Mahasiwa Mengoreksi Sisi Manipulatif Rule of Law

Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global.

Oleh Dr. Margarito Kamis

Jakarta, FNN - Unjuk rasa, sering disebut demonstrasi mahasiswa beberapa hari ini, menunjukan ada masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat mereka tak cukup rela membiarkan elit politik mendefenisikan sendiri rule of law dan supremasi hukum. Mereka seperti memastikan bahwa rule of law dan supremacy of law, untuk alasan apapun bukan hukum.

Rule of law adalah konsep politik tentang bagaimana sebuah negara seharusnya diselenggarakan. Dari sejarahnya gagasan ini muncul pada abad ke-17. Gagasan ini menempatkan hukum di atas segalanya. Menggantikan tatanan sebelumnya, yang menempatkan orang penguasa diatas segala segalanya. Konsep ini mencegah demagog konyol dan tiran lembut sekalipun memegang kekuasaan.

Tetapi pada level tertentu rule of law dan supremacy of law bisa berubah menjadi racun untuk bangsa. Ini terlihat dimengerti mahasiswa. Rule of law dan supremacy hukum mengasumsikan bahwa hukum dibuat, diciptakan, tentu dipikirkan, direncanakan dan diarahkan. Mahasiswa mengerti bahwa dengan begitu itu, maka semua gagasan buruk, seburuk apapun bisa dimasukan ke dalam tubuh hukum itu.

Dapat dipastikan mahasiswa mengerti juga bahwa rule of law dan supremacy of law menyediakan kesempatan untuk dibelokan. Dibelokan dengan cara memasukan gagasan-gagasan yang mewakili kepentingan tertentu dan menguntungkan kelompok tertentu. Mereka sepertinya tahu ini kelemahan terbesar rule of law dan supremacy of law.

Menariknya, kelemahan fundamental tersebut dikenali dengan sangat baik dan jelas oleh kapitalis-kapitalis cerdas. Mereka para kapitalis tersebut lalu mencoba manipulasi rule of law dan sufremacy of law dalam makna mengubahnya. Targetnya untuk mengamankan kepentingan mereka.

Tipis Sekali

Mengenal sisi mematikan rule of law, memerlukan penalaran kritis. Begini nalarnya; rule of law menjadikan hukum sebagai pranata tertinggi dan formal dalam kehidupan bernegara. Pada segala aspek bernegara. Begitulah postulatnya.

Kapitalis global sangat tahu tentang postulat ini. Postulat ini merangsang mereka berpikir kalau begitu nalarnya, maka kita harus menguasai pembentuk dan penegak hukum. Fakta inilah yang sekarang diprotes dengan keras oleh mahasiswa, hampir di seluruh kota-kota besar Indonesia

Agar terlihat benar, maka langkah selanjutnya adalah promosikan rule of law. Diatas landasan rule of law, hukum seburuk apapun, tetapi menyandang sifat hukum sebagai hukum yang sah. Karena sah, maka harus ditaati, suka atau tidak. Toh rule of law menolak semua argument apapun, terutama legitimasi politik untuk menantang keabsahannya. Legitimasi tidak diterima oleh rule of law sebagai argumen legal menyangkal daya laku dan daya ikat hukum.

Sekali negara dengan cara yang ditetapkan hukum menetapkan sesuatu menjadi peraturan, maka sejak saat itu peraturan itu sah menjadi hukum. Konsekuensinya, suka atau tidak, senang atau tidak senang, hukum itu harus ditaati. Dijadikan panduan dan tuntunan dalam bertindak.Titik. Akhirnya, rule of law terlihat indah, hebat dan mengagumkan.

Keindahan itu dibantu oleh sejarahnya yang panjang. Yang kemunculan awalnya memancarkan naiknya mozaik peradaban baru. Pada Negara-negara barat, ide ini menemukan elannya pada akhir abad ke-17. Diawali dengan glorius revolution di Inggris pada tahun 1688.

Revolusi ini mengubah secara radikal kebiasaan dan dominanya supremasi orang, dan Raja, ke supremasi hukum. Revolusi ini mengubah secara radikal institusi-isntitusi politik korup menjadi inklusif. Tetapi itu hanya sisi luar, bukan sisi dalamnya.

Sisi internal rule of law, khususnya hukumnya menyediakan ruang, substansinya dan menampung gagasan kolutif, gelap dan hitam. Sisi ini diketahui benar bahwa para perencana penguasaan sumberdaya ekonomi dunia. Pada yang umumnya meraka itu adalah kaum kapitalis.

Itu sebabnya kelompok pecundang yang tak terjamah ini selalu bergerak. Mereka dengan mudah semua sumberdaya yang tersedia menguasai hukum. Dengan cara itu membawa mereka tetap menjadi kelompok tak terjamah oleh hukum.

Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global.

Pasar global yang juga berfungsi sebagai pasar gagasan inilah, maka multinational corporation dan lembaga multinasional resmi lainnya mendesakan gagasan-gagasan mereka. Semua gagasan itu bernilai ekonomis. Gagasan feminism, multikulturalisme, seks bebas, dan sejenis sebagai tipikal kesamaan hak, dijejalkan habis-habisan. Gagasan-gagasan itu dibungkus dengan pemikiran konstitusionalisme. Konsep besarnya adalah Cosmopolitan Constitution dan Global Constitutionalism.

Orang berakal tahu bahwa cara itu cerdas, tetapi mematikan. Orang berakal tahu kaki tangan kapitalis global ambil bagian mengampanyekan semua gagasan di atas. Termasuk tahu cara mereka merambah kakayaan masyarakat local. Caranya, dengan mengampanyekan apa yang disebut local wisdom. Mereka membenarkan negara berperan besar dalam kehidupan masyarakat, tetapi disisi lain mereka juga mengasingkan negara dari kehidupan masyarakat itu.

Mengakui hak masyarakat lokal yang memiliki asset ekonomi adalah cara kapitalis mengasingkan negara. Menghormati masyarakat lokal itu, bernilai hukum dengan cara membiarkan masyarakat bersangkutan mengatur sendiri kehidupannya. Mau diapakan asset ekonomi mereka, sepenuhnya urusan mereka. Itu hebatnya.

Padahal konsekuensinya tersedia jalan hukum bagi para kapitalis yang hendak menguasai asset ekonomi dalam masyarakat itu bernegosiasi langsung dengan mereka. Negara tidak bisa ikut campur, karena hukum telah menetapkan batas jangkau negara terhadap masyarakat itu. Tujuan akhirnya menguasai sumberdaya ekonomi di dalamnya. Tidak lebih.

Kesadaran Subyektif

Semua tipikal rule of law di atas jelas mematikan. Itu sebabnya demo mahasiswa kali ini, seperti yang sudah-sudah, mesti diterima dengan lapang dada. Demo ini, tentu dengan serangkaian kelemahan kecil yang tersaji secara kasat mata. Mesti harus diterima sebagai kekuatan lain yang dimiliki bangsa ini dalam memelihara eksistensi hukum.

Tidak ada omong kosong terbesar selain mengatakan bahwa demokrasi terpelihara sepenuhnya dengan mengandalkan rule of law dan supremasi hukum. Sejarah telah cukup menyajikan kehebatannya bahwa demokrasi, dimanapun memerlukan norma dan kaidah non hukum untuk memelihara eksistensi, dan mempromosikan sisi baiknya.

Demokrasi akan mematikan. Dimokrasi bisa membuat banyak orang tak berdaya, bila hanya mengandalkan hukum. Agar tak mematikan, demokrasi di negeri manapun di dunia, memerlukan dan menyodorkan, serta mengandalkan norma-norma non hukum untuk memeliharanya. Norma-norma non hukum itu, idealnya dimengerti dan dipraktikan oleh elit penguasa, ekonomi dan politik.

Norma-norma non hukum itu harus dimiliki oleh pelaksana semua cabang kekuasaan; pemerintah, legislatif dan yudikatif. Pelaksana kekuasaan-kekuasaan ini harus mengerti betul tentang masalah ini. Tidak hanya itu, mereka juga harus memiliki keberanian untuk menunaikannya.

Norma itu bisa berbentuk “tidak mentang-mentang” atau “tahan diri” atau “toleransi.” Karena norma ini bersifat non hukum, maka diperlukan kebijaksanaan luarbiasa. Diperlukan kematangan jiwa yang luar biasa, khas orang bijak. Orang bijak tahu dan mampu mengenali sombong dan angkuh. Tahu juga bahwa sombong dan angkuh selalu membakar dirinya, juga membakar bangsa.

Norma itu, seperti ditunjukan pada sejarah demokrasi di negeri lain, berfungsi sebagai penyaring. Juga berfungsi sebagai benteng dan penangkal gagasan buruk. Benteng ini jauh lebih tahan dari hukum, rule of law. Mereka tahu bahwa sesuatu yang sah menurut hukum, mungkin tidak pantas menurut norma-norma ini. Tetapi memang beroperasinya norma-norma jenis ini sepenuhnya bersandar pada kesadaran subyektif setiap orang.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Tertante

651

Related Post