Mumpung Punya Wewenang
Oleh: Sri Widodo Soetardjowijono (Jurnalis)
Wewenang seharusnya dipakai untuk tujuan mulia dan bijaksana. Jika tidak, yang ada hanyalah kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan tak hanya milik oknum yang melepaskan peluru kepada massa pengunjuk rasa. Ia bukan pula hanya milik anggota Satpol PP pasar tradisional yang ringan tangan menangkap pedagang kaki lima, pengasong, dan siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban.
Kesewenang-wenangan tak hanya milik majikan yang membayar upah buruh ala kadarnya asal bisa buat hidup satu hari. Kesewenang-wenangan tak hanya milik penguasa yang menggusur tanah dengan harga murah. Kesewenang-wenangan juga tak hanya milik penagih utang yang dibayar pengusaha untuk meneror penunggak cicilan.
Kesewenang-wenangan adalah kita. Maka tak jarang kita sering menjadi korban kesewenang-wenangan. Saat keluar rumah, di belokan jalan, di putaran arah, kita menjadi korban kesewenang- wenangan polisi cepek.
Di gang sempit tak jarang kita menjadi korban kesewenang-wenangan hajatan dan kondangan.
Di jalan raya kita menjadi korban pengendara yang ugal-ugalan, knalpot motor yang berisik, belok semaunya, dan penerobos traffic light yang jumawa. Pejalan kaki paling banyak menjadi korban kesewenang-wenangan.
Untung bangsa kita bangsa pemaaf. Semua kesewenang-wenangan berakhir dengan tenang. Akibatnya, kesewenang-wenangan menjadi budaya yang butuh waktu lama untuk meluruskan.
Jauh lebih miris, ternyata kesewenang-wenangan dipraktekkan pula oleh penguasa. Mumpung punya wewenang, penguasa bebas melakukan apa saja, selama menguntungkan kelompok dan rezimnya.
Ketika rakyat mengeluhkan harga cabai yang mahal, penguasa cukup menyarankan agar rakyat menanam sendiri. Penguasa tak harus tahu, apakah rakyat punya lahan atau tidak.
Ketika rakyat mempertanyakan kenapa harga beras mahal, dengan sewenang-wenang penguasa bilang,”ditawar dong”. Penguasa tak perlu tahu suasana batin rakyat jelata.
Pada saat rakyat menjerit atas tingginya harga BBM, penguasa dengan enteng menyuruh, ”naik angkot dong”. Penguasa tak perlu tahu dampak sosial akibat kenaikan itu. Dan tarif angkot pun ikut melambung.
Ketika harga daging mahal, penguasa dengan sewenang-wenang menyarankan makan bekicot. Bahkan, sarden yang bercacing pun boleh dimakan karena banyak mengandung vitamin.
Kesewenang-wenangan itu terus saja terjadi sampai hari ini. Paling anyar sang menteri dengan sewenang-wenang melontarkan kalimat tidak enak kepada bawahannya, “Emang Yang Gaji Kamu Siapa?” gara-gara menjawab pertanyaan tidak sesuai kehendaknya.
Merasa punya wewenang, mereka gampang saja melontarkan pernyataan, “yang tak dukung petahana, jangan lewat jalan tol”. Merasa punya wewenang, sebuah untaian doa yang sudah dipanjatkan pun mereka buang, diganti dengan doa pesanan.
Ketika rakyat mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan, sang presiden pemilik wewenang dari segala wewenang langsung turun tangan memberi solusi untuk beternak kalajengking karena harga racunnya ratusan miliar rupiah. Sungguh ini bentuk wewenang yang salah asuhan. Sang pengasuh salah memberi arahan kepada bawahan.
Pemilik wewenang mudah saja menafsirkan aturan. Penegakan hukum hanya berlaku untuk oposisi yang melanggar, tetapi tidak bagi petahana. Jika pendukung oposisi melanggar, penguasa cepat memprosesnya. Sementara, jika pendukung petahana yang melanggar, ada saja alasan penguasa untuk menyembunyikannya.
Mereka tak perlu merasa malu, tak pantas, apalagi bersalah. Tak heran jika seumur rezim ini kita belum mendengar mereka meminta maaf. Maklum, mereka merasa selalu benar.
Bagi penguasa, semua dibikin mudah, semua bisa dijelaskan, dibikin poster, didesain dengan menarik sehingga terlihat apik, meski kadang kontennya ngawur.
Rakyat terpesona oleh penampilan, kagum oleh pencitraan yang didesain sesuai khayalan. Apalagi rakyat yang malu bertanya dan malas membaca, mereka langsung percaya apa saja yang disajikan penguasa.
Begitulah jika wewenang dipakai dengan kesewenang-wenangan. ')}