OPINI
Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi
Oleh Mangarahon Dongoran, (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Jika relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun mendatang. PEKAN lalu ada berita yang sempat menarik perhatian saya, saat saya dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Berita itu bukan karena Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pun juga bukan karena hiruk-pikuk pengangkatan 34 menteri dan pejabat setingkat menteri yang menjadi pembantu Presiden. Bukan pula pengangkatan 12 orang wakil menteri yang menjadi pembantu wakil menteri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan pengangkatan wamen, berarti ada pembantunya pembantu presiden. Berita menarik bagi saya adalah ketika relawan Projo (Pro Jokowi) menyatakan bubar. Alasannya, karena mereka merasa tidak dibutuhkan lagi. Meski sebenarnya itu alasan yang dibuat-buat. Alasan paling menyebalkan sebenarnya ada dua. Pertama, karena Projo tidak suka Prawobo Subianto diangkat menjadi Pertahanan RI. Harap maklum, Prabowo adalah rival Jokowi dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019). Dalam dua kali pilpres itu juga Projo merupakan relawan militan yang selalu siap dengan peluru tajamnya untuk menghujam lawan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto. Bukan relawan tanpa pamrih Alasan kedua, karena Projo yang merasa berdarah-darah dan berkeringat membela Jokowi, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Meski selama ini mereka mengatakan relawan tanpa pamrih, tapi dari hati yang dalam, Projo merasa ditinggal begitu saja. "Sakitnya tuh, di sini (maksudnya hati)," demikian kira-kira yang terasa pada sebagian relawan Projo. Sejujurnya, saya senang dengan ketulusan Projo membubarkan diri, meski akhirnya diralat alias tidak bubar karena Ketua Umumnya Budi Ari Setiadi diangkat menjadi Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Artinya, setelah mengancam bubar, baru diberi kue. Seandainya tidak mengancam, mungkin Projo tidak dapat apa-apa. Artinya, selama ini orang-orang Projo bukanlah relawan tanpa pamrih, tetapi relawan dengan penuh harapan. Projo sebenarnya berharap mendapapat kursi menteri. Apa boleh buat, wamen oun jadilah. Ibarat kata pepatah, "Tak ada rotan akar pun jadilah." Jauh sebelum Projo mengeluarkan pernyataan membubarkan diri (meski batal), sebenarnya saya sudah ingin meminta atau menyarankan agar Presiden RI membubarkan seluruh relawan Jokowi. Alasannya, karena Pilpres yang merupakan pertarungan demokrasi sudah berakhir. Ibarat peperangan, yang satu sudah kalah, dan yang menang harus berusaha merangkul yang kalah. Prabowo disandera Apalagi, lawan utama Anda (Prabowo) sudah dijadikan sandera dalam pemerintahan Anda. Ibaratnya, panglima perangnya sudah Anda buat bertekuk lutut, tidak berdaya, dan tunduk sesuai dengan keinginan Anda. Jika macam-macam, tinggal ditendang dari kabinet yang Anda pimpin. Saya sudah tahu jawaban yang akan dilontarkan Jokowi jika permintaan atau saran saya ini dibaca. "Saya tidak berhak membubarkan mereka (relawan Jokowi)," kira-kira itu jawaban yang keluar. "Betul! Anda tidak berhak membubarkannya. Akan tetapi Anda berhak menjaga jarak dengan para relawan Jokowi itu. Setidaknya, Anda bisa mengatakan, "Pilpres sudah selesai. Jadi, semua harus bersatu. Relawan Jokowi tidak diperlukan lagi. Semuanya adalah rakyat saya." Mengapa saya meminta atau menyarankan Presiden membubarkan Relawan Jokowi yang jumlahnya menurut data yang saya peroleleh 120 relawan (bisa lebih)? Karena menurut pengamatan dan hemat saja, jika Relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun ke depan. Banyak benalu lain, baik yang berasal dari eksternal maupun internal. Belum lagi pertumbuhan ekonomi yang diyakini akan berat, yang merupakan benalu terbesar. Belum lagi gangguan keamanan, seperti pemberontakan separatis di Papua. Meminta proyek Mereka akan terus meminta atau menekan agar mendapatkan jabatan dan proyek. Ini saya katakan, karena ada pengalaman seorang kepala daerah tingkat dua (walikota) yang sempat menyampaikan unek-uneknya ke saya pada periode Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla ( 2014-2019) yang lalu. Kata walikota itu, ia pusing karena didatangi Relawan Jokowi. Mereka meminta proyek. Tidak dikasih mereka menekan. Kalau dikasih, belum tahu track recordnya atau rekam jejaknya dalam urusan proyek bagus. Tidak hanya di daerah. Relawan Jokowi juga meminta proyek di BUMN. Kalau ada komisaris atau direksi di sebuah BUMN berasal dari Relawan Jokowi maupun tim suksesnya, mereka tidak perlu meminta karena sudah ditawarkan. Kalau BUMN yang komisaris atau direksi tidak ada yang berasal dari relawan atau tim sukses, maka mereka masuk meminta proyek dengan memaksa. Oleh karena itu, "Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi." Sebab, selain merupakan salah satu benalu di pemerintahan yang Anda pimpin, relawan ini juga berpotensi besar untuk berbenturan dengan sesama anak bangsa. Sebab, jika ada kelompok atau individu yang dianggap tidak sejalan dengan mereka, maka dianggap sebagai lawan yang harus dimusuhi dan kalau perlu "dibinasakan." Jika ada perbedaan pendapat, apalagi menyangkut agama, mereka langsung mencap, "intoleran, anti Pancasila, anti NKRI," dan sederet kata lainnya. Bahkan, mereka tidak segan mengatakan sebagai kelompok radikal. Bahkan, jika ada yang mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama mengkritisi janji kampanye Anda yang tidak dilaksanakan, mereka akan mem-bully atau merundung habis-habis. Ini seperti yang terjadi dalam lima tahun pemerintahan Anda sebelumnya. Mereka akan mengatakan hal itu fitnah, bukan kritik. Padahal, yang disampaikan adalah kritik dan mengingatkan apa yang Anda janjikan selama kampanye. Sebagaimana sering Anda kemukakan, pemerintahan yang Anda pimpin membutuhkan masukan, kritik dan saran membangun. Sekali lagi Pak Presiden, tolong bubarkan Relawan Jokowi ! **
Gagasan yang Menyulitkan Nadiem Makarim
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Karena sesuatu hal, baru sekarang bisa menuliskan tanggapan. Mohon maaf kalau dirasakan telambat. Pada hari pelantikan kabinet Jokowi, seorang pemilik akun FB bernama Sahat Siagian, memperlihatkan rasa senangnya terhadap penunjukan Nadien Makarim sebagai menteri pendidikan. Sahat mengatakan, inilah kesempatan baik bagi Nadiem untuk membongkar masjid-masjid yang berada di komplek sekolah. Sahat jelas-jelas memperlihatkan kegusarannya terhadap busana muslimah yang dipakai oleh para siswi. Dia menginginkan agar Nadiem ‘menetralkan’ pakaian muslimah yang sangat dibencinya itu. Tersirat keinginan Sahat agar pakaian yang menutup aurat dilarang di semua sekolah. Sahat berharap banyak pada Nadiem. Dia membayangkan Mendiknas yang baru ini akan melancarkan gebrakan untuk membasmi suasana islami di lingkungan sekolah dan kampus. “Habiskan semua, Bung. Luluhlantakkan mereka,” tulis Sahat. “Tidak boleh lagi ada yang menaungi pendidikan. Sebab, belajar adalah sebuah upaya untuk membebaskan diri dari tahyul atau kepercayaan apa pun,” kata Sahat lagi. Luar biasa pedas kalimat-kalimat Sahat. Dia meminta agar Nadiem memberangus suasana islami di sekolah dan kampus. Sahat tak menyembunyikan kebenciannya pada Islam. Kehidupan Nadiem sangat disenangi oleh Sahat. Dia melihat prinsip hidup Nadiem sangat cocok untuk ditiru oleh umat Islam. Misalnya, Sahat mengatakan bahwa dia tidak terkejut ketika dia tahu istri Nadiem beragama Katolik. Dan dia sangat senang pula mendengar anak-anak Nadiem dibaptis. Tetapi, Sahat lupa bahwa Nadiem tidak akan mampu mengubah satu orang pun perempuan yang telah teguh dengan keislamannya. Nadiem akan membentur tembok keras jika dia mencoba mengganggu umat Islam yang menerapkan syariat secara wajar, damai dan konstitusional. Akibat benturan itu boleh jadi akan sampai ke wajah Sahat. Kita yakin Nadiem tidak akan mengutak-atik masjid atau surau yang ada di sekolah. Hampir pasti kaum muslimin akan menafsirkannya sebagai upaya kelompok lain untuk mengganggu umat Islam. Kenapa? Karena Sahat terlanjur mengatakan bahwa istri Nadieam beragama Katolik. Seharusnya Sahat tidak menyebutkan itu dalam tulisannya yang berjudul “Bung Nadiem”. Memang terasa enak menyebutkan itu. Tetapi, menjadi sangat sensitif ketika suatu hari nanti Nadiem mengeluarkan kebijakan yang frontal terhadap umat Islam. Kalau Nadiem tiba-tiba membongkar semua masjid atau surau dari komplek sekolah, tentulah salah satu yang terlintas di pikiran kaum muslimin adalah Katolik. Istri Nadiem yang bergama Katolik. Jadi, tulisan Sahat itu sesungguhnya sangat berbahaya. Gagasan Sahat menyulitkan Nadiem. Bisa memunculkan kecurigaan antargolongan. Seharusnya tidak diumbar di depan umum tentang kekatolikan istri Nadiem. Apalagi di media sosial beredar foto-foto keluarga Nadiem yang tampak sedang mengikuti acara di gereja. Sahat seharusnya menyembunyikan kekatolikan istri Nadiem itu. Supaya umat Islam tidak curiga kepada Nadiem. Jika kelak beliau menghantam umat Islam sebagaimana diinginkan oleh Sahat Siagian.[] 28 Oktober 2019
Menteri Agama (Tak) Mengurus Umat Islam
Ucapan menteri yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Oleh Dr. Ahmad Yani Jakarta, FNN – Departemen Agama secara historis didirikan untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam menjalankan syariat. Kementerian ini didirikan pada tahun 1946. Lembaga ini ada sebagai kompromi politik atas hilangnya tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945. Kita mengetahui bahwa setelah proklamasi 17 Agustus 1945, umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya merelakan kehilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hilangnya tujuh kata ini sebagai bentuk kompromi umat Islam demi keutuhan bangsa. Terlihat bahwa umat Islam menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya. Meskipun alasan keutuhan masih menimbulkan tanda tanya hingga hari ini. Namun sikap moderat umat Islam merelakan piagam Jakarta menjadi Pancasila tidak bisa dinilai secara murah oleh siapapun. Itu adalah bentuk pengorbanan terbesar yang tak boleh dilupakan. Pengorbanan inim juga tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun Pengorbanan Umat Islam atas hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, telah menjadi perhatian utama dari pendiri bangsa ketika itu. Sehingga Muhamad Yamin, bertanya "tidak cukuplah jaminan kepada Agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja. Melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri”. Pendek cerita, harus menurut kehendak rakyat. Bahwa urusan Agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, Wakaf, Masjid, dan penyiaran Islam, harus diurus oleh kementerian yang istimewa. Nama lembaganya ketika di tahun 1945 itu adalah “Kementerian Agama". Jadi Kementerian Agama didirikan pada tahun 1945 itu untuk mengurusi hal-ihwal Agama Islam, sesuai kepentingan Islam. Lembaga ini diadakan bukan untuk kepentingan dan urusan yang lain. Begitulah sejarah tentang lahirnya Kementerian Agama tersebut. Pertanyaan Muhamad Yamin itu menjadi bukti sejarah bahwa Kementrian Agama tersebut, dibuat khusus hanya untuk umat Islam dalam mengakomodir segala kepentingan umat Islam. Selain itu, Kementrian Agama juga yang menjadi titik temu antara kubu nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Kiyai Haji Wahid Hasyim dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa "model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah kompromi jalan tengah. Jalan antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara." Pemerintah mengumukan berdirinya Kementrian Agama setelah disepakati secara aklamasi di oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika itu Haji Mohammad Rasjidi yang diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama Pertama. Haji Mummad Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern. Dan di kemudian hari, Haji Muhammad Rasjidi dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah. Jangan Ahistoris Bozzz Apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Fahrul Rozi bahwa “dirinya bukanlah Menteri Agama Islam, dan dia ditugaskan untuk melawan radikalisme, telah membuka kembali luka lama dalam kehidupan umat Islam”. Mengatakan bukan Menteri Agama Islam adalah pernyataan ahistoris, buta dan tuli terhadap sejarah kelahiran bangsa. Sebab sejarah mencatat, bahwa aspirasi Umat Islam diakomodir dengan terbentuknya Kementerian Agama pada awal-awal kemerdekaan bangsa ini. Ucapan yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, bahwa sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Secara kasarnya, sekarang Umat Islam sedang diperas. Tetapi kekayaan Umat Islam yang disimpan di Kementrian Agama tidak dianggap oleh pemerintah. Sementara ceramah ustadz dibatasi, mesjidnya diawasi. Apakah ini yang dikehendaki oleh pemerintah sekarang? Masih berdasar pernyataan menteri Agama Fahrul Rozi. Bahwa dia ditugaskan oleh Presiden untuk mengurus radikalisme. Semua kementerian periode kedua ini sepertinya hanya mengurus radikalisme. Kita menyebutnya dengan pemerintahan yang mengurus radikalisme. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsuddin menyarankan Kementrian Agama diganti namanya menjadi Kementrian Anti Radikalisme. Sebegitu kuatnya radikalisme sehingga mulai dari aparat keamanan seperti Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasiopnal Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga kementerian di kabinet Jokowi yang kedua semua mengurusinya. Berarti kerja pemerintah hanya mewujudkan program deradikalisasi saja. Tugas Menteri Agama itu adalah membangun moral bangsa. Membangun moral keagamaan, yang memberikan nilai positif dan konstruktif bagi bangsa. Menjaga kerukunan, dan meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Membawa pesan keagamaan di tengah masyarakat. Begitulah tugas-tugas Kementrian Agama yang seharusnya. Sementara fungsinya adalah membuat dan menetapkan kebijakan keagamaan. Mengelola kekayaan di Kementrian Agama, dan mengawasi pelaksanaan tugas. Selain itu, melaksanakan kegiatan dan bimbingan teknis. Karena itu kalau tugas Kementerian Agama adalah mengurus radikalisme dan bukan menteri Agama Islam, lebih baik kementerian itu dihilangkan saja. Sebab sejarah kementerian itu merupakan hasil akhir dari kompromi diantara tokoh-tokoh bangsa. Kompromi antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalisme sekuler. Terlepas dari semua itu, Menteri Agama Fahrul Rozi sekarang ini tidak cocok mengurus kementerian. Tetapi lebih cocok diberikan tugas sebagai kepala BNPT. Itu lebih menjurus ke pikiran beliau ketimbang mengurus urusan Umat Islam yang begitu kompleks. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta serta Advokat
Pancasila Menjadi Benteng Dampak Negatif Globalisasi TI
Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. By Komjen Pol. Dhama Pongrekun MH. MM Jakarta, FNN - Era globalisasi sekarang ini telah dijadikan alat untuk mengkoneksi secara global seluruh aspek kehidupan manusia. Koneksivitas global tersebut telah meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Basis utama dari sarana koneksitas global itu adalah money, power dan control Akibatnya setiap orang mampu mengakses informasi dengan bebas atau tanpa batas. Akses informasi itu, baik dalam bentuk gambar, tulisan maupun video yang dapat memanipulasi mindset manusia. Caranya, didahului dengan pelemahan sistem tubuh manusia, melalui perubahan struktur Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), yang dirusak oleh gelombang elektromagnetik, dan mempunyai kekuatan hipnotis. Peralatan hipnotis yang bernama smartphone itu kita beli. Setelah dibeli, kita juga yang menggunakan. Namun yang mengontrol kita adalah mereka yang mendesain, dan memproduksi smartphone tersebut. Mereka mengontrol dan mengendalikan kita setiap saat. Kapan saja dan dimana saja, bila mereka mau. Rekayasa kehidupan, yang bisasanya disebut life engineering, dapat dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Life engineering bisanya dilakukan kapan saja, dan dimana saja. Dimulai dengan propaganda ketakutan, agar otok purba kita bekerja mencari perlindungan mempertahankan diri. Kerana pada hakikatnya life engineering itu sudah ada, sejak ini dunia diciptakan. Pada era modern, rekayasa kehidupan dilakukan melalui fase revolusi industry. Muaranya pada ditemukan tekonologi informasi dan tekonologi komnikasi. Media yang dipakai adalah internet, yang mulai digunakan sejak 20-30 tahun lalu. Sejak itu, globalisasi menjadi gelombang yang sangat dahsyat. Penguruh dan dampak dari globalisasi itu, sepertinya tidak bisa dibendung. Selalu ada dalam kehidupan sehari-hari kita. Sekarang, seluruh aspek kehidupan manusia, terhubung dengan mamanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara sarana tekonologi informasi dan komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah smartphone. Teknologi memang didesain untuk hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Teknologi juga didesain dengan sajian kecepatan dan efektivitas yang sangat tinggi. Teknologi telah memudahkan manusia yang menggunakannya saling berkonukasi secara praktis dan efisien. Walaupun demikian, kita jangan sampai terlena dan diperbudak oleh hadirnya teknologi tersebut. Kemajuan teknologi harus tetap kita waspadai. Tidak selamanya teknologi membawa dampak positif terhadap kehidupan manusia. Pengembangan teknologi misalnya, pada perangkat tekonologinya kerap disisipi aplikasi yang memiliki ekslusivitas, seperti pornografi dan candu. Misi-misi teknologi seperti inilah yang harus diwaspadai oleh para penggunanya. Dibalik semua kemudahan teknologi informasi saat ini, kemajuan teknologi juga mempunyai resiko dan ancaman. Pada umumnya teknologi tersebut, digunakan oleh barbagai negara untuk memenangkan persaingan kepentingan mereka di tingkat global. Pada titik itulah, perang sebagai bentuk puncak persaingan antara negara hadir dan berevolusi. Salah satu dampaknya, peperangan sekarang ini tidak hanya terbatas pada kontak fisik. Tidak juga hanya dengan menggunakan senjata konvensional. Konsep peperangan zaman now telah berkembang menjadi perang siber. Basisnya adalah penggunaan teknologi informasi dan komunkasi tersebut. Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. Menghadapi kenyataan ini, semua komponen bangsa harus hadir mengantispasi kemungkinan terburuk. Karena Indonesia akan diserang oleh pusaran arus negative dari dampak globalisasi. Pusaran globalisasi itu memiliki tiga program besar, yaitu Money, Power dan Control. Pertahanan terbaik menghadapi ancaman globalisasi yang berbasis Money, Power dan Control itu adalah menghadirkan dasar negara Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dasar negara Pancasila menempatkan manusia Indonesia mempercayai Tuhan Yang Maha Esa sebagai panduan kehidupan pribadi maupun berbangsa. Semua kemponen bangsa harus memperkuat ketahanan untuk menjiwai pilar bangsa Pancasila, dan UUD 1945 sebagai benteng menghadapi globalisasi hipnotis. Pengaruh globalisasi ini dijalankan dengan cara yang sistimatis, terstruktur dan masif ke semua lini pemerintahan. Semua orang ditanamkan suatu hidden agenda yang akan membuat kehidupan hanya satu arah. Yang ujung-ujungnya akan menyengsarakan bangsa, karena sudah ikut dengan agenda tersebut. Mereka melakukan agendanya dengan cara memberikan rasa ketakutan kepada kita. Dengan cara menyebarkan hipnotis ketakutan itu kita dipaksa mengikuti agenda yang sudah dijalankan. Agenga yang sistematis, karena dibumbui dengan kemudahan, kecepatan kepada manusia di dunia. Tanpa sadar akan membuai arah kehidupan yang luxury sebagai pemuas nafsu dunia. Kita jadi melupakan kehidupan kita yang berasal dari dunia supranatural. Bukan berasal dari suatu nilai angka atau eksak. Jika kita tidak berpegang teguh akan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka semua akan tergerus dengan kehidupan yang bernilai ekonomi. Era revolusi industri 4.0 dan kemajuan teknologi gadget khususnya, membuat kita kehilangan norma-norma. Membuat kita manipulasi mindset dengan aplikasi atau sarana yang ditawarkan. Sarana tersebut berisi materi-materi hipnotis yang penuh kebohongan dan propaganda ketakutan. Bahaya gelombang hypno elektromagnetik yang membuat kita menjadi addict. Penulis pernah mempraktekan bahaya gelombang hypno elektromagnetik itu dengan melakukan tes kinosiologi kepada dua mahasiswa dan satu narasumber pada seminar kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru Sabtu (26/10/2019). Hasilnya, terbukti hypno elektromagnetik merusak sel-sel tubuh, apabila kita selalu dengan waktu yang lama mempergunakan gadget. Sudah waktunya Indonesia memiliki teknologi industri nasional yang di awaki anak-anak bangsa sendiri. Dampaknya, selain dapat memajukan ekonomi dalam negeri, hal ini juga dapat menjaga data keamanan seluruh bangsa Indonesia. Kita juga tidak lagi tergantung dengan bangsa lain seperti yang dikhawatirkan salah oleh Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis. Ketika menjadi pembicara di hadapan 300 lebih peserta Seminar Kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru, penulis mengingatkan generasi muda bangsa harus berpedoman dengan Pancasila. Kerana dengan bangsa yang berdasar pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka akan sadar tentang pentingnya berprilaku hidup yang berkeadilan dan beradab itu. Kebhinekaan bangsa juga dengan sendirinya akan mempererat persatuan kita. Apabila persatuan sudah terwujud, tentu diharapkan setiap perbedaan pendapat, akan diakhiri dengan musyawarah dan mufakat. Pada akhirnya akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa indonesia. Penulis adalah Wakil Kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
Jokowi Penentu Kesuksesan Prabowo
Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Prabowo Subianto adalah pria dengan jejak ketentaraan yang gemilang. Berkali-kali masuk ke gelanggangg pilpres. Satu kali sebagai calon wakil presiden dan dua kali sebagai calon presiden. Dua kali menjadi rifal tangguh bagi Jokowi. Sebanyak itu pula Prabowo, pria yang hebat ini menemukan akhir yang menyakitkan. Setidaknya untuk para supporternya. Kekalahan terakhir, teridentifikasi sebagai kekalahan paling menyakitkan. Itu karena berbagai soal pada pemilu 2019 ini betul-betul sulit dinalar dengan akal sehat. Begitu banyak petugas pemungutan suara yang menemui akhir hidupnya. Mereka mati di hari-hari pencatatan perolehan suara. Kematian ratusan petugas pencatat suara ini adalah satu soal sangat pahit. peroalan pahit lainnya adalah jumlahnya yang sulit untuk diterima dan dimengerti. Anehnya, semua berlalu dengan langgam. Bahkan mencedurung menyepelekan sebagai sebuah kelaziman di pesta demokrasi. Tanpa penjelasan, yang memadai, semuanya terkubur begitu saja dalam keangkuhan rendahan. Betul, di luar kematian yang masal itu, semua fakta busuk lain dalam pemilu telah terbantah secara legal. Lagi-lagi itu memang betul. Tetapi tetap saja bantahan hukum itu tak bisa menguburkan black box pemilu itu sebagai pemilu sangat memilukan sejauh ini. Memukul akal sehat kita. Menggelamkan harkat dan marabat manusia menjadi sebutan yang tepat untuk pemilu kali ini. Tak Bermakna Tetapi kenyataan tersebut, hampir pasti bukan satu-satunya fakta di sekitar pemerintahan baru, yang membuat Prabowo terlihat jelas. Dia terlihat sebagai sosok yang paling menyita perhatian. Timbul bersama rakyat di tengah kabinet Jokowi. Setelah sebelumnya menjadi rifal tangguhnya. Prabowo kini telah timbul bersama Jokowi. Timbul dengan segala pertimbangan yang tidak seorang pun dapat mengetahui deteilnya. Memang menarik untuk dicermati. Bahkan ada yang tak habis pikir. Namun ada juga yang bisa memahami kenyataan ini. Faktanya sekarang Prabowo timbul di Kementerian Pertahanan. Kementerian yang secara konstitusi sangat bernilai strategis. Apalagi pancaran antusias dan penghormatan otentik aparatur di Kementerian Pertahanan atas kedatangan Prabowo terlihat begitu telanjang. Penghormatan kepada Prabowo dari jajaran Kementerian Pertahanan pada prosesi serah terima jabatan Menteri Pertahanan itu tidak seperti biasanya. Karena sangat spesialis dan “mengagumkan” di kementerian tersebut. Semuanya terlihat begitu nyata. Mau apa? Begitulah politik riil. Untuk alasan apapun politik rill adalah pekerjaan para elit. Suka atau tidak, ya begitulah adanya. Dan itu bukan hanya perkara di Indonesia. Ini perkara seperti ini menjadi biasa dalam politik riil di manapun didunia ini. Sudah sejak dari dahulu kala, jejak-jejak sejarah, menunjukan politik selalu digerakan oleh pertimbangan-pertimbangan yang lebih sering tak terlihat daripada yang sering terlihat. Jangan terkecoh dengan yang terlihat. Kenalilah hal yang tak terlihat. “Pak Prabowo lebih tahu tentang urusan pertahanan daripada saya”. Begitu inti kata-kata Jokowi saat mengumumkan dan melantik Prabowo. Tetapi dilihat dari sudut konstitusi, setulus apapun kata itu terlihat, kata-kata itu tak memiliki makna konstitusional. Mengapa demikian? Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Apa saja yang dimaui Jokowi? Dialah Presiden yang mengangkat Prabowo untuk membantu dirinya melaksanakan urusan pemerintahan yang dipegangnya, di bidang pertahanan negeri ini. Itu point penting dan konstitusionalnya. Direktif Presiden adalah panduan konstitusional untuk Pak Prabowo. Tidak lain dan tidak lebih dari itu. Sejelas apapun ilmuan politik mengidentifikasi kata-kata itu sebagai benteng Jowowi kelak. Misalnya, ketika postur politik dan teknis pertahanan tidak cukup baik, tetap menjadi tanggung jawab konstitusional ada pada Jokowi sebagai presiden. Apalagi Jokowi berkali-kali mengatakan, menteri tak boleh memiliki visi sendiri. Semuanya harus berdasarkan visi Presiden dan Wakil Presiden. Sistem Presidensial Presiden, siapapun orangnya dalam sistem presidensial bukan primus interpares. Presiden bukan orang yang terkemuka. Yang utama, diantara yang setara dalam kabinet itu. Presiden, yang terambil dari kata precedere dalam bahasa latin adalah pemimpin. Untuk apa yang kelak ketika dirumuskan oleh pembuat konstitusi Amerika tahun 1787 sebagai Chief of Executive. Itu sebabnya, presiden sering disematkan dengan sebutan, misalnya Chief of Executive Politics, Chief of Negosiator, Chief of Law Offcier, Chief of Ambasador, dan lainnya. Presiden adalah jabatan tunggal. Jabatan yang kewenangan-kewenangannya tak terbagi, dan tak bisa dibagi. Sifat jabatan itu membawa konsekuensi, misalnya siapa yang diminta dan diangkat membantu dirinya, sepenuhnya tanggung jawab dirinya. Kapabel, kompeten atau tidak orang yang diangkat itu, terserah presiden. Walau memang harus diakui politik dan kenyataan demokrasi sering meminta presiden harus menghidupkan kearifannya. Misalnya, presiden tidak menggunakan kewenangannya itu semaunya sendiri. Walaupun demikian, semuanya tergantung pada visi dan kebijakan presiden. Bukan pada kebijakan menteri, Sehebat apapun menteri itu. Orang boleh saja bilang rel goverenment adanya di Kementerian. Anggapan seperti itu tidak salah. Tetapi itu cuma separuhnya saja. Kekuatan pertahanan Angakatan Laut Amerika misalnya, suka atau tidak, harus dipertalikan dengan kecemerlangan kebijakan yang melampaui zaman oleh Thomas Jefferson. Kebijakan Presiden Amerika ketiga, pada periode 1801-1809 inilah yang membuat Angkatan Laut Amerika menjadi penguasa laut dunia sekarang ini Thomas Jefferson keluar dengan kebijakan membangun armada laut yang hebat bekerja. Kebijakan itu dirangsang oleh pengalamannya sebagai Duta Besar Amerika untuk Inggris. Dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar, Thomas Jefferson pernah berurusan dengan Turki Usmaniah. Mereka membicarakan hambatan keamanan yang dialami oleh kapal-kapal Amerika dalam pelayaran perdagangan kedua negara. Amerika sangat beruntung. Sebab pada waktunya, Amerika memiliki William Mckinley (1897-1901) sebagai presiden. McKinley adalah Presiden yang mengubah, dan membawa Amerika menjadi pemimpin dunia seperti sekarang. Menggantikan posisi Inggris. Ragam kebijakan Presiden William Mckinley, yang mengubah Amerika, menjadi pemimpin dunia itu, dilukiskan oleh Henry Adams, seorang peneliti dengan sebutan “McKinlysian.” Dia menggambarkannya dengan that is “the system of combination, consolidation, trusts, realized at home, and realizable abroad.” Bukan Trump, tetapi Presiden Mckinley yang pertama kali menggunakan senjata tarif dalam memproteksi produk-produk industri dalam negeri Amerika. Mckinley, bukan Trump yang pertama, mengintroduksi gagasan proteksionis ke dalam sebuah undang-undang. Undang-undang itu dikenal dengan Dengely Tarrif. Soal undang-undang tarif ini, kata McKinley kepada seorang senator mengatakan, menjadikan Dengely Tarrif sebagai senjata utama lain, sehingga membuat, dan membawa Amerika menjadi produsen utama di dunia. Presiden, ya tetap saja presiden. Sebab dialah presiden untuk semua urusan bangsa dan negara di bidang eksekutif. Tidak bisa, dengan alasan apapun, presiden menyatakan itu bahwa bukan urusannya. Atau itu jangan tanya saya. Tidak bisa begitu kalau jadi presiden. Tidak ada dalam ilmu tata negara itu pemerintahan sebuah negara yang bersistem presidensial disebut pemerintah. Misalnya, nama dari seorang menteri. Pemerintahan presidensial selalu dinamakan sesuai dan melekat dengan nama dari presiden. Amerika misalnya, dinamakan pemerintahan atau administrasi Jefferson, McKinley, Franklin Delano Rosevelt atau saat ini Donald Trump. Indonesia namanya, pemerintahan Soeharto, pemerintahan Mega, pemerintahan SBY dan pemerintahan Jokowi. Tidak bisa disebut pemerintahan Prabowo atau siapa menteri yang lainnya. Praktis nama presiden diambil dan disematkan pada pemerintahannya. Prabowo memang punya jejak ketentaraan yang gemilang. Mungkin saja kegemilangan itu tersaji kembali di Kementerian Pertahanan ini. Tetapi apapun prestasi dan keberhasilan yang dicapainya, tidak dapat digunakan sebagai dasar menyebutkan pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan Prabowo. Tidak bisa. Untuk dan dengan alasan apapun. Presiden Jokowi, entah basa-basi atau tidak, secara resmi telah mengakui kehebatan Prabowo. Itu jelas menjadi modal besar bagi Prabowo. Tetapi modal besar itu akan terus saja menjadi modal. Modal dasar tersebut, tak akan berbuah apapun, bila Presiden tidak mendefenisikan visinya. Presiden harus memberikan direction dan otoritas secara detailnya kepada Prabowo. Direction Presiden Jokowi itu adalah kuncinya. Begitulah sistem presidensial bekerja. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate
Prabowo Tak Ingin Rakyat Terbelah
Dari ketiga kisah itulah, Prabowo ingin mengajak kadernya untuk belajar dari negara besar. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Mungkin itulah jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan sebagian rakyat Indonesia yang masih penasaran mengapa Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wapres Ma’ruf Amin. Dua kali Pilpres 2014 dan 2019 telah membuat rakyat pemilih Jokowi dan Prabowo “perang” tanpa henti. Jika ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan terjadi perang terbuka yang melibatkan kekuatan militer. Inilah yang dihindari Prabowo. Itulah alasan mengapa saat Presiden Jokowi meminta Prabowo membantunya dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tidak menolaknya. Prabowo menyanggupinya dengan segenap jiwa dan raga. Kejadian ini tentu merupakan hal yang sangat tidak biasa. Bagaimana tidak, keduanya pernah bertarung sengit pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Apalagi, sengitnya kontestasi kedua pilpres antara Jokowi dan Prabowo terasa sampai ke akar rumput. Lebih dari 5 tahun, publik seperti tersekat pada dua kubu yang berbeda: cebong dan kampret. Ketegangannya merambat tidak hanya di level politik nasional. Di level daerah, Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jabar menjadi bukti atas friksi keduanya. Bahwa friksi pendukung keduanya sangatlah keras. Kesediaan Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi – Ma’ruf bagi banyak orang sangat sulit diterima akal sehat, apalagi ego. Pro-kontra langkah Prabowo pun merebak di publik. Banyak yang mendukung dengan memahaminya sebagai bukti kebesaran jiwa sosok mantan Danjen Kopasus itu, tapi tidak sedikit juga yang belum bisa memahami – apalagi menerima – langkah politik yang tidak biasa terjadi di Indonesia ini. Di Amerika Serikat, Hillary Clinton yang sebelumnya bekas pesaingnya melawan Barack Obama sebagai calon presiden dari Partai Demokrat, akhirnya mengangkat Clinton sebagai Menteri Luar Negeri (21 Januari 2009 – 1 Februari 2013). Kembali ke Prabowo, apa sebenarnya yang membuat mantan Pangkostrad tersebut bersedia membantu Presiden Jokowi mengelola pemerintahan, khusus di bidang pertahanan? “Saya kira tugas beliau lebih tahu dari saya,” kata Presiden Jokowi. Jawaban atas pertanyaan mengapa Prabowo akhirnya bersedia bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju, sebenarnya telah disampaikan secara tersirat, tapi sangat jelas, yaitu saat Rapimnas Partai Gerindra pada Rabu,16 Oktober 2019, lalu. Mengutip Saluran8, sepekan sebelum dilantik menjadi Menhan, dalam pidatonya, Prabowo mengisahkan perjalanan 3 tokoh besar dunia dari 3 negara yang juga (kemudian menjadi) besar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Pertama, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Hideyoshi adalah seorang pemimpin pasukan besar di Jepang pada masanya dan Ieyasu adalah salah satu musuh besarnya dengan kekuatan prajurit yang tidak kalah tangguh plus jumbo. Prabowo bercerita, suatu hari sebelum bertempur, Hideyoshi dengan 70 ribu pasukan yang di belakangnya mengirim utusan khusus ke Ieyasu untuk meminta bertemu. Dalam pertemuan titu, Hideyoshi mengutarakan gagasannya daripada bertarung, kenapa tidak bersekutu saja. “(Yang mulia) Ieyasu, pasukan Anda hebat-hebat, kuat-kuat. Begitupun pasukan saya, jumlahnya tidak kalah banyak. Tapi, yang mulia… kalau besok kita jadi bertempur, di antara kita pasti akan ada yang kalah dan ada yang menang.” “Akan ada banyak prajurit kita yang berguguran. Akan banyak orang tua Nippon yang kehilangan anaknya. Anda cinta Nippon, saya juga cinta Nippon, kenapa kita tidak bekerjasama dan bersatu saja? demi cinta kita terhadap Nippon.” Akhirnya kedua pasukan besar yang bertikai ini bersekutu dan membawa kemajuan yang hasilnya bisa dinikmati bersama dan oleh segenap rakyat. Kedua, Abraham Lincoln dan William Seward. Suatu ketika Lincoln menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen Amerika Serikat. Seward menolak bertemu, bahkan mengatakan “kasih tahu monyet itu suruh pulang” kepada sekretarisnya hingga umpatan tersebut terdengar oleh Lincoln sendiri. Bertahun-tahun berlalu, mereka terus bertarung sengit di arena politik hingga Lincoln akhirnya terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 6 November 1980, hal pertama yang dilakukan oleh Lincoln ternyata meminta Seward menjadi Scretary of State. Seward kaget, karena selama ini dia ibarat rival abadinya Lincoln. “Kenapa Anda pilih saya? Saya kan tidak suka sama Anda,” tanya Seward sebagaimana diceritakan Prabowo. “Oh, saya tahu, Anda tidak suka sama saya dan saya tidak suka sama Anda. Tapi saya tahu, Anda cinta United State of America. Dan, saya cinta United State of America. Kenapa kita tidak kerjasama demi United State of America,” lanjut Prabowo berkisah. Prabowo tertegun membaca kisah tersebut. “Inilah kenapa Amerika jadi negara besar, kenapa Jepang jadi negara kuat,” ungkap Prabowo dalam benaknya. Ketiga, Mao Tse-tung, mantan musuhnya (Zhang Lam?) dan Deng Xiaoping. Selanjutnya Prabowo berkisah tentang Mao Tse-tung yang menang melawan Jepang dan Kuomintang. Dua hari sebelum mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Mao memanggil beberapa orang untuk menjadi Wakil Presiden. Salah satu yang dipanggil adalah seorang tokoh sekaligus jenderal yang pernah menjadi lawannya. Orang yang pernah memimpin operasi dan membunuh puluhan ribu pasukan Mao itu kaget dengan permintaan Mao untuk menjadi wakil presiden. “Kenapa Anda pilih saya? Anda tahu, dulu saya pernah pimpin operasi dimana puluhan ribu anak buahmu saya bunuh.” “Tidak! Tidak! Jangan lihat ke belakang! Lihat ke depan. Kita bangun RRT ke depan,” jawab Mao Tse-tung dikisahkan Prabowo. Lalu ada juga kisah Deng Xiaoping, tiga kali dipecat oleh Mao Tse-tung. Anaknya dilempar dari balkon dan cacat seumur hidup. Ketika Mao-tung meninggal, Deng Xiaoping melanjutkan kepemimpinan Mao dan peran-peran, jejak, serta eksistensi Mao tetap dipeliharanya, bahkan hingga hari ini. Dari ketiga kisah itulah, Prabowo mengajak kader-kadernya untuk belajar dari negara-negara yang kini menjadi besar. Agar Indonesia juga bisa menjadi negara besar. Anda bisa melihat video pidato Prabowo ini yang diunggah di halaman Digdaya TV. Berbekal video tersebut, sebetulnya kita sudah bisa menyimpulkan sendiri kenapa Prabowo bersedia menyanggupi permintaan Jokowi untuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan, Prabowo mengaplikasikannya. Prabowo melihat masa depan, bukan masa lalu. Riwayat sejarah yang pernah terjadi di Jepang, AS, dan Tiongkok, tampak kini sedang terjadi di Indonesia. Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo, Prabowo berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ia mengalah demi hindari perpecahan anak bangsa Indonesia. Dari keputusan politik keduanya, kini kita melihat arah Indonesia sedang menuju ke visi yang lebih besar melalui sinergi politik dengan dasar sama-sama cinta terhadap Indonesia. Artinya, Jokowi – Prabowo sepakat berdamai untuk membangun masa depan. Hanya saja, tampaknya masih ada pihak yang kurang ikhlas dengan bergabungnya Prabowo dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Usulan Hak Veto yang bakal diberikan Presiden kepada para Menko diduga kuat beraroma “kepentingan” politis. “Veto” Menko Hari-hari ini muncul usulan Presiden Jokowi akan memberikan Hak Veto pada para Menko. Tujuannya untuk menjaga agar visi presiden dijalankan para menteri. Ada empat Menko di pemerintahan Joko – Ma’ruf. Yakni Menko Polhukam yang dijabat Mahfud MD, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dijabat Muhadjir Effendy. Menurut Mahfud, Kemenko bertugas mengawal visi besar presiden. Tujuannya supaya dapat diimplementasikan para pembantunya di kementerian dan lembaga setingkat menteri. Pendek kata, Menko melakukan koodinasi sinkronisasi dan harmonisasi terhadap kebijakan yang diterbitkan para menteri. Kemenko mengkoordinasikan tugas-tugas kementerian yang menjadi wewenang masing-masing. “Presiden mengatakan Menko boleh memveto kebijakan menteri yang ada di bawahnya kalau dia bertindak sendiri, apalagi sampai bertentangan dengan kebijakan Presiden maupun kebijakan Kementerian lain yang sejajar,” ujarnya. Direktur The Global Future Institute Prof Hendrajit mempertanyakan, apa benar (Hak Veto ini) cuma untuk menyasar Menhan baru Prabowo Subianto? “Gimana dengan yang di bawah Menko Perekonomian?” ungkap Hendrajit. Kemenko Perekonomian-nya sendiri dari Golkar, Mendag dari PKB, Menteri BUMN dari pebisnis, Meneri Perindustrian juga Golkar. Menhub dari kalangan profesional. Airlangga dan Agus Gumiwang, bukan sekadar satu partai. Tapi juga satu faksi. “Agus Suparmanto, politisi PKB, saya lihat merupakan titik rawan dari konfigurasi kerjasama di jajaran Menko Perekonomian Airlangga. Begitu juga Erick Thohir,” lanjutnya. Bagaimana kalau kalau skema veto untuk Menko diterapkan? Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, boleh dibilang satu skema dan satu agenda. Menhub Budi Karya Sumadi bisa klop dengan Airlangga dan Jokowi karena sama sama alumni UGM, meski lebih kental kedekatannya sama Jokowi. Erick Thohir, bos Mahaka Group tersebut, jalur koneksi bisnisnya lebih dekat ke Jusuf Kalla ketimbang ke Jokowi. Jadi, potensi tabrakan antar kementerian di jajaran kemenko ekonomi cukup rawan. “Faksi Airlangga dan Agus Gumiwang satu sisi, Mendag Agus Suparmanto yang PKB dan Erick Thohir yang pengusaha dekat dengan JK dan Astra Group. Pada sisi lain,” ungkap Hendrajit. Sedangkan di Menko Polhukam, malah tak rumit. “Kalau terkesan ada hubungan yang nggak sreg antara Prabowo dan Mahfud, apapun, mereka berdua pernah berkolaborasi saat Mahfud menjadi Ketua Timses Prabowo Subianto – Hatta Rajasa,” ujarnya. Seharusnya komunikasi dan koordinasi mereka berdua lebih bagus daripada Tim Airlangga. Di Kemenko Maritim dan Investasi, Menko bisa memveto Menteri Kelautan dan Perikaman, LBP memveto Edhy Prsbowo. Sementara di bidang lain , Mahfud bisa memveto Prabowo. Sebenarnya mreka kerja untuk rakyat atau hanya skema veto memveto sih? Dari sini terlihat, yang bakal benar-benar kerja untuk negara hanya Prabowo! ***
Wakil Menteri Bukan Anggota Kabinet
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabinet Indonesia Maju mendapat respon positif banyak kalangan. Pasar saham pun membiru. Nilai rupiah sempat sedikit menguat. Pentolan partai Koalisi Indonesia Kerja atau KIK sudah senyum-senyum. Puas. Tim sukses bertajuk Relawan Pro Jokowi atau Projo yang pada awalnya sewot dan sempat mau bubaran akhirnya lega. Sang Ketum, Budi Arie Setiadi, dapat jatah wakil menteri. Lumayan. Para “Cebong” ini sudah bisa menerima kenyataan Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. "Ya sudah slow-slow lah, udah mulai ada cinta, cinta sedikit. Gitu ya," kata Budi Arie Setiadi, Jumat (25/10). Ya, pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin resmi melantik 12 wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Para wakil menteri itu lima orang dari partai politik dan anggota tim sukses. Lainnya, kaum profesional. Jokowi menilai 12 wakil menteri ini akan mampu memberikan dukungan kepada tugas-tugas menteri. “Profilnya sangat bagus dalam rangka memperkuat kabinet indonesia maju,” katanya. Wakil menteri itu diberikan untuk 11 kementerian yang ada di Kabinet Indonesia Maju. Berbeda dari yang lainnya, Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir mendapat dua wakil menteri. Mereka adalah Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya diambil dari pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Kartika adalah Direktur Bank Mandiri, sedangkan Budi adalah Direktur Utama Inalum. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mendapat tandem Wahyu Sakti Trenggono. Sebelumnya Wahyu adalah Bendahara Tim Kampanye Nasional. Menteri Agama yang kontroversial, Fachrul Razi dipasangkan dengan Zainut Tauhid Sa'adi. Dia adalah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga kader PPP. Soal ilmu agama, Zainut jelas lebih paten ketimbang Fachrul. Dengan bergabungnya Zainut Tauhid, maka PPP mendapat jatah dua kursi di kabinet Jokowi Ma'ruf. Sebelumnya yang menjadi perwakilan PPP hanya Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Perindo mengirim Angela Tanoesoedibjo, puteri Ketua Umum Perindo, Hari Tanoesoedibjo, yang oleh Presiden Jokowi diberi jatah sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan kader Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, Surya Tjandra, mendapat jatah Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN. Politisi Golkar, Jerry Sambuaga, menjabat Wakil Menteri Perdagangan. Kader PDIP Wempi Wetipo menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bergabungnya Wempi membuat porsi PDIP di kabinet Jokowi-Maruf menjadi tujuh orang. Sebelumnya ada tiga politikus PDIP lawas yakni Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan Pramono Anung menjadi wajah lama yang kembali menghuni kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Selain itu Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Selain itu simpatisan PDIP yakni Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Selanjutnya, perwakilan Golkar di kabinet Jokowi menjadi empat. Sebelumnya, ada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang telah dilantik sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kemudian Agus Gumiwang Kartasasmita yang mengisi pos Menteri Perindustrian dan Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda & Olahraga. Di Wamen ada Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga. Sejarah Istilah wakil menteri pertama kali digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Kala itu, Presiden Sukarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat jabatan "menteri muda" yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan dengan wakil menteri. Pada era Orde Baru wakil menteri ditiadakan. Namun di bawah Presiden Soeharto itu ada menteri muda. Bedanya, menteri muda adalah anggota kabinet sedangkan wakil menteri bukan anggota kabinet. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1A. Pada tanggal 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penjelasan pasal 10 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri. Dalam peraturan baru ini, wakil menteri dapat berasal dari pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Wakil menteri pertama yang diangkat Presiden SBY adalah Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo yang mendampingi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada Kabinet Indonesia Bersatu. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, presiden mengangkat lebih banyak lagi wakil menteri. Asal sesuai dengan perundang-undangan, tidak masalah presiden mengangkat wakil menteri. Sebagaimana diatur pasal 10 Undang-Undang No 39 Tahun 2018 tentang Kementrian Negara, presiden dimungkinkan mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU 39/2018 menyebutkan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada kementerian tertentu. UU ini pula yang memungkinan presiden melakukan bagi-bagi kursi bagi para pendukungnya. End
Membenturkan, dan Adu Domba Menhan dengan Presiden
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejak Kamis (24/10) video pendek penyambutan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang baru, beredar di media sosial. Para pendukung Prabowo sangat bersemangat menyebarkannya, dengan ditambahi narasi: Menhan rasa Presiden! Ada juga yang menambahi narasinya dengan kata-kata yang lebih bombastis. “Baru sehari jadi Menhan, negara tetangga sudah mengekeret. Apalagi kalau jadi presiden!” Benar dalam video tersebut Prabowo tampak dielu-elukan oleh pegawai Dephan. Mereka berjejal di jalan yang akan dilalui Prabowo, sambil membawa bendera merah putih dalam ukuran kecil. Konon kabarnya, belum ada seorang Menhan baru yang disambut heboh, gegap gempita seperti Prabowo. Fenomena ini menyadarkan kita pada satu realitas, bangsa ini masih terjebak pada kultus individu, bukan pada value. Emosional, bukan rasional. Value, nilai, panduannya sangat jelas. Benar, salah. Kemaslahatan umat, kemaslahatan rakyat Vs kemaslahatan pribadi dan kelompok. Pada kultus individu, yang benar bisa salah, dan yang salah bisa menjadi benar. Ukurannya menguntungkan kita secara pribadi, atau kelompok. Bila tidak, maka itu salah. Semuanya hanya didasari oleh sikap emosional, bukan penilaian yang rasional. Nilai baik dan benar, tidak akan pernah berubah. Sunatulloh. Hukum alam. Sementara manusia setiap saat bisa berubah. Hal itu menjelaskan mengapa nuansa pilpres lalu seperti sebuah perang. Dua geng, dua gerombolan besar, saling menghabisi satu dengan yang lainnya. Tidak boleh satu orang pun yang mengkritik, apalagi sampai memberi penilaian jelek pada jagoannya. Langsung hajar habis….. Baik Jokowi maupun Prabowo di mata para true believers, para pengikut yang taklid buta, adalah manusia sempurna. Tak ada cacatnya sama sekali. Jangan-jangan malah dianggap sebagai orang suci. Itulah bahayanya kultus individu. Membuat orang menjadi rabun dekat. Tak pernah bisa melihat kesalahan tokoh pujaannya. Sebaliknya dengan mudah menemukan kesalahan siapapun yang menjadi lawannya. Masalah nasional dilokalisir menjadi kepentingan personal. Entah disadari atau tidak, sikap para pendukung Prabowo ini sesungguhnya akan merugikan orang yang mereka puja. Sementara dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan nasional. Merugikan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Akhiri Dikotomi Seharusnya ketika Prabowo memutuskan tawaran untuk bergabung dalam kabinet Jokowi, dikotomi, apalagi kontestasi diantara pendukung, harus berakhir. Sebagai menteri, Prabowo adalah pembantu Presiden Jokowi. Tak peduli jabatannya sebagai Menhan, atau menteri apapun. Terimalah realitas itu dengan lapang dada. Tak perlu merasa malu dan menutupinya dengan eforia semu. Prabowo saja bisa menerima. Bisa lapang dada. Anda kok tidak? Tak perlu lagi ada glorifikasi melebih-lebihkan posisi dan peran Prabowo secara berlebihan. Tak perlu lagi terus diwacanakan bahwa sebagai Menhan, Prabowo adalah menteri utama. Salah satu triumvirat. Manakala terjadi kekosongan kekuasaan presiden dan wapres. Lebih ngeri lagi muncul wacana, pada waktunya Prabowo akan menggantikan Jokowi. Masuk kabinet Adalah strategi. Bergerilya membangun kekuatan dari dalam. Tak perlu lagi terus dihembus-hembuskan bahwa dengan Prabowo menjadi Menhan, kekuatan militer Indonesia akan ditakuti. Ini urusan negara kok. Bukan urusan pribadi. Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet perdana, Presiden Jokowi sudah jelas menyatakan “tak ada visi-misi menteri. Yang ada visi-misi presiden dan wakil presiden.” Prabowo sendiri sejak awal juga menyadari posisinya. Tak lama setelah menghadap Jokowi di istana, dia mengaku sudah mendapat arahan apa tugas dan program kerja yang harus dijalankan. "Saya akan bekerja sekeras mungkin mencapai sasaran. Dan harapan yang ditentukan. Saya kira demikian," tegas Prabowo. Sebagai pemberi mandat, Jokowi akan mengevaluasi kinerja Prabowo. Bila tidak perform, menyimpang, apalagi menunjukkan tanda-tanda melawan perintah, sub ordinasi, dia bisa dicopot. Begitu aturan mainnya. Apa boleh buat, suka tidak suka, status menteri adalah P-E-M-B-A-N-T-U presiden. Setiap saat bisa dipindahkan, diganti dan diberhentikan. Glorifikasi, memuja secara berlebihan, hanya akan membuat posisi Prabowo menjadi kikuk dan tidak nyaman. Dipastikan para pendukung Jokowi — yang sesungguhnya juga tidak nyaman dengan kehadiran Prabowo— akan bereaksi balik. Kita akan kembali terjebak pada perang buzzer seperti pada pilpres lalu. Sudahlah akhiri semuanya. Baik Jokowi maupun Prabowo hanya manusia bisa. Bukan Satrio Piningit, apalagi manusia setengah dewa. Mereka punya kelebihan dan juga kekurangan. Tidak perlu memuja secara berlebihan. Tak perlu pula benci secara berlebihan. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Permasalahan bangsa ini terlalu banyak. Terlalu berat. Biarkan Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya dan Prabowo membantu mewujudkannya. Jangan benturkan Prabowo dengan Jokowi. Mereka kini berada dalam satu tim. Satu perahu yang sama. Tugas kita yang berada di luar pemerintahan, terus mengawasi, mengkritik, mengingatkan manakala mereka menyimpang. Pujian yang berlebihan seperti racun yang akan membunuh akal sehat. Sementara kritik, seperti obat yang pahit, namun menyehatkan. Jangan pula dimusuhi. Apalagi dikriminalisasi. End
Jokowi Ingkari Nahdliyin?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pengangkatan Jend. TNI Purn. Fachrur Razi sebagai Menteri Agama menggantikan posisi Lukman Hakim Saifuddin. Lukman adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili PPP. Lukman tidak terpilih lagi karena diduga terlibat korupsi. Yaitu korupsi yang melibatkan mantan Ketum PPP Romuharmuzy yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Politisi yang akrab dipanggil Romy ini juga kader NU. Mungkin inilah masalahnya mengapa posisi dan jatah NU “hilang”. Sementara dalam tradisi, Menag biasanya dijabat oleh perwakilan dari organisasi keagamaan seperti NU. Lepasnya kader NU dari posisi Menag yang selama ini menjadi jatah untuk NU telah membuat NU kecewa, terutama para kiai di daerah. Apalagi, Menag baru ini disebut-sebut adalah warga Muhammadiyah. Terkait penunjukan Fachrul Razi, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai dari daerah. Menurutnya, banyak kiai di berbagai daerah merasa kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo terkait jabatan Menag. “Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menag,” kata Robikin dalam keterangan tertulis. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (23/10/2019, 14:47 WIB), “Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” ungkap Robikin. Menurutnya, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme. Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Bahkan, juga sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. “Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” kata Robikin. Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari. “Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin. Boleh jadi, dipilihnya Fachrur Razi sebagai Menag ini juga terkait dengan apa yang disebut sebagai “radikalisme” itu. Seperti kata Presiden Jokowi saat mengumumkan namanya, “Beliau (ditunjuk karena) urusan yang terkait dengan radikalisme, ekonomi umat, dan industri halal,” ungkapnya. Rasa kecewa juga disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Ridwan Darmawan. Dia mengaku heran tak satu pun kader NU yang dilirik Presiden Jokowi, meski sebelumnya muncul kabar Jokowi bakal menjadikan kader NU sebagai Menag. “Kami merasa kecewa dengan komposisi (susunan menteri) yang beredar hari ini, apalagi kita menurut informasi yang beredar Menteri Agama bukan dari NU,” ujar Ridwa dalam keterangan tertulis yang diterima awak media Rabu (23/10/2019). Ridwan menyebut, seharusnya Jokowi menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Menurut Ridwan, seharusnya Jokowi berkomitmen memberikan posisi Menag kepada kader NU. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat Menag, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik. Ridwan pun menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menghargai “keringat” yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Seharusnya, Jokowi melihat siapa yang turut membantunya menjadi presiden untuk kedua kalinya. “Di NU sangat banyak pengurus dan tokoh yang berkualitas untuk mengisi pos Menag. Pak Jokowi bebas memilih, asal kader NU dan dekat dengan ulama, jika tidak diberikan ke NU saya yakin Presiden Jokowi bisa kualat,” tegas Ridwan. Bagi nahdliyyin, katanya, Menag dari kalangan NU adalah harga mati. “Jika tidak, ditunda saja pelantikan menterinya,” tegas Ridwan seperti dikutip Gelora.co, Rabu (23/10/2019). Ucapan Ridwan ini disampaikan sebelum pelantikan. Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar sendiri sebagai kader NU sebelumnya berharap dapat jatah 6 orang menteri, tapi ternyata cuma memperoleh 3 kursi. Menko Polhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. “Dikadali” Jokowi? Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, Kabinet Indonesia Maju yang telah diumumkan Presiden Jokowi, Selasa (23/10/2019), kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren. Ida Fauziyah dan Abdul Halim Iskandar dianggap “representasi” Muhaimin Iskandar (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”. Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar meme di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”. Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Menurut Sumanto Al Qurtuby, sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag, tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”. Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya. Kenapa NU? Karena NU yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca Kitab Kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi. Semoga NU tak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meski sepertinya hanya dijadikan pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” dan “pion” saja. Bahkan, tulis Sumanto Al Qurtuby, dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini. Semoga saja NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. “Saya gak bisa membayangkan jika kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal,” tegasnya. Apakah Wapres Ma’ruf Amin dinilai sudah cukup “mewakili” NU? Bukankah posisi Wapres itu setara dengan total jumlah menteri? Sedangkan posisi Presiden itu setara dengan Wapres plus para menteri? Sehingga, dengan kata lain, sudah seharusnya NU tak mempermasalahkan “tidak ada” menterinya dari NU. Lain halnya dengan Muhammadiyah yang hanya ada 5 kadernya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu: Muhajir Effendi, Siti Nurbaya, Juliari Batubara, Nadiem Makarim, dan Fachrur Razi. Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu pun kader PAN yang duduk di Kabinet Jokowi II tersebut! ***
Prabowo Saja Begini, Bagaimana Mau Memercayai yang Lain?
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Prabowo Subianto (PS) adalah politisi dan negarawan yang integritasnya mendekati kesempuraan. Siang-malam dia memikirkan keutuhan NKRI. Kabarnya, tidak ada satu pun lawan bicara Prabowo yang bisa mengelak dari topik kebangsaan dan keadilan. Begitulah hebatnya kualitas Prabowo. Tidak terbantahkan. Kawan dan lawan politiknya paham itu. Dia tak pernah terdengar terlibat atau menyerempet korupsi. Bahkan apa yang ada pada dirinya selalu disumbangkan untuk kenyamanan orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran kerja dengannya. Prabowo selalu memikirkan orang lain. Cerita-cerita tentang ini tak ubahnya seperti derajat hadits shohih. Artinya, kisah-kisah yang bukan karangan belaka. Bukan omong kosong. Dia selalu menduhulukan kepentingan negara dan bangsa di atas keinginan pribadinya. Ketika dia berorasi tentang keadilan bagi seluruh rakyat, Prabowo membuktikannya dalam banyak pergaulan sosial atau lingkungan organisatoris. Tak berlebihan, bagi saya, kalau mau dikatakan bahwa Prabowo adalah “malaikat politik” Indonesia. Dia berintegritas. Bersih. Baik budi. Mendahulukan orang lain, dlsb. Sekarang, “malaikat politik” itu telah melepaskan predikat yang menggambarkan kemuliaan dan keksatrian dirinya. Dia tak sanggup sendirian menjadi “malaikat politik”. Prabowo mungkin merasa lebih mulia jika dia masuk ke dalam koalisi para “politisi trisula”. Padahal, selama ini pekikan-pekikan “jenderal lapangan” itu tidak pernah menunjukkan kemungkinan dia akan melepas predikat itu. Tapi, itulah yang dia lakukan. Dia tinggalkan para pendukungnya. Dengan alasan, ingin mendobrak dari dalam. Dengan jabatan Menteri Pertahanan, dia akan menjabarkan strategi besar (grand strategy) untuk melumpukan rencana jahat. Yang dijalankan oleh orang-orang yang sering dia sebut sebagai “pengkhianat”. Nah, seperti apa kira-kira kesimpulan Anda tentang langkah Pak PS itu? Sambil menunggu jawaban Anda, saya berpendapat bahwa situasi di Indonesia ini sudah sangat parah. Sangat hina. Sudah hancur-lebur. Saking rusaknya, Prabowo yang “putih-bersih” itu pun bisa menjadi begini. Bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai para politisi lain? Poliltisi yang setulus dan sebaik Prabowo saja, bisa dengan enteng meninggalkan umat yang sangat percaya kepada dia. Bagaimana mungkin Anda bisa percaya kepada Jokowi, Megawati, Surya Paloh, SBY, Muhaimin Iskandar, Jusuf Kalla, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Oesman Sapto Odang, Yusril Ihza Mahendra, Suharso Monoarfa, dlsb? Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa dipercaya. Semuanya tak bisa dipercaya selain Prabowo. Itu pun Prabowo sebelum menjadi menteri Jokowi. Sekarang, Prabowo yang tulus dan jujur itu pun ikut lebur membubur. Wallahu a’lam. [] 24 Oktober 2019