Akankah Kerusuhan di Ekuador Menjalar ke Asia?
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Ekuador bergolak. Pemantiknya adalah berbagai isu yang terkait dengan problem ekonomi dan keuangan. Nah, inikah titik awal resesi ekonomi dunia yang diramalkan itu? Wallhu a’lam!
Sudah tujuh hari ini berlangsung protes rusuh di Ekuador, sebuah negara Amerika Latin. Kerusuhan melanda ibukota, Quito. Puluhan ribu warga penduduk asli datang menyerbu Quito. Akibatnya, presiden negara yang berpenduduk 16.5 juta itu terpaksa memindahkan kantornya ke kota pelabuhan, Guayaquil –150 kilometer dari ibukota.
Rakyat Ekuador menentang kebijakan pemerintah Presiden Lenin Moreno. Dia menghapus subsidi BBM, memotong gaji sektor publik, dan menaikkan pajak. Moreno menggantikan Presiden Rafael Correa dalam pilpres 2017. Harga BBM naik lebih 100% sejak subsidi dicabut Kamis lalu.
Kebijakan “austerity” (penghematan) ini dilakukan sebagai persyaratan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menstabilkan keuangan Ekuador.
Dalam beberapa dekade ini, aksi protes penduduk asli (indigenous) berhasil menggulingkan tiga presiden di Ekuador.
Laporan-laporan menyebutkan, ratusan orang ditahan dalam aksi protes yang disertai tindak kekerasan itu. Saking besarnya aksi protes rakyat, Presiden Moreno mengumumkan keadaan darurat. Tetapi tindakan ini tak berhasil menghentikan aksi rakyat.
Aksi-aksi protes ini membuat Ekuador lumpuh total. Sekarang, stabilitas negara itu terancam. Aksi kerusuhan tidak hanya berlangsung di ibukota, tetapi juga kota-kota lain. Penguasa memberlakukan larangan keluar malam mulai pukul 17.00.
Ekuador sudah lama mengalami masalah keuangan. Sejak masa kekuasaan Rafael Correa, negara kaya minyak ini masuk ke dalam jebakan utang RRC. Sudah USD11 miliar uang China dikucurkan. Ternyata, tak cukup. Ekuador minta tambahan. Pinjaman itu dicairkan sekitar 2015. Dengan bunga tinggi.
Sebelumnya, China mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga air dengan biaya USD2.2 miliar. Seperti di Indonesia, pembuatan bendungan untuk proyek listrik ini dikerjakan oleh para teknisi China.
Sektor perminyakan Ekuador pun telah dikuasai China. Hampir 90% ekspor minyak negara ini dikirim ke RRC sebagai pembayar utang. China membangun dan mengoperasikan pabrik penyulingan minyak besar di dekat kota Manta. Biayanya cukup besar. Kapasitasnya juga besar. Dengan uang pinjaman miliaran dollar, Ekuador dipaksa menjual minyaknya kepada RRC.
Alberto Acosta, mantan menteri energi pada era Correa, menyindir keras kehadiran China di Ekuador. Acosta mengatakan, “Persoalannya ialah kami mencoba menggantikan imperialisme Amerika Serikat dengan imperialisme China.”
“China itu belanja ke segenap penjuru dunia, menukar duit mereka menjadi sumber tambang dan investasi. Mereka tidak hanya datang membawa uang dan teknologi, tetapi sekaligus bunga tinggi,” kata Acosta kepada New York Times belum lama ini.
Sebagaimana Ekuador, banyak negara lain yang kini mulai dilanda kesulitan ekonomi. Atau bahkan sudah lama mengalami masalah ekonomi. Dalam laporan yang berjudul “Trade and Development Report 2019”, organisasi perdagangan dan pembangunan PBB (UNCTAD yaitu United Nations Conference on Trade and Development) memperingatkan tentang resesi ekonomi tahun depan (2020). Badan ini mengatakan, isyarat resesi itu sangat jelas dan berbahaya.
Dalam banyak contoh di masa lalu, resesi ekonomi bisa menjadi penyebab instabilitas politik dan krisis kepercayaan terhadap penguasa. Di Asia, banyak negara yang bisa rentan gara-gara resesi. Termasuk Indonesia. Pada 1998, Presiden Suharto lengser karena krisis keuangan. Karena krisis utang.
Pada waktu ini, Indonesia kembali mengalami jumlah utang pemerintah dan swasta yang bisa memicu krisis keuangan. Begitu pula dengan banyak negara di benua-benua lain.
Pertanyaannya, mungkinkah kerusuhan seperti di Ekuador menjalar ke kawasan Asia? Jawabannya: tidak seorang pun menghendaki itu terjadi.
Untuk Indonesia, apakah pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi kemungkinan gangguan ekonomi-keuangan (resesi) seperti yang diprediksi oleh UNCTAD? Seharusnya, tanpa ditanya pun mereka selalu siap.
Periode kedua Presiden Jokowi bisa saja dilanda krisis yang bersumber dari tumpukan utang. Membayar cicilan 300-400 triliun rupiah per tahun tampaknya bukan beban yang ringan. Jika resesi ekonomi juga melanda Indonesia tahun depan (2020), persoalan yang muncul bisa sangat serius.[]
10 Oktober 2019