OPINI

Saatnya Melawan, Ada Apa dengan TEMPO?

Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu tulisan di dalam majalah TEMPO Edisi 16-22 September 2019 berjudul, “Saatnya Sama-Sama Melawan” berisi tentang ajakan kepada publik untuk melawan secara massif atas rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR. “Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengebiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan,”tulis TEMPO, 16-22 Septermber 2019 itu. Langkah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan kembali mandat gerakan pemberantasan korupsi kepada Presiden patut didukung. Menurut TEMPO, tindakan itu menegaskan rasa frustrasi mereka atas minimnya dukungan Jokowi kepada kerja KPK belakangan ini. Contoh paling nyata adalah tindakan Presiden menyetujui rencana DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa sama sekali berbicara kepada pimpinan Komisi. Sejak awal, proses revisi itu terkesan diam-diam dan tergesa-gesa. Padahal tak ada kegentingan apa pun yang memaksa pembahasannya harus dikebut pada hari-hari terakhir masa tugas parlemen periode ini. Wajar jika publik curiga ada agenda terselubung mematikan KPK. Apa pun dalih Presiden Jokowi, publik sudah pandai mencerna realitas. Faktanya: Istana setuju jika sepak terjang KPK diawasi sebuah lembaga yang merupakan kepanjangan tangan Presiden, setuju jika penyidikan bisa disetop dan status tersangka bisa dicabut, serta setuju semua pegawai KPK menjadi ASN yang tunduk kepada aturan-aturan birokrasi pemerintah. Diakui atau tidak, ketiga persetujuan itu bakal mengakhiri keberadaan KPK seperti yang kita kenal selama ini. Terpilihnya Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang pernah terlibat pelanggaran etik, menjadi ketua baru komisi anti korupsi dalam sidang Komisi Hukum DPR pekan lalu menambah kecemasan kita. Kapolda Sumatera Selatan itu jelas-jelas tak punya respek terhadap kode etik, yang justru dibuat untuk memastikan tak ada konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi. Rekam jejak Firli membuat masa depan KPK makin memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang penegak hukum yang enteng saja memberikan perlakuan khusus kepada pejabat negara dan pemimpin partai politik? Belum lagi catatan soal kasus-kasus korupsi yang sengaja dihambat atau ditunda ketika Firli menjadi pejabat KPK. Terpilihnya Firli adalah tanggung jawab Presiden Jokowi, yang memberikan mandat dan menentukan komposisi panitia seleksi. Tak berlebihan kiranya jika publik menilai Presiden sudah jatuh dalam perangkap oligarki di sekelilingnya. Para aktivis pendukung Jokowi yang kini merapat ke Istana telah gagal mengawal agenda reformasi di jantung lembaga eksekutif. Perubahan sikap dan komitmen Jokowi ini amat kentara jika kita bandingkan dengan hari-hari pertamanya menjadi presiden lima tahun lalu. Pada saat itu, bahkan untuk memilih menteri kabinetnya, Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan KPK. Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Menurut tulisan TEMPO , bukan saatnya lagi mendikotomikan publik berdasarkan kategori pendukung Jokowi atau Prabowo Subianto—dua kandidat presiden pada Pemilihan Umum 2019. Mengkritik Presiden bukan berarti mendukung Prabowo. Menolak pelemahan KPK bukan berarti mendukung radikalisme agama – fitnah sontoloyo yang selama ini kerap dilancarkan kepada Komisi. Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Kritik TEMPO TEMPO “doeloe” – selama 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tampak sekali dukungannya dalam penulisan. Sebelum Pilpres 2014 hingga Jokowi terpilih dan menjabat Presiden, sangat jelas keberpihakannya pada Pemerintah. Kita masih ingat, begitu dinyatakan menang Pilpres 2014, foto Jokowi diusung dan dibopong ramai-ramai oleh awak TEMPO beredar luas. Bahkan, tak cuma TEMPO cover TIME pernah menyebut, “A NEW HOPE, Indonesian President Joko Widodo Is A Force for Democracy”. Pembelaan atas kebijakan Presiden Jokowi sangat kentara sekali. Sampai ada yang menyebut bahwa TEMPO “terlibat” dalam pencitraan positif Jokowi selama ini. “Kalau kritis harusnya bukan Janji Tinggal Janji. Tapi, A New Problem,” ujar Prof. Hendrajit. Direktur Eksekutif The Global Future Institute yang juga wartawan senior itu menilai, kalau majalah kondang yang sekarang tiba tiba kritis kepada Jokowi, “Sebenarnya hanya pengen memperbaharui kontrak,” ungkapnya. “Apalagi kalau call sign yang dipakai: janji tinggal janji. Ini bukan kritis. Sejatinya masih satu rasa, cuma lagi il feel. Pengen balikan, tapi dengan saling pengertian yang baru. Jale jale,” lanjutnya. Istilah jale ini mengingatkan tulisan seseorang yang mengaku mantan wartawan TEMPO yang ditulis di Kompasiana.com. Jale menjadi kosakata Slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. Melansir Tempo.co, Selasa (12 November 2013 11:58 WIB), TEMPO bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul "TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?" disebutkan Dirut PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData. KataData menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Saat itu, Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu. KataData yaitu lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan TEMPO. Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk "Setelah Rudi, Siapa Terciprat?" pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. Menurutnya, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawan Tempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang. “Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham Grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar Grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah,” tulis Jilbab Hitam. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie. Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya seperti yang disebut Jilbab Hitam dalam tulisan tersebut. Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawa Pos. “Teman saya di Jawa Pos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawa Pos) adalah, gaji para wartawan Jawa Pos tidak besar,” ungkapnya. Namun, manajemen Jawa Pos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. “Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan,” lanjut Jilbab Hitam. TEMPO berbeda. “Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka Rp 3 jutaan. Terakhir malah mencapai Rp 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang,” ungkapnya. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. Disebutkannya, media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, dan sebagainya yang disebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. “Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang,” tegasnya. Ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, memangnya tak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI? Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? Memangnya, ketika TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Ketika itu, “Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar,” ungkap Jilbab Hitam. Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. “Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?” tulisnya. Itulah fakta TEMPO yang mungkin selama ini tertutupi dengan tulisan-tulisan kritisnya yang “Enak Dibaca dan Perlu”. Apakah kritisnya TEMPO kepada Presiden Jokowi atas terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK akan berujung pada Jale-Jale (suap)?

Jokowi Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelemahan KPK

Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Ada yang tak lazim dilakukan Jokowi soal upaya pembenahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibandingkan masalah lain yang butuh waktu cukup lama. Tak begitu halnya dengan masalah KPK. Ada dua keputusan super cepat yang dikeluarkan Presiden Jokowi, sehingga patut dipertanyakan. Pertama, pengembalian 10 nama calom pinana (capim) KPK kepada DPR yang cuma berselang dua hari. Terhitung sejak diserahkan oleh Pansel kepada presiden. Kedua, Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) Nomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi undang-unadng KPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Rabu 11 Septembes 2019 kemarin. Hanya berselang lima hari sejak draft materi revisi undang-unang KPK telah diserahkan kepada Presdien sebagai pemegang kendali utama dalam urusan pemerintahan kepada DPR. Ketika itu presiden berjanji akan mengkajinya terlebih dahulu. Pada hari yang sama, pernyataaan presiden itu dikuatkan senada oleh Menteri Sekretariat Negara, Pratikno. Menurut Menteri Pratikno, sikap pemerintah sejauh ini mengenai revisi undang-undang KPK yang diajukan DPR tersebut, “banyak memerlukan koreksi”. Presiden bakal menambahkan banyak revisi pada draf yang diajukan sebelumnya. Surpres itu menjadi ganjil. Sesuai ketentuan, presiden masih punya waktu selama 60 hari untuk membahasnya terlebih dahulu. Pasal-pasal mana saja yang dinilai presiden bisa melemahkan KPK sebelum diserahkan kepada DPR. Apalagi mengingat masa bakti anggota DPR 2014-2019 tinggal menghitung hari saja. Hanya sekitar 20 hari lagi.. Tak ada alasan bagi presiden untuk tergesa-gesa melakukan koreksi. Atau memang draft itu berasal dari satu sumber yang sama? Rupanya ada kejar tayang dan target yang hendak disasar. Dari dua rangkaian peristiwa super cepat tersbut, sejatinya kesungguhan Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi tengah mendapat ujian berat. Komitmennya tengah diuji. Seperti sedang meniti tali, antara membesarkan atau mengkerdilkan KPK. Langkah super cepat yang telah diambil presiden, sejauh ini membuat banyak orang bahkan pendukungnya mulai ragu-ragu. Akankah Jokowi sanggup untuk “selamat sampai ke seberang?” Untuk perseteruan KPK-DPR kali ini, tampak sekali presiden “main mata” dengan DPR. Sungguh, sikap kurang terpuji yang dipertontonkan di tengah konflik tahunan dua lembaga negara yang tak kunjung usai. Seperti di film kartun, KPK-Polri ibarat Tom and Jerry. Sepatutnya presiden justru hadir sebagai pengayom. Dengan kuasa eksekutif yang dimilikinya, presiden punya kekuatan untuk membatalkan atau menunda dulu pemilihan capim KPK maupun pembahasan revisi undang-undang KPK. Paling kurang tak terlalu ngotot tergesa-gesa menyampaikan Surpres kepada DPR lantaran secara ketentuan masih banyak waktu tersedia. Berilah ruang bagi komisioner KPK untuk aktif terlibat bersama pemerintah. Seolah ada keyakinan bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pembahasan revisi undang-undang KPK akan menghasilkan undang-undang baru yang kelak menguatkan KPK. Pikiran semacam ini keliru. Waktu singkat takkan menjamin akan menjadi lebih baik. KPK bukanlah sarang taliban yang mesti diserang dari segala penjuru. Komisioner dan pegawai KPK masih berada di ranah yang selaras dengan buku manual pemberantasan korupsi. Panduan yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah. Kendati popularitasnya merosot, KPK masih menjadi medium bagi masyarakat dalam mencari rasa keadilan, lantaran uangnya dicuri. Sangat disayangkan, presdien justru mengambil jarak tanpa memaksimalkan perannya selaku Kepala Negara untuk mendamaikan perseteruan. Malah nimbrung bermain menjadi sekutu DPR. Draft Warisan Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Sekilas membaca draft revisi, rupanya tak jauh beda dengan draft tahun sebelumnya yang sempat tertunda pembahasannya. Lho kok tahu? Sanagat gampang dan mudah Bandingkan kualitas Komisi III DPR saat ini periode sebelumnya (2009-2014). Lihat saja sisi produktivitas undang-undang yang berhasil ditelurkan, maupun kemampuan dalam menjaga sinergitas antar lembaga penegakan hukum. Tidak terasa perberbedaan kualitasnya. Maka tak heran bila draft revisi merupakan duplikasi dari draft Komisi III DPR periode sebelumnya. Kendati ada sedikit polesan perubahan, namun sekedar hanya untuk pembeda belaka. Substansinya draft revisi itu merupakan penjabaran dari rapat internal Komisi III DPR sewaktu dipimpin oleh Benny Kabur Harman. Selain itu, dulu ada Ahmad Yani, Fahri Hamzah, Bambang Soesatyo dan Sarifuddin Sudding. Kala itu, Ketua Komisi II DPR Benny Kabur Harman, diminta oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso untuk segera merumuskan draft yang memuat 10 poin kewenangan KPK yang mesti direvisi. Intinya, KPK akan diminta fokus hanya untuk pencegahan. Jangan heran, dalam kampanye salah satu konsiderannya adalah perlunya revisi KPK, karena dinilai telah gagal dalam melakukan pencegahan. Ada pun hak penyelidikan dan penyidikan menjadi ranah polisi. Kemudian hak penuntutan diserahkan kepada Jaksa. Na'as, draft revisi undang-undang KPK tersebut akhirnya kandas di tengah jalan. Mati suri sebelum pembahasan. Kala itu, Presiden SBY tak sepenuhnya mendukung, lantaran pada masanya konflik KPK versus DPR maupun KPK versus Polri kerapkali terjadi dalam beberapa babak. SBY tak ingin sejarah mencatat dirinya sebagai presiden pencoreng noktah merah pelemahan KPK. Draft revisi itu rampung pada 23 Februari 2012. Covernya ditulis dengan judul huruf berwarna merah. Bertuliskan “Penghapusan Kewenangan Penuntutan oleh KPK”. Yang menarik ada konsideran memuat narasi pokok sebagai ruh perubahan. Begini bunyinya, “satu hal penting lainnya yang diatur dalam undang-undang ini adalah penghapusan tugas penuntutan oleh KPK”. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, penuntutan adalah tugas kejaksaan. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam usulan revisi, tugas tersebut dikembalikan kepada kejaksaan, sehingga KPK diharapkan lebih focus Dalam menjalankan tugasnya. (Budi Setyarso, 2012). Penulis sepenuhnya setuju bahwa dalam rangka penguatan peradilan pidana terpadu (integrated due process of law) untuk hal penuntutan, komisioner KPK mesti terlebih dahulu berkonsultasi kepada Jaksa Agung atau Jampidsus. Setiap penuntutan harus dikonsultasikan lebih dulu. Lantas pertanyaannya, apakah benar selama ini mekanisme kebijakan penuntutan oleh Jaksa KPK mengabaikan integrated due process of law tadi? Apakah benar, kejaksaan tidak diajak turut serta memutuskan tuntutan Jaksa dalam satu perkara korupsi? Rasanya tidak benar juga. Suatu ketika, penulis pernah dikabari oleh salah seorang Jaksa sewaktu sesi penuntutan dalam persidangan perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang molor dimulai. Sang Jaksa mengabari bahwa rencana tuntutan (rentut) masih dikonsultasikan dengan Kejaksaan. “Tunggu persetujuan Sisiangamangaraja satu dulu,” begitu katanya. Tak kalah pentingnya. Draft revisi juga mencantumkan ketentuan tentang Dewan Pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Usulan ini boleh dibilang upaya pembonsaian kinerja KPK. Lho kok begitu? Selain menciptakan spriral pengawas yang tak berujung, kehadiran Dewan Pengawas tetap saja tak menjamin Dewan Pengawas bekerja independen. Kehadiran Dewan Pengawas justru memunculkan kekuatiran kinerja KPK akan dintervensi atau direcoki dari dalam. Lagi pula selama ini KPK sudah dilengkapi dengan Pengawas Internal dan eksternal. Pengawas internal yakni Komite Etik dan Penasehat Internal. Dalam rangka perbaikan, Penasehat Internal perlu diperluas bobot kewenangannya dengan fungsi pengawasan. Tanpa perlu lagi dibuat organ baru yang justru akan menimbulkan over laping. Sedangkan, pengawasan eksternal, selama ini sudah tertata baik. Lewat medium Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dengan Komisi III DPR sebagai mitra kerja. Komisi III DPR telah berfungsi sebagai pengawas eksternal. Tak cuma itu, ada RDP gabungan antara Komisi III DPR, Polri, KPK dan kejaksaan. Tujuannya untuk membangun sinergitas dan koordinasi antara intitusi penegak dengan lembaga pengawas eksternal. Publik juga secara terbuka dapat turut mengawasi dan menilai KPK. Caranya dengan mengirimkan laporan kepada Komite Etik maupun Penasehat Internal terhadap penyidik yang bermasalah. Kehadiran Dewan Pengawas adalah justru dianggap sebagai upaya legitimasi transformasi perubahan fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Terkait dengan pemberlakuan SP3, memang KPK mesti membuka diri. SP3 adalah instrumen dalam menciptakan kepastian hukum. Adanya keterbatasn personal dan rumitnya data dalam pengumpulan alat bukti ditenggarai menjadi sebab kinerja KPK terbatas. Belum lagi pergulatan di internal KPK yang membuat pengambilan keputusan berjalan lamban. Sehingga berlawanan dengan masyarakat yang menghendaki kasus-kasus kakap diungkap sesegera mungkin. Kegagalan dalam merumuskan, mencari dan mengumpulkan alat bukti boleh jadi menjadi beban tersendiri dalam membidik kasus. Penyelidikan tak bisa ditingkatkan lantaran tak cukup bukti. Sementara KPK tak mengenal SP3 untuk menghentikan kasus yang terlanjur diselidiki dan ditingkatkan ke penyidikan. Tak heran, banyak kasus menumpuk tak terselesaikan dalam waktu lebih dari dari dua tahun. Contohnya kasus R.J Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka hamper genap empat tahun, sejak akhir 2015 Akibatnya, tersangka hidup tanpa kepastian hukum. Solusimya adalah penyidik KPK harus diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Selama lebih dari tiga tahun kinerjanya tak beranjak mengalami kemajuan, maka SP3 adalah cara terhormat untuk memberikan kepastian hkum kepada tersangka. SP3 juga diberikan untuk kasus-kasus yang mandeg penangananya. Dengan begitu, penyidik dituntut untuk lebih professional dalam bekerja. Lonceng Kematian Lonceng telah dikumandangkan. Presiden dan DPR telah bersekutu untuk memulai pembahasan revisi undang-undang KPK dengan satu tafsir. Tidak ada poin krusial yang diperdebatkan, sehingga tidak butuh waktu panjang untuk membahasnya. KPK sebagai lembaga superbody yang independen tengah dipertaruhkan. Tanpa dukungan Presiden dan legislatif, sulit berharap Komisi mampu bekerja maksimal. Andai kedua pihak, presiden dan DPR bersekutu itu menggunakan otoritasnya untuk mengubah keadaan KPK, seperti yang terjadi saat ini, maka lonceng kematian KPK sudah tiba. Indikasinya sudah mulai tampak jelas. Namun sebelum lonceng kematian itu berbunyi, pengunduran diri serentak tiga Komisioner KPK menjadi jalan pintas penyelamatan. Pengunduran diri tiga komisioner KPK mesti dibarengi dengan penyerahan mandat kepada Presiden disertai surat resmi secara tertulis. Tindakan ini bukan tanpa dasar dan menyalahi ketentuan. Hal itu diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 32 ayat (1) butir 5 menyebutkan bahwa pemimpin komisi berhenti atau diberhentikan karena alasan mengundurkan diri. Opsi ini mestinya bisa dipakai komisioner KPK untuk bargaining kepada Presiden. Mendesak agar komisioner KPK diberikan ruang partisipasi sejajar dengan mitranya dalam melakukan pembahasan revisi. Pembangkangan para komisioner bukan lantaran adanya rencana perubahan, tetapi lantaran tak pernah ikut dilibatkan dalam merumuskan revisi undang-undang KPK. Kondisi semacam ini mengandung makna, arah pembahasan digelar in absentia alias tanpa keterlibatan komisioner. Dengan kata lain, tak ada lagi pintu untuk diskusi. Keputusan Presiden mengirimkan surpres ditafsirkan Presiden ingin revisi segera kelar. Bukankah sikap tergesa-gesa ini dapat diartikan ada target yang hendak dicapai? Dengan pembahasan yang tergesa-gesa, tak akan ada solusi pemberantasan korupsi yang bakal memuaskan publik. Sebaliknya, komentar presiden dalam konprensi pers Jum’at (13/9/2019) kemarin malah muncul kesan kuat presiden tak punya pengetahuan sedikit pun mengenai revisi. Sikap Presiden ini jelas berbahaya. Dugaan adanya konspirasi dibalik upaya pelemahan KPK bisa samakin kuat. Bila dibiarkan berlanjut, bisa-bisa terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden yang katanya dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Presiden harus tegas bersikap menunda pembahasan dan mengundang komisioner KPK untuk turut aktif terlibat. Kini, yang dibutuhkan hanya tinggal ketegasan. Presiden tinggal perintahkan koalisi parpol pendukungnya agar menunda pembahasan. Dengan cara itu kita masih percaya bahwa presiden memang punya semangat dan komitmen kuat dalam soal pemberantasan korupsi. Persis seperti yang disampaikannya dalam kampanye pilpres tempo hari. Sekarang ini waktu yang tepat bagi publik untuk menagih janji Presiden. Publik butuhj pembuktian dari presdien bahwa program anti korupsi yang terlanjur muluk disampaikan itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. Tentu Presiden mesti bernyali, tetapi adakah nyali itu? Wallahu ‘alam bissawab Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pegiat Anti Korupsi

Ada Bara Kecil di KPK

Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Demokrasi sejauh ini telah diterima sebagai tatanan politik paling akseptabel di antara tatanan lainnya. Tetapi pada saat yang sama tidak boleh dilupakan bahwa demokrasi juga mengandung sisi manipulatif yang canggih. Sayangnya, sisi manipulatif ini terlalu sering terabaikan. Salah satu sisi manipulatifnya adalah bentangan jarak teramat jauh antara pemilih dengan mereka yang dipilih. Akibat nyatanya adalah pemilih tak tahu apa yang dilakukan oleh mereka yang terpilih. Sungguhpun begitu demokrasi memiliki satu postulat paling mengagumkan. Postulat itu adalah tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah di negara demorasi yang bebas dari pengawasan. Singkatnya tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah yang tak terkontrol. Deteil kontrol terhadap setiap organisasi negara atau pemerintah, dalam semua negara demokrasi didefenisikan dalam hukum. Itu prinsipil sebagai nilai fundamental demokrasi yang bersendikan rule of law. Postulat lainnya yang sama mengagumkan adalah tentang hak dan kewenangan. Postulat ini, dalam garis besarnya menggariskan hak dan kewenangan hanya ada dalam hukum. Hanya dalam hukumlah hak dan kewenangan ditemukan. Tidak lebih, tidak juga atas suka atau tidak suka. Apa konsekuensinya? Pejabat atau organ negara sehebat apapun tidak bisa, dengan alasan apapun, menciptakan sendiri atau mengarang sendiri hak dan kewenangannya. Postulat ini memang terlihat ekstrim, tetapi hanya itu cara memelihara, bukan hanya demokrasi tetapi juga tertib bermasyarakat. Boleh saja postulat ini diremehkan dengan menyodorkan perspektif hukum progresif khas Philiph Selznick, atau perspektif teori keadilan Richard Posner. Dua ahli hukum dan hakim agung Amerika Serikat yang memutus hasil sengketa pemilu antara Al-Gore dengan George Wolker Bush, Jr. Boleh juga postulat itu dituduh tipikal positifistik Hans Kelsen, ahli hukum yang tersohor di dunia ilmu hukum dengan teori hukum berjenjang yang gemilang itu. Tetapi demokrasi tidak menyediakan argumen lain yang falid untuk menyangkalnya. Tragis memang. Namun demokrasi dan rule of law mengenyampingkan rasa etik dan rasa moral untuk ditembakan sebagai peluru berdaya ledak mematikan terhadap norma hukum yang secara positif berlaku. Demokrasi memang tidak mengharamkan “legitimasi” atas hukum. Itu jelas dan sangat jelas. Namun harus diketahui bahwa demokrasi dan rule of law menghormati legitimasi sebagai yang amat sangat sosiologis dan politis. Larry Cata Backer, professor hukum pada The Dickinson School of Law of the Pensylvania State University, penulis article From Constitution to Constitutionalism : A Global Framwork for Legitimate Public Power System, mengakuinya. Pengakuannya terlihat mengagumkan. Katanya konstitusi tanpa legitimasi bukan konstitusi dalam keseluruhannya. Legitimasi, dalam pandangan profesional akademiknya merupakan satu fungsi nilai. Berposisi sebagai fundasi konstitusionalism. Legitimasi, karena itu menurut Larry berfungsi sebagai instrumen evaluatif terhadap derajat responsifitas atau akseptabilitas atau kesesuaian norma hukum positif dengan hasrat masyarakat secara empiris. Sebatas itu, tak lebih. Demokrasi dan rule of law tak menerima legitimasi sebagai norma hukum. Bara Yang Bagus Nama dan lambang kantor Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), mengandung sifat dan nilai hukum sebagai nomenklatur lembaga negara. Menariknya dua huruf dari nomenklatur itu ditutupi kain hitam, sehingga nomenklatur itu tak dapat dikenali secara utuh untuk beberapa saat. Fakta itu nyatanya mengusik sebagian orang. Keterusikan mereka, sejauh yang terlihat diekspresikan melalui unjuk rasa ramai di depan kantor KPK. Cukup bising unjuk rasanya. Apalagi diselingi adu argumen antara beberapa orang di antara mereka dengan orang lain, entah siapa. Selang beberapa jam sesudah itu, muncul bara lain, bara kecil yang menyehatkan. Bara itu adalah beberapa Komisioner KPK melalui konfrensi pers menyatakan menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada Presiden. Walau terlambat, tetapi sikap itu bagus. Mengapa bagus? Peristiwa ini bernilai sebagai pengakuan tersurat bahwa secara konstitusional pemberantasan korupsi merupakan urusan pemerintahan. Kewenangan melaksanakan urusan itu berada ditangan presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tegas mengatur Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Konsekuensi konstitusionalnya melaksanakan undang-undang adalah kewenangan Presiden. Pasal lain dalam konteks melaksanakan UU, yang secara konstitusional sepenuhnya bersifat urusan pemerintahan. Bukan urusan peradilan atau yudikatif seperti diatus dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Tegas pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengatur Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Kewenangan ini, menurut konstitusi, dengan alasan apapun tidak dapat didelegasikan kepada lembaga negara lain. Apapun nama lembaga negara tersebut. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang. KPK misalnya. Lebih jauh UUD 1945 meneguhkan sifat urusan melaksanakan undang-unang dengan pengaturan rigid pada pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini mengatur secara cukup terang dan tegas tentang sumpah presiden memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Sangat jelas sekali tugas konstitusional tersebut kepada presiden. Rangkaian pasal di atas, dalam sifat konstitusionalnya mengisolasi semua pemikiran kreatif yang berkencenderungan membelokan kewenangan presiden melaksanakan undang-undang sebagai urusan pemerintahan. Urusan yang ada dalam kekuasaannya sebagai presiden. Itu sebabnya kesediaan Komisioner KPK menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada presiden, sembari menanti pengarahan presiden lebih jauh, harus dilihat dan diterima sebagai langkah yang sangat tepat. Sebuah refleksi meyakinkan secara konstitusional bahwa presiden merupakan satu-satunya figur konstitusi yang memegang kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan semua urusan pemerintahan. Di dalamnya termasuk melaksanakan undang-undang memberantas korupsi. Tepat Menurut UUD 1945 Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Memang secara keilmuan, kekuasaan presiden dapat dibatasi melalui undang-undang. Ketika undang-undnag telah membatasinya, maka presiden, dengan atau tanpa alasan, sesuai UUD 1945 harus mematuhinya. Itu Titik. Namun harus diingat, yang dapat dibatasi hanyalah kewenangan-kewenangan yang tidak didefenisikan secara tegas dalam UUD 1945. Kewenangan yang UUD 1945 telah mendefenisikannya secara tegas sebagai kewenangan presiden tersebut, tidak bisa dibatasi. Pemberantasan korupsi adalah urusan yang tidak secara tegas didefenisikan dalam UUD 1945. Tetapi korupsi sebagai satu jenis kejahatan, seperti kejahatan lainnya hanya bisa diberantas melalui penegakan hukum. Dan penegakan hukum menurut UUD 1945 adalah wewenang Presiden. Kenyataan atas kewenangan presiden itulah yang terlihat sebelum KPK dibentuk. Kewenangan penegakan hukum dalam rangka memberantas korupsi dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua organ pemerintah ini yang membantu presiden melaksanakan kewenangan pemberantasan kejahatan korupsi itu. Menariknya, segera setelah terbentuknya KPK, presiden diasingkan dari kewenangannya tersebut. Semua urusan korupsi terlihat sepenuhnya sejauh itu sebagai urusan KPK. Presiden-presiden berada dalam keadaan harus mengambil jarak sejauh mungkin dari KPK. Para presiden tak bisa memberi arah secara deteil dalam usaha penegakanm hukum pemberantasan korupsi. Presiden-presiden dipotong kewenangannya dengan sifat independen lembaga KPK. KPK seperti tersaji selama ini, dalam kenyataannya sebagi lembaga superbody. Sebagian disebabkan diintegrasikannya kewenangan penyidikan dan penuntutan. Selain itu, KPK diberikan kewenangan penyadapan tanpa aturan hukum yang rigid. Tidak itu saja. Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) ditenggelamkan dalam-dalam. Orang bisa jadi tersangka bertahun-tahun lamanya tanpa kejelasan. Kasus R.J Lino yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak akhir tahun 2015 merupakan bukti nayata. KPK menjadi satu dunia sendiri. Dunia yang deteil kewenangannya tak terawasi secara maksimum. Tragis memang. Selalu begitu dalam semua dunia superbody. Dunia yang mirip absolutisame ini, pengawasan ditabukan. Itu teridentifikasi dari ragam pikiran dibalik rencana perubahan undang-undang KPK yang diprakarsai DPR dan disetuju Presiden, kini dianggap sebagai dunia yang tidak sehat. Fakta dan kenyataan ini yang hendak dikoreksi. Deteil koresksinya itu antara lain meliputi (i) menjadikan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (ii) menciptakan lembaga pengawas dan dibekali kewenangan memberi persetujuan penyadapan. (iii) pengaturan deteil penyadapan. (iv) diberikan kewenangan SP3. Sahkah semua rencana koreksi itu? Jawabannya hanya satu, yaitu “sah”. UUD 1945 dan pemikiran konstitusionalisme tentang hak dan kewenangan, sanga jelas. Hak dan kewenangan hanya ada dalam undang-undang. Tidak lain dari itu. Disisi ekstrim lain keabsahan perubahan undang-undang KPK itu terjalin dengan doktrin kedaulatan rayat Indonesia, yakni kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Pelaksanan doktrin kedaulatan rakyat tersebut, diatur dengan undang-undang. Nalarnya bagaimana? Pakailah undang-undang untuk mendefenisikan hak dan kewenangan tersebut. Termasuk menciptakan unit baru, seperti pengawas misalnya dalam satu organ diKPK. Begitulah sebenarnya bernegara. Titik. Naif betul bila mengasingkan KPK dari kekuasaan pemerintahan, dan pengawasan. Apalagi dengan membiarkan KPK mendefenisikan sendiri pelaksanaan kewenangannya. Sekarang, terlihat nyata bahwa DPR dan Presiden menyadari kekeliruan selama ini. Meskipun terlambat, namun lebih baik, daripada membiarkan KPK dengan dunianya sendiri tanpa pengawasan yang rigid. Kesadaran DPR dan Presiden ini, sejauh disajikan dalam medan UUD 1945, tentu menyehatkan. Naif betul memanggil-manggil datangnya demokrasi dan rule of law. Namiun, pada pada saat yang sama menciptakan organ superbody, yang bekerja dengan pengawasan minimum. Akhirnya harus dinyatakan secara konklusif bahwa gagasan dan deteil rencana perubahan undang-undang KPK, sudah sangat tepat menurut UUD 1945. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Sisi Tak Terlihat Dari Perdebatan Perubahan Undang-Undang KPK

Memerangi korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Saling sanggah yang begitu bising. Begitu nyata mengiringi perjalanan rencana perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diprakarsai DPR. Menariknya, saling sanggah yang amat ramai itu, turut diramaikan dengan sejumlah isu dalam pemilihan Komisioner KPK. Macam-macam isunya, dan seperti biasanya satu dan lainnya saling menyangkal. Mau diapakan kenyataan itu? Lupakan saja atau mengenalinya secara lebih mendalam? Yang mau tidak mau harus memasuki sisi-sisi tak terungkap dalam keramaian itu? Dalam kenyataannya, pemerintah dan DPR terus bekerja ditengah saling sanggah yang terus membara. Presiden juga telah menunjuk dua menteri mewikili dirinya untuk bersama DPR membahas rancangan perubahan undang-undang KPK. DPR juga telah berhasil menunaikan kewajiban hukumnya memilih 5 (lima) pimpinan KPK. Apa yang harus dan pantas disuguhkan dalam mengenali kenyataan yang menghebohkan itu? Apakah ini cara demokrasi bekerja? Bila tidak, lalu apa namanya? Demokrasi, suka atau tidak, telah diterima sejauh ini sebagai nilai. Entah itu instrumental atau deliberatif dengan semangat laksana mantra paling ampuh dalam mengelola berbagai urusan. Demokrasi sejauh ini memanggil dan menyuguhkan “tanggung jawab” sebagai sebuah nilai esensialnya. Untuk menggapainya, demokrasi menyodorkan postulat bahwa tanggung jawab hanya dapat direalisir bila cara atau proses bernegara yang masuk akal. Misalnya, seleksi pimpinan satu lembaga negara terlihat masuk akal. Seleksi itu terakses dan tersaji pada setiap kesempatan untuk semua orang, terutama mereka yang memilih pemerintah dan DPR. Tetapi harus diakui sedari awal bahwa adanya demokrasi yang menyimpan sisi hitam. Sisi manipulatif, yang tak tersunguhkan secara terbuka, karena romantisme demokrasi itu sendiri. Kenalilah Demokrasi memang menyodorkan hukum sebagai perisai terbaiknya. Karena itu hukum diyakini merupakan perkara paling netral yang dapat diandalkan membentengi demokrasi. Tetapi bila saja ada kemauan untuk memeriksa detailnya atau rincian hukum di alam demokrasi, maka akan ditemukan kenyataan demokrasi dan hukum sama-sama memiliki sisi mematikan. Sisi yang mengasingkan dan menjauhkan, Misalnya pemilih dipisahkan dari proses bernegara. Sisi mematikan demokrasi dan hukum yang tidak selalu mudah dikenali. Karena satu sebab utama, yaitu demokrasi dan hukum terlanjur diterima sebagai pranata tanpa cacat. Premis ini diperumit, dalam makna menguatkan sisi menakjubkannya oleh kampanye sistimatis multinasional corporation tentang demokrasi dan hukum itu. Multinational corporation datang dengan membawa rule of law. Supremasi hukum, akuntabilitas dan transparansi sebagai mantra global yang harus dipromosikan bersama. Semua negara harus mengkampanyekan rule of law untuk satu kehidupan global yang hebat. Mereka datang dengan global constitutionalisme atau cosmopolitan constitution. Yang dengan itu, negara-negara dunia ketiga harus mengintegrasi kehidupan nasional dengan semua yang digaungkan barat. Gemanya membawa negara-negara non barat mengabaikan sisi mematikan dan menyengsarakan yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks itu, harus diakui bahwa korupsi teridentifikasi sebagai hambatan paling mematikan atas persaingan bebas. Sebuah iklim usaha yang sedari awal diprakarsai oleh kapitalis tulen awal abad ke-17 di Inggris dan awal abad ke-20 di Amerika. Suap-menyuap, jual beli jabatan dan kewenangan teridentifikasi oleh kapitalis-kapitalis ini sebagai hal menjijikan dalam semua aspeknya. Dengan demikian, korupsi dan elemen-elemennya yang serupa harus diisolasi pada setiap sudutnya. Korupsi akhirnya teridentifikasi sebagai iblis yang bergentayangan di dalam rumah. Siapapun pasti tidak rela membiarkanya. Itu pula sebabnya korupsi harus diusir, dibasmi, diberantas. Tidak ada sisi baik di dalamnya. Dan itu jelas. Korupsi tak sedikitpun menolong keadilan. Korupsi justru meluluhlantakan keadilan. Korupsi memukul rata kesetaraan, dan pada saat yang sama mengonsolidasi diskriminasi dalam semua aspeknya, serta menelan habis semua keunggulan sebuah bangsa. Kenyataan inilah yang membalut dan teridentifikasi di Indonesia menyusul turbulensi ekonomi dan politik tahun 1998. Kenyataan itu dikristalkan dalam satu kalimat bernada propagandis “Indonesia berada dalam keadaan darutarat korupsi.” Memeranginya menjadi pilihan masuk akal yang tersedia. Pilihan itu muncul ditengah kekacauan politik hampir pada semua lapangan kehidupan politik nasional. Perbaikan Tak tersedia pilihan lain selain mengonsolidasi sejumlah aspek demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks itu Indonesia bergerak kedepan dengan mengkreasikan satu lembaga baru. KPK lah sebuah lembaga negara baru tersebut. Sayangnya harus diakui bahwa KPK tidak sepenuhnya memiliki pijakan kokoh di dalam UUD 1945. Dalam sejarahnya, lembaga serupa ditemukan pembentukannya untuk pertama kali di Amerika tahun 1887. Namanya Interstate Commerce Commission (ICC). Ditunjang kedangkalan pengetahuan sifat hukum lembaga serupa di Amerika Serikat, KPK disematkan sifat hukumnya sebagai lembaga negara yang independen. Selain independen, KPK juga lembaga negara yang mandiri. Sifat yang independen dan mandiri, merupakan sebuah sifat khas konstitusi untuk kekuasaan kehakimanpun, dilekatkan kepada KPK. Kenyataan ini mengakibatkan lembaga ini persis seperti kekuasaan kehakiman. KPK pun bekerja dengan cara yang ditentukan sendiri. Dari situ masalahnya. Rinciannya adalah KPK sebagai lembaga pelaksana hukum, penegakan hukum. Padahal posisi tersebut yang merupakan kewenangan derivasi dari kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan melaksanakan hukum menurut UUD 1945. Sayangnya, presiden tidak bisa, dengan alasan konstitusional sekalipun, membimbing, mengarahkan KPK. Apalagi sampai mengdalikan penegakan hukum yang dijalankan oleh KPK. Pembatasan jangkauan kekuasaan presiden semakin mengeras dengan konsep criminal justice system. Sebuah konsep hukum pidana yang menerangkan penyidikan sebagai bagian dari rangkaian bekerjanya peradilan pidana. Celakanya, karena penegakan hukum tidak akan disebut demikian bila tidak ada tindakan penyidikan. Tetapi sialnya, tindakan penyidikan ini justru diberi sifat peradilan. Sebuah sifat yang membatasi jangkauan kekuasaan presiden, terlepas dari siapapun orangnya. Demokrasi datang bersamaan, dan atau memanggil rule of law pada kesempatan pertama kehadirannya. Pada level empiris sekalipun, dirangsang kehadirannya dengan kehendak mencegah absolutisme. Sebab ujung dari kekuasaan yang absolutisme adalah korupsi. Pembatasannya harus dilakukan, namun tidak dengan senjata terkokang. Melainkan dengan menghadirkan hukum. Cara lainnya adalah menyebar kewenangan lembaga-lembaga itu secara tumpang tindih. Tujuannya, agar mereka dapat saling mengawasi secara berimbang. Begitulah demokrasi menyodorkan cara mengekang potensi perilaku tiranis satu lembaga terhadap lembaga lainnya. Dalam medan aktualisasi kewenangan menyelenggarakan kekuasaan negara. Hanya dengan cara itu pulalah akuntabilitas dan transparansi terpancarkan. Hanya dengan cara itu. Dan itulah sebabnya, demokrasi yang memiliki sisi manipulatif akan menertawakan negara apapun yang memungkinkan lembaga-lembaga negara berada di luar pengawasan. Baik itu pengawasan teknis maupun politis. Agar pengawasan juga tak dilakukan secara sewenang-wenang. Untuk itu, demokrasi yang dibalut dengan rule of law menempatkan pada posisi pertama adalah supremasi hukum itu. Mengharuskan pengawasan itu harus didefenisikan dalam hukum. Walaupun demikian, hukum yang hendak dibuat tersebut, harus dengan tepat mendefenisikan jangkauan pengawasannya secara rigid. Jangan sampai hukum yang mengatur pengawasan itu justru mematikan lembaga yang diawasi. Soal ini menjadi penting, karena hukum tidak datang dengan sendirinya. Hukum itu diciptakan oleh penciptanya, badan pembuat undang-undang. Sehingga mereka dapat mengisinya dengan berbagai macam kehendak. Yang satu dan lainnya bisa saling mengasingkan. Termasuk menciptakan norma yang tidak berkepastian. Menciptakan norma bersyap-sayap pengertiannya. Akibatnya, pemegang otoritas, sesuai dengan kewenangannya dapat menentukan sendiri apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan. Kondisi seperti ini sangatlah berbahaya. Hukum bisa melemahkan dan menyengsarakan bangsa. Hukum tak berkepastian disatu sisi. Terjalin dengan organisasi yang tak bisa diawasi disisi ekstrim lainnya. Dengan alasan apapun tak bisa dikatakan bukan merupakan panggilan terhadap tindak-tanduk diskriminasi. Tindak-tanduk diskriminasi memang merupakan tipikal organisasi absolut. Namun untuk kasus tertentu, diskriminasi menandai secara telanjang tindak-tanduk lembaga negara di alam demokrasi. Kondisi seperti ini harus diluruskan. Bukan karena demokrasi menentang diskriminasi, tetapi adab berkehidupan kebangsaan yang adil mengharuskannya. Korupsi akan terus ada di tengah-tengah kehipan. Sepajang aktifitas ekonomi dan politik terus mewarnai dunia. Tidaklah lebih dari itu. Caranya, akan berkembang mengikuti kecepatan kreasi dalam menerjangnya. Menerjang korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis. Kapitalis dalam korporasi berskala global selalu merupakan entitas paling tangguh. Mereka berlari cepat melampaui kesadaran masyarakat atas kelakuan negatifnya melakukan korupsi. Merekalah entitas yang tak berhenti menari ditengah perang melawan korupsi. Hukum juga selalu begitu di alam empiris. Tak handal mengekang mereka. Meski demikian, selemah itu sekalipun, demokrasi dan kehidupan beradab tak bisa diayuh tanpa hukum. Pemilih ditakdirkan demokrasi sebagai barang sekali pakai dalam lima tahun. Pemilih tak memiliki kendali atas hasil pemilu, Pemilih tak pernah tahu siapa yang terpilih, menemukan nasib yang selalu berjarak amat jauh dengan mereka yang dipilih. Nasib pemilih di demokrasi begitulah adanya. Pemilihj juga tak dapat mengendalikan mereka yang dipilih, apalagi mengarahkan tindak-tanduk mereka yang dipilih itu. Partisipasi yang merupakan bualan canggih demokrasi, jelas tak memungkinkan pemilih menentukan norma macam apa yang pantas dipositifisasi oleh pembuat hukum. Membuat hukum, dalam demokrasi sekelas apapun di level global adalah pekerjaannya para elit politik. Semnatar para elit politik ini bukanlah entitas yang mengayuh langkahnya dengan belas kasihan kepada pemilihnya. Para elit bekerja pada kemauannya sendiri, sementara para pemilih hanya bisa berharap dalam kenyataan yang berbeda dengan elit Kenyataan seperti itu sekalipun, para pemilih mesti tetap merinukan eliti-eliti politik yang bermurah hati. Pemilih berharap elit politik dapat mendefenisikan jangkauan otoritas pengawasan secara rigid. Sembari pada saat yang bersamaan memastikan penegakan hukum merupakan cara membuat keunggulan bangsa menemukan kesempatan untuk bersinar. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Tantangan Besar Mewujudkan Swasembada Bawang Putih

Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Oleh Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Indonesia adalah negara importir bawang putih terbesar dunia. “Menguasai” 17,6 persen pasar impor dunia pada tahun 2016. Devisa yang dikeluarkan sekitar U$ 674 juta dolar. Jumlah tersebut setara dengan Rp 9,5 triliun, bila menggunakan kurs yang berlaku saat ini. Banyak pihak merasa tidak masalah dengan kenyataan pahit ini. Karena Indonesia dianggap tidak mampu bersaing dengan produsen bawang putih asing, khususnya China. Ada pihak yang menyuarakan nada sumbang. Bahwa bawang putih tidak cocok ditanam dibumi pertiwi ini. Padahal sampai dengan tahun 1994, Indonesia dapat memenuhi seluruh kebutuhan nasionalnya dari dalam negeri. Dari hasil produksi dan penanaman di Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia ketika itu sudah mampu swasembada bawang putih. Bawang putih Indonesia saat ini kalah bersaing dengan bawang putih luar negeri adalah suatu fakta yang harus dicarikan solusinya. Tidak harus menyerah begitu saja. Pada hakekatnya, daya saing, dalam banyak bidang, bisa dibangun. Misalnya Toyota, yang mampu mematahkan hegemoni industri otomotif Barat pada tahun 1980-an. Masalah utama rendahnya daya saing bawang putih Indonesia karena produktivitas penanaman (budidaya) bawang putih sangat rendah. Dan produktivitas ini terus menurun. Hal ini mengakibatkan biaya produksi bawang putih Indonesia menjadi sangat mahal sekali. Dan terus meningkat seiring menurunnya produktivitas. Biaya produksi bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram, bahkan bisa lebih. Di China, biaya produksi bawang putih hanya sekitar Rp 7.500 per kilogram saja. Permasalahan produktivitas rendah bukan kesalahan petani. Juga bukan kesalahan lahan bumi pertiwi yang tidak cocok. Masih banyak lahan di Indonesia yang bisa, dan sangat layak untuk ditanami bawang putih. Dan ini sudah terbukti dengan Indonesia swasembada bawang putih pada tahun 1994. Tetapi, permasalahan utama produktivitas rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas benih bawang putih Indonesia kurang baik, dan kurang layak. Bawang putih adalah tanaman yang dibudidayakan secara vegetatif. Yaitu, benih yang ditanam berasal dari siung bawang putih tersebut. Karena kemampuan bawang putih untuk melakukan reproduksi secara alami (sexually reproduction) sangat buruk. Sehingga penanaman dari benih biji-bijian, atau secara generatif, sulit dilakukan. Penanaman bawang putih secara vegetatif mempunyai kelemahan mendasar. Yaitu, rentan terjangkit virus. Dan virus tersebut akan ikut terbawa ke tanaman berikutnya. Dengan kata lain, terbawa turun menurun. Virus-virus tersebut, antara lain LYSV (Leek Yellow Stripe Virus), OYDV (Onion Yellow Dwarf Virus), atau secara keseluruhan disebut Garlic Viral Complex (GVC). Bisa mengakibatkan pertumbuhan umbi bawang putih menyusut hingga 50 - 70 persen. Artinya, umbi bawang putih yang terkena vitus akan mengecil. Dan produktivitas turun drastis. Berat umbi bawang putih Indonesia ada yang hanya 15 gram saja, bahkan kurang. Dan paling besar mungkin sekitar 25 gram. Sedangkan bawang putih China bisa mencapai 45 - 50 gram. Apakah perbedaan berat yang menyolok ini karena perbedaan varitas? Atau karena bawang putih Indonesia memang sudah terjangkit virus secara turun temurun yang membuat umbi mengecil? Mengingat penanaman bawang putih Indonesia dilakukan secara vegetatif terus menerus. Dan selama ini tidak ada pemurnian benih. Besar kemungkinan bawang putih Indonesia sudah terjangkit virus yang membuat pertumbuhannya umbinya tidak maksimal, dan kecil. Untuk bisa meningkakan daya saing bawang putih Indonesia di pasar global, Indonesia harus melakukan pemurnian benih bawang putih agar terbebas dari virus. Sehingga membuat umbi menjadi lebih besar, dan lebih berat. Selain itu, membuat produktivitas tanam meningkat tajam. Dampaknya, biaya produksi bawang putih turun drastis. Tanpa pemurnian benih, niscaya target swasembada bawang putih 2021 sulit tercapai. Bisa saja mungkin selamanya tidak akan pernah tercapai. Akibat dari produktivitas rendah, dan biaya produksi tinggi. Artinya, pemurnian benih yang terbebas virus merupakan prasyarat utama untuk bisa swasembada. Dengan benih yang terbebas dari virus, produktivitas bisa meningkat dua sampai tiga kali lipat. Petani akan lebih sejahtera. Dan, ini merupakan tantangan utama bagi kita semua untuk bisa mewujudkan swasembada bawang putih scepat-cepatnya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

KPK: Setelah Dibonsai, Diletakkan di Bawah Hutan Korupsi

Keputusan voting DPR malam tadi menunjukkan bahwa mereka sangat berkeberatan terhadap ketegasan KPK dalam memberantas korupsi. Sekarang, DPR puas. KPK periode berikutnya menjadi bonsai. Setelah dibonsai, disirami racun. Setelah itu, KPK-bonsai diletakkan di bawah hutan lindung korupsi. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Di upacara pemakanan presiden ketiga RI, kemarin (12/9/2019) semua kata pengantar menyebutkan bahwa BJ Habibie adalah teladan untuk membuat Indonesia lebih baik dan semakin baik. Ironisnya, beberapa belas jam saja setelah kata pengantar yang menyejukkan itu, para anggota DPR melakukan tindakan yang bisa membuat Indonesia semakin parah lagi dari kondisi buruknya akhir-akhir ini. Mereka melaksankan sidang kilat untuk memilih ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan empat komisioner lainnya. Mereka pilih Irjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK. Firli adalah calon yang penuh kontroversi sejak awal proses seleksi. Hanya ada satu makna untuk pilihan DPR ini. Yaitu, mereka tidak lagi mewakili rakyat. Mereka menunjukkan ‘defiant’ (keras kepala) di depan rakyat yang memberikan mandat. Dalam sidang Komisi III yang berlangsung tengah malam buta, DPR memaksakan Firli menjadi ketua KPK. Rakyat jelas-jelas menentang keras. Keputusan voting DPR malam tadi menunjukkan bahwa mereka sangat berkeberatan terhadap ketegasan KPK dalam memberantas korupsi. Sekarang, DPR puas. KPK periode berikutnya menjadi bonsai. Setelah dibonsai, disirami racun. Setelah itu, KPK-bonsai diletakkan di bawah hutan lindung korupsi. Persis! KPK dibonsai dan diracun, kemudian disuruh hidup di bahwa hutan korupsi yang dilidungi. Revisi UU tentang KPK nomor 30 Tahun 2002 yang berintikan pembentukan Dewan Pengawas, penghapusan OTT dan penggeledahan, serta menjadikan pegawai KPK sebagai ANS biasa, adalah tindakan yang membuat KPK menjadi bonsai. Lembaga ini menjadi kerdil. Kerdil di tengah hutan lindung korupsi. Inilah jenis hutan yang tumbuh sangat subur di bumi Indonesia ini. Kemudian, kesepakatan DPR memilih Irjen Firli Bahuri menjadi ketua KPK masa jabatan 2019-2023, adalah tindakan meracun lembaga antikorupsi itu. Firli ditentang keras oleh internal KPK dan sekian banyak LSM pemantau korupsi. Sebab, beliau diduga melakukan pelanggaran berat kode etik KPK ketika bertugas menjadi Deputi Penindakan di lembaga ini sebelum dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan. KPK yang Anda harapkan itu, tidak lagi menjadi pohon yang tinggi-besar di hutan korupsi. Dia kini menjadi bonsai. Menjadi pohon yang ditanam di pot bunga dan diletakkan di tengah hutan korupsi itu. Bisa Anda dibayangkan bagaimana kira-kira eksistensi KPK di tengah hutan korupsi. Hutan yang dilindungi oleh revisi UU KPK. Kalau dilihat reaksi sejumlah petinggi KPK petahana, jelas terlihat ‘mosi tak percaya’ terhadap pilihan DPR. Penasihat KPK, Tsani Annafari, meletakkan jabatan. Dia tak sudi lagi menasihati KPK periode berikut. Kemudian, Wakil Ketua Saut Situmorang juga spontan menyatakan pengunduran diri. Tetapi masih diminta bertahan sampai Desember 2019. Yang cukup mengherankan, atau bisa juga tidak mengherankan, adalah posisi Presiden Jokowi. Setelah beliau mendapatkan masukan dari kalangan pegiat antikorupsi dan para tokoh bangsa, Jokowi tetap saja menyerahkan 10 nama capim KPK hasil seleksi tim Yenti Ganarsih ke DPR. Tanpa ada catatan. Diserahkan utuh. Padahal, dengan kekuasaan besar di tangannya, Presiden bisa memveto hasil seleksi itu atau mencoret nama-nama yang bermasalah. Artinya, Presiden Jokowi bisa menyerahkan 8 atau 9 nama capim saja ke DPR dari 10 nama yang disampaikan oleh Yenti Ganarsih. Tidak ada masalah. Karena DPR hanya perlu memilih lima (5) komisioner saja. Begitulah yang terjadi. Rakyat harus menelan keputusan DPR ini tanpa bisa membantah lagi. Keputusan ini final dan mengikat. Kalau Anda bertanya mengapa DPR dan pemerintah bisa kompak? Mungkin salah satu jawabannya adalah bahwa statistik penangkapan OTT KPK menunjukkan banyak orang DPR dan orang pemerintah yang terjaring. Penulis adalah Wartawan Senior

Puja-puji Dari Penjegal Habibie & Kesadaran Yang Terlambat

Kini Habibie telah menghadap Sang Khalik. Para elit dan tokoh yang menjadi lawan politik Habibie, yang dulu menjegal langkah Habibie untuk menjadi capres lagi, kini memuji Habibie setinggi langit. Mereka yang dulu menilai negatif kebijakan-kebijakan Habibie, justru berbalik badan seratus delapan puluh derajat memuja-muji Habibie. Sekarang tidak ada satupun elit poilitik negeri ini yang menolak penyematan gelar “Bapak Demokrasi” kepada Habibi. Oleh Gde Siriana Yusuf Jakarta, FNN - Habibie naik menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto pada 21Mei 1998. Begitu selesai dilantik menjadi presiden, pekerjaan berat sudah menanti. Saat itu ekonomi nasional hancur lebur. Nilai tukar rupiah pada Januari 1998 adalah Rp.14.800 per dolar Amerika. Bahkan 40 hari setelah menjadi Presiden nilai tukar rupiah anjlok lagi ke Rp.16.800 per dolar Amerika. Krisis ekonomi juga diperparah dengan kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota. Habibie terus bekerja keras bersama para menterinya. Pelan-pelan ekonomi nasional diperbaiki dengan kebijakan yang efektif. Dalam kurun waktu 17 bulan masa kepemimpinannya, Habibie berhasil menurunkan kurs rupiah ke Rp.6.500 per dolar Amerika. Bahkan hiperinflasi yang sempat double digit akibat rupiah anjlok, dan diikuti dengan kelangkaan bahan-bahan sembako juga dapat kembali ke single digit. Pada Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2%. Padahal dalam periode sama tahun 1998 mencapai 75,47%. Pada eranya Habibie ini pula berbagai kebijakan IMF harus dilakukan pemerintah Indonesia sesuai kesepakatan yang dibuat bersama IMF. Indonesia diwakili langsung oleh Presiden Soeharto dan IMF yang diwakili Direktur Eksekuitve Michel Camdessus. Kesepakatan Indonesia dengan IMF ditandatangani tanggal 15 Januari 1998. Point penting kesepakatan tersebut, antara lain likuidasi bank-bank yang bermasalah. Selain itu, menghentikan proyek-proyek besar seperti industri pesawat terbang nasional. Pada saat yang bersamaan, Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi, serta subsidi bahan-bahan pokok agar terjangkau oleh masyarakat di tengah krisis ekonomi. Keberhasilan dalam menyelamatkan ekonomi nasional tidak otomatis memuluskan langkah politik Habibie. Musuh-musuh politik Habibie tetap berkeras kepala menghentikan Habibie. Pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Istimewa MPR 1999 dinyatakan ditolak pada tanggal 20 Oktober 1999. Keputusan MPR inilah yang menyurutkan langkah Habibie untuk mencalonkan diri lagi sebagai presiden periode berikutnya. Isu utama untuk menjegal Habibie maju lagi dalam Pilpres berikutnya adalah stigma bahwa Habibie bagian dari Orde Baru. Pihak oposisi, dimotori oleh parpolnya Habibie sendiri Golkar. Aktor utamanya adalah Akbar Tanjung. Alasan mereka, kesalahan terbesar yang Habibie lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste). Puncaknya, Timor Timur lepas dari NKRI pada 30 Agustus 1999. Dalam bukunya, Habibie mengaku hendak sesegera mungkin menyelenggarakan referendum Timor Timur. Alasannya, dalam konteks krisis ekonomi, Indonesia membutuhkan bantuan finansial negara-negara donor dan IMF. Sementara Negara-negara donor dan IMF mensyaratkan penyelesaian persoalanTimor Timur, agar presiden yang menggantikannya,tidak perlu pusing. Dengan demikian, siapa pun menjadi presiden dan wakil presiden nanti, dapat memberi perhatian penuh kepada penyelesaian masalah politik, dan masalah ekonomi nasional. Tidak lagi diganngu dengan persoalan Timor-Timut. Kini Habibie telah menghadap Sang Khalik. Para elit dan tokoh yang menjadi lawan politik Habibie, yang dulu menjegal langkah Habibie untuk menjadi capres lagi, kini memuji Habibie setinggi langit. Mereka yang dulu menilai negatif kebijakan-kebijakan Habibie, justru berbalik badan seratus delapan puluh derajat memuja-muji Habibie. Sekarang tidak ada satupun elit poilitik negeri ini yang menolak penyematan gelar “Bapak Demokrasi” kepada Habibi. Gelar sebagai “Bapak Demokrasi”, sesungguhnya mempunyai relevansi yang kuat dengan referendun terhadap Timor Timur. Sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan. Dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang berbalik menilai positif pemerintahan Habibie. Entah apakah puja-puji dari para pembenci Habibie dahulu ini sebagai kesadaran yang terlambat ? Atau hanya sekedar mengikuti emosional mainstream ketika menerima kabar wafatnya Habibie. Padahal prestasi Habibie dalam 17 bulan pemerintahannya telah menyelamatkan ekonomi nasional. Namun tetap saja Habibie tidak diakui. Hanya demi agenda politik para elit, yang nyatanya 20 tahun kemudian Indonesia menjadi negara dengan begitu banyak masalah seperti saat ini. Satu yang tidak bisa dibantah siapapun dari jasa-jasa Habibie adalah "penguasaan teknologi dirgantara oleh bangsa Indonesia" telah diakui dunia. Habibie sendiri yg buat rancang bangun pesawat produksi Nurtanio/IPTN. Terkait teknologi ini, saya berharap semoga kisah mobil nasional nanti tidak "jomplang" dengan kisah suksesnya pesawat terbang nasional. Tidaklah mengherankan jika Habibie menjadi pemimpin yang inspiratif. Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang dijadikan benchmark atau contoh para orang tua ketika nasehati anaknya belajar agar jadi orang pintar seperti Habibie. Para Orang tua tak pernah bilang kepada anak-anaknya agar jadi orang seperti Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, apalagi Jokowi. Kembali pada kesadaran yang terlamba tersebut, apakah perlu waktu 20 tahun untuk menyadarinya? Apakah ini merupakan penyakit kultural bangsa Indonesia? Atau agenda-agenda terselubung untuk menghancurkan bangsa Indonesia? Saat negara asing seperti China dan Barat ingin menguasai Indonesia, bisa jadi kesadaran yang terlambat datang 20 tahun lagi. Ketika itu kita sebagai bangsa sudah tidak memiliki apapun. Semuanya sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Berangkat dari kenyataan Habibie ini, apakah memang naturnya elit politik kita takut kepada pemimpin yang cerdas dan punya visi atas masa depan bangsanya? Mereka lebih baik memilih pemimpin yang bodoh, dan mudah diatur oleh elit. Bahkan pemimpin yang ikut saja apa maunya negara asing. Saya menduga, para elit ini juga yang akan pertama kali berbalik meninggalkan pemimpin pilihannya di saat kesulitan yang dialami negara tak lagi bisa diobati. Tujuannya agar para elit tidak dituduh sebagai dalang dari semua bencana. Selamat jalan profesor BJH. Bapak dan pendekar Demokrasi Indonesia. Semoga kembali sebagai jiwa yang tenang. Indonesia akan selalu mengenangmu. Aamiin ya robbal alamin. Penulis adalah Direktur Eksekutif Goverment and Political Studies (GPS)

Habibie Yang Sangat Demokratis Itu Telah Meninggalkan Kita

Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta, FNN - Reformasi tahun 1998 menjadi siklus perubahan penting dalam politik Indonesia. Setelah terjadi protes massa terhadap pemerintahan Soeharto, rezim yaang sudah berkuasa 32 tahun itupun tumbang. Akhirnya Baharuddin Jusuf Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden otomatis menggantikan Presiden menggantikan Soeharto. Naiknya Habibie pada awalnya tidak terlalu menggembirakan bagi kaum reformis. Karena dianggap masih "bagian orde baru". Bagi sebagian kaum reformis, yang namanya orde baru itu mutlak harus ditolak dengan sangat keras. Transisi politik dan demokrasi berpuncak. Krisis ekonomi masih belum bisa teratasi. Isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan mencuat ke permukaan. Korupsi politik dan KKN menjadi perhatian penting. Habibie tentu harus menguras pikiran dan tenaganya memperbaiki keadaan yang sedang gawat itu. Habibie juga harus mengambil sikap untuk menyelamatkan negara. Harus menegakkan hukum, mewujudkan demokrasi bagi negara yang berada dibawah kendalinya ketika itu. Ada banyak permasalahan hukum dan HAM selama pemerintahan orde baru yang menjadi tuntutan rakyat untuk segera di atasi. Tidak mudah bagi pemerintahan Habibie yang baru seumur jagung itu untuk membayar lunas tuntutan reformasi yang terus menggeliat. Kondisinya betul-betul sangat berat. Namun disitulah kegeniusan seorang Habibie. Dia mampu melakukan perbaikan secara cepat dan tepat. Meskipun dikenal sebagai presiden dengan masa jabatan terpendek, yaitu dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. Di bawah kendali pemerintahannya, Indonesia mulai melembagakan demokrasi. Habibir membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dibuka seluas-luasnya pendirian partai politik bagi masyarakat. Sehingga pemilu tahun 1999 dapat dibilang sebagai pemungutan suara paling demokratis setelah pemilu tahun 1955. Tinggi komitmen seorang Habibie tentang demokrasi, mendorongnya menggelar referendum di Timor Timur. Meskipun keputusan tersebut kontreversial, namun Habibie tetap kukuh dengan keputusannya. Ujungnya provinsi termuda Indonesia itupun lepas dari pengkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sosok Habibie adalah sosok demokratis tulen. Dia telah memberikan kebebasan bagi keterkungkungan pers selama 32 tahun. Dilahirkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini sebagai wujud dari komitmen Habibie menegakkan demokrasi di Indonesia. Kebebasan diberikan kepada media massa nasional untuk menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya tanpa harus disensor oleh kekuasaan. Hanya dengan semangat demokratis, yang menuntun jalannya pemerintahan Habibie, sehingga dapat memulihkan gejolak politik pada 21 Mei 1998. Meskipun pemerintahan Habibie hanya singkat, tetapi kecerdasan dan kemampuannya yang jenius, memudahkan melahirkan segala produk-produk demokrasi bisa terwujud secara cepat dan tepat. Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Presiden Habibie ingin mengubah tampilan wajah pemerintah. Dari yang begitu otoriter ke arah demokrasi. Dari pemerintahan yang dianggap KKN menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu muncul dorongan untuk membebaskan tahanan politik yang dikemukakan oleh tokoh reformasi, Deliar Noer ,Ali Sadikin, Amien Rais dan Adnan Buyung Nasution, ditanggapi dengan serius. Tiga hari setelah dilantik, Habibie membebaskan terdakwa kasus subversi Sri Bintang Pamungkas, Timsar Zubil, Muchtar Pakpahan dan lain-lain. Pengumuman ini disampaikan langsung ole Presiden Habibie. Itulah salah satu peristiwa penting yang terjadi pada tangga 24 Mei 1998. Mereka semua yang berada dalam tahanan politik lainnya yang diusahakan dibebaskan. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, Andi Arif , Nuku Sulaiman, Andi Syahputra, hingga Xanana Gusmao juga dibebaskan. Pembebasan terhadap para tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) orde baru ini membuktikan keseriusan Habibie menjalankan agenda demokratisasi dan mengakhiri cara politik feodalisme yang otoritarian. Rangkul Cendekiawan & Mendirikan ICMI Habibie merupakan salah satu tokoh Islam di zaman orde baru yang patut menjadi kebanggaan bagi umat Islam. Perhatiannya terhadap politik Islam dan masa depan Islam patut diapresiasi. Memang kebijakan orde baru antara 1980-an membuat ledakan besar bagi populasi kaum cendekiawan Islam Indonesia. Presiden Soeharto memberikan perhatian yang agak serius akan perkembangan pesantren dan pendidikan Islam. Ledakan besar intelektual Islam mendorong adanya keinginan untuk membentuk sebuah wadah ormas, kajian dan diskusi. Maka pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990, lahirlaqh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau disingkat ICMI. Pada pertemuan itu juga dipilih BJ Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Selanjutnya dibentuk juga lembaga pemikir. Namanya Center For Information and Development Studies (Cides). Lembaga ini tugasnya mendorong isu demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi kerakyatan. Begitu juga penerbitan Harian Republika dan Bank Islam Muamalat. Peran Habibie dalam mengkonsolidasikan kekuatan Islam zaman orde baru, dibantu oleh Dr. Imaduddin Abdurrahim dan Adi Sasono. Ketiganya menjadi pilar uatama titik temu antara Islam dan negara. Mereka bertiga juga menjadi bagian dari tampilnya para intelektual Islam dalam panggung politik yang dapat diterima oleh pemerintahan Soeharto. Hal itu sangat positif bagi umat Islam. Wajah orde baru yang sebelumnya tidak terlalu memberikan keramahan pada Islam, setelah ICMI terbentuk justru menampakkan perubahan sikap yang sangat berbeda. Tidak mengherankan fenomena tersebut menjadi bagian dari kembalinya tokoh-tokoh Islam di panggung politik orde baru. Sebagai pengimbang bagi kelompok Islam, Habibie dibantu oleh dokter Hariman Siregar, tokoh Malari tahun 1974. Kehadiran dokter Hariman Siregar untuk melihat perspektif pembangunan dan demokrasi secara nasional yang komperhensip dan menyeluruh. Akhirnya Semua Pergi Habibie adalah sosok teladan yang patut menjadi contoh bagi kita semua. Keteladanan dalam membangun akhlak politik yang ramah dan santun. Keteladanan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Kejeniusannya dalam merumuskan kebijakan yang memberikan manfaat bagi rakyat. Habibie patut dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan kebangsaan kita. Habibie yang menjadi pelaku sejarah itu telah meninggalkan kita menghadap Rob yang menciptakannya. Dia telah mengorbankan pikiran dan tenaganya demi negara. Habibie harus dikenang dengan menjadikan setiap sikap dan kepribadiannya sebagai panutan. Ditengah distorsi, peluruhan dalam kehidupan kebangsaan kita akhir-akhir ini, maka tidak ada jalan selain menimba pengalaman dan sejarah dari Habibie yang menjadi legenda di masa dahulu kita itu. Salah satunya contohnya adalah Habibie sebagai membangun demokrasi dan mengantarkan negara keluar dari kemelut politik. Akhirnya kita semua menjadi saksi bisa Habibie kini kembali menghadap kepada pencipta. Pemilik otoritas mutlak atas gelaga yang mernama kehidupan dan kematian. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan khilafnya. Semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya, serta dikumpulkan bersama para orang-orang yang sholeh. Amin. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Vice Presiden KAI.

BJ Habibie dan Islam Politik yang Tersandung

Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu kenangan dari almarhum BJ Habibie adalah Islam politik di era Presiden Soeharto. Selalu digambarkan sebagai putar haluan Pak Harto yang sangat fenomenal. Peristiwa pembantian umat Islam di Tanjung Priok pada 1984 banyak dikaitkan dengan kebencian Jenderal Leonardud Benny Moerdani terhadap Islam. LB Moerdani waktu itu menjabat sebagai Menhankam merangkap Panglima ABRI. Moerdani dijuluki sebagai jenderal bengis dengan wajah ketat. Dalam sejumlah buku memoir, LB Moerdani disebut-sebut sebagai penerus kelompok anti-Islam yang dikelola oleh Letjen Ali Moertopo Cs. Moerdani adalah gemblengan langsung Ali. Ali Moertopo mendirikan kelompok pemikir (think tank) yang diberi nama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1971. Banyak pengamat berpendapat bahwa CSIS adalah pabrik pemikiran dan konsep yang dianggap tidak suka Islam. CSIS-lah yang konon menyiapkan ‘blue print’ politik untuk pemerintahan Presiden Soeharto pada masa-masa awal kekuasaannya yang disahkan lewat pemilu pertama pada 1971. Think-tank inilah yang memasok pemikiran mengenai arah pembangunan pemerintah Orde Baru. Seiring dengan itu, Ali Moertopo menjadi sangat kuat di kabinet Pak Harto. Ali kemudian menjadi dominan dalam tahun-tahun selanjutnya. Dia memang diakui hebat dalam memainkan kartu Islam. Dikatakan, di masa Ali-lah muncul kelompok-kelompok Islam radikal dan berbagai peristiwa ‘anti-pemerintah’ yang mereka lakukan. Tujuan dari semua ini adalah untuk memojokkan umat Islam. Kartu Islam ini dimainkan terus oleh Ali bersama CSIS. Sampai akhirnya Pak Harto sendiri terjebak jauh dalam kebijakan yang tak bersahabat dengan umat Islam. Dekade pertengahan 1970-an hingga 1980-an adalah masa-masa puncak perseteruan Pak Harto dan umat Islam. Semua ini diyakini sebagai akibat rekayasa Ali Moertopo Cs. Pak Harto mencium gelagat tak baik dari Ali Moertopo. Dirasakan ada skenario yang bertujuan untuk mendistkreditkan Pak Harto. Singkat cerita, peranan Ali pun dipangkas. Sampai akhirnya Ali tersingkir dari kabinet dan meninggal dunia pada 1984 Tetapi, menurut beberapa sumber, Ali telah menyiapkan penerusnya. Yaitu, LB Moerdani yang disebut di awal tulisan ini. Diyakini bahwa Moerdani meneruskan pemikiran Ali. Hanya saja, dalam beberapa catatan memoir, Moerdani sangat loyal kepada Pak Harto. Begitu pun, Pak Harto disebut-sebut oleh para pengamat merasa terancam oleh gerak-gerik Moerdani. Dianggap ada bahaya besar ‘gerakan politik’ anti-Islam yang dikomandoi oleh Moerdani. Ini membuat hubungan Pak Harto dengan Moerdani menjadi tidak mulus, kata para pengamat. Sementara itu, di tubuh milliter dimunculkan terminologi ‘tentara hijau’ untuk menyebut para petinggi yang dikatakan memihak Islam politik. Pak Harto yang sebelumnya juga tidak mulus dengan umat Islam, akhirnya memutuskan untuk menghentikan itu. Pak Harto membaca gelagat LB Moerdani yang dikatakan semakin berbahaya. Beliau mencari kekuatan baru. Kekuatan baru yang diperlukan itu tidak ada. Kecuali umat Islam. Mulailah kelihatan manuver-manuver yang bertujuan untuk memeluk umat Islam. Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Tidak tanggung-tanggung. Pak Harto merestui Prof BJ Habibie yang waktu itu bertugas sebagai Menristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memimpin ICMI. Habibie menjadi ketua umum pertama ICMI. Kegusaran kalangan Islam membuat kehadiran ICMI menjadi sesuatu yang membangkitkan semangat baru. Apalagi, sponsor pembentukan ICMI bukan orang biasa. Tujuan resmi ICMI adalah memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan untuk rakyat. Tetapi, bisa dibaca bahwa ICMI mempunyai misi utama untuk mengimbangi apa yang disangkakan sebagai keberadaan ‘gerakan anti-Islam’. ICMI disosialisasikan secara masif. Berhasil menjadi wadah para sarjana dan cendekiawan muslim. Di mana-mana ada cabang ICMI. Ormas ini seolah berfungsi sebagai ‘parpol Islam’ di seluruh jajaran birokrasi dan kampus plus di level akar rumput. Meskipun berstatus ormas, ICMI mampu menjadi pengimbang ‘gerakan anti-Islam’ yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Pak Harto mendukung penuh. Habibie pun berubah menjadi sosok kekuatan politik. Beliau kemudian menjadi nakhoda Islam politik. ICMI berkibar. Apalagi ada keyakinan waktu itu bahwa ‘gerakan anti-Islam’ sedang berlangsung gencar untuk mengerdilkan umat. Figur Habibie sebagai pimpinan ICMI sangat menentukan sukses organisasi itu dalam menghimpun kekuatan umat. Wadah ini menjadi ‘melting pot’ (tempat bertemu) para cendekiawan dari berbagai latar belakang ormas dan instansi. Tetapi, politisasi ICMI tidak selalu mulus. Banyak yang mencemoohkannya. Antara lain tokoh ormas NU waktu itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Meskipun kemudian Gus Dur sempat mengatakan, ketika dia menjadi presiden ke-4 menggantikan BJ Habibie, bahwa umat Islam menjadi maju berkat keberadaan ICMI. Pak Harto memang serius merangkul umat Islam. Dan beliau menaruh harapan pada Habibie. Harapan besar itulah yang kemudian ditunjukkan ketika Pak Harto menggandeng Habibie menjadi wakil presiden pada 1998. Tetapi, ‘positioning’ umat Islam lewat tangan Habibie terkena badai ketika Indonesia dilanda krisis moneter (krismon) 1997-1998. Krisis ini bercampur krisis politik. Gerakan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Pak Harto menjadi matang. Tapi, ICMI menjadi tak kelihatan. Tenggelam oleh ‘persatuan’ semua elemen bangsa yang menginginkan Pak Harto lengser. Waktu itu, umat Islam tidak membawa bendera sendiri. Amien Rais sebagai motor tuntutan Reformasi, melancarkan gerakan yang sifatnya nasional. Meskipun beliau tokoh Muhammadiyah, tetapi Pak Amien mengedepankan suara rakyat secara umum. Rakyat yang merasa tertindas oleh kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Gerakan Reformasi akhirnya berhasil mendesakkan pengunduran diri Pak Harto. Pada 21 Mei 1998, Habibie disumpah menjadi presiden. Pak Harto turun. Tetapi, Pak Habibie malah tidak meneruskan Islam politik. Nakhoda Islam politik ini memilih untuk menjadi presiden semua orang. Tidak mengherankan, sebenarnya. Sebab, sejatinya Pak Habibie adalah seorang demokrat. Beliau hidup lama di alam demokrasi Barat. Demokratis adalah jiwa Habibie. Pak Habibie tidak menjadi presiden yang menonjolkan keinginan umat Islam. Tidak lagi ada ICMI di mata beliau. Tidak ada lagi Islam politik di tangan pakar ilmu pesawat terbang itu. Bahkan, setelah beliau berhenti menjadi presiden pada 20 Oktober 1999, Pak Habibie melakukan manuver ‘self-reinventing’ atau mengubah jati diri. Beliau menjadi seorang nasionalis sejati. Bersamaan dengan itu, Islam politik tersandung di sini. Namun, suasana Reformasi membuat Islam politik menemukan jalan baru. Meskipun ICMI tidak ada lagi, gerakan baru malah membuka peluang yang lebih besar lagi. Kekuatan Islam politik menjadi faktual. Malahan lebih kuat. Sekiranya digambarkan sebagai kompetisi terbuka, piala pertama yang direbut oleh Islam politik adalah hasil pilkada DKI 2017 yang mencegah Ahok menjadi gubernur. Pak Habibie menyaksikan ini. Suka atau tak suka, Habibie dengan ‘credential’ barunya sebagai seorang demokrat sejati harus mengakui kekuatan Islam politik itu. Ternyata, tidak harus selalu tersandung. Selamat jalan Pak Habibie. InsyaAllah husnul khatimah. 12 September 2019

Jam Dinding, Seprai dan Kacang Rebus dari Eyang Habibie

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Suatu hari pada awal tahun 1999 bersama beberapa orang wartawan, kami diterima audiensi oleh Presiden BJ Habibie. Saat itu hiruk pikuk reformasi mulai mereda. Belum muncul isu referendum Timor-Timur. Ruang kerja Pak Habibie di pojok kanan Gedung Bina Graha, di Jalan Veteran, Jakarta. Suasananya terasa sangat informal. Berbeda jauh dengan masa-masa Presiden Soeharto. Pada masa Pak Harto, aura Bina Graha — juga menjadi kantor presiden— dan komplek istana secara keseluruhan, terasa sedikit angker, penuh wibawa. Apalagi bila bertemu langsung dengan Pak Harto. Aura itu sangat terasa bagi siapapun yang pernah datang ke istana. Bahkan bagi kami wartawan kepresidenan yang sehari-hari mangkal di sana. Pak Habibie menyambut kami dengan santai. Mengenakan jas warna coklat susu, kotak-kotak dengan garis kecil. Beliau mempersilakan duduk. Sambil duduk di belakang meja kepresidenan, beliau menawarkan kacang rebus. “Ayo dik, ambil,” katanya sambil menyodorkan piring kacang rebus yang dimakannya. Panggilan “dik” biasa digunakan ketika menyapa wartawan. “Tulis yang bagus ya dik,” begitu biasanya pesannya seusai wawancara. Di meja kerja Pak Habibie nampak penganan lain berupa rebusan pisang, ubi jalar, dan singkong rebus. Makanan sangat sederhana, lokal Indonesia itu menjadi penganan yang ada sejak masa Pak Harto. Jangan dibayangkan makananan di istana berupa menu mewah. Sayur lodeh adalah satu menu favorit di istana. Sejumlah wartawan senior secara bercanda menyatakan, sayur lodeh buatan koki istana, merupakan sayur lodeh ter-enak sedunia! Kembali ke Pak Habibie. Sikap rileks, informal menjadi ciri khas dari beliau. Tidak berubah. Bahkan ketika sudah menjadi Presiden RI. Yang sedikit berubah adalah protokoler kepresidenan. Itu pun sering dilanggarnya. Sebelum menjadi Wapres dan kemudian Presiden, di kalangan wartawan yang ngepos di Kantor Menristek/Kepala BPPT, BJ Habibie dikenal sebagai pribadi yang cair. Satu hal lagi yang menjadi ciri khas Pak Habibie adalah rajin menghadiri undangan. Sampai ke dalam gang, kalau ada undangan dari wartawan BPPT yang menikah, Pak Habibie dan Bu Ainun akan menyempatkan hadir. Kado yang diberikan beliau juga sangat khas. “Kalau tidak jam dinding, pasti seprai,” kenang mereka sambil tertawa. Pak Habibie juga sangat ramah dan rajin menyapa. Dengan beberapa wartawan yang sudah dikenalnya secara dekat, beliau tidak segan menyapa dengan meneriakkan nama dari kejauhan. Layaknya seorang sahabat dekat. Tidak jaim. Pak Habibie juga dikenal sebagai orang gampang iba. Pagi hari ketika pak Habibie tiba di kantornya, para karyawan berderet menyambutnya. Biasanya mereka menyampaikan keluh kesahnya. Mulai dari masalah biaya anak sekolah, sampai mertua yang sakit. Para ajudan di belakang biasanya membawa koper berwarna coklat dan hitam. Salah satunya berisi uang dolar. Mereka yang punya kebutuhannya cukup besar dan beruntung, biasanya akan diberi uang dalam bentuk dolar. Hanya saja Pak Habibie punya satu “kelemahan.” Jangan pernah menunjukkan sebuah jam tangan yang belum dimilikinya. Dia akan berusaha sekuat tenaga mencarinya. Beliau memang dikenal sebagai penyuka jam tangan, juga kolektor mobil klasik. Salah satu mobil favoritnya adalah mobil klasik Mercedes-Benz 300 SL Coupe Gullwing. Mobil buatan tahun 1950an itu didapatkan dengan cara yang unik. Sudah menjadi barang rongsokan di hutan Jambi. Tersangkut di sebuah pohon. Pribadi yang cair, tidak jaim dan senang silaturahmi adalah ciri khas yang melekat pada Pak Habibie. Beliau juga terkesan tidak peduli dengan jabatan, termasuk sebagai presiden. Ketika anggota MPR menjegalnya. Menolak pidato pertanggungjawabannya, padahal belum dibacakan. Pak Habibie juga menanggapinya dengan rileks. Beliau tetap hadir ke Gedung MPR-DPR ketika Gus Dur dan Megawati dilantik menjadi presiden dan wapres. Kepada para pendukungnya yang sangat kecewa, Habibie menyerukan agar mendukung pemerintahan yang baru. Setelah tidak menjadi presiden, Pak Habibie masih terus menjalin silaturahmi dengan para presiden penggantinya. Ketika Megawati menjadi presiden, sampai SBY dan Jokowi, Habibie masih sering bertemu. Beliau dengan santai selalu hadir pada acara-cara kenegaraan, terutama pada peringatan HUT kemerdekaan RI 17 Agustus. Satu hal yang tidak bisa dilakukan Pak Habibie adalah bertemu mentornya, orang yang membesarkannya: Pak Harto. Beliau dilarang bertemu. Hal itu menjadi kesedihan tersendiri baginya. Pak Habibie juga rajin takziah, melayat ketika ada tokoh atau orang yang dikenalnya wafat. Ketika Haji Roosniah Bakrie ibunda pengusaha nasional Aburizal Bakrie wafat, 20 Maret 2012, Pak Habibie mengantarnya sampai ke tepi liang lahat. Dengan usia yang sudah sepuh (76) Pak Habibie duduk di sebuah kursi. Saking padatnya pelayat, banyak yang tanpa sadar berdiri berdesakan di depan Pak Habibie. Pantat (maaf) para pelayat tepat berada di depan mata Pak Habibie. Beliau tetap duduk dengan tenang. Anehnya ajudan beliau hanya membiarkan. Mungkin mereka tidak menyadarinya. Dengan sopan saya meminta mereka untuk minggir. Bagaimanapun Pak Habibie adalah tokoh sepuh dan pernah menjadi Presiden RI. Harus tetap dihormati. (Bapak demokrasi Indonesia) Di luar kepribadiannya yang unik dan menarik, bagi aktivis demokrasi yang jujur, Pak Habibie akan dikenang sebagai peletak demokrasi Indonesia dan kebebasan pers. Para tahanan politik dibebaskan. Pada masa beliau lah UU Pemilu dilahirkan. 7 Juni 1999 digelar pemilu pertama setelah era Reformasi. Sebuah pemilu yang dinilai sangat demokratis setelah Pemilu 1955. Pada masa Pak Habibie, keran kebebasan pers dibuka. Melalui Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut. SIUPP merupakan barang yang menakutkan di masa Orde Baru. Dengan pembatalan/pencabutan SIUPP, penerbitan sebuah media dihentikan alias dibreidel. Media bebas mengeritik pemerintah. Ironisnya justru saat ini kebebasan pers mengalami kemunduran. Pers banyak yang menghamba menjadi alat kekuasaan pemerintah. Di luar beberapa catatan itu, satu hal yang tak boleh dilupakan dari pria yang belakangan lebih senang dipanggil Eyang, adalah Referendum Timtim. Pada masa pemerintahan Habibie, Timtim lepas dari pangkuan Indonesia. Lepasnya provinsi paling bontot itu dijadikan alasan para lawan politiknya untuk menjegal Habibie. Dengan latar belakangnya, besar dan tumbuh dalam alam demokrasi di negara Barat, keputusannya melaksanakan referendum di Timtim bisa dipahami. Kebebasan menentukan nasib sendiri sebuah bangsa seperti Timtim, bagi seorang Habibie adalah salah satu bentuk penghormatan atas HAM dan demokrasi. Kita boleh tidak sepakat dengan pilihan dan sikapnya. Selalu ada sudut pandang yang berbeda, setiap kali kita menilai seorang tokoh besar, termasuk kepada Eyang Habibie. Tak lama setelah adzan maghrib berkumandang dari masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu sore (11/9) pukul 18.03, Eyang Habibie wafat dalam usia 83 tahun. Beliau dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Mari kita kenang, dan tauladani hal-hal yang baik dari beliau. Selamat jalan Eyang Habibie. Allohuma firlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu. Insya Allah husnul khotimah. Kami semua tinggal menunggu giliran. Insya Allah akan menyusulmu. End