OPINI
Papua Membara, Mahfud MD Kok Bungkam ?
Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - NKRI dirongrong di Papua, Pancasila dilecehkan di Papua, sang Saka Merah Putih di bakar di Papua. Hanya, saya merasa terheran-heran kenapa Begawan BPIP semua bungkam ? Mana suara Megawati ? Mana suara Try Sutrisno ? Mana suara Syafii Maarif ? Mana suara Said Aqil Siradj ? Mana suara Ma'aruf Amin ? Mana suara Sudhamek ? Mana suara Andreas Anangguru Yewangoe ?Mana suara Wisnu Bawa Tenaya? Dan yang lebih penting MANA SUARA BEGAWAN BPIP PALING GIGIH, MAHFUD MD ? Kalau urusan umat Islam, bendera tauhid, syariah Islam, mereka ini paling cerewet berkomentar. Syafi'i Ma'arif yang sudah udzur saja, nyinyir kepada wacana NKRI bersyariah, apalagi Mahfud MD. Tuding dana dari Arab ke pesantren untuk radikslisme, tuding pesantren di Jogja dan Magelang radikal. Tapi giliran di Papua, kok Ga ada satupun kalimat Twitt Mahfud yang membara menyebut OPM radikal ? Lantas, apa solusi Pancasila untuk mengatasi masalah separatisme OPM ? Melafadzkan sila-sila Pancasila sampai lidah kelu ? Meminta OPM berbaris dan beri hormat ke bendera merah putih ? Apa pula pertanggungjawaban Jokowi untuk Papua. Bukankah suara Jokowi di Papua luar biasa besar ? Lantas, kalau mereka pro Jokowi kenapa minta referendum pisah dari NKRI ? Apa kampanye politik Jokowi di Papua dulu menjanjikan referendum dan berpisah dari NKRI sehingga suara Jokowi luar biasa besar di Papua ? Atau keributan di Papua ini dalam rangka merealisir janji politik Jokowi ? Kembali ke Mahfud MD, saya jadi kepingin tahu apa resep mujarab sang profesor ini -yang telah kalah telak melawan tantangan Prof Suteki- untuk mengatasi masalah Papua. Apa akan mengadopsi ide Jokowi, yang saat pidato kebangsaan berkoar tidak ada toleransi bagi siapapun yang mau memecah belah bangsa. Tapi begitu OPM beraksi, kok jadi lembek ? Diminta saling memaafkan ? Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Tidak mungkin lah, seorang Mahfud pergi ke Papua dalam konteks bertempur, seperti Banser. Banser saja ngeles minta payung hukum. Tapi paling tidak Mahfud kan bisa ngetwit ? Komentar, kasih perspektif Pancasila mengenai persoalan Papua. Jangan hanya menjadi kompor kebangsaan berdalih suluh kebangsaan, menebar tudingan ditengah kalangan pesantren tanpa punya rasa malu. Meskipun begitu, saya termasuk orang yang sabar menanti pernyataan Mahfud. Bagaimanapun, dia telah terima gaji BPIP. Karena itu, dia wajib bekerja dan bertanggung jawab secara moral kepada publik. Semoga, Mahfud MD diberi kemudahan dan kelancaran, agar lisannya mampu bersuara untuk Papua. Kita, sebagai sesama anak bangsa sangat menunggu peran dan kiprah Mahfud MD dalam menjaga dan membumikan nilai-nilai Pancasila.
Jangan Cemaskan Pancasila, Sejak Lama Pancasila Memang Sudah Tak Ada?
Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kehadiran BPIP dianggap sebagai respons negara atas rongrongan terhadap Pancasila. Diharapkan, BPIP mampu membina dan mengarahkan corak keberpancasilaan bangsa dan negara. Bahkan, untuk urusan ini negara merogoh kocek yang diambil dari kantong rakyat (pajak) untuk menggaji ratusan juta rupiah untuk memberi jatah bulanan Kepada begawan - begawan BPIP. Tak peduli, apakah secara subtantif BPIP bermanfaat. Yang jelas, secara formal telah melembaga, biar terlihat gagah memang semua harus di lembagakan. Biar bisa memindahkan duit dari kantong rakyat ke kantong BPIP, tentunyahhh. Tak jelas, apa tupoksi BPIP. Yang muncul, BPIP sering nyinyir terhadap umat Islam dan isu-isu keislaman. Terkait OPM, yang jelas mengancam Pancasila dan NKRI, BPIP terlihat irit komentar, jika mengeluarkan statement pun, sangat hati-hati. Sebenarnya, apakah pancasila terancam, sehingga butuh BPIP ? Apakah publik NKRI perlu mencemaskan Pancasila ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, justru kita semua, publik NKRI patut bertanya, apakah Pancasila masih ada ? Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Mari kita ulas. Menarik sekali, pernyataan Surya Paloh yang menyebut negara ini adalah negara kapitalis liberal, bukan Pancasila. Pernyataan ini, adalah pernyataan Sahih, meski motifnya karena rebutan jatah kursi menteri. Negeri ini memang sejak lama menerapkan ideologi kapitalisme sekuler, dengan berbagai corak dan varian. Saat ini, negeri ini sedang menerapkan mutan kapitalisme yang berevolusi menjadi kapitalisme liberal. Lebih liberal ketimbang kapitalisme pasar. Jika pada era Soekarno, Pancasila secara subtantif ditafsirkan dengan mahzab sosialistik dibuktikan dengan proyek nasionalisasi sejumlah aset privat milik Belanda menjadi BUMN. Era Soeharto, negeri ini telah sah menerapkan kapitalisme barat. Jadi, ketika itu pertarungan ideologi kspitalisme barat dan sosialisme China, bertarung untuk mensarah (menafsir) makna Pancasila. Secara subtantif, Pancasila tidak pernah ada. Pancasila, sejak orba hingga saat ini hanya dijadikan sebagai alat untuk menggebuk lawan politik. Dalam kasus HTI misalnya, HTI dituding anti Pancasila, sementara nilai-nilai Pancasila anti korupsi. Faktanya, yang menuding dan mencabut BHP HTI justru yang banyak kena kasus korupsi. PDIP, Golkar, PKB, PPP, semua pengalaman dalam urusan korupsi. Saat ini, misalnya, nilai Pancasila tidak pernah diterapkan sebagaimana dahulu Pancasila juga hanya menjadi slogan-slogan kosong tanpa isi. Justru, ideologi barat sekuler dan asosialisme China yang eksis dan berebut pengaruh di negeri ini. Penguasaan aset dan tambang oleh asing, Import TKA China, utang yang menggunung, kemiskinan yang akut, sulitnya akses kesehatan bagi rakyat kecil, ancaman disintegrasi Papua, dll. apalah semua ini bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila ? Kalau iya, berarti jelek sekali Pancasila itu. Kalau bukan, berarti jelas Pancasila memang tak pernah ada dan diterapkan di negari ini. Kalau realitasnya Pancasila memang tak ada dan tak pernah diterapkan, jadi wajar saja kita tidak perlu mencemaskan Pancasila. Tak perlu pusing menjaga Pancasila dengan membentuk BPIP atau semisalnya. Biarkan, Pancasila eksis sebatas dongeng seperti cerita Sangkuriang atau Bandung Bondowoso. Saya sepakat, Pancasila tak perlu dicemaskan. Karena, Pancasila sudah sejak lama memang tak pernah ada secara kenyataan.
Pak Dasco, Mana "Penumpang Gelap" Itu?
Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sejenak soal Papua. Kembali dulu ke isu pilpres. Tepatnya ke soal “penumpang gelap” di kubu Prabowo. Sebab, isu ini belum tuntas. Tidak bisa didiamkan begitu saja. Julukan ini terlanjur meciptakan kekeruhan. Menimbulkan keresahan. Publik menebak-nebak siapa gerangan ‘penumpang gelap’ itu. Orang yang selama ini berada di sekitar Prabowo, semuanya bisa menjadi tertuduh. Termasuk para habaib, ulama, ustads, relawan, emak-emak, dlsb. Dan juga para kader Gerindra garis lurus. Kalau yang garis bengkok tak akan menjadi tertuduh penumpang gelap. Mereka malah menggelapkan penumpang atau membuat penumpang menjadi gelap. Wakil ketua umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, harus menjelaskan siapa itu ‘penumpang gelap’ yang dia katakan mau membenturkan Prabowo Subianto (PS) dengan pihak yang berkuasa. Dasco yang memulai istilah itu. Dia yang memunculkan tuduhan itu. Dia yang menebar fitnah itu. Sekarang, Pak Dasco, Anda harus gentlemen. Anda harus tunjukkan ke publik siapa-siapa itu ‘penumpang gelap’ yang Anda maksudkan. Anda tidak boleh lepas tangan setelah Anda mulai fitnah itu. Yang Anda sebut ‘penumpang gelap’ itu membuat banyak orang tak nyaman. Fitnah Anda itu seakan-akan tertuju kepada para habaib, para ulama, para ustadz yang selama ini mendukung Prabowo. Seolah-olah tertuju kepada para relawan, emak-emak, dan simpatisan Prabowo. Anda sebutkan bahwa ‘penumpang gelap’ itu adalah orang-orang yang tak setuju dengan anjuran agar tidak ada aksi damai di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika akan berlangsung sidang gugatan hasil pilpres 2019. Tuduhan Anda, Pak Dasco, sangat liar. Sangat berbahaya. Banyak orang bisa risih dan resah. Sebab, ada puluhan ribu orang yang merasa perlu mengawal sidang di MK itu. Dan mereka sama sekali tidak punya maksud membuat keonaran. Tidak bermaksud melaga-laga siapa pun. Mereka hanya ingin menunjukkan solidaritas kepada Prabowo dan ingin agar keadilan bisa menang di MK. Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Pak Fadli Zon, yang juga wakil ketua umum Gerindra, sudah membantah keberadaan ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo. Setelah itu, tak ada angin tak ada hujan, muncul tulisan buzzer bayaran Anda yang memuji-muji Habib Rizieq. Tulisan ini seolah ingin meredam tudingan ‘penumpang gelap’ ke arah Habib, ke arah para ulama. Kalau Anda tidak menjelaskan soal ‘penumpang gelap’ itu, maka tidak keliru kalau ada yang berkesimpulan bahwa Anda memang ingin para ulama dan umat Islam tidak lagi bersama Prabowo. Ini mirip dengan kejadian ketika seorang ketua umum partai yang mengatakan bahwa partai dia tidak perlu suara umat Islam. Menurut hemat saya, sikap tegas ketum partai itu malah lebih bagus. Lebih terhormat. Dia terus-terang mengatakan partai beliau tak memerlukan suara umat Islam. Nah, sebaiknya Anda pun berterus terang saja. Katakan dengan tegas bahwa Anda dan Gerindra tak perlu umat Islam. Ini lebih baik ketimbang Anda munculkan istilah ‘penumpang gelap’ yang salah satu arahnya tertuju ke para ulama dan umat Islam. Juga tertuju kepada para relawan dan emak-emak yang boleh dikatakan 100% berasal dari latarbelakang umat Islam. Jadi, Pak Dasco, kami imbau sekali lagi agar Anda menjelaskan siapa saja ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Agar semuanya menjadi jelas. Berbagai pihak telah menyampaikan desakan agar ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo diungkap saja identitasnya. Dibuka saja. Supaya tidak terus liar. Agar bisa diketahui apakah mereka para ulama atau bukan. Atau, kalau bukan ulama, berarti ‘penumpag gelap’ itu adalah mereka yang juga ‘penumpang terang’. Harap diingat, para ulama dan umat Islam berperan besar mengantarkan Prabowo ke posisi tawar (bargaining position) politik seperti sekarang ini. Dukungan kuat umat Islam di seluruh pelosok Indonesia di pilpres 2019 ini membuat Parbowo bisa menjadi figur yang diakui kekuatan politiknya oleh pihak lawan. Sayangnya, Anda bertindak ceroboh dengan isu ‘penumpang gelap’. Inilah tudingan yang menyakitkan para ulama dan umat Islam, seandainya merekalah yang Anda maksud. Sangat tendensius. Sekali lagi, kalau Anda dan Gerindra tak perlu umat, lebih baik dikatakan saja dengan tegas. Anda tidak harus membuat fitnah ‘penumpang gelap’ untuk mengusir ulama dan umat dari lingkaran Prabowo. Umat akan pergi dengan sukarela. Banyak kok yang harus diurus oleh para ulama dan umat. Jadi, Pak Dasco, tolong jawab mana Penumpang Gelap itu? (23 Agustus 2019)
Donald Trump dan Reputasi Amerika
Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). By Shamsi Ali Imam di Kota New York York, NewFNN - Ternyata kebesaran dan harga diri sebuah negara tidak saja ditentukan oleh kebesaran ukurannya atau kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak juga hanya dengan jumlah penduduk dan kemajuan perekonomiannya. Atau ketinggian inovasi sains dan teknologinya. Kebesaran dan kehormatan sebuah negara sedikit banyaknya juga ditentukan oleh siapa yang menjadi pemimpinnya. Pemimpin negara seolah menjadi representasi kecil atau cermin mini dari sebuah negara itu sendiri. Saya teringat di saat Indonesia baru merdeka, merangkak membangun jati diri dalam segala lini kehidupannya. Indonesia ketika itu secara perekonomian lemah, secara militer lemah, secara politik masih dalam proses mencari jatidiri. Bahkan secara sosial rentang mengami disintegrasi karena daerah-daerah baru dalam integrasi. Namun Indonesia justeru di awal-awal kemerdekaannya itu tampil menjadi singa Asia, bahkan salah satu pemimpin dunia yang disegani. Satu di antara sekian banyak kebanggaan itu adalah Indonesia menjadi salah satu pionir berdirinya Gerakan Non Blok (Non Align Movement). Konferensi Asia Afrika yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno di Bandung merupakan cikal bakal terwujudnya Gerakan Non Blok itu. Kini perhimpunan negara-negara dunia ketiga yang lebih dikenal dengan singkatan GNB itu menjadi organisasi dengan anggota terbesar dari negara-negara anggota PBB. Reputasi dan kehormatan yang diraih oleh Indonesia dalam segala keterbatasan itu ternyata salah satunya karena kapabilitas, reputasi dan kharisma pemimpinnya. Dunia menghormati dan memuliakan Indonesia karena kehormatan dan kemuliaan pemimpinnya, Soekarno. Reputasi Amerika Secara ekonomi dan politik, apalagi secara militer, saya tidak pernah meragukan kebesaran dan kehebatan Amerika. Amerika dengan segala kekurangannya, yang dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, masih negara super power dunia. Apalagi jika merujuk kepada dasar-dasar kenegaraan, Konstitusi dan nilai-nilai luhur (values) yang menjadi pijakan bagi bangsa Amerika dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Amerika salah satu negara yang paling solid dalam kehidupan publiknya. Yang justeru mengkhawatirkan, bahkan pada tingkatan tertentu memalukan bangsa Amerika saat ini adalah kenyataan bahwa Presidennya mengalami “mental state” (suasana kejiwaan) yang kurang stabil. Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). Dalam perjalanannya menghuni Gedung Putih ternyata semakin nampak jika sang presiden negara adi daya ini memang tidak stabil dalam kejiwaannya. Keadaan itu terindikasi secara jelas dari kata-kata yang kerap tidak menentu. Berubah setiap saat, seolah berbicara tanpa pertimbangan apapun. Contoh terakhir sebagai misal saja, bagaimana sang presiden menjuluki Perdana Menteri Denmark dengan kata “nasty”, persis seperti yang disebutkan untuk Hillary dalam beberapa kesempatan debat calon presiden saat itu. Kata “nasty” atau “absurd” yang ditujukan kepada PM Denmark itu jelas bukan ekspresi seseorang yang dewasa, apalagi seorang presiden. Dan itu disebabkan karena ada keinginan Donald Trump membeli sebuah pulau yang berbadan otonom di negara itu. Pulau itu adalah Iceland. Tapi PM Denmark menolak keinginan Donald Trump. Penolakan ini oleh Donald Trump dianggap penghinaan yang berujung dengan tuduhan “nasty” atau kotor. Ini bukan pertama kali terjadi. Hal sama dilakukan dengan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Theresa, menyerangnya secara kasar melalui akun Twitternya. Sikap dan kata sang presiden ini menjadikan banyak warga Amerika merasa risih, bahkan malu. Bagaimanapun juga presiden sebuah negara menjadi simbol terdepan dari negara itu. Dalam dua hari terakhir ini sang presiden malah menyampaikan hal-hal yang entah itu disadari atau tidak, tapi sangat mengganggu akal rasional bangsa Amerika. Dalam sebuah kesempatan Donald Trump dijuluki oleh seorang penyiar radio sebagai “King of Israel”, penyelamat bangsa Israel. Kita pahami bahwa kata King of Israel dalam bahasa Kitab Suci berarti tuhan itu sendiri. Maka dalam hal ini Donald Trump sedang diposisikan sebagai tuhan. Anehnya Donald Trump malah senang dan bangga dijuluki sebagai King of Israel itu. Dia mengirimkan Twitter dan berterima kasih kepada penyiar radio itu. Di kesempatan lain Donald Trump mengaku sebagai “the Chosen” (orang terpilih) untuk menerapkan tarif dagang yang tinggi kepada China. Kata “chosen” dalam bahasa biblical (kitab suci) berarti seorang utusan atau rasul dalam bahasa umumnya. Keterlibatan Donald Trump dalam pencekalan dua anggota Kongress untuk mengunjungi Israel, Ilhan Omar dan Rashid Tlaib, juga menjadi indikator penting dari ketidak becusan itu. Kunjungan ke Israel merupakan tradisi tahunan anggota Kongress sebagai simbol kedekatan dan dukungan Amerika ke negara itu. Tapi kali ini nuansa itu berubah. Dengan adanya dua anggota Kongress yang beragama Islam, bahkan satunya memang putrì keturunan Palestina, kunjungan itu tidak lagi secara otomatis sebagai dukungan dan persahabatan. Tapi sekaligus sebagai “fact finding mission” atau misi mencari kebenaran di lapangan. Tentu hal ini bagi sebagian yang punya kepentingan berbahaya. Karena selama ini boleh jadi banyak fakta di lapangan yang tidak disampaikan secara jujur kepada bangsa Amerika. Karenanya bangsa Amerika sudah cukup lama “misguided” atau “misled” dalam hal konflik Palestina-Israel. Yang paling aneh dalam kasus ini adalah bahwa Presiden Amerika sendiri yang berkolabirasi dengan Perdana Menteri Israel mencekal anggota Kongress untuk berkunjung. Sungguh realita terbalik di mana presiden sebuah negara harusnya membela warganya, apalagi anggota legislatif, jika diperlakukan tidak senonoh oleh bangsa lain. Terlalu panjang jika semua kejadian yang tidak pantas dan berkaitan dengan presiden Amerika ini disampaikan semuanya. Tapi saya kira bukti terbesar dari ketidak stabilan mentalitas presiden Amerika ini adalah ketika dengan serta merta menjadikan musuh semua yang tidak setuju dengannya. Satu bukti yang paling nyata adalah bahwa dalam masa singkat menduduki Gedung Putih, puluhan staf tinggi negara ini mengundurkan diri atau dipecat. Anehnya hampir semua staf yang mundur atau dipecat itu “turn their backs” alias berbalik dari mendukung menjadi menyerang Doland Trump. Contoh yang paling nyata adalah lawyer pribadinya, Michael Cohen. Akhirnya ketidak stabilan itu juga kembali diekspresikan kemarin hari. Dalam sebuah pernyataannya Donald Trump menyampaikan bahwa jika komunitas Yahudi mendukung Democrat maka itu berarti mereka tidak loyal (disloyal) kepada agama Yahudi dan Israel. Pernyataan ini jelas sangat merendahkan komunitas Yahudi. Seolah dukungan Donald Trump selama ini hanya karena kepentingan “suara” semata. Wajar saja, di satu sisi Donald Trump mendukung sepenuhnya Israel. Tapi di sisi lain pendukung fanatiknya dari kalangan White Supremacy dengan brutal dan kejam menyerang dan membunuh warga Yahudi di Amerika. Jangan terkejut dengan kenyataan paradoks itu. Karena Donald Trump sendiri adalah sosok yang penuh dengan karakter paradoks... * Imam di Kota New York.
Orang Papua Buat Pucat Para Penguasa Indonesia
Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Indonesia akan melakukan apa saja untuk Papua asal jangan minta merdeka. Kira-kira begitulah suasana hubungan antara Jakarta dan orang Papua saat ini. Sejak peristiwa kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan tempat lain, bisa dibayangkan wajah para penguasa Indonesia. Mereka semua pucat. Pucat-pasi. Takut orang Papua mengamuk besar-besaran. Suasana pucat itu bisa terlihat dari reaksi diam pihak keamanan ketika menghadapi tindakan makar orang Papua. Pembakaran gedung DPRD di Manokwari cenderung dibiarkan. Pembakaran bendera Merah-Putih juga tidak diapa-apakan. Takut sekali gejolak Papua Merdeka berkembang liar. Para penguasa, penegak hukum, para pengawal NKRI baik itu institusi negara maupun pengawal swasta semisal Banser, pada waktu ini berada pada posisi tak berani maju. Bukan karena mereka tidak kuat atau tidak memiliki peralatan. Tetapi karena mereka harus menghindari perangkap eskalasi tindak kekerasan. Sebab, begitu tindak kekerasan mulai memakan korban, terutama di pihak Papua, hampir pasti konflik kekerasan akan membesar. Kalau eskalasinya tak terkendali, sangat mungkin orang-orang Papua yang selama ini sudah berjiwa NKRI pun akan memberikan simpati kepada sesama orang Papua. Sangat tak masuk akal kalau orang Papua akan membantu pihak yang sedang berhadapan dengan mereka. Jadi, semakin pahamlah kita mengapa pemerintah berusaha meredam konflik. Semakain mengertilah kita mengapa peristiwa semacam kerusuhan Manokwari itu membuat para petinggi menjadi pucat gemetar. Mereka sangat ketakutan. Takut pekik Papua Merdeka akan “terdengar” ke luar. Sebab, jika teriakan itu menggema di luar, akan banyaklah negara simpatisan Papua yang siap memberikan dukungan. Jangankan setelah jatuh korban tindak kekerasan, pada waktu relatif tenteram seperti sekarang ini saja sudah sangat banyak negara luar, khususnya rumpun Melanesia, yang siap menmbantu perjuangan Papua. Menghindarkan tindak kekerasan dengan korban orang Papua, adalah psikologi yang tengah melanda semua pejabat Indonesia. Saking takutnya korban di pihak Papua akibat tindakan pasukan keamanan Indonesia, akhir-akhir ini Indonesia cenderung “permissive” terhadap orang Papua. Apa saja dibolehkan. Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Orang Papua istimewa. Mau melaksanakan rapat umum dengan orasi Papua Merdeka, tidak masalah. Polisi dan intelijen hanya mengawasi. Menjaga supaya tertib. Demo-demo menuntut penentuan nasib sendiri pun, tidak dilarang. Bahkan, demo-demo tsb dilakukan di luar Papua. Dilakukan di “kandang lawan”. Tidak masalah. Begitulah hebatnya orang Papua menguasai psikologis para petinggi Indonesia. Semuanya ramah. Lemah-lembut. Tak berani mengerahkan Brimob yang kemarin sangat tangkas dan dahsyat menumpas demonstran pilpres. Menghadapi pendemo di Jakarta, apalagi pendemonya orang Islam, pasukan Brimob luar biasa hebat. Begitu juga tentara swasta, Banser NU. Mereka juga pucat. Cuma, mereka bukan pucat politis sebagaimana yang ditunjukkan oleh para petinggi Indonesia. Melainkan pucat ‘original’. Sampai-sampai seorang jurubicara Banser mengkambinghitamkan ketiadaan payung hukum untuk pergi ke Papua dalam rangka mempertahankan NKRI. (Penulis adalah wartawan senior) 22 Agustus 2019
Transformasi Pertanian dan Ekonomi Indonesia 74 Tahun Merdeka
Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Oleh Kuntoro Boga Andri Jakarta, FNN - Pada tanggal 17 Agustus kemarin, Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Genap 74 tahun sejak Bung Karno membacakan proklamasi penanda Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan tentunya memiliki banyak makna. Dalam konteks sektor pertanian, kemerdekaan Indonesia saat itu menandai Indonesia memiliki kendali dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. Selama 74 tahun terakhir, tak dapat dinafikan bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu aspek penting sebagai penggerak roda ekonomi Indonesia. Bila dibandingkan sektor lainnya, pertanian masih berada di posisi teratas, bersama sektor perdagangan dan sektor industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian sangat signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama periode 2013-2018, akumulasi tambahan nilai PDB sektor pertanian yang mampu dihasilkan mencapai Rp1.375 Triliun. Terdapat kenaikan sebesar 47% dibandingkan dengan tahun 2013. Selanjutnya, pada tahun 2018 ini, nilai PDB mencapai 395,7 triliun dibandingkan Triwulan III tahun lalu yang hanya Rp 375,8 triliun. Bahkan bila diakumulasikan dengan kontribusi industri agro dan penyediaan makanan serta minuman yang berbasis bahan baku pertanian, kontribusi Pertanian secara luas mencapai 25,84 persen terhadap total PDB nasional. Capaian pembangunan sektor pertanian 2014-2018 juga meningkat drastis. Data BPS mencatat, PDB sektor pertanian naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun. Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor. Sementara, sensus Pertanian 2003 (ST2003, BPS) menunjukkan Rumah Tangga Petani (RTP) yang semula berjumlah 31,23 juta RTP, menurun pada ST2013 menjadi 26,13 juta RTP. Data terakhir survei pertanian antar sensus 2018, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) pengguna lahan sebesar 27,22 juta. Data ini menunjukkan adanya transformasi struktural perekonomian Indonesia. Proses transformasi dari negara agraris menuju industri. Sektor industri dan jasa semakin tumbuh berkontribusi besar, secara berangsur menggantikan dominasi sektor pertanian. Hal ini wajar bagi sebagian negara yang tengah bergerak maju - yang dulunya agraris dan bertransformasi menjadi negara industri dan jasa. Faktanya dalam 10 tahun terakhir (2013-2018), data RTUP terjadi kenaikan jumlah dari sebelumnya 25,75 juta (2013) menjadi 27,22 juta (2018). Data menunjukkan pertanian tetap menjadi tumpuan masyarakat, seiring dengan meningkatnya indikator NTP setiap tahunnya. BPS mencatat data NTP pada Juli 2019 sebesar 102.63, naik jauh dbandingkan 2014 yang hanya 102.03. Kesejahteraan petani meningkat, sehingga gairah sektor pertanian pun membaik. Sektor pangan masih tetap ibutuhkan selama manusia masih butuh makan. Maka negara harus menjamin tidak terjadi krisis pangan pangan dan kemiskinan di desa, karena berpotensi munculnya ekses negatif. Tingginya angka kriminalitas, meningkatnya angka kenakalan remaja, atau bahkan menumbuhsuburkan paham ekstrim. Sektor pertanian, berusaha menjadi bagian dari upaya mendorong kesejahteraan di perdesaan. Ketahanan pangan harus dijaga mulai dari keluarga terkecil hingga level nasional. Kementan secara khusus telah bekerjasama dengan TNI dan unsur keamanan negara lainnya secara intensif bekerjasama mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Menuju Pertanian Modern Kemerdekaan yang diraih 74 tahun tentunya bukan penanda bahwa perjuangan sudah berakhir. Justru sebaliknya, perjuangan masih terus berlanjut hingga ke masa ini. Begitupun di sektor pertanian. Masih banyak ruang untuk terus memajukan pertanian kita. Salah satu agenda yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini adalah modernisasi pertanian. Urgensitas modernisasi sektor pertanian didasarkan pada argumentasi bahwa kedaulatan pangan hanya bisa diraih jika produktivitas dan efisiensi produksi pertanian meningkat. Modernisasi diharapkan bisa menjadi kunci peningkatan produksi dan efisiensi, tenaga,waktu, maupun biaya. Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Hal penting lainnya yang dikembangkan dalam kerangka pertanian modern, pemerintah juga menggiatkan mekanisasi dan terus mendorong tumbuh kembang berbagai teknologi dan inovasi pertanian. Upaya menggiatkan mekanisasi dilakukan dengan meningkatkan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta pelatihan dan pendampingannya. Sementara penumbuh kembangan teknologi dan inovasi dilakukan dengan menjalankan penelitian yang adaptif dan menjawab kebutuhan di lapangan. Baik mekanisasi dan teknologi tersebut diimplementasikan dalam berbagai program khusus. Sebagai contoh, Program Upaya Khusus Swasembada (Upsus) Padi Jagung Kedelai (Pajale) yang kini telah membuahkan hasil swasembada. Sejak tahun 2016 hingga sekarang Indonesia tidak lagi impor beras medium, cabai segar dan bawang merah konsumsi. Pada 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak hingga saat ini, dan bahkan sudah ekspor bawang merah. Selanjutnya ditargetkan 2021 swasembada bawang putih dan gula konsumsi, 2020 swasembada kedelai, 2024 swasembada gula industri dan 2026 swasembada daging sapi. Program ini merupakan peta jalan menuju Visi Indonesia pada tahun 2045 menjadi Lumbung Pangan Dunia. Capaian kebijakan pangan di atas juga telah meningkatkan kesejahteraan petani. Ini terlihat dari indikator kemiskinan di pedesaan. Penduduk miskin di pedesaan tercatat turun sebesar 393.400 jiwa dari 15,54 juta jiwa pada September 2018 menjadi 15,15 juta di Maret 2019. Selanjutnya guna mengawal dan memastikan agar proses transformasi struktural bisa berjalan tepat dan terarah, maka berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan adalah: Pertama, mengembangkan industrialisasi berbasis agro berdasarkan keunggulan komparatif. Indonesia harus jaya kembali untuk kopi dan rempah-rempah. Integrasi aktivitas hulu_-on farm-_hilir dibangun berbasis kawasan berskala ekonomi sehingga diperoleh nilai tambah dan pendapatan penduduk setempat. Kedua, memperkuat infrastruktur sehingga memperlancar arus distribusi dari desa ke kota, di desa dibangun jalan, irigasi/embung, listrik, telekomunikasi, lembaga keuangan, pasar tani dan lainnya. Ketiga, industrialisasi di pedesaan akan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga perlu peningkatan kapasitas SDM menjadi profesional dan produktif. SDM setempat dilatih menggunakan alat mesin, perbengkelan, jasa dan lainnya sesuai standar kompetensi. Keempat, keterbatasan jumlah petani diatasi dengan mekanisasi. Kementan menyediakan 80.000-100.000 unit alat mesin pertanian setiap tahunnya. Dengan mekanisasi seperti traktor, pompa air, rice transplanter, combine harvester dan Rice Milling Unit terbukti bisa menekan biaya hingga 40 persen waktu, tenaga, dan menurunkan susut hasil 4-8 persen dan meningkatkan mutu. Teknologi Mekanisasi membuat generasi muda kini berminat terjun ke pertanian dan pedesaan. Beberapa informasi dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta menyebutkan, kini Fakultas Pertanian mulai menjadi pilihan unggulan dan banyak mahasiswanya. Bahkan program Kementerian Desa-PDT kini mendapat respons positif bagi generasi muda di desa. Sejumlah capaian ini kita harapkan menjadi indikator bahwa transformasi Indonesia menuju pertanian modern masih di jalur yang benar. Dengan semangat perjuangan dan kerja keras kita semua, semoga pertanian Indonesia bisa berjaya. (*) Penulis adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian RI
Membaca Kegalauan Syahganda Nainggolan Soal Papua
Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tak terlalu mewakili, apa yang saya tulis ini untuk mengkonfirmasi suasana kebathinan Dr. Syahganda Nainggolan, pemilik lembaga Sabang - Merauke Cyrcle. Isu sparatisme OPM, jika tidak dikelola secara bijak bisa berujung perpecahan. Salah satu provinsi Indonesia Paling timur Indonesia ini bisa lepas menjadi negara mandiri. Jika Papua memisahkan diri mengikuti jejak Timor Timur, terbukti untuk yang kesekian kalinya NKRI bukan harga mati, bentuk dan wilayah negara tak pernah final. Negara, jika tidak berdialektika pada sebuah perubahan yang revolusioner, tak ayal juga pasti berubah secara evolutif. Andaikan Papua lepas, Merauke bukan lagi NKRI. Karena itu, hal ini sangat mengkhawatirkan eksistensi Sabang-Merauke Cyrcle-nya Syahganda. Boleh jadi, lembaga ini beringsut menjadi Sabang - Kupang Cyrcle. Jika tak dicegah dan diselesaikan secara serius, pelan-pelan lembaga milik Syahganda ini akan terus beringsut secara evolutif, bisa juga secara revolusioner. Mungkin, berubah menjadi Sabang - Surabaya Cyrcle, Sabang - Bandar Lampung Cyrcle, atau mungkin berujung menjadi Sabang - Banda Aceh Cyrcle. Semoga saja tidak, Naudzubillah. Hanya saja, penangan krisis papua ini tidak boleh dengan cara lama seperti menangani Timor Timur (Tim-Tim). Saat itu, keran referendum di buka dengan harapan warga tim-tim dalam sebuah jajak pendapat publik mayoritas memilih pro integrasi. Sehinga, posisi Indonesia yang menjadikan tim-tim bagian wilayah NKRI lebih legitimate dimata internasional. Faktanya ? Referendum merupakan jalan lapang bagi Tim-tim menuju kemerdekaannya. Bukan merdeka, tapi memisahkan diri. Sebab, jika Timor-timur merdeka, berarti selama ini Indonesia menjajah Timor timur. Faktanya, selama kekuasan orba Tim-tim adalah provinsi anak emas Soeharto. Ketika itu, mahasiswa tim tim yang kuliah di jawa mendapat banyak fasilitas dan bantuan negara. Subsidi anggaran untuk tim-tim sendiri, terbesar diantara provinsi lainnya. Saat itu, Magewati yang juga ketua PDIP begitu getol mendorong warga bumi lorosae untuk mengadakan referendum. Tanpa perhitungan matang -juga atas tekanan internasional - referendum Timor timur terjadi dan berujung disintegrasi. NKRI ternyata bukan harga mati. Sekarang juga sama, opsi-opsi yang diantaranya opsi referendum, sebagaimana ulasan Syahganda, semoga tidak menjadi pilihan politik Pemerintah. Sebab, opsi referendum sama halnya opsi melepaskan Papua. Itu sebabnya, mahasiswa Papua yang demo di depan istana Presiden tidak menuntut merdeka atau memisahkan diri. Mereka hanya menuntut 'referendum' karena mereka paham jika opsi refeendum ini menjadi pilihan kebijakan politik Pemerintah, sama saja dengan menyetujui Papua merdeka. Itulah target sebenarnya. Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Isu utama papua itu adalah ketidakhadiran negara di Papua, baik untuk memberikan layanan kepada rakyat Papua maupun mengambil sikap tegas pada aparatis OPM. Terlebih lagi, isu Papua adalah isu internasional. Sejumlah negara begitu ngiler dengan SDA Papua yang melimpah, khususnya emas freeport. Amerika jelas punya kepentingan mendorong Papua pisah dari NKRI, karena bernego dengan pemerintahan kecil di Papua jauh lebih negosiable ketimbang bernego dengan NKRI. Yang jelas, Amerika bisa lebih banyak menghemat anggaran suap pejabat, jika Papua memisahkan diri menjadi negara kecil. Amerika tdk perlu lagi berurusan dengan orang Jakarta yang rakus. Amerika, cukup bernego dengan orang Papua dan membentuk pemerintahan boneka di Papua untuk melayani kepentingannya. Sebenarnya ada ide diluar opsi mainstream untuk menyelesaikan persoalan Papua. Solusi anti mainstream ini selain mempertahankan keutuhan wilayah NKRI juga akan menambah luas wilayah negara. Jadi, Kedepan Syahganda tidak perlu khawatir lembaga Sabang - Merauke Cyrcle dilikuidasi. Bahkan, dia bisa melebarkan sayap dengan membentuk lembaga Sabang - Maroko Cyrcle. Ya, itu hanya terwujud jika negeri ini mengambil opsi solusi khilafah. Sebuah sistem pemerintahan yang kuat yang akan menjaga keutuhan wilayah negara, bahkan akan memperluas wilayah negara dengan berbagai penaklukkan ke seluruh penjuru dunia. Kelak, wilayah kekuasan khilafah ini meliputi banyak kawasan, dari Sabang sampai Maroko. Saat itulah, lembaga milik Syahganda bermetamorfosis menjadi lebih besar dan lebih gagah : SABANG - MAROKO CYRCLE. End
Aneh, Menteri Pertanian Amran Membangkang Kepada Jokowi
Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Umumnya enam bulan sebelum suatu pemerintahan berakhir, pejabat pemerintah dilarang untuk membuat keputusan-keputusan penting dan strategis. Apalagi yang berkaitan dengan pengangkatan atau perpindahan pejabat eselon satu, dua dan tiga di kementerian atau lembaga negara non kementerian. Begitulah pemerintah yang punya etika dan tatakrama. Publik sering menyebut atau mengistilahkan dengan “pemerintahan yang sudah demisioner”. Pemerintahan yang sudah demisioner, biasanya sisa waktunya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda. Meskipun demikian, enam bulan itu bukanlah angka yang sudah baku menjadi aturan hukum. Tergantung pada presidennya, boleh dilaksanakan, namun boleh juga diabaikan. Hanya masalah etika dan kepantasan saja. Sehingga waktu yang tersisa dipakai untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan yang belum rampung. Berkiatan dengan itu, sekitar awal Agustus 2019 kemarin, Jokowi melarang para menteri dan pimpinan lembaga negara non kementerian melakukan pergantian pejabat di lembaganya sampai dengan Oktober 2019. Sementara pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2019 nanti adalah hari dan tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden Indonesia periode kedua. Artinya, Jokowi menginginkan tidak ada pergantian pejabat negara sampai dilantik MPR menjadi presiden Oktober nanti. Selain itu Jokowi juga melarang para menteri dan pejabat pemerintah non kementerian membuat kebijakan-kebijakan strategis. Jokowi juga memerintahkan para menteri agar fokus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden Oktober 2019. Perintah Jokowi ini disampaikan ke publik oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Alasan Presiden Jokowi yang disampaikan Moeldoko adalah “saat ini pemerintah sudah masuk momen-momen kritis dalam waktu tiga bulan terakhir. Para menteri juga tidak boleh mengganti pejabat, sehingga mereka tidak punya beban sebelum transisi pemerintahan nantinya”. Larangan tersebut juga berlaku juga terhadap pergantian direksi BUMN, serta pergantian pejabat di lingkungan BUMN. Jika ada kebijakan strategis yang mau dibuat, maka wajib hukumnya untuk dikonsultasikan terlebih dahulu dengan presiden. Contohnya, Kementerian Komunikasi dan Informati tidak membuat keputusan yang berkaitan dengan pengadaan satelit lagi. Tujuan dari perintah Jokowi ini adalah, agar tidak menyulitkan para menteri anggota kabinet baru nanti. Perintah Presiden Jokowi ini, ada yang mau melaksanakan dengan tulus dan ikhlas. Sayangnya, ada juga menteri yang tidak mau melaksanakan. Bahkan bisa ditafsirkan publik sebagai bentuk pembangkangan kepada perintah presiden. Satu diantara pejabat negara yang membangkang perintah Jokowi tersebut adalah Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Amran Sulaiman berani membangkang perintah Jokowi, dengan melakukan perombakan di jajaran pejabat eselon satu dan dua Kementeraian Pertanian. Amran belum lama ini melantik empat pejabat eselon satu dan tujuh pejabat eselon dua. Diantaranya Momon Rusmono yang diangkat Amran menjadi Seketaris Jendral Kementerian Pertanian. Sebelumnya Momon Rusmono adalah Kepala Badan Pengembangan Penyuluhan dan Sumberdaya Manusia Partanian (BPPSDMP). Selain itu, Amran juga melantik Prihasto Setyanto sebagai Dirjen Hortikultura. Sebelumnya Prihato menjabat Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura. Prihasto menggantikan Suwandi, yang diangkat Amran Sulaiman menjadi Dirjen Tanaman Pangan. Sedangkan posisi kepala BPPSDMP yang ditinggal Momon, dipercayakan kepada Dedi Nusyamsi. Sebelumnya Nursyamsi menjabat Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Selain itu, Amran juga mencopot Gatot Irianto, yang sebelumnya menjabat Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian. Gatot kini ditempatkan Amran sebagai Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian. Posisi Dirjen yang ditinggalkan Gatot, sampai sekarang masih kosong. Bukan hanya di jajaran eselon satu Kementerian Pertanian. Amran Sulaiman juga ternyata melakukan perombakan di jajaran eselon dua. Tidak kurang dari tujuh pejabat eselon dua di Kementerian Pertranian yang dirotasi oleh Amran. Langkah yang ditempuh Amran ini, jelas-jelas selain melakukan pembangkangan kepada Presiden Jokowi, juga melanggar prinsip-prinsip dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab untuk mempromosikan atau mendemosi seorang pejabat ASN, harus didahulai dengan pemeriksaan dan evalusi internal terhadap pejabat tersebut. Bila hasil pemeriksaan, ditemukan si pejabat tersebut bersalah, maka wajib hukumnya terkena demosi. Namun bila pejabat tersebut tidak bersalah, bahkan berprestasi dalam tugas yang dibebankan kepadanya, maka wajib juga untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Paling kurang tidak didemosi dari jabatan yang sedang dipercayakan kepadanya. Kalau mau dipindahkan, maka seharusnya pada jabatan dengan tugas dan bobot kerja pada eselon yang sama. Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Menteri mutlak harus tunduk dan patuh kepada perintah yang dibuat oleh presiden. Menteri juga tidak boleh bertindak di luar dari pengarahan yang sudah diberikan oleh presiden. Kalau Menteri Amran telah nyata-nyata melakukan pergantian eselon satu dan dua di Kementerian Pertanian, maka presiden seharusnya memberikan teguran keras kepadanya. Jokowi harus memanggil Menteri Amran untuk mengklarifikasi masalah ini. Sebab sikap Amran Sulaiman ini memberi indikasi, “tidak patuh kepada perintah dan arahan presiden”. Peristiwa ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi periode berikutnya. Sebaiknya menteri tidak asal main copot pejabat ASN. Kalau menteri ingin mencopot atau menaikan seorang pejabat, maka harus berpijak dan berbasis pada kinerja dari pejabat tersebut. Kinerja adalah salah satu bentuk keadilan administrasi yang dilembagakan di dalam undang-undang ASN. Tujuannya, agar pegawai ASN tidak mudah untuk didemosi atau dirotasi sesuka hati oleh menteri. Jika pencopotan tersebut di luar basis kinerja, maka Amran Sulaiman telah bersikap dengan sewenang-wenang. Bahasa kerennya otoriter atau suka-suka hati sang menteri. Padahal, pola-pola lama yang sok berkuasa seperti ini sudah tidak cocok lagi dipakai di era roformasi sekarang. End
Please, Jangan Bermain-main dengan Isu Ustad Abdul Somad
UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Bangsa kita tampaknya ditakdirkan menjadi bangsa yang gaduh. Ada saja yang bisa dijadikan bahan kegaduhan. Apalagi di era digital. Hanya saja perlu diingatkan, kalau hal ini terus berlanjut: KITA TIDAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA! Ketika banyak ahli di berbagai negara melakukan eksplorasi kecerdasan buatan ( artificial intellegence/AI). Mengaplikasikannya untuk membuat hidup manusia lebih mudah, kita asyik ribut sendiri sesama anak bangsa. Ketika China sedang mengembangkan matahari dan bulan buatan, kita sibuk berkutat dengan isu-isu rasialisme, dan agama. Ketika China menyerbu pasar kita dengan berbagai produk mereka, menggelontor negara dengan utang dan barang modal mereka, kita malah sibuk bertikai. Selain kasus di Papua, dalam beberapa hari terakhir ada yang sibuk menggoreng video ceramah Ustad Abdul Somad (UAS). Mengipas-ngipasi, sehingga api kebencian itu membesar dan membakar kesumat. Rupanya ada sekelompok orang yang kerjanya mengorek-ngorek sampah. Mengorek lubang tinja sebagai modal untuk membuat kegaduhan, keributan. Dan yang lebih mengerikan mengadu antar-sesama anak bangsa. Bagaimana mungkin tiba-tiba video lama UAS menjadi viral. Sejumlah orang dan lembaga kemudian mengadukannya ke polisi. UAS dinilai menghina dan mendeskreditkan patung salib dan Jesus Kristus. Sebagaimana klarifikasi UAS, video itu merupakan potongan ceramahnya pada kajian Sabtu pagi di masjid Annur, Pekanbaru. Sekitar tiga tahun lalu. Ceramah tersebut dilakukan di tempat tertutup. Dengan jamaah terbatas. Khusus umat Islam. Dan UAS menjawab pertanyaan jamaah. Ceramah itu juga tidak dipublikasikan melalui media, ataupun media sosial. Satu hal lagi yang perlu dicatat, jawaban UAS kendati disampaikan secara jenaka, rujukannya sangat jelas Al Quran dan Al Hadits. Sebagai penceramah, UAS mempunyai ciri khas mempersatukan. Dia tidak pernah mempertentangkan antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. Karena itu UAS bisa diterima umat islam secara luas. Dengan latar belakang sebagai nahdliyin —dia pernah menjadi pengurus NU di Riau—dia bisa diterima kalangan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah Dll Posisinya cukup jelas. Bukan Ustad tukang cari-cari masalah. Tukang provokasi, apalagi membuat gaduh. Tugas seorang ustadz— termasuk para pemuka agama lainnya— untuk menjaga iman dan aqidah para jamaahnya. Soal ini seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dipertentangkan. Tinggal dikembalikan kepada kebijakan masing-masing. Kapan, dimana, kepada siapa disampaikan, serta bagaimana cara menyampaikannya. Dengan pemahaman semacam itu, sangat dimengerti bila UAS menolak untuk minta maaf. Permintaan maaf karena tekanan dari kelompok, atau perorangan tertentu akan berdampak serius terhadap doktrin dan aqidah umat Islam. Selain itu permintaan maaf UAS akan berdampak makin bersemangatnya para pengorek lubang tinja ini mencari-cari kesalahan para pemuka agama. Tolong dicatat! Bukan hanya Islam, tapi juga pemuka-pemuka agama lainnya. Bisa dibayangkan betapa sibuknya aparat Polri. Betapa gaduhnya bangsa ini, bila itu terjadi. (Cabut dan tolak) Melihat kronologis dan setting peristiwanya, tidak berlebihan bila kita curiga ada kelompok-kelompok tertentu yang menggoreng isu ini. "Kita menduga ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut,” kata Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau Datuk Seri Syahril Abubakar. UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Jadwal ceramahnya padat sepanjang tahun. Mulai di mushola kecil, masjid, stadion, sampai lapangan terbuka semua dilayani. Video ceramahnya beredar luas di media sosial. Pengikutnya di medsos jumlahnya jutaan. Bersaing, bahkan mengalahkan para pesohor lainnya. Selain ustad, dia adalah selebriti. Mempersoalkan UAS, apalagi mengadukannya ke polisi dipastikan akan memancing kegaduhan besar. Apalagi jika sampai diperiksa polisi dan disidangkan ke pengadilan. Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Bangsa kita akan kembali terjerembab dalam huru-hara dan keributan besar. Energi bangsa akan terkuras habis. Saat ini saja sudah banyak beredar video-video dari pendeta Kristen yang dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Banyak kelompok, maupun pengacara yang menyatakan akan membela UAS. Bagi pemerintahan Jokowi, kasus ini bila diteruskan, akan sangat tidak menguntungkan. Umat Islam akan semakin merasa dimusuhi. Stigma bahwa Polri menjadi lembaga yang digunakan untuk kriminalisasi umat dan ulama akan kian kuat. Tidak ada gunanya meneruskan kasus ini. Kepada para pelapor, segera cabut laporannya. Anda tidak menyadari dampak buruk yang akan dihadapi bangsa ini, bila masih ngotot meneruskan kasus ini. Polri juga bisa bersikap pro aktif. Sebagai penegak hukum punya kewenangan tidak memproses dan meneruskan kasus ini. Apalagi delik dan dasar hukumnya tidak kuat. Please, jangan bermain-main dengan isu UAS. Anda tidak sadar tengah bermain-main dengan api. Api yang bisa membakar diri Anda sendiri dan lebih berbahaya lagi membakar ramah besar Indonesia. End
Krisis Sudah di Pelupuk Mata
Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. "Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019. Dia menyebut selain Indonesia dan India kondisi buruk juga terjadi di Australia, China, dan Hong Kong. "Perlu kerja-sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah," tulis laporan itu seperti dikuttip CNBC Indonesia, Selasa (13/8). Bersamaan dengan itu, dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, bersama dengan China, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%. McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017. Analisis difokuskan pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali. Meski kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik, dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari 27% (2007) menjadi 38% (2018), pemerintah harus mencermati fakta bahwa lebih dari 40% inflow itu berupa utang valas. Jika tidak dimanajemen dengan baik, bisa muncul persoalan seperti pada tahun 1997. Resesi Singapura Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Angka produk domestik bruto (PDB) yang dirilis pada Selasa (13/8) menunjukan penurunan besar pada perekonomian negara itu. Pada kuartal kedua ini, pertumbuhan Singapura tertekan hingga 3,3% jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal pertama 2019 sebesar 3,8%. Angka ini merupakan yang paling buruk selama tujuh tahun terakhir. Ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,0-1,0% dari proyeksi sebelumnya 1,5%-2,5%. "Bila melihat ke depan, pertumbuhan PDB di banyak pasar permintaan utama Singapura pada paruh kedua 2019 diperkirakan akan melambat atau tetap serupa dengan yang tercatat di periode pertama lalu, " ujar Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura sebagaimana dilansir Reuters. Jika pertumbuhan di kuartal ketiga nanti tetap negatif, berarti Singapura memasuki resesi teknis. Padahal, Singapura bak "kenari di tambang batu bara". Negara ini menjadi indikator apakah terjadi situasi buruk atau tidak. "Singapura adalah penentu dari perlambatan perdagangan global," kata ekonom Asia Pasifik dari Coface, Carlos Casanova. "Dengan segala sesuatu yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di kuartal ketiga tahun ini," ujarnya seperti dilansir Soth China Mornig Post. Pada Juli, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 untuk Singapura menjadi 2%. Sebelumnya IMF memprediksi pertumbuhan Singapura tumbuh sebesar 2,3%. Makro dan Mikro Kembali ke ekonomi Indonesia, Rizal memberi gambaran sisi makro dan mikro yang memburuk. Dari indikator makro, grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Indikator lainnya adalah kondisi neraca perdagangan Indonesia dan rasio pajak. Sedangkan indikator mikro juga sudah mulai terlihat membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” ujarnya, Senin (12/8). Untuk bisa keluar dari ancaman krisis yang lebih besar ini, menurut Rizal, pemerintah harus menghentikan cara lama seperti melakukan pengetatan anggaran atau mengejar pajak dari perusahan atau pelaku usaha kecil. Pemerintah harus melakukan sesuatu yang out of the box. Antara lain dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi 6% sampai 8%, serta meningkatkan daya beli rakyat kecil dengan cara memberikan stimulus. Yang juga penting, menurut Rizal, Indonesia perlu membuat rencana dan action agar bisa menarik manfaat dari adanya perang dagang atara Amerika Serikat dan China. “Yang namanya krisis itu ada dua sisi, satu memberi masalah dan satunya lagi memberi opportunity. Sayangnya Indonesia tidak punya frame work bagimana menarik manfaat dari adanya trade war ini,” sesal Rizal. End