Mewaspadai Perangkap Utang RRC
Oleh Asyari Usman (wartawan senior)
Pada 2013, RRC meluncurkan gagasan untuk membangun ‘jalur sutra abad 21’. Bukan mereka namai ‘Silk Road’ melainkan ‘One Belt, One Road’ (Satu Sabuk, Satu Jalan) atau disebut juga OBOR.
Karena kata ‘one’ dianggap sensitif (dalam arti seolah-olah RRC akan menaklukkan dunia di bawah ‘satu’ bendera), akhirnya nama itu diubah menjadi ‘Belt and Road Initiative’ (BRI). Yaitu, Inisiatif Sabuk dan Jalan. Tetapi, tujuannya sama: untuk menyatukan 70-an negara (60% dari total polulasi dunia) di bawah BRI.
Ketika pada 2013 China meluncurkan OBOR yang kemudian berubah menjadi BRI, negara ini mempunyai cadangan devisa asing (CDA) yang sangat besar. Ada USD4.8 triliun. Sekitar IDR67,200 triliun (enam puluh tujuh ribu dua ratus triliun rupiah). China tercatat sebagai negara yang paling besar CDA-nya. Jepang di urutan nomor dua, sebesar USD1.25 triliun.
Karena duit yang begitu banyak ‘menganggur’, RRC mengajak 72 negara untuk ikut dalam BRI. Dengan janji, mereka akan diberi pinjaman tapi dengan bunga tinggi. Dan harus digunakan untuk membangun infrastruktur yang akan mewujudkan BRI. Yaitu, jalur industri di darat (Belt) dan jalur pelayaran di laut (Road).
RRC menyediakan dana satu triliun dollar untuk memulai BRI. Dana ini dipinjamkan ke negara-negara yang dilalui oleh jalur sutra abad 21 ini. Mereka ‘diwajibkan’ membangun infrastruktur yang diperlukan BRI. Termasuk jalan raya, jembatan, pelebuhan, dan pusat-pusat industri.
Duit pinjaman pun dikucurkan dengan cepat. Terkadang tidak transparan di sejumlah negara sehingga banyak yang ditilap oleh para koruptor di negara penerima. Hebatnya, China tidak perduli.
Dalam perjalanannya, tidak semua negara mampu membayar hutang pokok dan bunga pinjaman lunak itu. Mulailah sejumlah negara menjadi gagal bayar. Ada delapan negara yang menonjol sebagai gagal bayar, yaitu Djibouti, Tajikistan, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro.
Sengaja atau tidak, China memanfaatkan situasi gagal bayar itu untuk mendiktekan keinginannya. Dan mereka tak bisa melawan. Tetapi, RRC ‘pintar’ juga mengelabui publik internasional yang sejak awal mencurigai motif BRI. Misalnya, kepada pengutang kecil diberi konsesi untuk dipusokan (written off) atau dihapus. Tetapi, untuk negara-negara yang berposisi strategis, China meminta pembayaran dengan ‘cara lain’.
Sebagai contoh, Sri Lanka yang tak mampu mengembalikan utang 1.5 miliar dollar, diminta untuk menyerahkan pengelolaan pelabuhan utamanya kepada RRC dengan perjanjian sewa 99 tahun. Pelabuhan baru Hambantota sama sekali tak disinggahi oleh pelayaran. Tidak menghasilkan uang.
China mensyaratkan agar angkatan lautnya bisa memakai pelabuhan yang dibangun dengan pinjaman mereka. Cara ini telah dilakukan China di Djibouti. Pelabuhan di negara kecil Afrika ini digunakan oleh RRC untuk angkatan laut mereka. Djibouti tak bisa mengelak. Harus mengiyakan apa kata China.
Sri Lanka dan Djibouti akhirnya resmi masuk perangkap hutang RRC. Dan, tidak hanya dua negara ini saja yang gagal bayar.
Pakistan punya hutang macet kepada RRC sebesar USD6 miliar, antara lain dipakai untuk membangun pelabuhan Gwardar. Pemerintah Pakistan terdahulu (sebelum PM Imran Khan terpilih Juli 2018) mengambil pinjaman besar dari China. Di sejumlah proyek infrastruktur, pemerintah lama menjanjikan keuntungan 34% per tahun kepada RRC. Luar biasa berani.
Sekarang, pelabuhan Gwardar hendak dijadikan China sebagai pangkalan gabungan angkatan laut dan udara. Tapi PM Khan menolak. Dan dia akan berusaha mencari sumber pinjaman lain untuk membayar utang kepada China.
Selanjutnya Montenegro, negara kecil di Eropa Timur. Penduduknya cuma 630,000 jiwa. Negara ini tergiur ikut BRI. China membuatkan jalan tol sepanjang 150 km. Para pejabat Montenegro senang luar biasa. Tetapi, mereka harus pinjam duit China USD950 juta.
Semua orang heran untuk apa Montenegro membuat jalan tol. Tidak banyak yang menggunakannya. Dua studi kelayakan menyimpulkan jalan tol ini tidak diperlukan. Tetapi, para pejabat Partai Komunis China bisa meyakinkan Montenegro bahwa jalan tol itu sangat penting.
Akhirnya dibangun juga dan negara kecil ini pun terperangkap utang China. Mereka tak punya sumberdaya untuk membayar. Sebagaimana cerita di Morowali, pembangunan jalan tol ‘kebanggaan’ Montenegro itu dikerjakan oleh 75 pekeja China.
Celakanya, Montenegro harus pinjam lagi 1.2 miliar dolar untuk merampungkan jalan tol itu. Uni Eropa mengatakan negara ini dalam keadaan bahaya. Rasio utang-GDP mencapi 80%. Pemerintah terpaksa membekukan gaji PNS dan belanja negara.
Hebatnya, PM Montenegro malah bilang dia akan mempererat kerja sama dengan RRC untuk membuat proyek-proyek lain. Orang-orang meledek bahwa Beijing sangat senang dengan sikap mangsa utangnya itu.
Negara lain yang tercekik utang China adalah Maladewa di Samudera India. Negara yang bergantung pada wisatawan asing ini menerima tawaran China untuk membangun sejumlah jembatan antarpulau dengan biaya 225 juta dollar. Utang ini berarti 100% GDP Maladewa. Klar sudah negara muslim ini di tangan RRC. Besar kemungkinan China akan mendikte Maladewa untuk membayar utangnya dengan pulau-pulau yang akan dijadikan pangkalan militer RRC.
Begitulah cara China menjebak mitra-mitranya dengan utang. Pinjaman Indonesia dari RRC memang belum berada di level bahaya rasio utang-GDP.
Tetapi, dengan laju pinjaman yang terus membesar, sangatlah wajar mewaspadai perangkap utang RRC. Agar tidak menjadi mangsa yang akan didikte China.
')}