Cina Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Indonesia memang butuh investasi, terutama investasi asing. Hanya saja, jika penanaman modal asing itu datang ke sini untuk merebut pasar dalam negeri lalu membunuh industri milik bangsa Indonesia, itu sama saja kita menyerahkan leher bangsa ini ke asing. Gejala itu sudah mulai terjadi pada industri semen kita. Naga-naganya, industri baja juga segera menyusul.
Beberapa tahun yang lalu, para investor China membawa Yuan ke sini. Mereka mendirikan pabrik semen. Selanjutnya untuk merangsang mereka, pemerintah membuka keran impor klinker, bahan baku utama semen. Dengan begitu pabrik-pabrik baru tersebut bisa langsung berproduksi karena bahan baku melimpah. Pemerintah berharap Yuan yang ditanam di sini bisa menyerap tenaga kerja lokal lalu, tentu saja, menambah devisa. Harapan selanjutnya, hasil produksi mereka nantinya diekspor.
Benar. Pabrik-pabrik asal Negeri Tirai Bambu itu kini beroperasi. Beberapa orang bekerja di pabrik itu. Hanya saja, tanpa disadari, pemerintah telah menyerahkan pasar dalam negeri kepada mereka. Mestinya pada saat Pemerintahan Joko Widodo menggeber proyek infrastrutur, industri semen berpesta pora. Semen laris manis. Nyatanya, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, industri semen nasional babak belur. Semen China membanjiri pasar dalam negeri dengan harga murah.
Kini, beberapa pabrik besar menghentikan beberapa unit pabriknya. Pabrik itu antara lain milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dua pabrik itu berhenti produksi karena produksi bubuk abu-abu ini di dalam negeri sudah melebihi permintaan nasional.
Politisi yang juga pengusaha, Andre Rosiade, mengungkap selain dua pabrik itu, pabrik Semen di Aceh, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Gresik, dan Semen Tonasa juga terpaksa menurunkan kapasitas produksinya, karena semen mereka tidak laku. Mereka kalah bersaing dengan semen China.
Di sisi lain ada tiga pabrik semen baru lagi yang bakal beroperasi pada 2020/2021 di Jember, Jawa Timur; Grobogan, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. “Ini akan menyulitkan lagi para produsen semen sebelumnya karena oversupply-nya bertambah lagi. Semoga kabinet yang baru nanti bisa mengerti dan bijak terhadap situasi dan kondisi industri semen ke depan,” tutur Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kapasitas produksi di pabrik semen saat ini mencapai sekitar 100 juta ton, sementara itu tingkat konsumsi berkisar 60-68 juta ton. Jadi ada oversupply sekitar 40 juta ton.
Anehnya, di tengah kondisi susah itu PT Conch Cement Indonesia, anak usaha dari pabrikan semen kelas kakap dunia Anhui Conch Cement Company (China), berencana meningkatkan kapasitas produksi hingga mencapai 25 juta ton dari saat ini hanya 2,3 juta ton per tahun.
Anhui Conch Cement merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia versi Forbes, berada di peringkat 522 dalam daftar The World's Largest Public Companies 2018. Bos Anhui bilang konsumsi semen per kapita Indonesia masih kecil sehingga perlu ditingkatkan.
Selain Conch Cement dengan merek dagang Conch, beberapa nama produk semen yang prinsipalnya dari investor China adalah Jui Shin dengan merek dagang semen Garuda. Lalu, Semen Hippo, Semen Jakarta, Semen Merah Putih dan lainnya. Merek-merek ini dijual lebih murah ketimbang semen produk perusahaan dalam negeri.
Andre mengatakan industri semen lokal itu terancam karena semen dari prinsipal China diduga menjual dengan menggunakan predatory pricing atau menjual rugi. "Pasar semen lokal dalam kondisi sangat memprihatinkan atau terancam bangkrut. Kenapa itu bisa terjadi karena ada kebijakan predatory pricing, di mana investor semen China yakni semen Conchdengan sengaja menjual semen di Indonesia dengan harga merugi," katanya.
Baja
Pemerintah tampaknya tidak belajar dari kasus semen. Buktinya, di tengah kondisi pabrik baja dalam negeri yang sekarat pemerintah menggelar karpet merah untuk perusahaan asal China, Hebei Bishi Steel Group. Perusahaan ini membangun pabrik baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dengan nilai investasi US$2,54 miliar. Pabrik tersebut rencananya yang terbesar di Asia karena mampu menyerap 6.000 hingga 10.000 tenaga kerja. Serta direncanakan beroperasi pada 2019 ini atau paling lambat 2020.
Bisa dibayangkan, bila pabrik ini nanti berproduksi. Pasar baja tentu akan makin keras. PT Krakatau Steel Tbk. (KS) yang kini sedang megap-megap karena impor baja dari China akan makin sekarat.
Perusahaan baja China ini mendirikan pabrik baja di Indonesia berarti telah memasuki jantungnya pasar. Nantinya, mereka tak perlu lagi mengirim baja dari negerinya. Kebutuhan baja untuk pembangunan infrastruktur di sini langsung mereka layani.
Kini, Krakatau Steel memiliki utang yang sangat besar, yakni US$2,49 miliar atau Rp34,86 triliun (kurs Rp14.000) pada akhir 2018. Utang yang menggunung itu memaksa KS berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.300 karyawan organiknya.
Menurut The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), pada tahun 2018, jumlah impor baja Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Sedangkan berdasar Badan Pusat Statistik (2018), impor besi dan baja merupakan komoditas impor terbesar ketiga Indonesia. Impor benda keras ini 6,45% dari total impor. Indonesia merogoh kocek US$10,25 miliar untuk impor komoditas ini.
BPS juga mencatat pada Januari hingga April 2019 Indonesia mengimpor besi dan baja dari China sebesar US$768,62 juta. Para periode tersebut neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$2,56 miiar. Defisit ini tercatat lebih besar ketimbang periode yang sama tahun lalu US$1,4 miliar.
Tekstil
Barang China sudah menjadi pengganggu pasar bagi produk anak negeri. Selain semen dan baja, sejumlah pengusaha tekstil dan produk tekstil atau TPT belakangan ini juga secara seragam mengeluhkan membanjirnya pakaian impor dari China. Pengusaha domestik kewalahan bersaing. Harga barang China itu dijual lebih murah.
Tekstil China masuk pasar Indonesia sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk Negeri Panda itu yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia.
Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia.
Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Produk China kini menjadi pengganggu pasar produk-produk dalam negeri. Ini adalah masalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang adil untuk melindungi industry dalam negeri. Jangan lantaran dekat dengan China, lalu dikorbankan industri bangsa sendiri. End