Demi Jalan Tol

Oleh: Miftah H. Yusufpati

BILA tak ada aral melintang, pada 17 Februari 2019 ini, publik akan disuguhkan acara debat kedua calon presiden. Salah satu tema debat itu adalah masalah infrastruktur. Rasanya sudah bisa diduga, Jokowi bakal membanggakan karyanya tentang infrastruktur pada proyek jalan tol.

Tak berlebihan, memang. Pada era Jokowi saat ini, Merak, Banten, hingga Grati-Pasuruan, Jawa Timur, sudah tersambung jalan tol sepanjang 933 km. Tapi jangan tercengan dulu. Tol sepanjang itu sejatinya melengkapi ruas-ruas jalan tol yang telah dioperasikan pada masa sebelumnya. Pada kurun 1978 hingga 2004 sudah membentang tol sepanjang 242 km serta pada kurun 2005 hingga 2014 sepanjang 75 km. Sebagian besar proyek yang dirampungkan di era kini pun sudah dimulai dibangun pada era pemerintahan sebelumnya, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Jalan tol jelas memperlancar mobilitas pengguna kendaraan. Bus trayek Jakarta-Pasuruan bisa ditempuh hanya dalam waktu 12 jam. Padahal, sebelumnya butuh waktu 15 jam. Jadi lebih cepat tiga jam. Hanya saja, jangan salah. Waktu tiga jam lebih cepat itu mesti ditebus dengan membayar tiket tol setidaknya Rp1,5 juta.

Ini pula yang membikin perusahaan logistik enggak sudi masuk tol. Soalnya, tol Trans-Jawa yang digadang-gadang bisa memperlancar arus logistik nyatanya tak seindah aslinya. Ambil contoh. Biaya antar-logistik dari Semarang ke Surabaya jika melewati Tol Trans-Jawa mesti membayar tiket tol Rp259 ribu untuk sekali jalan. Ongkos itu dikalikan dua yakni untuk pulang dan pergi menjadi sebesar Rp518 ribu. Angka ini tidak kecil untuk perusahaan logistik.

Selama ini, barang-barang logistik yang paling banyak dikirim oleh perusahaan logistik adalah barang UMKM dari Solo, Semarang, maupun Yogyakarta dengan tujuan berbagai kota, termasuk luar Jawa Tengah. Tarif tol yang mahal jelas akan berimbas pada usaha kecil yang dikirim dari pengrajin.

Truk-truk juga enggan masuk tol. Nugroho Arif dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah menganggap Tol Trans-Jawa belum berpihak pada pengusaha truk. “Area istirahat khusus truk minim. Repot jika ada ban pecah atau mesin rusak. Susah masuk tol untuk kirim perlengkapan dan tim servis,” katanya.

Oleh karena itu, armada truk cenderung memilih lewat jalur Pantura.

Enggannya truk dan perusahaan logistik memacu kendaraan mereka di jalan tol bisa jadi adalah kabar baik bagi pedagang kecil tempat mangkal truk-truk di Pantura. Walau tidak bagi rumah makan yang berderet sepanjang Pantura. Soalnya mereka lebih banyak nanggok konsumen dari pengendara mobil pribadi. Jadi tetap saja, UMKM di sepanjang Pantura mesti pasrah ditinggalkan pembelinya.

Beban BUMN

Berharap tarif tol bisa ditekan lebih rendah lagi rasanya agak sulit. Bahkan, dengan tarif sekarang saja, PT Waskita Karya Tbk. – juragan to - masih kesulitan menjual jalan berbayar miliknya. Padahal, divestasi itu perlu karena BUMN ini butuh duit untuk membayar utang.

Tol yang akan dilego tentu saja yang memiliki prospek paling menjanjikan ke depannya. Dengan begitu, investor menjadi tertarik. Tol dianggap berprospek tentu saja adalah tol yang ramai dilalui kendaraan dengan tarif yang menguntungkan.

Utang Waskita menggunung karena tak bisa menolak penugasan yang diberikan pemerintah untuk membangun jalan tol. Tahun lalu, utang Waskita Rp64 triliun, naik sekitar 35% dibanding 2017.

Penugasan pemerintah membangun jalan tol juga membuat arus kas Waskita menjadi negatif. Akibatnya, sepanjang tahun kemarin, harga saham Waskita (WSKT) anjlok sekitar 33%. Jika di awal tahun (10 Januari 2018) harga saham WSKT masih bertengger di level Rp2.510, pada penutupan tahun kemarin (28 Desember 2018) harganya sudah lunglai di posisi Rp1.680.

Sedangkan pada 7 Februari 2019 saham WSKT ditutup pada harga Rp2000 per lembar. Masih lebih buruk dibanding Januari tahun lalu. Penurunan harga saham itu lantaran para investor di bursa saham memandang ada miss match keuangan yang terjadi pada BUMN ini.

Arus kas negatif juga menimpa sejumlah BUMN karya lainnya. Sampai kuartal III tahun kemarin, tiga BUMN karya lain, yaitu Wijaya Karya, Adhi Karya, dan PT PP mengalami arus kas negatif. Wijaya Karya sampai September tahun lalu arus kas negatifnya meningkat 37,54% menjadi Rp3,7 triliun dibanding periode yang sama 2017.

Kemudian, arus kas operasional PTPP kuartal III 2018 negatif sebesar Rp1,82 triliun, naik 19,73% dari sebelumnya Rp1,52 triliun. Meski bisa diperbaiki, arus kas Adhi Karya masih negatif sebesar Rp2,09 triliun.

Kondisi yang terjadi di sejumlah BUMN karya itulah yang kemudian menciptakan polemik. Apalagi, laporan Bank Dunia terkait itu bernada negatif. Dalam laporannya yang bertajuk “Infrastructure Sector Assessment Programme” yang dirilis Juni tahun lalu, disebutkan bahwa penugasan proyek infrastruktur kepada BUMN membuat mereka kebingungan mencari dana sehingga akhirnya terpaksa berutang.

Masih dalam laporan itu, Bank Dunia mencontohkan proyek Tol Trans-Sumatera yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero) Tbk. Saat penugasan diberikan, tidak ada kejelasan mengenai sumber pendanaan. Ujungnya, Hutama Karya atau HK menerbitkan obligasi korporasi dengan jaminan pemerintah demi mendanai proyek tersebut.

Menurut laporan tersebut, HK mengerjakan 24 ruas Tol Trans-Sumatera dengan panjang mencapai 2.700 kilometer (km). Meski sudah menerbitkan utang, dana yang dimiliki HK masih tidak cukup untuk merampungkan proyek tersebut sehingga proyek berpotensi terpapar risiko tinggi secara keuangan.

Pertanyaan penutup, kondisi seperti inikah yang bakal dibanggakan Pemerintahan Jokowi?

Penulis Wartawan Senior ')}

344

Related Post