OPINI

Rekonsiliasi Fatamorgana

Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. (Politisi dan Praktisi Hukum) Jakarta, FNN - Perdebatan tentang ideologi tidak akan pernah berhenti karena adanya pertemuan politik diantara para elit politik. Juga Perbedaan tentang konsep dan cara jalan untuk mencapai tujuan politik tidak akan selesai dengan rekonsiliasi. Perbedaan akan tetap hidup dan menjadi warna bagi sebuah bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang lahir dari kemajemukan. Sulit untuk "mendamaikan ide" hanya dengan rekonsiliasi. Meningkatkan intensitas silaturrahim politik sangat positif, tetapi menganggap silaturrahim itu sebagai rekonsiliasi dua perbedaan ide yang mendasar sangat tidak mungkin. Itu hanya sebatas fatamorgana. Dari sisi konsep dan ide, Prabowo dan Jokowi sangat jauh berbeda. Seperti dalam masalah kebijakan Hutang luar negeri, kebijakan Impor pangan, gaji TNI/Asn, Perusahaan Starup/Unicorn, Pengeloaan SDA dan mineral dll, yang disampai secara terbuka dalam kampanye maupun debat, sebagaimana di nukilkan kembali oleh Akbar Faisal dalam Acara ILC. Kemesraan kedua tokoh politik di MRT itu adalah bagian dari rasa saling membutuhkan. Ada semacam "transaksi materi" sebagai upaya untuk saling memegang komitmen politik. Nuansa transaksi politik dari pertemuan itu tidak bisa kita hindari, sebab, pertemuan politik menghasilkan kesepakatan politik. Entah itu Jokowi ingin mengajak oposisi untuk berada disampingnya, atau oposisi meminta Jokowi untuk mengakomodir kepentingan politiknya. Meskipun oposisi akan berkoalisi, tetapi oposisi terhadap kekuasaan tidak akan berakhir, pun tidak ditentukan oleh dua orang tersebut. Begitu pula dengan perbedaan ide dan cara pandang bernegara, tidak akan berakhir hanya karena pertemuan ataupun rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Apakah setelah Prabowo bertemu Jokowi dan Megawati, oposisi telah selesai? Bagi saya, oposisi akan tetap ada dan mengakar dalam gerakan civil society. Secara kelembagaan ada lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat yang akan menjadi bagian dari oposisi. Posisi anggota DPR sangat strategis untuk menyuarakan aspirasi rakyat, baik secara sendiri-sendiri melalui jalur parlemen maupun secara bersama-sama dalam bentuk fraksi, komisi, maupun DPR secara keseluruhan. Eksistensi DPR sebagai lembaga, maupun Anggota DPR secara individu, adalah merupakan pengontrol kekuasaan eksekutif. Dalam sistem presidensialisme, kekuasaan presiden begitu sangat besar, sehingga untuk mengawasi kekuasaan yang besar tersebut tidak disalahgunakan, maka DPR memiliki peran penting untuk mengotrol eksekutif. Secara singkat dapat dikatakan DPR itu adalah lembaga oposisi, sedangkan Anggota DPR dipilih oleh rakyat untuk menjadi oposisi pemerintah, mengoreksi segala kebijakan lewat penyusunan UU, penyusunan Anggaran, dan kebijakan pemerintah lainnya. Lembaga Perwakilan itu diberikan kekuasaan yang cukup strategis untuk melakukan pengawasan, dan menginterupsi segala kebijakan pemerintah lewat saluran parlemen. Kekeliruan tradisi yang dibangun partai politik selama ini, menganggap anggota DPR dianggap sebagai wakil partai, sehingga dengan mudahnya partai memecat dan menghentikan jabatan publik individu hanya karena alasan perbedaan sikap dengan partai merupakan langkah yang tidak dibenarkan. Anggota DPR adalah wakil Rakyat yang direkomendasikan oleh partai politik. Pelaksanaan fungsi pengawasan, fungsi anggaran, fungsi legislasi adalah pelaksanaan fungsi "oposisi" DPR kepada pemerintah untuk mengawasi penggunaan fungsi kekuasaan eksekutif. Karena itu, dalam negara demokrasi dengan sistem presidensialisme, keberadaan DPR sebagai lembaga pengawas dan penyeimbang (cheks and balance) bukan hanya sebagai stempel karet eksekutif (koalisi) tetapi kehadiran DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang baik dan benar. Rekonsiliasi Atau Jatah Kursi? Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi, seakan-akan oposisi terhadap kekuasaan eksekutif sudah hilang. Lembaga DPR akan menjadi corong kekuasaan dan kasarnya stempel karet eksekutif. Dengan alasan, bahwa apabila semua partai berkoalisi, maka pengawasan terhadap pemerintah tidak ada, dengan demikian segala tujuan kekuasaan dapat diwujudkan tanpa kritik. Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi-Megawati, publik menilai bahwa pemerintahan Jokowi memegang DPR di atas 70%. Jadi tidak ada kesulitan lagi bagi Jokowi menjalankan segala apa yang menjadi keinginan dan tujuannya, bukanlah koalisi Jokowi sudah hampir sempurna menguasai parlemen? Sebenarnya ini menjadi bahaya tersendiri bagi Demokrasi. Dengan kata Rekonsiliasi Jokowi telah mampu merangkul kekuatan utama oposisi. Pertemuan kedua elit itu adalah untuk mendamaikan perseteruan politik. Lebih tepatnya untuk menyatukan kembali perbedaan. Bahwa selama ini, ada anggapan bahwa Indonesia terpecah, ada perkelahian sengit, dan lain sebagainya. Tetapi dalam demokrasi dan panggung politik hal tersebut lumrah. Pemaknaan rekonsiliasi semacam itu bukan hanya salah, tetapi juga mengandung nilai hoax yang tinggi. Karena perbedaan dan perseteruan dalam politik niscaya adanya. Dalam demokrasi hal tersebut adalah merupakan keberkahan, sebab negara demokrasi tanpa perbedaan berarti ada totaliter yang hidup. Terlepas dari apa yang menjadi agenda pertemuan antara oposisi (Prabowo) dan Koalisi (Jokowi-Megawati), bahwa pemberian nama terhadap pertemuan itu sebagai rekonsiliasi demi bangsa menjadi naif adanya. Tidak sulit untuk membaca hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Rocky Gerung, "Kalau dua orang bertemu, ada pihak ketiga yang mau disingkirkan". Artinya selain persoalan saling mendepak dalam koalisi Jokowi, pertemuan tersebut Bukan rekonsiliasi melainkan percakapan tentang materi. Seperti yang saya kemukakan di atas, tidak mungkin merekonsiliasi perbedaan ide dan konsep, yang direkonsiliasi hanyalah berupa program-program yang sifatnya materi. Artinya ada transaksi politik dibalik kata "rekonsiliasi demi bangsa" yang diedarkan ke publik. Saya tertarik dengan pandangan Sandiaga Salahuddin Uno, bahwa kepada pemenang silahkan memerintah, dan yang kalah siap menjadi Oposisi. Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Supaya rakyat tidak terlalu diberikan janji, sebaiknya Jokowi melaksankan program-program-nya saat ini, tdk harus menunggu dilantik untuk periode yg kedua. Masih banyak program pemerintah yang belum terlaksana dan masih ditagih oleh publik. Jadi kesibukan mengurus koalisi dan oposisi yang tidak henti-hentinya, tentu akan merugikan rakyat. Prabowo Bertemu, Ulama Ber-Ijtima Setelah pertemuan antara oposisi dan penguasa, koalisi pemenang menjadi gundah gulana. Reaksi bermunculan, hingga Nasdem mengadakan pertemuan dengan Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem Gondangdia. Pengamat menilai, Surya Paloh memberikan reaksi atas pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati. Dalam keadaan koalisi pemenang yang sedang gamang, kekuatan umat yang di Komando oleh ulama tetap bertahan menjadi oposisi. Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati, tidak menggoyangkan semangat 212, dan tetap mengucapkan, rakyat dan umat bersama ulama mengambil jalan "kami oposisi". Kekuatan civil Society khususnya 212 begitu sangat besar untuk melakukan protes meskipun semua partai telah berada dibarisan koalisi pemerintah. Komitmen untuk menjadi mitra kritis kekuasaan, menempatkan 212 sebagai gerakan penentu perubahan sosial politik Indonesia. Dengan bertahannya 212 maka, muncul kata "kami oposisi". Ini menandakan bahwa kekuatan Islam dengan logo 212 yang telah menjadi monumen penting, meminjam Rocky gerung, sebagai teks sosial bangsa Indonesia tidak bergerak hanya karena Prabowo, tetapi menjadi icon pejuang, khususnya dalam menengakkan amar Ma'ruf nahi munkar. Gerakan 212 yang sampai hari ini masih berada dalam komando ulama, wabil khusus Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, masih menjadi kekuatan independen dengan identitas gerakan politik Islam yang tidak membawa sekat-sekat organisasi dan sekat politik. Adapun dukungan kepada calon tertentu karena kesamaan cara pandang terhadap kondisi bangsa. Gerakan 212 Adalah momen sejarah, yang menjadi reinkarnasi pertentangan ideologi dalam sejarah politik Indonesia. Pertentangan ideologi itu tidak mungkin berakhir dengan rekonsiliasi elit tertentu, ia akan tetap ada. Bagi ideolog, ideologi itu harus diperjuangkan menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Hadirnya 212 mengakomodir ulang aspirasi umat Islam yang selama ini terbengkalai. Kehadiran 212 menambah kuat Perdebatan Islam dan Politik. Sejarah mencatat, bahwa Islam adalah bumbu yang memberikan penyedap rasa bagi perjalanan politik Indonesia. Tanpa Islam, politik Indonesia menjadi hampa, tanpa makna. Maka, agak naif kalau menganggap bahwa rekonsiliasi adalah mendamaikan pikiran, hal itu mustahil terjadi. Sulit bagi Jokowi untuk memperoleh legitimasi 212, karena ia tidak memiliki cara pandang yang sama dengan ide 212 itu sendiri. Meskipun Prabowo menyatakan bergabung dengan pemerintah, 212 akan menjadi oposisi yang berjalan diatas roh kebenaran dan keadilan. Untuk melanjutkan gerakan tersebut, para ulama akan mengadakan kembali musyawarah Ulama atau Ijtima' Ulama dalam rangka untuk membicarakan agenda 212 selanjutnya. Agenda itu tidak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi pasca MK memenangkan Jokowi. Ulama sedang mencari formula dan penerima mandat baru untuk meneruskan ide, konsep dan cita-cita perjuangan umat Islam yang belum tercapai dalam konteks sosial politik kebangsaan sekarang ini. Oleh karena itu Ijtima Ulama IV akan mencari formula baru bagaimana menempatkan 212 sebagai kekuatan kontrol sosial bangsa ini. Dengan demikian, rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi serta Megawati bukan akhir dari perjuangan umat dan ulama, melainkan memberikan kesempatan baru bagi umat dan ulama untuk menyatakan sikap yang lebih terarah lagi. Karena itulah maka 212 sebenarnya adalah kelompok penentu, bukan pengekor, 212 adalah wajah baru politik Islam yang menjadi awal mula bangkitnya solidaritas umat dalam membangun peradaban politik yang mengedepankan nilai-nilai profetik Wallahualam bis shawab.

Listrik Mati Akibat Sabotase?

Jika perlu, akibat matinya listrik ada pejabat negara yang mengundurkan diri. Ini perlu sebagai bentuk tanggungjawab moral. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menarik untuk menyimak pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sripeni Inten Cahyani terkait padamnya listrik sejak Minggu siang. Pihaknya akan menginvestigasi biang kerok padamnya listrik itu. "Kami akan investigasi lebih lanjut berkaitan penyebab gangguan. Ini murni masalah teknis," katanya kepada wartawan, di kantor PLN Pusat Pengatur Beban (P2B), Gandul, Depok, Jawa Barat, Ahad, 4 Agustus 2019. Di tempat yang sama, Direktur Pengadaan Strategis PLN Djoko Raharjo Abumanan menepis padamnya listrik itu akibat gempa di Banten pada malam Ahad atau Sabtu 3 Agustus 2019 malam. "Ngaklah, ngak ada hubungannya dengan (gempa) Banten," ucap Djoko. Sripeni menjelaskan, permasalahan mulai terjadi pada pukul 11.45 WIB. Tepatnya pada detik ke 27 pukul 11.45 WIB saluran udara tegangan ekstra tinggi Ungaran-Pemalang terjadi gangguan. Yaitu di sifkuit satu, kemudian disusul sirkuit kedua. Akibatnya, dua-duanya mengalami gangguan. "Akibatnya, terjadi penurunan tegangan. Jadi pada pukul 11.48 detik 11 menyebabkan jaringan SUTB (saluran udara tegangan tinggi) Depok-Tasik mengalami gangguan. Ini awal pemadaman sistem Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta," kata Sripeni yang baru dua hari ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Dirut PT PLN. Pertanyaannya adalah kenapa terjadi gangguan pada sirkuit satu dan sirkuit dua? Siapa yang bisa mengganggunya? Apakah gangguan teknis semata? Apakah faktor alam? Atau faktor manusia? Faktor alam yang dikaitkan dengan gempa Banten sudah dibantah. Jika faktor teknis, kok bisa terjadi tiba-tiba dan dua hari setelah Sripeni diangkat menjadi Plt Dirut PLN. Orang awam pasti kurang paham faktor teknis yang disampaikan Sripeni. Apakah faktor teknis karena jaringannya sudah tua alias daluarsa? Apakah saat pemasangannya kurang pas? Atau peralatan sirkuit satu dan dua tidak kuat menghantarkan beban listrik yang terlalu tinggi? Saya lebih cenderung menduga bahwa padamnya listrik ini akibat sabotase. Apakah sabotase dilakukan orang dalam yang kurang suka dengan kehadiran Sripeni maupun sabotase dari luar. Tentu, seperti dikemuakakan Sripeni, investigasi perlu dilakukan. Investigasi melibatkan aparat terkait. Investigasi harus dilakukan secara dalam, karena listrik merupakan salah satu urat nadi perekonomian nasional. PLN sendiri memperkirakan kerugian Rp 90 miliar akibat padamnya listrik. Kerugian yang diderita rakyat tentu jauh lebih besar. Banyak usaha kecil menengah yang tidak memiliki genset, terpaksa menghentikan usahanya. Kita berharap investigasinya fair. Jika perlu, akibat matinya listrik ada pejabat negara, serendahnya direktur di PLN mengundurkan diri. Ini perlu sebagai bentuk tanggungjawab moral. *** Foto: Evakuasi MRT yang mogok di underpass Sudirman akibat listrik mati massal selama 10 jam di Jawa-Bali.

Apa Tujuan Tom Sebar Hoaks Unicorn?

Gojek adalah perusahaan rintisan Indonesia dengan head office di Indonesia dan 90% pegawai kami adalah orang asli Indonesia. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Mulanya, Thomas Trikasih Lembong mengaku kaget setelah melihat riset Google dan Temasek tentang pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Dalam riset itu, empat perusahaan digital bervaluasi di atas US$1 miliar atau unicorn asal Indonesia disebut dari Singapura. Kekagetan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM ini disampaikan dalam sebuah konferensi pers di kantor BKPM, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa, 30 Juli 2019. "Saya kaget juga lihat laporan Google dan Temasek ada tabel unicorn, di Indonesia dia bilang ada nol, di Singapura diklaim ada empat. Faktanya, memang empat unicorn kita induknya di Singapura semua," kata Tom, panggilan singkatnya. Tom mengatakan investasi yang digelontorkan ke empat unicorn itu nyatanya selama ini tidak langsung masuk ke Indonesia, melainkan melalui Singapura. Dari Singapura, barulah perusahaan induk akan membayar vendor untuk sewa kantor, leasing, dan sebagainya ke Indonesia. Lantaran itu, arus modal yang masuk dari Singapura ke Indonesia pun hanya berupa pembayaran, bukan penanaman modal asing. Struktur permodalan inilah yang sempat membuat dirinya merasa kebingungan. Publik, termasuk Istana, jelas terperangah dengan pernyataan Tom. Soalnya, selama ini publik mendapatkan informasi bahwa Indonesia memiliki empat perusahaan yang telah bermetamorfosis menjadi unicorn. Keempatnya ialah Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan Tokopedia. Presiden Joko Widodo membanggakan itu sebagai prestasi. Ralat Pantas saja orang lantas berspekulasi: Jokowi yang menyebar hoaks, apa Tom? Nah, tak lama kemudian dalam hari yang sama, Thomas meralat apa yang diomongkan itu. Ralat disampaikan bukan lewat konferensi pers, melainkan melalui media sosial, akun Twitternya. "Maaf dan Ralat @tokopedia dan @bukalapak sudah klarifikasi ke saya, @gojekIndonesia sudah klarifikasi ke publik, mereka tidak pakai Induk perusahaan di Singapura, tapi sepenuhnya di PT PMA Singapura," cuitnya. Ia pun mengakui bahwa dirinya sudah terlalu jauh dalam mengomentari bahan Google-Temasek tersebut. Nah, lho! Di sisi lain, empat unicorn, yakni Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan Gojek, juga membantah pernyataan Tom tersebut. Mereka membantah punya perusahaan induk di Singapura dan menolak dikategorikan sebagai start-up milik Singapura. Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita menegaskan, Gojek merupakan perusahaan rintisan berbasis teknologi (start-up) asli Indonesia dan terdaftar di Indonesia dengan nama PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. Gojek ditegaskannya bukan perusahaan asal negeri jiran, Singapura. "Gojek adalah perusahaan rintisan Indonesia dengan head office di Indonesia dan 90% pegawai kami adalah orang asli Indonesia," kata Nila, lewat keterangan resmi, Rabu (31/7). Dia juga menyampaikan, seluruh penanaman modal dan investasi Gojek dari investor, baik asing maupun lokal, telah ditanamkan dan dibukukan penuh di perusahaan di Indonesia, yakni PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. Sebelumnya, pada Selasa (30/7) sore hingga malam, Tokopedia, Bukapalak, dan Traveloka juga sibuk menyampaikan pernyataan yang hampir sama dengan Gojek. Tokopedia, platform dagang dalam jaringan (online), menyatakan, sejak awal telah beroperasi di Indonesia dan tidak memiliki induk perusahaan di negara lain, termasuk Singapura. "Kami tidak mempunyai induk perusahaan di negara lain. Tokopedia sejak awal selalu beroperasi di Indonesia," kata Wakil Direktur Komunikasi Korporat Tokopedia Nuraini Razak. Nuraini mengakui, Tokopedia memiliki anak perusahaan yang beroperasi di Singapura sebagai kantor riset dan pengembangan. Tapi, perusahaan induk Tokopedia tetap berada di Indonesia. Tokopedia juga menyatakan seluruh investasi yang diterima masuk melalui induk perusahaan di Indonesia. "Seluruh penanaman modal terhadap Tokopedia masuk ke Indonesia sebagai penanaman modal langsung," katanya. Bukalapak, sebagai pelapak daring yang menggandeng UMKM sebagai mitranya, juga menyatakan sebagai perusahaan asal Indonesia, dan bukan perusahaan Singapura sebagaimana klaim Tom. "Yang jelas, Bukalapak adalah perusahaan yang lahir dan besar di Indonesia," kata Kepala Komunikasi Korporat Bukalapak Intan Wibisono. Riset itu Dalam riset Google - Temasek yang berjudul Economy SEA 2018, tak ditemukan klaim atas empat startup Indonesia sebagai milik Singapura. Bahkan dalam riset tersebut, secara jelas menyebutkan Gojek adalah aplikasi milik Indonesia. Dalam sub judul "Ride Hailing expands to be the 'everyday apps' of Southeast Asians" disebutkan bahwa Gojek aplikasi online unicorn Indonesia, mengumumkan rencana ekspansi regional yang bertujuan meluncurkan layanan di Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam setelah pasar domestiknya sendiri. Riset juga menyebut unicorn Indonesia yakni Tokopedia salah satu pemain terbesar di Asia Tenggara. Riset tersebut juga memberikan gambaran tentang unicorn dan e-commerce di Asia Tenggara. Di sana disebutkan satu-satunya negara yang tidak memiliki perusahaan unicorn adalah Filipina. Dalam riset tersebut pun dijelaskan, e-commerce telah menjadi sektor yang paling dinamis dengan pertumbuhan paling cepat di era digital ekonomi. Disebutkan pula pemain e-commerce terbesar di Asia Tenggara salah satunya unicorn milik Indonesia yakni Tokopedia. Digital Economy Compass juga menegaskan Indonesia memiliki 4 unicorn. Berdasarkan riset dari Digital Economy Compass 2019, disebutkan bahwa Indonesia memiliki 4 perusahaan unicorn. Seluruhnya merupakan perusahaan rintisan yang sempat disebut Tom diklaim milik Singapura. Dalam riset tersebut juga disebutkan dari 15 unicorn teratas yang ada di dunia, satu di antaranya milik Indonesia. Dalam riset yang dirilis oleh Friedrich Schwandt itu, perusahaan rintisan Indonesia Tokopedia mendapatkan suntikan dana besar dari Softbank, Alibaba Group, Sequola Capital India dengan total US$1,1 miliar. Entah riset yang mana yang dibaca Tom. Entah apa pula tujuan Tom menyebar hoaks secara resmi, kendati kemudian meralat melalui jejaring medsos. Bisa saja orang memaki Tom ceroboh, bego, serampangan, dan lainnya. Sebagai pejabat tinggi, apa dia tidak berpikir bahwa apa yang diomongkan tentang unicorn akan sangat berpengaruh terhadap kredibilitas Jokowi? Padahal Tom bukanlah nama baru di kalangan pejabat. Ia sudah menjadi kepala BKPM sejak 2016. Pria 48 tahun ini sempat menjadi Menteri Perdagangan RI (2015-2016). Sebelum menjadi menteri perdagangan, Tom adalah salah satu dari pendiri private equity fund, Quvat Management (Quvat) yang didirikan pada tahun 2006. Perusahaan investasi tersebut mengelola dana lebih dari US$500 juta. Lebih dari 11 perusahaan berada di bawah manajemen Quvat. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di sektor kelautan, logistik, konsumsi, dan juga keuangan. Tomadalah lulusan Harvard University pada 1994 dengan program studi Architecture and Urban Design dengan gelar Bechelor of Arts. Pada tahun 2008, Tom Lembong pernah ditetapkan sebagai Young Global Leader (YGL) oleh World Economic Forum di Davos. Nyatanya, sekolah tinggi lulusan luar negeri dengan bejibun pengalaman kerja yang mentereng tak menjamin menjadi pejabat yang cerdas dan penuh perhitungan. Yang masih menjadi misteri, apa sebenarnya target Tom dengan hoaks yang ia sebar itu. Bagi umat Islam Indonesia boleh jadi bisa memaklumi kecerobohan ini. Manusia memang tempat lupa dan salah. Begitu juga Thomas Trikasih Lembong.

Ketika Jokowi Tertipu Unicorn, Lembong Pun Limbung

Kepala BKPM Thomas Lembong, menyatakan empat unicorn yakni Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek adalah milik Singapura. Berbeda dengan klaim Jokowi yang menyatakan keempatnya milik Indonesia. Lembong keceplosan lalu dilarat. Oleh Hudzifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabar buruk dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong soal 4 unicorn milik Singapura benar-benar bak petir di siang bolong. Sebab kita mendengar informasi pertama dari Presiden Jokowi bahwa ke-4 unicorn itu adalah milik Indonesia, kebanggaan tanah air. Kok bisa? Inilah ciri jaman disrupsi informasi (disruption information), Secara garis besar, pengertian disrupsi (disruption) adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan baru. Disrupsi bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif karena merupakan sebuah inovasi yang dinamis. Namun kaitannya dengan disrupsi informasi, dapat berarti informasi lama digantikan dengan informasi baru. Dalam konteks inilah informasi yang disampaikan Jokowi saat menjadi calon presiden begitu ‘pede’ dan bangga sekali dengan keberadaan unicorn yang dikembangkan anak bangsa. Bahkan sedikit menyudutkan Prabowo yang seolah tak paham soal unicorn, perusahan rintisan bermodal di atas US$1 miliar di Indonesia. Informasi lama datang dari Presiden Jokowi dan tentu kemungkinan besar atas bisikan Menkominfo Rudiantara. Bahwa Indonesia memiliki 4 unicorn, perusahaan rintisan (start up) dengan valuasi di atas US$1 miliar (Rp14 triliun). Keempatnya adalah Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Gojek. Bahkan belakangan Grab baru saja akan disuntik dana oleh pemodalnya Softbank Group hingga US$2 miliar. Informasi terbaru datang dari Kepala BKPM Tom Lembong, yang menyatakan keempat unicorn, bahkan yang kelima juga, adalah milik Singapura. Menurut Lembong keempat unicorn tersebut belum masuk dalam daftar hitungan investasi dalam negeri. Artinya, belum ada investasi yang masuk ke perusahaan start-up yang beroperasi di Indonesia. Investasi justru masuk ke perusahaan induk start-up tersebut di Singapura. “Jadi yang sedikit membingungkan ada pengumuman bahwa Grab akan investasi lagi sekian (US$2 miliar) dan Gojek baru dapat fund raising, tapi tidak nongol dalam arus modal masuk dalam bentuk investasi. Yang masuk investasi ke Singapura, induknya,” demikian jelas Tom Lembong di kantornya akhir bulan lalu. Fakta itu terkuak setelah hasil riset Google dan Temasek yang dalam laporannya menyebutkan bahwa investasi keempat start-up itu masuk ke perusahaan inti di Singapura. “Malah keempat unicorn kita (yang diklaim Jokowi) diklaim sebagai unicorn mereka,” tambah Lembong. Ia menambahkan uang yang masuk ke Indonesia hanya berupa pembayaran vendor-vendor, misalnya pembayaran iklan hingga sewa kantor. Seringkali masuknya bukan dalam bentuk investasi tapi oleh induk unicorn Singapura langsung membayar ke vendor atau supplier Indonesia. Jadi ada arus modal masuk tapi tidak langsung masuk ke PT di Inodnesia. Ternyata struktur arus dananya seperti itu. Tengok saja siapa sebenarnya pemodal kelima unicorn yang sudah terlanjur diklaim Jokowi milik kita, ternyata dibantah Lembong milik Singapura. Menurut laporan Tech-Crunch, Go-Jek telah mendapat persetujuan suntikan dana dari beberapa investor: Google, JD.com, dan Tencent sebesar US$920 juta (Rp13 triliun) yang bakal menaikkan valuasi perusahaan menjadi sekitar US$9,5 miliar (Rp133 triliun). Artinya, tinggal selangkah lagi Go-Jek “naik kelas” menjadi decacorn, yaitu startup dengan valuasi USD10 miliar ke atas. Di antara puluhan investor Go-Jek, diketahui hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dengan kucuran dana US$150 juta (Rp2 triliun) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group. Mereka tergabung dalam konsorsium investor yang menyuntikkan dana ke Go-Jek pada putaran penggalangan dana mulai akhir 2017 hingga awal 2018. Para investor lain Go-Jek kebanyakan perusahaan Amerika Serikat, China, dan Singapura. Dominasi kekuatan ekonomi asing di balik start-up lokal yang telah menjelma menjadi unicorn juga bisa dilihat di Tokopedia. Hanya ada satu investor lokal di perusahaan ini, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Indonusa Dwitama merupakan pemodal pertama Tokopedia serta menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah awal perjalanan e-commerce yang didirikan William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini. Kucuran dana terbaru yang diterima Tokopedia berasal dari Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris) senilai US$1,1 miliar melalui penjualan saham seri G pada 21 November 2018. Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Sedangkan info terbaru Soft Bank Group baru saja berencana menyuntik modal ke Grab senilai US$2 miliar (Rp28 triliun). Praktis semua unicorn di Indonesia kelaminnya adalah milik asing, bukan kelamin lokal sebagaimana yang digembar-gemborkan Presiden Jokowi. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini. Beda dengan itu, mayoritas saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek yang masuk ke e-commerce besutan Achmad Zaky dan Nugroho Heru cahyono ini sejak 2014. Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK) memiliki 49,15% saham Buka lapak dari beberapa putaran investasi yang nilainya ditaksir hampir mencapai Rp500 miliar. Namun, Emtek hanya satu dari dua investor lokal Bukalapak. Satu investor lokal lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Negeri Matahari Terbit. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan yang baru saja mengucurkan US$50 juta pada pekan lalu. Lantas apa hikmah dibali unicorn yang sudah kadung kesohor milik lokal namun nyatanya milik asing itu? Pertama, jangan cepat percaya dan bangga dengan informasi fantastis kendati berasal dari presiden atau menteri sekalipun. Check dan re-check kembali dengan teliti sebelum menyesal di kemudian hari. Kedua, start-up raksasa atau unicorn ‘asal’ Indonesia, mayoritas sahamnya dikuasai asing yg berkedudukan di Singapore. Status perusahaan unicorn yang berkedudukan di Indonesia tersebut berubah fungsi menjadi kendaraan bisnis (special purpose vehicle--SPV) yang induknya ada di Singapura. Ketiga, Temasek sebagai Holding BUMN Singapura yang mengendalikan operasional kelima unicorn di Indonesia. Pola transfer pricing digunakan sehingga barang yang dipesan relatif lebih murah dibanding barang sejenis yg ada di mall-mall dan retailer di tanah air. Keempat, Indonesia hanya dijadikan pasar, industri manufaktur di tanah air menjadi mati suri, gaya hedonis menjadi life style rakyat Indonesia pada gilirannya mematikan karya anak bangsa. Lihat saja 187 gerai 7-Eleven, 32 gerai Giant, 80 gerai Matahari, Debenhams, Metro, dan lainnya harus tutup. Kelima, unicorn yang diklaim ‘asal’ Indonesia itu kini praktis menjadi "mesin sedot" uang perusahaan-perusahaan kelompok UMKM, retailer-retailer yang terkena dampak terpaksa tutup dan melakukan PHK. Keenam, akibat bisnis unicorn dan gegacorn di Indonesia, dipastikan ekonomi berbasis kerakyatan akan hancur alias kalah bersaing, terjadi capital outflow terselubung yang menggerus cadangan devisa dan memperlebar defisit transaksi perdagangan kita. Mengingat sebagian besar barang yang di-display di unicorn itu adalah impor dengan harga subsidi. Ketujuh, sebagai perusahaan yang berbasis teknologi informasi (IT), para unicorn itu tentu memiliki pusat data para pengakses aplikasinya. Dengan kepemilikan mayoritas, para investor asing itu dapat memanfaatkan database unicorn tersebut untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan intelijen lainnya. Karena di industri IT dikenal idiom data is the new oil. Kedelapan, dominasi asing dalam bisnis yang berbasis penguasaan data publik secara jangka panjang bisa berisiko terhadap kedaulatan ekonomian nasional. Kesembilan, dengan pola-pola kebijakan yang ditempuh pemerintah selama ini tak hanya kedaulatan ekonomi yang menjadi taruhan, namun juga kedaulatan keamanan, kedaulatan informasi semakin terbuka. Semua tentang Indonesia sudah telanjang, terang benderan, tak ada lagi rahasia negara ini yang disembunyikan. Terlihat dengan terang benderang, dalan konteks informasi unicorn, Presiden Jokowi sebagai pihak yang tertipu. Entah siapa pembisiknya. Wajar kalau kemudian Tom Lembong menjadi Limbung. Kasihan Ibu Pertiwi, seperti sedang hamil tua, menunggu lahirnya Sang Pembela Negara. Karena tak ada lagi penjaga pilar bangsa, yang ada adalah para penjual negara.[] CAPTION FOTO: Data Unicorn Indonesia berdasarkan besaran valuasi (Sumber: iNews)

Politik Cakaran Ayam

Pemenangan Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi memaksa politisi kita menciptakan politik cakar ayam untuk mengatasi landasan yang lembek. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Di dunia konstruksi, teknik “cakar ayam” sudah lama ditemukan. Penemunya adalah Prof Dr Ir Sedijatmo. Tahun 1961. Teknik ini menghapus frustrasi pembangunan gedung beton bertingkat di atas tanah lembut atau rawa-rawa. Sebagai gambaran singkat, teknik fondasi cakar ayam menggunakan kerangka besi pelat yang di bawahnya diperkuat oleh tancapan pipa-pipa beton. Lazimnya mirip bentuk cakar ayam. Cara ini mampu menahan tekanan turun yang berbeda-beda akibat bobot bangunan, dst. Cukup ruwet bagi saya yang tak paham ilmu konstruksi. Seacara tak sengaja, rupanya, teknik “cakar ayam” sedang teradopsi ke dunia politik Indonesia. Tetapi, cakar ayam di sini lebih pas disebut “cakaran ayam” bukan “cakar ayam”. Ada kemiripan kondisi ketika Prof Sedijatmo menciptakan teknik cakar ayam dengan kondisi “politik cakaran ayam” era Jokowi pasca-pilpres 2019. Kemiripan kondisi itu terletak pada kata “lembek”. Sang Profesor menghadapi masalah “tanah lembek” ketika mau membuat pondasi di kawasan rawa-rawa. Sedangkan Jokowi menghadapi masalah “alas kekuasaan yang lembek” setelah dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi dan partai pendukung terbesar, PDIP (khususnya Ketum Megawati), merasa ada yang mengganjal. Alas kemenangan Jokowi dirasakan lemah (lembek). Mirip tanah lembut untuk pondasi gedung. Yang membuat Prof Sedijatmo berpikir keras menciptakan teknik cakar ayam. Sama halnya, fondasi kekuasaan Jokowi perlu diperkuat. Tidak ada cara lain kecuali membongkar fondasi (koalisi) yang ada. Mereka akhirnya mengusahakan rekonsilisasi dengan Prabowo yang diyakini banyak orang sebagai “pemenang asli” pilpres 2019. Prabowo menyambut ajakan rekonsiliasi. Bahkan sepakat untuk berkoalisi. Setuju bagi-bagi kekuasaan. Sama sekali di luar dugaan. Tapi, rekonsiliasi dan koalisi itu tidak semudah yang dibayangkan. Harus dikais-kais dari segala arah. Harus dicakar-cakarkan ke sana ke ini. Bagaikan ayam mencakar tanah untuk mencari makanan yang tak pasti. Inilah metode “politik cakaran ayam”. Dunia politik Indonesia menjadi jungkir balik. Bagai taman roller coaster. Kawan menjadi lawan. Musuh menjadi teman. Tak ada lagi mata angin politik konvensional. Yang di utara pindah ke selatan. Yang biasa di timur bergeser ke tenggara. Yang biasa dominan menjadi ‘letoi’. Yang selama ini di dalam, sekarang diusir keluar. Persis seperti hasil cakaran ayam. Berserakan ke mana-mana. Tak lagi konvensional. Tidak mudah dipahami dan tidak pula menggunakan cara berpolitik yang terhormat. Lebih kental kesan sesuka hati. Seperti ayam yang tak perduli bagaimana hasil cakarannya. Yang biasa memegang semua urusan, tiba-tiba merasa dekat ke liang kubur. Yang merasa menjadi hulubalang Queen Maker sekarang terpental. Mengamuk. Tak terima dijauhkan dari pusat kekuasaan. Parpol-parpol yang merasa bisa menentukan berapa kursi menteri untuk mereka, sekonyong-konyong merasa terkekang. Orang yang semula tidak punya kuasa besar, sekarang bakal menjadi king maker baru. Menjadi orang kuat baru. Bahkan berpeluang menjadi king-nya sendiri. Itulah politik cakaran ayam. Prof Sedijatmo pastilah tak menyangka kalau solusi pondasi tanah lembek berupa cakar ayam akan dipakai dalam bentuk cakaran ayam ketika menghadapi pondasi politik lembek pasca-pilpres 2019. Politik cakaran ayam Megawati-Jokowi sama tak lumrahnya dengan pondasi cakar ayam Prof Sedijatmo. Karena itu, banyak yang bisa segera menjadi doktor politik dengan objek penelitian di seputar “politik cakaran ayam” itu. Perlu secepat mungkin dan sebanyak mungkin mahasiswa S-3 studi politik membuat tesis-tesis yang isinya mematahkan politik cakaran ayam. Supaya metode ini tidak dikembangbiakkan atau didaur-ulang oleh para politisi yang tak memiliki alas kemenangan pemilu yang kuat. Politik Cakaran Ayam seperti yang sedang tayang hari ini harus dicegah. Karena satu-satunya produk yang dihasilkannya adalah kemunduran dunia poltik dan degradasi sistem demokrasi. **

Gempa Sumur: Pesan Langit Itupun Sudah Sampai Ibukota

Hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 SR yang bisa menyebabkan gelombang pasang. Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Gempa bumi kembali terjadi. Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter terjadi pada pukul 19.03.21 WIB, berpusat di 147 km barat daya Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Kedalaman pusat gempa adalah 10 km bawah permukaan laut. BMKG meminta semua pihak mewaspadai potensi tsunami seusai gempa yang bisa menimbulkan gelombang tsunami yang cukup besar. “Potensi tsunami cukup besar,” kata Taufan Maulana. Menurut Kepala Bagian Humas BMKG itu, dari gambar BMKG terlihat potensi gelombang tsunami disimbolkan dengan warna kuning. Terlihat warna kuning meluas dari titik Sumur hingga seluruh pantai selatan Jawa dan barat Sumatera bagian selatan. Warna kuning terus ke selatan sampai Australia. Getaran gempa yang sempat membuat panik, sudah sampai ke DKI Jakarta, dan dirasakan pula oleh warga Kota Bekasi hingga Kota Tasikmalaya. Saat terjadinya gempa, Jum’at (2/8/2019), di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, sedang ada wayangan “Nonton Bareng Presiden Jokowi Wayang Kulit Dalang Ki Manteb Sudarsono”. Belakangan ini, Indonesia sering dilanda bencana, seperti gempa bumi. Bisa jadi, ini sebuah peringatan dan pesan dan Langit. Bahwa di negeri nan indah ini telah terjadi “perusakan” di muka bumi. Banyak hal yang kita selalu abai setiap kali terjadi bencana. Lihat gempa bumi dan stunami yang terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 26 Desember 2004 sehingga menjadi perhatian dunia. Gempa berkekuatan 8,9 SR diikuti tsunami dengan kecepatan 500 km/jam itu menelan korban lebih dari 150 ribu warga Aceh meninggal dunia. Hampir sebagian besar wilayah barat dan utara Aceh disapu bersih tsunami yang masuk ke darat. Di Banda Aceh saja gelombang tsunami sempat mencapai 5 km dari pantai. Inilah gempa terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dalam kurun 2001-2004. Selama kurun waktu itu terjadi 22 gempa. Gempa berkekuatan 7,5 SR disertai tsunami pernah terjadi di Flores, NTT pada 1992 dengan korban tewas 1.952 orang. Pada 1994, gempa 5,9 SR disertai tsunami melanda Banyuwangi menelan korban 238 orang tewas. Pada 6 Februari 2004, gempa berkekuatan 6,9 SR menimpa Nabire, Papua menewaskan 35 orang. Pada 16 November 2004, gempa dengan 6,0 SR juga menimpa Alor, NTT dan menelan korban tewas 33 orang. Terakhir, pada 26 November 2004, Nabire kembali dilanda gempa berkekuatan 6,4 SR dan menelan korban 13 orang tewas. Di saat perhatian tertuju ke Alor dan Nabire, tiba-tiba Aceh dilanda gempa dan tsunami. Perhatian masyarakat Indonesia dan dunia pun tertuju ke Aceh. Karena gempa dan tsunami Aceh ini adalah bencana terbesar di dunia sejak 1964. Pusat gempa berjarak sekitar 150 km dari Kota Meulaboh dengan kedalaman sekitar 10 km. Getaran gempa dan gelombang tsunami tersebut juga melanda India, Srilanka, Myanmar, Bangladesh, Baladewa, Thailand, dan Malaysia. Total jumlah korban gempa dan tsunami, termasuk yang menimpa Aceh, ini sudah mencapai sekitar 270.000 orang tewas. Kendati musibah yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) itu sudah berlalu, namun trauma peristiwa tersebut tak bisa hilang dari benak pikiran kita. Apa yang sebenarnya terjadi di Serambi Mekkah itu? Mungkin sedikit uraian berikut ini bisa menjawabnya. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Aceh adalah penghasil minyak dan gas bumi. Entah sudah berapa banyak yang telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. E Sehingga, sebagian besar rongga perut bumi di bawahnya menjadi kosong karena sudah disedot. Akibatnya, lapisan atau kerak bumi yang ada di atasnya menjadi ambrol. Migas yang seharusnya berfungsi sebagai pelumas dan penahan beban lapisan itu, kosong. Jadi, bukan semata-mata karena ada pergeseran lempeng dasar laut saja, seperti kata para pakar gempa dan geologi. Warna air laut coklat-kehitaman itu tak lain sebenarnya adalah sisa-sisa minyak yang keluar dari rongga perut bumi di bawah lautan Aceh. Setelah lapisan bumi ini ambrol, maka air laut masuk ke dalam rongga perut bumi yang kosong itu. Dengan masuknya air laut menggantikan migas yang sudah tak ada lagi itu, maka berkurang pula getaran yang ditimbulkan akibat gesekan kerak bumi di dalamnya. Para ahli geologi dan pakar gempa tak pernah berpikir, kosongnya rongga perut bumi itu bisa menyebabkan ambrolnya lapisan bumi yang ada di atasnya. Jika eksplorasi terjadi di darat, dampak gempanya lebih dahsyat, seperti di China pada 27 Juli 1976. Korban akibat gempa 8,0 SR di Tangshan, China itu mencapai 250.000 orang tewas. Gempa dengan jumlah korban yang besar juga pernah terjadi di Mexico City pada 19 September 1985 berkekuatan 7,6 SR dengan korban 10.000 orang tewas. Di Armenia pada Desember 1988, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan korban tewas 25.000 orang. Gempa berkekuatan 7,4 SR juga menimpa Turki pada 17 Agustus 1999 dan menewaskan 17.000 orang. India Barat juga pernah dilanda gempa pada 26 Januari 2001. Gempa berkekuatan 7,9 SR itu menelan korban tewas 30.000 orang. Yang terbaru terjadi di Bam, Iran, pada 26 Desember 2003. Gempa berkekuatan 6,7 SR itu telah menelan korban 50.000 orang meninggal. Dan, tepat setahun setelah gempa di Bam itu, Aceh juga dilanda gempa dan tsunami terdahsyat sejak 1964. Selang beberapa waktu kemudian, gempa juga menimpa perbatasan India, Pakistan, dan Afghanistan dengan jumlah korban yang tak sedikit pula. Semua wilayah yang dilanda gempa itu termasuk daerah kaya migas yang sudah puluhan tahun dieksploitasi, seperti halnya wilayah Aceh. Dampak eksplorasi minyak itu memang baru terasa setelah puluhan tahun. Jika eksplorasi itu berlangsung di lautan, maka gempa tersebut akan diikuti dengan tsunami. Kata pakar gempa Wong Wingtak di Hongkong Observatory, tsunami adalah gelombang pasang nan dahsyat yang disebabkan gempa bumi di lempeng dasar laut. Gelombang itu bisa menerpa lokasi dalam jarak yang jauh dalam waktu cepat. Akibat guncangan seismik yang kuat itu, tsunami bisa mencapai ketinggian dan kecepatan yang luar biasa. Tak hanya itu. Bahkan, guncangan itu bisa menimbulkan gelombng sejauh ribuan kilometer dari asalnya dengan efek yang merusak. Korban pun selalu berjatuhan. Gelombang nan dahsyat itu juga dapat dilihat di lautan. Namun, jika kita naik kapal, mungkin kita malah tak merasakan adanya tsunami. Tapi tsunami justru punya kekuatan mahadahsyat ketika mendekati pantai dan menjangkau perairan yang dangkal. Saat itulah, kekuatannya bisa mendorong gelombang lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang permukaan laut. Wong menyebutkan, sebenarnya beberapa gejala alam bisa mengakibatkan tsunami. Misalnya, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tapi, penyebab yang paling umum adalah gempa di dasar laut. Kasawan Pasifik termasuk yang paling sering mengalami gempa bawah laut. Hal tersebut terkait pergerakan lempeng tektonik bumi. Gelombang pasang bukanlah fenomena umum dalam kasus terjadinya gempa di dasar laut. Kata Wong, hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 SR yang bisa menyebabkan gelombang pasang. Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai. Kecepatan gelombang tsunami terkait kedalaman laut. Kecepatannya bisa sampai ratusan kilometer per jam. Pada 1960, misalnya, gelombang pasang berkecepatan 750 km per jam menghantam Jepang menyusul serangkaian gempa di Cile dan Samudera Pasifik. Ratusan orang tewas saat itu. Pada September 1992, tsunami menyapu pantai Nikaragua, sebanyak 13.000 orang tewas. Pada 17 Juli 1998, dua gempa dengan 7 SR menyebabkan gelombang setinggi 7 m, menghancurkan kawasan sejauh 30 km dari pantai utara Papua Nugini menewaskan 2.123 orang di 7 desa. Gempa berkekuatan 9,0 SR disertai tsunami dahsyat juga terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011. Gempa terjadi di kedalaman laut 244 km itu menelan korban 15.269 tewas, 5.363 luka, dan 8.526 hilang. Gelombang laut mencapai ketinggian 10 m. Minggu malam, (5/8/2018), gempa kembali mengguncang Indonesia. Kali ini terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Data BNPB hingga Senin (6/8/2018) malam, sebanyak 98 orang meninggal dunia dan 209 korban luka-luka akibat bencana gempa itu. Sebagai orang beriman harus percaya, bencana itu seolah berkata, menjawab, tiada kekuasaan dan kesombongan dunia yang bisa menolak kehendak-Nya. Dalam bahasa religi, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik dari bencana di Indonesia. Pertama, bencana itu ujian bagi umat manusia. Kedua, teguran pada para pimpinan kita yang selama ini “menganiaya” Aceh. Dan ketiga, bisa diartikan juga sebagai hukuman pada para pimpinan kita yang menjadikan Aceh sebagai “objek” kepentingan politik. Begitu pula yang terjadi di Lombok. “Bapak polah, anak kepradah”. Pemimpin berulah, rakyat kesusahan. Mungkin lirik lagu Ebiet G. Ade ada benarnya, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang terjadi Jum’at (2/8/2019) malam itu tentunya tidak lepas dari KehendakNya, menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-74. Allah SWT di dalam Al-Qur’an surat Al Araf ayat 4 pun sudah mengingatkan kita. Qur’an 7 : 4, yang artinya: “Betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, siksaan Kami datang (menimpa penduduknya) pada malam hari, atau pada saat mereka beristirahat di siang hari”. “Betapa banyak negeri yang telah kami binasakan, seperti negeri kaum nabi-nabi terdahulu, siksaan kami datang menimpa penduduk-Nya pada malam hari ketika mereka tengah terlelap dalam tidur seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth yang melakukan homoseks”. “Negeri mereka dijungkirbalikkan dan dihujani dengan batu. Atau siksaan itu datang pada saat mereka beristirahat pada siang hari seperti yang terjadi pada kaum Nabi Syuaib yang sering melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan”. “Mereka disiksa dengan suara yang menggelegar. Azab Allah bisa datang kapan saja, secara tak terduga, bahkan ketika waktu istirahat sekalipun. Maka ketika siksaan Kami datang menimpa mereka, keluhan mereka tidak lain, hanya mengucap, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”. “Mereka mengakui dosa-dosanya, tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Mereka tetap dibinasakan. Inilah siksaan mereka di dunia. Di akhirat nanti, azab Allah akan lebih pedih lagi. Mereka akan dimintakan pertanggungjawaban”. Referensi: https://tafsirweb.com/2458-surat-al-araf-ayat-4.html. Jika kita piawai membaca pesan alam, musibah dan bencana alam selama ini merupakan peringatan dari Langit atas perilaku seperti kaum Nabi Luth dan Nabi Syuaib di Indonesia. Taubat Nashuha adalah jawaban yang tepat untuk menghentikan bencana di Indonesia! ***

Cina Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Indonesia memang butuh investasi, terutama investasi asing. Hanya saja, jika penanaman modal asing itu datang ke sini untuk merebut pasar dalam negeri lalu membunuh industri milik bangsa Indonesia, itu sama saja kita menyerahkan leher bangsa ini ke asing. Gejala itu sudah mulai terjadi pada industri semen kita. Naga-naganya, industri baja juga segera menyusul. Beberapa tahun yang lalu, para investor China membawa Yuan ke sini. Mereka mendirikan pabrik semen. Selanjutnya untuk merangsang mereka, pemerintah membuka keran impor klinker, bahan baku utama semen. Dengan begitu pabrik-pabrik baru tersebut bisa langsung berproduksi karena bahan baku melimpah. Pemerintah berharap Yuan yang ditanam di sini bisa menyerap tenaga kerja lokal lalu, tentu saja, menambah devisa. Harapan selanjutnya, hasil produksi mereka nantinya diekspor. Benar. Pabrik-pabrik asal Negeri Tirai Bambu itu kini beroperasi. Beberapa orang bekerja di pabrik itu. Hanya saja, tanpa disadari, pemerintah telah menyerahkan pasar dalam negeri kepada mereka. Mestinya pada saat Pemerintahan Joko Widodo menggeber proyek infrastrutur, industri semen berpesta pora. Semen laris manis. Nyatanya, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, industri semen nasional babak belur. Semen China membanjiri pasar dalam negeri dengan harga murah. Kini, beberapa pabrik besar menghentikan beberapa unit pabriknya. Pabrik itu antara lain milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dua pabrik itu berhenti produksi karena produksi bubuk abu-abu ini di dalam negeri sudah melebihi permintaan nasional. Politisi yang juga pengusaha, Andre Rosiade, mengungkap selain dua pabrik itu, pabrik Semen di Aceh, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Gresik, dan Semen Tonasa juga terpaksa menurunkan kapasitas produksinya, karena semen mereka tidak laku. Mereka kalah bersaing dengan semen China. Di sisi lain ada tiga pabrik semen baru lagi yang bakal beroperasi pada 2020/2021 di Jember, Jawa Timur; Grobogan, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. “Ini akan menyulitkan lagi para produsen semen sebelumnya karena oversupply-nya bertambah lagi. Semoga kabinet yang baru nanti bisa mengerti dan bijak terhadap situasi dan kondisi industri semen ke depan,” tutur Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kapasitas produksi di pabrik semen saat ini mencapai sekitar 100 juta ton, sementara itu tingkat konsumsi berkisar 60-68 juta ton. Jadi ada oversupply sekitar 40 juta ton. Anehnya, di tengah kondisi susah itu PT Conch Cement Indonesia, anak usaha dari pabrikan semen kelas kakap dunia Anhui Conch Cement Company (China), berencana meningkatkan kapasitas produksi hingga mencapai 25 juta ton dari saat ini hanya 2,3 juta ton per tahun. Anhui Conch Cement merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia versi Forbes, berada di peringkat 522 dalam daftar The World's Largest Public Companies 2018. Bos Anhui bilang konsumsi semen per kapita Indonesia masih kecil sehingga perlu ditingkatkan. Selain Conch Cement dengan merek dagang Conch, beberapa nama produk semen yang prinsipalnya dari investor China adalah Jui Shin dengan merek dagang semen Garuda. Lalu, Semen Hippo, Semen Jakarta, Semen Merah Putih dan lainnya. Merek-merek ini dijual lebih murah ketimbang semen produk perusahaan dalam negeri. Andre mengatakan industri semen lokal itu terancam karena semen dari prinsipal China diduga menjual dengan menggunakan predatory pricing atau menjual rugi. "Pasar semen lokal dalam kondisi sangat memprihatinkan atau terancam bangkrut. Kenapa itu bisa terjadi karena ada kebijakan predatory pricing, di mana investor semen China yakni semen Conchdengan sengaja menjual semen di Indonesia dengan harga merugi," katanya. Baja Pemerintah tampaknya tidak belajar dari kasus semen. Buktinya, di tengah kondisi pabrik baja dalam negeri yang sekarat pemerintah menggelar karpet merah untuk perusahaan asal China, Hebei Bishi Steel Group. Perusahaan ini membangun pabrik baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dengan nilai investasi US$2,54 miliar. Pabrik tersebut rencananya yang terbesar di Asia karena mampu menyerap 6.000 hingga 10.000 tenaga kerja. Serta direncanakan beroperasi pada 2019 ini atau paling lambat 2020. Bisa dibayangkan, bila pabrik ini nanti berproduksi. Pasar baja tentu akan makin keras. PT Krakatau Steel Tbk. (KS) yang kini sedang megap-megap karena impor baja dari China akan makin sekarat. Perusahaan baja China ini mendirikan pabrik baja di Indonesia berarti telah memasuki jantungnya pasar. Nantinya, mereka tak perlu lagi mengirim baja dari negerinya. Kebutuhan baja untuk pembangunan infrastruktur di sini langsung mereka layani. Kini, Krakatau Steel memiliki utang yang sangat besar, yakni US$2,49 miliar atau Rp34,86 triliun (kurs Rp14.000) pada akhir 2018. Utang yang menggunung itu memaksa KS berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.300 karyawan organiknya. Menurut The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), pada tahun 2018, jumlah impor baja Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Sedangkan berdasar Badan Pusat Statistik (2018), impor besi dan baja merupakan komoditas impor terbesar ketiga Indonesia. Impor benda keras ini 6,45% dari total impor. Indonesia merogoh kocek US$10,25 miliar untuk impor komoditas ini. BPS juga mencatat pada Januari hingga April 2019 Indonesia mengimpor besi dan baja dari China sebesar US$768,62 juta. Para periode tersebut neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$2,56 miiar. Defisit ini tercatat lebih besar ketimbang periode yang sama tahun lalu US$1,4 miliar. Tekstil Barang China sudah menjadi pengganggu pasar bagi produk anak negeri. Selain semen dan baja, sejumlah pengusaha tekstil dan produk tekstil atau TPT belakangan ini juga secara seragam mengeluhkan membanjirnya pakaian impor dari China. Pengusaha domestik kewalahan bersaing. Harga barang China itu dijual lebih murah. Tekstil China masuk pasar Indonesia sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk Negeri Panda itu yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Produk China kini menjadi pengganggu pasar produk-produk dalam negeri. Ini adalah masalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang adil untuk melindungi industry dalam negeri. Jangan lantaran dekat dengan China, lalu dikorbankan industri bangsa sendiri. End

Tanda-Tanda Krisis Itu Makin Tegas

Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian sepanjang Januari hingga Juli 2019 menunjukkan fenomena menarik. Terutama terjadi berbagai penurunan kinerja baik di level APBN, BUMN, korporasi hingga di level masyarakat, seolah sepakat mengatakan kita sudah memasuki periode krisis ekonomi. Narasi di atas seolah menggambarkan bahwa krisis akan datang, tidak. Justru krisis sudah datang dan menghantam seluruh infrastruktur perekonomian kita. Sehingga hanya orang-orang yang mengerti perekonomian baik dari sisi mikro maupun makro yang memahami bahwa sesungguhnya kita sedang berada dalam siklus krisis. Coba tengok saja release Badan Pusat Statistik (BPS) soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2019. Release data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year--YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus ekonom sebesar sebesar 5,19% YoY. Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%. Sejumlah perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group, memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%. Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia tumbuh stagnasi. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diduga pertumbuhan tidak bisa eksplosif lantaran terlalu berat beban utang yang harus ditanggung APBN, sehingga penerimaan yang ada bukan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan, tapi habis tertelan angin untuk membayar pokok dan bunga utang. Sinyal bahwa krisis itu memang ada dan sinyalnya cukup kuat datang dari pasar modal. PT Merryll Lynch Sekuritas Indonesia dan PT Deutsche Sekuritas Indonesia, sebuah perusahaan asal Amerika dan Jerman, menutup bisnis brokernya di Indonesia. Itu artinya kedua broker asing itu berhenti sebagai Anggota Broker (AB) di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 11 Juli 2019. Padahal untuk menjadi AB di BEI tidak mudah dan tidak pula murah. Alasannya, selain sedang melakukan restrukturisasi di kantor pusat, likuiditas di pasar modal Indonesia sudah kering sehingga tak menarik lagi bagi kedua perusahaan sekuritas asing tersebut. Ini juga merupakan sinyal buruk bahwa terjadi crowding out effect di pasar. Dimana Pemerintah Indonesia begitu getol mencari likudiitas di pasar lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga tinggi. Akibatnya industri perbankan, industri pasar modal, industri asuransi dan industri finance harus bersaing dengan regulator dan sekaligus operator, yang sudah pasti akan kalah. Pasar pun dikuasai Pemerintah, bank-bank, perusahaan emiten, perusahaan asuransi dan perusahan finance lambat laun tersingkir dari pasar Indonesia. Padahal tugas pemerintah seharusnya melakukan pendalaman pasar, bukannya memperkeruh pasar, sehingga likudiitas begitu sulit diperoleh oleh selain pemain Pemerintah. Tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya krisis adalah kasus gagal bayar (default) obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta atau ekuivalen dengan Rp154 miliar (dengan kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan obligasi sampah (junk bond). Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) pimpinan Setyono Djuandi Dharmono, sang penggagas penghapusan pendidikan agama di sekolah. Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai US$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu, PT Agung Podomoro Land Tbk juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. “Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun,” tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Dari BUMN sinyal krisis itu juga hadir. Kasus PT Krakatau Steel Tbk yang membukukan rugi Rp1,06 triliun dengan total utang mencapai Rp40 triliun, menunjukkan adanya krisis di industri baja. Bagaimana mungkin Krakatau Steel dapat bersaing dengan baja China, dimana dari negaranya sudah mendapat potongan pajak (tax rebate) 10% plus tax holiday dari Pemerintah Indonesia berupa pembebasan bea masuk 15%. Praktis baja China di Indonesia sudah unggul 25% atas Krakatau Steel, sebuah level playing field yang tidak seimbang. Anehnya situasi ini dinikmati sebagai sebuah keberhasilan mengundang investor. Investor mana yang tidak tertarik kalau dalam 5 hingga 10 tahun ke depan dapat membunuh industri baja nasional? Padahal di negara manapun selalu berusaha melindungi industri strategisnya, baja adalah industri strategis yang harus dilindungi. Andai saja founding father kita Presiden Soekarno masih hidup, dia akan memaki-maki pemerintah saat ini. Bagaimana mungkin Krakatau Steel yang dibangunnya harus diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahnya sendiri. Belum lagi PT Garuda Indonesia Tbk yang ngebet membukukan laba bersih lewat window dressing. Pat gulipat laporan keuangan berhasil membuat Garuda seolah-olah membukukan laba bersih Rp70 miliar pada 2018. Ternyata setelah diaudit BPKP, pada 2018 Garuda masih harus membukukan rugi bersih Rp2,4 triliun, sungguh terlalu sandiwara keuangan yang dilakukan I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra dan kawan-kawan. Dirut Garuda itupun harus kena sanksi denda atas upaya minteri rakyat Indonesia lewat laporan keuangan palsu, lewat financial engineering, bahkan saham Garuda pun tergelincir dibuatnya. Belum lagi PT Pertamina yang seharusnya menyumbang dividen laba paling besar ke APBN, justru mendapati ketidakjelasan berapa laba bersih yang sebenarnya. Presiden Jokowi menyebut laba bersih Pertamina sedikitnya Rp20 triliun, sementara laporan internal Pertamina menyebutkan sekitar Rp5 triliun. Padahal di 2016 Pertamina pernah mengalahkan Petronas dengan membukukan laba bersih Rp42 triliun, saat itu Petronas hanya membukukan laba bersih Rp36 triliun. Apa yang terjadi hari ini, di tengah ketidakjelasan laba bersih Pertamina? Petronas yang 25 tahun lalu belajar ke Pertamina, pada 2018 berhasil membukukan laba bersih Rp189 triliun atau 55,3 miliar ringgit. Sungguh sebuah ironi yang sulit dihindari, seluruh laba BUMN jika dikumpulkan hanya Rp188 triliun, masih lebih besar laba bersih satu Petronas. Ironi yang mencolok mata kita. Lepas dari problematika yang melanda ekonomi nasional, ekonomi mikro dan makro, yang jelas krisis itu sudah berlangsung. Dan itu direpresentasikan dari data-data yang kami urai di atas. Tinggal seberapa serius Pemerintah untuk membenahi krisis ini, sebab jika asumsi para menteri masih yang itu-itu juga, maka kita sangat meyakini krisis ini akan semakin luas dan dalam. Itu sebabnya Presiden Jokowi harus memilih menteri yang tepat, yakni yang memiliki track record membenahi APBN. Bukan sebaliknya melanjutkan tradisi menambal APBN yang defisit dengan utang, utang dan utang. Bisa-bisa Republik Indonesia tenggelam dibuatnya. End.

Pusing 212: Negara dengan 80 Juta Teroris?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini, para pengamat politik gencar membahas tentang apa yang akan terjadi terhadap gerakan 212. Gerakan ini terkenal dengan aksi damainya, terutama di ibukota. Aksi-aksi damai yang muncul dan langsung besar di pengujung 2016 dan awal 2017 itu, sama sekali tidak mengganggu Jakarta. Tetapi, ada pihak yang merasa sangat terbebani oleh 212. Ada beban politik yang sangat berat akibat keberhasilan 212. Beban itu secara natural tertimpakan kepada orang-orang yang resah melihat kebangkitan Islam politik. Sebelum dilanjutkan, perlu ditanya dulu apakah valid menteorikan bahwa 212 identik dengan kebangkitan Islam politik? Pertanyaan ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan juga. Kalau bukan kristalisasi kebangkitan Islam politik, mau disebut apa gerakan itu? Sekadar kumpul-kumpul saja? Sangat absurd! Baik. Kita teruskan. Sebagian pemerhati politik berpendapat 212 akan menjadi tak relevan lagi setelah Prabowo digiring masuk ke kubu 02. Tidak ada lagi pemimpinnya. Ada pula pengamat yang memperkirakan 212 akan meredup dan kemudian sirna. Yang lain memperkirakan 212 akan menjadi “anak ayam kehilangan induk” setelah kepergian Prabowo ke kubu 01. Akan tercerai-berai. Tetapi, semua teori atau dugaan itu tidak akan ada yang tepat. Memperkirakan 212 akan lenyap adalah kekeliruan berpikir yang disengaja. Mengatakan 212 akan selesai, hanya menunjukkan frustrasi Anda melihat Islam politik yang semakin matang dalam berstrategi. Gerakan 212 tidak tergantung pada Prabowo. Sebaliknya, 212-lah yang mengajak Prabowo berjuang melawan kesewenangan. Ke depan, gerakan ini juga tidak akan tergantung pada tokoh personalitas seperti Habib Rizieq, dsb. Gerakan ini cukup dipimpin oleh seorang koordinator yang mirip dengan “admin” di grup-grup WA. Kenapa? Karena 212 diramaikan oleh lapisan intelektual dan kelas menengah. Mereka ini semua memiliki pemahaman yang komplit tentang gerakan 212, tentang tujuannya dan cara-cara yang digunakan. Semua pendukung 212 mengerti bahwa gerakan 212 adalah Islam politik yang akan selalu damai. Semua praktisi 212 tahu bahwa mereka berkumpul di kelompok umat garis lurus. Yang paling gerah terhadap gerakan 212 adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Para penguasa itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka serasa dikejar oleh sosok yang menakutkan bagi mereka. Tetapi tidak menakutkan bagi orang lain. Mereka tahu 212 adalah isyarat kebangkitan Islam politik. Yang diprakarsasi dan diisi oleh umat Islam garis lurus. Yaitu, kumpulan umat yang berasal macam-macam ormas dan orpol. Umat garis lurus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan bagi semua dan melawan kezaliman. Sejauh ini, umat garis lurus dipimpin oleh orang-orang yang tidak serakah tetapi tegas. Ketegasan mereka dalam melawan kezaliman membuat para penguasa gerah dan resah. Mereka sekarang menggunakan segala cara untuk melemahkan dan melenyapkan gerakan 212. Salah satu cara ampuh yang mungkin akan dilakukan adalah mendemonisasikan (menjelekkan) 212. Memberikan label yang buruk dan menakutkan. Sangat mungkin 212 akan dikait-kaitan dengan paham radikal. Merekan boleh jadi akan disusupi dengan elemen-elemen jahat yang kemudian akan merusak nama baik 212. Sangat mungkin pula pihak tertentu menyusupkan orang-orang yang akan “diatur” untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa-bawa nama 212. Termasuk melakukan tindakan terorisme. Sehingga, penguasa memiliki alasan untuk mencap 212 sebagai gerakan teroris. Mungkinkah melabel 212 sebagai teroris menjadi kenyataan? Bisa saja. Sebab, 212 akan terus membayangi ketidakmakpuan pemguasa dalam menegakkan keadilan. Ini sangat merisaukan mereka. Tapi, apakah masuk akal mengatakan 212 sebagai gerakan teroris? Inilah yang menjadi masalah. Sangat tak mungkin mengatakan 212 sebagai gerakan teroris. Sebab, 212 adalah representasi 80 juta pemilih Islam garis lurus. Anda pusing dengan 212? Tak perlu. Kalau Anda pusing, bisa-bisa Anda terpaksa mengatakan Indonesia ini adalah negara dengan 80 juta teroris. Menjadi konyol, bukan? Padahal, mereka hanya arus baru Islam politik. Arus yang jernih dan bening, insyaAllah.

Arus Deras Desakan Pembubaran FPI

Oleh Sugito Atmo Pawiro Jakarta, FNN - Media sosial diramaikan dengan perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi yang gencar mendorong Presiden Jokowi untuk membubarkan Ormas Islam FPI berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Kita memahami bahwa pemerintahan Jokowi tidak sulit untuk membubarkan Ormas. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Mendagri sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun demikian justru Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat. Secara yuridis sebenarnya ada ketegasan hukum di dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya, tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab. Pernyataan Presiden Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahanan. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground (di bawah tanah)” dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, kian tersudutkan tak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Provokasi yang Buta Literasi Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tidak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Pondok Pesantren Al-Umm Ciputat dengan misi utama pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.***