OPINI
Membaca Arah Catatan FB Luhut Binsar Panjaitan
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pada Senin (22/7/2019), Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan menulis sebuah catatan di laman Facebook-nya. Menko Bidang Kemaritiman yang sering disebut sebagai "The Real President" RI ini menulis kenangannya bersama LB Moerdani. Tiba-tiba Saya Teringat Pak Benny. Suatu sore, saya tiba-tiba teringat kepada almarhum Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani, salah satu jenderal tempur TNI yang saya kagumi. Saya memang sudah beberapa waktu tidak berziarah ke makamnya. Saya pada suatu pagi minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata. Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup. Kemudian saya sentuh batu nisannya. Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda. Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1 x 2 meter itulah yang tersisa. Betapa pun kayanya seseorang, betapa berkuasanya sewaktu masih sehidup; hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia. Almarhum Pak Benny saya kagumi sejak saya masih perwira menengah TNI-AD. Saya mulai kenal beliau sejak saya berpangkat Mayor, sebelum saya bersama Kapten Inf. Prabowo Subianto dikirim untuk belajar mengenai pasukan anti-teror di GSG-9 di Jerman Barat. Meski waktu itu Pak Benny berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI, dari waktu ke waktu ia selalu minta saya berikan laporan kemajuan sekolah kami. Ia tidak malu menelepon saya dan mengajukan pertanyaan yang mendetail. Setelah pulang dan saya mulai memimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Detasemen 81 (Den-81), saya sering dipanggil menghadap Pak Benny di kantornya di Jalan Sahardjo (sekarang lokasinya menjadi Balai Prajurit TNI), entah menanyakan pelatihan pasukan yang baru itu, atau lain-lain. Dari situ saya mendapat kesan khusus mengenai betapa ia memiliki karakter yang sangat kuat. Auranya memancarkan wibawa ditambah dengan wajahnya yang keras dan jarang tersenyum. Saya kagum bahwa loyalitas kepada pimpinan negara dan NKRI tidak perlu dipertanyakan lagi. Setiap kata atau tindakannya mencerminkan, menurut istilah masa kini, kesetiaan yang tegak lurus ke atas. Suatu hari sebelum saya mendapat penugasan memimpin operasi khusus mengamanan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di kota Manila, Filipina, Pak Benny yang sudah jadi Panglima ABRI mengatakan dengan dingin. “Luhut, sejak dua atau tiga tahun lalu, sudah banyak yang antri untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (sambil menunjuk foto Pak Harto di dinding) kalau terjadi sesuatu pada dirinya…Republik itu menjadi kacau…!” ujarnya dengan tegas. Kemudian,“Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!” Sebagai perwira saya cuma menjawab, “Siap! Laksanakan!” Akibat sering dipanggil ke kantornya, lama-kelamaan saya jadi risih. Kebanggaan dipanggil oleh Panglima ABRI mengecil, karena pasti banyak yang tahu, dan banyak pula senior saya yang tidak senang, mungkin juga jadi iri, seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam. Suatu hari ketika mood Pak Benny sedang bagus, saya beranikan diri bertanya, “Pak, mohon izin, lain kali kalau memanggil saya bisa kah melalui atasan saya?”Saya curi pandang wajahnya, dan mukanya lalu mengeras. Kedua tangannya mulai menyapu-nyapu mejanya, dan saya menyesal koq berani-berani membuat beliau marah. Tapi nasi sudah jadi bubur, saya pasrah. “Luhut!”katanya dengan nada dalam. “Saya jenderal bintang empat…!”sambil menunjukkan tanda pangkatnya di bahu “... dan kamu Letkol…!”Itu saja, dan saya sudah mengerti maksudnya. “Siap!” jawab saya. Sejak itu saya tidak pernah berani menanyakan lagi soal itu. Beberapa tahun kemudian ketika Pak Benny pensiun, saya menerima konsekuensi karena jadi golden boys Pak Benny. Tapi saya terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya. Beberapa tahun kemudian, Pak Benny sudah tidak punya power lagi, kecuali jabatan sebagai Menteri Hankam yang “tak bergigi”, saya berpangkat Kolonel dan baru pulang dari pendidikan di NDU di Washington DC. Saya datangi kantor beliau, dan menanyakan kepada Pak Benny, rumor yang beredar di luar bahwa beliau sudah “jauh” dari Pak Harto. “Benar itu Luhut..!” katanya terus terang. Ia menjelaskan bahwa Presiden Soeharto marah kepadanya, ketika dengan cara halus mencoba mengingatkan bisnis yang dijalankan oleh putera-puteriny a yang sudah kelewat batas di meja bilyar; Pak Harto lalu tiba-tiba meletakkan stik bilyar dan masuk kamar. Sejak itu, Benny Moerdani tidak pernah dekat dengan Presidennya. “Tetapi asal kamu tahu ya Luhut. Apapun sikap beliau, saya tidak pernah kehilangan kesetiaan saya kepadanya…!” Saya ingat suatu hari tahun 1983, ketika hampir terjadi krisis keamanan yang melibatkan Prabowo, saya menyampaikan kasus itu kepada Menhankam/ Pangab (waktu itu) Jenderal M. Jusuf yang juga saya kagumi. Beliau berkata pendek, “Luhut, saya percaya kesetiaan Benny, saya tidak ragukan dia…! Karena Pangab sudah memutuskan, maka permasalahan sensitif tersebut selesai dengan sendirinya. Banyak pelajaraan mengenai kepemimpinan dan kemiliteran yang saya pelajari dari beliau. Dan saya akui, karena pengaruh Pak Benny itulah yang membuat saya tertarik pada masalah-masalah intelijen, diantaranya dalam memelihara jaringan (networking) dengan berbagai tokoh di dunia. Beliau mempunyai buku alamat kecil yang sudah lusuh karena penuh dengan nama-nama tokoh penting dan nomor telepon hot-line yang ia bisa hubungi 24 jam sehari. Kenangan manis bersama Jenderal Benny Moerdani saya tuangkan dalam biografi saya nanti. Untuk sementara saya hanya bisa katakan, Rest in Peace Jenderal Benny! Hingga hari ini saya tidak mengecewakan harapan bapak! Luhut adalah seorang pengagum Benny Moerdani sebagai jenderal tempur yang meninggal dalam usia relatif masih muda, 72 tahun. Luhut mengenal Benny sejak berpangkat Mayor. Sebelum bersama Kapten Inf. Prabowo Subianto dikirim ke Jerman Barat. "Kontradiksi Prabowo" Di sini Luhut mencoba mengingatkan bahwa ia lebih senior daripada Prabowo. Penyebutan pangkat adalah indikasi kesenioran tersebut. Saat itu Benny masih berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI dengan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Yusuf. Luhut adalah pemimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia, yaitu Detasemen 81 (Den-81), yang sering dipanggil menghadap Benny di kantornya. Ia menggambarkan betapa Benny memiliki karakter yang sangat kuat dengan pancaran wibawanya. Ia kagum pada loyalitas Benny kepada pimpinan Negara dan NKRI. Kesetiaan yang tegak lurus. “Luhut, sejak dua atau tiga tahu lalu, sudah banyak yang antri untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (Pak Harto) kalau terjadi sesuatu pada dirinya... Republik itu menjadi kacau....” Begitu pesan Benny kepada Luhut yang memimpin Opsus mengamankan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di Kota Manila, Filipina. Saat itu Benny sudah menjadi Panglima ABRI, “Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!” Sebagai perwira, Luhut cuma menjawab, “Siap! Laksanakan!” Akibat sering dipanggil Benny ke kantornya, Luhut menjadi risih. Karena pasti banyak yang tahu, dan banyak pula seniornya yang tidak senang, mungkin juga menjadi iri. Di sini Luhut sudah berprasangka seniornya merasa tidak senang dan iri. Seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam. Ketika Benny pensiun, Luhut menerima konsekuensi karena jadi golden boys Pak Benny. Luhut terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; baginya itu harus dibayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. “Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya.” Saat Benny tidak punya power lagi, kecuali jabatan sebagai Menteri Hankam yang “tidak bergigi”, Luhut sempat menanyakan perihal rumor yang terembus di luar. Sayangnya Luhut tidak mau menyebut apa rumor itu. “Saya ingat suatu hari tahun 1983, ketika hampir terjadi krisis keamanan yang melibatkan Prabowo, saya menyampaikan kasus itu kepada Menhankam/Pangab (waktu itu) Jenderal M. Jusuf yang juga saya kagumi,” tulisnya. Beliau berkata pendek, “Luhut, saya percaya kesetiaan Benny, saya tidak ragukan dia…! Karena Pangab sudah memutuskan, maka permasalahan sensitif tersebut selesai dengan sendirinya. Di sini jelas sekali, Luhut mencoba membuka “luka lama” terkait Prabowo. Sayangnya, sekali lagi, Luhut tidak mau menyebut “krisis keamanan” apa yang melibatkan Prabowo. Seolah Luhut ingin menyebut, Prabowo itu “bermasalah”. Mengapa Luhut ungkit dan menyebut, krisis keamanan yang “melibatkan” Prabowo? Krisis keamanan apakah yang dimaksudnya? Luhut seakan mengingatkan rakyat agar hati-hati kalau Prabowo jadi pemimpin. Inikah cara dendam Luhut? Dan, ziarahnya ke pusara Benny itu hanya untuk wadul dan pamit bahwa tidak lama lagi Luhut sudah bukan “siapa-siapa” lagi, jika rekonsiliasi Joko Widodo dengan Prabowo Subianto terjadi!
Ada Sedikit Persamaan Jokowi dengan Pak Harto
Oleh Bagus Ra Kuti (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - "Lamun sira sekti, aja mateni". Begitu falsafah Jawa yang diunggah ke akun media sosial Presiden Joko Widodo, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram, Sabtu (20/7). Falsafah itu ditampilkan dalam sebuah gambar bergerak berlatar belakang warna coklat yang menunjukkan adanya tokoh pewayangan sedang memberikan padi ke sosok petani. "Zaman sudah semakin maju, tapi kita tetap mengingat pesan-pesan bijak dan agung para leluhur," tulis Jokowi dalam kolom caption. Ini adalah kali kedua bagi Jokowi memublikasikan falsafah yang dianutnya. Pada 25 Mei lalu, ia juga mengungkapkan tiga falsafah Jawa yang menjadi pegangannya di salah satu televisi swasta. Tiga falsafah ini, menurutnya, ia jalankan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat memerintah negara Republik Indonesia. “Lamun sira sekti, ojo mateni. Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan," ucap Jokowi. “Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului. Lamun sira pinter ojo minteri. Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar," lanjutnya. Falsafah yang menjadi pegangan Presiden Jokowi ini diajarkan Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq sejak dahulu kala. “Yen sira landep aja natoni, yen sira banter aja nglancangi, yen sira mandi aja mateni“ Jika diterjemahkan secara bebas ajaran Sunan Kudus itu; “Jika dirimu tajam, jangan melukai, jika dirimu kencang jangan menyalip, jika dirimu sakti jangan membunuh”. Falsafah ini mengajarkan tentang sikap kerendahan rendah hati, sopan santun, menghormati orang lain, tidak mementingkan diri dan sikap tidak menang sendiri serta penghargaan atas hak-hak orang lain, serta toleransi. Falsafah tersebut juga terkorelasi dengan ajaran para orang tua kepada anak-anaknya yang berbunyi: “Aja adigang, adigung, adiguna”. Dalam kamus Bahasa Jawa “Bausastra Jawa-Indonesia” susunan S. Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa: Adigang: Membanggakan kekuatannya Adigung: Membanggakan kebesarannya Adiguna: Membanggakan kepandaiannya Jadi aja adigang, adigung, adiguna bermakna jangan membanggakan kekuatan kebesaran, dan kepandaian. Kembali ke falsafah Jawa pegangan Jokowi, lamun sira sekti, aja mateni. Eko Sulistyo mencoba membedah falsafah itu. "Bila dialihbahasakan, lamun sira sekti, aja mateni itu artinya, dia punya kekuasaan, tapi tidak lantas kemudian akan bertindak semena-mena," ujar Eko seperti dikutip Kompas Senin (22/7). Apabila dikaitkan dengan konteks situasi politik hari ini, lanjut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) ini, artinya Presiden Jokowi berikrar tidak akan bertindak semena-mena meskipun ia adalah pemenang Pilpres 2019. “Presiden tidak merendahkan rivalnya yang kalah, Prabowo Subianto,” lanjut pria yang sudah merasa dekat dengan Jokowi semenjak Presiden itu masih menjabat Wali Kota Solo. Jokowi ingin menekankan bahwa sebagai pemenang pilpres, ia tidak akan berlaku sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. "Bagaimanapun juga kekuasaan tidak boleh dipakai untuk menindas," tambah Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto. “Sudah seharusnya kekuasaan dipakai untuk merangkul seluruh elemen masyarakat.” *Falsafah Soeharto* Bicara tentang falsafah Jawa, mengapungkan ingatkan kita tentang Presiden Soeharto. Dialah presiden yang paling kental menjalankan falsafah hidup orang Jawa. Pandangan hidup Pak Harto sangat dipengaruhi pergulatan perjalanan hidupnya; dari seorang anak petani sampai menjadi presiden. Tekadnya yang terus belajar dan selalu vokus dalam memperjuangkan masa depannya menjadikan Pak Harto bisa meraih apa yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. “Pada waktu itulah saya mengenal ajaran tiga ‘aja’,” ujar Pak Harto dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya; otobiografi seperti yang dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. “Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang); yang kelak menjadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.” “Tidaklah perlu kita kaget sesuatu yang seolah-olah merupakan keistimewaan pada seseorang, tidaklah menyebabkan kita heran. Tidaklah perlu kita terbelalak dibuatnya sampai mengucapkan wah hebat sekali. Kembalilah hal itu kepada Tuhan dan kita ‘aja gumunan’ (jangan heran). Kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan, mempunyai sesuatu yang lebih, jangan lupa, bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah, kalau Tuhan menghendakinya. Sebab itu, ‘aja dumeh’ (jangan mentang-mentang) kedudukan tinggi, terus bertindak sewenang-wenang, aja dumeh mempunyai kekayaan yang berlimpah-limpah lalu lupa daratan.” Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, juga merekam banyak sekali falsafah Jawa yang dianut Pak Harto. Falsafah itu tertulis di dinding, tiang-tiang, di foto berbingkai, dan lainnya. Salah satunya ada falsafah Jawa yang berbunyi sugih tanpa banda, nglurug tanpa bala, sakti tanpa aji, menang tanpa ngasorake. Falsafah ini tertera di salah satu foto Pak Harto yang sedang tersenyum. Falsafah tersebut banyak yang menyebut sebagai catur paradoks Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini. Makna dari sugih tanpa banda adalah kaya namun tidak bergantung pada harta benda. Nglurug tanpa bala, menyambangi musuh tanpa bantuan orang lain. Digdaya tanpa aji bisa diartikan sakti mandraguna tanpa bergantung pada senjata, dan menang tanpa ngasorake menang tetapi tidak sampai merendahkan yang dikalahkan. Mereka yang memegang falsafah ini adalah orang yang sudah tahu dan menyadari sepenuhnya tujuan hidup. Jika harus berkompetisi, bahkan berperang sekalipun, ia tidak akan pernah merasa terancam dan tidak pula berlaku sewenang-wenang, karena menyadari sepenuhnya bahwa dirinya hanyalah perpanjangan dari tangan Tuhan yang Maha Kasih. Prinsip-prinsip falsafah Jawa yang dilakoni Pak Harto membuat kabinetnya kuat dan semua anak buahnya segan pada dirinya. Menghafal falsafah tidaklah sulit, tapi bagaimana menerapkan ajaran luhur tersebut dalam keseharian tidaklah mudah. Selanjutnya, begitu Jokowi mulai berfalsafah, maka publik diharap bisa manggut-manggut. Ternyata, pemilu 2019 yang dianggap penuh kecurangan oleh banyak orang itu, telah melahirkan pemimpin yang memegang prinsip "Lamun sira sekti, aja mateni". Prinsip yang boleh jadi membuat Prabowo Subianto bertekuk lutut.
Prabowo Menjadi "Perdana Menteri" Jokowi
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - “Tenang, Bang. Prabowo bakal menjadi perdana menteri Jokowi.” Begitu gambaran dari seorang teman yang selama ini selalu bisa menyedot info top-level dari lingkaran 02. Digambarkan, Prabowo Subianto (PS) akan mengendalikan banyak pos-pos penting. Itulah “power sharing” (bagi kekuasaan). PS akan diserahi sejumlah kementerian “nyawa pemerintahan” seperti Kementerian BUMN, Kementerian Perdangan dan Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kehutanan, dlsb. Iya atau tidak, silakan Anda tetap ‘tune in’. Tapi, mohon maaf, saya selalu ‘dismissive’. Selalu tak percaya. Masa iya semudah itu Prabowo akan diberi wewenang besar seandainya dia menerima tawaran masuk ke pemerintahan yang lahir dari situng KPU yang kemudian disertifikasi oleh MK. Wallahu a’lam. Prabowo kelihatannya yakin sekali dia sangat diperlukan oleh Jokowi. Diperlukan untuk mengawal pengelolaan negara selama lima tahun ke depan. Konon, kabarnya, keyakinan inilah yang mendorong PS berani ambil risiko berseberangan dengan 90 juta pemilihnya yang tak rela memberikan legitimasi kepada Jokowi. Iming-iming menjadi “Perdana Menteri” (PM) itulah yang membuat PS nekad bertemu Jokowi di Lebak Bulus. Nekad menyakiti perasaan puluhan juta pemilihnya. Banyak teori tentang Prabowo bakal menjadi PM dengan kekuasaan besar. Tetapi, di tengah belantara politik barbarik dan politisi licik yang ada di kubu Jokowi dan juga di kubu Prabowo sendiri, mungkinkah impian “perdana menteri” itu menjadi kenyataan? Lagi-lagi saya dismisif. Sebab, konsep “power sharing” itu hampir mustahil dijabarkan selagi “power steering”-nya dikendalikan oleh para dalang. Mereka ini adalah gerombolan suka-suka hati. Tak bisa diatur oleh siapa pun. Sebaliknya, merekalah yang mengatur. Saya khawatir, konsep bagi kekuasaan yang ditawarkan kepada PS tidak akan semuluk yang disangka. Tidak akan seindah yang dibayangkan. Lebih banyak berbumbu muslihat. Cuma, memang santer kabar bahwa roda pemerintahan sedang terancam macet. Ada masalah serius di cash-flow negara. Karena itu, Jokowi memerlukan suntikan dana segar. Dan itu hanya bisa diperoleh dari luar. Di sinilah Prabowo menjadi sangat penting. Para pemberi pinjaman, kata satu sumber, tidak akan mencairkan dana kalau tidak ada jaminan stabilitas sosial-politik di Indonesia. Stabilitas itu, pada saat ini, kuncinya ada di tangan Prabowo. Itulah sebabnya Jokowi mati-matian mengajak 02 rekonsiliasi dan berkoalisi. Anda percaya? Kalau saya tidak. Untuk sementara ini. Kalau pun benar situasi dan kondisi negara seperti itu, saya malah berpendapat Prabowo seharusnya tidak mendekat. Sebab, itu artinya Jokowi bukan mau berbagi kekuasaan melainkan mau berbagai “nama buruk”. Berbagi julukan “tak becus memimpin”. Tetapi, kalau Jokowi secara jantan mengaku bahwa dia tak sanggup memimpin, dan karena itu dia menyerahkan semuanya kepada Prabowo, masih bisa dipahami. Yang dikhawatirkan, Jokowi cuma ingin membawa Prabowo dan 90 juta pemilih waras jatuh ke jurang bersama penguasa blunder dan para pendukungnya yang selama ini membabi buta. Jadi, kalau Prabowo tetap keras mengikuti jebakan “jatuh bersama” itu, sungguh di luar nalar sehat. Semoga ilusi Prabowo menjadi “perdana menteri” Jokowi belum terlalu dalam.
Rekonsiliasi, Upaya Jokowi Lepas dari "Dalang?"
Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Fakta bahwa selama ini Presiden Joko Widodo berada dalam “kendali” para dalang yang ada di belakang kekuasaan politiknya, sudah bukan rahasia lagi. Sebagian rakyat juga sudah tahu siapa saja “dalang” penyokong kekuasaan Presiden Jokowi. Meski pada awalnya Jokowi menolak ide rekonsiliasi, namun akhirnya mantan Walikota Solo ini menerimanya setelah mendapat tekanan dari “kekuatan besar” yang pegang data dan bukti pencurangan Pemilu (Pileg dan Pilpres), 17 April 2019 lalu. Mau buktinya? Republika.co.id, Selasa (Selasa 02 Jul 2019 17:33 WIB) menulis berita: Ketua KPU Tegur 12 Provinsi yang Belum Selesaikan Situng. Namun, anehnya, pada 21 Mei 2019 dini hari KPU sudah mengumumkan pemenang Pilpres 2019. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, tak masuk akal jika pengisian data situng belum tuntas 100 persen. Sebab, TPS didirikan dan data dari TPS pun ada. “Jadi, kenapa kok tidak bisa selesai 100 persen? Kenapa berhenti di tengah-tengah,” ujarnya. “Semuanya saya tegaskan harus selesai 100 persen. Supaya untuk Pilpres 2024 nanti juga bisa selesaikan 100 persen,” tegas Arief. Dia melanjutkan, ada 10 provinsi lain yang belum 100 persen menyelesaikan situng,” ungkapnya kepada wartawan. Yaitu: Kepulauan Riau (99,6 persen), Jabar (99,7 persen), Jatim (99,7 persen), Kalsel (99,8 persen), Sulut (99,9 persen), Maluku (75,9 persen), Malut (99,1 persen), Papua (71 persen) dan Papua Barat (79,9 persen) dan Sumut. Sangat janggal bukan? Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan upaya mencari keadilan dari paslon 02. Apakah keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara pelanggaran TSM yang diajukan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu adalah benar berdasarkan UU? Dapatkah Bawaslu menolak pemeriksaaan sebuah laporan dari peserta pemilu yang merasa dirugikan? Mengapa Bawaslu tidak bersedia memeriksa perkara tersebut? Apakah Bawaslu dibenarkan menolaknya dengan alasan perkara tak dilengkapi dengan bukti pendukung? Bukti pendukung apa yang dimaksud oleh Bawaslu?Apakah bukti DPT Papua yang 3,5 juta, sedangkan jumlah penduduk Papua hanya 3,3 juta tidak merupakan bukti pendukung? Fakta bahwa pelanggaran pemilu secara TSM sudah menjadi pengetahuan publik. Fakta bahwa Prabowo – Sandi meraih suara pemilih terbanyak. Fakta bahwa aparat, KPU, Bawaslu, MK tidak netral, berpihak pada paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan koalisi partai pengusung 01. Fakta bahwa hasil pemilu dimanipulasi. Fakta Bawaslu berpihak ke 01 dan menjadi bagian dari pelanggaran TSM/pencurangan pemilu terlihat jelas pada keputusan Bawaslu menolak pemeriksaan perkara yang diajukan 02. Fakta bahwa Bawaslu membiarkan pelanggaran TSM oleh KPU, yang seharusnya menjadi tugas/kewajiban Bawaslu mencegahnya. Contoh pelanggaran TSM oleh KPU yang dibiarkan Bawaslu: Penetapan DPT 2019 sebesar 193 juta pemilih, di mana adanya dugaan terdapat sedikitnya 17,5 juta pemilih ilegal sudah disampaikan oleh paslon 02 ke KPU, namun tidak ditanggapi KPU. Seharusnya Bawaslu memeriksa KPU atas penetapan DPT 2019. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang diabaikan Bawaslu. Penetapan rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak transparan, pada pukul 01.00 dini hari, tidak didukung bukti C1 TPS, tidak disetujui paslon 02, kolutif dan manipulatif Tidak Diperiksa oleh Bawaslu. Contoh Pelanggaran TSM oleh KPU yang tidak diperiksa Bawaslu. Penyajian Rekap hasil pemilu pada Situng yang telah terbukti mengandung banyak kesalahan, sudah dilaporkan dan dibuktikan 02, namun tetap diteruskan oleh KPU. Fakta bahwa Situng sampai hari ini Gagal menuntaskan Rekap Pemilu. Banyak contoh pelanggaran TSM oleh kubu 01 yang sudah dilaporkan ke Bawaslu dan sebagian sudah diperiksa di MK, di mana pemeriksaan di MK itu jadi sia-sia karena MK dalam putusan menyatakan pelanggaran TSM itu kewenangan Bawaslu. Jadi, untuk apa MK periksa jika sebut Bawaslu yang berwenang. Alasan KPU menetapkan DPT 193 juta dan Rekap Pemilih 2019 sebesar 199,3 juta adalah menjamin hak pilih warga negara sudah terbukti sebagai alasan palsu. Padahal, alasan sebenarnya adalah agar KPU mudah memanipulasi hasil pemilu yang bisa merugikan 02 dan partai-partai tertentu peserta pemilu. Alasan KPU menetapkan 267 ribu TPS tambahan untuk memudahkan dan mempercepat proses PSU dan penetapan Rekap hasil pemilu sudah terbukti adalah alasan palsu. Hingga hari ini KPU tidak bisa menyajikan rekap 813.336 TPS berdasarkan rekap C1 yang sah. Padahal, alasan KPU sebenarnya dalam penetapan 267 ribu TPS Tambahan adalah: Pertama, sebagai sumber puluhan juta suara siluman yang ditambahkan untuk 01, PDIP, dan Nasdem; Kedua, untuk mencegah paslon 02 membuktikan pencurangan/manipulasi karena mustahil 02 dapat menyediakan 267 ribu saksi di TPS tambahan. Penetapan KPU menambah 267 ribu TPS baru sangat merugikan 02 dan hampir semua partai peserta pemilu, incasu penyediaan minimal 267 ribu saksi dengan waktu-sumber daya yang sangat terbatas. Penambahan 267 ribu TPS ini adalah bukti pelanggaran TSM oleh KPU, tapi dibiarkan oleh Bawaslu. Itulah sebagian pencurangan yang data dan buktinya telah dipegang oleh “kekuatan besar” tadi. Dengan fakta yang disodorkan ini, Jokowi hanya pasrah. Lepas Dalang Meski paslon 01 telah ditetapkan KPU berdasarkan putusan MK dan MA, tampaknya Jokowi dan TKN Jokowi – Ma’ruf belum yakin benar dengan “kemenangan” yang dipegangnya. Ini terlihat dari betapa risaunya mereka sebelum Jokowi bertemu Prabowo. Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus bisa disebut sebagai upaya rekonsiliasi yang dirancang bersama Teuku Umar (diwakili Budi Gunawan), Cendana, dan Hambalang (Prabowo). Ini lepas dari “Dalang” Penyokong Utama Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan AM Hendro Priyono adalah tiga jenderal purnawirawan penyokong utama Jokowi sejak menjabat Walikota Solo, selain CSIS. Ketiganya adalah tokoh utama di balik keberhasilan Jokowi menjadi presiden 2014-2019 dan penguasa sebenarnya di balik rezim Jokowi. Namun, posisi SBY adalah primus inter pares di antara tokoh-tokoh tersebut. Hendro, tokoh penemu, perekrut, dan pembina awal Jokowi sejal 2006. Luhut adalah tokoh penyandang dana segala pencitraan Jokowi pada masa-masa awal (2007-2011) melalui aliran uang puluhan miliar dari PT Toba Sejahtra ke PT Rakabu Sejahtera. Namun, SBY adalah tokoh terakhir namun menentukan. Selain ketiga jenderal itu, juga ada nama Letjen TNI Agus Widjojo (sekarang Gubernur Lemhanas) yang sudah terlibat dalam persiapan menjadikan Jokowi sebagai “presiden proksi”. Masih ada puluhan jenderal lain eks kelompok Begawan yang sejak 2011 turut membantu kemenangan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Jadi, wajar saja jika masih ada sebagian jenderal yang “setia” di belakang Jokowi. SBY tetap primus inter pares di antara semuanya. Posisinya sebagai presiden, strategi politik yang luar biasa, deception tiada tara, sumber daya yang lebih dari cukup dan lain-lain sudah menjadi jaminan keberhasilan Jokowi menang Pilkada 2012 dan Pilpres 2014. Catat, tanpa SBY, Jokowi bukan siapa-siapa! Sebagai primus inter pares, SBY memperoleh konsesi politik jauh lebih besar bila dibandingkan Hendro, LBP, dan yang lainnya dalam pemerintahan Jokowi. SBY adalah pemegang saham terbesar rezim Jokowi. Dari Singapura, SBY melempar gagasan untuk segera membuka ruang dialog antara Jokowi dengan Prabowo. Lantas, dilanjutkan dengan kecamannya kepada pihak-pihak tertentu yang melarang keras dan mengharamkan Prabowo bertemu Jokowi. Semua ini terjadi pasca pembatalan Prabowo untuk menemui SBY di Singapura. Pembatalan pertemuan Prabowo – SBY di Singapura adalah langkah tepat. Belakangan, saat takziyah di Puri Cikeas, SBY malah mendesak agar Prabowo “mengalah” lagi. Tak seperti pasca Pilpres 2014, kali ini Prabowo dengan tegas menolak permintaan SBY itu. Pasalnya, banyak data dan bukti terjadi pencurangan Pilpres 2019. Apalagi, saat persidangan PHPU di MK, persoalan pencurangan itu dilihat dan didengar rakyat. Meski pada akhirnya dikalahkan oleh MK dan dikuatkan MA, toh tampaknya Jokowi belum yakin benar dengan kemenangannya itu. Makanya, Jokowi dan kubunya sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Akhirnya, bertemulah keduanya di Lebak Bulus itu. Menariknya, pertemuan Jokowi – Prabowo itu tidak dihadiri oleh Luhut yang selama ini setia mendampingi Jokowi. Apakah ini pertanda Jokowi ingin melepaskan diri dari kendali Luhut Cs untuk rekonsiliasi bersama Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang? Kehadiran BG dalam pertemuan itu sangat mencolok. Boleh jadi, BG-lah yang ikut mengatur pertemuan Jokowi – Prabowo tersebut. Selain sebagai Kepala BIN, BG bisa dianggap sebagai tokoh yang “mewakili” Megawati Soekarnoputri (Teuku Umar). Tidak hadirnya Luhut yang selama ini digambarkan sebagai The Real President RI tersebut setidaknya bisa menjadi bukti adanya faksi dalam internal penyokong dan pendukung paslon 01. Sudah sejak 2015 Rencana Pilpres Jokowi vs Prabowo disiapkan. Penunggangan KPK – KPU – Bawaslu – MK disiapkan. Semua harus memenangkan Jokowi segala cara. Mastermind-nya SBY – Luhut – Hendro – CSIS. Kini, Jokowi mau lepas diri? ***
Misteri Pertamina di Del Sopo
Oleh Bagus Ra Kuti (Wartawan Senior) Rieke Diah Pitaloka mengorek dan mengapungkan masalah sensitif soal kelakuan pejabat tinggi negeri ini. Anggota komisi VI DPR RI ini, Kamis (18/7) mencecar Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, terkait rencana perpindahan gedung kantor BUMN migas itu dari kawasan Medan Merdeka Jakarta ke gedung Sopo Del milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. "Proses penunjukkannya seperti apa, kami minta data tertulis supaya semua ada datanya karena ini perusahaan negara. Janggal atau tidak? Urgensinya apa dan harus tertulis," cecar Rieke. Sesungguhnya isu tentang boyongan kantor PT Pertamina ke Sopo Del sudah tercium publik sebelum pemilu. Kala itu, Pertamina melelang proyek mengangkut-angkut barang pindahan tersebut di webnya. Sejumlah pihak mulai bergunjing. Rupanya isu itu benar. Eksekusinya dalam waktu dekat. Gedung milik Luhut itu bernama lengkap Sopo Del Office Tower and Lifestyle Center. Lokasinya di kawasan Mega Kuningan III, Jakarta Pusat. "Kami terharu kok bisa begini (memiliki gedung). Hidup itu ya begitulah, ini mistery of life," kata Luhut dalam acara peresmian gedung tersebut 19 Januari 2018 lalu. Luhut pantas bersyukur. Nggak dinyana, karir politik dan bisnis pensiunan jenderal ini moncer di masa tuanya. Gedung itu bertemakan budaya Batak Toba. Nama "Sopo" diambil dari Bahasa Batak yang berarti rumah atau tempat bernaung. Sedangkan Del berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti "selangkah lebih maju". Nama-nama ruangan diambil dari Bahasa Batak, semisal Tahuluk, Sortali, Artia, Anggara, Ringkar, Sikkora, dan Samisara. Kala itu, Luhut melakukan soft opening gedung mengundang koleganya di pemerintahan, partai politik, dan bisnis. Tampak hadir di antaranya Staf Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi; Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto; Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono. Sopo Del terdiri dari tiga tower dibangun di atas tanah seluas 1,7 hektare. Konstruksi gedung ini dikerjakan oleh perusahaan pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tower A terdiri dari 33 lantai dengan floor plan 1.900 meter persegi. Adapun Tower B yang menjadi perkantoran strata terdiri dari 18 lantai dengan floor plan 1.300 meter persegi. Tentu saja, tiga tower ini tak mungkin ditempati sebagai kantor perusahaan milik Luhut sendiri. Bisnis properti lagi menawarkan cuan tinggi. Luhut perlu membuka sewa perkantoran. Sebagai pejabat tinggi, tentu saja tak sulit baginya membisiki sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk berkantor di Del Sopo. Nicke menyebutnya itu hanya pindah sementara. Tak cuma pindah ke Sopo Del tetapi juga ke Menara Mandiri. "Pindah sementara iya sedang disiapkan, karena kita mau ke Menara Mandiri. Annex ke Sopo Del iya. Sudah ya," katanya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (19/7). Dia juga bilang dipilihnya gedung Sopo Del sudah melewati proses tender dan prosedur sesuai standar dari berbagai opsi pilihan lokasi dan gedung. Selama ini Pertamina berkantor di gedung miliknya sendiri di kawasan Medan Merdeka Jakarta. Gedung itu menurut Direktur Keuangan Pertamina, Pahala Mansury, akan direnovasi tahun depan. Wakil rakyat pantas mempermasalahkan dipilihnya Sopo Del untuk kantor BUMN migas kebanggaan bangsa ini. Jangan sampai hal itu dibiarkan sebagai misteri sehingga menjadi pelampiasan bagi pihak-pihak tertentu untuk menyalurkan hasrat aji mumpung. Mempung lagi menjabat, mumpung lagi kuat. Mumpung …mumpung …
Misteri Pertemuan Prabowo-Jokowi, Manuver Siapa?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengunggah sebuah gambar dalam akun Instagramnya @prabowo setelah pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Statisun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019). Prabowo menegaskan, ia tak akan pernah terjadi tawar menawar terhadap cita-cita dan nilai yang dipegangnya. “Seluruh hidup saya telah saya persembahkan kepada kepentingan Bangsa dan Republik Indonesia,” ungkapnya. “Saya tidak akan pernah tawar-menawar terhadap cita-cita dan nilai yang saya pegang yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur,” kata Prabowo. Ia juga menginginkan Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat Indonesia yang menikmati hasil kekayaan dari Indonesia sendiri. “Indonesia yang utuh dari Sabang sampai Merauke, Bhinneka Tunggal Ika yang berdasarkan UUD ’45,” tulis Prabowo dalam akun Instagramnya @prabowo. Sebelumnya, Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo Subianto Sabtu pagi tadi di Stasiun MRT Lebak Bulus. Pertemuan ini adalah hasil kerja sama tiga tokoh penting. Mereka adalah Kepala BIN Budi Gunawan, Sekretaris Kabinet yang juga politisi PDIP Pramono Anung dan politisi Partai Gerindra Edhy Prabowo. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengakui, Prabowo menyuratinya soal pertemuan dengan Jokowi. Dalam surat tersebut Prabowo menjelaskan tujuan bertemu Jokowi. Jumat (22/7/2019) sekitar pukul 23.00 WIB, utusan Prabowo antar surat ke rumahnya untuk memberitahu, besok atau lusa atau lain waktu, Prabowo akan bertemu Jokowi. “Tujuannya menjaga hubungan baik. Tidak disebutkan agendanya secara spesifik,” kata Sohibul. Ia menilai pertemuan tersebut wajar saja terjadi. Sebab, setiap partai memiliki sikap masing-masing. “Tidak setiap langkah politik elit harus dikomentari. Entar bikin gaduh. PKS tentu juga punya sikap politik sendiri yang akan ditentukan melalui Musyawarah Majelis Syuro,” kata Sohibul, Senin (15/7/2019). Sebelumnya, surat serupa juga dikirim Prabowo kepada Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais. Ia mengatakan mantan capres Prabowo sempat mengirimkan surat padanya ke kediamannya di Jogjakarta pada 12 Juli 2019. Seperti dilansir Viva.co.id, Senin (15/7/2019), surat tersebut berisi pemberitahuan Prabowo yang akan bertemu Jokowi pada Sabtu, 13 Juli 2019. “Isinya Pak Amien, kemungkinan 13 Juli akan ada pertemuan dengan Jokowi. Bagi saya Pak Amien, kepentingan lebih besar yaitu keutuhan bangsa NKRI, itu lebih saya pentingkan,” kata Amien menirukan surat Prabowo padanya, Senin, 15 Juli 2019. Ia menambahkan pada paragraf kedua surat Prabowo, dituliskan setelah pertemuan tersebut, Prabowo akan menemui Amien di Jogjakarta atau Jakarta. Dan, Selasa (16/7/2019), Amien sudah bertemu Prabowo di Jakarta. Terkait isu Rekonsiliasi, lucu baginya bila dalam bentuk bagi-bagi kursi. Justru bagi kursi bukanlah rekonsiliasi karena dianggap politisi tak lagi memiliki kekuatan moral dan tidak memegang disiplin partai. “Sekarang saya tetap, rekonsiliasi agar bangsa tak pecah saya 1.000 persen setuju, Mbah-nya setuju. Tapi, jangan sampai itu diwujudkan dengan bagi-bagi kursi, karena apa gunanya dulu bertanding ada dua paslon tapi ujung-ujungnya lantas bagi-bagi,” kata Amien. Perang Dalang Ada yang menarik dari catatan Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. “Lepas dari sikap kritis saya terhadap langkah politik Prabowo, amati riil politiknya. Kesampingkan dulu emosi. Jadi jangan cuma retorika. Atau spekulasi,” katanya. Ibarat cerita. Kita petakan dulu para aktornya. Pertama, di pihak Jokowi, principal character-nya ada tiga. Budi Gunawan, Pramono Anung, dan Erick Tohir. Di pihak Prabowo, ada dua. Ahmad Muzani dan Edhy Prabowo. “Apa yang bisa kita simpulkan sampai di sini. Kedua kubu nggak ingin bawa banyak pemain yang bikin ribet,” lanjut Hendrajit kepada PepNews.com. Kedua, seperti dalam tulisan Hendrajit sebelumnya, dengan formasi tiga serangkai BG-Pram-Erick, dirigen politik adalah BG. Apa karena dia Kepala BIN? Bukan. BG ini hububungan aatau pemain penghubung Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla sejak 2014. Karena BG orang kepercayaan Mega dari dulu. Kemudian, Pram. Sebetulnya dia juga orang kepercayaan Mega, tapi dari sayap lain. Dia alumni ITB. Beberapa kali jadi direktur operasi beberapa perusahaan minyak. Orang dekat pengusaha minyak Arifin Panigoro. Hebatnya Pram yang asli Jawatimuran (tepatnya Kediri) ini, bisa main cantik di PDIP, jadi orang kepercayaan Mega, tapi tak dimusuhi Taufik Kiemas (alm). Biasanya kalau dekat salah satu, pasti tidak disenangi satunya. “Jadi kalau Pram jadi Sekretaris Kabinet Jokowi, bisa kebayang kan pengaruhnya kayak apa,” ungkap Hendrajit. Bagaimana Erick? Tentu saja dia dilibatkan dalam pertemuan MRT bukan karena Ketua TKN Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Tapi karena Erick itu pengusaha dari jaringan JK. Dan bersama Sandi, sama-sama termasuk Astra Connection. Apapun ceritanya dulu, Erick dan Sandi pernah dekat Edward Suryajaya. “Eng ing eng. Mulai nyambung ye?” lanjutnya. Dalam formasi Prabowo, ada Muzani, orang setia Prabowo dari jaman masih susah plus Edhy Prabowo. Dari sini saja bisa tergambar, Prabowo ingin pegang kendali penuh. Tanpa direcoki pemain-pemain Gerindra lainnya yang punya hobi improvisasi. Setelah memotret para aktor. Apa skema dan skenario dari perundingan para aktor tersebut? Okelah anggap saja polibiro lima memang nggak diikutkan dengan berbagai alasan. Tapi apa agenda yang mau diseting Mega, JK, dan Prabowo? Inilah pertanyaan krusial di balik kemarahan dan kekecewaan publik pendukung Prabowo. Sebab kalau melihat konstruksi para aktor yang manggung di MRT, kelihatan sekali sarat kepentingan ekonomi bisnis para konglomerat. Semua itu terkait migas, tambang batubara, dan otomotif. Amerika Serikat, Jepang, China, pastinya ikut nimbrung juga. JK misalnya, dekat dengan Huwa Huwei. Erick dan Sandi dekat Astra dan Jepang. “Melalui keduanya, kalau Ginanjar Kartasasmita dan Jepang deal, Sandi dan Erick yang jadi eksekutornya di tingkat teknis,” ungkap Hendrajit. Lantas bagaimana dengan gang of five. AM Hendropriyono meski tak ikutan acara MRT, dia sekutu Ginanjar saat 1998 rame-rame mundur dari Kabinet Suharto. Luhut Binsar Panjaitan juga sama. Dia dan Arifin sudah Cs-an dari sejak KAMI-KAPPI 1966 waktu di Bandung. Arifin lebih senior. Apalagi ayahnya Luhut pernah di Stanvac, cikal bakal Medco miliknya Arifin. Susilo Bambang Yudhoyono juga seirama sama Hendro dan Luhut. Cuma kemudian SBY mampu membuat jaringan dan komunitas sendiri. Sehingga Hendro dan Luhut tidak bisa mengatur junior satu ini seenaknya. Dan Moeldoko walau pernah jadi Sekpri Hendro, lebih solid hubungannnya dengan SBY. Makanya, waktu masuk jadi Kepala KSP, Pram dan Pratikno, apalagi Teten Masduki, sempat kelimpungan. “Tapi sekarang kabarnya semua sudah happy. Dapat bagian yang sama,” ujar Hendrajit. Well, inilah medan tempur yang harus dihadapi Prabowo dalam perang diplomasi pasca pertemuan MRT? Prabowo yang mampu mengubah sistem atau malah terserap dan diubah oleh sistem? “Sekarang ngerti sendiri dong kalau emak-emak militan pada meradang?” lanjut Hendrajit. Hanya sampai di sinikah? Ternyata tidak juga. Coba saja petakan lagi siapa yang hadir saat Jokowi bertemu Prabowo. Prabowo bertemu Jokowi tersebut, bukan akhir dari Pilpres 2019. Tapi, ini adalah awal dari sebuah cerita. Pertemuan Teuku Umar, Cendana, dan Hambalang. Kisahnya makin berbelit dan penuh kejutan buat SBY, Luhut, dan Hendro, serta CSIS. Mengapa Luhut yang biasanya selalu “mengawal” Jokowi tidak tampak batang hidungnya? Kalau Hendro dan SBY jelas tidak pernah secara atraktif menunjukkan berada di belakang Jokowi. SBY adalah primus inter pares diantara ketiganya. Saya yakin, saat ini yang kebingungan adalah SBY Cs dan CSIS. Kubu mereka selama ini berharap Prabowo tak menemui Jokowi, sehingga lebih mudah memainkan Jokowi. Inilah perangnya Ki Dalang di belakang Jokowi maupun Prabowo. Manuver MRT Lebak Bulus ini insya’ Allah akan berefek positif, paling cepat sepekan ke depan! ***
Saling Cakar di Internal Golkar
Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Ketua DPD II Golkar Cirebon Toto Sunanto mengaku dipecat. Toto menyebut pemecatan lantaran dirinya mendukung Bambang Soesatyo (Bamsoet) sebagai calon ketua umum Partai Golkar. DPP Partai Golkar membantah klaim tersebut. Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily mendapatkan informasi berbeda dari Ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi membenarkan ada pemecatan terhadap Ketua DPD Partai Golkar Kota Cirebon, Toto Sunarto. Namun menurut Dedi, pemecatan itu bukan karena Toto mendukung Bambang Soesatyo sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Dia menjelaskan, pemecatan terhadap Toto dilakukan pada dari 18 Juni 2019 lalu karena diduga melakukan sejumlah pelanggaran. Keputusan itu mengacu pada Surat Keputusan DPD Partai Golkar Jabar NOMOR : KEP- 116 /GOLKAR/VII/2019 tentang Pembentukan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD Golkar Kota Cirebon. Sebelum melanjutkan membaca ulasan artikel ini, Anda perlu membaca ulang tulisan saya yang berjudul : Golkar dan Masa Depan Politik Ken Arok. Jadi, saya tegaskan bahwa soal perebutan kekuasan partai di kubu-kubu Golkar itu sudah biasa. Pasca konggres terjadi pembersihan trah politik di tubuh Golkar itu juga cerita lama. Anda masih ingat, pasca lengsernya ketum partai, Golkar mengalami proses pembersihan sejumlah loyalis eks Ketum di struktur Golkar yang baru. Sejarah de-wahonoisasi, de-harmokoisasi, de-akbarisasi, hingga de-ichalisasi, adalah potret dimana loyalis Ketum langsung dipangkas oleh Ketum yang baru dan tak diberi peran signifikan dalam stuktur kepengurusan partai. Kasus ini bukan murni terjadi pada Golkar, hal ini juga terjadi pada PKB, PPP, dan PKS. Di PKB ada program de-gusdurisasi yang digelorakan Cak Imin. Di PPP ada de-suryadharmaisasi ketika era Romi sebelum dicokok KPK. Di PKS ada de-anisisasi, pasca Anis Matta lengser dari kursi Ketum, semua loyalis Anis -termasuk Fahri Hamzah- didepak dari struktur pengurus inti partai. Kembali kepada kasus Golkar, pemecatan ketua DPD Golkar Cirebon itu tidak lepas dari dinamika perebutan kursi kekuasan, baik di partai dan didalam pemerintahan, yang dapat kita simpulan dari realitas politik sebagai berikut : Pertama, Toto Sunanto adalah loyalis Bamsoet. Dia dipecat sesaat setelah menyatakan dukungan bagi Bamsoet. Jadi, alasan pemecatan karena mendukung Bamsoet secara politik itu yang dapat diyakini kebenarannya. Adapun soal lain, soal laporan keuangan partai, soal pelanggaran AD ART itu dalih saja. Kalau mau dipecat, sangat mudah mencari kesalahan dan dibenturkan dengan AD ART partai. Apalagi, secara umum semua kader partai apalagi menjabat pimpinan struktural, mustahil tak memiliki borok politik. Secara internal, manuver Toto ini berbahaya bagi Airlangga. Secara berjenjang, juga berbahaya bagi Dedi Mulyadi selaku Ketum DPD Golkar Jabar. Dedi Mulyadi adalah tokoh gerbong politik Airlangga, trah Luhut, sehingga perlu menertibkan bawahannya untuk mengamankan klan politik Golkar yang dia berada dalam naungannya. Kedua, selain motif internal untuk mengamankan posisi Airlangga, langkah ini juga diyakini untuk memuluskan proses tawar menawar posisi menteri Golkar yang sedang dipandu oleh Airlangga selaku Ketum. Dedi Mulyadi yang namanya disebut-sebut masuk bursa calon menteri dari Golkar, merasa wajib mengamankan posisi Airlangga sebagai juru runding Golkar untuk bernegosiasi dengan rezim Jokowi, agar proposal menteri -dimana Dedi Mulyadi ada didalamnya- dapat diamankan. Jika posisi Airlangga tergeser Bamsoet, apalagi jika konggres dipercepat sebelum Desember, maka juru runding Golkar untuk negosiasi jabatan menteri bukan lagi Airlangga tetapi Bamsoet. Jika Bamsoet yang memimpin proses negosiasi, sudah jelas nama Dedi Mulyadi dicoret dari daftar calon menteri dan digantikan oleh loyalis Bamsoet. Jadi, pemecatan ketua DPD II Golkar Cirebon itu sangat berkaitan era dengan dinamika perebutan kursi kekuasan partai Golkar sekaligus perebutan kursi kekuasan menteri di pemerintahan Jokowi - Ma'ruf. Sampai disini Anda paham bukan ? Bahwa kerjaan partai itu hanya berebut kekuasaan, mereka tidak pernah memikirkan kita, mereka tidak pernah memikirkan rakyat. [].
Ruwetnya Jokowi Bagi Bagi Kursi
Oleh Nasrudin Joha Hihihi, ternyata yang paling ruwet itu bukan memenangkan konstestasi. Untuk menang, rumusnya sederhana : curang. Untuk curang, rumusnya juga sederhana : kuasai seluruh lembaga otoritas pemilihan dan alur justisia jika terjadi sengketa. Tapi, yang ruwet dan super membingungkan itu bagaimana membagi kompensasi kemenangan. Sebab, dengan rumus apapun proses distribusi menteri dan jabatan strategis kabinet Jokowi - Ma'ruf, sulit menemukan kata 'adil' dan 'sepakat' dari semua mitra koalisi. Pertama, jika porsi menteri dibagi berdasarkan jumlah kursi parlemen yang diperoleh partai di Senayan, jelas rumus ini tak akan bikin Happy semua partai. Hanura, PKPI, PSI, PPP akan merasa dirugikan. Hanura contohnya, Wiranto berani berada terdepan pasang badan untuk Jokowi. Bahkan, seluruh 'ancaman' elektabilitas secara politik, hukum dan keamanan, di back up penuh Wiranto. Padahal, Hanura tak punya satupun kursi di Senayan. Lantas, apakah kemudian Hanura juga tidak punya jatah menteri ? PSI dan PKPI juga sama, meski tak lolos Senayan keduanya 'getol' dukung Jokowi. Masak, mereka dianggap cuma kerja bhakti ? Masak tidak ada satupun jatah kursi ? Jika rumus porsi menteri berdasarkan porsi kursi parlemen yang diperoleh partai pendukung secara proporsional sebagaimana diusulkan JK, jelas ini akan membuat PSI, PKPI dan Hanura meradang. Hal ini, juga akan menyengsarakan PPP. Sebab, suara PPP turun drastis, tapi komitmen dukungan PPP pada Pilpres 2019 jelas jauh lebih besar ketimbang Pilpres 2014. Dahulu, dengan modal merapat saja PPP dapat satu porsi menteri. Masak, sekarang sejak awal berjibaku untuk Jokowi tidak ada tambahan ? Kedua, jika distribusi menteri dibagi berdasarkan rumus siapa yang paling awal bersama Jokowi ini juga akan membuat beberapa partai yang terakhir merapat menjadi tidak enak body. Misalnya saja, PBB yang baru merapat, atau kemudian PAN dan Gerindra yang mungkin merapat, jelas tak mau jika merapat tanpa jatah menteri. PAN dan Gerindra memang tidak punya andil sejak awal untuk memenangkan Jokowi, tapi PAN dan Gerindra -jika jadi merapat ke Jokowi- jelas punya peran besar memberikan legitimasi bagi kemenangan Jokowi. Konon, peran ini yang semula hendak dimainkan SBY saat membawa partainya merapat ke kubu Jokowi, bahkan pasca Ani meninggal, SBY saat Lebaran secara khusus kirim putra mahkota ke petinggi kubu Jokowi. Namun nahas, rupanya era politik SBY sudah berakhir. Semua kubu, baik 02 maupun 01 justru mengambil jarak dengan Demokrat. Ketiga, jika distribusi menteri berdasarkan proposal partai pendukung ini lebih memusingkan. PKB minta 10 kursi, Nasdem minta 11, Golkar suaranya lebih besar dari PKB dan tentu layak dapat jatah lebih besar, NU minta porsi sendiri dari jalur ormas bukan melalui jalur partai (PPP atau PKB), sedangkan PDIP justru geleng-geleng kepala sebagai partai pemenang harus mengajukan berapa. Jumlah menteri di kabinet Jokowi 34 dan 8 setingkat menteri. Sekarang PKB minta 10 Nasdem minta 11 Golkar lebih dari 11, terus PDIP berapa? PPP HANURA, PBB, PSI, berapa totalnya ? Pusing kan ? Ada benarnya juga usulan Bamsoet untuk bentuk nomenklatur kementrian baru, biar semua dapat jatah. Kementrian kebahagiaan, bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri. Kalau perlu bikin 1000 pos kementrian baru, kan Jokowi tinggal Teken Perpres ? Tak perlu baca dulu, langsung Teken saja. Makanya, kelakuan partai saat ini persis seperti anjing yang sedang menancapkan kuku dan taring pada daging buruan hasil kecurangan. Sambil mengeram, semua saling mengklaim paling berhak. PKB jelas, akan menancapkan kuku dan taring agar saham kemenpora dan Kemenakertrans tidak luput. Sambil terus menggonggong mencari porsi tambahan. PPP terus memegang kencang kursi Menag, meski meminta sejumlah porsi tambahan tapi bagi PPP jika porsi Menag masih ditangan, lumayan lah. Golkar, terus menggigit jatah di Mensos dan Menperindustrian. Nasdem Pasti menggigit kuat dengan gigi geraham porsi Mendag dan Jaksa Agung. Nasdem, paham betul betapa legitnya 'jualan barang' dan 'jualan kasus'. Demikianlah, anjing anjing partai ini saling menggonggong agar dapat jatah tulang lebih. Mereka, terus bermanuver agar tidak dipecundangi mitra koalisi. Pertarungan Sesungguhnya di kubu Jokowi, baru dimulai saat ini. Sementara darah dan nyawa yang melayang di peristiwa 21-22 Mei, nyawa 700 lebih anggota KPPS, tidak pernah difikirkan oleh anjing-anjing partai. Itulah realitas Demokrasi yang Anda bangga-banggakan. [].
Pasca Pemilu 2019: Langit Indonesia Makin Hitam
Oleh Ahmad Sastra Jakarta, FNN - Baru di tahun 2019, pemenang pemilu versi KPU tidak disambut antusias oleh mayoritas rakyat dan negara tetangga. Tidak ada ucapan selamat yang secara resmi ditujukan kepada pemenang pilpres. Nampaknya rakyat pesimis akan terjadi perubahan yang lebih baik atas negeri ini. Proyeksi pasca pemilu 2019, Indonesia akan makin diselimuti awan hitam yang menandakan masa depan suram atas bangsa ini. Bahkan seandainya pasangan pemenang dilantik sekalipun, bukan berarti urusan negeri ini akan beres. Sebab secara ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik makin menunjukkan kondisi karut marut. Revolusi mental yang telah dicanangkan bahkan cenderung sekuleristik dan mengabaikan etika agama. Akibatnya, rakyat akan makin merasakan ketidakjelasan masa depan bangsa ini. Di bidang ekonomi, tugas berat pasangan Jokowi-Ma’ruf harus menyelesaikan setidaknya lima beban berat ekonomi yakni kenaikan utang luar negeri, merosotnya nilai rupiah terhadap dolar, defisit neraca perdagangan, rendahnya target pertumbuhan ekonomi dan lesunya perekonomian sektor riil. Berbagai kasus korupsi dalam masa pemerintahan Jokowi juga belum tertangani dengan baik, tidak seperti yang dijanjikan dalam kampanye. Menurut Pusat Kajian Anti Korupsi (pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta, penanganan kasus korupsi masa Jokowi masih jauh dari harapan. Bahkan sebagaimana diketahui, justru banyak pendukung Jokowi, mulai dari menteri, anggota dewan, kepala-kepala daerah dan melibatkan 12 partai politik yang notabene mendukung Jokowi. Sistem politik transaksional padat biaya ala demokrasi justru telah menyeret bangsa ini dalam kubangan dalam jerat korupsi, kolusi dan nepotisme. Periode kedua, belum ada tanda-tanda korupsi akan berkurang, bisa jadi malah tambah parah. Dalam bahasa Ahmad Syafii Maarif, demokrasi itu cacat dan banyak bopengnya. Maarif membeberkan gambaran demokrasi yang tak kunjung menemukan bentuk yang memuaskan. Diakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang sarat dengan praktek politik uang (money politic). Bahkan demokrasi juga jauh panggang dari api soal pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam hal pemerataan kesejahteraan rakyat, bagi Syafii, demokrasi sangat mengecewakan. Indonesia akan terus bergelut dan berputar dalam lingkaran setan yang melelahkan (Republika,16/04/19). Komunisme dan kapitalisme adalah dua ideologi yang penuh nafsu dan tidak punya tenggang rasa. Tuhan telah mati dalam kesadarannya. Manusia merupakan sasaran penipuan. Yang satu bangkit untuk dahaga revolusi, yang lain giat mengejar pajak. Di antara dua batu, manusia remuk binasa (Sir Muhammad Iqbal, Javid Nama, h. 52). Terbukti dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme demokrasi, negeri ini justru makin terpuruk dan terjerat hutang rentenir dunia yang makin menggunung hingga disebut sebagai telah mencapai level berbahaya. Bahkan di tahun 2019, pemerintah harus membayar utang yang sudah jatuh tempo sebesar 409 triliun. Dalam statistik hutang luar negeri Indonesia edisi Maret 2019 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, pemerintah mencatat ULN sebesar 383,3 miliar dolar atau setara dengan Rp. 5.366 triliun dengan kurs Rp. 14.000. Utang LN Indonesia mengalami kenaikan sebesar 77 triliun dibandingkan dengan posisi pada akhir periode sebelumnya. Hal ini terjadi karena neto transaksi penarikan ULN dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga utang dalam rupiah yang dimiliki oleh investor asing tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS. Utang LN Indonesia terdiri dari utang pemerintah dan bank central sebesar 190,2 miliar dolar (Rp. 2.663 triliun), serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 193,1 miliar dolar (Rp. 2.703 triliun). Hal belum lagi dihitung per April disaat negeri ini menandatangani proyek OBOR China yang artinya akan menambah lagi jeratan utang LN. Kenaikan pajak akibat menggunungnya utang negara akan diikuti pula oleh PHK besar-besaran perusahaan yang tak bisa bertahan. Sementara daya beli masyarakat akan turun drastis. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut total karyawan yang kena PHK dalam kurun 2015-2018 mencapai satu juta karyawan. Perusahaan yang merumahkan karyawannya diantaranya PT Krakatau Steel (persero) Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Menurut sosiolog muslim terkemuka, Ibnu Khaldun (1332-1406), tanda kehancuran suatu negara adalah saat negara tersebut menarik pajak yang tinggi. Masih menurutnya, suatu peradaban akan runtuh disebabkan oleh lima hal. Pertama, ketidakadilan, yang menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin begitu lebar. Kedua, merajalelanya penindasan, yang kuat menindas yang lemah. Ketiga, runtuhnya adab atau moralitas para pemimpin negara. Keempat, pemimpin yang tertutup, tidak bisa dinasehati, meski berbuat salah. Kelima, bencana alam besar-besaran. Ironisnya, kelima indikator ini ada di negeri ini. Kondisi ini ditambah ironi yang tak kalah berbahaya yakni bahwa skema utang luar negeri Indonesia dengan menggunakan bunga atau riba yang justru sangat dilarang oleh Islam. Bahkan jika tak mampu bayar utang, sebagaiman terjadi di negera Sri Langka, maka negara itu harus menyerahkan aset negaranya untuk dikuasai China. Allah dengan tegas mengingatkan akan bahaya riba dalam Al Qur’an : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. (QS Al Baqarah : 275). Allah begitu murka kepada praktek utang dengan skema ribawi ini, sebab selain merupakan kegagalan sistem, riba juga akan mendatangkan ketidakberkahan sosial. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS Al Baqarah : 279). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS Ali Imran : 130-131). Keterpurukan ekonomi akibat penerapan demokrasi kapitalisme akan ditambah persoalan sosial, budaya dan keagamaan akibat liberalisme dan HAM. Demokrasi liberal dengan tegas menolak hadirnya syariat Islam, tapi mendukung berbagai bentuk amoralitas seperti LGBT, seks bebas, prostitusi dan sejenisnya atas nama HAM. Menolak Islam tapi mendukung kemungkaran akan mendatangkan murka Allah atas bangsa ini. Revolusi mental yang nampaknya akan semakin menjauhkan generasi anak bangsa dari agamanya ditambah aliran Islam Nusantara yang cenderung sinkretis akan makin menambah gulita sosial negeri ini. Dengan demikian, awan hitam yang menyelimuti langit Indonesia bukan hanya karena salah urus negara akibat sistem demokrasi sekuler kapitalis, namun karena memusuhi syariat Allah dan menyalahi aturan Allah juga. Akibatnya negeri ini hanya akan mendatangkan murka Allah yang artinya tidak ada keberkahan di negeri ini. Proyeksi masa depan Indonesia pasca pemilu 2019 nampaknya akan makin suram dan gelap. (AhmadSastra,KotaHujan,09/07/19 : 06.52 WIB)
Membaca Langkah Politik Prabowo Saat Bertemu Jokowi
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi Prabowo Subianto diundang untuk mencoba MRT oleh Presiden Joko Widodo. Dus, sebagai warga negara yang baik Prabowo, maka saat mendapat undangan dari Kepala Negara sebisa mungkin akan hadir, apalagi jika menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Prabowo hanya menerima undangan, tidak mengadakan perkumpulan ataupun acara bersama. Satu hal yang ingin ditekankan bahwa tidak ada pembicaraan mengenai deal-deal politik apa pun. Karena bagaimana pun Prabowo menolak segala bentuk kecurangan. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Namun demi merah putih dan bangsa Indonesia tidak ada ruang untuk perasaan pribadi. “Kami berharap seluruh pemilih Pak @prabowo dan @gerindra mempercayai keputusan dan tindakan yang dilakukan Pak @prabowo. Karena selama hidupnya Pak @prabowo tidak pernah dan tidak akan pernah mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara,” tulis panca_pww. Benar, pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) pukul 10.00 WIB, setidaknya telah memantik kemarahan relawan dan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Dampak politik pertemuan kedua capres (saya tetap menyebut capres, karena Jokowi yang dimenangkan oleh MK dan ditetapkan KPU belum dilantik sebagai Presiden Terpilih pada Oktober 2019) sangat luar biasa Prabowo di-bully pendukungnya. Bahkan, wartawan senior sekaliber Asyari Usman sampai perlu membuat tulisan berjudul, “Inilah Induk Segala Pengkhianatan”. “Prabowo Subianto, hari ini kau khianati ratusan juta pendukungmu. Kau tusuk perasaan mereka,” tulisnya. “Dengan entengnya. Dengan mudahnya. Tanpa rasa bersalah,” lanjutnya. “Prabowo, hari ini kau hancurkan perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Kau mungkin punya alasan tersendiri untuk menemui dia,” ungkap Bang Asyari. “Tapi, apa pun alasan kau, pertemuan itu menyakitkan hati rakyat yang mendukungmu mati-matian. Dan memang banyak yang benar-benar mati. Hilang nyawa,” tegas Bang Asyari yang tulisannya viral di medsos dan WA Group. Bukan hanya Bang Asyari saja yang kecewa. Bahkan, wartawan senior sohib saya semasa di EDITOR Hersubeno Arief sampai menulis artikel berjudul, “Sayonara Pak Prabowo”. Hersu mengutip penggambaran narasi lukisan Pangeran Diponegoro. Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro beredar luas di berbagai platform media sosial. Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda. Netizen menyamakan, “Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).” Benarkah peristiwa tersebut? Memang demikian yang tertulis dalam buku sejarah yang bersumber dari Belanda. Padahal, ada bukti prasasti Batu Tulis di Asta Tinggi, Kompleks Pemakaman Raja-Raja Sumenep, mencatat bahwa yang ditangkap itu Mohammad Jiko Matturi. Jiko Matturi, salah satu komandan pasukan yang “menyamar” sebagai Pangeran Diponegoro untuk memenuhi “undangan” Belanda itu. Feeling “pemberontak” yang oleh Belanda disebut Khalifatullah Ing Tanah Jawi ini bermain: Jebakan Belanda! Maka, dikirimlah Jiko Matturi yang bertugas juga sebagai telik sandi. Ingat, selama masa itu, Belanda tidak pernah melihat langsung wajah Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan Joko Matturi ke Magelang, Pangeran Diponegoro ke Sumenep. Di Sumenep, Pangeran Diponegoro menemui Sultan Abdurrahman, untuk meminta bantuan. Bersama Raja Sumenep inilah ia sedang menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, keburu ajal menjemput. Semua itu tercatat dalam prasasti di Asta Tinggi. Jika melihat fakta prasasti di Asta Tinggi itu, menjadi jelas, justru Pangeran Diponegoro yang berhasil mengelabuhi Belanda. Jadi, jasad yang dimakamkan di Makassar hingga kini adalah Mohammad Jiko Matturi, bukan Pangeran Diponegoro! Bagaimana dengan Prabowo ketika bertemu Presiden Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut? Mengapa harus di area stasiun dan dalam MRT? Terlepas apakah semua ini sudah direncanakan atau tidak, Prabowo tentu sudah “berhitung”. MRT, Mari Rekonsiliasi Terbuka! Pertemuan Jokowi-Prabowo di Statiun MRT Lebak Bulus itu sudah seharusnya ditempatkan pada best interest rakyat, bangsa, dan negara. Itulah yang ingin dicapai Prabowo. Penolak rekonsiliasi itu sendiri sebagian adalah mayoritas kubu Jokowi yang takut Prabowo masuk dalam sistem dan menjadi The Real Presiden RI, seperti Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini disebut-sebut punya kewenangan sejajar Presiden. Prasyarat rekonsiliasi yang selalu dilontarkan kubu Jokowi itu ada dua. Pertama, Prabowo Cs masuk dalam sistem; Kedua, Abolisi, amnesti, grasi, deponeering bagi semua pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Jangan terjebak pada prasyarat parsial – individual. Kalau ada yang menolak rekonsialiasi, pertanyaannya: siapa yang menjamin tidak terjadi lagi atau semakin menggila penindasan/penzaliman terhadap rakyat-umat Islam? Siapa yang bisa menjamin kedaulatan dan kekayaan negara tidak dirampok China-Cukong-Antek? Sebab, pasca Jusuf Kalla lengser dari jabatan Wapres, tanpa eksistensi Prabowo dalam sistem pemerintahan, dipastikan penzaliman terhadap rakyat-umat semakin menggila. Perampokan kedaulatan/kekayaan negara makin menghebat. Siapa bisa mencegahnya? Oposisikah? Dalam sejarah politik Indonesia, selama ini tidak ada oposisi! Ada cara agar kedaulatan rakyat dan negara diselamatkan selain melalui rekonsiliasi? Ada! MA kabulkan Permohonan PAP Prabowo atau Revolusi! Opsi Revolusi apakah mungkin dan realistis? Rasanya tidak mungkin berjalan. Karena bakal banyak korban rakyat tidak berdosa. Demo 21-22 Mei 2019 saja “dibuat” rusuh sehingga ada korban jiwa dan “orang hilang” segala. Rakyat jadi korban! Jangan mimpi people power jika tidak ada tokoh ikon pemersatu seperti Habieb Riziq Shihab. Reformasi 98 bukan people power, tapi aksi mahasiswa yang di-design, ditunggangi agenda politik cukong-china-jenderal merah untuk menggulingkan Presiden Suharto. Saat itu Pak Harto sangat mesra dengan mayoritas Islam. Opsi lainnya adalah Rekonsiliasi. Pedoman utama dalam menentukan sikap dan pilihan adalah kepentingan terbesar rakyat, bangsa, dan negara. Hanya dengan rekonsiliasi kita tidak akan tersesat atau disesatkan. Apakah ide rekonsiliasi yang dilontarkan itu berasal dari Jokowi atau TKN paslon 01? Tidak! Bahkan, konon, Jokowi pun sebenarnya ogah rekonsiliasi, namun terpaksa dilakukan agar dia dapat tetap sebagai pemenang pilpres meski dari hasil manipulasi suara. Jika tidak ada “kekuatan besar” yang memaksa, mustahil ide rekonsiliasi dilontarkan. Pihak kekuatan besar ini memegang data dan bukti pencurangan pemilu/pilpres, namun memahami sepenuhnya Prabowo tidak realistis untuk jadi Presiden RI untuk saat ini. Sebab, stigma Prabowo terlalu buruk di mata dunia. Rekonsiliasi menjadi win-win solution. Tentu saja dengan terpenuhnya minimal 2 prasyarat tadi. Prabowo cs masuk dalam sistem; Abolisi, amnesti, grasi, deponeering semua kasus pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Idealnya Prabowo Kepala KSP dengan kewenangan KSP seperti 2014-2015 semasa dipegang LBP. Ide rekonsiliasi ini untuk menyelamatkan posisi Jokowi, sekaligus harus mengakomodir kepentingan Prabowo dan rakyat, bangsa, dan negara di atas segalanya. Jika tidak demi rakyat, bangsa, dan negara, mending tidak usah rekonsiliasi! Anda perhatikan siapa yang panik dengan gagasan rekonsiliasi: Ki Dalang, CSIS, Negara China, Partai koalisi Jokowi kecuali PDIP, Cukong, Antek JIL, LGBT, PKI, dan lain-lain. Pemimpin sejati tahu yang terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Berani untuk tak populer karena harus mengambil keputusan terbaik. Dan, pada saat nanti, rakyat akan membuktikan sendiri bahwa keputusan itu adalah benar. Pada saat itu dukungan rakyat akan membesar dan terus membesar. Jangan dikira penyokong Jokowi berdiam diri melihat rencana rekonsiliasi ini. Mereka akan gunakan segala cara untuk menggagalkan rekonsiliasi, jika Prabowo pemegang utama kekuasaan. Politik adalah perjuangan merebut kekuasaan. Tanpa kekuasaan mustahil aspirasi rakyat bisa terwujud. Aspirasi rakyat pendukung Prabowo hanya bisa terwujud dengan Prabowo sebagai pemegang utama kekuasaan pemerintah di pemerintahan Jokowi. Prabowo akan menjadi the real president jika semua pengkhianat ditumpas. Penolakan atas rekonsiliasi oleh sebagian rakyat itu adalah hal yang wajar. Penolakan itu tetap dibutuhkan Prabowo agar seluruh prasyarat rekonsiliasi segera dipenuhi Jokowi. Bagaimana dengan oposisi jika Prabowo dan PKS masuk kabinet? Yang perlu dicatat, oposisi tidak pernah eksis dalam sistem politik kita. Yang ada hanya pseudo oposisi. Tapi, kalau mau oposisi, tinggal suruh saja PD, PAN, Hanura, PBB, dan PSI yang jadi oposan. Jika minimal 8 kursi kabinet dipenuhi, Prabowo wajib alokasikan minimal 3 untuk kader atau proksi PKS. Mengapa Prabowo perlu masuk pemerintahan? Bahwa selama ini hanya JK yang mampu menandingi kehebatan jenderal penyokong Jokowi dalam berpolitik. Politisi sipil lain memble. Terus menerus jadi korban politik jenderal penyokong Jokowi sejak Reformasi ’98. JK sudah menjadi Solusi masalah negara selama ini. Energi Rakyat Dalam perjuangan terkadang kita harus melakukan langkah-langkah yang mungkin tak cocok dengan perasaan kita sendiri maupun dengan rekan-rekan seperjuangan. Perdamaian tersebut hanya bisa terwujud jika posisi kedua pihak sama-sama kuat. Seimbang. Jika satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka yang terjadi adalah penguasaan, penaklukan, dan penjajahan, bukan perdamaian. Ungkapan rasa kecewa, marah, sakit hati, dan kesedihan emak-emak maupun pendukung 02, karena merasa dikhianati, itulah energi rakyat yang diusung Prabowo ke gerbong MRT untuk bertemu capres petahana Jokowi. “Jadi saya sarankan kepada kader kader struktural pro 02 nggak usah buat rasionalisasi dan pembenaran atas pertemuan MRT. Hanya agar untuk meredakan amarah emak-emak. Nggak perlu,” ujar Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. Menurutnya, Prabowo yang dekat dengan Rachmawati Soekarnoputri, pasti bisa menghayati istilah yang kerap diungkap Bung Karno: RODINDA. Dalam perjuangan itu harus berpadu antara Romantika, Dialektika, dan Dinamika. “Kemarahan emak-emak itu adalah human passion. Gairah kemanusiaan. Romantika,” lanjut Hendrajit. Bagi para politisi yang garing dan miskin imajinasi dan citarasa, romantika kerap diabaikan. Menurutnya, masalahnya itu bukan tidak boleh ketemu, bukan tidak boleh damai, karena itu adalah kemuliaan membina hubungan kebangsaan dan silaturahmi. Tapi dalam kasus Jokowi ada masalah yang harus diselesaikan. “Ada kejahatan yang perlu klarifikasi dan ada ancaman penjajahan yang menekuk kehidupan rakyat ke depan, harus ada jaminan pembicaraan yang terbuka tentang masalah ini,” ungkap Hendrajit kepada Pepnews.com. Tetapi, Prabowo mengingkarinya, bikin pertemuan diam-diam sana-sini dengan orang yang menyakiti rakyat, sementara Prabowo dipilih mewakili rakyat untuk memperjuangkan mereka untuk atasi masalah itu tetapi dia tinggalkan rakyat pemilihnya. “Karena dia berpikir ini hanya urusan dia dengan tim kampanyenya atau bahkan hanya antara dia dengan beberapa orang dekatnya, sementara pemilihnya dicuekin. Ini masalahnya,” lanjut Hendrajit. Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi, lebih baik mati mulia daripada hidup dalam kehinaan dan lain lainnya”. “Ternyata cita-cita Prabowo hanya bisa ketemu Jokowi di atas kereta dan foto-foto tanpa akuntabilitas atas amanat suara pemilihnya,” tegasnya.