dibandingkan dengan posisi pada akhir periode sebelumnya. Hal ini terjadi karena neto transaksi penarikan ULN dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga utang dalam rupiah yang dimiliki oleh investor asing tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS. Utang LN Indonesia terdiri dari utang pemerintah dan bank central sebesar 190,2 miliar dolar (Rp. 2.663 triliun), serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 193,1 miliar dolar (Rp. 2.703 triliun). Hal belum lagi dihitung per April disaat negeri ini menandatangani proyek OBOR China yang artinya akan menambah lagi jeratan utang LN. Kenaikan pajak akibat menggunungnya utang negara akan diikuti pula oleh PHK besar-besaran perusahaan yang tak bisa bertahan. Sementara daya beli masyarakat akan turun drastis. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut total karyawan yang kena PHK dalam kurun 2015-2018 mencapai satu juta karyawan. Perusahaan yang merumahkan karyawannya diantaranya PT Krakatau Steel (persero) Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Menurut sosiolog muslim terkemuka, Ibnu Khaldun (1332-1406), tanda kehancuran suatu negara adalah saat negara tersebut menarik pajak yang tinggi. Masih menurutnya, suatu peradaban akan runtuh disebabkan oleh lima hal. Pertama, ketidakadilan, yang menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin begitu lebar. Kedua, merajalelanya penindasan, yang kuat menindas yang lemah. Ketiga, runtuhnya adab atau moralitas para pemimpin negara. Keempat, pemimpin yang tertutup, tidak bisa dinasehati, meski berbuat salah. Kelima, bencana alam besar-besaran. Ironisnya, kelima indikator ini ada di negeri ini. Kondisi ini ditambah ironi yang tak kalah berbahaya yakni bahwa skema utang luar negeri Indonesia dengan menggunakan bunga atau riba yang justru sangat dilarang oleh Islam. Bahkan jika tak mampu bayar utang, sebagaiman terjadi di negera Sri Langka, maka negara itu harus menyerahkan aset negaranya untuk dikuasai China. Allah dengan tegas mengingatkan akan bahaya riba dalam Al Qur’an : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. (QS Al Baqarah : 275). Allah begitu murka kepada praktek utang dengan skema ribawi ini, sebab selain merupakan kegagalan sistem, riba juga akan mendatangkan ketidakberkahan sosial. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS Al Baqarah : 279). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS Ali Imran : 130-131). Keterpurukan ekonomi akibat penerapan demokrasi kapitalisme akan ditambah persoalan sosial, budaya dan keagamaan akibat liberalisme dan HAM. Demokrasi liberal dengan tegas menolak hadirnya syariat Islam, tapi mendukung berbagai bentuk amoralitas seperti LGBT, seks bebas, prostitusi dan sejenisnya atas nama HAM. Menolak Islam tapi mendukung kemungkaran akan mendatangkan murka Allah atas bangsa ini. Revolusi mental yang nampaknya akan semakin menjauhkan generasi anak bangsa dari agamanya ditambah aliran Islam Nusantara yang cenderung sinkretis akan makin menambah gulita sosial negeri ini. Dengan demikian, awan hitam yang menyelimuti langit Indonesia bukan hanya karena salah urus negara akibat sistem demokrasi sekuler kapitalis, namun karena memusuhi syariat Allah dan menyalahi aturan Allah juga. Akibatnya negeri ini hanya akan mendatangkan murka Allah yang artinya tidak ada keberkahan di negeri ini. Proyeksi masa depan Indonesia pasca pemilu 2019 nampaknya akan makin suram dan gelap. (AhmadSastra,KotaHujan,09/07/19 : 06.52 WIB)
Membaca Langkah Politik Prabowo Saat Bertemu Jokowi
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi Prabowo Subianto diundang untuk mencoba MRT oleh Presiden Joko Widodo. Dus, sebagai warga negara yang baik Prabowo, maka saat mendapat undangan dari Kepala Negara sebisa mungkin akan hadir, apalagi jika menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Prabowo hanya menerima undangan, tidak mengadakan perkumpulan ataupun acara bersama. Satu hal yang ingin ditekankan bahwa tidak ada pembicaraan mengenai deal-deal politik apa pun. Karena bagaimana pun Prabowo menolak segala bentuk kecurangan. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Namun demi merah putih dan bangsa Indonesia tidak ada ruang untuk perasaan pribadi. “Kami berharap seluruh pemilih Pak @prabowo dan @gerindra mempercayai keputusan dan tindakan yang dilakukan Pak @prabowo. Karena selama hidupnya Pak @prabowo tidak pernah dan tidak akan pernah mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara,” tulis panca_pww. Benar, pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) pukul 10.00 WIB, setidaknya telah memantik kemarahan relawan dan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Dampak politik pertemuan kedua capres (saya tetap menyebut capres, karena Jokowi yang dimenangkan oleh MK dan ditetapkan KPU belum dilantik sebagai Presiden Terpilih pada Oktober 2019) sangat luar biasa Prabowo di-bully pendukungnya. Bahkan, wartawan senior sekaliber Asyari Usman sampai perlu membuat tulisan berjudul, “Inilah Induk Segala Pengkhianatan”. “Prabowo Subianto, hari ini kau khianati ratusan juta pendukungmu. Kau tusuk perasaan mereka,” tulisnya. “Dengan entengnya. Dengan mudahnya. Tanpa rasa bersalah,” lanjutnya. “Prabowo, hari ini kau hancurkan perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Kau mungkin punya alasan tersendiri untuk menemui dia,” ungkap Bang Asyari. “Tapi, apa pun alasan kau, pertemuan itu menyakitkan hati rakyat yang mendukungmu mati-matian. Dan memang banyak yang benar-benar mati. Hilang nyawa,” tegas Bang Asyari yang tulisannya viral di medsos dan WA Group. Bukan hanya Bang Asyari saja yang kecewa. Bahkan, wartawan senior sohib saya semasa di EDITOR Hersubeno Arief sampai menulis artikel berjudul, “Sayonara Pak Prabowo”. Hersu mengutip penggambaran narasi lukisan Pangeran Diponegoro. Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro beredar luas di berbagai platform media sosial. Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda. Netizen menyamakan, “Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).” Benarkah peristiwa tersebut? Memang demikian yang tertulis dalam buku sejarah yang bersumber dari Belanda. Padahal, ada bukti prasasti Batu Tulis di Asta Tinggi, Kompleks Pemakaman Raja-Raja Sumenep, mencatat bahwa yang ditangkap itu Mohammad Jiko Matturi. Jiko Matturi, salah satu komandan pasukan yang “menyamar” sebagai Pangeran Diponegoro untuk memenuhi “undangan” Belanda itu. Feeling “pemberontak” yang oleh Belanda disebut Khalifatullah Ing Tanah Jawi ini bermain: Jebakan Belanda! Maka, dikirimlah Jiko Matturi yang bertugas juga sebagai telik sandi. Ingat, selama masa itu, Belanda tidak pernah melihat langsung wajah Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan Joko Matturi ke Magelang, Pangeran Diponegoro ke Sumenep. Di Sumenep, Pangeran Diponegoro menemui Sultan Abdurrahman, untuk meminta bantuan. Bersama Raja Sumenep inilah ia sedang menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, keburu ajal menjemput. Semua itu tercatat dalam prasasti di Asta Tinggi. Jika melihat fakta prasasti di Asta Tinggi itu, menjadi jelas, justru Pangeran Diponegoro yang berhasil mengelabuhi Belanda. Jadi, jasad yang dimakamkan di Makassar hingga kini adalah Mohammad Jiko Matturi, bukan Pangeran Diponegoro! Bagaimana dengan Prabowo ketika bertemu Presiden Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut? Mengapa harus di area stasiun dan dalam MRT? Terlepas apakah semua ini sudah direncanakan atau tidak, Prabowo tentu sudah “berhitung”. MRT, Mari Rekonsiliasi Terbuka! Pertemuan Jokowi-Prabowo di Statiun MRT Lebak Bulus itu sudah seharusnya ditempatkan pada best interest rakyat, bangsa, dan negara. Itulah yang ingin dicapai Prabowo. Penolak rekonsiliasi itu sendiri sebagian adalah mayoritas kubu Jokowi yang takut Prabowo masuk dalam sistem dan menjadi The Real Presiden RI, seperti Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini disebut-sebut punya kewenangan sejajar Presiden. Prasyarat rekonsiliasi yang selalu dilontarkan kubu Jokowi itu ada dua. Pertama, Prabowo Cs masuk dalam sistem; Kedua, Abolisi, amnesti, grasi, deponeering bagi semua pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Jangan terjebak pada prasyarat parsial – individual. Kalau ada yang menolak rekonsialiasi, pertanyaannya: siapa yang menjamin tidak terjadi lagi atau semakin menggila penindasan/penzaliman terhadap rakyat-umat Islam? Siapa yang bisa menjamin kedaulatan dan kekayaan negara tidak dirampok China-Cukong-Antek? Sebab, pasca Jusuf Kalla lengser dari jabatan Wapres, tanpa eksistensi Prabowo dalam sistem pemerintahan, dipastikan penzaliman terhadap rakyat-umat semakin menggila. Perampokan kedaulatan/kekayaan negara makin menghebat. Siapa bisa mencegahnya? Oposisikah? Dalam sejarah politik Indonesia, selama ini tidak ada oposisi! Ada cara agar kedaulatan rakyat dan negara diselamatkan selain melalui rekonsiliasi? Ada! MA kabulkan Permohonan PAP Prabowo atau Revolusi! Opsi Revolusi apakah mungkin dan realistis? Rasanya tidak mungkin berjalan. Karena bakal banyak korban rakyat tidak berdosa. Demo 21-22 Mei 2019 saja “dibuat” rusuh sehingga ada korban jiwa dan “orang hilang” segala. Rakyat jadi korban! Jangan mimpi people power jika tidak ada tokoh ikon pemersatu seperti Habieb Riziq Shihab. Reformasi 98 bukan people power, tapi aksi mahasiswa yang di-design, ditunggangi agenda politik cukong-china-jenderal merah untuk menggulingkan Presiden Suharto. Saat itu Pak Harto sangat mesra dengan mayoritas Islam. Opsi lainnya adalah Rekonsiliasi. Pedoman utama dalam menentukan sikap dan pilihan adalah kepentingan terbesar rakyat, bangsa, dan negara. Hanya dengan rekonsiliasi kita tidak akan tersesat atau disesatkan. Apakah ide rekonsiliasi yang dilontarkan itu berasal dari Jokowi atau TKN paslon 01? Tidak! Bahkan, konon, Jokowi pun sebenarnya ogah rekonsiliasi, namun terpaksa dilakukan agar dia dapat tetap sebagai pemenang pilpres meski dari hasil manipulasi suara. Jika tidak ada “kekuatan besar” yang memaksa, mustahil ide rekonsiliasi dilontarkan. Pihak kekuatan besar ini memegang data dan bukti pencurangan pemilu/pilpres, namun memahami sepenuhnya Prabowo tidak realistis untuk jadi Presiden RI untuk saat ini. Sebab, stigma Prabowo terlalu buruk di mata dunia. Rekonsiliasi menjadi win-win solution. Tentu saja dengan terpenuhnya minimal 2 prasyarat tadi. Prabowo cs masuk dalam sistem; Abolisi, amnesti, grasi, deponeering semua kasus pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Idealnya Prabowo Kepala KSP dengan kewenangan KSP seperti 2014-2015 semasa dipegang LBP. Ide rekonsiliasi ini untuk menyelamatkan posisi Jokowi, sekaligus harus mengakomodir kepentingan Prabowo dan rakyat, bangsa, dan negara di atas segalanya. Jika tidak demi rakyat, bangsa, dan negara, mending tidak usah rekonsiliasi! Anda perhatikan siapa yang panik dengan gagasan rekonsiliasi: Ki Dalang, CSIS, Negara China, Partai koalisi Jokowi kecuali PDIP, Cukong, Antek JIL, LGBT, PKI, dan lain-lain. Pemimpin sejati tahu yang terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Berani untuk tak populer karena harus mengambil keputusan terbaik. Dan, pada saat nanti, rakyat akan membuktikan sendiri bahwa keputusan itu adalah benar. Pada saat itu dukungan rakyat akan membesar dan terus membesar. Jangan dikira penyokong Jokowi berdiam diri melihat rencana rekonsiliasi ini. Mereka akan gunakan segala cara untuk menggagalkan rekonsiliasi, jika Prabowo pemegang utama kekuasaan. Politik adalah perjuangan merebut kekuasaan. Tanpa kekuasaan mustahil aspirasi rakyat bisa terwujud. Aspirasi rakyat pendukung Prabowo hanya bisa terwujud dengan Prabowo sebagai pemegang utama kekuasaan pemerintah di pemerintahan Jokowi. Prabowo akan menjadi the real president jika semua pengkhianat ditumpas. Penolakan atas rekonsiliasi oleh sebagian rakyat itu adalah hal yang wajar. Penolakan itu tetap dibutuhkan Prabowo agar seluruh prasyarat rekonsiliasi segera dipenuhi Jokowi. Bagaimana dengan oposisi jika Prabowo dan PKS masuk kabinet? Yang perlu dicatat, oposisi tidak pernah eksis dalam sistem politik kita. Yang ada hanya pseudo oposisi. Tapi, kalau mau oposisi, tinggal suruh saja PD, PAN, Hanura, PBB, dan PSI yang jadi oposan. Jika minimal 8 kursi kabinet dipenuhi, Prabowo wajib alokasikan minimal 3 untuk kader atau proksi PKS. Mengapa Prabowo perlu masuk pemerintahan? Bahwa selama ini hanya JK yang mampu menandingi kehebatan jenderal penyokong Jokowi dalam berpolitik. Politisi sipil lain memble. Terus menerus jadi korban politik jenderal penyokong Jokowi sejak Reformasi ’98. JK sudah menjadi Solusi masalah negara selama ini. Energi Rakyat Dalam perjuangan terkadang kita harus melakukan langkah-langkah yang mungkin tak cocok dengan perasaan kita sendiri maupun dengan rekan-rekan seperjuangan. Perdamaian tersebut hanya bisa terwujud jika posisi kedua pihak sama-sama kuat. Seimbang. Jika satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka yang terjadi adalah penguasaan, penaklukan, dan penjajahan, bukan perdamaian. Ungkapan rasa kecewa, marah, sakit hati, dan kesedihan emak-emak maupun pendukung 02, karena merasa dikhianati, itulah energi rakyat yang diusung Prabowo ke gerbong MRT untuk bertemu capres petahana Jokowi. “Jadi saya sarankan kepada kader kader struktural pro 02 nggak usah buat rasionalisasi dan pembenaran atas pertemuan MRT. Hanya agar untuk meredakan amarah emak-emak. Nggak perlu,” ujar Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. Menurutnya, Prabowo yang dekat dengan Rachmawati Soekarnoputri, pasti bisa menghayati istilah yang kerap diungkap Bung Karno: RODINDA. Dalam perjuangan itu harus berpadu antara Romantika, Dialektika, dan Dinamika. “Kemarahan emak-emak itu adalah human passion. Gairah kemanusiaan. Romantika,” lanjut Hendrajit. Bagi para politisi yang garing dan miskin imajinasi dan citarasa, romantika kerap diabaikan. Menurutnya, masalahnya itu bukan tidak boleh ketemu, bukan tidak boleh damai, karena itu adalah kemuliaan membina hubungan kebangsaan dan silaturahmi. Tapi dalam kasus Jokowi ada masalah yang harus diselesaikan. “Ada kejahatan yang perlu klarifikasi dan ada ancaman penjajahan yang menekuk kehidupan rakyat ke depan, harus ada jaminan pembicaraan yang terbuka tentang masalah ini,” ungkap Hendrajit kepada Pepnews.com. Tetapi, Prabowo mengingkarinya, bikin pertemuan diam-diam sana-sini dengan orang yang menyakiti rakyat, sementara Prabowo dipilih mewakili rakyat untuk memperjuangkan mereka untuk atasi masalah itu tetapi dia tinggalkan rakyat pemilihnya. “Karena dia berpikir ini hanya urusan dia dengan tim kampanyenya atau bahkan hanya antara dia dengan beberapa orang dekatnya, sementara pemilihnya dicuekin. Ini masalahnya,” lanjut Hendrajit. Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi, lebih baik mati mulia daripada hidup dalam kehinaan dan lain lainnya”. “Ternyata cita-cita Prabowo hanya bisa ketemu Jokowi di atas kereta dan foto-foto tanpa akuntabilitas atas amanat suara pemilihnya,” tegasnya.
Pilpres = Sepak Bola Gajah?
Oleh Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7). Peristiwa seperti ini juga terjadi lima tahun lalu saat Pilpres 2014. Sama seperti yang terjadi sekarang, lima tahun lalu pun sengketa Pilpres sempat dibawa ke MK. Bahkan ketika itu Prabowo Subianto sempat datang dan memberikan "ceramah" di depan sidang MK. Dan setelah dinyatakan kalah oleh MK, Prabowo akhirnya mau menerima kunjungan Jokowi di Jl Kartanegara Jakarta. Pertemuan politik tersebut sekaligus mengakhiri ketegangan politik yang terjadi antara pendukung dari kedua belah pihak. Demikian pula para elite politik yang sebelumnya sempat mengeras dan tegang selama pemilu, pasca pertemuan politik Prabowo-Jokowi, kembali cair. Ketika itu santer mengemuka isu akan adanya upaya penggagalan pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, pertemuan politik antara kedua "tokoh politik" tersebut segera dirancang dan diatur sebelum acara pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober 2014. Namun meskipun waktu itu Jokowi-Prabowo sudah bertemu dan diantara para elite politik yang berseteru sudah kembali cair dan berdamai, namun hubungan Prabowo dengan media massa masih ada ganjalan. Pada Pilpres 2014, Prabowo Subianto merasa diperlakukan tidak fair oleh media massa khususnya media mainstream. Waktu itu, Prabowo dibombardir dengan berbagai pemberitaan menyangkut HAM pada kerusuhan sosial bulan Mei 1998 serta penculikan aktivis mahasiswa. Pemihakan media massa kepada kubu Jokowi pada waktu itu sangat kentara, bahkan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post sampai membuat tajuk rencana berisi endorsmen khusus terhadap Jokowi. Pada saat media massa berpihak kepada Jokowi, polarisasi dalam masyarakat justru semakin tajam. Inilah benih terjadinya pembelahan dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi ini semakin tajam ketika ada kasus penistaan Al Qur'an yang dilakukan Gubernur DKI waktu itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2016. Kembali kepada pertemuan Prabowo-Jokowi. Drama politik lima tahun lalu, kembali terjadi sekarang pasca Pilpres 2019. Skenarionya nyaris sama, lima tahun lalu Jokowi yang mendatangi rumah Prabowo. Kali ini mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus. Alih-alih hendak menyatukan masyarakat yang sudah terbelah dan ingin menghilangkan istilah cebong dan kampret, pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT justru makin mempertajam polarisasi dalam masyarakat. Bukan hanya antara pendukung Jokowi dengan Prabowo tetapi diantara pendukung Prabowo pun terjadi perbedaan sikap yang tajam. Yakni antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan pertemuan Jokowi-Prabowo. Lalu masing-masing kubu pun membuat meme tentang MRT. Para pendukung kubu Jokowi tiba-tiba menyanjung Prabowo setinggi langit sambil memelesetkan MRT dengan Menyatukan Rakyat yang Terbelah (MRT). Sebaliknya para pendukung Prabowo yang tidak setuju dengan pertemuan tersebut mengartikan MRT sebagai Membuat Rakyat Terbelah (MRT). Jadi sebenarnya drama dan sandiwara politik kali ini adalah pengulangan peristiwa lima tahun lalu. Skenario dan pelakunya sama, yakni Jokowi dan Prabowo. Cuma beda pendampingnya saja, tahun 2014 Jokowi didampingi Jusuf Kalla sedangkan Prabowo didampingi Hatta Rajasa. Kini Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin sementara Prabowo menggandeng Sandiaga Uno. Tahun 2014, Prabowo tidak didukung secara massif oleh kelompok emak-emak militan dan umat Islam serta para ulama garis lurus. Bahkan dalam Pilpres 2019, Prabowo mendapat dukungan bahkan bantuan dana secara spontan dari para relawan dalam berbagai kampanyenya. Namun yang menyedihkan, dalam Pilpres kali ini, banyak korban jiwa berjatuhan. Petugas KPPS Pemilu yang meninggal dalam perhelatan demokrasi kali ini tidak kurang dari 700 orang. Yang memprihatinkan, pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kejadian ini. Tidak ada penyelidikan dan investigasi lebih lanjut atas meninggalnya petugas KPPS tersebut. Persoalan seolah selesai begitu saja dengan pernyataan Menkes bahwa mereka meninggal akibat kelelahan. Tidak hanya itu, dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019, juga banyak menelan korban jiwa dan orang-orang yang hilang. Dalam pelaksanaan Pilpres lima tahun lalu, juga ada kecurangan namun tidak sampai menelan korban jiwa yang banyak seperti sekarang. Setelah itu semua terjadi, tiba-tiba sekarang Prabowo bertemu Jokowi. Ah mungkin saya saja yang lebay menggunakan diksi tiba-tiba ada pertemuan itu. Sangat boleh jadi pertemuan kedua "tokoh" itupun sudah dirancang dengan rapih, sejak mereka sama-sama maju mendaftarkan diri ke KPU, bulan Agustus 2018 lalu. Ibarat sepak bola gajah, pemain dari dua kubu seolah sengit bermain di lapangan, demikian pula para penonton fanatiknya luar biasa memberikan dukungan yang kuat kepada timnya masing-masing. Namun sayang, penyelenggara pertandingan sepak bola sebenarnya sudah mengatur hasil akhir pertandingan ini. Penonton tentu saja kecewa. Patut diduga ajang Pilpres 2019 ini juga sama dengan pertandingan Sepak Bola Gajah. Pemenangnya sebenarnya sudah ditentukan. Meski demikian, masih saja ada kalangan yang penasaran sambil bertanya, sebenarnya apa sih alasan Prabowo menemui Jokowi ? Apakah karena alasan fulus, jabatan atau yang lebih bersifat personal ? Apakah Prabowo sudah tidak mempedulikan lagi besarnya pengorbanan masyarakat selama ini ? Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa mereka loh !. Begitulah pertanyaan masyarakat terutama dari kalangan emak-emak militan. Rupanya jangankan masyarakat, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun mengaku tak mengetahui pertemuan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. "Sama sekali belum tahu. Makanya itu, mengapa kok tiba-tiba nyelonong?" kata Amien, kepada wartawan di kediamannya di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta sebagaimana dikutip portal berita Detik. Selanjutnya Amien berjanji akan memberikan pernyataan setelah mendengar penjelasan langsung dari Prabowo. Partai koalisi Adil Makmur lainnya seperti PKS juga tidak mengetahui pertemuan Jokowi-Prabowo. Yang jelas, pertemuan itu sengaja diatur sehari sebelum acara pesta kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, di Sentul City Bogor, Minggu (14/7). Tentu masyarakat yang cinta akan kebenaran dan keadilan, tidak bisa terus menerus berkutat dalam permainan kotor para elite politik ini. Kita harus bergerak maju ke depan untuk mengatur strategi perjuangan selanjutnya demi menyongsong kehidupan yang lebih baik. Wallahu a'lam.
Jokowi Dapat Semuanya, Prabowo Berikan Seluruhnya
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dari pertemuan Lebak Bulus (13 Juli 2019), ada pertanyaan penting: Jokowi dapat apa, dan Prabowo dapat apa? Siap yang untung, siapa yang rugi? Kalau mau dijawab singkat, itulah judul tulisan kali ini. Yaitu, Jokowi dapat semuanya, sedangkan Prabowo memberikan seluruhnya. Jokowi dapat ‘full package’ dan Prabowo menyerahkan segalanya. Yang diperoleh Jokowi dan yang diberi Prabowo barangkali tidak ternilai secara material. Maksudnya, saya tidak tahu berapa yang pantas dibayar untuk legitimasi jabatan presiden. Mau Anda sebut 25 triliun? Atau 50 triliun? Wallahu a’lam. Tapi jangan salah paham. Saya hanya mencoba menggambarkan betapa mahalnya legitimasi jabatan presiden 2019 yang diperlukan oleh Jokowi dari Prabowo. Jangan sampai ditafsirkan ada deal 25 T atau 50 T. Nanti bisa menjadi fitnah. Sekali lagi, saya hanya mencoba untuk memberikan ‘price tag’ andaikata jabatan presiden itu layak diuangkan. Sekarang, legitimasi itu telah dikatongi Jokowi dengan senyuman lepas dan penuh makna. Senyuman yang menujukkan kepuasan yang utuh. Tidak sompel. Ini bisa terjadi karena Prabowo juga menyerahkan legitimasi itu dengan ‘sepenuh hati’. Betul-betul tulus. Itu terlihat dari suasana gembira-ria. Ada puja-puji yang menyenangkan semua hadirin. Termasuklah para broker yang mencarikan legitimasi itu. Prabowo tampak ikhlas sekali menyerahkan legitimasi yang diperlukan Jokowi tsb. Begitulah saya membaca ekspresi wajah Jenderal sendiri. Tulus-ikhlas bagaikan Anda menjual sesuatu dengan harga yang Anda harapkan dari pembeli. Nah, sekali lagi, jangan sampai salah tafsir. Kata ‘harga’ di sini bukan transaksional sifatnya. Ini hanya untuk membantu kita dalam melihat krusialnya legitimasi itu. Itu isu yang pertama. Isu lainnya adalah pendapat banyak orang bahwa Prabowo pintar memilih tempat (stasiun MRT). Pendapat itu menyebutkan Prabowo, secara halus, merendahkan Jokowi. Direndahkan karena bertemu di stasiun. Bukan di tempat yang mulia seperti Istana, hotel, rumah Prabowo, dst. Mohon maaf, logika ini perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena nilai legitimasi dari Prabowo itu tidak tergantung pada tempat penyerahannya. Kita ambil satu contoh yang mirip dengan legitimasi jabatan presiden itu. Katakan Anda baru saja lulus study S3 di Harvard University, Oxford atau Cambridge. Kemudian rektornya, entah dengan alasan apa, menyerahkan ijazah S3 Anda di toilet kampus. Apakah tempat penyerahan itu akan membatalkan gelar Anda? Tentu saja tidak. Begitu pula dengan legitimasi dari Prabowo. Tidak berkurang nilainya sedikit pun bagi Jokowi ketika itu diberikan Prabowo di stasiun kereta. Bahkan sekiranya Prabowo mengajak Jokowi ke toilet untuk menyalami dia dan mengucapkan selamat, juga tidak cacat sedikit pun asalkan disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang. Tidak terhormatkah di toilet? Sangat keliru. Itu tadi, kalau ijazah S3 Anda diserahkan oleh rektor di toilet, apakah gelar Anda tak berlaku? Menurut saya, Jokowi tidak memerlukan penyerahan legitimasi dari Prabowo di tempat yang terhormat. Yang dia perlukan adalah ucapan selamat yang disaksikan oleh publik, baik itu rekaman video apalagi siaran langsung. Singkirkanlah perasaan Anda bahwa pemberian legitimasi di stasiun MRT merupakan penghinaan terhadap Jokowi. It doesn’t work that way, guys. Persoalan lainnya adalah logika lucu yang perlu diluruskan tentang pertemuan Jokowi-Prabowo. Bahwa kesediaan Prabowo bertemu merupakan strategi mantan Danjen Kopassus itu untuk satu tujuan besar yang tidak bisa diapahami oleh publik. Banyak yang yakin bahwa Prabowo memenuhi undangan naik MRT plus makan siang di Senayan itu adalah taktik untuk memenangkan sesuatu. Bapak-Ibuk sekalian. Tidak ada yang salah untuk tetap menaruh harapan bahwa ‘strategi’ Prabowo itu akan berakhir dengan kemenangan. Inilah harapan yang sangat patut dikagumi. Karena, harapan itu mencerminkan suasana batin yang cukup kuat. Menunjukkan bahwa para pendukung Prabowo tidak mudah menyerah. Tidak gampang putus asa. Ini hebat luar biasa! Hanya saja, harapan itu tak punya referensi yang memadai untuk disebut realistis. Harapan itu bergantung sepenuhnya pada ‘devine intervention’ (kehendak Tuhan). Tak salah kalau disebut mukjizat. Orang yakin akan ada kejutan besar dalam waktu dekat ini. Dasarnya adalah pengajuan gugatan PAP (pelanggaran administrasi pemilu) ke Mahkamah Agung (MA). Sebagian orang percaya Prabowo akan menang dan otomatis menjadi presiden yang sah. Jokowi akan dilucuti. Prabowo-Sandi yang akan dilantik. Semudah itukah? Rasanya tak mungkin. Memang tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Tetapi, sebatas perkiraan realistis manusia, sangat tidak mungkin. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Misalnya, apakah masuk akal dengan satu ketukan palu MA semuanya berbalik untuk Prabowo? Apakah para hakim MA berani tampil beda dari para hakim MK? Dengan peta kekuatan institusional yang ada saat ini, apakah Anda yakin ‘kemenangan’ Jokowi bisa dianulir? Apakah orang-orang kuat Jokowi rela presiden mereka disingkirkan lewat selembar keputusan MA? Wallahu a’lam. Bagi saya, skenario ini jauh panggang dari api! Terus, strategi apalagi? Kawan, semua sudah selesai. Jokowi sudah berhasil mendapakan semua yang dia perlukan. Dan Prabowo sudah memberikan seluruh yang dia miliki.
Natalius Pigai, Komisioner KPK dan Mandat Reformasi untuk Pemberantasan KKN
Oleh: Haris Rusly Moti Jakarta, fnn - Berantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bergema di jalanan di tahun 1998. Istilah KKN menjadi istilah yang sangat populer kala itu. Gerakan pemberantasan KKN adalah anti tesa terhadap sebuah rezim yang dibentuk diantaranya oleh perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Gerakan reformasi itu telah mencapai usia 21 tahun. Namun, mandat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut makin jauh panggang dari api. Bahkan, katanya perilaku KKN justru jauh lebih ganas dari era Orde Baru. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme itu kini menjangkit kepada para pelaku gerakan reformasi yang dulunya lantang meneriakan anti KKN. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini bahkan telah menjadi tujuan setiap orang yang berniat menjadi pejabat negara. Semakin banyak “penjebakan” tangkap tangan yang dilakukan KPK tak membuat para pejabat jera. Bahkan tak mengurungkan niat para pejabat negara untuk merampok uang negara. Angka kejahatan korupsi justru meningkat seiring “keras”nya tindakan KPK. Karena itu, wajar jika banyak kalangan mengkuatirkan agenda pemberantasan korupsi justru berubah tujuan menjadi projek pemberantasan korupsi. Ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi tidak lagi dilihat dari makin berkurangnya angka korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi justru dilihat dari semakin banyaknya keberhasilan KPK melakukan operasi tangkap tangan. Kelihatannya Pimpinan KPK tak konsisten merekomendasikan penataan ulang sistem negara yang dapat mencegah menjamurnya korupsi. Dalam keadaan seperti itulah kita membutuhkan aktivis mahasiswa 1998 sebagai pengusung mandat pemberantasan KKN untuk hadir di dalam institusi negara yang bernama KPK. Sejak gerakan reformasi bergulir, belum pernah ada aktivis mahasiswa 1998 yang duduk di kursi Komisioner KPK. Padahal salah satu landasan dibentuknya KPK diantaranya adalah untuk mewujudkan salah satu mandat reformasi, yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Karena itu, langkah Natalius Pigai untuk ikut seleksi menjadi salah satu Komisioner KPK patut diapresiasi dan didukung. Natalius Pigai sendiri adalah salah satu aktivis gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta. Setidaknya melalui figur Pigai, aktivis gerakan mahasiswa 1998 dapat mempertanggungjawabkan mandatnya yang pernah diusung tahun 1998. Ada apa dengan mandat pemberantasan KKN? Kenapa mandat yang dulu dengan lantang diteriakan kini justru menjangkit balik sejumlah aktor reformasi tersebut? Kehadiran Pigai sebagai aktivis gerakan mahasiswa 1998 di KPK, kita harapkan menyumbang perspektif yang berbeda dengan mindset pemberantasan korupsi yang gagal mencegah menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Haris Rusly Moti, eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta