Membaca Langkah Politik Prabowo Saat Bertemu Jokowi
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi
Prabowo Subianto diundang untuk mencoba MRT oleh Presiden Joko Widodo. Dus, sebagai warga negara yang baik Prabowo, maka saat mendapat undangan dari Kepala Negara sebisa mungkin akan hadir, apalagi jika menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Prabowo hanya menerima undangan, tidak mengadakan perkumpulan ataupun acara bersama. Satu hal yang ingin ditekankan bahwa tidak ada pembicaraan mengenai deal-deal politik apa pun. Karena bagaimana pun Prabowo menolak segala bentuk kecurangan.
Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Namun demi merah putih dan bangsa Indonesia tidak ada ruang untuk perasaan pribadi.
“Kami berharap seluruh pemilih Pak @prabowo dan @gerindra mempercayai keputusan dan tindakan yang dilakukan Pak @prabowo. Karena selama hidupnya Pak @prabowo tidak pernah dan tidak akan pernah mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara,” tulis panca_pww.
Benar, pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) pukul 10.00 WIB, setidaknya telah memantik kemarahan relawan dan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu.
Dampak politik pertemuan kedua capres (saya tetap menyebut capres, karena Jokowi yang dimenangkan oleh MK dan ditetapkan KPU belum dilantik sebagai Presiden Terpilih pada Oktober 2019) sangat luar biasa Prabowo di-bully pendukungnya.
Bahkan, wartawan senior sekaliber Asyari Usman sampai perlu membuat tulisan berjudul, “Inilah Induk Segala Pengkhianatan”. “Prabowo Subianto, hari ini kau khianati ratusan juta pendukungmu. Kau tusuk perasaan mereka,” tulisnya.
“Dengan entengnya. Dengan mudahnya. Tanpa rasa bersalah,” lanjutnya. “Prabowo, hari ini kau hancurkan perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Kau mungkin punya alasan tersendiri untuk menemui dia,” ungkap Bang Asyari.
“Tapi, apa pun alasan kau, pertemuan itu menyakitkan hati rakyat yang mendukungmu mati-matian. Dan memang banyak yang benar-benar mati. Hilang nyawa,” tegas Bang Asyari yang tulisannya viral di medsos dan WA Group.
Bukan hanya Bang Asyari saja yang kecewa. Bahkan, wartawan senior sohib saya semasa di EDITOR Hersubeno Arief sampai menulis artikel berjudul, “Sayonara Pak Prabowo”. Hersu mengutip penggambaran narasi lukisan Pangeran Diponegoro.
Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro beredar luas di berbagai platform media sosial. Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda.
Netizen menyamakan, “Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).” Benarkah peristiwa tersebut?
Memang demikian yang tertulis dalam buku sejarah yang bersumber dari Belanda. Padahal, ada bukti prasasti Batu Tulis di Asta Tinggi, Kompleks Pemakaman Raja-Raja Sumenep, mencatat bahwa yang ditangkap itu Mohammad Jiko Matturi.
Jiko Matturi, salah satu komandan pasukan yang “menyamar” sebagai Pangeran Diponegoro untuk memenuhi “undangan” Belanda itu. Feeling “pemberontak” yang oleh Belanda disebut Khalifatullah Ing Tanah Jawi ini bermain: Jebakan Belanda!
Maka, dikirimlah Jiko Matturi yang bertugas juga sebagai telik sandi. Ingat, selama masa itu, Belanda tidak pernah melihat langsung wajah Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan Joko Matturi ke Magelang, Pangeran Diponegoro ke Sumenep.
Di Sumenep, Pangeran Diponegoro menemui Sultan Abdurrahman, untuk meminta bantuan. Bersama Raja Sumenep inilah ia sedang menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, keburu ajal menjemput. Semua itu tercatat dalam prasasti di Asta Tinggi.
Jika melihat fakta prasasti di Asta Tinggi itu, menjadi jelas, justru Pangeran Diponegoro yang berhasil mengelabuhi Belanda. Jadi, jasad yang dimakamkan di Makassar hingga kini adalah Mohammad Jiko Matturi, bukan Pangeran Diponegoro!
Bagaimana dengan Prabowo ketika bertemu Presiden Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut? Mengapa harus di area stasiun dan dalam MRT? Terlepas apakah semua ini sudah direncanakan atau tidak, Prabowo tentu sudah “berhitung”.
MRT, Mari Rekonsiliasi Terbuka! Pertemuan Jokowi-Prabowo di Statiun MRT Lebak Bulus itu sudah seharusnya ditempatkan pada best interest rakyat, bangsa, dan negara. Itulah yang ingin dicapai Prabowo.
Penolak rekonsiliasi itu sendiri sebagian adalah mayoritas kubu Jokowi yang takut Prabowo masuk dalam sistem dan menjadi The Real Presiden RI, seperti Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini disebut-sebut punya kewenangan sejajar Presiden.
Prasyarat rekonsiliasi yang selalu dilontarkan kubu Jokowi itu ada dua. Pertama, Prabowo Cs masuk dalam sistem; Kedua, Abolisi, amnesti, grasi, deponeering bagi semua pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Jangan terjebak pada prasyarat parsial – individual.
Kalau ada yang menolak rekonsialiasi, pertanyaannya: siapa yang menjamin tidak terjadi lagi atau semakin menggila penindasan/penzaliman terhadap rakyat-umat Islam? Siapa yang bisa menjamin kedaulatan dan kekayaan negara tidak dirampok China-Cukong-Antek?
Sebab, pasca Jusuf Kalla lengser dari jabatan Wapres, tanpa eksistensi Prabowo dalam sistem pemerintahan, dipastikan penzaliman terhadap rakyat-umat semakin menggila. Perampokan kedaulatan/kekayaan negara makin menghebat.
Siapa bisa mencegahnya? Oposisikah? Dalam sejarah politik Indonesia, selama ini tidak ada oposisi! Ada cara agar kedaulatan rakyat dan negara diselamatkan selain melalui rekonsiliasi? Ada! MA kabulkan Permohonan PAP Prabowo atau Revolusi!
Opsi Revolusi apakah mungkin dan realistis? Rasanya tidak mungkin berjalan. Karena bakal banyak korban rakyat tidak berdosa. Demo 21-22 Mei 2019 saja “dibuat” rusuh sehingga ada korban jiwa dan “orang hilang” segala. Rakyat jadi korban!
Jangan mimpi people power jika tidak ada tokoh ikon pemersatu seperti Habieb Riziq Shihab. Reformasi 98 bukan people power, tapi aksi mahasiswa yang di-design, ditunggangi agenda politik cukong-china-jenderal merah untuk menggulingkan Presiden Suharto.
Saat itu Pak Harto sangat mesra dengan mayoritas Islam. Opsi lainnya adalah Rekonsiliasi. Pedoman utama dalam menentukan sikap dan pilihan adalah kepentingan terbesar rakyat, bangsa, dan negara. Hanya dengan rekonsiliasi kita tidak akan tersesat atau disesatkan.
Apakah ide rekonsiliasi yang dilontarkan itu berasal dari Jokowi atau TKN paslon 01? Tidak! Bahkan, konon, Jokowi pun sebenarnya ogah rekonsiliasi, namun terpaksa dilakukan agar dia dapat tetap sebagai pemenang pilpres meski dari hasil manipulasi suara.
Jika tidak ada “kekuatan besar” yang memaksa, mustahil ide rekonsiliasi dilontarkan. Pihak kekuatan besar ini memegang data dan bukti pencurangan pemilu/pilpres, namun memahami sepenuhnya Prabowo tidak realistis untuk jadi Presiden RI untuk saat ini.
Sebab, stigma Prabowo terlalu buruk di mata dunia. Rekonsiliasi menjadi win-win solution. Tentu saja dengan terpenuhnya minimal 2 prasyarat tadi. Prabowo cs masuk dalam sistem; Abolisi, amnesti, grasi, deponeering semua kasus pendukung 02 korban kriminalisasi 01.
Idealnya Prabowo Kepala KSP dengan kewenangan KSP seperti 2014-2015 semasa dipegang LBP. Ide rekonsiliasi ini untuk menyelamatkan posisi Jokowi, sekaligus harus mengakomodir kepentingan Prabowo dan rakyat, bangsa, dan negara di atas segalanya.
Jika tidak demi rakyat, bangsa, dan negara, mending tidak usah rekonsiliasi! Anda perhatikan siapa yang panik dengan gagasan rekonsiliasi: Ki Dalang, CSIS, Negara China, Partai koalisi Jokowi kecuali PDIP, Cukong, Antek JIL, LGBT, PKI, dan lain-lain.
Pemimpin sejati tahu yang terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Berani untuk tak populer karena harus mengambil keputusan terbaik. Dan, pada saat nanti, rakyat akan membuktikan sendiri bahwa keputusan itu adalah benar.
Pada saat itu dukungan rakyat akan membesar dan terus membesar. Jangan dikira penyokong Jokowi berdiam diri melihat rencana rekonsiliasi ini. Mereka akan gunakan segala cara untuk menggagalkan rekonsiliasi, jika Prabowo pemegang utama kekuasaan.
Politik adalah perjuangan merebut kekuasaan. Tanpa kekuasaan mustahil aspirasi rakyat bisa terwujud. Aspirasi rakyat pendukung Prabowo hanya bisa terwujud dengan Prabowo sebagai pemegang utama kekuasaan pemerintah di pemerintahan Jokowi.
Prabowo akan menjadi the real president jika semua pengkhianat ditumpas. Penolakan atas rekonsiliasi oleh sebagian rakyat itu adalah hal yang wajar. Penolakan itu tetap dibutuhkan Prabowo agar seluruh prasyarat rekonsiliasi segera dipenuhi Jokowi.
Bagaimana dengan oposisi jika Prabowo dan PKS masuk kabinet? Yang perlu dicatat, oposisi tidak pernah eksis dalam sistem politik kita. Yang ada hanya pseudo oposisi. Tapi, kalau mau oposisi, tinggal suruh saja PD, PAN, Hanura, PBB, dan PSI yang jadi oposan.
Jika minimal 8 kursi kabinet dipenuhi, Prabowo wajib alokasikan minimal 3 untuk kader atau proksi PKS. Mengapa Prabowo perlu masuk pemerintahan? Bahwa selama ini hanya JK yang mampu menandingi kehebatan jenderal penyokong Jokowi dalam berpolitik.
Politisi sipil lain memble. Terus menerus jadi korban politik jenderal penyokong Jokowi sejak Reformasi ’98. JK sudah menjadi Solusi masalah negara selama ini.
Energi Rakyat
Dalam perjuangan terkadang kita harus melakukan langkah-langkah yang mungkin tak cocok dengan perasaan kita sendiri maupun dengan rekan-rekan seperjuangan. Perdamaian tersebut hanya bisa terwujud jika posisi kedua pihak sama-sama kuat. Seimbang.
Jika satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka yang terjadi adalah penguasaan, penaklukan, dan penjajahan, bukan perdamaian.
Ungkapan rasa kecewa, marah, sakit hati, dan kesedihan emak-emak maupun pendukung 02, karena merasa dikhianati, itulah energi rakyat yang diusung Prabowo ke gerbong MRT untuk bertemu capres petahana Jokowi.
“Jadi saya sarankan kepada kader kader struktural pro 02 nggak usah buat rasionalisasi dan pembenaran atas pertemuan MRT. Hanya agar untuk meredakan amarah emak-emak. Nggak perlu,” ujar Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit.
Menurutnya, Prabowo yang dekat dengan Rachmawati Soekarnoputri, pasti bisa menghayati istilah yang kerap diungkap Bung Karno: RODINDA. Dalam perjuangan itu harus berpadu antara Romantika, Dialektika, dan Dinamika.
“Kemarahan emak-emak itu adalah human passion. Gairah kemanusiaan. Romantika,” lanjut Hendrajit. Bagi para politisi yang garing dan miskin imajinasi dan citarasa, romantika kerap diabaikan.
Menurutnya, masalahnya itu bukan tidak boleh ketemu, bukan tidak boleh damai, karena itu adalah kemuliaan membina hubungan kebangsaan dan silaturahmi. Tapi dalam kasus Jokowi ada masalah yang harus diselesaikan.
“Ada kejahatan yang perlu klarifikasi dan ada ancaman penjajahan yang menekuk kehidupan rakyat ke depan, harus ada jaminan pembicaraan yang terbuka tentang masalah ini,” ungkap Hendrajit kepada Pepnews.com.
Tetapi, Prabowo mengingkarinya, bikin pertemuan diam-diam sana-sini dengan orang yang menyakiti rakyat, sementara Prabowo dipilih mewakili rakyat untuk memperjuangkan mereka untuk atasi masalah itu tetapi dia tinggalkan rakyat pemilihnya.
“Karena dia berpikir ini hanya urusan dia dengan tim kampanyenya atau bahkan hanya antara dia dengan beberapa orang dekatnya, sementara pemilihnya dicuekin. Ini masalahnya,” lanjut Hendrajit.
Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi, lebih baik mati mulia daripada hidup dalam kehinaan dan lain lainnya”.
“Ternyata cita-cita Prabowo hanya bisa ketemu Jokowi di atas kereta dan foto-foto tanpa akuntabilitas atas amanat suara pemilihnya,” tegasnya.