OPINI
Misteri Orang-orang Papua di Istana Presiden
Gubernur Papua Lukas Enembe mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Puluhan orang yang mengaku sebagai tokoh dan kepala suku Papua bertemu Presiden Jokowi? Tapi mengapa Gubernur Papua dan para tokoh Papua lainnya tak mengakui mereka? Wajah puluhan orang yang mengenakan batik Papua dan topi dari bulu burung cenderawasih, Selasa (10/9) tampak berbinar. Mereka duduk rapih di Istana Merdeka, Jakarta. 61 orang yang dipimpin oleh Ketua DPRD Jayapura Abisai Rollo itu menyebut dirinya tokoh Papua dan Papua Barat. Mereka diundang Presiden Jokowi menyusul kerusuhan di Papua Barat dan Papua pertengahan Agustus lalu. Kepada Presiden mereka menyodorkan sejumlah usulan untuk menyelesaikan masalah di dua provinsi di ujung Timur Indonesia itu. Presiden Jokowi sangat bersemangat menyambut usulan mereka. Termasuk soal pemekaran provinsi di lima wilayah adat, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Papua. Semua usulan diakomodir. Saking bersemangatnya Jokowi mengaku akan memaksa sejumlah BUMN dan perusahaan besar untuk menampung 1.000 sarjana asal Papua yang baru lulus. Sementara pemekaran provinsi, untuk sementara Jokowi menjanjikan, dua sampai tiga provinsi baru. “Siang hari ini saya mau buka (lapangan kerja), ini untuk BUMN dan perusahaan swasta besar yang akan saya paksa. Kalau lewat prosedur nanti kelamaan,” kata Jokowi. Jokowi juga sepakat dengan usulan untuk membangun istana di Jayapura. Apalagi Ketua DPRD Jayapura berjanji menyiapkan 10 hektar lahan gratis. “Tahun depan istana itu akan mulai dibangun,” ujar Abisai menirukan Jokowi. Tak lama setelah Jokowi bertemu para “kepala suku,” muncul pernyataan mengejutkan dari Gubernur Papua Lukas Enembe. Dia mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda dan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib juga bersikap sama. Mengapa mereka tidak dilibatkan? (Salah garuk) Pernyataan Lukas Enembe dan para tokoh Papua menyadarkan kita, ada yang salah dalam penanganan Papua. Seperti bunyi pepatah lama “Kepala yang gatal. Kaki yang digaruk.” Penyakitnya (gatal) tidak sembuh. Yang tidak sakit gatal malah menjadi luka yang lebih dalam. Ada kesan yang sangat kuat Presiden Jokowi menggampangkan persoalan. Atau, jangan-jangan tidak memahami persoalan. Hal itu menjelaskan mengapa Presiden sangat santai menghadapi persoalan Papua. Dia masih bisa nonton wayang dan dagelan sampai tertawa terbahak-bahak. Naik sepeda jalan-jalan di candi Borobudur dan bagi-bagi sertifikat. Masalah Papua, kata Lukas Enembe, tidak cukup hanya diselesaikan dengan membangun istana di Jayapura, membangun asrama mahasiswa, dan pemekaran wilayah seperti disampaikan oleh Abisai. Lagipula di tengah anggaran pemerintah yang sedang defisit, dari mana pula anggaran membangun istana dan pemekaran provinsi itu? Masalah Papua sangat complicated. Salah mendiagnose persoalan, apalagi menggampangkan persoalan. Harga yang dibayar akan sangat mahal. Pulau yang kaya dengan berbagai sumber daya alam itu bisa lepas dari tangan NKRI. Negara-negara adidaya yang sekarang terlibat dalam perang global, dengan senang hati menampung dan mengambil-alih. Hadirnya “para tokoh” yang dipimpin Abisai menjadi contoh kesalahan yang terang benderang. Ada kesan para pembantu dan bawahan Jokowi hanya memberi laporan yang menyenangkan. Abisai adalah Ketua DPRD Jayapura. Politisi Golkar ini pada Pilpres lalu menjadi ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Jaya Pura. Melihat level ketokohan dan posisinya, sudah jelas dia tidak dalam kapasitas mengatasnamakan tokoh Papua. Sebagai timses Jokowi, Abisai pasti tidak bisa mewakili aspirasi para tokoh yang menuntut pemisahan diri. Agak sulit untuk menemukan adanya tokoh sentral di Papua. Kecuali pejabat formal seperti gubernur atau ketua DPRP. Ada lebih dari 3.00 suku di Papua dan Papua Barat. Bahasa mereka pun berbeda-beda. Apalagi kepentingannya. Tidak mengherankan bila mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga mempersoalkan posisi Abisai. Pigai berasal dari suku Mee, salah satu suku terbesar di Papua. Mereka tersebar mulai dari pegunungan sampai kawasan pesisir di Paniai, Nabire, Doiyai, dan Dogai. Sementara Lukas Enembe berasal dari suku yang lebih besar, yakni Suku Dani. Mereka mendiami kawasan pegunungan. Mulai dari Tolikara,Wamena,Puncak Jaya, Ilaga,Yahukimo, Kurima,dan Tiom. Kalau mau klaim ketokohan, keduanya jelas lebih layak. Lebih representatif untuk diajak bicara. Bukan kali ini saja Jokowi dan para pembantunya terkesan salah memahami orang Papua. Dalam berbagai kesempatan dia membanggakan keberhasilannya membangun jalan Trans Papua. Dia juga pernah naik sepeda motor trail menyusuri beberapa kawasan di Papua. Sayangnya seperti dikatakan oleh Lukas Enembe, orang Papua tidak butuh jalan trans. Mereka tidak pernah melewati jalan itu. Yang dibutuhkan oleh orang Papua adalah dibangun kehidupannya. Pembangunan jalan Trans Papua malah sering menjadi sumber konflik dan masalah. Salah satu contohnya adalah insiden di Nduga. Anggota TNI dan warga menjadi korban tewas. Kasus Papua menjadi tantangan dan pertaruhan besar bagi Jokowi. Di harus membuktikan bahwa basis legitimasinya sangat kuat di dua wilayah ini. Pada Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf meraih suara di Papua Barat 79.81 persen. Di Papua prosentasenya bahkan lebih besar. Mereka memperoleh 90,12 persen. Di lima kabupaten, yakni Puncak Jaya, Puncak, Lany Jaya, Nduga dan Mamberamo Tengah malah meraih suara fantastis: 1.00 persen. Di kabupaten wilayah pegunungan ini pemilihan dilakukan dengan menggunakan sistem noken. Dengan modal politik seperti itu seharusnya Papua adalah masalah KECIL bagi Jokowi. Kecuali………….End
Lho....Opung Luhut Kok Takut Rem Mobil Esemka Blong?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pro kontra mobil Esemka terus berlanjut. Fakta ini menunjukkan “rekonsiliasi” yang coba dibangun oleh elit politik, tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mau Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan kek. Mau tetap di luar pemerintahan kek, masyarakat sudah telanjur terbelah dalam dua kekuatan besar. Pendukung dan penentang pemerintah. Kelompok pendukung pemerintahan Jokowi mati-matian membela mobil Esemka. Kelompok penentang menganggap mobil Esemka sebagai mobil tipu-tipu. Sama seperti kebanyakan program Jokowi. Bagi para pendukung Jokowi, sebagai pemain pemula, wajar Esemka bekerja sama dengan pabrikan lain. Termasuk pabrikan mobil dari Cina. Sebagaimana pepatah (Cina juga), seribu mil perjalanan, dimulai dengan langkah pertama. Mereka menyebut kubu seberang hanya pandai nyinyir. Tidak punya kontribusi nyata terhadap bangsa. Sekali nyinyir, sampai kapan pun akan tetap nyinyir! Sebaliknya, kubu penentang menilai, peluncuran mobil Esemka oleh Presiden Jokowi, merupakan bukti nyata, rezim pemerintah saat ini sepenuhnya berada di bawah kendali Cina. Mobil Esemka Bima 1.2 itu tak lebih cuma rebadge, alias ganti merek mobil Cina. Mantan Sekretaris Kementrian BUMN Said Didu menyebutnya sebagai pabrik tempel merek. Bukan pabrik mobil. Di tengah-tengah pro kontra tersebut, tiba-tiba muncul video dari Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Dalam video tersebut Luhut tampak sedang bercanda dengan wartawan. “Apakah mobil Esemka akan digunakan sebagai kendaraan resmi presiden Jokowi? Luhut menjawab: Kamu, wartawan saja yang naik. "Jangan suruh presiden naik, nanti kita sudah pilih-pilih gara-gara Esemka blong lagi remnya," kata Luhut. Video pendek tersebut langsung viral. Luhut dikenal sebagai tangan kanan Jokowi. Pendukung setia semua gagasan Jokowi. Jadi rada aneh kalau tiba-tiba bersuara miring. Ini berita besar! Sesuai dengan jargon, orang menggigit anjing. Bukan anjing menggigit orang! Luhut "menggigit" Jokowi, jelas berita besar! Setelah ditelusuri, ternyata pernyataan Luhut itu merupakan berita lama. Berita bulan Maret 2017. Konteks beritanya saat itu diketahui mobil presiden beberapa kali mogok. Wakil Ketua DPR Fadlizon menyarankan agar mobil presiden segera diganti dengan mobil Esemka. (Sangat relevan) Lepas dari soal berita baru, atau berita lama, seorang presiden menggunakan kendaraan produk “dalam negeri.” Produk “anak bangsa” sendiri merupakan sebuah kelaziman. Di beberapa negara malah menjadi semacam kewajiban. PM Mahathir dan para pejabat tinggi Malaysia menggunakan Proton Perdana. Ketika Jokowi berkunjung ke Malaysia belum lama ini, dia disopiri Mahathir naik Proton Persona. Kebetulan pula mobil yang dikendarai oleh Jokowi beberapa hari terakhir, kembali mogok. Kamis (5/9) mobil Mercedes Benz tipe S-600 Guard itu mogok ketika digunakan dalam kunjungan ke Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam peresmian pabrik Esemka di Boyolali, Jokowi menyerukan agar bangsa Indonesia membeli dan menggunakan mobil tersebut. "Kalau lihat produknya tadi, saya sudah buka, sudah nyoba, sudah lihat sudah test, memang wajib kita beli barang ini. Kalau beli barang dari produk lain ya kebangeten, apalagi yang impor," kata Jokowi. Menyambut pernyataan Jokowi, warga mendorong agar presiden dan para pejabat tinggi memberi contoh. Mereka harus terlebih dahulu menggunakan mobil produk Esemka. Jangan hanya mendorong rakyat, sementara mereka memilih produk lain. Sebagaimana diumumkan oleh Sekretariat Negara, untuk periode 2019-2024 akan ada pengadaan mobil baru. Presiden akan kembali menggunakan kendaraan Mercedes Benz Tipe S-600 Guard. Sementara para menteri tetap menggunakan merek Toyota. Kali ini naik kelas. Dari Toyota Camry menjadi Toyota Royal Saloon. Di dunia maya bergema seruan agar pengadaan mobil baru dari pabrikan Jerman dan Jepang itu dibatalkan. Diganti dengan mobil dari produk Esemka. Momennya pas! Sebagai pemimpin, Jokowi seharusnya memberi contoh. Sesuai dengan prinsip kepemimpinan, Ing Ngarso Sung Tulodo. Seorang pemimpin harus menjadi tauladan. Jangan Jarkoni. Hanya bisa berujar, tapi tidak menjalaninya. Dari beberapa kendaraan yang dipamerkan di pabrik Esemka di Boyolali, ada satu mobil yang tampaknya cocok untuk presiden. Namanya Esemka Moose. Tampilannya gagah dan sangar. Diklaim anti peluru. Lapis baja. Di bagian belakangnya ada tulisan: Armored by Esemka. Kereeennn. TOP Abizz..... Sebuah media melaporkan, Moose sangat mirip dengan mobil mewah merek Volvo XC90. Perbedaan yang mencolok hanya pada grill dan logo. Ketika diintip, di tengah roda kemudi ada logo Volvo. Barangkali ini hanya kebetulan saja. Jangan berpikir negatif dulu. Jangan-jangan ada teknisi Esemka yang iseng menempelkan, karena kemiripannya dengan Volvo. Boleh dong bangga, karena produk Esemka sudah mirip mobil kelas atas di Eropa. Untuk para menteri tersedia dua pilihan. Mobil Jenis SUV Garuda 1 dan Rajawali. Kalau lihat tampilannya, ketiga mobil itu — baik Moose, Garuda 1 dan Rajawali— sangat gagah. Pasti kalau digunakan oleh presiden, para menteri dan pejabat tinggi, dijamin tidak malu-maluin. Dengan predikat mobil buatan anak bangsa sendiri, akan membuat tampilan presiden dan para menteri lebih gagah lagi. Sekaligus sangat nasionalis. Sangat NKRI, karena menggunakan produk dalam negeri. Tak perlu khawatir dicemooh, ditertawakan dunia, kalau sekali-kali, atau beberapa kali mobil Esemka mogok. Mercedes Benz presiden saja sudah berkali-kali mogok. Toh orang berduit di seluruh dunia, tak berhenti menggunakan Mercedes Benz. Mobil Jerman itu tetap menjadi simbol prestise dan gengsi. Hanya yang perlu diantisipasi, kalau sampai remnya blong, seperti kata Opung Luhut. Kalau soal ini sudah berkaitan dengan keselamatan seorang kepala negara. Bagaimana kalau mobil pengangkut barang Esemka Bima yang remnya blong? Please jangan sampai diplesetkan bahwa Bima adalah singkatan dari “bikin malu.” Ini bukan soal bikin malu atau tidak. Tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Nyawa seorang warga negara juga sangat berharga lho. Bukan hanya nyawa seorang kepala negara. Jangan dibuat bercanda! End
Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Presiden Joko Widodo, dilanjutkan pertemuan Prabowo – Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo – mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu, meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019, namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua UU, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 19445, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas saat pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Para elit politik sudah tahu jika Jokowi tak bisa dilantik MPR, karena PKPU tentang Pilpres melawan UUD 1945. DPR terpilih juga tak bisa mengubah UUD 1945 dengan amandemen, karena perubahan hanya berlaku untuk Pilpres 2024. Bukan 2019! Jadi, Jokowi – Ma’ruf terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR, sesuai pasal 6A UUD 1945. Menang pada Pilpres 2019 lalu, tapi tak otomatis bisa dilantik. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 poin versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo - Sandi, bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Kalau MPR ngotot melantik Jokowi, itu melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi – Ma’ruf dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR, bukan melalui sidang MK atau keputusan KPU yang memenangkan Jokowi – Ma’ruf. Kalau ada putusan yang bertentangan dengan isi UUD 1945, maka batal demi hukum. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, paslon Presiden dan Wapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wapres. Dalam pasal tersebut ada tiga syarat dalam memenangkan Pilpres, yakni memperoleh suara lebih dari 50 persen, memenangkan suara setengah dari jumlah provinsi (17 provinsi) dan terakhir, di 17 provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen. “Jangan lupa masalah itu sudah diputus MK tahun 2014. MK memutuskan kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi,” kata Yusril Izha Mahendra, mantan penasehat hukum Jokowi – Ma’ruf. Pada 2014, MK berpendapat pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak berlaku ketika hanya terdapat dua pasangan calon sehingga pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, tidak perlu lagi menggunakan aturan tentang sebaran. Menurutnya, kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di pasal 6 UUD 1945, maka pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua. Yusril menambahkan, pada putaran kedua, ketentuan itu tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. “Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak,” kata Yusril. Namun, yang dilupakan Yusril adalah bahwa Jokowi – Ma’ruf tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 6A ayat (3) tersebut. Jokowi – Ma’ruf hanya menang di 8 provinsi, tidak sampai separuh dari jumlah provinsi (17 provinsi). Sedangkan Prabowo – Sandi menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Sehingga, keduanya telah memenuhi syarat sesuai pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu. Inilah dasar hukumnya mengapa Jokowi – Ma’ruf tidak bisa dilantik. Berikut bunyi lengkap Pasal 6A UUD 1945: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Coba simak, dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, secara implisit dapat dikatakan Jokowi – Ma’ruf belum bisa dinyatakan sebagai pemenang karena belum “setengah jumlah provinsi”. Makanya, karena tak bisa dilantik, maka Prabowo – Sandi yang memenuhi syarat itulah yang harus dilantik MPR. Prabowo – Sandi menang di lebih dari setengah jumlah provinsi, yakni tepatnya 26 provinsi dengan suara lebih dari 20 persen suara. Jokowi – Ma’ruf sendiri masih ada beberapa provinsi yang perolehan suaranya kurang dari 20 persen. Makanya, kalau Jokowi sangat ingin bertemu Prabowo itu tidak lain maksudnya adalah untuk mendapatkan legitimasi Prabowo secara politis. Perlu dicatat, jika Prabowo memberi jalan pada Jokowi – Ma’ruf untuk dilantik di MPR, justru mantan Danjen Kopassus ini bisa dianggap telah melanggar UUD 1945. Karena itulah, dia harus bisa menerima keputusan MPR atas dirinya. Bersama Sandi, Prabowo dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Ini juga perlu dicatat bahwa MK tidak berhak untuk mengubah UUD 1945. Catat! UUD 1945, bukan UU! Kedudukan MK tidak boleh di atas UUD 1945. MK itu tak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa salah satu wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi, jika ada putusan MK yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dinyatakan batal demi hukum! Dan semua pihak harus menerima dan menghormati itu! *
“Quo Vadis” Pemberantasan Korupsi Indonesia?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Adakah yang menarik terkait Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Jawabnya: Ada! Coba saja simak pasal-pasal untuk terpidana korupsi dalam RKUHP yang sedang digodok di DPR. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Langkah ini jelas bisa membuat korupsi di Indonesia akan semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. Setidaknya, ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan daripada pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama 2 tahun penjara. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar kisaran 4 hingga 20 tahun penjara. “Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Dalam Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Menurut penilaian Zaenur Rohman, DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga KPK dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” tegasnya. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Bagaimana dengan Revisi UU KPK? Inilah yang menarik! Ternyata wewenang KPK bakal dipangkas habis. Yang berkuasa di KPK nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. DP inilah yang nantinya akan mengendalikan kinerja KPK. Semua proses keputusan KPK tidak bisa langsung dieksekusi lagi. Karena harus “seizin” DP terlebih dahulu. Dengan fakta ini, DPR sudah melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK menjadi Komisi Perlindungan Korupsi! Komisi untuk melindungi perilaku korupsi. Jika ini terjadi, jangan salahkan rakyat kalau DPR dituding sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Sehingga perlu untuk diamankan sedemikian rupa sehingga tidak bisa disentuh (ditangkap) KPK. Atas inisiatif DPR itu, semua fraksi setuju dan sepakat untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Kamis (5/9/2019). Ada beberapa poin penting yang melemahkan KPK. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar atas KPK. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telepon dan penggeledahan. Kalau DP tidak setuju, ya KPK tidak bisa mengeksekusi. Ini jelas bisa disalahgunakan. Bukan tidak mungkin, bisa saja ada oknum DP membocorkan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Sehingga, bisa diterbitkan semacam SP3. Melansir tulisan wartawan senior Asyari Usman di fnn.co.id, Jum’at (6/9/2019), yang tidak kalah penting adalah status karyawan KPK yang akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telepon. “Ini yang justeru dipangkas oleh DPR,” tulis Asyari Usman. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang terkena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak terkena OTT KPK adalah dari PDIP. Kedua yaitu Golkar. Begitu juga Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain. “Jika mau jujur, sebenarnya justru Partai Demokrat-lah yang berada dalam urutan pertama sebagai partai terkorup. Tapi, karena KPK dikuasai oleh Partai Biru, sehingga kadernya masih terlindungi,” ungkap sumber Pepnews.com. Coba saja silakan petakan siapa saja anggota komisioner yang menjabat sekarang ini. Ketua KPK Agus Rahardjo disebut-sebut sebagai “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Makanya, banyak kader Demokrat yang”lolos”. Pertanyaannya kemudian, apakah Revisi UU KPK tersebut bukan dirangsang oleh sikap KPK selama ini, yang condong ke Partai Biru SBY? Karena, banyak skandal yang mengarah pada kader SBY, tapi tak diproses oleh KPK, seperti skandal Pelindo. Tapi, kalau ke kader partai lain, sangat cepat sekali. Sehingga banyak kader partai lain yang ditangkapi. Sementara pada 2018 dan 2019 ini tidak ada kader Demokrat yang ditangkapi. Padahal banyak yang bisa diproses dan ditersangkakan. Ketua DPP Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) Bambang Sulistomo akan mendukung semua pihak untuk melawan pihak-pihak yang berniat “merongrong” wibawa KPK. Putra Pahlawan Bung Tomo itu secara tegas menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi UU 30/2002 KPK. “Segala upaya pelemahan pada KPK akan berdampak pada pelemahan dan keutuhan NKRI,” katanya kepada Pepnews.com. KPK adalah lembaga independen untuk menjaga keutuhan NKRI, dan kelahiran KPK atas UU 30/2002, pada akhirnya merupakan bagian dari sejarah kehendak para pendiri bangsa dan upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa, yang berdampak luas pada semua teks jual-beli hukum. Yakni pada proses pemiskinan masyarakat, pada proses ketimpangan sosial ekonomi, pada proses krisis kepercayaan masyarakat. KPK mendapatkan harapan besar dari masyarakat agar mampu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. “IP-KI menolah upaya untuk melemahkan peran dan kekuatan KPK,” tegasnya. Contohlah Hongkong! Kalau DPR ingin Revisi UU KPK, maka KPK harus dijadikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC independen murni sejak pembentukan. Tidak ada personil polisi dan kejaksaan, masih aktif atau mantan. Semua rekrutmen murni dari sipil sejak awal. Sehingga sepak terjang ICAC sangat ditakuti semua pejabat Hongkong. ICAC hanya bertanggungjawab soal penangkapan pada Gubernur Hongkong. Bukan mengkonsultasikan pada Gubernur. Proses penyidikan dan penyelidikan juga berdasar investigasi, berdasar masukan warga dan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan petugas negara. Bukan berdasar laporan yang diterimanya. Sehingga yang diburu ICAC murni pelanggaran hukum korupsi. Yang menarik, ICAC juga berhak menangkap Gubernur Hingkong, jika terbukti korupsi. Padahal ICAC bertanggung jawab pada Gubernur Hongkong. Itulah keistimewaan ICAC yang diadopsi Jepang, FBI, dan banyak negara lain di Asia dan Eropa. ICAC disebut-sebut sebagai lembaga tersukses di dunia memberantas korupsi. ICAC didirikan pada 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif. Saat itu, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat kejahatan terorganisasi. Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum. Saat ICAC dibentuk hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam waktu tiga tahun, ICAC sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi. Dalam Millenium Survey terbaru bahwa pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong. Tampaknya KPK masih sulit untuk bisa menjadi seperti ICAC jika anggotanya berasal bukan dari masyarakat sipil murni! *
Tahun 2022 Ekonomi Tumbuh 4.6%, Jokowi Harus Batalkan Pindah Ibukota
Oleh Gde Siriana Yusuf Bank dunia di hadapan Jokowi saat bertandang ke istana Negara 2 September 2019 lalu, memaparkan prediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Diperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut hanya akan tumbuh pada angka 4,6%. Prediksi Bank Dunia juga menunjukkan tren negatif sejak 2018 (5.17%), 2019 (5.1%), 2020 (4.9%). Sementara sejak Agustus lalu, Jokowi justru mengumumkan rencana pindah Ibukota ke pulau Kalimantan yang membutuhkan dana tidak sedikit. Permasalahannya, bukan hanya anggaran yang besar. Namun apakah rencana pindah ibukota itu proper dalam situasi ekonomi nasional yang sedang sulit. Kondisi ini diperparah dengan gejolak ekonomi global yang diprediksi banyak lembaga ekonomi dan keuangan internasional sedang menuju resesi. Jika mengamati kondisi ekonomi saat ini saja, dengan pertumbuhan hanya berkisar 5%, maka pemerintah masih menghadapi trio defisit (neraca dagang, CAD & anggaran negara). Selain itu, masalah keuangan atau likuiditas seperti defisit BPJS. Bahkan pada tahun 2020 nanti, pemerintah merencanakan mengurangi subsidi energi, yang sangat mungkin diikuti dengan kenaikan harga (Tempo.com 6 Sep 2019). Jadi, dapat dikatakan rencana memulai pembangunan ibukota baru pada tahun 2022 sangat tidak relevan lagi. Sebaliknya, pemerintah harus segera membenahi ekonomi nasional di masa jelang krisis globa. Targetnya untuk menyelamatkan negara dari krisis yang lebih besar. Paradigma ini jauh lebih rasional ketimbang urusan pemindahan ibukota yang masih belum jelas dampaknya secara ekonomi dalam waktu dekat. Jokowi harus segera umumkan penundaan pemindahan ibukota hingga ekonomi nasional membaik. Langkah ini perlu dilakukan, agar semua kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengusaha dan masyarakat fokus pada penyelematan ekonomi nasional. Semua komponen bangsa harus dalam kebijakan yang sama menghadapi resesi ekonomi dunia Untuk itu, dipererlukan kebijakan yang efektif berdampak langsung pada persoalan mendasar yang sesungguhnya. Misalnya, produktifitas yang rendah dan perlambatan pertumbuhan angkatan kerja. Juga perlu reindustrialisasi dan relokasi industri ke lima pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua harus segera dimulai. Tanggalkan dulu mimpi pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Penundaan pindah ibukota oleh Jokowi juga dapat mencegah keraguan dan sikap menunggu para investor, baik asing maupun domestik tentang kapan kepastian pindah ibukota. Belum lagi jika reasoning Jokowi tentang pemindahahan ibukota seperti scheme pembiayaan BUMN-Swasta dan full swasta. Petimbangan lokasi di tengah-tengah wilayah Indonesia juga bisa saja akan ditiru oleh pemerintah propinsi. Misalnya, Jawa Timur akan pindahkan ibukota lebih ke tengah-tengah dengan scheme pembiayaan swasta dan tidak gunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Siapa pihak swasta yang tidak tergiur dengan Tera Project? Penulis adalah Direktur Eksekutif Government & Political Studies (GPS)
Undang-Undang KPK Bukanlah Barang Yang Haram Untuk Direvisi
Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Oleh Dr. Ahmad Yani Palu sidang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diputuskan oleh DPR RI. Proses menghidupkan lagi revisi undang-undang KPK sempat tertunda beberapa kali. Tahun 2017, sempat hangat isu revisi terhadap undang-undang tersebut. Namun penolakan dari internal KPK begitu kuat, sehingga tidak bisa terlaksana. Meskipun penolakan begitu kuat, DPR dengan kewenangan legislasi yang melekat padanya, akhirnya mengambil keputusan dalam suasana senyap. Sepi dari pemberitaan media, DPR RI pada hari Kamis 6 September 2019 menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan perubahan undang-undang KPK yang menjadi inisiatif DPR. Reaksi terhadap keputusan DPR merubah undang-undang KPK bermunculan. Lima unsur perguruan tinggi memberikan reaksi bersamaan. Alumni Universitas Indonesia (UI), Asosiasi Pengajar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta, Dosen Universitas Paramadina, Kampus Univeritas Gajah Mada (UGM), Universitas Mulawarman Samarinda, menolak revisi undang-undang KPK dengan alasan masing-masing. Kesimpulan dari lima unsur perguruan tinggi itu menyatakan bahwa revisi undang-undang KPK adalah upaya melemahkan KPK. Sebaliknya, dukungan terhadap inisiatif DPR merubah undang-undang KPK juga tidak kalah besarnya. Guru besar dan Dosen Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Tata negara, Hukum Keuangan Negara, dari berbagai Universitas baik negeri maupun swasta menyatakan mendukung DPR. Masyarakat dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Korupsi, Aliansi Masyarakat Cinta KPK, Forum Peduli Keadilan Bangsa dan lain sebagainya juga menyatakan dukungan terhadap perubahan undang-undang KPK. Terlepas dari dua kekuatan yang saling berlawanan itu, saya berpendapat Bahwa perubahan undang-undang merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Dukungan yang datang dari berbagai pihak itu hanya sebagai bahan masukan. Selama ini ada opini yang berkembang bahwa KPK itu lembaga super body yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun. Sehingga ketika regulasi ingin dilakukan perubahan, selalu dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap KPK. Padahal KPK bukan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan apapun dalam hal membuat dan merubah undang-undang. Penolakan KPK terhadap kehendak legislasi yang dimiliki oleh DPR dan pemerintah, sebenarnya mencerminkan sebagai lembaga yang tidak taat hukum. KPK ingin menjadi single power, dengan menempatkan diri sebagai lembaga paling "suci" yang tidak bisa dipersoalkan oleh lembaga lain termasuk lembaga inti negara. Kegagalan KPK Kegagalan KPK menempatkan diri sebagai lembaga negara bantu (Auxiliary State Organ) tidak hanya melahirkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun malah telah tjuga melahirkan institusi yang menyalahgunakan kekuasaannya (Abuse of power). Padahal kehadiran KPK adalah untuk melakukan trigger mecanism karena dua institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap gagal memberantas Korupsi. KPK dalam hal penindakan seharusnya berperan sebagai trigger mechanism. Yaitu mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum korupsi dengan baik, bukan melakukan penindakan berdasarkan seleranya sendiri. Peran KPK harus maksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kejaksaan dan kepolisian. Sebab, selama KPK dibentuk, fungsi kordinasi, supervisi, belum maksimal dalam menjalakan peran trigger mekanism atau mendorong upaya pemberantasan korupsi kepada lembaga-lembaga lain agar lebih efektif dan efisien, dalam hal ini Jaksa dan Polisi. KPK selalu mengambil jalan sendiri dalam penegakan hukum korupsi. Sampai hari ini keberhasilan KPK masih jauh panggang dari api. Kegagalan yang paling mencolok adalah pada fungsi pencegahan dan pada audit investigasi BPK. Pada tahun 2013-2017, KPK sama sekali gagal dalam melakukan pencegahan. Adapun penindakan yang dilakukan KPK dengan menggunakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sarat dengan tindakan entrapment (jebakan) kepada calon tersangka. Karena itu banyak pihak menilai bahwa KPK bekerja menurut selera kekuasaan bukan menurut aturan hukum. KPK adalah lembaga yang pada awalnya dibentuk dengan desain untuk yang sangat ketat. Kewenangan yang dimiliki sangat besar,untuk menindak pelaku korupsi. Dalam menangani perkara KPK tidak mengenal Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3). Karena itu dalam melakukan proses penegakan hukum yang benar dan adil, bukan atas dasar stigma, apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya (asas praduga tak bersalah) Namun dalam perjalanannya, pada beberapa kasus terlihat bahwa KPK tidak hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Beberapa tersangka yang ditetapkan menyalahi prosedur seperti Budi Gunawan, Hadi Purnomo, Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk), Ilham Arif Sirajuddin (Walikota Makassar) dan Serta Novanto, membuktikan KPK tidak hati-hati dalam menggunakan kewenangan yang melekat padanya. Meskipun Setya Novanto dan Ilham kembali ditetapkan tersangka setelah memenangkan Gugatan Pra-peradilan. Namun putusan pengadilan itu cukup menjadi bukti bahwa KPK bukanlah lembaga yang sepenuhnya benar dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Kegagalan KPK dalam supervisi, kordinasi, penindakan, pencegahan dan memonitoring sesuai perintah pasal 6 undang-undang KPK adalah cerminan kebijakan lembaga negara yang berpotensi merugikan negara dan kegagalan mencegah terjadinya korupsi. Kenyataan ini membuat Indonesia belum dapat menjadi peringkat negara yang aman dan bebas korupsi. Kegagalan itu menjadi satu masalah tersendiri bagi transisi demokrasi. Cara kerja KPK memperpanjang transisi demokrasi membuat iklim investasi banyak yang terhambat. Kebijakan tidak dapat diambil akibat adanya ketakutan terhadap ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sebab keputusan yang akan dibuat, bisa saja dianggap korupsi dengan dalil pasal 3 undang-undang KPK. Selain itu, KPK masih menjadi penikmat gegap gempita pujian dalam membongkar Big News, sehingga asyik sendiri. KPK gagal membongkar BiG Case, seperi kasus, sumber Daya Alam (SDA) dan Migas (SKK Migas). KPK hanya berhenti di kasus suap menyuap saja, seperti kasus perbankan, reklamasi, Trans Jakarta, Rumah Sakit Sumber Waras, dan perpajakan. KPK seharusnya Fokus kasus-kasus besar, seperti di SDA dan Migas, perpajakan, perbankan, pasar modal, hutang luar negeri, impor pangan dan barang lain, reklamasi, meikarta, kejahatan corparasi, cost recovery. Sayangnya, KPK terlalu ambisi menangkap korupsi kecil, seperti OTT Rp 100 juta, yang sebenarnya bukan domain kerja KPK diambil juga. Merevisi UU KPK Kegagalan-kegagalan KPK itu nampaknya oleh pendukung KPK tidak dianggap sebagai kegagalan. Mereka para pendung KPK terus memobilisasi opini untuk melawan hak anggota DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) maupun amandemen undang-undang. Tentu bagi saya ini merupakan cara yang tidak sehat dalam bernegara. Tanpa disadari, undang-undang KPK sudah beberapa kali dirubah melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa pihak dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kita patut merasa heran bahwa LSM boleh mengajukan perubahan UU KPK melalui Judicial Review tanpa diributkan oleh oknum-oknum di KPK. Sementara DPR dan Presiden yang memiliki fungsi sekaligus hak untuk membuat maupun merubah undang-undang, dianggap haram merubah undang-undang KPK. Saya pun sudah sejak lama mengusulkan perubahan undang-undang KPK. Ususlan tersebut, baik dalam rapat kerja dengan KPK maupun dalam beberapa tulisan. Sebab undang-undang KPK sekarang masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Harus diketahui bahwa hak DPR itu adalah yang melekat dan tidak boleh di persoalkan dengan cara memobiliasi massa dan membuat panggung protes. Sebab KPK tidak bisa melawan hak lembaga negara inti (state mein organ) dengan cara-cara "jalanan" seperti itu. Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Perubahan undang-undang KPK ini harus memberikan penegasan terhadap tiga hal. Pertama, menagaskan posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Apakah dia di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Tetapi melihat tugas dan kewenangannya, KPK adalah lembaga Eksekutif. Kedua, KPK tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan penindakan. Sebab KPK merupakan trigger mecanism yang harus bersinergi dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian. Ketiga, KPK harus diawasi oleh satu dewan, sehingga tidak "liar" dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masih perlukah ada KPK? Banyak isu yang berkembang bahwa perubahan undang-undang KPK akan memperlemah KPK. Bahkan akan mengarah pada pembubaran KPK. Isu seperti ini memang selalu hadir bersamaan dengan mencuatnya isu perubahan undang-undang KPK. Bagi saya, perubahan undang-undang KPK sama sekali tidak melemahkan KPK. Bahkan sebaliknya memperkuat sistem organisasi KPK. Pembentukan dewan Pengawas, memperjelas posisi KPK dalam tiga cabang kekuasaan, dan menambahkan beberapa aturan tentang kordinasi dan pencegahan, merupakan jalan perbaikan bagi KPK. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang sangat dibutuhkan. Perubahan undang-unang KPK juga mempertegas bahwa KPK masih sangat dibutuhkan oleh Negara. KPK juga masih diharapkan dapat memperbaiki kehidupan bangsa dan Negara, sehingga bebas dari KKN. Oleh karena itu, perubahan undang-undang KPK adalah jalan memperkuat posisi KPK dalam menjalan tugas dan kewenangannya Penulis adalah mantan Anggota Komisi III DPR RI dan Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas MuhammadiyahJakarta.
Kita Lihat, Apakah Presiden Jokowi Akan Ikut Hancurkan KPK
By Asyari Usman Semua orang sudah jelas melihat bahwa Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak lagi diinginkan keberadaannya oleh DPR. Semua fraksi di lembaga wakil rakyat itu setuju UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002 diubah (direvisi) sampai kandas. Sampai KPK tak punya apa-apa lagi. Karena revisi UU harus disetujui Presiden, maka manuver berikutnya ada di tangan Presiden Jokowi. Rakyat bisa mengamati apakah Jokowi akan ikut juga menghancurkan KPK atau tidak. Presiden bisa menolak revisi itu seluruhnya. Apa-apa saja yang membuat KPK ‘mati’ akibat revisi itu? Ada sembilan poin perubahan UU KPK yang membuat lembaga antikorupsi itu akan hancur. Independensi KPK terancam. Sebab, revisi itu menciptakan ‘atasan kedua’ KPK selain Presiden. Yaitu, Dewan Pengawas (DP). DP akan dipilih oleh DPR. Kekuasaannya sangat besar. Penyadapan telefon terduga koruptor harus mendapat izin dari DP. Begitu juga untuk tindakan penggeledahan, harus juga ada izin mereka. Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Padahal, inti dari tugas pemberantasan korupsi KPK itu adalah penyadapan telefon. Kalau DP tidak mengizinkan, berarti OTT tak bisa dilakukan. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Ini artinya DPR ingin agar KPK bisa mereka kekang gerak-geriknya. Hampir pasti akan banyak kepentingan pribadi para anggota Dewan yang akan dilindungi oleh DP. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi. Berarti, KPK tidak bisa melakukan rekrutmen secara independen. KPK dipaksa mengambil tenaga penyidik dari kepolisian saja. Ini sangat rawan. Bisa terjadi penyelewengan. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Anda bisa duga sendiri apa tujuan koordinasi ini. Sampai sekarang reputasi Kejaksaan tidak pernah pulih di mata rakyat. Revisi ini akan memberikan peluang kepada Kejaksaan untuk ‘mempengaruhi’ penuntutan di KPK. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Sudah pastilah KPK akan ditelefon terus-menerus oleh entah siapa-siapa di DP atau di institusi-institusi lain agar KPK tidak melanjutkan kasus ini atau kasus itu. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas. Ini menjelaskan bahwa KPK tidak bisa lagi mengambil alih wewenang penuntutan perkara-perkara yang mengalami kemacetan. Hanya bisa di tingkat penyelidikan. Tentu bisa ditebak mengapa revisi soal pengambilalihan penuntutan ini dimunculkan. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan. Revisi ini juga membuat KPK bangkrut total. Kalau revisi disetujui oleh Presiden, maka KPK tak bisa lagi meminta pencekalan tersangka korupsi. Tak bisa meminta bantuan bank. Tidak bisa pula meminta bantuan agar transaksi korupsi diblok. Juga tak bisa meminta bantuan Polri dan Interpol. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Ini berarti para calon pejabat atau pejabat petahana bisa sesuka hati mereka mau melaporkan atau tidak melaporkan harta-kekayaan mereka. Selama ini, KPK punya wewenang untuk menagih laporan harta-kekayaan penyelenggara negara. Itulah formula ‘racun ganas’ yang ditawarkan DPR untuk KPK. Apakah KPK akan dipaksa menenggak racun ini, tergantung pada sikap Presiden Jokowi.
Iuran BPJS Naik, Listrik Naik, Pajak Naik, Terus Rakyat Mau Makan Apa ?
Coba Anda bayangkan, berapa beban hidup keluarga di zaman yang super zalim ini. Katakanlah, satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika mereka terdaftar BPJS pada kelas ke-1, maka per bulan pengeluaran rumah tangga khusus untuk bayar iuran BPJS kesehatan sebesar 4 X 160.000. Totalnya Rp. 640.000. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Luar biasa zalim rezim ini. Belum juga dilantik untuk periode kedua, sejumlah kebijakan yang akan mencekik rakyat telah dipersiapkan. Pada saat yang sama, rezim justru pamer kemewahan dengan rencana membeli sejumlah mobil dinas untuk Presiden, menteri dan pejabat tinggi, yang menekan anggaran hingga ratusan miliar. Pemerintah sudah bulat menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan sebesar 100 persen berdalih untuk menutup defisit JKN. Kenaikan iuran akan diberlakukan mulai 1 Januari 2020. Kenaikan ini berlaku untuk peserta BPJS kelas I dan kelas II. Kelas I kelas II terhitung mulai 1 Januari 2020 iuranya naik menjadi Rp 160.000 dan Rp 110.000. Pemerintah juga berencana mencabut subsidi listrik 24,4 juta pelanggan 900 VA pada 2020. Usul pencabutan subsidi 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA datang langsung dari Kementerian ESDM yang berdalih karena 24,4 juta pelanggan tersebut merupakan rumah tangga mampu (RTM). Belum lagi, kenaikan pengenaan tarif pajak, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, jelas semakin membebani rakyat. Nampaknya, rezim mau menikmati kemenangan Pilpres dan berbagi kue kekuasan, dengan membebankan 'pesta kekuasan' itu kepada pundak rakyat. Coba Anda bayangkan, berapa beban hidup keluarga di zaman yang super zalim ini. Katakanlah, satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika mereka terdaftar BPJS pada kelas ke-1, maka per bulan pengeluaran rumah tangga khusus untuk bayar iuran BPJS kesehatan sebesar 4 X 160.000. Totalnya Rp. 640.000. Jika pengeluaran listrik rata-rata 200 kwh yang harganya nanti bisa mencapai 400.000,- maka pengeluaran per bulan untuk urusan listrik dan iuran BPJS sejumlah 400.000 ditambah 640.000. Total pengeluaran per bulan Rp. 1.040.000,- Jika penghasilan keluarga itu hanya ditopang oleh pekerjaan sang ayah dengan asumsi pendapatan UMR sekitar 3,7 juta, maka pengeluaran untuk listrik dan iuran BPJS telah memangkas Alokasi hingga nyaris 30 % menyedot Penghasilan. Apalagi jika keluarga ini tinggal di daerah Jawa tengah yang UMR nya masih kisaran 2-3 juta. Pengeluaran listrik dah BPJS ini akan menyedot nyaris 50 % dari total pendapatan keluarga. Bukankah kebutuhan rumah tangga bukan hanya bayar listrik dan iuran BPJS ? Masih ada kebutuhan makan, bayar kontrakan, biaya sekolah anak, yang semuanya juga wajib dipenuhi. Lantas, bagaimana keluarga mau mengaturnya ? Pemerintah sih enak, defisit anggaran tinggal memalak rakyat dengan pajak ini itu, iuran ini itu, pungutan ini itu. Mobil juga maunya baru, sampai mobil untuk Presiden dan menteri saja menelan biaya hingga 147 miliar. Urusan Papua tidak pernah kelar, yang diurusi cuma menari nari diatas bangkai penderitaan rakyatnya. Luar bisa, belum pernah ada rezim sezalim rezim ini sejak Republik ini berdiri. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik
Menyoal Visi-Misi Jokowi Tentang Korupsi : Agenda Apa Dibalik Pelemahan KPK?
Faktanya saat ini hampir 80-90% pegawai di KPK adalah non PNS. Seningga dengan berlakunya undang-undang KPK yang baru nanti, otomatis hampir 1.500 pegawai KPK yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia, di berbagai kementrian harus berhenti bekerja karena surat perintah tugas yang mereka kantongi batal demi hukum. Seluruh pegawai KPK akan kehilangan status pegawainya. Setiap tindakan mereka juga harus dianggap batal demi hukum. Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Masih belum hilang dari ingat public. Bagimna Jokowi dengan berapi-api mengemukakan visi dan misinya tentang penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi dalam debat capres dan cawapres 2019 beberapa waktu yang lalu. Dalam koteks penegakan hukum korupsi, Jokowi seakan memahami kehendak dan kemauan masyarakat. Sehingga dengan tegas Jokowi menyebutkan bahwa ia akan “Memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Penguatan KPK sebagai satu-satunya lembaga yang terdepan dalam penegakan hukum korupsi. Namun visi dan misi yang dinyatakan secara tegas oleh Jokowi sedang menghadapi ujian berat. Sambil menunggu pelantikannya sebagai presiden periode kedua, KPK sedang diupayakan untuk dilemahkan secara hokum oleh DPR Ujian berat kepada Jokowi tersebut berkaitan dengan isu pelemahan KPK. Terdapat dua isu atau peristiwa yang sedang terjadi saat ini berkaitan dengan isu pelemahan KPK. Isu pertama, berkaitan dengan seleksi calon pimpinan KPK. Sedangkan isu yang kedua, berkaitan dengan revisi undang-undang KPK yang saat ini sedang digodok di DPR. Anehnya, sampai dengan detik ini Presiden Jokowi hanya berdiam diri. Sebagai kepala Negara, dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang berkepentingan langsung dengan penegakan hukum korupsi, Jokowi belum memberikan tanggapan apa-apa. Jokowi juga tidak memberikan respon terhadap kedua permasalahan tersebut. Padahal komunitas masyarakat sipil pegiat anti korupsi sedang menyuarakan protes dimana-mana. Masyarakat menduga adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis melalui seleksi calon pimpinan KPK. Masyarakat melayangkan protes agar presiden Jokowi agar tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang telah diserahkan pansel kepada presiden. Salah satu pihak yang secara tegas menolak hasil seleksi capim KPK berasal dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi. Mereka beranggapan bahwa Para capim KPK bermasalah untuk menjadi pimpinan lembaga KPK. Oleh karena itu Jokowi diminta untuk memperhatikan rekam jejak capim KPK dengan baik. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Jokowi berani menolak nama-nama capim yang diserahkan pansel jika nama-nama itu tidak punya integritas. Bila perlu Jokowi mengevaluasi kembali kinerja pansel KPK. Protes ini dilakukan agar KPK tidak diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas. KPK juga jangan dipimpin oleh yang tidak mempunyai integritas. Bila tetap dipaksakan, maka KPK nantinya akan menjadi lembaga lemah terhadap penegakan hukum korupsi. Isu pelemahan KPK yang kedua, berkaitan dengan revai UU KPK. Publik sungguh sangat terkejut dengan usulan revisi undang-undang KPK. Sebab sebelumnya revisi UU KPK tersebut, tidak masuk dalam daftar inventarisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) dan non RUU untuk periode tahun 2014-2019. Yang lebih mengejutkan lagi, karena pada masa sidang pertama 16 Agustus 2019, tiba-tiba saja Badan Legislasi DPR mengajukan usulan revisi undang-undang KPK. Kemudian secara diam-diam rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Selanjutnya Rapat Paripurna (5/9/2019) dengan suara bulatDPR telah sepakat untuk mengajukan revisi undang-undang KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Luar biasa cepat, dan sangat senyap. Alih-alih untuk menguatkan lembaga KPK sebagaimana pernyataan tegas Jokowi saat penyampaian visi-misinya sebagai calon presiden. Revisi undang-undang KPK ini sangat tendensius. Bahkan terkesan sengaja didesain untuk menghabiskan posisi lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi. Poin-poin pelemahan itu tampak jalas dalam beberapa kententuan revisi undang-undang KPK. Seperti pasal 1 angka 7: “Pegawai KPK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjanjian kerja sebagaimana dimaksud dan peraturan perundang-undangan di bidang Aparatur Sipil Negara (ASN). Faktanya saat ini hampir 80-90% pegawai di KPK adalah non PNS. Seningga dengan berlakunya undang-undang KPK yang baru nanti, otomatis hampir 1.500 pegawai KPK yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia, di berbagai kementrian harus berhenti bekerja karena surat perintah tugas yang mereka kantongi batal demi hukum. Seluruh pegawai KPK akan kehilangan status pegawainya. Setiap tindakan mereka juga dianggap batal demi hukum. Ketentuan lain yang dianggap melemahkan posisi KPK adalah soal penyadapan yang perlu dan wajib atas ijin dari dewan pengawas. Aturan ini akan membuat KPK menjadi lumpuh untuk malakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Patut diduga para pimpinan Partai Politik sangat berkepentingan agar aturan ini menjadi lemah. Bahkan bila perlu dihilangkan sama sekali Sedangkan hal yang sangat fatal, dan ditengarai sebagai upaya penyusupan untuk dapat membebaskan beberapa tahanan korupsi yang saat ini sedang dalam proses penyidikan dan penuntutan. Misalnya ketentuan pasal 43 ayat (1), bahwa penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (2) penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (3) penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, asal 43 A ayat (2) persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 45 ayat (1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Jika pasal tersebut diatas diberlakukan maka akibatnya adalah direktorat penyelidikan dan penyedikan akan berhenti bekerja secara total. Sebab lebih dari setengah penyidik yang ada di KPK berstatus sebagai penyidik KPK yang bukan berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Secara serentak 20 satgas penyidikan yang ada di KPK juga stagnan seketika. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Berita Acara (BA) penahanan, BA penyitaan, dan seluruh administrasi penyidikan akan batal demi hokum. Karena tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) dan penyidik yang tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik KPK sesuai undang-undang. Demikian juga dengan kinerja Direktorat Penuntutan. Semua bisa berhenti total akibat dibelakukannya ketentuan pasal 70C. Pasal tersebut menyatakan “pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Oleh karena itu patut untuk dipertanyakan siapa sebenarnya Presiden Jokowi ini? Apakah Presiden Jokowi juga memiliki agenda tersembunyi dalam skema revisi undang-undang KPK ini? Sebab begitu besarnya suara publik yang menuntut agar presiden besikap tegas atas kebijakan pelemahan lembaga KPK. Terutama melalui dua skema tersebut yaitu, skema capim KPK dan skema revisi undang-undang KPK. Namun sayangnya, Jokowi hanya bias membisu terhadap desakan publik tersebut Ada dua hal yang patut diduga. Pertama, apakah dengan sekama pelemahan KPK ini, presiden ingin menyelamatkan kolega-koleganya yang sedang ditahan dan dalam proses penyidikan maupun penuntutan? Kedua, ataukah presiden ingin bekerja tanpa habatan, tanpa diawasi oleh KPK ke depan? Terutama yang berkaitan dengan kebijakan presiden tentang pemindahan ibukota Negara yang sedang dicari-cari landasan pembenaran secara hukum. Sebab masyarakat sadar bahwa kebijakan pemindahan ibukota tersebut belum ada selembar kertaspun yang mengatur sebelumnya dalam bentuk perencanaan. Yang sangat mengejukan terkait dengan besarnya anggaran yang digunakan untuk membangun ibukota baru tersebut. Dana yang dibutuhkan sekitar Rp 464 triliun untuk membangun ibukota tersebut, tentu sangat rawan kemungkinan praktik korupsi dan kolusi. Sehingga presiden ingin terhindar dari segala aturan hukum yang menghalangi dan mengganggu keinginan dan semangat memindahkan ibukota. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Iniversitas Nasional Jakarta
Akhir Manuver Pilpres, Prabowo Bertemu SBY?
Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air belakangan ini tampaknya saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Targetnya, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada gelaran Pilpres 2019 yang penuh dengan pencurangan. Saat pasca putusan MK yang “memenangkan” paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin diikuti “kerusuhan” 21-22 Mei 2019, sampai muncul isu akan membawanya ke PBB dan Mahkamah Internasional, timbul peristiwa lainnya sampai berhari-hari. Masyarakat pun mulai “melupakan” peristiwa pencurangan Pilpres 2019 yang telah menelan korban lebih dari 600 petugas KPPS tewas tersebut. Hiruk-pikuk Pilpres 2019 mulai meredup saat pidato Presiden Joko Widodo di MPR, 16 Agustus 2019. Sebelumnya, masyarakat dikejutkan dengan bertemunya Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019). Pertemuan ini telah memantik kemarahan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Konon, sebelum pertemuan itu, Kepala BIN Budi Gunawan telah bertemu dengan Prabowo. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Belum reda rasa kecewa para pendukung paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu, tiba-tiba atas inisiasi Budi Gunawan pula, Prabowo mengadakan pertemuan dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, Rabu (24/7/2019) itu, seperti halnya saat Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Budi Gunawan (BG). Adakah yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Megawati di Jl. Teuku Umar ini. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum NasDem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Isu seputaran rekonsiliasi mulai meredup ketika Presiden Jokowi melontarkan keinginannya untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya Kabupatan Penajam Pasir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara formal pun Presiden Jokowi sudah “minta izin” untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kaltim itu saat pidato di MPR, Jum’at (16/8/2019). Hingga muncul wacana menjual tanah negara untuk biaya Ibukota baru senilai lebih dari Rp 400 triliun itu. Hiruk-pikuk isu pemindahan ibukota pun menyedot perhatian masyarakat. Semula fokus pada manuver rekonsiliasi pertemuan MRT dan Teuku Umar, menjadi bicara perihal pemindahan ibukota ke Kaltim itu, tanpa menghitung hal krusial yang bakal terjadi. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, titik rawan adalah sebelah barat-utara Kalimantan, dikelilingi oleh Laut Cina Selatan. Saat ini laut LCS menjadi medan perebutan pengaruh antara AS versus Cina. Pertama, “Buktinya, sejak era Presiden AS Barrack Obama melalui konsep Poros Keamanan Asia, AS mengirim 60 persen kapal perangnya ke LCS,” ungkap Hendrajit. Kedua, Cina sendiri dengan konsep One Belt One Road (OBOR) berupaya meningkatkan pengaruhnya di Asia Pasifik melalui pengamanan Jalur Sutra Maritim. Berarti LCS menjadi jalur Asia ke Eropa yang dikawal Cina baik secara ekonomi maupun militer. Ketiga, Konstelasi global yang demikian, menjadikan Kalimantan sebagai ibukota, sama saja menggiring Indonesia dalam posisi terkepung oleh pertarungan global AS maupun Cina yang sedang berebut wilayah pengaruh di LCS. “Ini bertentangan dengan bayangan para penggagas ibukota di Kalimantan bahwa Indonesia akan jadi pusat keseimbangan berbagai pulau di nusantara, maupun berbagai negara,” ungkap alumni Universitas Nasional Jakarta itu. Keempat, Cina sepertinya begitu bersikeras agar Indonesia memilih Kalimantan sebagai ibukota. Atas dua pertimbangan. Pertama, menjadikan Indonesia sebagai daerah penyangga, atau bahkan bumper atau tameng antara AS versus Cina. Kedua, dengan menjadi ibukota, Cina berharap mengimbangi pengaruh Inggris dan AS yang sudah lebih dahulu bercokol di Kalimantan. Apalagi, Malaysia dan Brunei, yang menguasai 23 persen wilayah Kalimantan, merupakan negara-negara eks jajahan Inggris. Hingga kini, isu pemindahan ibukota masih menjadi perhatian masyarakat, meski kemudian muncul “rusuh” Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019). Tampaknya, “gelaran” rusuh di kedua provinsi wilayah Indonesia Timur ini tak bisa tutupi isu pemindahan ibukota. Maka, muncullah isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinlai sangat mencekik rakyat. Isu ini dimulai dari Menkeu Sri Mulyani yang akan menaikkan iuran untuk kelas II dan I BJPS Mandiri sampai 100 persen guna menutupi defisit anggaran BPJS tersebut. Masalah “rusuh” Papua dan Papua Barat pun menjadi “tidak laku” lagi. Apalagi, ternyata banyak warga yang turun gunung merasa ditipu oleh koordinator aksi demo yang berakhir dengan perusakan berbagai fasilitas, sehingga mereka mengaku menyesal. Nyaris bersamaan waktunya dengan redupnya isu Papua dan Papua Barat ini, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyentuh hajat hidup orang banyak itu mulai mengaburkan rencana pemindahan ibukota di Kalimantan ini, sehingga saling menutupi. Terakhir, hampir bersamaan, soal RUU KPK dan peresmian pabrik Esemka mulai menyedot perhatian masyarakat. Sehingga persoalan rekonsiliasi terkait hasil Pilpres 2019 nyaris hilang, jika tidak ada pertemuan Prabowo Subianto – AM Hendropriyono. Hendro Panik? Pertemuan Prabowo dengan mantan Kepala BIN pada Kamis (5/9/2019) itu, bukan tidak mungkin akan diikuti pertemuan antara Prabowo dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu dekat. Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Sehingga, muncul prediksi, setelah Prabowo – Hendro bertemu, dapat dipastikan akan terjadi pertemuan antara Prabowo – SBY. Melansir Liputan6.com, Hendro mengatakan dirinya telah bertemu dengan Presiden ke-6 RI itu untuk bertukar pikiran. Mungkinkah pertemuan Prabowo – Hendro ini semata-mata hanya untuk membahas masalah Papua, Papua Barat dan persoalan bangsa? Ataukah ada persoalan lain seperti HAM dan Pilpres 2019, sehingga mendorong Hendro bertemu Prabowo? Pasalnya, konon, masalah pelanggaran HAM dan pencurangan Pilpres 2019 sudah masuk ke Peradilan HAM di Den Haag dan PBB. Sehingga, bukan tak mungkin bisa mengancam para pelanggar HAM dan pencurangan Pilpres 2019 tersebut. Apalagi, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Negara-Negara Arab sudah tahu, tuduhan kepada Prabowo sebagai pelanggar HAM merupakan fitnah belaka. Mereka tahu, siapa yang selama ini memfitnah Prabowo untuk menjegal pada Pilpres 2014 dan 2019. Diduga, itulah yang membuat Hendro akhirnya wajib “hukumnya” bertemu dengan Prabowo. Sebab, sebagai profesor intelijen Indonesia, Hendro pasti sudah tahu bagaimana ending dari berbagai manuver Pilpres 2019 pada 20 Oktober nanti. Meski Prabowo pernah dikatain mengidap “psikopat”, ia tetap menghormati Hendro sebagai senior dan gurunya. Kunjungan itu adalah kunjungan kekeluargaan dan kunjungan pribadi yang telah lama direncanakan. “Sudah lama saya ingin sowan. Pak Hendro itu senior saya. Jadi guru saya, sehingga saya merasa memang pantas lah untuk sowan, diskusi, apalagi kalau ada masalah,” jelasnya di Senayan Residence, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019) malam. Jika ada permasalahan negara, semua pihak harus bersatu dan saling mendukung. Karena itu Prabowo meminta waktu khusus untuk berkunjung. “Walaupun intinya adalah kekeluargaan kita juga membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya. Adakah persoalan lain yang dibicarakan saat pertemuan Prabowo – Hendro tersebut? Apakah dalam pertemuan ini juga membicarakan bagaimana antisipasi jika tiba-tiba terjadi perubahan “peta politik” terkait Pilpres 2019? Ending manuver Pilpres 2019 nantinya ada di tangan Prabowo – SBY jika memang keduanya bertemu!