Sisi Tak Terlihat Dari Perdebatan Perubahan Undang-Undang KPK

Memerangi korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis.

Oleh Dr. Margarito Kamis

Jakarta, FNN - Saling sanggah yang begitu bising. Begitu nyata mengiringi perjalanan rencana perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diprakarsai DPR. Menariknya, saling sanggah yang amat ramai itu, turut diramaikan dengan sejumlah isu dalam pemilihan Komisioner KPK. Macam-macam isunya, dan seperti biasanya satu dan lainnya saling menyangkal.

Mau diapakan kenyataan itu? Lupakan saja atau mengenalinya secara lebih mendalam? Yang mau tidak mau harus memasuki sisi-sisi tak terungkap dalam keramaian itu? Dalam kenyataannya, pemerintah dan DPR terus bekerja ditengah saling sanggah yang terus membara.

Presiden juga telah menunjuk dua menteri mewikili dirinya untuk bersama DPR membahas rancangan perubahan undang-undang KPK. DPR juga telah berhasil menunaikan kewajiban hukumnya memilih 5 (lima) pimpinan KPK.

Apa yang harus dan pantas disuguhkan dalam mengenali kenyataan yang menghebohkan itu? Apakah ini cara demokrasi bekerja? Bila tidak, lalu apa namanya?

Demokrasi, suka atau tidak, telah diterima sejauh ini sebagai nilai. Entah itu instrumental atau deliberatif dengan semangat laksana mantra paling ampuh dalam mengelola berbagai urusan. Demokrasi sejauh ini memanggil dan menyuguhkan “tanggung jawab” sebagai sebuah nilai esensialnya.

Untuk menggapainya, demokrasi menyodorkan postulat bahwa tanggung jawab hanya dapat direalisir bila cara atau proses bernegara yang masuk akal. Misalnya, seleksi pimpinan satu lembaga negara terlihat masuk akal.

Seleksi itu terakses dan tersaji pada setiap kesempatan untuk semua orang, terutama mereka yang memilih pemerintah dan DPR. Tetapi harus diakui sedari awal bahwa adanya demokrasi yang menyimpan sisi hitam. Sisi manipulatif, yang tak tersunguhkan secara terbuka, karena romantisme demokrasi itu sendiri.

Kenalilah

Demokrasi memang menyodorkan hukum sebagai perisai terbaiknya. Karena itu hukum diyakini merupakan perkara paling netral yang dapat diandalkan membentengi demokrasi. Tetapi bila saja ada kemauan untuk memeriksa detailnya atau rincian hukum di alam demokrasi, maka akan ditemukan kenyataan demokrasi dan hukum sama-sama memiliki sisi mematikan. Sisi yang mengasingkan dan menjauhkan, Misalnya pemilih dipisahkan dari proses bernegara.

Sisi mematikan demokrasi dan hukum yang tidak selalu mudah dikenali. Karena satu sebab utama, yaitu demokrasi dan hukum terlanjur diterima sebagai pranata tanpa cacat. Premis ini diperumit, dalam makna menguatkan sisi menakjubkannya oleh kampanye sistimatis multinasional corporation tentang demokrasi dan hukum itu.

Multinational corporation datang dengan membawa rule of law. Supremasi hukum, akuntabilitas dan transparansi sebagai mantra global yang harus dipromosikan bersama. Semua negara harus mengkampanyekan rule of law untuk satu kehidupan global yang hebat.

Mereka datang dengan global constitutionalisme atau cosmopolitan constitution. Yang dengan itu, negara-negara dunia ketiga harus mengintegrasi kehidupan nasional dengan semua yang digaungkan barat. Gemanya membawa negara-negara non barat mengabaikan sisi mematikan dan menyengsarakan yang terkandung di dalamnya.

Dalam konteks itu, harus diakui bahwa korupsi teridentifikasi sebagai hambatan paling mematikan atas persaingan bebas. Sebuah iklim usaha yang sedari awal diprakarsai oleh kapitalis tulen awal abad ke-17 di Inggris dan awal abad ke-20 di Amerika. Suap-menyuap, jual beli jabatan dan kewenangan teridentifikasi oleh kapitalis-kapitalis ini sebagai hal menjijikan dalam semua aspeknya.

Dengan demikian, korupsi dan elemen-elemennya yang serupa harus diisolasi pada setiap sudutnya. Korupsi akhirnya teridentifikasi sebagai iblis yang bergentayangan di dalam rumah. Siapapun pasti tidak rela membiarkanya. Itu pula sebabnya korupsi harus diusir, dibasmi, diberantas. Tidak ada sisi baik di dalamnya. Dan itu jelas.

Korupsi tak sedikitpun menolong keadilan. Korupsi justru meluluhlantakan keadilan. Korupsi memukul rata kesetaraan, dan pada saat yang sama mengonsolidasi diskriminasi dalam semua aspeknya, serta menelan habis semua keunggulan sebuah bangsa.

Kenyataan inilah yang membalut dan teridentifikasi di Indonesia menyusul turbulensi ekonomi dan politik tahun 1998. Kenyataan itu dikristalkan dalam satu kalimat bernada propagandis “Indonesia berada dalam keadaan darutarat korupsi.” Memeranginya menjadi pilihan masuk akal yang tersedia. Pilihan itu muncul ditengah kekacauan politik hampir pada semua lapangan kehidupan politik nasional.

Perbaikan

Tak tersedia pilihan lain selain mengonsolidasi sejumlah aspek demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks itu Indonesia bergerak kedepan dengan mengkreasikan satu lembaga baru. KPK lah sebuah lembaga negara baru tersebut.

Sayangnya harus diakui bahwa KPK tidak sepenuhnya memiliki pijakan kokoh di dalam UUD 1945. Dalam sejarahnya, lembaga serupa ditemukan pembentukannya untuk pertama kali di Amerika tahun 1887. Namanya Interstate Commerce Commission (ICC).

Ditunjang kedangkalan pengetahuan sifat hukum lembaga serupa di Amerika Serikat, KPK disematkan sifat hukumnya sebagai lembaga negara yang independen. Selain independen, KPK juga lembaga negara yang mandiri.

Sifat yang independen dan mandiri, merupakan sebuah sifat khas konstitusi untuk kekuasaan kehakimanpun, dilekatkan kepada KPK. Kenyataan ini mengakibatkan lembaga ini persis seperti kekuasaan kehakiman. KPK pun bekerja dengan cara yang ditentukan sendiri.

Dari situ masalahnya. Rinciannya adalah KPK sebagai lembaga pelaksana hukum, penegakan hukum. Padahal posisi tersebut yang merupakan kewenangan derivasi dari kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan melaksanakan hukum menurut UUD 1945.

Sayangnya, presiden tidak bisa, dengan alasan konstitusional sekalipun, membimbing, mengarahkan KPK. Apalagi sampai mengdalikan penegakan hukum yang dijalankan oleh KPK.

Pembatasan jangkauan kekuasaan presiden semakin mengeras dengan konsep criminal justice system. Sebuah konsep hukum pidana yang menerangkan penyidikan sebagai bagian dari rangkaian bekerjanya peradilan pidana.

Celakanya, karena penegakan hukum tidak akan disebut demikian bila tidak ada tindakan penyidikan. Tetapi sialnya, tindakan penyidikan ini justru diberi sifat peradilan. Sebuah sifat yang membatasi jangkauan kekuasaan presiden, terlepas dari siapapun orangnya.

Demokrasi datang bersamaan, dan atau memanggil rule of law pada kesempatan pertama kehadirannya. Pada level empiris sekalipun, dirangsang kehadirannya dengan kehendak mencegah absolutisme. Sebab ujung dari kekuasaan yang absolutisme adalah korupsi.

Pembatasannya harus dilakukan, namun tidak dengan senjata terkokang. Melainkan dengan menghadirkan hukum. Cara lainnya adalah menyebar kewenangan lembaga-lembaga itu secara tumpang tindih. Tujuannya, agar mereka dapat saling mengawasi secara berimbang.

Begitulah demokrasi menyodorkan cara mengekang potensi perilaku tiranis satu lembaga terhadap lembaga lainnya. Dalam medan aktualisasi kewenangan menyelenggarakan kekuasaan negara. Hanya dengan cara itu pulalah akuntabilitas dan transparansi terpancarkan.

Hanya dengan cara itu. Dan itulah sebabnya, demokrasi yang memiliki sisi manipulatif akan menertawakan negara apapun yang memungkinkan lembaga-lembaga negara berada di luar pengawasan. Baik itu pengawasan teknis maupun politis.

Agar pengawasan juga tak dilakukan secara sewenang-wenang. Untuk itu, demokrasi yang dibalut dengan rule of law menempatkan pada posisi pertama adalah supremasi hukum itu. Mengharuskan pengawasan itu harus didefenisikan dalam hukum.

Walaupun demikian, hukum yang hendak dibuat tersebut, harus dengan tepat mendefenisikan jangkauan pengawasannya secara rigid. Jangan sampai hukum yang mengatur pengawasan itu justru mematikan lembaga yang diawasi. Soal ini menjadi penting, karena hukum tidak datang dengan sendirinya.

Hukum itu diciptakan oleh penciptanya, badan pembuat undang-undang. Sehingga mereka dapat mengisinya dengan berbagai macam kehendak. Yang satu dan lainnya bisa saling mengasingkan. Termasuk menciptakan norma yang tidak berkepastian.

Menciptakan norma bersyap-sayap pengertiannya. Akibatnya, pemegang otoritas, sesuai dengan kewenangannya dapat menentukan sendiri apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan. Kondisi seperti ini sangatlah berbahaya. Hukum bisa melemahkan dan menyengsarakan bangsa.

Hukum tak berkepastian disatu sisi. Terjalin dengan organisasi yang tak bisa diawasi disisi ekstrim lainnya. Dengan alasan apapun tak bisa dikatakan bukan merupakan panggilan terhadap tindak-tanduk diskriminasi.

Tindak-tanduk diskriminasi memang merupakan tipikal organisasi absolut. Namun untuk kasus tertentu, diskriminasi menandai secara telanjang tindak-tanduk lembaga negara di alam demokrasi. Kondisi seperti ini harus diluruskan. Bukan karena demokrasi menentang diskriminasi, tetapi adab berkehidupan kebangsaan yang adil mengharuskannya.

Korupsi akan terus ada di tengah-tengah kehipan. Sepajang aktifitas ekonomi dan politik terus mewarnai dunia. Tidaklah lebih dari itu. Caranya, akan berkembang mengikuti kecepatan kreasi dalam menerjangnya.

Menerjang korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis.

Kapitalis dalam korporasi berskala global selalu merupakan entitas paling tangguh. Mereka berlari cepat melampaui kesadaran masyarakat atas kelakuan negatifnya melakukan korupsi. Merekalah entitas yang tak berhenti menari ditengah perang melawan korupsi.

Hukum juga selalu begitu di alam empiris. Tak handal mengekang mereka. Meski demikian, selemah itu sekalipun, demokrasi dan kehidupan beradab tak bisa diayuh tanpa hukum.

Pemilih ditakdirkan demokrasi sebagai barang sekali pakai dalam lima tahun. Pemilih tak memiliki kendali atas hasil pemilu, Pemilih tak pernah tahu siapa yang terpilih, menemukan nasib yang selalu berjarak amat jauh dengan mereka yang dipilih.

Nasib pemilih di demokrasi begitulah adanya. Pemilihj juga tak dapat mengendalikan mereka yang dipilih, apalagi mengarahkan tindak-tanduk mereka yang dipilih itu. Partisipasi yang merupakan bualan canggih demokrasi, jelas tak memungkinkan pemilih menentukan norma macam apa yang pantas dipositifisasi oleh pembuat hukum.

Membuat hukum, dalam demokrasi sekelas apapun di level global adalah pekerjaannya para elit politik. Semnatar para elit politik ini bukanlah entitas yang mengayuh langkahnya dengan belas kasihan kepada pemilihnya. Para elit bekerja pada kemauannya sendiri, sementara para pemilih hanya bisa berharap dalam kenyataan yang berbeda dengan elit

Kenyataan seperti itu sekalipun, para pemilih mesti tetap merinukan eliti-eliti politik yang bermurah hati. Pemilih berharap elit politik dapat mendefenisikan jangkauan otoritas pengawasan secara rigid. Sembari pada saat yang bersamaan memastikan penegakan hukum merupakan cara membuat keunggulan bangsa menemukan kesempatan untuk bersinar.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

357

Related Post