Mengapa PDIP Terkesan Ingin Menghancurkan KPK?
Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya.
By Asyari Usman (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Salah satu penganjur utama revisi UU tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan melumpuhkan lembaga ini adalah blok politik terbesar di DPR, yaitu PDIP. Partai wong cilik. Partai yang dulu melawan ketidakadilan. Partai yang pernah bersumpah untuk membasmi korupsi.
Revisi yang telah desepakati oleh semua fraksi di DPR itu diusulkan oleh enam anggota DPR. Semuanya pendukung Jokowi. Dari PDIP ada dua, yaitu Masinton Pasaribu dan Risa Mariska. Dari Golkar ada Syaiful Bahri Ruray. Kemudian, Teuku Taufiqulhadi dari Parai Nasdem. Dari PPP ada Achmad Baidowi. Sedangkan inisiator dari PKB adalah Ibnu Multazam.
Jika dilihat komposisi anggota DPR yang menggagas revisi UU KPK itu, PDIP terkesan ingin menghancurkan lembaga antikorupsi ini. Tak masuk logika politik untuk mengatakan orang lain yang menjadi biangnya.
Kesimpulan ini bisa diuji. Misalnya, apakah usul revisi bisa sukses kalau PDIP menentangnya? Tak mungkin! Tidak mungkin revisi itu bisa lolos.
Dengan begitu, apakah PDIP tidak lagi antikorupsi? Kalau dilihat statistik kasus korupsi di KPK, Partai Banteng lebih cocok disebut pura-pura antikorupsi.
Apakah itu bermakna PDIP prokorupsi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu balik bertanya: apakah PDIP bisa disebut antikorupsi ketika mereka sekarang berusaha menghancurkan KPK? Apakah layak disebut antikorupsi padahal PDIP, sejak 2015, sibuk ingin memandulkan lembaga itu?
Pikiran yang jernih pastilah menyebutkan bahwa manuver PDIP untuk melumpuhkan KPK, merupakan sikap yang tidak antikorupsi. Anda bebas menilai sendiri. Yang jelas, dalam hal-ihwal korupsi hanya ada dua kubu. Antikorupsi atau prokorupsi. Tidak ada kubu ketiga, kubu abu-abu.
Menurut hemat saya, pada saat ini PDIP berada pada posisi terdepan untuk menghancurkan KPK. Mereka menghendaki wewenang lembaga pembasmi korupsi ini dicabut habis. Sangat pantas disangka bahwa atas inisitaif merekalah dicapai kesepaktan seluruh fraksi di DPR untuk mengubah UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Revisi ini mewajibkan KPK tunduk di bawah Dewa Pengawas (DP). Ini salah stau ciptaan revisi. Tujuannya sudah bisa dibaca. Yaitu, untuk mengekang pimpinan KPK supaya tidak bebas lagi melakukan tindakan yang paling ampuh untuk memergoki korupsi. Tindakan itu ialah penyadapan telefon para terduga. Kalau revisi itu disahkan, KPK harus meminta izin dulu kepada DP. Begitu juga kalau KPK mau melakukan penggeledahan. Harus ada restu dari DP.
Revisi lainnya termasuk penghentian penyidikan kasus. KPK boleh menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Inilah salah satu yang sangat berbahaya. Bisa saja nanti para koruptor masuk jalan belakang untuk membuat ‘deal’ agar kasus seseorang dihentikan oleh KPK.
Terus, apa yang kira-kira menyebabkan PDIP menjadi tidak antikorupsi lagi?
Mungkin karena KPK selama ini terlalu banyak menjaring politisi dan kader Banteng. Atau, boleh jadi juga karena mereka masih belum selesai mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya.
Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya.
Wajar diakui bahwa KPK telah membuat PDIP kecewa dan malu. Di mana-mana, kader Banteng tertangkap basah melakukan transaksi korupsi.
LSM antikorupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) membuat grafik partai politik yang paling korup dalam periode 2002 sampai 2014. PDIP menempati urutan teratas. Disusul Golkar, PAN, PKB, dan parpol-parpol lain. Tercatat 157 kader PDIP, 113 kader Golkar, 41 kader PAN, 34 dari PKB, dst, yang masuk jaring KPK (data KPK Watch).
Di awal tahun ini, di bulan Februari 2019, ledakan dahsyat kasus korupsi menggemparkan seluruh pelosok Nusantara. Bupati Kota Waringin Timur, Supian Hadi, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi 5.8 triliun. Inilah rekor terbesar kerugian negara, mengalahkan kasus BLBI 4.5 triliun atau skandal KTP-el 2.3 triliun. Supian Hadi adalah kader PDIP.
Salah seorang penggagas revisi dari PDIP, Masinton Pasaribu, sudah sejak lama tidak cocok dengan KPK. Di tahun 2015, dia pernah mengusulkan penggunaan hak inisiatif DPR untuk mengubah UU KPK.
Menurut catatan situs JejakParlemen-id, pada 18 Februari 2018, di DPR, berlangsung rapat evaluasi KPK yang dihadiri pimpinan KPK. Di sini, Masinton mengkritik habis kinerja lembaga antikorupsi itu. Masinton mempertanyakan mengapa KPK tidak membawa kasus Pelindo II ke pengadilan padahal sudah memiliki dua barang bukti.
Dalam hal ini, Masinton benar 100 persen. KPK seharusnya tidak menunjukkan keanehan terkait kasus Pelindo II. Audit BPK sudah menegaskan kerugian negara akibat skandal ini. Tidak ada alasan bagi KPK untuk mengulur-ulur waktu. Ada kesan, KPK tak berani. Atau, terkesan mau melindungi orang-orang tertentu yang menjadi aktor utama skandal Pelindo II.
Masih di bulan Februari 2018, dalam rapat rekomendasi Pansus KPK, Masinton Pasaribu mengklarifikasi sikap PDIP tentang eksistensi KPK. Dia mengatakan, partainya konsisten untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Tetapi, dia menambahkan perlu ada perbaikan KPK berdasarkan hasil temuan-temuan Pansus KPK. Bahkan Masinton mendukung penambahan anggaran KPK demi pemberantasan korupsi. Penilaian dan penegasan Masinton itu tentu pantas diapresiasi. Tetapi, mengapa sekarang PDIP ingin menghancurkan KPK?