OPINI

Apakah Aparat Keamanan Perlu Brutal Menghadapi Mahasiswa?

Besar kemungkinan para mahasiswa tidak menyangka kalau aparat keamanan akan berlaku kejam, sadis, dan brutal. Sampai tega menghajar pendemo yang sudah babak belur pun masih dikeroyok juga. Para mahasiswa sudah seperti musuh negara By Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak rekaman video tentang tindakan keras, sadis, dan brutal yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap aksi unjuk rasa (unras) yang dilancarkan mahasiwa dan pelajar sekolah menengah dalam 3-4 hari ini. Baik itu di Jakarta maupun di kota-kota lain. Banyak mahasiswa yang mengalami luka-luka berat dan ringan. Mereka berdarah-darah. Ada yang bocor kepala, koyak bibir, benjol dahi, dan lain sebagainya. Apakah aparat memang perlu bertindak begitu kasar dan brutal? Apakah para mahasiswa membawa senjata? Bukankah pada dasarnya mereka mahasiswa dan pelajar tersebut berunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi dengan tertib? Dari kacamata aparat, tampaknya mereka merasa tindakan keras dan brutal itu harus dilakukan. Alasan aparat, karena para mahasiswa anarkis. Mereka dikatakan menyerang aparat. Melempari aparat dengan batu dan benda-benda berbahaya. Tapi, apakah tidak perlu dipikirkan mengapa sampai para mahasiswa itu terpancing menyerang dan anarkis ? Apakah aparat tidak merasa bahwa mereka, mungkin saja melakukan taktik yang membuat para mahasiswa terpancing? Kalau dilihat rekam jejak mahasiswa pasca-reformasi, mereka kelihatannya bukanlah orang-orang yang terbiasa bertindak anarkis. Bahkan mereka jarang mau turun ke jalan berdemo. Artinya, rata-rata mahasiswa sekarang ini tidak mudah dikerahkan untuk turun ke jalan berdemo. Apalagi sampai disuruh membuat kerusuhan segala. Setelah mengamati unjuk rasa mahasiswa di berbagai tempat, saya berpendapat para mahasiswa yang turun ke jalan dalam seminggu ini lebih banyak memperlihatkan perilaku yang tidak anarkis. Mereka itu boleh dikatakan para demonstran pemula. Dalam arti, baru pertama kali ikut berunjuk rasa. Besar kemungkinan para mahasiswa tidak menyangka kalau aparat keamanan akan berlaku kejam, sadis, dan brutal. Sampai tega menghajar pendemo yang sudah babak belur pun masih dikeroyok juga. Para mahasiswa sudah seperti musuh negara Bahkan, ada rekaman video yang menunjukkan aparat keamanan yang sedang mementungi sejumlah pengendara sepeda motor yang sedang berhenti karena jalan macet. Padahal, para pengendara yang dipentungi aparat tersebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan unjuk rasa. Sangat mengherankan juga prilaku apara keamanan. Ada pula video yang memperlihatkan belasan aparat tiba-tiba saja memukuli seorang anak muda yang sedang berjalan menuju gerbang gedung. Diduga ini terjadi di Medan. Anak muda itu dipukul dengan pentungan, dengan tangan, dan ditendang sampai tersungkur. Setelah itu, masih dikeroyok lagi. Kemudian, entah di mana kejadiannya, satu video menunjukkan kerumunan aparat berseragam ‘riot gear’ (perlengkapan anti huruhara) sedang mengeroyok seseorang yang sudah terkapar di dekat dinding bangunan kaca. Tanpa baju, orang itu ditendang dan dipukuli sekuat tenaga oleh kawanan aparat. Terdengar seorang wanita berteriak-teriak agar aparat berhenti mengeroyok orang yang sudah tak berdaya tersebut. Tampaknya korban pengeroyokan itu paling tidak menderita luka berat. Atau mungkin juga sudah menemui ajalnya. Luar biasa. Sadis. Beringas. Brutal. Pengeroyokan oleh kawanan aparat model begini sudah sering terekam video. Ingin bertanya, apakah cara ini sudah menjadi prosedur baku di kalangan aparat keamanan? Begitukah SOP mereka yang dibiayai, digaji dan diberikan remunirasi dengan uang dari pajak rakyat itukah? Apakah harus brutal menghadapi pendemo? Haruskah sadis menghadapi mahasiswa? Penulis adalah Wartawan Senior

The Avenger Team STM

Oleh Kafil Yamin Jakarta, FNN - Kehadirannya tak terduga. Di luar sangkaan siapapun. Aksi sedang deadlock karena penjagaan ketat dan keberingasan polisi. Sudah banyak mahasiswa yang tumbang. Tetiba mereka muncul dari satu arah. Berseragam sekolah, dan hampir semuanya menggendong tas punggung sekolah. Para mahasiwa yang lagi demo pada heran: “Adik-adik mau kemana?” Dengan enteng salah seorang mereka bilang: “Sekarang kakak mundur dulu. Kami yang maju. Kakak yang orasi. Kami yang eksekusi.” Cerita selanjutnya, sudah banyak diketahui warganet. Saya ingin mengabadikan kehadiran mereka melalui beberapa simpulan: #Kekompakan#. Mereka bergerak teratur. Taktis. Luar biasanya, seperti tanpa komando. Tanpa pemimpin. Hanya saling teriak di antara mereka. Ini menunjukkan kerja tim yang luar biasa. Sampai sekarang, orang tak tau yang mana pemimpinnya, koordinatornya. Wajar kalau polisi kesulitan menundukkan mereka. Beda dengan kakak-kakaknya, yang terlihat ada pemimpin, jurubicara, yang gampang diundang, dinego, diarahkan. Para anggota DPR yang mereka geruduk pun dulunya aktifis mahasiswa. #Kepercayaan diri#. Mereka maju ke hadapan polisi bukan saja dengan berani, tetapi dengan riang. Jauh dari rasa panik dan takut. Dengan peralatan unik berupa sapu lidi dan batangan kayu, mereka mengintimidasi polisi. Tidak lama barisan polisi itu panik, tercerai berai. Dan dengan ringan, mereka membajak kendaraan polisi. Mereka menggiring kendaraan polisi yang dibajak ke barisan mahasiwa. Lalu mereka rame-rame berfoto dengannya. #Taktis-strategis#. Entah darimana kebisaan mereka menanggkal serangan polisi. Tapi jelas mereka ‘know what they are doing’. Memancing polisi menembakkan gas air mata. Dengan refleks melemparnya balik lagi ke arah polisi. Semprotan air dari mobil polisi, mereka sambut seperti pesta. “Gua mau air! Gua mau air! Sini tambah lagi airnya!”. Begitulah teriak mereka kepada polisi. Setelah beberapa lama, polisi tampak kehabisan air dan amuinisi. Giliran mereka yang balik menyerang polisi. Polisi mundur dan terkurung di apartemen Semanggi. Komandan polisi berbicara di airphone minta damai. #Norma dan etika#. Beberapa warganet bilang mereka barbar dan dan liar. Itu penilaian yang sangat kurang ajar. Mereka punya norma, dan prinsip yang kuat. Ketika menggiring kendaraan polisi, seorang dari mereka teriak: “Jangan rusuh woi! Jangan rusuh!” Mereka semua taat pada teriakan "Jangan rusuh woi!". Lalu mereka membiarkan kendaraan itu lepas. Disatu sudut ‘pertempuran’, adzan maghrib terdengar. Pada saa yang bersamaan, polisi masih saja menembakkan gas air mata. Namun seorang dari mereka berteriak: “Tahan dulu Woi! Ga belajar ngaji lo?” #Mengalir lepas#. Dengan pikiran lepas mereka melihat dunia tak banyak batasan untuk melakukan aksi. 'Against the odds'. Mereka menerobos berbagai ketidakmungkinan. Seorang mereka bilang bahwa bantuan akan datang sebentar lagi. “Pake apa? Pake Motor?” tanya kakak mereka yang mahasiswa. “Kakak liat aja nanti,” jawab si adik. Dan, gila gila benar-benar gila. Mereka mendatangkan bantuan datang dengan menggunakan Transformer. Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut kendaraan. Tentu saja bisa mengangkut orang sekampung! Bagaimana mereka bisa mendapatkan kendaraan itu. Tidak mungkin mereka bisa menyewanya. Sebab kebanyakan dari mereka bahkan tak punya ongkos. Ternyata mereka membajaknya. Sang sopir pasti sudah tau risikonya kalau menolak kemauan mereka. Tetapi ini kan untuk perjuangan. Mereka bergerak sangat efektif, taktis, dan mengagumkan. Tanpa sokongan dana dan fasilitas dari siapapun. Malam harinya, seorang ibu memergoki sekelompok dari mereka sedang makan di Warteg. Beberapa di antaranya ternyata masih siswa kelas I SMP. “Sang ibu bertanya kepada mereka, kalian ada ongkos untuk pulang?” Yang mereka jawab dengan enteng saja: “Nunggu truk aja Bu.”Si Ibu yang pemurah itu lantas membayari makan mereka dan memberi ongkos pulang untuk mereka. Kadang, atau mungkin juga kita perlu belajar dari mereka. Meski mereka hanya anak-anak siswa STM dan SMP yang kita tak terlalu menganggap mereka penting tersebut. Penulis adalah wartawan Senior

Jokowi Sumber Masalah

Jokowi Sumber Masalah! Pendukungnya akan marah membaca kalimat yang saya tulis berulang-ulang. Padahal, para pendukungnya jugalah yang teriak-teriak agar SBY turun dari jabatannya. Teriakan ini disampaikan dengan lantang saat pemerintah SBY waktu itu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - JUDUL ini akan membuat pendukungnya mencari pembenaran atas apa pun yang dilakukan Jokowi. Mereka akan melakukan pembelaan habis-habisan. Ya, pembelaan membabi buta. Eeh babi saja tidak buta. Mereka pasti tidak suka jika junjungannya disalahkan atas berbagai peristiwa politik, hukum, ekonomi, dan sosial yang sedang melanda negeri ini. Berbagai ketidakadilan, ketimpangan, dan keberpihakan (terutama berpihak pada aseng) membuat rakyat (kecuali pendukung gila-gilaan seperti Abu Janda serta Deny Siregar dan kawan-kawannya) frustrasi, emosi, dan naik tensi. Buntutnya, demonstrasi hampir tiap hari. Akibatnya, demonstran yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat dipukuli polisi. Banyak yang terluka dan sesak napas' dan bahkan (peristiwa 21 dan 22 Mei 2019, peristiwa di Papua) membuat puluhan korban meninggal dunia. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya pasti marah atas tulisan saya ini. Akan tetapi, sebagai wartawan senior yang malang-melintang meliput aksi-aksi demo nasional di Jakarta, sumber masalahnya selalu di Presiden yang sudah sulit dipercaya rakyat. Jokowi sumber masalah! Wahai para pendukung Jokowi yang juga sebagian pelaku aksi demonstrasi 1998, Anda juga meneriakkan agar Soeharto lengser. Anda juga meneriakkan agar BJ Habibie turun dari jabatannya. Demikian juga saat Abdurrahman Wahid didemo, yang Anda keluarkan adalah agar Gus Dur turun dari jabatan sebagai presiden. Di masa Gus Dur teriakan Anda kencang karena Anda mengharap Megawati jadi Presiden dan ternyata jadi. Semasa Mega jadi presiden, demonstrasi boleh dikatakan relatif tidak ada. Soeharto dan Gus Dur turun karena demo dan kekacauan. Sedangkan Habibie turun karena pidato pertanggungjawabannya ditolak dalam Sidang Istimewa MPR. Sedangkan Megawati turun karena tidak dipilih rakyat dalam pemilihan langsung pertama tahun 2004. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya akan marah membaca kalimat yang saya tulis berulang-ulang. Padahal, para pendukungnya jugalah yang teriak-teriak agar SBY turun dari jabatannya, saat pemerintah waktu itu menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Makanya, jangan salahkan jika sekarang ada meme di medsos yang menulis, "Dicari orang hilang..." Siapa lagi kalau bukan antara lain Diah Pita Loka alias Oneng, Eva Sundari, Adrian Napitupulu yang menjadi penggerak demo waktu itu. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya pasti marah. Sewaktu majalah Tempo memuat gambar sampul pinokio yang disandingkan dengan Jokowi, pendukungnya demo ke Dewan Pers dan berencana melaporkan ke polisi. Padahal, di jaman SBY kerbau atau kerbo yang Anda giring di Bundaran Hotel Indonesia dan ditulis SiBuaYa atau yang terlihat jelas SBY, tak ada demo tandingan dan tak ada lapor atau rencana melaporkan ke polisi. Jokowi sumber masalah! Ini bukan pendukung yang marah. Jika Jokowi membaca tulisan saya ini dia akan mengeles. "Kok saya yang disalahkan!" Mengapa Jokowi yang tidak pernah memasukkan baju ke celana itu (kecuali pake jas) ngeles. Pembaca harus maklum dan ingat akan kalimat-kalimatnya jika ditanyakan wartawan atas sesuatu hal atau peristiwa. Inilah antara lain kalimatnya itu. "Bukan urusan saya. Saya kaget. Jangan tanya saya. Saya belum tahu. Itu urusan menteri nganu." Bahkan, ketika menyebut pertumbuhan ekonomi yang berada pada kisaran 5 persen per tahun selama pemerintahannya, tidak disyukuri, akan kufur nikmat. Semua orang ketawa membaca dan mendengarkan kalimatnya itu (kecuali pendukungnya). Orang juga tahu bersyukur atas setiap yang diberikan Allah subhanahu wa ta'ala. Justru, Jokowi-lah yang tidak mampu mendongkrak pertumbuhan 7 persen sesuai janjinya. Berarti, janji tidak ditepati. Jika presiden saja mengeluarkan jawaban-jawaban seperti itu, mau dibawa ke mana negeri ini? Jawabannya, "Jokowi sumber masalah. Titik," **

People Power, Gerakan Mahasiswa, dan Masa Depan Rezim Jokowi

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle) Jakarta, FNN - "Jokowi turun, Jokowi turun..., Jokowi turun", demikian sebagian lagu-lagu dari sebagian mahasiswa long march ke DPR dan di berbagai daerah ke DPRD beberapa hari belakangan ini. Meskipun tuntutan semula mahasiwa hanya pada DPR terkait revisi UU KPK, aksi mahasiwa meluas ke arah pusat kekuasaan yakni Jokowi. Sebab, memisahkan DPR yang dikuasai Jokowi dengan Jokowi sendiri, yang turut mendukung revisi UU tersebut tidak mungkin terjadi. Hari ini gerakan mahasiswa tidak surut karena kemarin gerakan ini dipatahkan oleh aparat polisi. Beberapa mahasiswa terluka, dan sebagaian pecah kepala dan pendarahan otak. Bahkan, dikabarkan seorang mahasiwa meninggal akibat kekerasan fisik yang dialami saat bentrok dengan aparat. Tidak surutnya gerakan ini bahkan ditandai dengan munculnya gerakan remaja alias siswa. Hari ini dan kemarin anak-anak STM (Sekolah Teknik Menengah) datang ke DPR, malah lebih berani dari seniornya mahasiswa. Beberapa video viral menunjukkan anak-anak remaja ini menyerang aparat dan menendang-nendang mobil patroli aparat. Kemarin saya sudah menulis bahwa "the unprecedented" adalah situasi baru era sekarang ini, yang dijelaskan oleh professor Shoshona Zuboof of Harvard University dalam "the Surveillance Capitalism", 2019, untuk melihat bahwa suatu kejadian besar haruslah secara serial dari sesuatu yang kecil. Hal ini untuk menjelaskan publik kenapa gerakan mahasiswa tiba-tiba saja besar, tanpa gerakan kecil dalam skala kampus maupun kota. Pada kesempatan ini saya ingin menambahkan penjelasan teoritik situasi sekarang ini dengan menambah suatu kazanah baru dalam ilmu sosial, yang disebut "Youthquake". James Sloam dan Matt Henn dalam "Youthquake 2017: The Rise of Young Cosmopolitans in Britain", Palgrave, 2018, melihat berbagai kebangkitan politik anak-anak usia remaja, 18-24 tahun di berbagai negara Eropa dan Amerika. Kebangkitan politik ini bukan dalam pengertian elektoral alias partai politik dan parlemen, melainkan antara lain kepedulian pada isu2 kebebasan, kemanusian, lingkungan hidup dan anti korupsi. Gerakan mahasiwa dan remaja ini pada intinya adalah "anti establishment", dan sensitif terhadap kesombongan kekuasaan. Dalam kasus di Inggris, penulis ini menunjukkan adanya pergeseran kaum mudah menjadi pro pada "globalist-left", setelah isu Brexit. The unprecedented dan Youthquake di atas penting untuk dipahami kekuasan dan kaum cendikiawan untuk menilai bahwa tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ini ditunggangi atau diarahkan untuk kepentingan tertentu tidak berdasar. Dengan alasan teoritik yang tepat tentu kita mengetahui bahwa gejala sosial di Indonesia, sesungguhnya adalah penyebab utama gerakan mahasiswa dan juga remaja kita saat ini. Gejala sosial itu antara lain ditunjukkan oleh kesombongan kekuasaan dalam kasus lingkungan hidup kebakaran hutan, isu pindah ibukota dan revisi UU KPK yang tidak mengindahkan dialog pada rakyat. Independensi Gerakan dan Pengkhianatan Demokrasi Ray Rangkuti, intelektual pendukung rezim Jokowi, yang juga pelaku utama reformasi 98, sudah dua hari ini menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah gerakan murni, tidak ditunggangi. Dia juga berharap agar kawan-kawan angkatan 1998, khususnya Masinton Pasaribu dan Fahri Hamzah, tidak menyepelekan gerakan ini. Persoalannya kemudian adalah gerakan murni ini dihalau dengan kekuasaan. Pada 12 April 1989, misalnya, kepala Fadjroel Rahman, komisaris utama Adhi Karya, otak rezim Jokowi, kepalanya pecah dipukul polisi, ketika demo mahasiswa di Bandung. Pada saat itu setting politik Indonesia Orde Baru memang bukan demokrasi, melainkan otoriter, sehingga gerakan mahasiswa haruslah dimusnahkan. Namun, pecahnya kepala mahasiswa saat ini, sangat kontras dengan klaim Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar. Menyerang gerakan-gerakan rakyat seperti kelompok-kelompok Islam 212, oleh kekuasaan Jokowi, dengan alasan kelompok-kelompok ini dituduhkan mempunyai ciri-ciri radikalisme dan fanatisme agama, mungkin masih dapat diterima sebagian kelompok-kelompok pro-demokrasi. Namun, ketika gerakan mahasiswa, yang merupakan gerakan non-ideologis kiri/kanan, mengalami penghalauan dengan kekerasan, semua akhirnya harus meyakini bahwa rezim ini tidak "compatible" dengan demokrasi. Pandangan Ray Rangkuti hanyalah "puncak gunung es" dari elemen-elemen pendukung Jokowi. Sebelumnya media pendukung Jokowi, TEMPO, sudah membuat karikatur Jokowi dengan bayangnya Pinokio dan JP membuat karikatur Jokowi dengan bayangan Suharto. Di balik "puncak gunung es" ini tentu ada kekuatan besar rakyat Indonesia yang kecewa dengan Jokowi. Pengkhianatan demokrasi buat mereka adalah kebiadaban besar. Hal ini tertutupi ketika 5 tahun belakangan ini Indonesia terbelah dalam politik identitas. Setelah Pemilu usai, maka pengkhianatan ini menjadi muncul kepermukaan. Masa Depan Rezim Jokowi Jokowi telah memenangkan pilpres 2019. Dalam memasuki term keduanya, Jokowi dihadapi kenyataan bahwa demokrasi mati atau hampir mati di bawah kekuasannya. Persoalannya kemudian apakah rakyat menerima kehidupan autokrasi ke depan? Khususnya ketika globalisasi era internet ini mengantarkan dunia pada kebebasan sipil. Jika rezim Jokowi akan mengelola pemerintahan tanpa demokrasi, Jokowi harus mampu seperti Suharto di masa orde baru, yang mengangkat ekonomi Indonesia menjadi salah satu negara "new emerging countries". Jika Jokowi memberlakukan autokrasi tapi ekonomi terus memburuk, maka pembrontakan rakyat tidak mungkin terhindarkan. Catatan Akhir Keberanian mahasiwa dan anak-anak remaja sekolah menengah tidak kalah dari kelompok-kelompok Islam 212 dalam membicarakan kebenaran dan keadilan. Gejala dunia di mana kebangkitan kalangan remaja yang anti-establishment meningkat, sudah saatnya kekuasaan dikelola dengan demokrasi dan dialog. Apalagi ketika keadilan sosial yang dijanjikan negara tidak terpenuhi. Pengkhianatan terhadap demokrasi dan komitmen pemberantasan korupsi akan menjadi sumber ketidakstabilan bagi rezim Jokowi ke depan. Termasuk elit-elit partai-partai pendukung Jokowi. Hati hati, gerakan people power bisa segera terjadi. Lihatlah tagar #AnakSTM sudah mencapai 356.000 tweets dan #STMmelawan 238.000 tweets belum sampai 12 jam di medsos. Dunia medsos akan mempercepat krisis jika kekuasaan Jokowi tidak hati-hati meng "handle" situasi yang ada. Satu-satunya jalan bagi Jokowi adalah kembali pada demokrasi dan dialog sosial politik. End.

Tegasnya KPK, Koruptor Koalisi Juga Disikat!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019. Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK!

RUU Pertanahan Adalah RUU Perampasan Hak Pribadi

Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Rancangan UU Pertanahan (RUU Pertanahan) dilihat dari sudut konstitusi merupakan RUU yang buruk sekali. Nalar dibalik sejumlah pasal (rancangan) cukup jelas sangat primitif. Mereflesikan logika tipikal perencanaan sosial ekonomi yang umumnya para kapitalis. Memutarbalikan konsep rule of law. Ini manipulatif. Ada dua sebab pada level konseptual yang menunjukan RUU ini manipulatif. Pertama, RUU ini hendak disodorkan pada level tertentu sebagai sarana rekayasa social. Targetnya, menciptakan tatanan hukum pertanahan yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Tetapi jalan fikiran ini terlihat tidak lebih hanya sebagai cover politik. Mengapa begitu? Karena sejumlah pasal dalam RUU ini cukup jelas terlihat menyimpang dari prinsip-prinsip hak dalam UUD 1945. Begini logikanya. UUD mengakui hak bagi setiap orang. Hak ini terbagi ke dalam dua kategori besar. Kedua, kategori itu adalah hak yang bersifat alamiah dan hak diberikan oleh undang-undang. Hak yang bersifat alamiah, misalnya hak untuk memperoleh keturunan melalui keturunan yang sah. Hak untuk hidup, tidak disiksa dan lainnya. Hak ini tidak bisa dicabut oleh siapapun. Berbeda dengan hak alamiah, adalah hak yang dinyatakan ada karena diberikan oleh undang-undang. Biasanya disebut dengan hak yang bersifat parsial. Karena sifatnya sebagai hak yang parsial itu, maka hak ini oleh UUD dikualifikasi sebagai hak yang dapat dicabut. Menurut UUD 1945, pencabutan atau pembatasan atas hak ini hanya bisa dilakukan bila diatur dalam undang-undang. Pada titik ini muncul sebab kedua, yaitu orang-rang yang menandai Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah ini buruk seburuknya manusia. Bahkan sanagt berbahaya. Bagaimana logikanya? Logikanya adalah karena hak hanya bisa dicabut dengan menggunakan undang-undang, maka buatlah undang-undang sebagai dasar untuk pencabutan atas hak itu. Jalan fikiran inilah yang ada dibalik sejumah pasal dalam RUU Pertanahan sekarang. Fakta inilah yang mungkin menjadi sebab tambahan protes dari mahasiswa . Ini Bentuknya Pasal 48 ayat (8) dalam RUU Pertanahan, sejauh yang tersebar di beberapa media berisi ketentuan: Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data pertanahan, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai peraturan perundangan. Kelak bila pasal ini disahkan, maka muncul masalah hukum. Masalahnya adalah “informasi” jenis apa, yang dikecualikan? Nama pemegang hak seperti apa yang dikecualikan? Hak apa yang dikecualikan? Hak guna usaha seperti apa yang dikecualikan? Tidakkah hak guna usaha itulah yang saat ini muncul sebagai masalah terebesar dalam dunia penguasaan tanah? Sejauh ini hak guna usaha hanya diberikan kepada perorangan dan korporasi yang berusaha dibidang pertanian dan perkebunan. Selalu begitu dalam sejarahnya. Usaha perkebunan berada di atas lahan dalam jumlah puluhan ribu hektar. Umumnya pemegang hak ini adalah perserorangan yang berduit besar. Praktis mereka adalah pengusaha berskala besar. Norma itu memberikan pilihan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan. Kelak setelah disahkan pemerintah, dengan kewenangan yang diberikan undang-undang membuat dapat peraturan yang mengecualikan hak guna usaha. Pengecualian itu termasuk pemegang hak guna usaha sebagai informasi yang dikecualikan. Mereka, dengan demikian terlindungi, dalam makna mendapatkan privilege hukum untuk tidak diketahui orang. Kebijakan ini jelas sangat buruk dan primitif. Pasal 95 RUU Pertanahan ini seperti yang telah beredar di media berisi rumusan: “Setiap orang, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun serta denda sebanyak-banyaknya 15.000.000(lima belas juta rupiah)”. Betul rumusan ini bersifat materil (delik materil). Delik yang dalam ilmu hukum dianggap telah ada sebagai perbuatan jahat bila akibat yang dilarang telah terjadi. Betul itu. Akibat yang dilarang dalam pasal ini adalah “sengketa atau konflik.” Tetapi apa yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” dan apa yang dimaksud dengan “sengketa atau konflik.” Sanbgat tidak jelas dan karet tafsirannya. Ketidak jelasan norma-norma itu menjadi ketukan lembut untuk setiap penegak hukum merumuskan sendiri setiap peristiwa sebagai “permufakatan.” Tidak itu saja. Mereka juga dapat merumuskan sendiri setiap peristiwa untuk dikategori sebagai akibat permufakatan itu. Akibat itu apakah berupa sengketa atau konflik? Bahkan setiap persitiwa dapat dikategori “sengketa atau konflik” berdasarkan defenisi bikinan sendiri penegak hukum. Inilah yang sangat berbahaya sekali. Seharusnya dirumuskan secara jelas keadaan-keadaan yang dikategori sebagai sengketa dan atau konflik. Seharusnya pula dirumuskan secara jelas peristiwa-peristiwa yang dikategori sebagai “sengketa dan atau konflik. Rumusan yang jelas adalah cara hukum mencegah penyalahgunaan wewenang. Mereka para penegak hukum, dengan rumusan hukum yang jelas dan tegas, dipaksa untuk tidak menggunakan interpretasi sendiri yang sangat subjetif. Rumusan-rumusan di atas jelas berbahaya. Namun masih ada rumusan berikut ini jauh lebih berbahaya. Pasal 91 sejauh yang telah beredar, berisi ketentuan: “pemilik tanah yang menolak atau setiap orang yang menghalangi aparatur penegak hukum bidang pertanahan pada bidang tanahnya sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (4) huruf c dipidana paling lama 2 (dua) tahun serta denda Rp. 5.000. 000., (lima juta) rupiah”. Pasal ini jelas lebih berbahaya dari undang-undang yang dibuat untuk melegalkan pekentingan kekuasaan pejajah. Atau mungkin juga sebaliknya. Ada diantara penguasa pejajah yang bisa saja tidak menghendaki pasal-pasal seperti ini dalam produk undang-undang yang dibuat pejajah. Pasal ini sepertiunya terlihat hendak melindungi pemilik tanah. Tetapi tidak dalam prinsipnya. Mengapa? Untuk memperjelasnya, saya mengajukan satu kasus hipotetik. Kasusnya beini, “dalam hal seorang pengusaha hendak menguasai tanah dengan hak guna usaha (HGU) yang biasanya selalu luas, lalu tanah yang hendak dikuasainya itu meliputi bidang tanah yang telah dikuasai orang lain, maka orang yang bidang tanahnya tercakup dalam rencana HGU itu tidak dapat mempertahankannya”. Pengukuran atau penyelidikan atas luas tanah oleh aparatur pertanahan itu tidak dapat dicegah. Bila dicegah, apapun argumen yang digunakan, tindakan pencegahan itu tetap dikategori secara hukum sebagai tindakan menghalangi. Bisa dihukum minimal lima tahun. Hebat sekali kan ? Merampas Hak Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Dunia ilmu hukum memberitahukan kita bahwa kapitalis biasanya mengandalkan hukum sebagai alat untuk merampas hak orang, melipatgandakan hak, melipatgandakan asset, memperluas pasar dan memproteksi pasar. Kapitalis-kapitalis rakus dan tamak ini, dalam sejarahnya, selalu begitu. Mereka, sekali lagi, selalu memanggil hukum untuk menjaga, memburu dalam semangat mengonsetrasikan setiap jengkal sumberdaya ekonomi. Kapitalis tamak cukup cerdas membungkam penentang mereka dengan argumen rule of law dan demokrasi. Rule of law dan demokrasi diandalkan sebagai tatanan yang memungkinkan, memanggil siapa saja yang tumbuh dan menjadi sejahtera. Rule of law, selalu dalam pandangan saya, adalah konsep indah dan berkelas pada level kulit. Itu karena substansinya dapat dituliskan dengan berbagai macam gagasan. Satu dan lainnya tak beriringan dengan nilai-nilai dasar sebuah masyarakat. Hukum karena isinya selalu dapat ditulis sesuka hati oleh para perencana sosial dan ekonomi. Maka hukum juga dapat digunakan, dalam semangat merampas, mengalihkan kekayaan orang kaya ke orang miskin. Caranya, adalah dengan memperkenalkan program jaringan pengaman sosial, bahkan subsidi. Cara ini yang ditandai Frederick Bastiat, ekonom Prancis abad ke-19 yang ditahbiskan sebagai ekonom pembela tanpa batas terhadap pasar bebas. Dalam posisi itu, Frederick terang-terangan dan lantang mengeritik penggunaan hukum yang membenarkan proteksi dan subsidi. Baginya proteksi dan subsidi adalah cara perampasan hak orang kaya untuk dialihkan ke orang miskin. Cara ini tidak masuk akal. Menurutnya, cara yang tepat adalah membiarkan semua orang bebas dalam setiap usahanya. Dalam kecakapannya mengeritik hukum, Fredericl menandai hukum telah terlalu sering digunakan melampaui fungsi alamiahnya. Tetapi apapun itu, pembatalan pengesahan RUU Pertanahan harus disambut gembira. Andai saja tidak dibatalkan, maka RUU itu sepenuhnya berfungsi sebagai sarana perampasan hak. Itu karena tabiat politik yang tersedia ditengah kehidupan politik yang sepenuhnya elitis, tidak bakal menempatkan kapitalis sebagai korban utama RUU in. Pembatalan pengesahan RUU ini disisi lain terlihat sebagai keberhasilan paling nyata, walau mungkin tak disadari, bahwa tipuan halus rule of law berhasil dikenali dan dihentikan

Mungkinkah Jokowi Lengser Melalui Gerakan Mahasiswa ?

Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Oleh Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi dan Ma'ruf Amin tinggal beberapa saat lagi. Jika tidak ada halangan dan perubahan mereka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019. Namun apakah gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir ini, bisa menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma'ruf hingga memakzulkan (impeach) Presiden? Banyak kalangan meyakini bahwa reformasi kembali akan terulang. Ya namanya Reformasi Jilid II. Sama halnya seperti peristiwa bulan Mei 1998, pada Reformasi Jilid II juga tidak mustahil akan mampu melengserkan Jokowi dari kursi Presiden. Suasana sekarang ini persis seperti situasi kondisi tahun 1998 menjelang lengsernya rezim Orde Baru. Maraknya aksi demo di berbagai daerah di Tanah Air, menyebabkan kalangan elite Istana kalang kabu dan mendadak mengadakan rapat. Akhirnya bulan Mei 1998, rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun tumbang juga dirobohkan oleh Gerakan People Power Bersatu. Yakni kekuatan mahasiswa dari berbagai civitas akademika dan rakyat sipil bersatu. Gejala kepanikan yang sama muncul lagi sekarang. Inilah yang dinamakan Dejavu Reformasi. Hari Senin (23/9), Jokowi mengumpulkan sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri dan jajaran Istana Merdeka, Jakarta. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut rapat ini akan membahas situasi terkini. Wajar kalau Jokowi panik karena aksi demonstrasi mahasiswa merebak di sejumlah daerah di Indonesia memprotes rencana pemerintahan Jokowi dan DPR yang mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang. Demo digelar serentak di Riau, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, hingga Papua hari Senin (23/9). Di Yogyakarta, mahasiswa yang bergabung dengan pekerja, pelajar, dan aktivis masyarakat sipil menggelar demo di Pertigaan Gejayan. Demo bertajuk #GejayanMemanggil ini bahkan menjadi topik terpopuler Twitter di Indonesia. Semua elemen yang bergerak dalam aksi #GejayanMemanggil tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Mereka mengusung tujuh tuntutan. Di antaranya mendesak RKUHP ditunda, revisi UU KPK yang baru disahkan, mengadili elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dan menolak pasal-pasal bermasalah RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi mahasiswa pada Hari Senin itu, dilanjutkan kembali pada Selasa (24/9). Kali ini bukan hanya para mahasiswa tetapi juga diikuti unsur masyarakat sipil lainnya seperti kelompok tani dan kaum buruh. Gelombang aksi demonstrasi ini tidak bisa dibendung lagi karena dibawah rezim Jokowi ini, masyarakat makin merasakan berbagai penderitaan. Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru didominasi oleh kaum borjuasi lokal. Melalui kartel politik dan oligarki parpol, elite politik telah membajak demokrasi. Salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media massa. Praktek oligarki parpol dan kartel politik ini juga berkontribusi pada perusakan lingkungan yang akhirnya menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Contoh lain dominasi oligarki parpol saat ini bisa dilihat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif (DPR). Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai makar, kehormatan presiden, Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hukum yang hidup di masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana. Saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Tahun 2019, reformasi tepat berumur 21 tahun. Sayangnya upaya perubahan bangsa kepada kemajuan justru menemui kemunduran telak akibat beragam kebijakan yang mengkorup agenda-agenda Reformasi. Beragam kebijakan Pemerintah dan DPR, semakin bertentangan dengan pokok-pokok reformasi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No.X Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Negara. Dalam konteks itu, para mahasiswa yang hari-hari ini turun ke jalan menilai pemerintah dan DPR tidak belajar dari beragam kesalahan yang dilakukan rezim Orde Baru. Pemerintah dan DPR justru membuai serangkaian kebijakan yang mendorong negara pada sistem pemerintahan yang korup, otoriter, dan menciptakan ekonomi yang eksploitatif. "Atas dasar itu, kami turun kejalan untuk menyampaikan beragam tuntutan yang menjadi keresahan bersama Rakyat Indonesia," kata seorang mahasiswa Yogyakarta dalam orasinya. TAP MPR No.X Tahun 1998 secara tegas menyatakan bahwa praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan masalah yang terjadi selama rezim era Orba. Oleh karena itu kemudian disiapkan sarana dan prasarana serta program aksi dan agenda reformasi bagi tumbuhnya suasana yang sehat dan bebas dari praktek KKN. Sebelumnya program dan agenda tersebut ada kemajuan melalui reformasi birokrasi, pengesahan UU Tipikor, dan pembentukan KPK. Sayangnya, pada 2019 beragam kemajuan yang telah diupayakan dalam pemberantasan KKN tersebut menghadapi pukulan besar. Beragam pembentukan regulasi dan kebijakan termasuk Revisi UU KPK, RUU KUHP, Undang-Undang Pemsyarakatan, dan pemilihan Pimpinan KPK yang bermasalah. Ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap upaya pemberantasan KKN telah dilakukan secara sistematis melalui pelemahan kewenangan dan independensi KPK dalam memberantas KKN, pelemahan ancaman pidana, pelemahan sanksi terhadap koruptor, dan merusak KPK dengan pemilihan orang-orang bermasalah didalamnya. Saat ini NKRI dalam keadaan bahaya karena kebijakan Presiden dan DPR telah menghilangkan kepercayaan rakyatnya. Jika ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR terus berlanjut, dikhawatirkan akan munculnya gelombang civil disobedience yang massif. Para mahasiswa dan masyarakat sipil telah mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak mengkorup reformasi dan tidak mengembalikan kultur rezim Orde Baru dalam penyusunan kebijakan. Sekali lagi saya mengingatkan, jika pemerintahan Jokowi dan DPR tidak merespon tuntutan para mahasiswa dengan tepat, Anda harus rela untuk lengser atau dilengserkan masyarakat. Wallahu a'lam. Penulis adalah Wartawan Senior

Tegasnya KPK, Koruptor Kubu Koalisi Juga Disikat!

Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jawa Timur (Jatim). Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK sebagai tersesangka. Imam diduga menerima gratifikasi senilai Rp 26,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy. Selian itu, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto. Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana juga jadi tersangka. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum dua tahun delapan bulan penjara. Sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara satu tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, KPK mengungkapkan, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK! Penulis adalah Wartawan Senior

Cucu Pak Jokowi dan Cucu Pak Bakar Hutla

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Alhamdulillah, cucu Pak Jokowi itu sangat beruntung punya cucu tersayang. Namanya, Jan Ethes. Tiga hari lalu, 21 September 2019. Pak Jokowi mentwitkan salah satu keberuntungan cucu kesayangan beliau itu. Begini bunyi twit Pak Jokowi lewat akun resmi beliau Joko Widodo @Jokowi: “Jalan-jalan pagi di sekitar Istana Bogor bersama Jan Ethes, melihat kuda, kambing, dan rusa merumput di pelataran. Ngomong-ngomong, Jan Ethes paling suka binatang apa?” Senang sekal, tentunya. Tidak ada asap di Istana Bogor. Udaranya ‘clear’ dan bersih. Langitnya selalu biru. Banyak pepohonan besar dan kecil. Dijaga ketat. Tidak ada yang berani bikin karhutla di situ. Tak perlu pakai masker seperti yang harus digunakan oleh para cucu Pak Bakar Hutla. Nama Pak Bakar Hutla diplesetkan orang menjadi pembakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan. Tapi, tidak apa-apa. Kita sebut saja cucu Pak Bakar Hutla sesuai plesetan itu, menjadi cucu Karhutla. Cucu Pak Jokowi memang selalu beruntung. Semua serba ada. Serba bagus dan serba sehat. Ada tim dokter kepresidenan kalau kesehatan Jan Ethes terganggu. Tak perlu pakai BPJS. Tidak seperti para cucu Karhutla. Kalau mereka sakit, tidak ada tim dokter kejelataan yang membantu. Tidak seenak Jan Ethes yang punya tim dokter kepresidenan. Di Istana Bogor banyak rusa yang sehat-sehat dan gemuk-gemuk. Ada kambing dan kuda. Luar biasa! Pasti sangat menghibur bagi Jan Ethes. Entah kapan para cucu Karhutla bisa menikmati langit biru dan udara segar seperti di Istana Bogor. Memang hebat! Tidak ada hewan piaraan Istana Bogor yang kepanasan. Tak seperti pengalaman satwa liar di hutan yang sedang terbakar di Sumatera dan Kalimantan. Di Istana Bogor, hewan-hewan terawat bagus. Sejuk di bawah pepohonan rindang. Tak pernah merasakan bara api. Jan Ethes pastilah belum pernah melihat binatang liar yang mati di tengah karhutla. Tapi, para cucu Karhutla sudah tahu berita ular piton besar yang terpanggang. Dan banyak lagi binatang yang gosong akibat karhutla. Istana Bogor memang sempurna. Sempurna untuk apa saja. Termasuk untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat orang jera melakukan karhutla. Tapi, Pak Bakar Hutla harus bersabar dan maklum. Kesempurnaan Istana Bogor pada saat ini masih digunakan untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat Jan Ethes selalu senang. Jadi, harap dipahami. Para cucu Karhutla masih bisa menunggu. Pada waktunya nanti, kesempurnaan Istana Bogor akan menjangkau karhutla. Sama-samalah kita maklumi. Pelan-pelan dan bertahap. Untuk saat ini, yang kecil-kecil dulu, termasuk Jan Ethes yang juga masih kecil. Belum waktunya memikirkan yang besar-besar. Mohon jangan ada komentar bahwa Istana Bogor belum mampu memikirkan yang besar-besar. Penulis adalah Wartawan Senior

Bukan Menggantang Asap, Tapi Menggantung Penyebab Asap

By Asyari Usman Ada pepatah lama dan orisinal Melayu yang berbunyi, “Bagaikan Menggantang Asap”. Makna peribahasa ini lebih kurang adalah pekerjaan sia-sia yang dilakukan di atas landasan pemikiran yang abnormal. Orang yang menggantang asap adalah manusia-manusia yang dikuasai oleh hayalan. Mereka adalah orang-orang yang tersisih dari pergelutan akal sehat. Note: gantang adalah alat ukur atau sukat yang berbentuk silinder, terbuat dari besi. Kalau pernah melihat liter yang biasa digunakan oleh pedagang eceran beras atau minyak tanah, gantang pun seperti itu. Cuma, volume atau isi gantang itu lima (5) liter. Mengapa menggantang asap sia-sia? Mengapa disebut hayalan? Pertama, tentu saja karena asap tak bisa digantang. Tidak bisa disukat. Kedua, karena asap tidak punya nalai nominal. Pekerjaan menggantang asap menggambarkan watak manusia yang tidak paham ‘konsep manfaat’. Dan manusia tak memiliki kemampuan untuk memikirkan ‘konsep manfaat’ itu. Dia juga tidak bisa membedakan ‘hayalan’ dan ‘realitas’. Karena itu, tidak mengherankan kalau Anda menemukan stetmen bahwa kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan, dan bahwa langit Riau sudah biru. Stetmen ini adalah hayalan di tengah realitas. Mereka berhayal kondisi asap di Riau tidak parah, padahal masih sangat berat. Mereka berhayal langit Riau biru, padahal masih abu-abu pekat. Itulah salah satu contoh menggantang asap. Yaitu, membuat stetmen yang sia-sia. Mengeluarkan stetmen berdasarkan hayalan. Kalau begitu, bagaimana cara menggantang atau menyukat asap karhutla (pembakaran hutan dan lahan) di Riau dan Kalimantan agar tidak sia-sia? Jawabannya: jangan Anda berhayal mau menyukat atau menggantang asap karhutlanya. Yang perlu Anda sukat atau Anda gantang adalah penyebab hakiki asap karhutla itu. Penyebab hakiki asap itu bukan karhutla, melainkan pemilik dan pengelola hutla (hutan dan lahan). Mereka itulah yang sesungguhnya sumber asap karhutla yang sekarang membuat jutaan orang menderita. Para pemilik dan pengeola hutla itulah yang perlu Anda sukat. Mereka juga perlu Anda gantang. Dalam arti, Anda usut (sukat), terus Anda masukkan ke dalam gantang (dikurung dalam penjara). Jika setelah Anda usut (sukat) tapi tak cukup gantang (penjara) yang tersedia, mudah saja. Anda hanya perlu mengganti huruf ‘a’ kedua di dalam kata ‘gantang’ dengan huruf ‘u’. Sehingga, ‘gantang’ menjadi ‘gantung’.Jadi, para penyebab hakiki asap karhutla akan digantung. Tidak sekadar digantang. Dengan begini, penggantian huruf ‘a’ dengan huruf ‘u’ malah akan lebih efektif untuk mengubah makna ‘menggantang asap’ menjadi realitas yang realistis. Dan juga akan lebih setimpal dan berkeadilan. Sehingga, nantinya, pekerjaan menggantang asap dalam mengatasi asap karhutla, tidak lagi hayalan. Kita ubah menjadi pekerjaan yang nyata dan bermanfaat. Tidak lagi berhayal langit biru di tengah asap tebal. Tetapi langsung nyata menggantung para pelaku karhutla. Penulis adalah Wartawan Senior