Pak Wiranto Ditusuk, Kok Malah Banyak yang Bersyukur?

Oleh Hersubeno Arief

Jakarta, FNN - Confirm. Masyarakat kita sedang sakit parah. Terbelah sangat dalam. Yang satu mendoakan, menginginkan, bahkan melakukan sesuatu yang buruk untuk yang lain.

Bila keburukan itu benar-benar terjadi, banyak yang bersuka cita. Membesar-besarkannya. Menganggap doanya terkabul. Allah SWT telah membalas keburukan itu dengan balasan yang setimpal.

Peristiwa penusukan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Menes, Pandeglang, Banten mengkonfrmasi hal itu.

Di medsos banyak yang mengucapkan rasa syukurnya. Joke, meme, spekulasi, dan teori konspirasi bermunculan.

Ada juga yang menduga ini hanya semacam sandiwara. Settingan. Semacam reality show.

Ada memang yang sedih, bahkan kecewa. Mengapa luka tusuknya tidak cukup dalam. Mengapa Wiranto tidak terluka parah, atau mati sekalian!

Ngeri banget!

Suara-suara semacam itu sudah dipastikan muncul dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah. Atau setidaknya berseberangan secara personal dengan Wiranto.

Sebagai balasan, situs seword.com yang dikenal sebagai pendukung Jokowi membuka kotak pengaduan. Mereka meminta pembacanya melaporkan bila menemukan netizen yang bersuara negatif, nyinyir atas Wiranto.

Status yang nyinyir, lengkap dengan biodata dan fotonya —kalau ada— akan dipajang dan dilaporkan ke polisi.

Mengapa bangsa ini menjadi kehilangan empati, pendengki dan menginginkan keburukan, bahkan kalau perlu mencelakakan dan saling membinasakan?

Apakah hanya rakyatnya yang sakit? Atau mereka sebenarnya merupakan cermin dari perilaku para pemimpinnya.

Di militer ada semacam kredo: Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah komandannya.

Filsuf dan negarawan zaman Romawi Marcus Tulius Cicero dalam sebuah orasinya pernah menyatakan: Ikan busuk dimulai dari kepalanya.

Belajar dari pengalaman para pedagang ikan. Kalau mau selamat, tidak busuk semua. Kepalanya harus segera dipotong.

Kebusukan suatu negeri, berawal dari kebusukan para pemimpinnya. Jadi harus dipotong dari pucuk pimpinannya.

Sebaliknya Sayidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata: pemimpin yang buruk, merupakan cermin dari rakyatnya.

Ketika seorang pemuda menggugat Ali mengapa pada masa pemerintahannya situasinya tidak sebaik pada masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar Bin Khattab?

Khalifah Ali menjawab singkat : Karena pada masa Khalifah Abubakar dan Umar, rakyatnya seperti saya. Dan pada masa pemerintahan saya, rakyatnya seperti kamu!

Sebuah pemerintahan yang brengsek, adalah cermin sebuah masyarakat yang brengsek pula. Mengapa memilih pemimpin yang brengsek?!

Dalam khasanah pemikiran Islam dikenal sebuah kalimat bijak: Kalian akan dipimpin oleh orang seperti kalian!

Nah lho…….

Kita semua harus introspeksi. Mengapa semua ini terjadi. Tidak bisa langsung menuding bahwa rakyat kita brengsek. Begitu juga sebaliknya.

Di media sosial ucapan-ucapan Wiranto yang dimuat media kembali bertebaran. Ketika ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, dia minta agak tidak perlu dibesar-besarkan. “Risikonya memang seperti itu,” ujarnya.

Wiranto benar. Risiko seorang prajurit yang bertugas di daerah rawan, apalagi medan tempur: _kill or to be killed._ Membunuh atau dibunuh.

Tapi ya tidak perlu disampaikan ke publik. Sensitif lah terhadap Keluarga prajurit.

Ketika terjadi gempa di Ambon, Wiranto dikutip pernah menyatakan, agar para pengungsi segera kembali ke rumah, supaya tidak jadi beban pemerintah.

Ucapan yang membuat warga Ambon gondok alang kepalang.

Selain tidak sensitif, ucapan itu juga menunjukkan sebagai pejabat publik tidak punya empati. Lebih jauh lagi tidak paham tugas dan tanggung jawabnya.

Tugas negara, tugas pemerintah mengurus rakyatnya. Jangan dianggap beban. Kalau tidak mau dibebani rakyat, ya jangan jadi pejabat pemerintah.

Nah ketika sekarang Wiranto ditusuk orang, netizen membalas. “Tidak perlu dibesar-besarkan.” “Risikonya sebagai pejabat keamanan memang seperti itu.” “Segera keluar dari RSPAD. Jangan jadi beban pemerintah!”

Bagaimana memahami sikap bangsa kita saat ini?

Konsep the other yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Perancis Emmanuel Levinas, atau liyan dalam bahasa Jawa, tidak cukup memadai untuk menggambarkannya.

Dalam bahasa Jawa, liyan, orang lain, merupakan konsep berpikir, yang satu merasa lebih unggul dan lebih benar dibanding yang lain.

Tanpa sadar orang Jawa sering menyebut sesuatu yang tidak benar, sebagai tidak “njawani.” Tidak Jawa.

Realita yang terjadi saat ini bukan hanya soal yang satu merasa superior dengan yang lain.

Bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Tidak percaya satu dengan lainnya. Curiga satu dengan yang lain. Merasa paling benar dan yang lain selalu salah. Apapun yang dilakukan pihak lain, tidak ada yang benar.

Beda dengan sikap kritis yang harus tetap menjunjung obyektivitas.

Perlu keberanian untuk mengakui dan mengambil langkah konkrit.

Presiden, pejabat pemerintah, berhentilah melakukan Framing, lebeling, pelakunya terpapar kelompok radikal, ISIS dan entah stigma apalagi.

Berhentilah mengklaim merasa paling Pancasila, dan paling NKRI.

Pasti akan ada reaksi balik. Akan ada perlawanan.

Semua itu hanya akan memperparah pembelahan masyarakat.

Peristiwa penusukan Wiranto harusnya menjadi sebuah alarm yang bersuara sangat nyaring. Ada yang salah dengan bangsa ini. Kita sedang menuju jurang kehancuran.

Kita, rakyat, para pemimpin, terutama Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah konkrit! end

509

Related Post