Terlambat, Malaysia Tak Bisa Lepas dari Perangkap Cina
Oleh Asyari Usman
Jakarta, FNN - Mahathir mengakui, “Sudah terlambat.” Malaysia tidak bisa lagi lepas dari perangkap utang China. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, denda pembatalan proyek sangat mahal. Kedua, persentase pengerajaan proyek-proyek tsb sudah lumayan besar. Ketiga, proyek-proyek itu memang diperlukan tetapi tidak semuanya urgen.
Salah satu dorongan yang paling kuat bagi Dr M (begitu beliau sering disingkat oleh media massa) untuk merebut kekuasaan dari PM Najib Razak adalah soal RRC yang ‘merajalela’ di Malaysia. Investasi RRC memang sangat besar di negara tetangga kita itu. Setidaknya ada 11 proyek raksasa yang dibiayai dengan utang dari RRC.
Pada hari-hari pertama terpilih sebagai PM tahun lalu, Tun Mahathir mengirimkan pesan keras kepada Beijing tentang keinginan dan tekad beliau untuk mengendalikan arah perjalanan Malaysia. Caranya ialah dengan membatalkan proyek-proyek besar China.
Mahathir sungguh-sungguh ingin melepaskan Malaysia dari jeratan utang RRC. Dan dia malah sempat mengatakan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, agar menghindarkan jebakan utang RRC. Mahathir juga mengatakan Najib Razak menggadaikan Malaysia kepada China.
Malangnya, Malaysia sendiri akhirnya tak bisa lepas dari cengkeraman China. Paling banter Mahathir hanya bisa merundingkan kembali proyek-proyek besar untuk memperkecil biayanya. Salah satu yang bisa dipangkas adalah Jalur Kereta Pantai Timur (East Coast Rail Link, ECRL). Biaya ECRL yang semula ditetapkan 15.7 miliar USD diperkecil menjadi 10.7 miliar USD.
Mahathir sangat ingin mengendalikan investasi RRC karena melihat pengalaman banyak negara lain. Negara-negara itu terpaksa menyerahkan proyek-proyek vital kepada RRC karena tak sanggup membayar cicilannya.
Sebagai konsekuensinya, pihak RRC harus dibolehkan mengelola pelabuhan, bandara, jalan tol atau jaringan kereta api sebagai ganti pembayaran cicilan utang. Inilah yang terjadi di Djibouti, Angola, Sri Lanka, Pakistan, Montenegro (di Eropa timur), dan sejumlah negara lain.
RRC-lah yang mengatur syarat dan ketentuan pengelolaan fasillitas-fasiitas penting itu. Mereka bisa saja membawa warga China ke negara-negara itu sebagai staf atau pekerja biasa.
Perlu diketahui bahwa pembangunan pelabuhan, jalan tol, dan rel kereta api pasti akan selalu ditawarkan RRC. Bahkan mereka bantu dengan pinjaman lunak (soft loan). Mengapa? Karena jaringan transportasi (dara, laut, dan udara) sangat vital bagi ambisi proyek global China yang disebut Belt and Road Initiative (BRI).
Tujuan utama BRI adalah untuk menyebarluaskan ‘business parks’ (pusat perindustrian) RRC ke seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang ‘takluk’ ke dalam desain besar hegemoni ekonomi ini hampir pasti akan terjerat utang yang berkepanjangan.
Jerat utang itulah yang digunakan RRC untuk mengendalikan negara-negara ‘jajahan BRI’. Tidak saja kendali ekonomi, tapi pasti juga kendali politik.
Semoga Indonesia masih bisa diselamatkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
*Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)