OPINI

Dilema Jokowi Hadapi Tekanan Koalisi

Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kasus Lawas Bus TransJakarta Tahun Anggaran 2013 tiba-tiba mencuat lagi, seolah memberi tahu kepada masyarakat, Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta ternyata masih punya “kasus” yang belum tuntas. Lho, koq bisa? Tentu saja bisa, karena kala itu kasus TJ tersebut telah dipetieskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Pilpres 2014. Jika sekarang muncul lagi sama dengan tekanan kepada Jokowi agar membatalkan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto. Sebuah tekanan politik yang luar biasa kepada Presiden Terpilih Jokowi. Tentunya ini sebuah pilihan yang sangat menyulitkan Jokowi sendiri. Apalagi, Koalisi Jokowi sekarang ini mulai terjadi perpecahan. Dimotori NasDem, mereka tolak rekonsiliasi. Di satu sisi, seperti ditulis Joko Edy dalam twiternya Jokoedy@joked2019 (20:50 22 Juli 19), power sharing itu sulit ditolak. “Para pemodal Cina menekan Jokowi. Mereka baru akan menurunkan dana jika Prabowo ikut di Koalisi Jokowi,” tulisnya. “Termasuk Rp 1.300 T yang belum lama ditandatangani Presiden Xi Jinping. Cina-Cina itu ketakutan terjadi gejolak, yang bisa membuat investasi mereka hangus,” lanjutnya. Di dalam negeri, “dalang” yang selama ini di belakangnya juga menekan Jokowi. Sehingga yang terjadi sekarang ini adalah pilihan pelik bagi Jokowi. Nasib rekonsiliasi kini ditentukan oleh kekuatan 2 alat sandera. Yakni hasil pertarungan antara: Bukti Pencurangan Pemilu-Pilpres 2019 versus Bukti Korupsi Bus TransJakarta TA 2013. Mana yang lebih efektif menyandera Jokowi? Keduanya jelas sangat efektif. Karena Jokowi bisa kena keduanya. Sehingga, jadinya “maju kena, mundur kena”. Menolak rekonsiliasi bisa “dihabisin” Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Sebaliknya, jika menerima rekonsiliasi, Jokowi akan berhadapan dengan Koalisi Jokowi yang dimotori oleh Surya Paloh Cs (NasDem, Golkar, PKB, dan PPP) yang tampaknya sudah buat faksi sendiri di luar PDIP yang sudah tampak “mesra” dengan Gerindra. Tak hanya itu. Bahkan, Jokowi juga akan berhadapan dengan SBY, Luhut Binsar Panjaitan, AM Hendro Priyono, dan CSIS yang selama ini menjadi penyokong Jokowi sejak menjabat Walikota Solo. Mereka akan memakai kasus korupsi Bus TJ tersebut. Apalagi, bukti dalam persidangan kasus korupsi Bus TJ itu juga mengarah pada keterlibatan Jokowi saat menjabat Gubernur Jakarta. Korupsi pengadaan bus TJ tersebut menyeret mantan Kadis Perhubungan Permprov DKI Jakarta Udar Pristiono. Dalam persidangan, Udar akhirnya divonis hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Tragis! Udar, salah satu diantara beberapa pejabat di Pemprov Jakarta yang diseret di Pengadilan Tipikor Jakarta berkat “kebijakan” Gubernur Jokowi saat itu. Dua mantan anak buahnya, Setiyo Tuhu dan Drajad Adhyaksa, juga menjadi pesakitan. Drajad Adhyaksa adalah Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan Setiyo Luhu adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Dishub DKI Jakarta. Jaksa menyebutkan, kasus korupsi pengadaan bus TJ pada 2013 dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak. Jaksa juga menyebut nama Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi pada BPPT Prof. Prawoto. Lembaga yang dipimpin oleh Prawoto ini disebut bertanggung jawab karena berperan sebagai perencana dan pengendali teknis serta pengawas pengadaan dalam proyek TJ. Beberapa pemenang lelang juga disebut terlibat dalam kasus ini. Pertama adalah Direktur Utama PT Korindo Motors Chen Chong Kyong. Perusahaan ini merupakan pemenang lelang pada pengadaan busway articulated (bus gandeng) paket I. Kemudian ada juga keterlibatan dari Direktur Utama PT Mobilindo Armada Cemerlang, Budi Susanto, selaku pemenang lelang pada pengadaan busway articulated paket IV. Direktur PT Ifani Dewi, Agus Sudiarso, juga disebut ikut melakukan korupsi. Perusahaan tersebut adalah penyedia barang pada pengadaan busway articulated paket V dan busway single (tunggal) paket II. Jaksa menyatakan, beberapa bentuk penyimpangan proyek pengadaan bus TJ adalah tidak terpenuhinya spesifikasi teknis; Juga, harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan sodoran harga proposal dari rekanan dan diarahkannya spesifikasi pada perusahaan tertentu, serta adanya kemahalan harga. Akibat perbuatan mereka, negara dirugikan hingga Rp 392,7 miliar. Dalam persidangan beberapa kali Udar menyebut nama Jokowi, yang kini menjabat Presiden dan menjadi Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Udar mengklaim proses pengadaan 14 paket bus TJ pada 2013 sudah sesuai aturan. Bahkan, ia mengaku sudah melakukan prosedur pelelangan sejalan dengan kemauan dan aturan yang dibuat oleh Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Saat memberikan kesaksian Udar mengaku proses pelelangan sesuai aturan. Yakni Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Ia mengaku, sebagai Pengguna Anggaran (PA), Udar sudah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Drajad selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Udar mengaku cuma mengawasi penggunaan anggaran dan meneken perjanjian kontrak kerja di akhir proses. “Karena itu memang tugas saya sebagai PA,” kata Udar, seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (4 November 2014 09:10). Udar mengatakan, proses pengadaannya juga sudah sesuai dengan visi-misi Jokowi saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, ia mengaku Jokowi sangat keras mengawasi penyerapan anggaran dalam proses pengadaan. “Program pengadaan bus TransJakarta sesuai rencana daerah. Ini visi misi Gubernur DKI Jakarta,” tegas Udar. Bahkan, katanya, “Pernah diancam oleh Pak Gubernur kalau penyerapannya kecil dibatalkan saja. Karena DKI sangat ketat tentang penyerapan anggaran. Diawasi setiap minggu,” ungkap Udar. Ia mengklaim proses pelelangan bebas dari intervensi, sebab dilaksanakan secara elektronik. Udar mengatakan, ia tak menanggung seluruh wewenang pengguna anggaran lantaran sudah diwakilkan kepada anak buahnya. “Karena terjadi delegasi wewenang, maka proses selanjutnya dilakukan mereka. Pelelangan dilaksanakan melalui electronic procurement, kecuali tatap muka pada tahap akhir karena menandatangani kontrak kerja,” sambung Udar. Kasus korupsi bus TJ itulah yang kini menjadi “momok” bagi Jokowi. Di sinilah masyarakat mulai tahu. Bahwa rivalitas pendukung Jokowi akhirnya terbaca publik. Pasca Pilpres 2019 menjelang penyusunan kabinet, rivalitas ini semakin tajam. Terutama setelah berhembus kencang isu masuknya Gerindra dalam kabinet Jokowi jilid II. Luhut berulang kali minta ketemu Prabowo, ditolak. Munculnya Kepala BIN Budi Gunawan sebagai kekuatan politik baru di balik pertemuan dua pertemuan. Yakni, Pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati. Ketika pertemuan Prabowo-Megawati, SP bermanuver dengan bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan menebar kabar akan mengusung Anies sebagai Capres 2024. SP bermanuver karena khawatir jatahnya di kabinet akan berkurang bila Prabowo-Jokowi rekonsiliasi. Banyak pihak menyebut, PDIP sudah tak nyaman lagi bersama NasDem. Jaksa Agung yang dipegang oleh orang NasDem seringkali digunakan untuk “menghabisi” politisi selain NasDem. Sementara kader NasDem banyak yang ditangkap KPK. Terbaru, Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, Ketua DPW NasDem, ditangkap KPK. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito sedang dibidik KPK kasus Bowo Sidik. Selain itu banyak pula jaksa yang ditangkap KPK sebagai simbol “perlawanan” pada Jaksa Agung M. Prasetyo. Sebagian besar komisioner KPK sendiri adalah “orang-orang” SBY Cs. Kasus-kasus yang diungkap banyak menyasar kader PDIP dan NasDem. Inilah yang membuat PDIP akhirnya tak nyaman lagi dengan keberadaan Luhut di lingkaran Jokowi. Tarik menarik antara kekuatan BG, Luhut, dan SP semakin menguat saat menjelang perebutan beberapa posisi strategis di kabinet. Jokowi dilematis. Posisi makin terjepit karena kunci truf “kemenangan” Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh KPU dipegang oleh BG, Luhut, maupun SP, bisa saja dimainkan oleh faksi-faksi masing-masing kekuatan untuk menekan Jokowi. Belum lagi bukti pencurangan Jokowi-Ma’ruf yang kini juga dipegang oleh “kekuatan besar” yang sewaktu-waktu bisa “meledak” hingga membuat Jokowi-Ma’ruf terjungkal dari tampuk kekuasaan yang diraihnya dengan pencurangan. Rivalitas di antara politisi pendukung Jokowi-Ma’ruf ini terlihat haus kekuasaan. Jika diadu, maka mereka akan beradu cepat membawa data ke KPK. Selain itu, mereka akan selalu siap sebagai saksi pemberatan atas rivalnya itu. Tidak disadari, pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati membuat politisi Koalisi Jokowi terpecah dan “teradu”, mereka diadu dengan tujuan untuk ungkap data korupsi lawan politik pada KPK, yang saat ini sudah siap berselancar ke KPK. Situasi itulah yang kini membuat Jokowi tertekan dalam menghadapi pilihan yang dilematis! Mungkin jawaban yang tepat adalah Mundur! ***

Mega,"Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi"

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Sumringah. Bahagia. Tidak ewuh pakewuh. Saling lempar senyum lepas. Itulah suasana yang tampak saat berlangsung pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, seperti halnya ketika Presiden Joko Widodo bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Ada yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Mega di Jl. Teuku Umar ini. Memang, bersamaan dengan pertemuan Teuku Umar itu, Rabu (24/7/2019) Presiden Jokowi sedang menyambut kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum Nasdem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Pertemuan digelar di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Melansir Tribunnews.com, dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Suharso Monoarfa. SP menyebut Mega tidak ikut hadir, karena pertemuan tersebut berlangsung secara spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya. Ia mengakui memang tak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya. Namun SP menyebut tiga ketum parpol yang datang juga tak diundang. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” ujarnya. Menurut SP, dalam pertemuan itu tak ada pembahasan spesifik. Masing-masing ketum parpol hanya saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik yang dilakukan pasca Pilpres 2019. Terkait pimpinan MPR, SP sepakat bahwa dalam paket yang diusung harus diisi oleh parpol koalisi Jokowi-Ma'ruf, bukan parpol oposisi. Hal ini disampaikan SP menanggapi Gerindra yang juga mengincar kursi Ketua MPR. “Kursi MPR idealnya tetap paket partai pengusung pemerintahan Jokowi saat ini,” katanya. Namun, terkait siapa yang mendapat jatah Ketua MPR dan tiga Wakil Ketua MPR, belum diputuskan. Seluruh parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf harus membahasnya lebih lanjut. “Kalau masing masing mau jadi ketua ya susah,” kata bos Media Group ini, seperti dilansir Kompas.com, Senin (22/7/2019). Apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua? Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo-Mega, Rabu (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf. Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi. “Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang,” ungkap Ujang, seperti dikutip Tirto.id. Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung oleh 10 partai. Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan. Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara. Kabarnya, Gerindra itu mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian. Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung masuk dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Penolakan atas Gerindra dan parpol seperti Demokrat-PAN telah disampaikan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen. Keempat partai itu sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski hingga kini belum jelas siapa yang akan ditunjuk Presiden Jokowi. Muhaimin bilang, selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri. Sementara fungsionaris Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar. Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri. Ketum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga, SP, dan Suharso, saat bertemu menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar. Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya “koalisi yang ada diperkuat saja”. Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra. Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet. “Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden,” katanya. Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat. Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi. “Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra, sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu,” ujar Ujang. Dalam ayat (2) pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi. Sejauh ini Gerindra juga belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang. “Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil,” ujar Andre pertengahan Juli lalu. Namun, jika menyimak pertemuan Prabowo-Mega di Teuku Umar, tampaknya membawa “pesan khusus”. Setidaknya, selain ditujukan kepada empat parpol Koalisi Jokowi yang tidak dilibatkan dalam pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Teuku Umar, pesan khusus ini juga ditujukan pada Jokowi. Jika menolak rekonsiliasi, maka posisi Jokowi bisa rawan. Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Taruhannya adalah Jokowi-Ma’ruf gagal dilantik sebagai Presiden-Wapres 2019-2024. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Versi KPU, paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional, tapi menang di 26 provinsi, dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi ini sama saja dengan melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Buah simalakama bukan? Kedua, pemilihan ulang. Kalau pemilihan ulang rasanya tidak mungkin. Selain tak ada biaya, banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo-Sandi. Maka, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Di sinilah Mega piawai dalam membaca strategi politik Prabowo sejak “dikalahkan” oleh KPU yang dikuatkan oleh MK dan MA. Sebaliknya, dengan format mengikuti hasil rekapitulasi KPU berdasar prosentase 55:54, telah membuat Koalisi Jokowi sedikit goyang. Apalagi, saat pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Teuku Umar, tidak melibatkan mereka. Sebelumnya, Prabowo bersama Dewan Pembina disebut menyiapkan konsep terkait opsi soal ketahanan pangan dan ketahanan energi. Jika konsep itu diterima oleh pihak Presiden Jokowi, maka Gerindra bersedia masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Apabila tidak disetujui, Gerindra akan tetap menjadi oposisi. “Tapi sebaiknya menurut saya Mas Bowo ngomong sendiri saja sama Pak Jokowi. Sehingga yang namanya dialog itu sangat diperlukan,” kata Megawati, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (24/7/2019). “Semua keputusan nanti ada di presiden terpilih karena pada Beliaulah (Presiden Jokowi) hak prerogatif itu ada, bukan pada saya,” ucap Presiden kelima RI itu. Tentunya termasuk format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo? Mengikuti Surya Paloh Cs atau Megawati! ***

Budi Gunawan, Orang Kuat Baru Indonesia

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Indonesia punya orang kuat baru. Orang itu bernama Budi Gunawan. Saat Ini dia menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Fakta itu mencuat menyusul bertemunya Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, dilanjutkan dengan kunjungannya ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. BG—begitu dia dipanggil— hadir dalam dua pertemuan tersebut. Kehadiran BG yang cukup menonjol terlihat dalam jamuan makan siang di kediaman Megawati. Yang hadir sangat terbatas. Megawati ditemani dua orang anaknya Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani Mensekab Pramono Anung, plus BG. Hal itu menunjukkan posisinya yang spesial. Kehadiran BG sempat tak dikenali. Dia tampil klimis, tanpa kumis hitam rapih yang menjadi ciri khasnya. Sejumlah tokoh yang mengerti cerita dibalik keberhasilan “operasi rahasia” itu juga mengkonfirmasi penting dan krusialnya peran BG mewujudkan semuanya. “Beliau bekerja tanpa ada suara. Alhamdulillah apa yang dikerjakan hari ini tercapai," kata Pramono Anung seusai pertemuan MRT, Sabtu (13/7/2019). Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan BG menjalankan semua peran itu atas penugasan Presiden Jokowi. Tak heran bila banyak kalangan yang memuji keberhasilan BG menjalankan “mission impossible” itu. Politisi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi termasuk yang kagum. Agak sulit sebelumnya membayangkan Prabowo bersedia bertemu Jokowi, mengingat kontestasi politik yang sangat keras sepanjang pilpres lalu. Yang terjadi bukan hanya bertemu. Prabowo tampak ketawa-ketiwi, makan siang dalam suasana yang sangat hangat dan personal dengan Megawati. Lebih dari itu, dua kubu itu tampaknya sampai pada satu kesepakatan bakal bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Sebuah praktik politik yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia, di negara demokrasi. Dua capres yang berkontestasi. Terlibat perseteruan dahsyat. Sampai bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ratusan korban tewas, baik dari para petugas penyelenggara pemilu dan pendukung, tetiba mereka kemudian sepakat memerintah bersama. Sebuah praktik demokrasi out of the box, bahkan di luar nalar pikiran kita semua. Beyond our imagination. Semua hil yang mustahal ini bisa terwujud berkat peran seorang aktor utama bernama BG. Fakta itu menunjukkan BG mempunyai otoritas, kekuatan jaringan, kemampuan, sumber daya, dan yang paling penting: Dipercaya. Baik oleh kubu Jokowi, khususnya Megawati maupun kubu Prabowo. Tangannya menjangkau jauh ke dalam partai politik, dan pengambil keputusan di dua kubu yang berseteru. Dua kekuatan yang dalam setahun terakhir saling bertentangan secara diametral. Dua kubu yang membelah Indonesia menjadi cebong dan kampret. Dengan perannya itu, kita tidak perlu kaget bila dalam beberapa tahun ke depan BG akan memegang posisi penting dan memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan Jokowi. Dia akan menggantikan peran-peran tokoh yang selama ini mendominasi pentas politik nasional seperti Luhut Panjaitan. Menjadi orang kepercayaan dan tangan kanan Jokowi. Perannya bahkan akan lebih kuat, mengingat kedekatannya dengan Megawati. Melalui PDIP Megawati adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Tidak Terduga Barangkali banyak yang tidak menduga, BG akan mencapai posisi sentral seperti sekarang. Karirnya nyaris habis ketika dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal masa jabatan Jokowi (2015). Saat itu Jokowi sudah menominasikannya sebagai Kapolri dan DPR menyetujuinya. Jokowi ternyata menolak melantik BG ketika dia berhasil memenangkan gugatan pra-peradilan atas KPK. Dia kemudian harus “menyingkir” menjadi Kepala BIN. Jabatan sebagai Kapolri akhirnya diberikan kepada juniornya Tito Karnavian. Dengan peran baru sebagai Kepala BIN, BG lebih banyak bekerja di balik layar. Justru dengan posisinya itu dia bisa lebih banyak melakukan kerja-kerja politik, lepas dari sorotan publik. Sebuah peran yang tak mungkin dia jalankan bila menduduki posisi Kapolri. Hubungannya yang sangat dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati, membuat BG punya akses dan peran istimewa di dunia politik. Bagaimanapun PDIP adalah partai terbesar. Partai pemenang pemilu. Jokowi, seorang kadernya, seorang petugas partai menjadi presiden. Jadi Megawati menjadi semacam Godmother. Pemegang kekuasaan sesungguhnya secara informal dan secara organisasi berada di atas Jokowi. Sebagai mantan ajudan ketika Megawati menjadi presiden, kini peran BG berubah menjadi seorang “partner.” Peran yang melengkapi dan mengisi kekosongan yang dulu diperankan oleh suami Megawati, almarhum Taufik Kiemas (TK). Semasa Kakak TK —begitu dia biasa dipanggl kalangan dekatnya—masih hidup, dia menjadi semacam jembatan politik bagi Megawati. Dia bisa mempertemukan berbagai kekuatan yang berseberangan, duduk dalam satu meja. Termasuk tokoh-tokoh Islam yang sering berposisi diametral dengan PDIP dan Megawati. Latar belakang kakak TK sebagai anak tokoh Masjumi di Palembang, membuatnya tidak kesulitan menembus sekat-sekat itu. Megawati tampaknya sudah menemukan partner baru. Partner menjalankan peran yang dimainkan TK di masa lalu. Dilihat dari usia BG (60 th), jauh lebih muda dibanding Megawati (72 th), dia bukan hanya berperan sebagai partner, tapi juga bisa menjadi salah satu kader penerus kekuasaannya. Kemunculan BG di publik dan momen-momen politik penting, bisa dilihat sebagai tahap awal pengenalannya (brand awareness) kepada publik pemilih Indonesia. Jika BG dipersiapkan sebagai the next leader, dia tidak boleh terus berada di dunia remang-remang. Dunia intelijen di balik layar. Dia harus lebih sering tampil di muka publik. Dalam marketing politik dikenal rumus baku : Popularitas, disukai (likeness) dan elektabilitas. Kalau mau terpilih haruslah populer terlebih dahulu, dan kemudian disukai publik. Peta dunia persilatan politik Indonesia bakal tambah seru dan menarik. Kita sudah bisa membayangkan serunya persaingan Pilpres 2024 sejak dari sekarang. Selamat datang Pak BG. Semoga beruntung. end

Beda Makan Siang Anies-Surya Paloh dengan Makan Siang Prabowo-Megawati

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rabu (24/7) ada dua peristiwa politik penting yang menyedot perhatian publik. Pertama, pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Kedua, pertemuan antara Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Lokasinya berjarak tidak terlalu jauh. Jika ditarik garis lurus, barangkali tidak mencampai satu kilometer. Masih dalam jangkauan jarak bidik. Hanya sepelemparan batu. Yang satu dihelat di Jalan Teuku Umar, kediaman Megawati. Satunya lagi dihelat di kantor Nasdem di Jalan Gondangdia. Dua-duanya berada di kawasan Menteng. Kawasan paling elit di Jakarta. Ada persamaan dan perbedaan diantara kedua pertemuan itu. Persamaan yang paling kasat mata, kedua pertemuan dilakukan sambil makan siang. Karena acara makan siang itu dilakukan oleh para politisi papan atas, tak salah bila kemudian publik dan media menafsirkan secara politis pula. Sudah menjadi pemahaman umum, ada adagium yang sangat populer “tidak ada makan siang yang gratis.” Apalagi dalam politik. Jadi mau dibantah. Dijelaskan panjang lebar sampai berbusa-busa, sulit untuk menyebut hal itu hanya silaturahmi biasa. Apalagi hanya sekedar menyebutnya silaturahmi para tokoh bangsa yang kebetulan sudah bersaahabat lama. Konfigurasi baru peta politik Dilihat dari dampaknya secara politik, harus diakui pertemuan antara Anies dengan Surya lebih mengejutkan ketimbang pertemuan Prabowo dengan Megawati. Pertemuan Prabowo dengan Megawati, kendati mendapat liputan media dalam skala besar, namun tone-nya landai. Maklumlah pertemuan itu dihelat setelah Prabowo bertemu dengan Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus. Publik sudah tidak lagi terlalu kaget dan mahfum, Prabowo dan Gerindra hampir pasti merapat ke istana. Hanya saja kali ini langkahnya semakin dekat. Dia bertemu Megawati sebagai pemilik saham dan aset terbesar dalam partai koalisi pendukung Jokowi. Ini semacam fatsoen politik dan adanya sebuah kepastian: Prabowo diundang dan diterima dengan tangan terbuka! Situasinya jelas sangat berbeda dengan pertemuan Anies-Surya Paloh. Boleh dibilang ini adalah sebuah kejutan besar! Pasca pertemuan di stasiun MRT, massa pendukung 02 sangat kecewa dan bersiap move on. Mereka sedang mencari-cari figur baru penantang Jokowi. Anies termasuk dalam daftar teratas yang dielus-elus sebagai jago baru. Kendati pernah menjadi tim sukses dan kemudian menjadi anggota kabinet Jokowi, dalam polarisasi politik Indonesia, dia diposisikan berseberangan dengan Jokowi. Makanya ketika Anies bertemu Surya Paloh, publik dan media menangkap ada sesuatu yang tengah terjadi. Sesuatu yang akan membuat perubahan kostelasi politik sangat besar. Media kemudian beramai-ramai membuat judul : Surya Paloh Siap Usung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Situs MetroTVnews.com milik Surya Paloh termasuk yang mengunggah judul itu. Jelas ini berita besar. Layak masuk kategori Breaking News! Kabinet baru belum terbentuk, kok tetiba Surya Paloh sudah mengumumkan gacoan baru! Publik menangkap ini semacam sinyal perlawanan dari Surya Paloh. Dia tak sepakat atas rencana Jokowi dan Megawati menggandeng masuk Prabowo ke kabinet. Dua hari sebelumnya Surya Paloh juga bertemu dengan para Ketua umum partai pendukung Jokowi tanpa dihadiri wakil PDIP. CLBK (Cinta lama bersemi kembali) antara Prabowo dengan Megawati, membuat Surya Paloh Dkk patah hati. Ada yang berkhianat, mendua hati. Pesta pernikahan berupa pengumuman kabinet belum dihelat, kok sudah ada yang main mata dengan gacoan lama. Karena itu signal politik yang tegas dan keras harus disampaikan. Anies merupakan medium yang paling pas dan tepat untuk menyampaikan pesan itu. Kalau sampai Jokowi dan Megawati meneruskan langkahnya, maka mereka akan berhadapan dengan Surya Paloh Dkk. Belakangan Nasdem secara resmi membantah ada pernyataan itu. Menurut mereka media salah menafsirkan statemen Surya Paloh. Media kemudian ramai-ramai meralat beritanya. Ada “kesalahan” berjamaah, termasuk media milik Surya Paloh. Bila kita cermati rekaman pernyataan Surya Paloh, benar tidak ada kata secara eksplisit dia akan mengusung Anies Baswedan. Namun momentum pertemuan, dan statemen-statemen yang disampaikan, secara implisit mengisyaratkan Surya Paloh sedang “mempertimbangkan” dan menilai Anies layak didukung sebagai capres pada 2024. Media dan publik tidak sepenuhnya salah. Dalam politik, kita tidak boleh hanya memahami apa yang tersurat, tapi juga yang tersirat. Simbol, gestur tubuh, momentum, pilihan lokasi, siapa bertemu siapa, siapa bicara apa, haruslah turut diperhatikan. Ada panggung depan dan panggung belakang. Sekali lagi pertemuan Anies dan Surya Paloh tidak boleh hanya dipahami sebagai pertemuan biasa. Juga bukan sekedar pertemuan sahabat lama, pertemuan antara seorang kakak dan adik seperti dikatakan Surya Paloh. Penjelasan bahwa Anies merupakan salah satu deklarator Ormas Nasdem, makin menguatkan dugaan: sedang terjadi perubahan konfigurasi besar dalam formasi politik Indonesia saat ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan kacamata lama dalam bingkai dua kubu besar, kubu paslon 01 dan palson 02. Formasinya mulai mencair dan bisa membentuk beberapa konfigurasi baru. Bila meminjam analogi dunia silat, manuver Surya Paloh bertemu Anies bisa dilihat sebagai jurus kembangan. Seorang pesilat biasanya menggunakan jurus ini untuk menjajaki dan memancing lawan, sebelum melakukan serangan telak dengan jurus inti yang mematikan. Semuanya sangat bergantung pada reaksi Jokowi dan terutama Megawati. Memilih kembali ke Cinta Lama yang Belum Kelar (CLBK) dengan Prabowo, tetap bersama koalisi partai pendukung Jokowi, atau mengambil jalan tengah, poligami politik. End

Kasus Gagal Bayar, Tanda-tanda Awal Krisis?

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Krisis ekonomi mulai mengintip. Sejumlah perusahaan menunjukkan gejala gagal bayar. Kasus terbaru gagal bayar obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta alias Rp154 miliar (estimasi kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan "junk" alias sampah. Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai us$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu. PT Agung Podomoro Land Tbk. juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli pekan lalu, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. "Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun," tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Pintu Krisis Fuad Bawazier menilai di banyak negara krisis ekonomi sering diawali dengan gagal bayar utang, baik utang negara ataupun utang swasta. Lalu, belakangan, sejumlah ekonom juga mencemaskan besarnya utang badan usaha milik negara atau BUMN. "Kecemasan-kecemasan itu bisa dipahami mengingat umumnya proyek yang dibiayai utang kurang ekonomis pembangunannya dan kurang produktif setelahnya," kata Menkeu Kabinet Pembangunan VII ini, dalam keterangannya, Rabu (24/7). Ekonom senior Rizal Ramli sekendang sepenarian dengan Fuad. “Kalau ekonomi tidak segera dibenahi dikhawatirkan krisis 1998 kembali terjadi,” katanya seperti dikutip RMOL, Rabu (24/7). Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini menyampaikan kalau tidak ada langkah-langkan cepat dan jitu memperbaiki ekonomi, dikhawatirkan akan banyak perusahaan yang menyusul. "Kalau tidak hati-hati bisa menyeret yang lainnya. Belajarlah dari krisis 1998," katanya. Kegaduhan di PT Krakatau Steel, Asuransi Jiwasraya, PT Garuda, isu membengkaknya utang BUMN Karya, dan besarnya kredit bermasalah di bank pelat merah juga dinilai Fuad masih menjadi sorotan. Meski begitu menurutnya sejauh ini belum ada berita kegagalan BUMN bayar utang. Fuad justru heran gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta. Khusus gagal Grup Duniatex, dia menilai kegagalan perusahaan ini membayar obligasi merupakan hal tidak wajar. "Tetapi di luar dugaan, gagal bayar utang justru diawali oleh pihak swasta dari industri tekstil. PT DMDT dari Group Duniatex yang menerbitkan obligasi US$300 juta pada bulan Maret tahun ini gagal bayar kupon obligasinya. Aneh sekali obligasi yang baru berumur 3-4 bulan sudah gagal bayar kupon," kata Fuad curiga. Fuad mengatakan hal ini bisa jadi penipuan. Duniatex juga sudah berutang dari sindikasi bank, termasuk Indonesian Eximbank sebesar Rp17 triliun. Belum lagi kredit yang didapatkan pada tahun 2018. "Menjadi lebih mengejutkan lagi ketika JP Morgan mengabarkan bahwa dalam tahun 2018 Group Duniatex telah menerima kredit US$362,3 juta dan Rp5,25 triliun," lanjutnya. Kegagalan bayar utang ini, meski baru kupon, tentu menghancurkan nilai obligasi tersebut sebagai junk, dan mau tidak mau pemegangnya membukukan sebagian kerugian. Kejadian ini, bisa mencemaskan pasar modal dan meningkatkan kredit macet perbankan. Bukan cuma Duniatex saja yang penilaiannya menurun, kredit rating Indonesia pun bisa saja terkena imbasnya. "Jika itu terjadi, merupakan signal awal krisis ekonomi Indonesia," tegasnya. Menurut Fuad, pemerintah tidak pada posisi yang mampu menolong pada saat ini. Berbeda dengan saat krisis moneter tahun 1998 ketika pemerintah mampu bertindak sebagai penolong swasta yang gagal bayar utang. Jadi, sebaiknya semua pihak, khususnya pemerintah waspada dan sedia payung sebelum hujan. Jangan jumawa bilang ekonomi sedang kuat. "Sekali lagi jangan berasumsi apalagi berkoar bahwa ekonomi kita kuat, dan ketika krisis benar- benar terjadi cari kambing hitam. Selalu ada solusi asal mau mikir," ujar Fuad.

Megawati Mau Pisahkan Prabowo dari Umat Islam, Tendang LBP, Cegah SBY

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pada hari Rabu (24 Juli 2019), berlangsung pertemuan Prabowo dan Megawati di kediaman mantan presiden kelima itu, di Jalan Teuku Umar. Semula diberitakan pertemuan ini akan dihadiri oleh Jokowi. Tetapi, akhirnya, hanya berlangsung antara Prabowo dan Bu Mega. Menyusul pertemuan Stasiun Lebak Bulus antara Jokowo dan Prabowo (13 Juli 2019), pertemuan Teuku Umar semakin memperjelas arah yang ingin ditempuh para penguasa politik. Semakin jelas apa yang hendak mereka lakukan. Mereka sedang berusaha merangkul Prabowo dan Gerindra. Lalu, apa tujuan mereka merangkul? Banyak yang bisa dibaca dari pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Tujuan pertama dan utama adalah upaya untuk memisahkan Prabowo dari umat Islam. Tujuan ini tidak samar-samar. Sangat gamblang. Bisa dilihat dari sejumlah isyarat yang ditunjukkan secara terbuka oleh para politisi yang terlibat di dalam proses rekonsiliasi antara Kubu 01 dan Kubu 02. Prabowo, tampaknya, dianggap sudah terlalu jauh berfusi (menyatu) dengan umat Islam (i.e. umat garis lurus). Para politisi sekuler-nasionalis anti-Islam di semua kekuatan politik melihat kedekatan Prabowo dan umat serta para ulama bisa membentuk kekuatan besar yang akan menggusur mereka. Kentalnya fusi Prabowo dan umat terbukti dalam kampanye pilpres 2019. Kampanye Prabowo-Sandi yang selalu gegap-gempita di mana-mana. Kemudian, silaturahmi keliling Indonesia yang dilakukan Sandiaga Uno selama enam (6) bulan sebelum kampanye, juga meledak di mana-mana. Fakta-fakta inilah yang membuat proyeksi kemenangan Prabowo-Sandi menjadi sangat diyakini akan terjadi. Tapi, akhirnya, proyeksi kemenangan itu kandas di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemenangan Prabowo akan menjadi simbol kemenangan umat Islam. Pantas diduga proyeksi kemenangan itu membuat para penguasa politik dan para penguasa institusi yang sama-sama anti-Islam, menjadi resah. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terasa ada yang “tak wajar” dalam proses yang berlangsung di KPU dan tahap-tahap berikutnya di luar KPU. Para pendukung Prabowo yakin ada kekuatan yang merancang proses di lembaga penyelenggara pemilu ini. Kepala BIN Budi Gunawan (BG) pasti punya banyak informasi tentang dukungan kuat umat garis lurus kepada Prabowo. Pak BG juga pasti tahu tentang fakta-fakta pilpres 2019. Tak mungkin tidak, beliau juga memiliki detail perolehan suara Jokowi dan Prabowo. Pengetahuan Pak BG tentang perolehan suara itulah yang membuat dia berinisiatif merangkul Prabowo setelah muncul reaksi keras pendukung 01 terhadap keputusan KPU. Membiarkan Prabowo kesal dan rundung dalam kekalahannya diperkirakan akan semakin memperkuat aliansi dia dengan umat Islam dan para ulama. Kekuatan yang “dikalahkan” ini dikhawatirkan akan bergejolak terus seperti perut gunung berapi. Karena itu, mencabut Prabowo dari pusaran gejolak itu menjadi prioritas. Mereka perkirakan, mencabut Prabowo dari umat akan melemahkan perlawanan. Dan ternyata taktik memisahkan Prabowo dari gerbongnya, sejauh ini, cukup ampuh. Umat Islam pendukung Prabowo terbelah-belah akibat ucapan selamat dari Prabowo untuk Jokowi di Lebak Bulus. Terpecah menjadi tiga. Pertama, kelompok yang setuju dengan langkah Prabowo menerima rekonsiliasi bahkan berkoalisi dengan Jokowi. Kedua, kalangan yang menentang keras rekonsiliasi/koalisi. Ketiga, mereka yang diam saja. Mayoritas adalah kelompok kedua, yaitu mereka yang menentang keras. Tetapi, suara mayoritas itu menjadi tidak efektif dan malahan para pentolannya dijadikan target kriminalisasi. Prabowo terus “dihibur” dengan skenario yang menyenangkan. Setelah Lebak Bulus, hiburan itu dilanjutkan dengan makan nasi goreng di rumah Mega. Pertemuan ini akan menumbuhkan keyakinan di dalam diri Prabowo bahwa dia sedang “dihargai”. Sedang “dihargai” ini bisa juga punya arti yang tersirat. Salah satu kemungkinan maknanya adalah “diberi harga”. Kedua arti itu seharusnya paralel. Sulit dibantah. Menafikan ini akan sama dengan menolak dalil absolut bahwa setiap makhluk hidup pasti perlu makan ketika ia lapar. Sekali lagi, itulah tujuan pertama dan utama pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Yaitu, mencabut Prabowo dari pendukungnya yang mayoritas umat Islam (garis lurus). Tujuan pertama ini tampak dari gelagat yang terjadi. Yang mengumumkan pertemuan Prabowo-Megawati adalah FX Arief Poyuono. Dia adalah salah seorang dari faksi alergi-Islam di tubuh Gerindra. Faksi inilah yang sekarang banyak berperan sebagai ‘jurubicara’ Prabowo. Faksi alergi-Islam di Gerindra menjadi dominan menjelang Lebak Bulus. Saat ini, faksi Poyu harus diakui paling kuat pengaruhnya terhadap Prabowo. Cuma, untuk meredam kecurigaan umat, Poyuono tidak diikutkan di Teuku Umar. Sebagai tambahan, catatan sejarah menunjukkan FX Arief Poyuono pernah menjadi kader PDIP. Besar kemungkinan ‘darah PDIP’ yang mengalir di tubuh Poyu membuat dia lebih lincah berkomunikasi dengan Kubu 01. Dan juga dengan pimpinan PDIP. Benarkah ada gejala anti-Islam di Gerindra? Kecenderungan itu tidak sulit untuk diidentifikasikan. Antara lain dapat terbaca dari hubungan yang mulai renggang dan semakin melebar jaraknya antara Prabowo (plus faksi Poyu) di satu pihak dengan para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 di pihak lain. Pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar hampir pasti berlangsung tanpa komunikasi dengan para ulama yang selama ini menyertai Prabowo. Tujuan kedua. Mencabut Prabowo dari umat Islam sekaligus mengirimkan sinyal kepada umat garis lurus bahwa mereka sedang dialianisasikan. Proses pengucilan sudah dimulai. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Selanjutnya tujuan ketiga. Merangkul Prabowo ke Kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk Luhu Binsar Pandjaitan (LBP). Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Sebetulnya, Mega sudah lama ingin mendepak LBP. Namun, selalu tak punya alasan kuat untuk disampaikan kepada Jokowi. Tidak mudah menyingkirkan LBP. Sekaranglah saat yang tepat. Mega bisa meyakinkan Jokowi bahwa LBP lebih banyak menjadi masalah ketimbang solusi. Tujuan keempat. Dengan merangkul Prabowo, Megawati menunjukkan bahasa tubuh kepada SBY dan Partai Demokrat bahwa mereka sebenarnya tidak disukai masuk ke lingkaran Jokowi. Sejak Lebak Bulus, dan sekarang pertemuan Teuku Umar, SBY dan orang-orang Demokrat paham betul bahwa mereka tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Mega pastilah melihat jauh ke pilpres 2024. Kalau dia berhasil merangkul Prabowo dan Gerindra (sebagai partai nomor dua di DPR), itu berarti rencana yang sedang disiapkan Mega untuk pilpres lima tahu lagi kemungkinan besar akan sukses. Tujuan kelima. Megawati merangkul Prabowo untuk mengatakan kepada partai-partai lain di Kubu 01 bahwa bukan mereka yang mengatur Jokowi. Bukan mereka yang menentukan kabinet baru Jokowi. Bu Mega ingin menegaskan bahwa beliau dan BG-lah yang sekarang menjadi episentrum kekuasaan Jokowi periode kedua. Mega mengirimkan isyarat bahwa partai-partai koalisi Jokowi harus menerima kalau Prabowo dan Gerindra ikut masuk kabinet. Begitulah lebih kurang kemungkinan tujuan Megawati dan Jokowi merangkul Prabowo. Tetapi, harus ada disclaimer bahwa bisa saja Prabowo akan mengalami pengelabuan seperti yang pernah dialaminya lewat Perjanjian Batu Tulis 2009. Waktu itu, Megawati mangkir janji untuk mendukung Prabowo di pilpres 2014. (25 Juli 2019)

Makan Siang Megawati-Prabowo: Bukan Sekadar CLBK Biasa

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Makan siang Megawati-Prabowo Rabu (24/7) siang memberi banyak isyarat dan tafsir politik. Mulai dari siapa saja yang hadir. Menu makanan yang disajikan. Dan tentu implikasi politik dari pertemuan tersebut. Pertama, dari sisi yang hadir. Tuan rumah Megawati hanya ditemani keluarga inti, dan orang-orang dekatnya, khususnya PDIP. Mega ditemani dua orang anaknya Prananda, Puan Maharani, dan Kepala BIN Budi Gunawan. Sementara dari PDIP hadir Sekjen DPP Hasto Kristiyanto dan mantan Sekjen Pramono Anung yang kini menjadi Menseskab. Sementara Prabowo juga ditemani dua fungsionaris Partai Gerindra yang sudah lama dekat dan mendampingi Prabowo. Sekjen Ahmad Muzani dan Wakil Ketua Umum Edy Prabowo. Dua orang ini sudah dekat dengan Prabowo bahkan sebelum Gerindra berdiri. Apa artinya? Ini benar-benar pertemuan terbatas. Hanya mereka yang benar-benar punya kedekatan secara personal yang boleh hadir. Megawati dan Prabowo sudah mempunyai hubungan personal cukup lama dengan Megawati. Secara idiologis mereka juga sama. Jalur nasionalis dan kebangsaan. Pada Pilpres 2009 mereka bahkan pernah berpasangan sebagai capres-cawapres. Sayangnya mereka kalah ketika berhadapan dengan capres inkumben Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Budiono. Menurut klaim kubu Prabowo ketika itu ada semacam perjanjian tertulis, bahwa Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 sebagai capres. Kesepakatan itu dikenal dengan nama Perjanjian Batutulis. Sesuai dengan nama Istana Batu Tulis, Bogor yang menjadi lokasi perjanjian ditandatangani. Kemesraan hubungan keduanya terus berlanjut pada Pilkada DKI 2012. Berkat kegigihan Prabowo meyakinkan Megawati, pasangan Jokowi-Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI. Namun gegara Jokowi lah hubungan Megawati dengan Prabowo secara politik menjadi terganggu. Megawati pada Pilpres 2014 memutuskan mendukung Jokowi dan mengingkari kesepakatan Batu Tulis. Ironisnya Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla kemudian mengalahkan Prabowo-Hatta. Perseteruan politik keduanya terus berlanjut dan tensinya malah meninggi ketika berlangsung Pilpres 2019. Sempat ada upaya menjodohkan Prabowo sebagai capres Jokowi. Namun usulan itu ditolak Prabowo. Seperti kita ketahui, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno kembali dikalahkan oleh Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Perseteruannya sangat keras. Prabowo bahkan sempat menolak mengakui hasil pilpres dan menuding Jokowi melakukan kecurangan. Kedua, dari sisi makanan yang disajikan. Secara simbolis dan semiotis bermakna politis sangat tinggi. Ada menu khusus dengan bumbu bawang putih spesial. Bawang putih adalah bumbu makanan dari sisi kesehatan dapat menyembuhkan penyakit aliran darah yang tersumbat (kolesterol) dan darah tinggi. Jadi secara simbolis tampaknya Megawati menginginkan agar komunikasi politik diantara mereka yang tersumbat, dapat lancar kembali. Sementara tensi politik yang meninggi akibat perseteruan di pilpres dapat diturunkan. Soal ini tampaknya tidak sulit dilakukan. Mengingat kedekatan dan kemesraan hubungan politik keduanya di masa lalu. Ini semacam CLBK. Cinta Lama Bersemi Kembali. Cinta Lama Belum Kelar. Hal itu terbukti ketika Budi Gunawan salah satu orang terdekat Megawati berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan sekarang dengan Megawati. Padahal sebelumnya Luhut Panjaitan salah satu tangan kanan Jokowi sudah berupaya keras. Namun selalu ditolak Prabowo. Ketiga, impilikasi politik. Pertemuan Prabowo dengan Megawati ini kian menegaskan tengah terjadi power struggle (perebutan pengaruh/kekuasaan) di sekitar Jokowi pasca pilpres. Megawati tengah melakukan konsolidasi pengamanan aset politiknya menuju Pilpres 2024 dengan melibatkan Prabowo. Mari kita cermati beberapa fakta berikut : Sabtu 13 Juli 2019 Jokowi bertemu dengan Prabowo di stasiun MRT Lebak Bulus. Acara itu dilanjutkan dengan makan siang di Satay House FX Sudirman, Jakarta. Tidak ada wakil dari parpol koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf yang hadir. Jokowi justru didampingi Budi Gunawan dan Pramono Anung. Pertemuan ini adalah keberhasilan lobi politik kubu Megawati melalui operasi intelijen yang dilakukan Budi Gunawan. Sebelumnya Luhut Panjaitan sudah melakukan berbagai cara mencoba mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Namun selalu mentok. Senin 22 Juli Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bertemu dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Soeharso Monoarfa di kantor Nasdem Gondangdia. Tidak ada wakil PDIP yang hadir. Surya Paloh menjelaskan bahwa pertemuan tersebut tidak direncanakan. Para Ketum itu juga tidak diundang. Mereka, kata Surya hadir karena tahu dua hari sebelumnya Surya ulang tahun. Bagi yang paham dunia politik alasan Surya ini sangat naif. Dalam dunia politik dikenal jargon, “ tidak ada yang kebetulan.” Kalau toh ada kebetulan, kata Presiden AS Franklin D Roosevelt, maka itu pun direncanakan. Para Ketum ini sebelumnya sempat terlibat dalam polemik soal jatah kursi di kabinet. Masing-masing merasa berhak mendapat jatah kursi yang banyak. Kehadiran para Ketum di markas Nasdem ini harus dilihat sebagai konsolidasi. Jaga-jaga dan atur strategi jangan sampai jatah mereka berkurang, bahkan diserobot Prabowo. Mereka pantas khawatir Prabowo bersiap-siap memotong di tikungan. Sebab seperti dikatakan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Prabowo sudah mengajukan power sharing 45-55 persen seperti hasil perolehan suara pilpres. Senin sore 22 Juli 2019 Luhut Panjaitan tiba-tiba memposting tulisan panjang di akun facebooknya. Dia bercerita kegiatan pribadinya berziarah ke makam mantan Menhankam/Pangab LB Moerdani. Tulisan itu banyak ditafsirkan sebagai isyarat bahwa Luhut bakal tersingkir dan meninggalkan hiruk pikuk dunia politik. Dalam tulisannya dia menyatakan : Seberapa kaya seseorang. Betapa berkuasa sewaktu masih hidup, maka bila meninggal dunia yang tersisa hanya gundukan tanah seluas 1X2 meter. Berbagai rangkaian peristiwa diatas, dan khususnya pertemuan Megawati-Prabowo menunjukkan secara politik, faksi Megawati menguat dan mulai memainkan kontrolnya. Pada periode kedua Jokowi, Megawati jelas tak ingin lagi kecolongan dan kehilangan kontrol seperti pada masa periode pertama. Pada periode pertama figur seperti Surya Paloh dan Luhut Panjaitan terlihat sangat dominan dan memainkan peran penting di pemerintahan Jokowi. Sebagai petugas partai, Jokowi adalah aset politik terpenting PDIP. Aset politik yang harus benar-benar dalam kendali partai bila Megawati ingin memperpanjang kekuasaannya untuk periode berikutnya. Pilpres 2019 ternyata belum usai. End

Jokowi Terancam Gagal Dilantik, Jika PDIP Tolak “Power Sharing”

Oleh Moch. Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi. Apa yang bakal terjadi jika PDIP menolak power sharing yang diajukan Prabowo Subianto sebagai syarat rekonsiliasi seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PAN Prof. Amien Rais saat bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019)? Dapat dipastikan, upaya rekonsiliasi yang diinginkan Presiden Joko Widodo akan terancam gagal tidak bisa dieksekusi. PDIP tak sepakat dengan konsep rekonsiliasi Amien Rais yang meminta jatah kursi 55 persen untuk koalisi dan 45 persen untuk oposisi. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, tidak ada jatah-jatahan kursi di pemerintahan Presiden Jokowi. “Kita bernegara bedasarkan konstitusi, tidak ada jatah-jatahan menteri, dengan pengertian itu hak prerogatif (presiden) sepenuhnya,” katanya. Melansir RMOL.com, Sabtu (20/7/2019), parpol pendukung berkedudukan sebagai pengusul sosok yang diperlukan presiden untuk menjabat posisi menteri. Namun, kata dia, kewenangan untuk mengambil menteri ada di tangan presiden, bukan partai politik. “Presiden punya kewenangan untuk memilih siapa yang pas karena menteri bukan petinggi biasa, menteri seorang yang menguasai hal ikhwal kementerian yang dipimpinnya. Menteri harus sosok negarawan, bukan yang berjuang demi kepentingan kelompoknya,” tegasnya. Oleh karenanya, ia tidak sependapat dengan pemikiran Amien Rais soal syarat rekonsiliasi agar oposisi bisa bergabung dengan pemerintah. “Tentu saja (tidak setuju) kita tidak bicara berapa persentasenya,” tegasnya. “Kita bicara mana anak bangsa yang punya kemampuan menjadi pendamping Pak Jokowi,” lanjut Hasto. Syarat lain yang disampaikan Amien Rais adalah kesediaan Jokowi untuk menerima ide dan program Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Memang, pasca pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, peluang Partai Gerindra masuk gerbong pemerintahan Jokowi jilid II semakin besar. Diperkuat lagi dengan pernyataan Prabowo yang siap membantu. Pernyataaan Ketua Umum Gerindra Prabowo “kami siap membantu jika diperlukan” ketika bertemu dengan Jokowi di Jakarta pada 13 Juli 2019, diyakini sebagai isyarat, Gerindra siap bergabung dalam pemerintahan baru Jokowi. Kabarnya, setelah pertemuan di Stasiun MRT itu, bakal ada lagi pertemuan lanjutan antara Jokowi dan Prabowo. Pertemuan tersebut disebut-sebut untuk menjajaki kerja sama politik yang lebih matang dalam lima tahun ke depan. Jika pembicaraan sudah ketemu, Jokowi bisa mengakomodir gagasan dan program Prabowo, dan lebih maju lagi, Gerindra bisa menempatkan kadernya di kabinet Jokowi II. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, Prabowo juga mewarnai kepemimpinan Jokowi. Posisi Prabowo dalam pemerintahan Jokowi mendatang inilah yang tentunya membuat tidak nyaman Partai Demokrat (baca: Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono). Pasalnya, sejak awal Demokrat yang sudah menyatakan siap membantu Jokowi. Namun, sejak ada upaya rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo itu, hubungan SBY dan Jokowi mulai “renggang”. Paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin itu dan parpol pendukungnya saat ini dikabarkan tidak melirik lagi Demokrat dan SBY. Alasannya, Jokowi dan parpol pendukungnya lebih nyaman dan tenang bekerja sama dengan Prabowo plus Gerindra, daripada Demokrat yang abu-abu. Posisi Demokrat di pemerintahan diibaratkan seperti “duri dalam daging” atau “jempol kaki cantengan”. Konsekuensi dari rekonsiliasi Jokowi – Prabowo di antaranya, yaitu Jokowi selaku Presiden RI akan mendelegasikan sebagian besar tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Pemerintahan kepada Prabowo. Sehingga, Jokowi hanya sebatas sebagai Kepala Negara. Wapres Jusuf Kalla dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, konon, sudah setuju dengan format ini. Keduanya nanti sebagai penasehat aktif pemerintah. Inilah yang membuat para "Dalang" yang selama ini berada mengendalikan Jokowi meradang. Pasalnya, jika format rekonsiliasi dengan komposisi 55 : 54 untuk Jokowi : Prabowo, mereka tidak bisa “berkuasa” lagi atas Presiden Jokowi. Syarat power sharing itu sesuai dengan hasil Pilpres 2019 versi KPU dan MK yang diamini MA. Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019) . Pertemuan ini digelar pasca pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT, Sabtu (13/7/2019) lalu. Amien Rais menjelaskan isi pertemuannya dengan Prabowo. “Saya tadi ada pertemuan dengan Pak Prabowo, bukan di 04 atau 06, bukan di sini, tadi di tempat lain. Berlangsung sekitar 25 menit,” kata Amien Rais di kediamannya, Kompleks Taman Gandaria Blok C Nomor 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019). Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi. Syarat ini nampaknya sangat berat untuk bisa dipenuhi pihak Jokowi. Kalau syarat ini disetujui pihak Jokowi, maka bakal terjadi rekonsiliasi. “Yang kedua ini saya bocorkan, bahwa Prabowo mengatakan yang namanya rekonsiliasi itu memang betul-betul harus objektif,” ungkap Amien Rais kepada wartawan. “Kemudian peta politik ke depan bagaimana, kalau pro dengan kedaulatan pangan, energi, air, ketahanan bangsa, pro pada rakyat, pro pasal 33 UUD 1945, maka rekonsiliasi dapat dipertimbangkan,” lanjut Amien Rais. “Dan tentu kekuatannya (power sharing/bagi-bagi kekuasaannya) seperti tercerminkan sesuai hasil Pilpres menurut keputusan KPU dan putusan MK, yakni 55:45 power sharing. Kalau memang betul mau rekonsiliasi,” tegas Amien Rais. Menurutnya, kalau tak ada power sharing 55:45, maka itu bukan rekonsiliasi, tapi kooptasi. “Dan jelas kalau tidak dipenuhi syarat power sharing 55:45, maka jelas sekali akan memilih menjadi oposisi,” tambahnya. Jika itu terealisasi, cita-cita NKRI menjadi adil makmur akan segera terwujud. Karena, para koruptor juga akan berpikir panjang jika akan korupsi. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh para “Dalang” pengendali Jokowi selama ini. Format seperti itulah yang ditolak mentah-mentah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tadi. “PDIP itu tergantung Bu Mega dan Prananda Prabowo. Hasto itu cuma radio rusak, Mas!” ungkap sumber PepNews.com. Jika Hasto dan PDIP ngotot menolak format rekonsiliasi seperti yang diajukan Prabowo, ini justru akan menyulitkan paslon 01 sendiri. Jokowi – Ma’ruf bisa terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024. Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Meski Paslon 02 Prabowo – Sandi tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 point. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR dan DPR. Kini, pilihan ada di tangan Jokowi dan PDIP, bukan “radio rusak”! ***

Dalam Kasus Kivlan Zen, Terjadi Perang Saudara antara TNI dan Polri

Oleh Mangarahon Dongoran ( Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tiga belas perwira Tentara Nasional Indonesia aktif siap memberikan bantuan hukum terhadap Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen dalam melawan Polri. Pembelaan tersebut diberikan dalam praperadilan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan mulai disidangkan Senin, 22 Juli 2019. Sedianya sidang digelar 8 Juli 2019, tapi ditunda karena perwakilan Polri tidak hadir. Kivlan Zen tidak menerima penetapannya sebagai tersangka kasus makar dan pemilikan senjata ilegal yang dilakukan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Ia pun mengajukan praperadilan. Menarik dicermati adalah dari 13 perwira militer yang memberikan bantuan hukum itu, dua di antaranya perwira tinggi berpangkat mayor jenderal dan brigadir jenderal. Selebihnya merupakan perwira menengah. Ke-13 perwia aktif itu siap memberikan bantuan hukum secara habis-habisan terhadap Kivlan, saudara kandung mereka di TNI yang sedang dizolimi oleh polisi. Mengapa mereka mendapat penugasan dari Mabes TNI untuk membela Kivlan, seorang purnawirawan TNI Angkatan Darat yang dikenal kritis, terutama menyuarakan tentang komunis yang mulai bangkit di Negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Menurut penuturan pengacaranya, Kivlan Zen lah yang memberikan surat kuasa hukum terhadap ke-13 perwira gabungan dari TNI AD, AL dan AU itu. Oleh karena itu, pembelaan yang akan dilakukan 13 perwira aktif itu menarik dicermati. Sebab, selain atas permintaan Kivlan, mereka semua mendapatkan restu dan penugasan dari Mabes TNI. Sepanjang yang saya lihat lewat media, penampilan mereka juga berbeda dari pengacara Kivlan yang berasal dari sipil. Tiga perwira yang hadir di PN Jakarta Selatan duduk bersebelahan dengan pengacara yang berasal dari sipil. Meski duduk sejajar, tapi mereka tampil dengan pakaian lengkap. Mereka mengenakan pakaian hijau loreng. Layaknya sedang membela militer aktif di pengadilan militer. Padahal, bukan berada di pengadilan militer. Itu artinya ada suatu pesan yang ingin disampaikan, terutama kepada Polri. Apalagi, perwira aktif yang menjadi pembela Kivlan itu berasal dari tiga angkatan, yaitu TNI AD, TNI AL dan TNI AU. Pakaian loreng itu adalah sebuah sandi bahwa mereka siap membela habis-habisan terhadap saudara kandung yang sedang dizolimi oleh Polri, khususnya Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Pakaian loreng tidak sembarang digunakan. Biasanya, pakaian itu digunakan di medan tempur atau dalam latihan. Selain itu, penggunaannya pada situasi darurat atau keadaan siaga. Misalnya, selama Pilpres, sampai putusan MK dan bahkan nanti sampai saat pelantikan Presiden 20 Oktober 2019, tentara yang bertugas di lapangan dalam rangka pengamanan, hampir semua memakai loreng, kecuali bagian intel. Betul ada hari tertentu tentara memakai loreng. Setidaknya ada dua pesan penting yang ingin disampaikan dengan kehadiran 13 perwira militer aktif itu. Pertama, kami dari tiga angkatan siap melawan polisi. Apalagi, kami berasal dari Mabes TNI, yang berhadapan dengan Polda Metro di pengadilan. Kalau bukan itu pesannya, pembela Kivlan dari militer cukup dari Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya. Itu baru selevel dengan Polda Metro Jaya. Atau cukup bantuan hukum dari Mabes TNI AD atau dari Kostrad. Tetapi, ini pengacara militer dari Mabes TNI. Kedua, kehadiran mereka tidak main-main. Dengan pakaian loreng, menunjukkan bawa tentara siap "berperang" melawan polisi secara hukum. Ya, siap "perang saudara." Meski mereka tentara, tetapi latar belakang akademisi mereka adalah sarjana hukum (SH). Sudah tentu mereka juga mahir dalam memberikan jurus-jurus silat secara hukum. Yang membedakan mereka dengan polisi sebagai penegak hukum, hanya dalam pendalaman bahwa mereka banyak belajar hukum militer. Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah dalam perang melawan polisi ini mereka akan menang? Bahwa selama ini ada perang (bentrok) fisik antara tentara dan polisi, hampir selalu dimenangkan oleh tentara. Tentu dalam kasus Kivlan Zen yang mengajukan praperadilan, kita masih menunggu putusan hakim. Akan tetapi, jika melihat kasusnya, mestinya Kivlan menang. Alasannya, semua yang ditangkap polisi dan dijadikan tersangka makar, tidak jelas rimbanya. Bahkan, mantan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Purnawirawan Soenarko sudah keluar dari tahanan. Ia juga ditangkap dengan tuduhan makar dan pemilikan senjata ilegal. Soenarko keluar dari tahanan atas jaminan 102 purnawirawan TNI AD. Sedangkan Kivlan yang juga mendapat jaminan penangguhan dari 700 orang purnawirawan TNI AD, masih tetap dikurung di tahanan POM AD Guntur. Akankah praperadilan ini juga sebagai usaha melepaskannya dari penetapan tersangka, agar kepolisian "kalah terhormat", ketimbang melepas begitu saja seperti tersangka makar lainnya? Perkiraan daya, ya. Berikut nama-nama perwira TNI aktif sebagai kuasa Tim Pembela Hukum Kivlan Zen : 1. Mayor Jenderal TNI Purnomo SH. MH. 2. Brigadir Jenderal TNI Dr. Wahyu Wibowo SH. MH. 3. Kolonel Chk. Subagya Santosa SH. MH. 4. Kolonel Chk. Azhar SH. M.Kn. 5. Letkol Chk. Wawan Rusliawan SH. 6. Letkol Chk (K) Mesra Jaya SH. 7. Letkol Laut (Kh) Marimin SH. 8. Letkol Laut (Kh). Sutarto Wilson SH. 9. Letkol Chk. Purwadi Joko Santoso SH. 10. Mayor Chk. Dedi Setiadi SH. MH. 11. Mayor Chk. Marwan lswandi SH. MH. 12. Mayor Chk. Ahmad Hariri SH. MH. 13. Mayor Sus. Ismanto. **

Ada Apa dengan Jenderal Luhut?

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tidak biasanya Menko Maritim Luhut Panjaitan yang dikenal selalu tampil garang, memposting tulisan bernada melow. Senin sore (22/7) melalui akun facebooknya Luhut menulis kegiatan pribadinya. Dia berziarah ke makam mantan Menhankam/ Panglima TNI Leonardus Benjamin Moerdani di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. “ Tiba-tiba saya teringat pak Benny.” Begitu Luhut memulai tulisannya. “Saya pada suatu pagi minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata. Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup.” Kemudian saya sentuh batu nisannya, lanjutnya. “Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda.” Konten dan gaya penulisannya terkesan sangat personal. Melalui tulisan itu Luhut kemudian bercerita tentang Benny. Seorang loyalis Soeharto yang kemudian tersingkir dari kekuasaan. Namun satu hal yang dicatat Luhut, apapun sikap dan perlakuan Soeharto kepedanya, Benny tak pernah kehilangan kesetiaannya. Tersingkirnya Benny dari elit kekuasaan Orde Baru berdampak langsung terhadap Luhut. Sebagai salah satu Golden Boys Benny, begitu Luhut menyebut dirinya, dia juga harus menerima konskuensinya. Karir militernya mentok. Sebagai lulusan terbaik Akmil 1970, mendapat penghargaan Adhi Makayasa, Luhut terpilih masuk ke korps pasukan elit Kopassus TNI AD. Namun karir militernya tidak cemerlang. “Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus,” tulisnya. Luhut benar, jabatan tertingginya di lingkungan teritorial hanya mentok sebagai Komandan Komando Resort Militer 081/Dhirotsaha Jaya di Madiun Jatim. Pada jabatan ini dia juga menorehkan prestasi sebagai Danrem terbaik. Setelah itu dia tak pernah menempati posisi komando yang penting. Jabatan Danjen Kopassus malah berhasil diraih oleh teman satu angkatannya di Akmil 1970 Soebagjo HS. Padahal secara akademis dan militer, Luhut lebih menonjol. Jabatan tertinggi di lingkungan militer yang diraih Luhut “hanya” menjadi Komandan Kodiklatad di Bandung dengan pangkat Mayjen. Pangkat Jenderal bintang empat yang diperolehnya melalui penghargaan yang disebut sebagai jenderal kehormatan (Hor). Karir Luhut justru cemerlang di luar lingkungan militer. Dia diangkat menjadi Dubes Singapura pada masa pemerintahan Habibie dan kemudian menjadi Menteri Perindustrian di era Presiden Abdurahman Wahid. Sempat menepi pada masa pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, karir Luhut kembali cemerlang pada masa pemerintahan Jokowi. Menempati posisi awal sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) Luhut kemudian sempat menjadi Menkopolhukam, dan sekarang menjadi Menko Maritim. Melalui berbagai jabatannya ini Luhut menunjukkan pengaruhnya yang besar sebagai pejabat yang paling diandalkan Presiden Jokowi. Semua urusan baik politik, ekonomi, sampai kegiatan pribadi Jokowi (menikahkan anak) tak lepas dari sentuhan Luhut. Dengan posisi dan perannya Luhut mendapat julukan sebagai menteri semua urusan. Perannya bahkan terkesan lebih besar dibandingkan dengan Wapres Jusuf Kalla. Power struggle Dengan semua kekuasaan dan kesuksesan di tangan, menjadi pertanyaan besar mengapa Jenderal Luhut tiba-tiba terkesan melow. Terkesan dia sedang sendirian dan berada di sebuah ujung perjalanan karirnya. Coba simak salah satu kalimat yang ditulisnya: “Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1 x 2 meter itulah yang tersisa.” Betapa pun kayanya seseorang, lanjutnya. Betapa berkuasanya sewaktu masih hidup; “hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia.” Sungguh sangat kontemplatif dan menunjukkan sikap seseorang yang sudah siap meninggalkan semua hiruk pikuk duniawi. Bila menyimak hasil Pilpres 2019 yang baru lalu, Luhut sesungguhnya sedang menyambut masa kejayaan berikutnya. Mengacu pada masa pemerintahan Jokowi periode pertama, Luhut akan kembali memainkan peran besar, bahkan lebih besar. Dengan posisi Wapres ditempati Maruf Amin, besar kemungkinan Luhut akan mengambil peran internasional yang lebih besar. Sebuah peran yang selama ini dimainkan oleh Jusuf Kalla. Secara bisnis Luhut juga sedang berada dalam puncak keemasan. Dia baru saja membangun gedung perkantoran bernama Sopo Del Tower, tempat kerajaan bisnisnya berpusat. Gedung berlokasi di kawasan elit Mega Kuningan, Jakarta Selatan itu baru saja memenangkan tender dan menjadi kantor Pusat PT Pertamina. Jadi seharusnya tak ada alasan bagi Luhut untuk cepat-cepat mengingat kematian. Apalagi dia menyebut usia Benny ketika meninggal dunia, masih relatif muda, 72 tahun. Usia Luhut sendiri baru akan mencapai 72 tahun pada 28 September mendatang. Apakah sikap melow Luhut ada kaitannya dengan pertarungan kekuasaan di seputar Jokowi pasca Pilpres? Lebih khusus lagi pasca pertemuan Jokowi-Prabowo di stasiun MRT? Kebetulan dalam tulisan itu Luhut juga menyinggung konflik masa lalu Prabowo dengan Benny. Pertemuan Jokowi-Prabowo berhasil dilaksanakan berkat tangan dingin Kepala BIN Budi Gunawan. Jenderal polisi ini dikenal sebagai orang dekat Megawati. Sebelumnya Luhut berkali-kali mencoba mempertemukan Jokowi dengan Prabowo, namun gagal. End