Cahaya Listrik Penting, Nur Illahi Jauh Lebih Penting
Kita butuh pemimpin yang sejuk bukan umuk, yang mengayomi bukan memusuhi, yang memberi contoh bukan yang menjiplak.
Oleh Sri Widodo Soetardjowijono (Wartawan FNN)
Jakarta, FNN - Lebih dari 15 jam bahkan ada yang 29 jam dalam kegelapan, tak membuat rakyat Indonesia sengsara apalagi terbelakang. Yang rugi paling-paling pengusaha besar, konglomerat, dan penjual jasa papan atas. Jika ada rakyat yang ikut sedih, larut dalam kekecewaan lalu murka, itu hanya bersifat emosional sesaat. Rakyat sudah terbiasa hidup dengan kebutuhan listrik minim, lampu pijar 5 watt. Mereka masih bisa jalan kaki, pakai kayu bakar, bahkan tidur dalam gelap. Bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia yang selalu bisa berdamai dengan segala keterbatasan.
Tak dipungkiri, matinya listrik memang mengakibatkan mandegnya alat-alat transportasi. Tetapi di sisi lain, ini justru menguntungkan tukang ojek, sopir angkot, dan tukang becak. Kebanjiran penumpang - kaum terpinggirkan ini - ibarat ketiban durian runtuh. Demikian juga putusnya alat komunikasi melahirkan hikmah tersendiri, membuat masyarakat kembali saling sapa dan tegur. Jika sebelumnya mereka sibuk dengan gadget masing-masing, kemarin mereka asyik berdiskusi, ngobrol dan sesekali berkeluh kesah. Warung tradisionalpun menjadi ramai pembeli.
Ada miliaran jutaan yang saat itu kembali berputar di tangan masyarakat. Juga ada miliaran rupiah kerugian yang diderita oleh para pengusaha telekomunikasi, pebisnis startup, dan kartel ritail. Tidak usah ikut panik, mereka sudah menghitungnya.
Sehari setelah tragedi listrik padam berjamaah, Presiden mendatangi kantor pusat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN sibuk mempersiapkan kedatangan orang yang paling bertanggungjawab di republik ini. Jalanan disteril, pasukan pengawal disiapkan, dan obat-obatan tak boleh ketinggalan.
Namun sayang, apa yang disampaikan presiden saat di depan direksi PLN, tak membuat masyarakat lega. Bahkan, usai bertemu pejabat PLN, presiden tidak menyediakan waktu untuk bertanya jawab dengan wartawan, sebagai penyambung lidah masyarakat luas. Ia langsung pergi. Publik tidak mendapatkan gambaran yang jelas mengapa kasus mati listrik total yang juga diberitakan oleh media internasional itu bisa terjadi dan apa saja solusi jangka panjangnya. Semua bertanya-tanya. Presiden hanya minta kepada Direksi PLN perbaikan secepatnya dengan cara apapun. Tak mau tahu.
Seremoni bertemu direksi PLN tidak imbang dengan persiapan yang dilakukan untuk menyambutnya. Ini salah satu bukti betapa tidak efisiennya sebuah acara – sesuatu yang ia kampanyekan selama ini. Mengapa tidak kirim rilis saja ke seluruh media massa? Hemat dan cepat.
Kedatangan presiden ke kantor pusat PLN tak memberikan solusi yang nyata. Ada kesan Presiden menyalahkan PLN yang dikhawatirkan akan merusak citra BUMN tersebut. Tapi bukankah pembangkit-pembangkit listrik menjadi salah satu objek vital nasional yang menjadi tanggungjawab negara. Mati listrik bukan merusak citra PLN, tetapi justru citra Presiden yang jeblok.
PLN dalam waktu dekat dipastikan tidak akan menemukan penyebab secara jelas, apalagi pucuk pimpinan PLN baru berstatus pelaksana tugas yang ditunjuk 2 hari lalu.
Saya tidak bisa menduga apakah ada sabotase atau persaingan calon direktur utama PLN, ada alat-alat baru dari Cina yang bakal dipasang, ada faksi-faksi yang punya kepentingan. Sekali lagi saya tidak tahu. Tapi semua dugaan itu bisa saja terjadi.
Yang jelas ada masalah akut yang terjadi di tubuh BUMN kita. Jika Presiden mampu dan mau merevolusi semua BUMN, maka kasus-kasus yang terjadi pada Pertamina, Krakatau Stell, Garuda Indonesia, Pupuk Indonesia, PLN dan BUMN lainnya, bisa diatasi.
Yang menjadi perhatian masyarakat adalah betapapun hebatnya seorang Presiden jika tidak dibarengi dengan dukungan yang kuat, maka sia-sia. Setinggi apapun visi Presiden, jika tak mampu dibuktikan, maka masyarakat hanya akan menilai sebagai “Cuma Khayalan.”
Masih lekat dalam ingatan kita, saat Jokowi nyebur ke dalam got, mejeng di depan “Mobnas Esemka”, kampanaye soal drone, imam sholat, pakaian sederhana, unicorn, dan terakhir mobil terbang.
Sikap dan perilaku Jokowi sungguh membius sebagian masyarakat sehingga mereka merasa memilik presiden yang didambakan: sederhana dan merakyat, cerdas dan pekerja keras.
Tapi ironis, jika masyarakat telah mendapatkan presiden idaman sesuai dambaan, mengapa sejak 2014 gaduh ini tak pernah berlalu? Pernahkah pembisik Jokowi mengevaluasi kenyataan ini. Atau sengaja tidak mengevaluasi karena masih ada penggemarnya?
Di sisi lain banyak pula masyarakat yang menyimak perilaku Jokowi sebagai sosok yang membosankan. Melihat fotonya saja ogah. Hidupnya penuh dengan kebohongan. Kadang terlihat sebagai presiden yang sinis, angkuh, dan egois. Terlihat redup, tak ada pancaran sinar yang menyala.
Melihat kenyatan ini, banyak masyarakat yang resah dan gelisah. Ada jiwa-jiwa yang terkoyak, ada hati yang tersakiti, perasaan yang dilukai dan ada janji yang dikhianati.
Kita butuh pemimpin yang sejuk bukan umuk, kita butuh pemimpin yang mengayomi bukan memusuhi, yang memberi contoh bukan yang menjiplak, yang nyata bukan pencitraan, yang natural bukan artifisial, yang bisa menterjemahkan kemauan rakyat bukan pemimpin yang semaunya sendiri. Kita butuh presiden yang di wajahnya terpancar cahaya Tuhan. Wajah-wajah bersahabat, tenteram dan damai, ihklas dan tanpa pamrih.
Maka, berhentilah berkhayal dan mengelabuhi rakyat. Bekerjalah secara teratur, terukur, dan penuh syukur. Lima tahun ke depan demokrasi Indonesia belum tentu semaju Amerika, ekonomi Indonesia belum setangguh Cina, kekayaan Indonesia belum sehebat Abu Dhabi. Woles aja.
Buktikan bahwa tidak ada lagi cebong dan kampret, bukan sebatas wacana. Hentikan produsen buzzer. Katakan dan yakinkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa tidak ada Islam radikal, intoleran, dan anti-NKRI. Jika tidak, maka stigma menjijikkan ini akan terus dipelihara dan dipanen setiap 5 tahun sekali. Jadilah pemimpin yang bertabur Nur Illahi.