OPINI

Tanda-Tanda Krisis Itu Makin Tegas

Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian sepanjang Januari hingga Juli 2019 menunjukkan fenomena menarik. Terutama terjadi berbagai penurunan kinerja baik di level APBN, BUMN, korporasi hingga di level masyarakat, seolah sepakat mengatakan kita sudah memasuki periode krisis ekonomi. Narasi di atas seolah menggambarkan bahwa krisis akan datang, tidak. Justru krisis sudah datang dan menghantam seluruh infrastruktur perekonomian kita. Sehingga hanya orang-orang yang mengerti perekonomian baik dari sisi mikro maupun makro yang memahami bahwa sesungguhnya kita sedang berada dalam siklus krisis. Coba tengok saja release Badan Pusat Statistik (BPS) soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2019. Release data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year--YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus ekonom sebesar sebesar 5,19% YoY. Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%. Sejumlah perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group, memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%. Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia tumbuh stagnasi. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diduga pertumbuhan tidak bisa eksplosif lantaran terlalu berat beban utang yang harus ditanggung APBN, sehingga penerimaan yang ada bukan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan, tapi habis tertelan angin untuk membayar pokok dan bunga utang. Sinyal bahwa krisis itu memang ada dan sinyalnya cukup kuat datang dari pasar modal. PT Merryll Lynch Sekuritas Indonesia dan PT Deutsche Sekuritas Indonesia, sebuah perusahaan asal Amerika dan Jerman, menutup bisnis brokernya di Indonesia. Itu artinya kedua broker asing itu berhenti sebagai Anggota Broker (AB) di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 11 Juli 2019. Padahal untuk menjadi AB di BEI tidak mudah dan tidak pula murah. Alasannya, selain sedang melakukan restrukturisasi di kantor pusat, likuiditas di pasar modal Indonesia sudah kering sehingga tak menarik lagi bagi kedua perusahaan sekuritas asing tersebut. Ini juga merupakan sinyal buruk bahwa terjadi crowding out effect di pasar. Dimana Pemerintah Indonesia begitu getol mencari likudiitas di pasar lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga tinggi. Akibatnya industri perbankan, industri pasar modal, industri asuransi dan industri finance harus bersaing dengan regulator dan sekaligus operator, yang sudah pasti akan kalah. Pasar pun dikuasai Pemerintah, bank-bank, perusahaan emiten, perusahaan asuransi dan perusahan finance lambat laun tersingkir dari pasar Indonesia. Padahal tugas pemerintah seharusnya melakukan pendalaman pasar, bukannya memperkeruh pasar, sehingga likudiitas begitu sulit diperoleh oleh selain pemain Pemerintah. Tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya krisis adalah kasus gagal bayar (default) obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta atau ekuivalen dengan Rp154 miliar (dengan kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan obligasi sampah (junk bond). Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) pimpinan Setyono Djuandi Dharmono, sang penggagas penghapusan pendidikan agama di sekolah. Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai US$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu, PT Agung Podomoro Land Tbk juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. “Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun,” tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Dari BUMN sinyal krisis itu juga hadir. Kasus PT Krakatau Steel Tbk yang membukukan rugi Rp1,06 triliun dengan total utang mencapai Rp40 triliun, menunjukkan adanya krisis di industri baja. Bagaimana mungkin Krakatau Steel dapat bersaing dengan baja China, dimana dari negaranya sudah mendapat potongan pajak (tax rebate) 10% plus tax holiday dari Pemerintah Indonesia berupa pembebasan bea masuk 15%. Praktis baja China di Indonesia sudah unggul 25% atas Krakatau Steel, sebuah level playing field yang tidak seimbang. Anehnya situasi ini dinikmati sebagai sebuah keberhasilan mengundang investor. Investor mana yang tidak tertarik kalau dalam 5 hingga 10 tahun ke depan dapat membunuh industri baja nasional? Padahal di negara manapun selalu berusaha melindungi industri strategisnya, baja adalah industri strategis yang harus dilindungi. Andai saja founding father kita Presiden Soekarno masih hidup, dia akan memaki-maki pemerintah saat ini. Bagaimana mungkin Krakatau Steel yang dibangunnya harus diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahnya sendiri. Belum lagi PT Garuda Indonesia Tbk yang ngebet membukukan laba bersih lewat window dressing. Pat gulipat laporan keuangan berhasil membuat Garuda seolah-olah membukukan laba bersih Rp70 miliar pada 2018. Ternyata setelah diaudit BPKP, pada 2018 Garuda masih harus membukukan rugi bersih Rp2,4 triliun, sungguh terlalu sandiwara keuangan yang dilakukan I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra dan kawan-kawan. Dirut Garuda itupun harus kena sanksi denda atas upaya minteri rakyat Indonesia lewat laporan keuangan palsu, lewat financial engineering, bahkan saham Garuda pun tergelincir dibuatnya. Belum lagi PT Pertamina yang seharusnya menyumbang dividen laba paling besar ke APBN, justru mendapati ketidakjelasan berapa laba bersih yang sebenarnya. Presiden Jokowi menyebut laba bersih Pertamina sedikitnya Rp20 triliun, sementara laporan internal Pertamina menyebutkan sekitar Rp5 triliun. Padahal di 2016 Pertamina pernah mengalahkan Petronas dengan membukukan laba bersih Rp42 triliun, saat itu Petronas hanya membukukan laba bersih Rp36 triliun. Apa yang terjadi hari ini, di tengah ketidakjelasan laba bersih Pertamina? Petronas yang 25 tahun lalu belajar ke Pertamina, pada 2018 berhasil membukukan laba bersih Rp189 triliun atau 55,3 miliar ringgit. Sungguh sebuah ironi yang sulit dihindari, seluruh laba BUMN jika dikumpulkan hanya Rp188 triliun, masih lebih besar laba bersih satu Petronas. Ironi yang mencolok mata kita. Lepas dari problematika yang melanda ekonomi nasional, ekonomi mikro dan makro, yang jelas krisis itu sudah berlangsung. Dan itu direpresentasikan dari data-data yang kami urai di atas. Tinggal seberapa serius Pemerintah untuk membenahi krisis ini, sebab jika asumsi para menteri masih yang itu-itu juga, maka kita sangat meyakini krisis ini akan semakin luas dan dalam. Itu sebabnya Presiden Jokowi harus memilih menteri yang tepat, yakni yang memiliki track record membenahi APBN. Bukan sebaliknya melanjutkan tradisi menambal APBN yang defisit dengan utang, utang dan utang. Bisa-bisa Republik Indonesia tenggelam dibuatnya. End.

Pusing 212: Negara dengan 80 Juta Teroris?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini, para pengamat politik gencar membahas tentang apa yang akan terjadi terhadap gerakan 212. Gerakan ini terkenal dengan aksi damainya, terutama di ibukota. Aksi-aksi damai yang muncul dan langsung besar di pengujung 2016 dan awal 2017 itu, sama sekali tidak mengganggu Jakarta. Tetapi, ada pihak yang merasa sangat terbebani oleh 212. Ada beban politik yang sangat berat akibat keberhasilan 212. Beban itu secara natural tertimpakan kepada orang-orang yang resah melihat kebangkitan Islam politik. Sebelum dilanjutkan, perlu ditanya dulu apakah valid menteorikan bahwa 212 identik dengan kebangkitan Islam politik? Pertanyaan ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan juga. Kalau bukan kristalisasi kebangkitan Islam politik, mau disebut apa gerakan itu? Sekadar kumpul-kumpul saja? Sangat absurd! Baik. Kita teruskan. Sebagian pemerhati politik berpendapat 212 akan menjadi tak relevan lagi setelah Prabowo digiring masuk ke kubu 02. Tidak ada lagi pemimpinnya. Ada pula pengamat yang memperkirakan 212 akan meredup dan kemudian sirna. Yang lain memperkirakan 212 akan menjadi “anak ayam kehilangan induk” setelah kepergian Prabowo ke kubu 01. Akan tercerai-berai. Tetapi, semua teori atau dugaan itu tidak akan ada yang tepat. Memperkirakan 212 akan lenyap adalah kekeliruan berpikir yang disengaja. Mengatakan 212 akan selesai, hanya menunjukkan frustrasi Anda melihat Islam politik yang semakin matang dalam berstrategi. Gerakan 212 tidak tergantung pada Prabowo. Sebaliknya, 212-lah yang mengajak Prabowo berjuang melawan kesewenangan. Ke depan, gerakan ini juga tidak akan tergantung pada tokoh personalitas seperti Habib Rizieq, dsb. Gerakan ini cukup dipimpin oleh seorang koordinator yang mirip dengan “admin” di grup-grup WA. Kenapa? Karena 212 diramaikan oleh lapisan intelektual dan kelas menengah. Mereka ini semua memiliki pemahaman yang komplit tentang gerakan 212, tentang tujuannya dan cara-cara yang digunakan. Semua pendukung 212 mengerti bahwa gerakan 212 adalah Islam politik yang akan selalu damai. Semua praktisi 212 tahu bahwa mereka berkumpul di kelompok umat garis lurus. Yang paling gerah terhadap gerakan 212 adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Para penguasa itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka serasa dikejar oleh sosok yang menakutkan bagi mereka. Tetapi tidak menakutkan bagi orang lain. Mereka tahu 212 adalah isyarat kebangkitan Islam politik. Yang diprakarsasi dan diisi oleh umat Islam garis lurus. Yaitu, kumpulan umat yang berasal macam-macam ormas dan orpol. Umat garis lurus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan bagi semua dan melawan kezaliman. Sejauh ini, umat garis lurus dipimpin oleh orang-orang yang tidak serakah tetapi tegas. Ketegasan mereka dalam melawan kezaliman membuat para penguasa gerah dan resah. Mereka sekarang menggunakan segala cara untuk melemahkan dan melenyapkan gerakan 212. Salah satu cara ampuh yang mungkin akan dilakukan adalah mendemonisasikan (menjelekkan) 212. Memberikan label yang buruk dan menakutkan. Sangat mungkin 212 akan dikait-kaitan dengan paham radikal. Merekan boleh jadi akan disusupi dengan elemen-elemen jahat yang kemudian akan merusak nama baik 212. Sangat mungkin pula pihak tertentu menyusupkan orang-orang yang akan “diatur” untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa-bawa nama 212. Termasuk melakukan tindakan terorisme. Sehingga, penguasa memiliki alasan untuk mencap 212 sebagai gerakan teroris. Mungkinkah melabel 212 sebagai teroris menjadi kenyataan? Bisa saja. Sebab, 212 akan terus membayangi ketidakmakpuan pemguasa dalam menegakkan keadilan. Ini sangat merisaukan mereka. Tapi, apakah masuk akal mengatakan 212 sebagai gerakan teroris? Inilah yang menjadi masalah. Sangat tak mungkin mengatakan 212 sebagai gerakan teroris. Sebab, 212 adalah representasi 80 juta pemilih Islam garis lurus. Anda pusing dengan 212? Tak perlu. Kalau Anda pusing, bisa-bisa Anda terpaksa mengatakan Indonesia ini adalah negara dengan 80 juta teroris. Menjadi konyol, bukan? Padahal, mereka hanya arus baru Islam politik. Arus yang jernih dan bening, insyaAllah.

Arus Deras Desakan Pembubaran FPI

Oleh Sugito Atmo Pawiro Jakarta, FNN - Media sosial diramaikan dengan perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi yang gencar mendorong Presiden Jokowi untuk membubarkan Ormas Islam FPI berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Kita memahami bahwa pemerintahan Jokowi tidak sulit untuk membubarkan Ormas. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Mendagri sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun demikian justru Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat. Secara yuridis sebenarnya ada ketegasan hukum di dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya, tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab. Pernyataan Presiden Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahanan. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground (di bawah tanah)” dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, kian tersudutkan tak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Provokasi yang Buta Literasi Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tidak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Pondok Pesantren Al-Umm Ciputat dengan misi utama pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.***

Prabowo Masuk Jantung Koalisi Jokowi, SBY Tidak Bersuara

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapapun sudah tahu kalau Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah “pemilik” Presiden Joko Widodo. Siapapun juga tahu, Jokowi hanyalah “petugas” partai yang mendapat amanat sebagai Presiden RI yang “menang” Pilpres 2014 (dan 2019?). Padahal, sudah bukan rahasia lagi, pemenang kedua pilpres tersebut sejatinya Prabowo. Tapi, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Prabowo harus menerima “kekalahan” ini. Dan, demi tetap utuhnya NKRI, Prabowo pun terpaksa legowo. Setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus tersebut langsung mengucapkan Selamat, kemudian bertandang ke Istana Bogor. Sebaliknya, Jokowi melakukan balasan sambang ke Prabowo. Sebelumnya, ketika Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wapres Terpilih pada Oktober 2014, Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa hadir di Gedung MPR. Hatta Rajasa adalah besan SBY. Selama ini tidak banyak yang tahu bahwa Hatta Rajasa sengaja disodorkan oleh SBY kepada Prabowo dengan tujuan untuk menggerus suara Prabowo di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, Ketum DPP PAN ini, dianggap mewakili Muhammadiyah. Namun, faktanya ternyata suara Prabowo-Hatta lebih unggul di atas Jokowi-JK saat Pilpres 2014. Fakta inilah yang kemudian “dimanipulasi” oleh KPU. Belakangan, Ketua KPU Husni Kamil Malik dirawat di RS Pusat Pertamina, dan meninggal dunia. Kabarnya, sebelum meninggal dunia di RSPP, Jakarta, Kamis (7/7/2016) sekitar pukul 21.30 WIB, Husni akan blak-blakan soal pencurangan Pilpres 2014 yang memenangkan Jokowi-JK. Semasa hidup, Husni pegang bukti pencurangan Pilpres 2014 itu. Sayangnya, saat itu tak ada upaya pihak keluarga untuk melakukan autopsi atas jenazah pria kelahiran Medan 18 Juli 1975. Padahal sebelumnya, suami Endang Mulyani tersebut sempat mengikuti buka bersama dan sempat tertawa-tawa. Suara ditutup! Husni tutup mata dalam usia relatif muda, 39 tahun. Tragis! Hingga kini penyebab kematian sebenarnya tidak terungkap. Lenyap! Tidak berbekas! Bagaimana Pilpres 2019 lalu? Konon, data lengkap perolehan suara sebenarnya dipegang seorang menteri. Apakah akhirnya “seorang menteri” ini akan membuka data pencurangan itu ke masyarakat, semuanya tergantung SBY yang selama ini menyokong Jokowi. Sebab, Kepala BIN Budi Gunawan sendiri tentunya juga pegang data dan bukti pencurangan. Pertemuan Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus yang diikuti BG dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Sabtu (13/7/2019) tentunya merupakan sinyal bahwa pertemuan tersebut “disaksikan” pejabat negara (BG dan Pramono Anung). Megawati? Megawati bakal menjadi penentu dilantik atau tidaknya Jokowi sebagai Presiden bersama Ma’ruf Amin sebagai Wapresnya. Itu jika Jokowi opsi rekonsiliasi dengan Prabowo dipilih Jokowi. Megawati akan meninggalkannya kalau Jokowi menolak itu. Jokowi bakal dihabisin Megawati yang siap bergabung dengan Prabowo dan memobilisasi anggota DPR dari PDIP untuk segera melakukan impeachment terhadap Presiden Jokowi terkait dengan berbagai masalah ekonomi maupun pelanggaran HAM. Perlu dicatat, imbas dari pertemuan Prabowo-Megawati di Teuku Umar yang juga diikuti oleh BG, Pramono Anung, Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani tersebut, telah membuyarkan impian Koalisi Jokowi. Empat parpol Koalisi Jokowi pun mengadakan pertemuan atas prakarsa Nasdem (Surya Paloh dengan Golkar, PKB, dan PPP. Imbas dari pertemuan yang tidak melibatkan PDIP sebagai pengusung Jokowi membuat Megawati merubah arah politiknya. Jadi, Megawati membutuhkan Prabowo untuk mau bergabung membentuk Koalisi Baru: Megawati-Prabowo-PDIP-Gerindra. Jika Jokowi menerima format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo, maka Jokowi akan tetap menjadi Presiden RI 2019-2024. Di sinilah peran BG tampak. Dia berhasil mempertemukan Prabowo-Megawati. Sebenarnya Koalisi Jokowi itu sudah terpecah. Manuver Prabowo telah memporak-porandakan Koalisi Jokowi menyusul pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut. Posisi PKS yang langsung mengibarkan benderà #KamiOPOSISI adalah guna mengamankan/ mengumpulkan Relawan 02 supaya tidak terpecah semuanya sampai menunggu komando Prabowo selanjutnya yang kini sedang bermanuver di jantung 01. Target untuk membubarkan Koalisi Jokowi telah berhasil. Sehingga membuat Koalisi Jokowi saling menerkam, menyusul rebutan kursi menteri Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Prabowo sendiri sudah membubarkan Koalisi Adil Makmur pasca putusan MK. Hal Ini dilakukan Prabowo supaya memfokuskan dalam Satu Komando. Kalau mereka sudah terpecah, maka Prabowo lebih mudah melakukan dealing politik. Apalagi, sampai saat ini rakyat masih di belakang dan tetap berjuang bersama Prabowo. Sekarang ini pilihan ada di tangan Jokowi. Karena apabila tidak turut Megawati, bisa saja dia ditinggalkan dan Megawati bergabung dengan Prabowo. Apalagi, Jokowi sendiri, seperti kata Megawati, sering disebut sebagai “petugas” partai dan proxy SBY. Kalau Megawati bergabung dengan Prabowo, maka bisa jadi peta kekuasaan akan berubah, PDIP akan berbalik menyerang dan membantu dari balik layar membongkar kebusukan dan pencurangan Pilpres 2019. Jokowi sendiri sudah tahu masalah ini. Karena Megawati dan PDIP membutuhkan sandaran politik agar tetap di zona Aman. Inilah strategi politik Prabowo sebenarnya yang selama ini tak pernah disampaikan secara terbuka. Kita yang kurang paham akan langkah Prabowo pasti akan kecewa. Menteri Koalisi Presiden boleh tetap, tapi rezim dan kebijakan rezim bisa saja berubah. Itulah tujuan Prabowo mengapa menerima rekonsiliasi. Kalau melihat sejarahnya, Indonesia pernah mengalami hal seperti itu pada era Presiden Suharto 1967-1998. Semasa Orde Baru 1967-1987 pemerintahannya jadi anti Islam (pengaruh Jenderal Merah-CSIS-Cukong). Pada Orde Baru 1988-1998 Pak Harto mulai pro Islam (pengaruh Jenderal Hijau-CIDES-Pribumi). Sekarang ini rezim 2014-2019 sering disebut sebagai rezim proksi/boneka dengan SBY-Hendro Priyono-Luhut Binsar Panjaitan-CSIS-Cukong-China yang sangat anti Islam sebagai pengendali. Rezim 2019-2024 adalah rezim Jokowi-Prabowo-Megawati-Jusuf Kalla yang anti komunis jika rekonsiliasi terwujud. Semakin kokoh rekonsiliasi akan menghasilkan tindakan yang semakin tegas rezim penguasa kepada PKI, komunisme dan pendukungnya. PKI-Komunis ini berdasarkan hukum positif di Indonesia adalah Partai-paham terlarang. Era Bulan Madu Rezim Penguasa dengan Komunis sudah berakhir ketika Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dimulai dilakukan Jokowi-Prabowo. Pembubaran HUT Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-23 yang dilakukan Polri dan Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu contoh tindakan tegas terhadap organisasi yang disebut-sebut merupakan reinkarnasi dari ideologi komunis. Seleksi Capim KPK karena periodesasi pimpinan KPK 2015-2019 bakal berakhir. Seleksi Capim KPK untuk periode 2019-2023 diharapkan sekaligus dalam rangka pembersihan KPK dari orangnya SBY-Luhut-Hendro-CSIS yang telah merusak KPK selama belasan tahun. Partai Koalisi Jokowi tentu tetap dapat kursi kabinet, tapi jangan menuntut berlebihan. Harus disyukuri masih dapat kursi, mengingat fakta sebenarnya bahwa Prabowo yang menang pilpres dan seharusnya jadi presiden. Nasib SBY-Luhut-Hendro di era Jokowi ini mungkin akan sama dengan nasib Ali Murtopo, LB Moerdani, dan Sudjono Humardani di era Presiden Suharto. Mereka memusuhi Islam meminjam tangan Pak Harto. Dan, ditinggalkan Pak Harto ketika Pak Harto merangkul umat Islam. Luhut sendiri merasa paling berjasa pada Jokowi. Sekarang merasa ditinggalkan Jokowi yang balik merangkul umat Islam melalui rekonsiliasi. Ini seperti Moerdani era Pak Harto. Tanpa kendali atas rezim mendatang dan KPK, kader-kader utama Demokrat akan jadi tersangka. Para pendiri Demokrat akan take-over kepemimpinan Demokrat dari SBY. Satu-satunya cara agar selamat adalah mengambil hati rakyat dengan berbuat baik melalui pengungkapan bukti hasil pilpres 2019. Perlu dicatat, konstelasi politik hari-hari ini, Demokrat-Agus Harimurty Yudhoyono tak akan masuk kabinet Jokowi-Ma’ruf, KPK akan dibersihkan dari orang-orang SBY-Luhut-CSIS. Apalagi, kasus-kasus korupsi yang melibatkan Cikeas (Century, SKK Migas, Hambalang, e-KTP dan lain-lain) sudah matang, tinggal dipetik. Hanya keajaiban yang bisa selamatkan Demokrat-Cikeas. SBY akan lebih simpatik di mata rakyat jika mau mengubah sikapnya terhadap pemilu 2019. Lebih baik SBY mengungkap semua bukti pemenang Pilpres 2019 adalah Prabowo. Itulah solusi bagi SBY, AHY, dan Demokrat agar tidak hancur pasca rekonsiliasi. Dijamin politik nasional makin lebih mencair. Itulah strategi “Kuda Troya” ala Prabowo! ***

Semoga Bukan Kuda Troya yang Datang ke KPK

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Keinginan Kapolri Jenderal Polisi Tirto Karnavian agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2013 dipimpin polisi sedikit lagi bakal terwujud. Soalnya, Tito tak cuma ngomong doang. Upaya ke arah sana kini benar-benar tengah terjadi. Publik menyaksikan polisi sudah menguasai medan seleksi pimpinan KPK. Setidaknya ada 9 perwira polisi aktif yang lolos untuk mengikuti tes psikologi. Itu belum termasuk para pensiunan polisi. Lebih jauh lagi, keinginan Tito juga didukung oleh keraguan publik atas komitmen pansel capim KPK periode 2019-2023 terhadap pemberantasan korupsi. Koalisi masyarakat sipil mencurigai rekayasa pemilihan capim KPK kini tengah berlangsung. Pansel dianggap tidak kridebel. Pansel itu terdiri atas Yenti Garnasih (Ketua) dan lndriyanto Seno Adji (wakil) dengan anggotanya yaitu Marcus Priyo Gunarto, Hendardi, Harkristuti Harkrisnowo, Diani Sadia Wati, Al Araf, Mualimin Abdi, dan Hamdi Moeloek. Mereka ini diangkat oleh Presiden Joko Widodo melalui sebuah kepres. Nah, sampai kini kepres itu “disembunyikan” dari mata publik. Di antara anggota Pansel itu ada figur yang pernah membela kasus korupsi, baik itu sebagai kuasa hukum atau ahli. Selain itu, ada juga figur yang rekam jejaknya cukup buruk di mata publik. Lantaran yang bersangkutan pernah mengikuti seleksi pejabat tinggi di salah satu kementerian, tetapi ditemukan makalah yang digunakan sebagai syarat seleksi ternyata plagiat dari makalah orang lain. “lntinya, ragu seleksi ini akan menghasilkan pimpinan KPK yang independen, kredibel, dan bisa dipercaya oleh masyarakat,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, pekan lalu. Mereka inilah yang bertugas memilih 5 orang calon pimpinan KPK. Saat pendaftaran capim dibuka, pendaftar berjumlah 376 orang. Selanjutnya mereka yang dinyatakan lolos administrasi ada 192 orang. Pada seleksi tahab II, 104 orang lolos uji kompetensi. Mereka itulah yang ikut ujian psikologi. Dari jumlah itu yang lolos tes psikologi diperkirakan 50-an orang. Pastinya saat ini, dari 104 orang itu, sembilan di antaranya merupakan jenderal polri aktif. Selain juga empat orang dari kejaksaan. Kesembilan jenderal Polri yang lulus itu adalah Irjen (Pol) Antam Novambar, Irjen (Pol) Dharma Pongrekun, Brigjen (Pol) M. Iswandi Hari, Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto dan Brigjen (Pol) Agung Makbul. Kemudian, Irjen (Pol) Juansih, Brigjen (Pol) Sri Handayani, Irjen (Pol) Firli Bahuri dan Irjen (Pol) Ike Edwin. Selain jenderal polri aktif, ada juga sejumlah purnawirawan polri. Para purnawirawan itu, yakni Komjen (Purn) Anang Iskandar, Komjen (Purn) Boy Salamuddin, Irjen (Purn) Suedi Husein, Irjan (Purn) Yovianes Mahar dan Irjen (Purn) Yotje Mende. Selain anggota polri dan pensiunan polpri ada empat orang dari Kejaksaan. Inilah yang menyebarkan aroma bahwa kepolisian dan kejaksaan telah berjuang “merebut” KPK. Selama ini publik sudah mafhum, bahwa kedua institusi penegak hukum ini belum terlalu bagus dalam upaya pemberantasan korupsi. Rekam jejak hubungan kedua institusi itu dengan KPK juga banyak diwarnai noktah merah. Wajar saja, jika belakangan muncul desas desus yang menyebut kedua institusi ini tengah mengirim kuda troya untuk menghancurkan KPK dari dalam. Soal desas desus seperti itu saat ini belakangan lumayan cenderung santer. Bahkan pansus capim KPK saja sempat dibungkus isu-isu minor tentang radikalisme. KPK disebut-sebut telah kerasukan kelompok radikal agama. Sampai-sampai, muncul wacana untuk melibatkan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Munculnya isu itu sebagai dampak dari beberapa pernyataan pansel sendiri. Dan pernyataan itu tak mendasar dan nihil bukti. Pansel yang seharusnya mengutamakan mencari figur-flgur yang bisa membuat efek jera bagi pelaku korupsi malah bermain dengan isu radikalisme. Isu enggak valid dan penuh fitnah. Jadi wajar saja jika sejumlah pihak secara umum masih meragukan pansel capim KPK. ICW sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, misalnya, tak sependapat dengan format pembentukan pansel yang dipakai. Menyoal Pansel Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, seleksi calon pimpinan KPK itu sebagai rekayasa pemerintah. "Kalau boleh berkata sedikit keras ya, bahwa jangan-jangan memang pemerintah dan Pansel sudah mengatur sedemikian rupa sedari awal siapa ke depannya pimpinan KPK. Itu artinya proses seleksi ini adalah rekayasa semua," kata Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Feri Amsari, dalam keterangan pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (28/7). Omongan Feri tak asal bunyi. Langkah pansel capim KPK meloloskan sejumlah kandidat yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang, seperti menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKPN) adalah salah satu bukti. Pelaporan LHKPN secara berkala merupakan syarat seorang capim KPK sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dugaan rekayasa itu, juga mengeras lantaran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/P Tahun 2019 tentang pembentukan Pansel Capim KPK tidak bisa diakses publik hingga saat ini. Pemerintah sengaja tertutup soal keterpilihan Pansel Capim KPK. Aktivis LBH Jakarta, Nelson Simamora, mengatakan pihaknya sudah mengajukan permohonan untuk bisa mengakses Keppres itu ke Sekretariat Negara (Setneg), namun ditolak. "Kita ajukan pada tanggal 10 Juli 2019. Kita minta hanya salinan Keppres itu. Kemudian kita menyampaikan juga ini bukan informasi yang dikecualikan. Kemudian tanggal 25 Juli 2019 permohonan informasi publik kita ditolak Sekretariat Negara," katanya. Keppres merupakan norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai. Keppres biasanya diunggah di situs Setneg. Tetapi saat ini, tidak ditemukan Keppres yang dimaksud. Dalam jawaban penolakan itu, kata Nelson, Setneg menyatakan salinan Keppres itu hanya untuk pihak-pihak yang berkepentingan. "Jawabannya seperti ini, 'bersama ini permohonan saudara tidak bisa kami penuhi, Keppres tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan'. Ini bahasanya muter-muter, intinya tidak dikasih," katanya. Penolakan itu merupakan salah satu bukti rezim Jokowi tidak transparan. Padahal hanya menyangkut aturan perundang-undangan. Lantaran itu, Nelson menyatakan pihaknya berencana menggugat pembentukan Pansel Capim KPK. Komisioner Komisi Informasi Pusat, Cecep Suryadi, berpendapat senada. Setneg harusnya terbuka soal Keppres tersebut. Sebab Keppres bukanlah informasi yang dikecualikan Keppres itu seharusnya bisa diakses karena ada lampiran nama-nama pansel, apa saja yang jadi tanggung jawab pansel, ruang lingkup kerja, masa kerja pansel. “Setneg harus buka itu, kalau ada yang memohon harus disampaikan," ujarnya. Ia pun memberi saran kepada Koalisi Kawal Capim KPK untuk mengajukan keberatan kepada atasan pegawai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Setneg yang menjawab surat tersebut. Jika tidak dijawab atau jawaban tidak memuaskan, ia mempersilakan para aktivis antikorupsi itu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke KIP. Di era transparansi pengelolan negara, sungguh ironis, Setneg tiba-tiba menjadi lembaga yang tertutup. Presiden Jokowi harus bertanggung jawab jika nanti KPK terpuruk gara-gara rekayasa ini. Jika nanti ada figur-figur tertentu yang bermasalah lulus pada seleksi Capim KPK, berarti presiden terlibat secara sistematis membiarkan hal itu. Mulai sekaranglah semua pihak hendaknya ikut mencegah masuknya kuda troya ke dalam tubuh KPK.

FPI tidak Butuh Pujian

Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tulisan saya ini berawal dari postingan Darmaningtyas. Dari kalimat postingannya itu, kelihatan sekali ia seorang pembenci Front Pembela Islam (FPI) dan juga benci Islam. "Kalau tidak butuh pujian ya tidak usah pakai kaos FPI dong. Kalau berbuat kebaikan dengan mengenakan kaos organisasi kan secara langsung butuh pujian bahwa FPI itu peduli, " demikian kalimat dalam postingannya itu. Postingan tersebut pun mendapat hujatan dari nitizen. Mereka menghujat penulis kalimat tersebut, dan mengatakannya tidak mengerti Islam dan benci agama Islam. Nitizen pun membela FPI habis-habisan. Saya juga menuliskan komentar. Rasanya ingin ikut-ikutan menghujat sang pembenci FPI dan umat Islam itu. Akan tetapi, saya tidak menghujat. Saya mengomentarinya dengan fakta-fakta yang saya lihat di lapangan. Sebagai wartawan, saya sudah malang-melintang meliput bencana alam. Hampir semua relawan menggunakan identitas, baik berupa kaos, topi atau paling kecil pakai pita. Bahkan, ketika saya meliput peristiwa tsunami Banda Aceh Darussalam, kantor membekali saya dengan rompi bertuliskan PERS di bagian belakang. Tulisannya besar, meski saya tidak pernah memakainya saat meliput bencana di Aceh. Sebenarnya jika dalam keadaan darurat, rompi waktu itu bisa digunakan sebagai tempat makanan, minuman, senter dan peralatan lainnya, selain di tas rangsel. Rompi tersebut kini masih tersimpan di lemari. Demikian juga media lainnya, terutama televisi. Media asing lebih mencolok lagi. Mobil yang mereka gunakan pun ditempeli tulisan PRESS yang ditambahi nama medianya. Paĺang Merah Indonesia (PMI), misalnya jelas dengan atributnya. Mereka menggunakan atribut PMI bukan bermaksud agar mendapatkan pujian. Demikian juga TNI dan Polri yang menggunakan seragam, bukan ingin dipuji. "Walau pake kaos, FPI tidak butuh pujian. Buktinya saat tsunami di Aceh berbulan-bulan FPI di sana dengan kaosnya, tapi mereka tidak butuh pujian lewat media. Bahkan, Habib Rizieq satu bulan di sana dan tidur di tenda yang didirikan di areal Taman Makam Pahlawan Kota Banda Aceh, tak ada yang publikasikan. Mereka tak butuh pujian. Padahal, relawan FPI yang diterjunkan dibagi menjadi kelompok pencari mayat yang sdh busuk karena sdh berminggu-minggu, dan mereka bersama relawan dari pemerintah, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan. Tak ada pemandian mayat karena (maaf sudah busuk). Saya tahu, karena saya wartawan yang ikut meliput di Aceh (atas penugasan kantor). Beritanya juga ada, termasuk berita (yang dibuat teman kantor yg ditugaskan berikutnya), tentang bau harum kuburan, yang ternyata kuburan seorang wanita penghafal Al Qur'an yang mayatnya ditemukan oleh relawan FPI dalam keadaan utuh dan tidak bau walau sudah dua minggu meninggal dunia akibat tsunami," tulis saya mengomentari si pembenci FPI dan umat Islam itu. Saya tahu Habib Rizieq menginap di tenda yang didirikan di TMP itu. Bukan cerita, tetapi saya sempat berbincang-bincang dengan Rizieq dan Ustaz Ahmad Sobri Lubis (sekarang Ketua Umum FPI). Ya, FPI tidak butuh pujian dan publikasi. Toh, tanpa itu pun pengagum organisasi masyarakat (Ormas) Islam tersebut semakin banyak. FPI semakin terkenal dan dikenal masyarakat, tidak hanya kaum muslim, tetapi juga non muslim. FPI semakin dikenal seantero tanah air, dan bahkan di dunia. Jika ada yang membecinya itu wajar, karena sepak terjangnya yang semakin mengakar di tengah masyarakat. Jika satu orang membencinya, biasanya pengagumnya justru bertambah banyak. FPI semakin terkenal sejak aksi damai 2 Desember 2016 dan diperingati dengan sebutan Reuni 212. Aksi damai yang benar-benar super damai, karena diikuti 13 juta manusia tanpa ada kekerasan. Imam Besar Habib Rizieq Shihab langsung mengomandoi aksi yang akhirnya memenjarakan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Bahkan, HRS semakin dikagumi sejak peristiwa aksi 4 November 2016, karena meski dibombardir dengan gas air mata, ia tetap memimpin aksi dari mobil komando. Padahal, sejumlah tokoh yang ada di atas mobil, seperti Ustaz Arifin Ilham (almarhun), tumbang dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan akibat sesak napas terkena gas air mata. FPI tidak butuh pujian. Bahkan, di saat izinnya habis petinggi FPI santai saja menghadapinya. Tidak kelihatan rasa cemas dan khawatir jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya, bahkan ancaman pelarangan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. "Kami lebih fokus dalam membela umat. Persoalan izin itu kecil, dibanding masalah yang dihadapi umat," kata Ketua Umum FPI KH Ahmad Sobri Lubis. FPI tidak butuh pujian. FPI bukan anti-Pancasila dan NKRI. FPI justru sangat Pancasialis dan pendukung tegaknya NKRI. Faktanya, FPI sangat getol berdakwah terhadap bahaya komunis. Jelas, paham komunislah yang anti-Pancasila, karena komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Sedangkan sila pertama Pancasila adalah, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Dalam beberapa kesempatan mengikuti pengajian di Markas FPI, di Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, saya belum pernah mendengarkan ucapan dari Habib Rizieq maupun petinggi FPI lainnya agar mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Saya juga tidak pernah mendengarkan ucapannya agar mengganti NKRI dengan yang lain. Kalaupun Habib Rizieq dan petinggi FPI menyuarakan Indonesia bersyariah, itu hanya ditujukan agar umat Islam menjauhi maksiat. Bersyariah maksudnya, jangan sampai menjual minuman keras di pinggir jalan, karena akan merusak generasi muda. Bersyariah maksudnya membentengi anak bangsa, khususnya umat Islam, terutama generasi mudanya dari narkoba. Bersyariah maksudnya menjauhkan umat Islam dari tempat maksiat, pelacuran, perjudìan, korupsi, suap, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya yang bertentangan dengan hukum positif (KUHP, UU Anti Korupsi), apalagi dengan hukum Islam. Akan tetapi, Indonesia bersyariah itulah yang sengaja dihembuskan musuh Islam, khususnya musuh FPI, sebagai upaya menggantikannya dari Pancasila dan NKRI. Musuh FPI sangat khawatir dengan dakwah dan kampanye Indonesia bersyariah. Mereka khawatir, jika itu terlaksana, maka bisnisnya akan hancur. Bisnis minuman keras, bisnis narkoba, bisnis dunia esek-esek mereka akan lenyap seketika. Maka, mereka pun melakukan lobi habis-habisan kepada penguasa, baik melalui partai politik tertentu, aparat penegak hukum, dan bahkan preman agar FPI dibubarkan. Oleh karena itu, jika dulu bertebaran spanduk menolak FPI, cabut FPI, maka sekarang spanduk kembali bertebaran. Contoh bunyi spanduk adalah, "Masyarakat Jakarta Barat Tolak Perpanjangan Izin FPI." Spanduk konyol yang menjadi bahan tertawaan, termasuk tertawaan orang gila yang ikut dalam pemilihan presiden yang baru lewat. Menjadi bahan tertawaan, karena menyebut masyarakat satu daerah. Padahal, yang membuat spanduk itu adalah suruhan yang mendapatkan bayaran. Spanduk dibuat segelintir orang. Kalau mau balas, bisa saja orang FPI membuat spanduk tandingan. Bunyinya, "Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam dukung perpanjangan izin FPI." Tetapi, FPI tidak melakukannya. Sekali lagi petinggi FPI, pengurus, anggota dan simpatisannya santai saja dalam urusan izin itu. **

Prabowo Setelah Dicerca Habis, Kini Dipuja Habis

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Lucu sekali. Campur mau muntah. Para tokoh dan buzzer 01 tidak lagi menjelek-jelekkan Prabowo dan Partai Gerindra. Sebelum 13 Juli 2019, Prabowo diejek dan diperolok-olok. Prabowo dipojokkan dan dihina. Ada saja yang menulis panjang atau sekadar status pendek tentang reputasi Prabowo. Prabowo disebut penculik. Disebut haus kekuasaan. Dikatakan tak layak memimpin karena keluarganya saja berantakan; mana mungkin memimpin negara. Prabowo disebut temparental. Tukang gebrak meja. Suka emosi. Dan seterusnya. Banyak lagi. Ada yang memyoroti lahan HGU yang sangat luas milik Prabowo. Karena itu, omong kosong dia berbicara soal rakyat miskin. Pokonya, para petinggi 01 habis-habisan mencela dan memojokkan Prabowo. Tidak ada sama sekali kebaikan Prabowo. Bahkan, sempat didengungkan bahwa Prabowo bisa ditangkap kalau dia begitu dan begini. Banyak buzzer 01 yang mengaitkan Prabowo dengan kerusuhan 21-22 Mei, menyusul pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Prabowo maju ke MK pun dicerca. Dihina sampai kandas. Prabowo diejek sebagai “Presiden Kertanegara” (merujuk rumah Prabowo di Jalan Kertanegara). Sekarang, semua berubah total. Setelah pertemuan Jokowi-Prabowo di Lebak Bulus (13 Juli 2019) dan pertemuan Megawati-Prabowo di Jalan Teuku Umar (24 Juli 2019), semua berbalik. Prabowo dipuja dan dipuji. Label temparamental berganti negarawan. Sebutan tak becus berubah menjadi patriot. Prabowo menjadi “rising star” (bintang tanjak). Bagi 01. Dia disebut seorang nasionalis sejati. Hanya saja selama ini dia ditunggangi oleh kelompok Islam radikal. Sekarang Ketum Gerindra, bagi 01, berubah menjadi “New Prabowo”. Harapan baru untuk stabilitas nasional. Dia dirangkul dengan harga berapa pun. Kalau perlu dengan mengorbankan siapa saja di kubu 01 yang tak rela menerima Prabowo. Queen-maker 01, Bu Megawati, memberikan gestur yang sangat meyakinkan bagi Prabowo. Ada yang menduga, Bu Mega siap meneken “blank cheque” (cek tak berbatas) untuk Prabowo. Cek itu akan diisi sendiri oleh Prabowo. Terserah Prabowo berapa banyak porsi kekuasaan yang dia inginkan. Silakan ambil kursi apa saja yang dia mau. Tak perduli apakah Surya Palah akan cukur habis brewoknya atau tidak. Tak perduli juga apakah Cak Imin akan memimpin kudeta Nahdhiyyin atau kudeta apa saja. Dan, memang tak mungkin ada yang berani kudeta walaupun kursi kabinet mereka diganti dengan bangku warungan. Begitulah gambaran tentang sambutan yang diberikan kepada Prince of Hambalang, Prabowo Subianto. Pangeran yang akan menyelamatkan Indonesia dari krisis besar. “Mungkinkah begitu?” tanya seekor kelelawar kepada katak-katak yang sedang mabuk menyaksikan drama kontemporer karya grup teater BIG BIN. Pertanyaan yang naif. Katak yang tak mabuk saja, tak bakalan tahu jawabannya. Apatah lagi katak mabuk yang ditanya oleh kelelawar. Tak mungkin. Karena mereka sama-sama korban penipuan. (Penulis adalah wartawan senior)

Bangkai Zhong Tong, Hantui Jokowi

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Gara-gara Anies Rasyid Baswedan dirisak, para pendukung Gubernur DKI Jakarta mengapungkan kembali kasus pembelian bus TransJakarta. Foto-foto ratusan bus yang teronggok di Bogor belakangan ini bertabur mewarnai jagad maya. Bus-bus ini adalah produk bermasalah hasil pembelian Pemprov DKI Jakarta di era Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Anies menjadi sasaran bully di media sosial terkait instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI. Karya seni karya Joko Avianto yang menghasbiskan duit Rp500 juta untuk menyambut Asian Games 2018 itu pada 17 Juli lalu dibongkar karena sudah mulai lapuk. Rupanya, bagi para pecinta rival Anies, ini menjadi pintu masuk untuk merisak gubernur pengganti Basuki alias Ahok itu. Nah, gara-gara itu, banyak juga warganet yang membela Anies. Salah satunya pemilik akun twitter bernama Irene (@IRN Official). Dia mengungkap bus mangkrak itu dalam akunnya pada 20 Juli. Di akun tersebut, ia menuliskan, "Dari kemaren itu anak kolam masih aja nyinyirin seni bambu Anies Baswedan sampe seluruh kader PSI partai sok iyeh pada ikutan nge-bully Anies. Lah, ini si Ahok buang-buang busway lu gak blow up. Seluruh busway bentuk gini belian si Ahok jadi bangke, berapa puluh T tuh duit dibuang." Akun tersebut melampirkan sebuah video yang memperlihatkan kondisi bus Transjakarta yang sudah jadi rongsok. Rupanya, sekonyong-koyong gayung pun bersambut. Sejumlah media memberitakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berniat membawa masalah tersebut ke ranah hukum. Melalui Biro Hukum, Pemrov menggugat PT Putera Adi Karyajaya, perusahaan penyedia bus yang memenangkan tender kala itu. Soalnya, Pemprov DKI sudah membayar uang muka sekitar Rp110 miliar untuk pengadaan bus itu. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nominal tersebut harus dikembalikan oleh pihak ketiga lantaran perjanjian pengadaan dengan pihak ketiga telah dinyatakan batal demi hukum. Perusahaan diminta mengembalikan 20% dari uang muka yang sudah diterima. "Kita diminta untuk meminta kepada para pihak ketiga untuk mengembalikan uang muka yang sudah disetorkan, yang sudah ditarik oleh mereka," jelas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/7). "Kami sudah menyampaikan surat ke Biro Hukum. Sedang dalam proses. Saya belum dapat laporannya ada berapa tergugat," lanjutnya. Syafrin menegaskan pada kasus ini Pemprov DKI berpedoman hasil audit BPK. BPK sendiri sudah memberi rekomendasi terhadap LHP yang sudah di tangan Pemprov DKI. Menurut dia, selama ini, upaya penagihan sudah beberapa kali dilakukan Pemprov DKI. Namun, hasilnya masih nihil, apalagi perusahaan-perusahaan penyedia bus TransJakarta telah dinyatakan pailit. "Sesuai rekomendasi BPK, ini kita laporkan ke biro hukum untuk ditindaklanjuti," kata Sjafrin. Sekadar mengingatkan, pada 2013, Pemprov DKI melakukan pengadaan bus TransJakarta sebanyak 656 unit dalam 14 paket lelang dengan nilai transaksi Rp1,1 triliun. Empat paket lelang sebanyak 125 unit senilai Rp564,93 miliar telah dibayarkan, sedangkan sisanya 531 unit dimasukkan ke dalam 10 paket lelang dan baru dibayarkan oleh Pemprov DKI sebesar 20%. Belakangan, Pemprov DKI menolak melunasi 531 unit armada bus Transjakarta itu karena dinilai bermasalah. Ratusan unit bus yang didatangkan dari China tersebut terindikasi korupsi, karena ada penggelembungan anggaran. Kemudian, ada sampel mesin berkarat pada 14 unit bus dan diduga merupakan barang bekas. Udar Pristono, Kepala Dinas Perhubungan DKI pada 2013, kemudian menjadi terpidana kasus ini. Monumen Saat ini, ratusan bus TransJakarta hasil pengadaan tahun anggaran 2013 itu teronggok di lahan depan Rumah Sakit Karya Bakti Pertiwi, Jalan Raya Dramaga, Bogor. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta, totalnya mencapai 483 unit bus. Laporan resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), mencatat PT Putera Adi Karyajaya salah satu terlapor dalam Perkara Nomor 15/KPPU-I 2014 tentang Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengadaan Bus TransJakarta (Medium Bus, Single Bus, dan Articulated Bus) Tahun Anggaran 2013 di DKI Jakarta. PT Putera Adi Karyajaya, hanya satu dari 19 perusahaan yang menurut putusan KPPU terbukti dalam persekongkolan tender secara horizontal dan vertikal. Sehingga wasit persaingan usaha memberikan hukuman denda kepada pelaku pengadaan bus TransJakarta, termasuk PT Putera Adi Karyajaya, pada September 2015. KPPU memutuskan para peserta tender melanggar Pasal 22 UU 5 Tahun 1999 yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Saat Udar baru menjadi tersangka pada 2014, Koordinator Traffic Demand Management (TDM), Ahmad Syafrudin, menilai kasus ini tidak lepas dari kebijakan hulu. Dokumen pengadaan barang dan jasa yang bernilai di atas Rp1 triliun pasti diketahui Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Wagub Ahok. "Tidak mungkin proses tender sebesar itu tidak diketahui gubernur dan wakil gubernur," katanya. Pengadaan bus Transjakarta dan BKTB sebagai salah satu program unggulan ibu kota seharusnya mendapat pengawasan intensif dari pimpinan daerah. Apabila ada tim pengawas maupun gubernur dan wakil gubernur yang mengawasi proses pengadaan bus, mulai dari kegiatan lelang tender, maka tidak akan ada komponen bus yang berkarat. Ia menengarai Jokowi-Basuki sengaja melakukan pembiaran proses tender berjalan begitu saja. Dengan itu, maka ada pembiaran terjadinya pelanggaran hukum. Target pengadaan bus itu terbilang cepat dengan jumlah bus yang fantastis pula. Pada tahun 2014 itu, Jokowi-Ahok menargetkan pengadaan bus TransJakarta hingga 1.000 unit dan BKTB 3.000 unit. Dengan keadaan yang terdesak itu, proses pengadaan bus tidak sempurna dan terjadi penyalahgunaan anggaran. Anggaran pengadaan bus itu, mencapai 2% dari total APBD DKI 2013, yang mencapai Rp50,1 triliun. Pengadaan ribuan bus itu telah dirancang di DPRD DKI, bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, serta para pengusaha. Itu sebabnya, Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, menilai kasus korupsi ini tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai "boneka" saja. Kini, sampah ratusan bus itu sudah menjadi monumen tentang keserakahan dan keteledoran pejabat DKI Jakarta masa lalu. Semoga saja, penyakit itu tak menular di era kini. Rakyat bisa dibohongi, tapi bus-bus itu menjadi saksi bisu.

Nasdem Mau Menjadi Oposisi, yang Benar Saja?

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Wartawan senior dan anggota Dewan Redaksi Media Group Saur Hutabarat Kamis (25/7) membuat sebuah tulisan menarik tentang pertemuan Megawati-Prabowo. Kesimpulan artikel berjudul “Megawati Ketemu Prabowo” itu berada di akhir tulisan. “Jika Gerindra dibawa PDIP masuk ke pemerintahan Jokowi jilid II, dan Jokowi menggunakan hak prerogatif menyetujuinya, semua itu sah secara konstitusional. “ “Bila itu yang terjadi, kiranya juga bagus bagi demokrasi, bagi tegaknya checks and balances, bila ada partai pengusung Jokowi yang berada di luar kabinet. Inilah kawan sejati yang memilih dari parlemen mengontrol kawan yang berkuasa di pemerintahan.” “Adakah partai macam itu? Bukan mustahil Partai NasDem mengambil pilihan itu.” Disampaikan dengan argumen yang cukup kuat, tanpa nada menggugat, artikel itu bisa dilihat sebagai sebuah sikap resmi dari Big Bos Media Group sekaligus Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (SP). Sebagai seorang petinggi Media Group, mantan wartawan senior majalah Tempo itu adalah salah satu orang dekat (inner circle) SP. Dia paham betul cara berpikir dan apa yang dimaui SP. Jadi apa yang dia pikirkan dan disampaikan ke publik dipastikan tidak jauh berbeda dan tidak mungkin bertentangan dengan sikap resmi yang akan diambil partai. Apa yang dipikirkan oleh SP, itulah yang dia tuliskan. Apalagi tulisan itu dimuat di harian Media Indonesia corong resmi dari Partai NasDem Gagasan NasDem menjadi oposisi yang disampaikan Saur, sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan. Publik bisa dengan mudah menangkap: SP tidak happy dengan acara makan siang Megawati-Prabowo. Tanda-tandanya sangat kuat dan mudah dibaca. SP sebelumnya bertemu dengan tiga orang ketua umum partai koalisi Jokowi (Golkar, PPP, dan PKB), tanpa wakil PDIP. Dia juga bertemu dan makan siang dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Pertemuan itu dihelat bersamaan dengan makan siang Megawati-Prabowo. Semua itu adalah signal-signal politik yang ditujukan kepada Jokowi dan Megawati. Ketika gagasan itu disampaikan secara eksplisit melalui sebuah opini di media resmi, masalahnya menjadi lain. SP telah menyampaikan isyaratnya secara lebih tegas, tidak tersamar, dalam bahasa yang terang, namun belum menjadi sikap resmi partai yang dipublikasikan ke publik. Kekecewaan SP sesungguhnya sangat wajar. Sebagai partai koalisi pendukung Jokowi, NasDem berhak kecewa. Setelah berjibaku mendukung Jokowi melalui kontestasi berdarah-darah, tetiba Jokowi dan PDIP malah mengajak lawan mereka bergabung ke dalam pemerintahan. Apalagi bila nanti jatah kursi yang diberikan kepada Gerindra lebih banyak, lebih penting, dan lebih basah dibanding parpol lainnya. Lengkap sudah. Pertama, praktik politik yang dilakukan oleh Jokowi dan Megawati tidak wajar dalam sebuah proses demokrasi. Benar seperti dikatakan Saur, dengan mengajak Gerindra bergabung ke dalam pemerintahan, akan menimbulkan problem serius pada proses ketatanegaraan kita. Di negara demokrasi yang benar, menganut pembagian kekuasaan. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Dengan bergabungnya Gerindra, koalisi pemerintah akan menguasai lebih dari 70 persen kursi di parlemen. Hal itu jelas akan menimbulkan implikasi serius pada praktik demokrasi. Mengganggu proses checks and balances Kedua, kehadiran Gerindra dipastikan akan mengganggu dan mengurangi jatah kursi parpol pendukung Jokowi. Tidak perlu malu lah membicarakan masalah ini. Absah dan halal. Kendati soal ini berkali-kali dibantah, dan SP selalu menyatakan mendukung Jokowi tanpa syarat, tapi alasan itu terlalu naif. Hanya lips service. Basa-basi seorang politisi. Di belakang layar dipastikan saat ini tengah terjadi tawar menawar, tarik menarik, dan rebutan pos-pos kementerian, jabatan yang penting dan strategis. Koran Tempo misalnya melaporkan, saat ini PDIP dan NasDem tengah bersitegang memperebutkan posisi Jaksa Agung. Tidak ada salahnya dan sangat absah dukungan politik yang diberikan oleh NasDem harus mendapat kompensasi yang setimpal. Pada awal Kabinet Jokowi Jilid I NasDem mendapat jatah tiga kursi menteri dan Jaksa Agung. Jatah itu berkurang satu, ketika Jokowi melakukan reshufle kabinet jilid I. Menko Polhukam pos yang ditempati oleh kader Nasdem Tedjo Edhy Purdijatno diganti Luhut Binsar Panjaitan. Ketiga, sudah lama diketahui SP dan Prabowo mempunyai hubungan yang tidak harmonis. Sepanjang proses pilpres berjalan, Prabowo selalu menolak diwawancarai stasiun Metro TV milik SP. Dalam berbagai kesempatan Prabowo secara demonstratif menyatakan ketidaksukaannya terhadap Metro TV di depan publik. Perseteruan ini tampaknya bisa kita runut dari kasus meledaknya bom di sebuah rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta 18 Januari 1998. Bom tesebut meledak di kamar yang disewa oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). SP bersama kakak beradik Jusuf dan Sofyan Wanandi (CSIS) dituding terlibat dalam kasus itu. SP sempat diperiksa oleh aparat militer. Saat itu Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus dan dua bulan kemudian diangkat menjadi Pangkostrad. (Mungkinkah NasDem Oposisi) Pertanyaannya sekarang : Seberapa serius “ancaman“ menjadi oposisi itu? Jawabannya sangat tergantung bagaimana Jokowi, terutama Megawati meresponnya. Manuver SP sampai saat ini boleh dibilang masih belum serius. Hanya warning yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam silat hanya jurus kembangan. Bukan serangan yang mematikan. Harus dipahami yang kecewa dengan masuknya Gerindra bukan hanya SP. Para ketua umum parpol pendukung lainnya juga sangat kecewa. Bahkan lebih khawatir. Ngeri-ngeri sedap karena jatah kursinya akan berkurang. Bukan tidak mungkin perannya di pemerintahan Jokowi juga diambil-alih Gerindra. Jangan lupa perolehan suara Gerindra pada pemilu lalu berada di urutan kedua di bawah PDIP. Koalisi PDIP-Gerindra akan menjadi duet yang mendominasi pemerintahan Jokowi. Ada beberapa alasan mengapa SP tidak mungkin begitu saja mengambil langkah secara frontal meninggalkan Jokowi, dan terutama Megawati. Pertama, hubungan SP-Megawati telah berlangsung cukup lama. Bahkan sudah sejak pemerintahan Orde Baru. Ketika Megawati menjadi salah satu oposisi utama Soeharto. SP selalu mesuport Megawati. Hubungan ini cukup menarik. SP juga dikenal mempunyai hubungan dekat dengan putra-putri Soeharto. Rosano Barack adik ipar SP adalah salah satu petinggi di Bimantara. Perusahaan itu dimiliki Bambang Trihatmodjo putra Soeharto. Apakah mungkin hanya gegara bergabungnya Prabowo ke pemerintahan , membuat SP dan Megawati melupakan persahabatan lama yang sudah terjalin. Kedua, sebelum mendirikan NasDem, SP adalah politisi Golkar. Para kader partai berlambang pohon beringin ini tidak terbiasa berada di kubu oposisi. Habitat mereka selalu berada dalam kekuasaan. Kebetulan pula sejak berdiri pada tahun 2011 dan ikut pemilu pertama kali pada tahun 2014, Nasdem langsung bergabung menjadi partai penguasa. Mereka menjadi salah satu parpol pengusung Jokowi-Jusuf Kalla. Ketiga, SP adalah politisi sekaligus pengusaha. Berada di luar pemerintahan tidak hanya membuat posisi NasDem akan kesulitan bermanuver, juga dipastikan berdampak tidak baik bagi kerajaan bisnis SP. Peran SP di NasDem sangat sentral. Eksistensi NasDem tidak lepas dari topangan hasil bisnis SP. Meminjam kalimat yang pernah diucapkan Prabowo, kondisi NasDem saat ini “Akan timbul tenggelam bersama SP.” Dengan kalkulasi semacam itu, sulit membayangkan SP akan mengambil langkah frontal: MENJADI OPOSISI! SP saat ini sedang merajuk saja. Semuanya sangat bergantung bagaimana Jokowi dan —sekali lagi— terutama Megawati menyikapinya. Kita tingal menunggu apakah jargon: A friend in need is a friend indeed, teman sejati adalah teman di waktu susah dan senang, masih berlaku juga di dunia politik. End

NU: Wapres Itu Setara dengan Seluruh Menteri

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah Ulama dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kultural sangat prihatin dengan permintaan “jatah” menteri oleh PBNU kepada Presiden Joko Widodo yang “memenangkan” kontestasi Pilpres 2019, 17 April 2019. Perlukah Presiden Jokowi kabulkan? Isu NU meminta jatah menteri ke Presiden Terpilih Jokowi mendapat kritik dari tokoh NU. KH Salahuddin Wahid alias Gus Solah mengatakan, NU saat ini sudah bermain politik dan sekarang NU sudah terlalu jauh untuk masuk ke dalam kegiatan politik. “Saya pikir organisasi NU terlalu jauh bermain politik. Bahkan sekarang NU minta jatah politik, itu adalah jatah partai. Kalau begitu NU mending jadi partai politik saja,” kata Gus Solah, seperti dilansir Tribunjateng.com, di Pekalongan, Rabu (17/7/19). Pernyataan Gus Sholah itu disampaikan saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan Khittah 1926 di Gedung Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan. Menurutnya, politik NU bukanlah politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Halaqoh yang diadakan ini dimaksudkan untuk Ngaji Bareng tentang Khittah NU. “NU itu didirikan untuk melayani umat Islam di Indonesia, bukan untuk menguasai umat, yang dimaksud dangan kembali ke khittoh seperti itu,” jelasnya. Gus Solah bersama sejumlah tokoh penting NU seperti KH Nasihin, Kiai Thoha, Kiai Rozi dan yang lainnya menghadiri acara Halaqah Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 ke-9 digelar di Gedung Koperasi Batik Pekajangan. Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid, sendiri sudah mengingatkan petinggi NU tidak terjebak dalam politik praktis, terlebih soal jatah menteri. Hal itu disampaikannya di Silang Monas, ‎Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019). “Saya mengimbau pada petinggi NU untuk tidak terjebak pada retorika seolah dipahami kita menuntut kursi kabinet dan sebagainya,” katanya, usai menghadiri HUT Bhayangkara ke-73. Yang terpenting bagi NU adalah suara mereka didengar pemerintah. Apalagi hampir 50% lebih umat Islam mengaku berafiliasi ke NU. “Banyak lembaga survei menunjukkan hampir 50% lebih umat Islam berafiliasi dengan NU. Artinya ketika kader NU ‎ditunjuk di kabinet, ya itu jadi representasi dari sebagian besar umat,” ujarnya. NU, kata Yenny, tetap menjaga sinergi dengan pemerintah ke depan, baik dengan memiliki kader di kabinet atau tidak. Dia memastikan NU akan tetap memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kemajuan bangsa dan negara. “Ketika pemerintah siap, NU harus mampu kerja sama dan mampu menjaga jarak sehat,” kata Yenny. Sebelumnya, Wasekjen PKB Daniel Johan minta jatah kursi menteri partainya dengan NU dalam kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II, dipisah porsinya. “Karena memang PKB itu dilahirkan oleh NU, tapi kan PKB bukan NU, tentu itu suatu yang terpisah,” kata Daniel dalam diskusi Polemik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7/2019). Baik NU maupun PKB sama-sama bekerja keras dalam kampanye Pilpres 2019. Sehingga merupakan hal wajar jika keduanya mendapat porsi bagian dalam struktur kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II. “Karena NU juga menjadi bagian yang sangat bekerja keras kemarin sehingga itu dua hal yang berbeda,” ungkap Daniel. Tapi meski menyarankan jatah kursi PKB dengan NU dipisah, Daniel menyerahkan seluruh keputusan ke tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif. “Pada akhirnya kita serahkan kepada pak Jokowi,” lanjut Daniel. “Kami hanya menyediakan Kader terbaik, tapi nanti itu akan melalui hasil pertimbangan mendalam,” tambahnya. Sebelumnya, PKB secara terang-terangan meminta jatah 10 kursi menteri masuk ke dalam komposisi kabinet IKI jilid II periode 2019-2024. Beberapa pos menteri yang dimintanya: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga Menteri Pertanian. Namun, khusus soal kursi Menaker, Daniel menjelaskan belum mendengar pembahasan itu di internal partai. “Mendes mungkin karena memang sudah berjalan. Kalau menaker nggak tahu belum dengar. Mudah-mudahan basis nahdliyin, yaitu petani dan nelayan,” ungkapnya. Untuk posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tampaknya PKB tidak berminat lagi. Daniel mempersilakan pos Menporan itu diberikan kepada mereka yang masih dan punya jiwa muda. “(Menpora?) Kasih yang muda saja,” katanya sambil tertawa. Apakah karena Menpora yang dijabat kader PKB Imam Nahrawi belakangan terseret kasus suap pengucuran dana hibah KONI. Diketahui, dalam KIK pemerintahan Jokowi saat ini, pos menteri yang diisi oleh kader PKB, diantaranya Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, dan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo. Sedangkan Menristekdikti Mohammad Nasir kerap disebut representasi PKB. Posisi Wapres Akankah semua permitaan PKB maupun NU itu dipenuhi Presiden Jokowi? Kalau akhirnya format rekonsiliasi Prabowo Subianto yang sudah bertemu Presiden Jokowi dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu terealisasi, rasanya tidak mungkin. Jokowi pasti akan memasukkan juga orang-orang yang dipercaya Prabowo untuk masuk juga dalam KIK jilid II Jokowi bersama Wapres Terpilih Ma’ruf Amin. Apalagi, syarat yang telah diajukan itu berdasarkan prosentase perolehan suara Pilpres 2019, 55:44. Bagi parpol Koalisi Jokowi-Ma’ruf, ajuan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Jatah kursi menteri mereka dapat dipastikan akan berkurang banyak. Ditambah lagi, NU juga meminta jatah kepada Presiden Jokowi. Jelasnya, ini sangat berlebihan. “NU kan sudah dapat jatah Wapres (Kiai Ma’ruf Amin) yang tokoh ulama-kiai NU ternama. Masa’ masih saja kurang,” ujar ulama NU dari Jatim KH Rozy Shihab kepada Pepnews.com. Jabatan Wapres itu bisa disetarakan dengan semua posisi menteri. Artinya, posisi Wapres yang bakal dipegang Ma’ruf Amin, setelah dilantik, bisa dianalogikan sama dengan jabatan seluruh menteri dalam KIK. Jadi, sebenarnya NU sudah mendapatkan semua posisi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan posisi Presiden, itu bisa saja dianalogikan sama dengan jabatan Wapres bersama semua posisi menteri. Jadi, NU tidak perlu meminta-minta lagi jabatan kepada Jokowi. Jadi, NU tidak perlu datang dan minta-minta ke Presiden. “Justru presidenlah yang harus datang ke NU. Karena, sesuai Khittah 1926, NU itu bukanlah partai politik. Ini yang harus dicamkan,” tegas Kiai Rozy Shihab, mengingatkan. Hal serupa disampaikan KH Abdul Malik Madani. Khittah NU itu politik kebangsaan, bukan politik praktis. NU itu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal NKRI. “NU itu seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan,” ujarnya. Hal itu disampaikan mantan Katib Aam PBNU ini saat menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Ponpes Tebuireng 8 Serang, Banten. Acara itu merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU 26). Dalam kesempatan itu, Kiai Malik menyampaikan pesan dari almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz. “Dalam Rapat Pleno PBNU di Universitas Ilmu Al-Qur’an (Unsiq) Kelibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safilah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkapnya. Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tatran politik praktis, tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. “Politik kebangsaan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 Nahdlatul Ulama”. Sementara itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat supaya tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik. “Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain,” ungkap Kiai Malik. Kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat dengan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan). PBNU ketika Pilpres 2019 secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU pada tingkatan PW sampai MWC guna mendukung salah satu paslon, penggiringan itu, menurut Kiai Malik, merupakan pelanggaran atas Khittah NU 1926. Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres? Ingat, jabatan Ma’ruf Amin di PBNU adalah Rois Syuriah! (Bersambung). ***