Teriak Pendukung Capres Jokowi, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”

Surabaya, FNN - Predikat “Cak Jancuk” kepada capres petahana Joko Widodo yang disematkan oleh Pembawa acara Djadi Galajapo saat Deklarasi Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Surabaya, Sabtu (2/2/2019), ternyata menuai reaksi dan kontroversi.

Pro-kontra terjadi karena panitia acara sendiri menyangkakan gelar Jancuk tersebut. Hal itu karena kata “jancuk” sendiri terlanjur dikenal kebanyakan orang sebagai kata yang memiliki kesan dan konotasi negatif sebagai umpatan “porno”.

Menurut Djadi Galajapo, CAK itu kepanjangan dari Cakap, Agamis, dan Kreatif. Sedangkan JANCUK berarti Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen. Seusai pembacaan deklarasi dilakukan oleh Ketua Panitia Pelaksana acara, Ermawan.

Ribuan pendukung capres Jokowi yang memenuhi sebagian ruas Jl. Pahlawan bersorak sorai. Pembawa acara juga tampak antusias. Saat itulah Djadi Galajapo selaku pembawa acara juga menyematkan gelar pada Jokowi.

Pertama, ia menyematkan gelar ;cak yang merupakan singkatan. “Mengapa disebut;cak? Karena ;cak adalah, cakap, agamis, dan kreatif. Itulah Cak Jokowi,” katanya disambut tepuk tangan pendukung.

Bukan hanya cak;, pembawa acara tersebut juga menyematkan gelar jancuk, pada Jokowi. Kata "jancuk"; ini akrab di telinga masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. “Kalau sudah cak; maka ndak komplet kalau tidak ada ;jancuk;,” ujar Djadi Galajapo.

“Maka Jokowi adalah ;jancuk;. Apa itu jancuk? Jantan, cakap, ulet, dan komitmen, Saudara-saudara," katanya. Para pendukung Jokowi bertepuk tangan mendengar penjelasan pembawa acara itu. Pria pembawa acara itu lalu mengomandoi massa untuk berteriak.

“Neng Suroboyo tengah, Jancokan, apa itu Jancokan?” katanya, seperti dilansir Detik.com, Sabtu (2/2/2019). Pendukung pun berteriak, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”. Jokowi pun tampak tersenyum mendengar “umpatan” tersebut.

Setelah sempat viral di medsos atas julukan “Cak Jancuk” itu, pengamat bahasa dan budaya Henri Nurcahyo angkat bicara soal gelar yang diberikan pendukungnya kepada capres nomor urut 01 Jokowi. Ia menyayangkan julukan itu karena dianggap keterlaluan.

“Cak iku wis benar. Tapi nek jancuk iku kenemenen rek (Cak itu sudah benar. Tapi kalau jancuk itu keterlaluan). Kalau menurutku ya nggak layak lah. Buat guyonan sesama konco nggak masalah. Tapi iki presiden mosok dijancuk-jancukno,” kata Henry.

Pengamat seni budaya Jatim ini mengatakan hal itu kepada Detik.com, Minggu (3/1/2019). Ia menjelaskan, meskipun menurut pengakuan pemberi julukan jancuk mengartikan positif dan mengacu pada akronim singkatan yang baik, tapi tetap saja hal itu sebagai sebuah kebablasan.

Karena yang diberi julukan itu orang terhormat dan lambang negara. “Ya kan, baik bagi dia (pemberi julukan). Tapi secara umum nggak baik. Apalagi presiden. Presiden kan lambang negara. Umpama dibilang "hei cak jancuk koen"; opo nggak mangkel itu orang,” ujarnya.

Menurut penulis buku Budaya Panji itu, ia juga tidak menampik kalau jancuk juga ada yang berkonotasi positif. Namun Henri menegaskan kata itu juga tidak semua baik. “Dari berbagai versi jancuk itu memang tidak berkonotasi jelek,” ungkapnya.

“Tetapi juga tidak semuanya baik. Kalau sekarang ada yang baik dan ada yang jelek ngapain dipakai. Iya kalau orang mengartikan baik. Kalau mengartikan elek piye?” ujar Henri seperti dilansir Detik.com.

Lalu dari mana asal kata jancuk itu? Henri menuturkan kata tersebut merupakan slang atau umpatan. Sehingga artinya tidak bisa diartikan satu sisi saja.

“Jancuk itu umpatan. Soal arti bisa diartikan belakangan kayak fucking you. Jadi, artinya bisa macam-macam isok jaran ngencuk, itu kalau orang Jawa otak-atik gathuk,” beber alumnus Sastra UGM itu.

Tapi, diantara artinya yang macam-macam itu tadi artinya ada yang positif, ada yang negatif dan ada yang netral. Kalau yang netral seperti ‘jancuk yo opo kabare rek’, kalau yang negatif ‘jancuk awas koen yo’, nah elek kan, misale lagi ‘jancuk tak pateni koen’,” lanjutnya.

Henri kemudian membandingkan dengan seniman Sudjiwo Tedjo yang menyebut diri sendiri sebagai ‘presiden jancukers’. Menurutnya, apa yang dilakukan Sudjiwo tak masalah. Karena ia menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain.

“Iya kalau Sudjiwo Tedjo membuat preduden jancukers ya nggak apa-apa. Karena dia kan menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain,” tegas pria yang juga pengamat budaya Jatim itu.

“Saya tidak mengatakan jancuk itu jelek. Tapi saya mengatakan jancuk itu ada yang netral, ada yang bagus, dan ada jelek. Kayak semua buah itu kan nggak semua busuk. Tapi karena buah itu busuk ya jangan dikasihkan ke orang lain, gitu loh umpamanya,” pungkas Henri.

Klarifikasi datang dari Sekretaris Deklarasi Alumni Jatim Teguh Prihandoko. “Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik,” tegasnya seperti dilansir Detik.com, Minggu (3/1/2019).

Teguh menjelaskan, pihaknya menyayangkan sikap pembawa acara (MC) Djadi Galajapo yang saat itu memberi gelar Cak-Jancuk kepada Jokowi. Meski saat itu oleh pembawa acara, kata Jancuk diberikan kepanjangan sebagai “Jantan, cakap, ulet, dan komitmen”.

“Untuk sebutan Jancuk itu keluar dari Pak Djadi Galajapo sendiri, kami tidak tahu. Mungkin saat itu dia terlalu emosional dan terbawa suasana. Ini dari pihak alumni Unair sendiri menyayangkan dan kaget keluar kata-kata Jancuk itu kemarin,” kata Teguh.

Menurutnya, kata Jancuk itu bisa salah persepsi jika disampaikan untuk orang luar Surabaya. “Acara ini kan acara orang-orang intelektual, yang tidak hanya dihadiri oleh orang-orang Surabaya saja, melainkan dari alumni dari Kota Solo, Semarang dan lainnya,” ujar Teguh.

“Jadi semunya kaget. Intinya kami hanya menyayangkan saja keluar kata-kata itu,” lanjutnya.

Perwakilan Almuni SMAK Santa Maria Gama Andrea juga menyayangkan keluarnya sebutan Jancuk yang disebut Djadi Galajapo, dan itu dianggap keluar dari kontek acara.

Menurutnya, seharusnya perkataan itu dilewati dan dihindari, jika disampaikan kepada orang yang tidak kenal akan memiliki konotasi yang berbeda. “Meski waktu itu sudah dikolaborasi (diartikan), namun bagi kami tidak pas,” ungkap Gama.

“Mungkin terbawa suasana atau euforia waktu itu. Intinya kami sangat menyayangkan,” ujar Gama lagi. Namun, pengamat politik Wawan Sobari mengatakan bahwa sapaan (cak jancuk) itu menunjukkan equality atau kesetaraan.

“Ini merupakan model kampanye trade mark, yang dipakai Jokowi sejak awal ikut kontestasi. Baik sebagai Wali Kota Solo atau Gubernur DKI Jakarta. Kata (jancuk) itu, kata Dosen Ilmu Politik dan Peneliti Universitas Brawijaya (UB) Malang ini, mengandung dua arti.

Bisa berupa makian atau justru keakraban. Bagi masyarakat Surabaya, sub kultur budaya arek sangat berbeda dengan mataraman. Masyarakat Surabaya tidak mengenal kasta bahasa halus atau kromo. Namun lebih ke apa adanya.

“Jokowi ingin menunjukkan bagi pemilih Surabaya bahwa dia bisa setara dengan masyarakat. Ini menunjukkan tidak adanya jarak antara Jokowi yang masih presiden dengan pemilihnya,” kata Wawan saat, seperti dikutip Detik.com, Minggu (3/2/2019).

Model kampanye seperti ini, lanjut dia, relatif berhasil dipakai Jokowi dalam setiap ajang kontestasi pemilu. Dalam pemilu, tidak bisa fokus pada segmen pemilih tertentu, namun harus menyesuaikan budaya calon pemilihnya.

Jancuk, bagi Wawan, konteks yang sangat lokal. Ini adalah strategi juru pemenangan Jokowi, yang ingin menunjukkan bahwa Jokowi tidak berjarak. Jokowi itu sama dengan mereka. Itu merupakan cara untuk mendorong perilaku pemilih bagi figur yang dekat dengan rakyatnya.

“Menurut saya, kata itu tidak kontroversial ya,” ujarnya. Wawan menilai, pemilihan kata ini sangat tepat untuk mendekatkan diri dengan masyarakat kalangan bawah. Bahkan julukan itu bisa memunculkan militansi pemilihnya.

“Saya melihat sambutan meriah saat julukan tersebut diberikan. Bahkan bisa jadi, julukan itu menimbulkan sikap militan pemilih pada profil Jokowi,” tandasnya. Likeabilitas seperti ini, menurut Wawan akan mampu mendongkrak elektabilitas capres nomor 1 ini.

Dalam ilmu politik, seseorang akan dipilih jika sudah disukai calon pemilihnya. “Korelasi likeabilitas dan elektabilitas sangat tinggi. Artinya, setelah dia diketahui, lalu disukai maka akan dipilih,” tandasnya.

Tapi, yang perlu dicatat adalah jangan sampai sebutan Jokowi Jancuk ini diartikan sebagai umpatan bernada negatif. Karena, bagaimanapun juga, posisi Jokowi sekarang ini masih sebagai Presiden RI, meski dia seorang capres petahana. Apalagi, rangkaian kunjungan ke Jatim itu juga terkait dengan statusnya sebagai Presiden yang mengadakan Rapat Koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sebutan “Jokowi Jancuk” ini bisa masuk kategori Penghinaan Presiden RI. Kita tunggu saja langkah Polri! (Mochamad Toha) ')}

557

Related Post