OPINI

Indonesia Menuju Police State

Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Apa itu ‘police state’? Terjemahan langsungnya adalah ‘negara polisi’ atau ‘negara kepolisian’. Terus, apa defenisinya? Menurut kamus Oxford, negara polisi adalah “a totalitarian state controlled by a political police force that secretly supervises the citizens' activities”. Lebih kurang artinya adalah, “sebuah negara totaliter yang dikuasai oleh kepolisian yang politis, yang secara rahasia mengawasi aktivitas warga negara”. Dan menurut Wikipedia, “A police state is a government that exercises power arbitrarily through the power of the police force.” Artinya, “negara polisi adalah suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kekuasaan kepolisian.” Apakah Indonesia saat ini bisa disebut ‘police state’? Jawabannya, masih belum. Tetapi, sedang dalam perjalanan menuju ke sana. On the way menuju negara polisi. Indikasinya apa? Indikasinya bisa anda lihat apakah kepolisian di Indonesia sudah memiliki karakteristik (ciri) yang tersurat maupun yang tersirat di dalam kedua definisi di atas. Di dalam definisi pertama (Oxford), kata kuncinya adalah “politcal police force”. Yaitu, “kepolisian yang politis”. Maksudnya adalah, ‘kepolisian yang terkooptasi ke dalam kegiatan politik dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa’. Apakah Polri di bawah pimpinan Jenderal Tito Karnavian cocok dengan definisi ini? Apakah Polri telah menjadi ‘political police force’? Menurut hemat saya, iya. Coba saja anda buat check-list (daftar) keanehan sepak-terjang kepolisian dalam agenda politik nasional. Berpolitikkah polisi, atau tidak? Memihakkah polisi kepada misi pribadi Jokowi, atau tidak? Tak usahlah kita elaborasikan jawaban untuk dua pertanyaan ini. Anda semua pasti bisa merasakan. Anda telah menyaksikan sendiri ‘behaviour’ (perilaku) kepolisian di masa kepresidenan Jokowi. Coba Anda ingat kembali bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilihan presiden 2019. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye pilpres. Kapolri membawa polisi memihak Jokowi. Tidak semua personel kepolisian setuju memihak, tetapi mereka tidak bisa menentang secara terbuka. Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. Sekarang, coba kita cermati definisi ‘negara polisi’ menurut Wikipedia. Yaitu, “pemerintah yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kepolisian”. Nah, menurut anda, apakah Polri hari ini pas dengan definisi itu? Agaknya sulit untuk dibantah memang. Lihat saja apa yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi orang-orang yang beroposisi. Polisi suka menggunakan pasal-pasal ITE untuk hal-hal sederhana. Sedikit-sedikit hoax. Sedikit-sedikit ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Belakangan, definisi versi Wikipedia ini tampak dari cara polisi menangani aksi-aksi protes damai apalagi yang tak damai. Kita masih ingat cara polisi menangani aksi 21-22 Mei 2019. Mereka menggunakan cara-cara yang brutal, dengan alasan diserang oleh demonstran. Hebatnya, pernyataan seperti ini diterima begitu saja oleh media massa mainstream. Begitu juga dalam menghadapi rangkaian unjuk rasa revisi undang-undang KPK, RKUHP dan beberapa RUU lainnya dalam sepekan ini. Sekian banyak rekaman video menunjukkan kekajaman dan kebrutalan polisi terhadap para pendemo, yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar. Polisi menjadi sangat arogan. Termasuk ketika mereka mengejar para pendemo di Makassar, sampai ke dalam masjid. Sejumlah personel kepolisian masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu mereka. Meskipun mereka meminta maaf, kasus ini menunjukkan kepongahan polisi. Ini semua memperlihatkan bahwa Indonesia di masa sekarang ini sedang dalam proses menuju “negara polisi” (police state). Para penguasa cenderung sewenang-wenang. Kesewenangan itu dijalankan, antara lain, melalui kekuasaan kepolisian. Persis seperti yang didefinisikan oleh Wikipedia tadi. Kalau praktik-praktik kekuasaan seperti hari ini berlanjut, bisa jadi Indonesia akan terperangkap menjadi “police state”. Bahaya ini bisa dicegah oleh DPR kalau mereka benar-benar membawa suara rakyat. Sayangnya, DPR juga membiarkan proses menuju “negara polisi” itu. Media massa juga seharusnya bisa ikut mencegah, kalau mereka berfungsi dengan baik dan senantiasa independen. Sayangnya, 90 persen media massa membuang akal sehat mereka mengenai masalah ini. Penulis adalah Wartawan Senior

Mengapa Polisi Beringas?

Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Oleh Kavil Yamin Jakarta, FNN - Sebagai wartwan senior (pernah jadi wartawan Indonesian Observer, Kantor Berita Francis AFP, dan terakhir Kantor Berita Fhilipina PNA) saya punya beberapa kawan polisi. Semuanya enak untuk berkawan. Bahkan beberapa di antara mereka adalah sahabat dekat. Karena itu, saya jadi heran melihat kebringasan polisi dalam menangani aksi massa mahasiswa dan pelajar belakangan ini. Jangankan kepada pengunjuk rasa yang ‘panas’, kepada pengunjuk rasa yang tertib dan santun pun, seperti aksi 22 Mei lalu, mereka tetap beringas. Saya ingat sewaktu menjadi mahasiwa demonstran di Bandung dulu. Setiap rapat-rapat, kumpulan dan pembicaraan kami, kami tau sekali-kali ada intel polisi nyamar jadi mahasiwa. Pura-pura lewat lah. Pura-pura duduk dekat kami lah. Sebagai tindak balasan, kami pun sekali-kali mengirim intel kami ke pihak polisi. Semancam kontra-intelijen. Caranya tak usah diceritakan di sini. Dari intel kami itulah, kami tau bahwa cara penanganan aksi itu tidak sama. Pengerahan polisi untuk menangani suatu unjuk rasa biasanya didahului oleh laporan intel tentang rencana dan besaran aksi. Bila rencana dan besaran aksi itu masih terhitung di bawah kendali polisi, maka yang keluar adalah perintah penanganan standar. Hanya menjaga dan mencegah tindak pengrusakan atau keributan. Persenjataan pun cukup tameng dan pentungan. Bila ada laporan bahwa jumlah massa besar dan berpotensi kerusuhan, maka peralatan pun lebih lengkap, antara lain penyemprot gas air mata. Dan yang tak kurang penting, semacam asupan obat penambah semangat dan keberanian. Penangkapan dan penanganan keras biasanya dilakukan secepat mungkin sebelum massa bertambah besar. Karena semakin besar massa, semakin sulit ditangani dan risiko kerusuhan semakin tinggi. Intel kami waktu itu mengetahui yang diminum sebelum bergerak ke lapangan itu adalah pil BK, atau amphetamin. Tahun 80-an, pil ini suka diminum bareng vodka atau minuman beralkohol lain oleh anak-anak Bengal. Bawaannya jadi berani dan beringas. Jadi kalo berantem ga bakalan lari. Nah, bayangkan kalo obat ini diminum polisi yang mau menangani unjuk rasa. Dibekali senjata api berlaras panjang pula. Mereka tak akan ragu menembak, memukul, tak peduli sasaran lemah atau tak berdaya. Korban sudah tergeletak sekalipun, masih ramai-ramai dihajar juga. Korbannya bisa sampai geger otak, bahkan meninggal dunia. Rasa tega dan kasihan sudah menguap ke langit. Untunglah pada zaman kami, polisi dipersenjatai terbatas. Paling tinggi pistol. Itupun penggunaannya tak sembarangan. Harus ada laporan berapa peluru yang keluar, berapa yang kena sasaran. Kalau masih ada sisanya, harus dikembalikan. Sehingga, kalau pun ada korban, jarang sekali korban nyawa. Paling benjol-benjol kena pentungan. Kalau sampai ada korban nyawa, sudah dipastikan bakal menjadi masalah besar bagi seisi negeri ini. Sekarang, 5-6 nyawa yang melayang, korban berdarah-darah. Polisi masih aman-aman saja. Paling balik menuduh demonstran. “Mereka itu perusuh” atau “mereka itu ditunggangi”. Cara inilah yang biasa digunakan sebagai bentuk pembelaan diri. Lainnya adalah untuk cuci tangan. Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Tragisnya, senjata yang diberikan kepada polisi lebih lengkap dan mutakhir daripada yang diberikan kepada TNI. Orang tau, senjata yang dibawa itu ada auranya. Bila anda bermental lemah tapi menenteng senapan canggih, keberanian anda meningkat drastis. Orang yang menenteng senjata, bawaannya ingin nantang orang aja. Tapi itu bila mentalnya masih lemah. Yang bermental kuat dan dewasa, malah menghindar untuk membawa senjata. Kalau pun harus membawa senjata, itu karena kewajiban semata. Itupun dia berusaha menyamarkannya, supaya tidak menimbulkan ketaknyamanan dan ketakutan bagi orang lain. Pil BK ya. Awas jangan ketuker sama pil KB. Pil BK ini terdiri dari beberapa jenis. Antara lain barbiturate, bromazepam (lexotan), diazepam (valium), flunitrazepam (rohypnol), nitrazepam (mogadon) dan nitradiazepam (nipam). Mengkonsumsi pil BK dengan dosis tinggi mengakibatkan penurunan kesadaran, dan mudah marah. Selian itu, mendorong pemakainya untuk berani melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukannya ketika sadar penuh. Setelah sadar penuh, sipemakai umumnya tidak ingat hal-hal yang dikatakan atau dilakukannya selama terkena pengaruh obat tersebut. Obat ini banyak disalahgunakan karena harganya relatif terjangkau. Jenis lain adalah nuvigil. Pil BK jenis ini bisa membuat sipemakai tetap terjaga dan awas selama tiga hari. Bahkan bisa sampai sepekan. Karena khasiatnya inilah, nuvigil kadang-kadang digunakan oleh militer AS agar tetap awas terhadap musuh. Bila obat untuk militer itu digunakan untuk polisi, maka tingkat keawasan yang ditimbulkannya seperti kewaspadaan terhadap musuh dalam perang. Setiap saat bisa membantai, menembak. Meski yang dihadapinya adalah mahasiwa , ustadz, tenaga medis, atau anak-anak SMK, eeeh, STM. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior

Pembantaian Orang Padang dan Bugis, Serta Runtuhnya Negara di Papua

Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Kita telah berduka besar atas wafatnya 32 orang pendatang di Papua. Jumlah tersebut, terdiri dari 10 orang Padang dan 22 orang Bugis. Sangat tragis, memilukan dan menyesakan dada, karena beberapa diantaranya dibakar. Pada tanggal 23 September lalu, ada korban setelah dipanah. Setelah itu korbannya dibacok, dan dibakar di sebuah pasar di Wamena. Sebuah priklaku dan perbuatan yang sangat biadab, bahkan tidak berprikemanusiaan. Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia. Sampai hari ini Indonesia sebagai Negara, masih dengan Jokowi sebagai presidennya. Kita semua tertutupi oleh kejadian keji ini, karena sibuk dengan gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota Jakarta. Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang, dimana Tentara dan Brimob melawan pasukan Benny Wenda, ketua Papua Merdeka. Bukan juga perang melawan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, perbuatan keji ini adalah pembantaian makhluk hidup yang tidak berdosa. Pembantain terhadap rakyat Indonesia di tanah airnya sendiri. Akar Persoalan Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Paska insiden di Asrama Mahasiswa Papua, di Malang, dan Surabaya. Ketika itu mahasiswa Papua diejek secara rasis dengan sebutan monyet. Akibatnya, rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh tanah mereka, dengan meneriakkan kata merdeka. Kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Kekerasan HAM yang ditenggarai terus berlangsung dari aparatur Negara. Bersamaan waktunya, muncul kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua bahwa masuknya Papua ke dalam NKRI pada tahun 1969 melalui Papera (Penentuan pendapat rakyat) masih menysihkan sejumlah masalah. Kesenjangan sosial itu bersifat horizontal diantara masyarakat. Masalah HAM yang bersifat vertikal antara rakyat terhadap negara memunculkan kesadaran baru di akar rumput rakyat Papua. Kenyataan ini terkait dengan bangkitnya kesadaran regional masyarakat Melanesia di wilayah pasifik. Misalnya, Fiji, Vanuati dan Salomon Ketika masalah rasis ini mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, telah menjadi pemicu yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua. Stabilitas kemanan dan politik di Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua direspon Jokowi dengan mengundang beberapa tokoh-tokoh Papua ke Istana. Sayangnya, Gubernur Papua Lukas Enimbe dan beberapa elit Papua meradang terhadap pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Papua. Gubernur Lukas menyatakan orang-orang yang diundang Jokowi ke Istana tidak mempunyai kredibilitas mewakili persoalan Papua. Mereka hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok mereke. Pendekatan Jokowi selain dialog yang tidak representatif, Jokowi juga mengirim Panglima TNI dan Kapolri ke Papua. Targetnya, Panglima TNI dan Kapolri dapat meredam gerakan-garakan perlawanan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini ke Papua, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi di Wamena. Kerusuhan di Wamena yang berkarakter kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi aparat keamanan. Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Gerakan Rakyat ke Rakyat Kematian balita berusia 4 tahun, dan anak kecil 8 tahun diantara orang-orang non Papua yang terbunuh, menunjukkan kebencian rakyat asli Papua terhadap pendatang sangat kental dan berdimensi luas. Kita pernah mengalami kondisi yang sama di masa lalu, ketika orang-orang Jawa diusir dari Aceh. Peristiwa ini terjadi ketika Gerakan Aceh Merdeka mulai bergolak di Aceh. Pembantaian dengan cara penuh kebencian terhadap pendatang Padang dan Bugis, menunjukkan bahwa bangsa Padang, Bugis dan non Papua lainnya, harus mempunyai orientasi baru dalam melindungi diri. Yakni tidak lagi bersandar hanya pada negara . Orang Padang, Bugis dan non Papua ini juga harus menulis surat ke PBB agar menghukum Benny Wenda, OPM dan juga pemerintahan Indonesia atas kegagalan melindungi orang-orang sipil tak berdosa. Hal ini untuk mencegah adanya gerakan yang berkatagori Genocide, alias pembasmian etnis. Kebencian rakyat asli Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang-orang non Papua di sana. Sebab, orang-orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua. Mereka adalah orang-orang yang merasa bahwa mencari rejeki adalah usaha yang tidak mengenal batas wilayah. Catatan Akhir Kita sangat terpukul dengan pembantaian etnis non asli Papua, yang terjadi di Wamena. Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini. Masalah vertikal dapat didekati dengan berbagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan negara, "at all force dan at all cost." Langkah inilah yang harus segera dilakukan negara. Disamping itu, gerakan antar rakyat Papua dan Non Papua untuk mengeliminir kebencian harus juga dilakukan secara langsung. Inisiatif rakyat ke rakyat langsung antar etnis tanpa menunggu negara hadir. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Institute

Dilema UU KPK, Jokowi Tinggal Sendirian atau "Lengser"?

Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketika berlangsung demonstasi mahasiswa di Jakarta, diantara corat-coret yang ada di jalan, terlihat sebuah coretan menarik: “Jokowi Kemana??” Pertanyaan nakal pun muncul. Apakah Jokowi sudah meninggalkan Jakarta? Ach, tak mungkin! Jokowi yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo. Jika melihat aksi demo yang menolak beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditolak rakyat tersebut, apakah Jokowi bakal mundur sebagai Presiden periode 2014-2019, yang berakhir pada 19 Oktober 2019? Ataukah malah tetap memaksa bertahan hingga bersama Ma’ruf Amin, Jokowi akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024? Saya pernah menulis, “Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!” di Pepnews.com. Dasar hukumnya adalah pasal 6A UUD 1945. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi. Selian itu, tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang kurang dari ataiu di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut versi KPU dan MK), tapi keduanya menang di 26 provinsi. Tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang dua point versi UUD 1945. Sedangkan Jokowi hanya satu poin. Solusinya:,MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo – Sandi. Bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Jika MPR ngotot melantik Jokowi, itu jelas melanggar UUD 1945. Rangkaian pertemuan Prabowo dengan Presiden Jokowi, dilanjutkan pertemuan Prabowo dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Setelah itu, dengan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Pasti ada tujuannya. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu. Meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019. Namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena itu, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sumber hukum. Sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada perintah UUD 1945, karena kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua undang-undang, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 1945, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas ketika pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Tak hanya itu. Melansir Tribunnews.com, Kamis (15 Februari 2018 09:54), anggota BPIP Mahfud MD yang juga pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dalam sebuah talkshow di televisi swasta menyatakan “kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, menurut TAP MPR No.6 Tahun 2001, seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi, enggak usah menurut hukum, saya belum salah gitu. Mundur!” Begitu pula halnya yang tercantum dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Persoalan etika, moral dan norma harus ditempatkan di atas kaidah-kaidah hokum yang berlaku. Bakan yang terjadi sebaliknya. Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma. Dalam perilaku politik yang toleran. Tidak berpura-pura, tidak arogan, serta jauh dari sikap munafik. Tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Jokowi Sendirian Tidak salah, kalau dalam demo mahasiswa terkait Revisi undang-undang KPK dan sebagainya itu, kemudian terselip tuntutan agar Jokowi mengundurkan diri. Dan, untuk tuntutan terkait undang-undang KPK, sepertinya Jokowi akan terbitkan Perpu KPK. Isinya membatalkan revisi undang-undang KPK atau menuundanya. Legislasi reviews dan judicial reviews kemungkinan besar tidak jadi direkomendasi. Artinya, yang akan dilakukan untuk meredam demo mahasiswa adalah tetap diterbitkan Perpu KPK. Salah satu alasan politiknya, presiden tidak tahu jika revisi undang-undang KPK tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Karena Prolegnas merupakan syarat hukum untuk proses penerbitan undang-undang dan revisi undang-undang. Sampai disini, yang kalah adalah DPR. Konsekuensi dan resiko jika penerbitan Perppua adalah Jokowi akan ditinggalkan oleh partai-partai pengusungnya. PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan NasDem sebagai parpol yang memotori revisi undang-undang KPK akan membelakangi Jokowi. Sampai disini Jokowi berpotensi akan sendirian dalam memimpin pemerintahnya lima tahun ke depan. Apalagi, seperti disampaikan Megawati sebelumnya bahwa “PDIP lebih nyaman dengan koalisi barunya”. Partai Gerindra adalah koalisi barunya PDIP. Makanya, pertemuan Prabowo dengan Megawati tersebut merupakan sinyal bahwa Jokowi akan ditinggalkan oleh PDIP. Mantan Ketua KPK yang juga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, persetujuan Istana terhadap DPR untuk revisi undang-undang KPK sebagai bukti tindakan radikal. Sikap ini juga sebagai bentuk penghianatan Presiden bersama DPR terhadap daulat rakyat. Wajar jika kemudian ada tuntutan Jokowi harus turun. Karena dianggap telah melakukan pengkhianatan bersama DPR. Dalam tiga pekan terakhir ini isu politik memang berpusat di DPR dan Jokowi. Misalnya, isu revisi undang-undang KPK, RUU KUHP, RUU Pesantren, RUU P-KS, RUU Pertanahan dan beberapa RUU sensitif lainnya, yang menuai banyak perdebatan. Demonstrasi mahasiswa juga tak hanya di Jakarta, tetapi merambah di beberapa kota besar Indonesia. Korban berjatuhan. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari Immawan Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi korban tewas. Mereka berdua ikut demo dan unjuk rasa mahasiswa yang digelar di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Sebelumnya, dalam aksi mahasiswa di DPR RI, seorang korban mahasiswa Universitas Al Azhar bernama Faisal Amir, kini masih dirawat di RS Pelni Petamburan, Jakarta. Faisal disebut-sebut sebagai keponakan dari Menham Ryamizard Ryacudu. Kembali ke soal undang-undang KPK di atas. “Mengapa undang-undang KPK hasil revisi dibatalkan?” tanya Ketum DPP IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Bambang Sulistomo kepada Pepnews.com. Menurut putra Pahlawan Bung Tomo itu, adanya badan pengawas sebenarnya menisbikan sendiri hasil seleksi yang ketat dari kehormatan dan integritas sebuah panitia seleksi, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga kepresidenan. “Artinya, pimpinan KPK hasil seleksi itu dianggap tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga yang memilihnya sendiri. Sudah pasti badan pengawas akan mencampuri pokok-pokok perkara yang akan digarap KPK,” tegasnya. Mas Bambang menilai, ini sangat berbahaya. Sebab tidak ada contoh di manapun, sebuah badan pengawas bisa mencegah penegak hukum untuk mengumpulkan bukti-bukti tindakan korupsi. Apalagi, kelahiran undang-undang KPK hasil revisi tersebut dianggap para pakar hukum sudah cacat konstitusi. “Mumpung undang-undang KPK hasil revisi itu sampai hari ini belum ada informasi telah ditandatangani oleh lembaga kepresidenan, sebagaiknya batalkan saja demi keutuhan NKRI!” Sebuah pilihan yang sulit bagi Jokowi. Diteruskan akan berhadapan dengan mahasiswa! Tak diteruskan dengan Perpu KPK, bakal ditinggal Parpol Koalisi. Apalagi, BEM se-Indonesia menolak undangan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini sebagai pertanda Jokowi sudah tidak dihargai lagi sebagai Presiden. Tentu, lebih bijak jika Jokowi mundur. Karena kepemimpinannya sudah “dicemooh oleh rakyat sendiri”. Penulis adalah Wartawan Senior

Papua Yang Terluka Dalam Nestapa

Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Jika kita berbicara mengenai Papua, kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, dan penuh masalah. Papua juga mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional. Saban hari media massa nasional, sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan kehidupan masa depan masyarakat Papua. Sebuah harapan dan keinginan yang mampu membawa mereka ke dalam tatanan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang sejahtera, aman dan tenteram. Apakah pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus ,dan negativ adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini? Maka pertanyaan, siapakah yang harus paling bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan tersebut? Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap represi militer para pejuang trikora ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated). Sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan kekayaannya sendiri. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan keinginan Soekarno, yang ingin memerdekakan manusia Papua agar mereka menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri. Pemikiran di atas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua. Namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, dan akibat penculikan dan pemunuhan oleh klik-klik misterius. Pasukan berlaras lalu-lalang saban hari, dari petang dan pagi. Adalah sia-sia meskipun upaya simpatik melalui Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa akhibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemini Militer dan Sipil). Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem pendudukan melalui berbagai cara, termasuk pemekaran. Persoalan di Papua akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar yakni. Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM, termasuk “rasisme” yang merupakan bagian dari penyelesaian politik. Kedua, penyelesaian disparitas regional, terutama kapasitas sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Trauma Yang Masih Berbekas Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme. Yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah Papua hingga kini masih belum mantap. Kenyataan ini disebabkan klaim Indonesia dan Belanda terhadap Papua. Klaim tersebut, baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi. Dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa ketika itu. Sikap yang dilahirkan hanya demi membendung kepentingan dan pengaruh ideologi komunisme internasional. Kebetulan ideologi komonis yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Proses integrasi politik tidak pernah melibatkan rakyat Papua. Dari setiap perundingan, rakyat Papua hanya bertindak sebagai objek. Bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi adalah pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No. 1541 (XV)) tahun 1960. Dimana pada waktu yang bersamaan, di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang masih primitive. Anggapan ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri. Dengan demikian, alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan Pepera yang menggunakan sistem Muasyawarah Mufakat itu adalah munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni negara. Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan. Berbagai pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan, yang semuanya ditujukan kepada objek yang sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua). Pendatang dianggap merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia. Pembunuhan terhadap orang sawo matang, sebagaimana terjadi hari-hari ini di Wamena dan beberapa wilayah di Papua adalah ekspresi perlawanan terhadap Jakarta. Kenyataan ini merupakan uangkapan rasa kekecewaan serta kebencian dari trauma historisme dan sejarah. Trauma penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia. Oleh karena itu, saya menawarkan agar diberikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia. Kita lihat Kanada, yang selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La Francophonie, keturunan Ferancis. Namun selalu saja gagal, dan akhirnya tidak mendapat simpati dunia. Disparitas Ekonomi dan Sosial Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam. Namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong). Namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century). Kondisi masyarakat jaman batu, di abad ke dua puluh satu dulu. Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi, maka ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya. Karena misi pembangunan yang sarat dengan nuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 di masa transisi, ada nuansa pembangunan. Misaslnya, pendirian sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih). Pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya, yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Pembangunan dengan program task forces dan bantuan dana Fundwi serta ADB. Sayangnya, dana-dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Dampaknya adalah dana untuk pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai bila pada saat ini rakyat Papua berada dibawah garis kemiskinan. Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi. Pertimbangannya, orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi. Misalnya, tingkat harapan hidup diperpendek. Selian itu, tinggkat pertumbuhan diperlambat. Angka juga kematian bertambah. Epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, ermasuk juga sistem sosial budayanya. Maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan kebijakan secara serius dan sungguh-sungguh. Perlu Good Will dan Political Will Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? Ini adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme di masa lampau. Kondisi yang serius ini disertai dengan ketertinggalan di bidang sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau? Juga menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentukan untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka? Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet, negeri adikuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD), yang memiliki rudal balistik luncur darat antar benua. Mempunyai kapal-kapal selam berudal nuklir (polaris), dan armada pemboman strategis, disertai persenjataan terlengkap lainnya, bisa saja bubar seperti sekarang ini. Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang. Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama runtuh. Kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua juga runtuh. Pada pertengan abad ke 20, muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis. Juga menyerupai kedua kerajaan di atasnya, yakni Indonesia Raya. Maka, baik Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia Raya menjadi sebuah legenda dan romantisme sejarah anak cucu manusia Nusantara. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Pembela Orang Lemah

Selamat Jalan “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan Yusuf

Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini, dan bahan evaluasi tentang buruknya menghelola pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Senjata itu akhirnya memakan korban. Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari tewas. Rendi meninggal karena tertembus timah panas. Polisi telah merenggut nyawanya Randi. Sontak sore itu wajah gerakan mahasiswa Indonesia berduka. Selang beberapa jam kemudian, M. Yusuf Kardawi, seorang mahasiswa di kampus yang sama mengalami nasib serupa. Yusuf tewas akibat besetan benda tajam yang dilecutkan kepada dirinya. Ketika itu Yusuf ikut melakukan aksi demonstrasi tolak rancangan KUHP dan revisi undang-undang KPK di Kendari, kemarin sore (26/9/2019). Kedua mahasiswa itu gugur sebagai martir. Peristiwa 26 September 2019 boleh jadi merupakan tonggak yang mempercepat akumulasi resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan Jokowi. Segera selepas DPR mensahkan revisi undang-undang KPK, dan mengandekan pembahasan rancangan KUHP dalam Paripurna pekan kemarin itu. Rezim Jokowi telah menggilas kelompok yang dianggap menolak kemauan penguasa. Utamanya para mahasiswa. Perlakukan aparat keamanan yang tidak manusiawi terhadap mahasiswa membuat mereka bergemuruh. Mahasiswa menolak kehadiran aparat yang bertindak represif terhadap demonstrasi mereka. Tidak cuma itu. Bersama kelompok masyarakat lain terutama pelajar STM, mahasiswa sebetulnya gerah melihat kelakuan Jokowi yang mulai otoriter dan represif. Tidak seperti biasanya, dengan wajah yang murah senyum dan ramah. Jokowi kini mulai memainkan kartu kekerasan dalam menindak kelompok yang berbeda haluan dengan pemerintah. Pada penghujung periode pertama kekuasaannya, Jokowi yang boleh dibilang masih balitatersebut, pelan-pelan mulai menampakkan wajah tak ramah kepada yang berlawanan. Melalui operasi-operasi intelejen, penguasa memberangus oposisi, dan gencar melakukan politik belah bambu. Sedianya gerakan mahasiswa 2019 yang diproklamirkan di tengah hiruk-pikuk aksi serentak di 17 kota 25 September 2019. Gerakan ini muncul selepas mereka tidur panjang. Semula hanya dimaksudkan sebagai moral force tanpa sedikitpun menyentuh kekuasaan Presiden. Mereka hanya hendak mengawal para wakil rakyat agar tak gegabah dalam mensahkan undang-undang yang akibatnya punya konsekuensi serius di masa depan pemberantasan korupsi. Dua rancangan undang-undang itu dinilai banyak mengekang kebebasan wilayah privat. Sebaliknya, meringankan hukuman penjara bagi para koruptor maling uang rakyat. Selain itu, membuka celah intervensi negara terhadap wilayah kehidupanpribadi. Semua rencana aturang tersebut dinilai akan membreidel kehidupan mereka kelak. Mereka sadar bahwa 10 -20 tahun ke depan, mereka akan tampil sebagai penerus kepemimpinan. Mereka tak ingin masa depannya dibajak. Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan gerakan “Gejayan Memanggil” dan berikutnya diikuti oleh aksi-aksi besar di 17 kota seantero Republik ini. Gerakan yang tak hanya dikuti oleh civitas akademika. Aksi mahasiswa juga mendapat restu dari orang tua mereka. Tidak salah bila seorang aktivis senior panutan sempat berujar, “telah lahir gerakan mahasiswa milenial 2019”. Aksi demonstrasi 25 September 2019 yang merupakan puncak protes, sekaligus kebangkitan mahasiswa mileneal itu faktanya berakhir tragis. Beberapa kota ketika aksi demonstrasi berlangsung damai, aparat keamanan melakukan provokasi dan tindakan represif terhadap mereka. Walaupun demikian, tidak ada perlawanan berarti dari para mahasiswa. Tindakan represif itu rupanya terus dilanjutkan dalam penanganan aksi-aksi demonstrasi pada hari-hari berikutnya. Puncaknya adalah Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi kado pahit bagi gerakan mahasiswa milenial. Mereka berdua gugur akibat perlakuan kasar dan represif aparat keamanan yang semestinya menjaga aksi-aksi mereka dengan penuh kesabaran dan penghormatan terhadap HAM. Atas nama stabilitas, tindakan represif boleh dilakukan. Tujuannya untuk menopang kekuasaan Jokowi dalam hari-hari lima tahun ke depan. Kekuasaan yang semula dinilai berwajah santun ternyata menyimpan bara kekereasan yang brutal dan bringas. Tindakan represif yang brutal dan bringas pemerintah Jokowi tidak hanya dalam menghadapi aksi-aksi mahasiswa kemarin saja. Beberapa kasus dalam suasana Pemilu, tindakan represif yang brutal dan bringas juga dilakukan. Sebut saja, peristiwa rusuh 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu. Ratusan warga sipil hilang dan puluhan diantaranya meninggal diterjang timah panas. Tentu kita tak berharap tindakan represif yang brutal dan bringaas itu langgeng digunakan dalam aksi-aksi mahasiswa ke depan. Randi dan M. Yusuf Kardawi adalah martir pertama bagi gerakan milenial. Kematiannya akan menjadi inspirasi perlawanan baru. Bahkan mungkin bisa menjadi rusuh politik pertama dalam sejarah pergerakan mahasiswa milenial pada era Jokowi. Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini dan bahan evaluasi tentang buruknya pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Kapanpun perlawanan itu akan meletup dalam bentuk lain. Bisa berupa amuk, rusuh, dan amarah publik yang tak terduga sebelumnya. Intrik politik dari lingkar dalam kekuasaan yang tak mampu terselesaikan secara terbuka juga menjadi salah satu pemicu. Intrik ini akan melahirkan aksi main tikam belakang, yang sejatinya menjadi penyebab semua persoalan hari ini. Karena itu, reformasi politik 1998 adalah berkah yang tak boleh kita ingkari. Korupsi adalah komitmen bersama segenap bangsa yang mesti dilawan dengan tegas dan ketat. Sengkarut ekonomi dan politik tak dengan sendirinya pupus, kendati pemberantasan korupsi diketatkan. Dengan menggunakan pilihan politik demokrasi, sebuah persoalan bangsa bisa diatasi. Diselesaikan melalui mekanisme terbuka, adil dan penghormatan terhadap HAM. Pada panggung demokrasi itu, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat juga mendapat termpat yang mulia di panggung demokrasi. Oleh sebab itu, siapapun yang berkuasa hari ini jangan pernah bermimpi mengembalikan Indonesia ke masa lalu. Jangan pernah membunuh demokrasi dengan timah panas sebagai alat represif. Budayakan bangsa ini menyelesaikan setiap perbedaan pendapat dengan dialog. Bangsa ini butuh tokoh-tokoh muda kritis berintegritas untuk menyampaikan pesan kebangsaan. Untuk menuntaskan pekerjaan rumah reformasi yang belum tersentuh dan terselesaikan. Selamat jalan wahai “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan M. Yusuf Kardawi. Semoga adinda berdua khusnul khotimah di sisi Allah SWT, amin amin amin. Penulias adalah Praktisi Hukum dan Mantan Aktivis ‘98

Aturan Yahudi Menghancukan Rumah Tangga Indonesia

By Mohammad Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Betapa bernafsunya para penghancur NKRI. Dengan segala cara mereka berupaya mau menghancurkan bangsa Indonesia. Bukan hanya dari sisi penegakkan hukum terhadap para koruptor, tetapi juga pada aturan berumah tangga. Mereka berusaha mengcopy dan menciplak semua aturan-aturan Yahudi. Dan dengan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM), mereka bawa aturan-aturan Yahudi ke Indonesia untuk menjadi undang-undang Sekitar 21 tahun lalu, tepatnya di tahun 1998, sewaktu masih sekolah di Amerika, atas saran dan usaha teman warga Indonesia, ada keinginan penulis untuk membawa keluarga tinggal di Amrika. Tetapi rencana tersebut urung dilaksanakan. Karena ada urusan perundang-undang di Amerika yang menyatakan istri bisa penjarakan suami kalau memaksa istri melakukan hubungan suami istri. Nah bisa bahaya saya. Namun itulah orisinil aturan Yahudi yang dipraktekan di Amerika. Sehingga keharmonisan dan kesakralan rumah tangga sangat jarang ditemukan di Amerika. Sebab dengan aturan itu, banyak wanita atau para isteri di Amerika menjadi durhaka sama suaminya. Dan akibatnya, angka kumpul kebo jangan tanya lagi. Namun demikian, ada satu fenomena menarik yang terjadi disana. Yaitu para pria Amerika, umunya Afro Amrika senang menikah dengan wanita Indonesia yang eks Tenaga Kerja Wanita (TKW). Yang lebih menakjubkan lagi adalah para pria Amerika itu mengikuti agama istrinya, yakni dengan masuk Islam. Mereka kalau bikin acara untuk kumpul-kumpul untuk silaturahmi, selalu di hotel bintang lima. Penulis pernah bertanya kepada salah satu staf KBRI di Washinton, “kenapa para wanita kita bisa seperti itu”? Mereka sangat dimuliakan oleh suaminya orang Aemrika tersebut? Staf KBRI itu menjawab bahwa “para wanita kita itu pintar dalam melayani suami, seperti dalam aturan Islam”. Bukan seperti wanita sini yang pakai aturan Yahudi. Wajar saja kalau suami mereka begitu sangat memuliakan istrinya yang asli Indonesia. Kebetulan penulispun menyaksikan sendiri suasana tersebut secara langsung. Karena mereka suka panggil penulis untuk mengisi acara-acara pengajian di peguyuban mereka. Anehnya, di Amerika sendiri masyarakatnya sudah merasa bosan dan jenuh dengan aturan Yahudi ini. Kita malah sok-sokan mau menerapkan aturan sampah ini di Indonesia. Alasan yang digunakan adalah mereka berlindung dibalik isu hak asasi manusia. Yang lebih menyedihkan lagi, para wanita berjilbab tampil di depan sebagai agen utama penerapan aturan iblis ini, bangga mengaku-ngaku diri Islam. Inilah salah satu cara ingin menghancurkan rumah tangga rakyat Indonesia. Terutama rumah tangga kaum muslimin. Aturan-aturan Yahudi mereka bawa ke negeri ini dan dipaksakan jadi undang-undang melalui anggota DPR yang rakus dengan duit, karena sudah mau habis masa jabatannya. Undang-undang ini sama berbahaya dengan kebodohan merevisi undang-undang tentang KPK. Dua-duanya ingin menghancurkan peradaban yang beradap di negeri ini. Untuk itu, kita bangsa Indonesia harus melawan dengan segala cara untuk menggagalkan penerapan kedua undang-undang tersebut. Perlawanan juga wajibn dilakukan juga terhadapa rancangan undang-undang lain yang merugikan rakyat Indonesia. Tidak terkecuali terhadap rancangan undang-undang yang mengatur denda Rp 10 juta bila binatang peliharaan berkeliaran bebas di luar rumah. Sehingga mulai sekarang merka yang pelihara ayam pun harus hati-hati, karena bisa kena denda Rp 10 juta. Denda terhadap ayam yang berkeliaran Rp 10 juta. Sedangkan perbuatan memaksa istri berhubungan badan (perkosa istri) juga bisa dipenjara selama 12 tahun. Jadi, ayam berkeliaran dan perkosa bini hukumannya begitu berat. Sungguh undang-undang yang bernuansa primitive, karena merendahkan derajat manusia yang sudah dimuliakan oleh Sang Maha Memuliakan manusia, Allah SWT. Persoalan demi persoalan menyesakan kini menguras akal sehat rakyat Indonesia di rezim ini. Persoalan seakan tak henti-hentinya datang silih berganti. Kalau sudah begini, ini rezim harus dihentikan kalau Indonesia mau maju. Kalau Indonesia mau meminimalisir masalah. Namun bila yang mau tetap bertahan dengan kondisi ini, maka biarkan saja rezim ini berlanjut dua priode. Tunggu kehancuran bangsa ini. Semoga tidak terjadi dan berakhir sampai disini. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Wallahu A'lam bissawab ... Penulis adalah Ustadz Kampong

Mahasiwa Mengoreksi Sisi Manipulatif Rule of Law

Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Unjuk rasa, sering disebut demonstrasi mahasiswa beberapa hari ini, menunjukan ada masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat mereka tak cukup rela membiarkan elit politik mendefenisikan sendiri rule of law dan supremasi hukum. Mereka seperti memastikan bahwa rule of law dan supremacy of law, untuk alasan apapun bukan hukum. Rule of law adalah konsep politik tentang bagaimana sebuah negara seharusnya diselenggarakan. Dari sejarahnya gagasan ini muncul pada abad ke-17. Gagasan ini menempatkan hukum di atas segalanya. Menggantikan tatanan sebelumnya, yang menempatkan orang penguasa diatas segala segalanya. Konsep ini mencegah demagog konyol dan tiran lembut sekalipun memegang kekuasaan. Tetapi pada level tertentu rule of law dan supremacy of law bisa berubah menjadi racun untuk bangsa. Ini terlihat dimengerti mahasiswa. Rule of law dan supremacy hukum mengasumsikan bahwa hukum dibuat, diciptakan, tentu dipikirkan, direncanakan dan diarahkan. Mahasiswa mengerti bahwa dengan begitu itu, maka semua gagasan buruk, seburuk apapun bisa dimasukan ke dalam tubuh hukum itu. Dapat dipastikan mahasiswa mengerti juga bahwa rule of law dan supremacy of law menyediakan kesempatan untuk dibelokan. Dibelokan dengan cara memasukan gagasan-gagasan yang mewakili kepentingan tertentu dan menguntungkan kelompok tertentu. Mereka sepertinya tahu ini kelemahan terbesar rule of law dan supremacy of law. Menariknya, kelemahan fundamental tersebut dikenali dengan sangat baik dan jelas oleh kapitalis-kapitalis cerdas. Mereka para kapitalis tersebut lalu mencoba manipulasi rule of law dan sufremacy of law dalam makna mengubahnya. Targetnya untuk mengamankan kepentingan mereka. Tipis Sekali Mengenal sisi mematikan rule of law, memerlukan penalaran kritis. Begini nalarnya; rule of law menjadikan hukum sebagai pranata tertinggi dan formal dalam kehidupan bernegara. Pada segala aspek bernegara. Begitulah postulatnya. Kapitalis global sangat tahu tentang postulat ini. Postulat ini merangsang mereka berpikir kalau begitu nalarnya, maka kita harus menguasai pembentuk dan penegak hukum. Fakta inilah yang sekarang diprotes dengan keras oleh mahasiswa, hampir di seluruh kota-kota besar Indonesia Agar terlihat benar, maka langkah selanjutnya adalah promosikan rule of law. Diatas landasan rule of law, hukum seburuk apapun, tetapi menyandang sifat hukum sebagai hukum yang sah. Karena sah, maka harus ditaati, suka atau tidak. Toh rule of law menolak semua argument apapun, terutama legitimasi politik untuk menantang keabsahannya. Legitimasi tidak diterima oleh rule of law sebagai argumen legal menyangkal daya laku dan daya ikat hukum. Sekali negara dengan cara yang ditetapkan hukum menetapkan sesuatu menjadi peraturan, maka sejak saat itu peraturan itu sah menjadi hukum. Konsekuensinya, suka atau tidak, senang atau tidak senang, hukum itu harus ditaati. Dijadikan panduan dan tuntunan dalam bertindak.Titik. Akhirnya, rule of law terlihat indah, hebat dan mengagumkan. Keindahan itu dibantu oleh sejarahnya yang panjang. Yang kemunculan awalnya memancarkan naiknya mozaik peradaban baru. Pada Negara-negara barat, ide ini menemukan elannya pada akhir abad ke-17. Diawali dengan glorius revolution di Inggris pada tahun 1688. Revolusi ini mengubah secara radikal kebiasaan dan dominanya supremasi orang, dan Raja, ke supremasi hukum. Revolusi ini mengubah secara radikal institusi-isntitusi politik korup menjadi inklusif. Tetapi itu hanya sisi luar, bukan sisi dalamnya. Sisi internal rule of law, khususnya hukumnya menyediakan ruang, substansinya dan menampung gagasan kolutif, gelap dan hitam. Sisi ini diketahui benar bahwa para perencana penguasaan sumberdaya ekonomi dunia. Pada yang umumnya meraka itu adalah kaum kapitalis. Itu sebabnya kelompok pecundang yang tak terjamah ini selalu bergerak. Mereka dengan mudah semua sumberdaya yang tersedia menguasai hukum. Dengan cara itu membawa mereka tetap menjadi kelompok tak terjamah oleh hukum. Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global. Pasar global yang juga berfungsi sebagai pasar gagasan inilah, maka multinational corporation dan lembaga multinasional resmi lainnya mendesakan gagasan-gagasan mereka. Semua gagasan itu bernilai ekonomis. Gagasan feminism, multikulturalisme, seks bebas, dan sejenis sebagai tipikal kesamaan hak, dijejalkan habis-habisan. Gagasan-gagasan itu dibungkus dengan pemikiran konstitusionalisme. Konsep besarnya adalah Cosmopolitan Constitution dan Global Constitutionalism. Orang berakal tahu bahwa cara itu cerdas, tetapi mematikan. Orang berakal tahu kaki tangan kapitalis global ambil bagian mengampanyekan semua gagasan di atas. Termasuk tahu cara mereka merambah kakayaan masyarakat local. Caranya, dengan mengampanyekan apa yang disebut local wisdom. Mereka membenarkan negara berperan besar dalam kehidupan masyarakat, tetapi disisi lain mereka juga mengasingkan negara dari kehidupan masyarakat itu. Mengakui hak masyarakat lokal yang memiliki asset ekonomi adalah cara kapitalis mengasingkan negara. Menghormati masyarakat lokal itu, bernilai hukum dengan cara membiarkan masyarakat bersangkutan mengatur sendiri kehidupannya. Mau diapakan asset ekonomi mereka, sepenuhnya urusan mereka. Itu hebatnya. Padahal konsekuensinya tersedia jalan hukum bagi para kapitalis yang hendak menguasai asset ekonomi dalam masyarakat itu bernegosiasi langsung dengan mereka. Negara tidak bisa ikut campur, karena hukum telah menetapkan batas jangkau negara terhadap masyarakat itu. Tujuan akhirnya menguasai sumberdaya ekonomi di dalamnya. Tidak lebih. Kesadaran Subyektif Semua tipikal rule of law di atas jelas mematikan. Itu sebabnya demo mahasiswa kali ini, seperti yang sudah-sudah, mesti diterima dengan lapang dada. Demo ini, tentu dengan serangkaian kelemahan kecil yang tersaji secara kasat mata. Mesti harus diterima sebagai kekuatan lain yang dimiliki bangsa ini dalam memelihara eksistensi hukum. Tidak ada omong kosong terbesar selain mengatakan bahwa demokrasi terpelihara sepenuhnya dengan mengandalkan rule of law dan supremasi hukum. Sejarah telah cukup menyajikan kehebatannya bahwa demokrasi, dimanapun memerlukan norma dan kaidah non hukum untuk memelihara eksistensi, dan mempromosikan sisi baiknya. Demokrasi akan mematikan. Dimokrasi bisa membuat banyak orang tak berdaya, bila hanya mengandalkan hukum. Agar tak mematikan, demokrasi di negeri manapun di dunia, memerlukan dan menyodorkan, serta mengandalkan norma-norma non hukum untuk memeliharanya. Norma-norma non hukum itu, idealnya dimengerti dan dipraktikan oleh elit penguasa, ekonomi dan politik. Norma-norma non hukum itu harus dimiliki oleh pelaksana semua cabang kekuasaan; pemerintah, legislatif dan yudikatif. Pelaksana kekuasaan-kekuasaan ini harus mengerti betul tentang masalah ini. Tidak hanya itu, mereka juga harus memiliki keberanian untuk menunaikannya. Norma itu bisa berbentuk “tidak mentang-mentang” atau “tahan diri” atau “toleransi.” Karena norma ini bersifat non hukum, maka diperlukan kebijaksanaan luarbiasa. Diperlukan kematangan jiwa yang luar biasa, khas orang bijak. Orang bijak tahu dan mampu mengenali sombong dan angkuh. Tahu juga bahwa sombong dan angkuh selalu membakar dirinya, juga membakar bangsa. Norma itu, seperti ditunjukan pada sejarah demokrasi di negeri lain, berfungsi sebagai penyaring. Juga berfungsi sebagai benteng dan penangkal gagasan buruk. Benteng ini jauh lebih tahan dari hukum, rule of law. Mereka tahu bahwa sesuatu yang sah menurut hukum, mungkin tidak pantas menurut norma-norma ini. Tetapi memang beroperasinya norma-norma jenis ini sepenuhnya bersandar pada kesadaran subyektif setiap orang. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Tertante

Amukan Mahasiswa

Mahasiswa membaca, meta-yuris terhadap produk hukum itu "kering dari nalar keberpihakan kepada rakyat". Nalar kekuasaan yang lebih mendominasi. Bukan nalar keadilan social demi rakyat. Karena itu "kecurigaan" mahasiswa menjadi sangat wajar dan perlu. Sebab kekuasaan tidak memberikan penjelasan yang terbuka pada mahasiswa dan masyarakat luas. Oleh Dr. Ahmad Yani SH MH.. Jakarta, FNN - Sudah Dua hari ini amarah mahasiswa terus menggeliat. Interupsi yang sangat keras, bergerak dari berbagai arah. Menghiasi seluruh ruang ruang dan media. Publik tersentak melihat itu, riuh tepuk tangan menyambut. Amarah terjadi di berbagai daerah, dari semua kampus. Sebuah gelombang kemarahan besar yang menggetarkan singgasana kekuasaan. Wajah kekuasaan kelihatannya lesu, memandang protes sosial yang begitu membludak, tak disangka awet dan semakin menggelinding seperti bola salju. Ini amarah yang "liar". Tidak didominasi oleh remote kontrol "makelar" atau oligarki politik. Gerakan yang lahir dari perasaan yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan dan tirani regulasi kekuasaan. Saya memantau "kerumunan" amarah itu. Melihat wajah pemuda yang bersemangat dengan keringat di bawah asap gas air mata dan tembakan water canon yang keras. Mereka tidak mundur dan putus asa. Justru semakin kuat dan membludak. Solidaritas bahkan meningkat. Mahasiswa di berbagai daerah seakan-akan menerima transfer emosi itu. Kemudian sepanjang hari amarah itu menghasilkan letupan-letupan besar. Potret ini menggambarkan mekarnya idealisme dalam diri mahasiswa. Idealisme yang lahir dari kegelisahan yang terakumulasi, karena negara sedang dalam keadaan tidak baik. Panggilan sejarah telah tiba, siklus 20 tahunan semakin menguat. Dulu ada sejarah dari para legenda pergerakan, seperti angkatan 66, 74 dengan tokoh sentralnya Hariman Siregar. Angkatan 78 munculnya Rizal Ramli dan kawan kawan. Angkatan 80 Syahganda Nainggolan, Eggie, Fery Julianto, Jumhur Hidayat, dan kawan-kawan. Angkatan 98, ada Fahri Hamzah, Anies Baswedan, Ubaidilla Badrun, Masinton Pasaribu, Adrianto, Pius, Fadli Zon, Andi Rahmat, Rama Pratama dan kawan-kawan, yang melihat dengan tajam kejahatan kekuasaan otoriter Orde Baru. Mereka lalu berteriak memecahkan ufuk untuk melaporkan ketidakadilan itu pada Tuhan. Tuhan mendengar dan meluluhlantakkan kezaliman itu. Arogansi kekuasaan tampil dengan wajah anti kritik dan anti dialog yang selalu dipersepsikan oleh kalangan mahasiswa untuk dilawan dan ditumbangkan. Rakyat menjerit kekuasaan melanggeng. Keadilan menjadi "yatim piatu". Kebenaran hanya menjadi milik segelintir orang yang sedang berkuasa. Kesejahteraan kemanakah engkau pergi meninggalkan para mustadafin, yang merana karena penindasan? Kekuasaan buta terhadap kemeralatan, tuli terhadap rintihan rakyat. Inilah yang memompa emosi mahasiswa. Mereka gelisah melihat kondisi politik dan kebangsaan yang semakin jauh dari janji janji kemerdekaan. Sejarah kini mengulang sebuah peristiwa, sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh kita di masa lalu. Sejarah tentang perlawanan kaum intelektual terhadap kekuasaan yang dzolim. Panggilan sejarah yang memekakkan telinga, dan menggetarkan nurani. Menyeru kita dalam satu nafas perubahan yaitu menuju Indonesia yang maju, tanpa monopoli kebenaran di tangan penguasa. Mahasiswa dipanggil lagi untuk menunaikan tugasnya, tugas untuk mengibarkan bendera idealisme yang selama ini terhenti pasca refirmasi 20 tahun lalu. Kenapa Mahasiswa Begitu Marah? Revisi beberapa undang undang seperti UU KPK, KUHP, Pemasyarakatan, Pertanahan, Ketanagaan kerja, dan Pembentukan UU PKS, dianggap sebagai pemicu utamanya. Politik hukum dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden menurut mahasiswa tidak berpihak pada “kepentingan rakyat”. Tetapi saya membaca sebuah gejala yang lebih besar terkait gerakan mahasiswa. Masalah Politik hukum dalam pembentukan UU yang diduga ada “penyelundupan kepentingan tertentu “ yang jauh dari semangat demokrasi pancasila. Hanya kepentingan oligarki pemilik modal dan kekuasaan semata. Spirit Pancasila adalah merupakan meta-yuris bagi politik hukun dalam pembentukan UU tidak dijadikan landasan. DPR dan Pemerintah menjauh dari spirit Pancasila dalam mengeluarkan produk hukum. Seharusnya setiap produk hukum, harus mencerminkan meta-yuris itu. Bahwa setiap peraturan perundang-undangan, wajib mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan berkeadilan. Mahasiswa membaca, meta-yuris terhadap produk hukum itu "kering dari nalar keberpihakan kepada rakyat". Nalar kekuasaan yang lebih mendominasi. Bukan nalar keadilan social demi rakyat. Karena itu "kecurigaan" mahasiswa menjadi sangat wajar dan perlu. Sebab kekuasaan tidak memberikan penjelasan yang terbuka pada mahasiswa dan masyarakat luas. Bukan hanya regulasi yang tidak memberikan kepastian dan keadilan. Masalah lain yaitu, tersumbatnya aspirasi. Terputusnya komunikasi antara elit penguasa dan rakyat, serta tirani regulasi. Intinya bukan hanya masalah UU KPK dan RUU KUHP, tetapi masalah bangsa yang secara keseluruhan. Sebuah ilustrasi yang menarik untuk memahami gejala gerakan mahasiswa saat ini. Ilustrasi itu dapat kita baca dalam karya yang ditulis George Orwell. Hidup dalam ketimpangan, penindasan dan, keinginan untuk bebas dan berdiri di atas kaki sendiri mendorong makhluk dalam "kandang" suntuk bergerak menantang kekuasaan tuan mereka. Sekelompok binatang yang digambarkan dalam Animal Farm, mampu "mengguncang singgasana" tuan mereka dan mengusirnya dari tempat tinggalnya karena persoalan ketimpangan, ketidakadilan dan ancaman tirani sang tuan. Hasrat untuk hidup bebas dari segala penindasan, kemauan untuk merubah keadaan yang sudah mulai tidak bersahabat dengan nurani keadilan, mendorong gerakan perubahan yang sangat kuat, bahkan mempersingkat sirkulasi kekuasaan. Pada saat yang sama kondisi ekonomi, kemerosotan, dan perilaku penguasa dan elite politik yang menimbulkan distrust dan memperkecil legitimasi, sehingga mempermudah terjadinya gejala pembangkangan itu. Masalah-masalah inilah yang membuat gerakan mahasiswa itu semakin menguat, bahkan membentuk satu kekuatan moral yang kuat bagi mahasiswa untuk memperhebat tekanan kepada kekuasaan. Kemana Arah Gerakan Mahasiswa? Banyak analisa yang bertebaran bahwa gerakan mahasiswa akan berhenti pada persoalan rencana revisi beberapa UU dan Pembentukan UU baru, Ujung dari gerakan ini seperti biasanya akan berhenti dan tenggelam dengan munculnya isu baru. Tetapi menurut saya, pergerakan ini akan bertahan sampai menemukan titik klimaksnya. Yaitu terpecahnya masalah ekonomi , keadilan dan sosial dalam masyarakat. Gerakan ini menurut saya tidak berakhir hanya karena tuntutan sebatas dengan Revisi dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sedang diperbincangkan, tetapi lebih jauh, yaitu untuk mengakhiri ketimpangan sosial, ekonomi dan ketidak adilan yang dialami dan dirasakan oleh rakyat. Gerakan Mahasiswa sudah berjalan, diberbagai daerah tuntutannya yang awal berbeda seperti persoalan pertanahan, defisit BPJS dan kenaikan Biaya BPJS, Ekonomi yang sedang tekor, kenaikan BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), tenaga kerja asing (cina), kebakaran hutan yang meluas terjadi di mana-mana dan penegakkan hukum yang timpang. Kemarahan mahasiswa yang pada awal dipicu oleh hal yang sektoral, kini berubah menjadi besar. "Menggonggong" kekuasaan yang tidak mampu memberikan solusi bagi banyaknya persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi. Dengan demikian, jelas gerakan mahasiswa ini merupakan moral of force ditengah runtuhnya moralitas elit. Gerakan Mahasiswa ada sosial of control ditengah masyarakat yang sudah mulai kehilangan daya kontrolnya akibat kekuasaan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Gerakan Mahasiswa adalah agen of change ditengah kondisi bangsa yang sudah tidak punya arah lagi. Oleh sebab itu gerakan mahasiswa hari ini merupakan jawaban atas akumulasi persoalan bangsa yang dinilai tidak mampu lagi diselesaikan oleh kekuasaan dan elite politik. Bahkan kalau kekuasan terus merawat kegelisahan mahasiswa ini, tidak menutup kemungkin kekuasaan lepas dari singgasanannya. Seperti Bola Salju Pada saat gerakan semakin kuat, singasana kekuasaan merasa gerah, maka muncullah narasi ditunggangi. Narasi ditunggangi ini saya menyebutnya sebagi "tirani narasi". Dimana setiap Gerakan mahasiswa selalu dituduh didalangi oleh pihak tertentu, tanpa alasan dan data yang jelas. Itu bagian dari tirani narasi. Tirani narasi bertujuan untuk membungkam dan meredam gerakan mahasiswa. Kekuasaan sengaja menciptakan narasi ditunggangi untuk membuat apatis para mahasiswa yang berujung pada saling curiga. Namun yang terjadi sebaliknya, gerakan mahasiswa tidak redam, malah justru menggelinding semakin besar. Dalam tirani narasi itu, muncul gerakan yang mencengangkan. Sekelompok siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) bergerak secara massif dan sangat berani. Gelombang gerakan Siswa ini bangkit kembali setelah puluhan tahun tengelam, yaitu gerakan KAPI yang ikut menumbangkan kekuasaan orde lama. Gerakan yang begitu lincah dan berani, serta “ Garang” dari siswa STM menimbulkan tanda tanya. Bahkan keberanian mereka justru mengalahkan keberanian seniornya yang sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Disaat narasi yang memojokkan gerakan mahasiswa, justru gerakan semakin menguat. Simpati masyarakat begitu kuat, dan dengan simpati pula siswa STM bergerak. Ini solidaritas yang sulit dibaca dengan analisa biasa, sebab solidaritas ini justru datang dari kelompok siswa yang dianggap masih labil. Bagi Saya ini sebuah gejala yang harus diperhatikan dan butuh wawasan dan pikiran yang jernih untuk memahami gerakan yang muncul ini. Gejolak yang terjadi akan menjadi amukan yang keras kalau tidak muncul kesadaran negarawan dari para elit yang berkuasa. Sebab munculnya tuduhan terhadap gerakan mahasiswa tidak menyulutkan "kemarahan" dan kegelisahan publik. Sekarang yang bergerak bukan hanya mahasiswa, simpati datang dari berbagai lapisan masyarakat. Arahnya akan menuju pada "amukan massa" yang kuat dan tentu akan menggoncang singgasana kekuasaan. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Dosen Fak. Hukum, Fak. Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Vice Presiden KAI

Siapa Berani Menunggangi Anak-anak STM?

Anak-anak STM yang selama ini dipandang sebelah mata, tukang tawur, biang rusuh, tetiba menjadi pahlawan. Level “kepahlawanan” mereka tak kalah dibandingkan para kakaknya, mahasiswa. Oleh Hersubeno Arief Indonesia tiba-tiba punya super hero baru. Mereka adalah pelajar STM. Foto, video dan aksi mereka di sekitar Gedung DPR menguasai pemberitaan media. Di media sosial lebih heboh lagi. Ada yang membuat meme dan menyebut mereka sebagai the real Avengers, merujuk fim super hero Amerika. Tagar #STMMelawan menjadi trending topic dan menguasai dunia maya. Nama STM tampaknya sengaja tetap disandang — bukan SMK (Esemka) — karena terkesan lebih garang dan legend. Apalagi nama Esemka sudah poluted. Tercemar karena digunakan secara over, sebagai pencitraan oleh Presiden Jokowi. Munculnya ribuan pelajar pada aksi Rabu (24/9) menjadi kejutan terbesar kedua, yang mengguncang jagad politik Indonesia. Sebelumnya, gerakan mahasiswa yang lama mati suri, tiba-tiba muncul seperti air bah. Banyak yang kesulitan mendefinisikan, apalagi menjelaskan fenomena munculnya aksi mahasiswa di seluruh Indonesia ini. Dipastikan kita akan lebih kesulitan lagi untuk menjelaskan fenomena #STMMelawan. Yang sudah pasti, dua aksi ini akan menjadi catatan paling menarik dalam sejarah kontemporer politik Indonesia. Pelajar STM yang selama ini identik tukang tawuran, tiba-tiba menjadi hero yang dielu-elukan di medsos. Aksi-aksi mereka menyita hampir semua ruang percakapan medsos. Mulai dari aksi heroik mereka menghadang serbuan water canon polisi, aksi mereka mengejar polisi lalu lintas, sampai suasana mengharukan ketika mereka berbaris antri mencium tangan seorang nenek-nenek. Semua viraaaalllll…… Garang, radikal, tapi tetap menjunjung norma sopan santun. Menghormati dan takzim terhadap orang tua. Barangkali inilah peristiwa yang paling tepat untuk menggambarkan sebuah momentum: FROM ZERO TO HERO! Anak-anak STM yang selama ini dipandang sebelah mata, tukang tawur, biang rusuh, tetiba menjadi pahlawan. Level “kepahlawanan” mereka tak kalah dibandingkan para kakaknya, mahasiswa. Banyak mahasiswa yang hanya bisa geleng-geleng kepala, memandang takjub aksi pelajar STM. Angkat topi! Mereka jauh lebih berani, lebih nekad, tapi juga lebih sistematis dan terorganisir dibandingkan mahasiswa. Jam terbang mereka “mengorganisasikan,” dan praktik tawuran di lapangan, harus diakui jauh lebih tinggi dibandingkan mahasiswa. Siapa yang menunggangi? Berbeda dengan aksi mahasiswa, kali ini tidak muncul lagi pertanyaan nyinyir: Siapa yang menunggangi mereka? Selain kaget, memang agak sulit menarik-narik aksi pelajar STM ini ke ranah politik. Seorang pelajar STM membisikkan, mengapa mereka bisa dengan cepat terorganisir dan begerak. Selama ini mereka punya group percakapan di medsos (WAG) yang dipergunakan untuk membuat event tawuran. Di WAG ini mereka sering membuat janji dengan sekolah mana, kapan, jam berapa dan dimana tawuran akan diselenggarakan. Kali ini WAG ini mereka gunakan untuk mengorganisir aksi di Gedung DPR. Sangat efektif. Hanya dalam waktu singkat mereka bergerak ke gedung DPR. Tak perlu memikirkan ongkos transportasi. Mereka terbiasa “membajak” kendaraan umum yang lewat. Termasuk truk trailer pengangkut kendaraan yang lewat. Genk-genk di beberapa sekolah yang selama ini saling mengintai, dan mengincar bersatu padu. Jadilah aksi seperti yang kita saksikan bersama. Heroik….tak kenal takut. Benar seperti aksi mahasiswa, aksi pelajar ini juga mengalami pengembosan. Buzzer pemerintah dan polisi mencoba mengaitkannya dengan kelompok tertentu yang menungganginya. Melalui akun @TMCPoldaMetro polisi sempat mengabarkan menangkap sejumlah mobil ambulans Pemprov DKI sebagai penyuplai batu pengunjukrasa. Berdasarkan mesin pemantau percakapan Drone Emprit, isu adanya mobil ambulans penyuplai batu ini banyak dicuitkan oleh akun-akun pendukung pemerintah. Top influencer pemerintah @OneMurtadha, @Yusuf_dumdum berada dalam kluster yang mencoba membelokkan isu ini. Laman CNN.com malah menyebut buzzer top pendukung Jokowi @dennysiregar7 malah lebih dulu mengunggah konten itu sebelum TMCPoldaMetro. Isu ini arahnya jelas. Yang disasar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sangat kelihatan sekali benang merah dari pendukung pemerintah. Mereka mencoba membelokkan dan menggembosi berbagai aksi. Mereka menerapkan kembali ramuan lama, hantu Islam Radikal. Mereka coba membangun opini aksi ditunggangi oleh kelompok oposisi, khususnya umat Islam. Dalam aksi mahasiswa, yang dituding menjadi penunggang adalah kelompok radikal dan khilafah. Sementara pada pelajar STM Anies Baswedan. Seorang gubernur yang didukung oleh kalangan muslim. Sayangnya dagangan politik yang sukses dijual pada pilpres lalu dan sukses menghancurkan Prabowo, kali ini tidak laku. Dalam aksi 21-22 Mei polisi juga menangkap sopir mobil ambulans milik Partai Gerindra. Tuduhannya sama. Menyuplai batu untuk pengunjukrasa. Publik tidak lagi percaya isu itu. Apalagi belakangan polisi mengakui salah. Tidak benar mobil ambulans milik Pemprov DKI dan PMI itu menjadi penyuplai batu. Modus mencari kambing hitam, menuding adanya kelompok -kelompok yang menunggangi aksi, tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam beberapa kasus pemerintah sering salah memahami anotomi persoalan. Mulai dari kasus Papua, kebakaran hutan, dan aksi unjukrasa mahasiswa dan pelajar STM. Dalam kasus Papua Presiden Jokowi mengundang 61 orang yang disebut sebagai tokoh dan kepala suku. Namun ternyata figur yang diundang bukanlah representasi masyarakat Papua. Gubernur Papua dan sejumlah tokoh protes. Kerusuhan terus berlangsung. Peristiwa terbaru dalam kerusuhan di Wamena puluhan orang tewas. Kali ini sebagai respon atas unjukrasa besar-besaran yang terjadi di seluruh Indonesia, Presiden juga kembali mengundang sejumlah tokoh, dipimpin pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad. Mayoritas yang diundang adalah figur pendukung Jokowi. Mereka antara lain Mahfud MD, Syafii Maa’rif dan Abdillah Toha. Tokoh-tokoh ini bukanlah representasi mahasiswa. Juga bukan representasi rakyat Indonesia yang tidak puas terhadap pemerintahan Jokowi. Aksi mahasiswa dan pelajar kali ini ada kemiripan dengan gerakan protes mahasiswa di Hongkong. Leaderless Movement. Tidak ada yang menjadi pemimpin. Lha kok Presiden malah mengundang orang-orang yang selalu merasa menjadi “pemimpin.” Seperti sebuah peribahasa: Kepala yang gatal, tapi kaki yang digaruk. Yang gatal tidak sembuh, yang tidak gatal malah menjadi luka baru. End Penulis adalah Wartawan Senior