Papua Yang Terluka Dalam Nestapa
Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement.
Oleh Natalius Pigai
Jakarta, FNN - Jika kita berbicara mengenai Papua, kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, dan penuh masalah. Papua juga mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional.
Saban hari media massa nasional, sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan kehidupan masa depan masyarakat Papua. Sebuah harapan dan keinginan yang mampu membawa mereka ke dalam tatanan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang sejahtera, aman dan tenteram.
Apakah pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus ,dan negativ adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini? Maka pertanyaan, siapakah yang harus paling bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan tersebut?
Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap represi militer para pejuang trikora ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated). Sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan kekayaannya sendiri. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan keinginan Soekarno, yang ingin memerdekakan manusia Papua agar mereka menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri.
Pemikiran di atas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua. Namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, dan akibat penculikan dan pemunuhan oleh klik-klik misterius.
Pasukan berlaras lalu-lalang saban hari, dari petang dan pagi. Adalah sia-sia meskipun upaya simpatik melalui Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa akhibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemini Militer dan Sipil).
Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem pendudukan melalui berbagai cara, termasuk pemekaran. Persoalan di Papua akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar yakni. Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM, termasuk “rasisme” yang merupakan bagian dari penyelesaian politik. Kedua, penyelesaian disparitas regional, terutama kapasitas sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Trauma Yang Masih Berbekas
Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme. Yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap).
Integrasi politik atas wilayah Papua hingga kini masih belum mantap. Kenyataan ini disebabkan klaim Indonesia dan Belanda terhadap Papua. Klaim tersebut, baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi. Dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa ketika itu.
Sikap yang dilahirkan hanya demi membendung kepentingan dan pengaruh ideologi komunisme internasional. Kebetulan ideologi komonis yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Proses integrasi politik tidak pernah melibatkan rakyat Papua. Dari setiap perundingan, rakyat Papua hanya bertindak sebagai objek. Bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan.
Lebih ironis lagi adalah pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No. 1541 (XV)) tahun 1960. Dimana pada waktu yang bersamaan, di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan.
Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement.
Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang masih primitive. Anggapan ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri.
Dengan demikian, alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan Pepera yang menggunakan sistem Muasyawarah Mufakat itu adalah munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni negara.
Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan. Berbagai pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan, yang semuanya ditujukan kepada objek yang sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua). Pendatang dianggap merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia.
Pembunuhan terhadap orang sawo matang, sebagaimana terjadi hari-hari ini di Wamena dan beberapa wilayah di Papua adalah ekspresi perlawanan terhadap Jakarta. Kenyataan ini merupakan uangkapan rasa kekecewaan serta kebencian dari trauma historisme dan sejarah. Trauma penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.
Oleh karena itu, saya menawarkan agar diberikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia. Kita lihat Kanada, yang selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La Francophonie, keturunan Ferancis. Namun selalu saja gagal, dan akhirnya tidak mendapat simpati dunia.
Disparitas Ekonomi dan Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam. Namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong). Namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century). Kondisi masyarakat jaman batu, di abad ke dua puluh satu dulu.
Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi, maka ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya. Karena misi pembangunan yang sarat dengan nuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis.
Sejak tahun 1963-1969 di masa transisi, ada nuansa pembangunan. Misaslnya, pendirian sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih). Pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan.
Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya, yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Pembangunan dengan program task forces dan bantuan dana Fundwi serta ADB.
Sayangnya, dana-dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Dampaknya adalah dana untuk pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai bila pada saat ini rakyat Papua berada dibawah garis kemiskinan.
Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi. Pertimbangannya, orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi. Misalnya, tingkat harapan hidup diperpendek. Selian itu, tinggkat pertumbuhan diperlambat.
Angka juga kematian bertambah. Epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, ermasuk juga sistem sosial budayanya. Maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan kebijakan secara serius dan sungguh-sungguh.
Perlu Good Will dan Political Will
Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? Ini adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme di masa lampau.
Kondisi yang serius ini disertai dengan ketertinggalan di bidang sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau? Juga menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentukan untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka?
Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet, negeri adikuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD), yang memiliki rudal balistik luncur darat antar benua. Mempunyai kapal-kapal selam berudal nuklir (polaris), dan armada pemboman strategis, disertai persenjataan terlengkap lainnya, bisa saja bubar seperti sekarang ini.
Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang. Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama runtuh. Kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua juga runtuh.
Pada pertengan abad ke 20, muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis. Juga menyerupai kedua kerajaan di atasnya, yakni Indonesia Raya. Maka, baik Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia Raya menjadi sebuah legenda dan romantisme sejarah anak cucu manusia Nusantara.
Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Pembela Orang Lemah