OPINI
Menteri “Bernoda” Korupsi (3): Zainudin Amali dan Wisnu Trenggono?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Dua nama lainnya yang “bernoda” korupsi adalah Menpora Zainudin Amali dan Wamenhan Wisnu Sakti Trenggono. Zainudin Amali, politisi Partai Golkar, termasuk salah seorang yang dipanggil Presiden Joko Widodo sebelum ditetapkan sebagai menteri. Setelah itu, Rabu (23/10/2019), Zainudin Amali ditunjuk sebagai Menpora menggantikan Imam Nahrawi yang tersangkut skandal korupsi di Kemenpora dan kini diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia punya pengalaman di organisasi kepemudaan. Menurut Presiden Jokowi, sebagai Menpora, Zainudin Amali juga bertugas di kewirausahaan pemuda, sport industry dan sport tourism, “RUU Sistem Keolahragaan Nasional dan perbaiki peringkat SEA Games,” pesan Presiden Jokowi saat pengumuman. Sebelum menjabat Menpora, Zainudin Amali tercatat sebagai Ketua Komisi II DPR RI dari Golkar. Bagaimana dengan Wamenhan Wisnu Sakti Trenggono? Berikut jejak digital news yang menulis tentang keduanya di media selama ini. Zainudin Amali Melansir Tempo.co, Selasa (22 Oktober 2019 15:46 WIB), nama politisi Golkar ini pernah muncul dalam dua kasus korupsi di KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan bahwa Zainudin pernah diperiksa KPK. “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK, bahkan ada yang pernah masuk di komunikasi tersangka yang diperdengarkan di persidangan,” kata Febri, Selasa (22/10/ 2019). Kasus pertama yang menyeret nama Zainudin Amali ialah kasus suap sengketa Pilkada yang membuat mantan Ketua MK Akil Mochtar dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Melalui percakapan BBM, keduanya diduga melakukan negosiasi soal pengurusan sengketa Pilkada Jatim pada 2014. Ketika itu, ada permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil Mochtar. Ia mengakui adanya percakapan dengan Akil Mochtar seusai diperiksa KPK, 20 Januari 2014. Ia tidak membantah kabar bahwa Akil Mochtar meminta Rp10 miliar untuk memenangkan pasangan calon Soekarwo-Saifullah Yusuf. Namun, Zainudin Amali mengaku percakapan itu hanya gurauan. “Tidak ada negosiasi, (arahan itu) kayak kita lagi bercanda-bercanda gitu,” ujar Zainudin Amali setelah diperiksa di KPK, kala itu. Perlu dicatat, dalam sengketa Pilkada Jatim 2013 tersebut, akhirnya dimenangkan oleh Soekarto-Saifullah Yusuf. Zainudin Amali, juga pernah terseret kasus korupsi di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Tersangka dalam kasus itu ialah Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno. Penyidik KPK pernah menggeledah ruang kerja dan rumah anggota Komisi Energi DPR itu di Jakarta pada Januari 2014. KPK menengarai ada jejak-jejak tersangka di kedua tempat tersebut. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri. Saat itu Zainudin Amali menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR. Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan atas perkara dugaan suap di lingkungan SKK Migas yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Zainudin Amali saat itu diperiksa untuk tersangka mantan Sekjen ESDM Waryono Karno. begitu keterangan Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Senin (20/1/2014). Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu ditanya oleh penyidik KPK mengenai praktik korupsi dan suap di kementerian ESDM yang saat itu dipimpin Menteri Jero Wacik. KPK menggeledah kediaman serta kantor Zainuddin Amali dan menginterogasi seorang stafnya. Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB) menulis, penyidik KPK juga menggeledah ruangan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana dan rumahnya di Bogor, ruangan anggota Komisi VII Tri Yulianto, ruang rapat Komisi VII, serta ruangan Fraksi Partai Demokrat. Wahyu Trenggono Sebuah tulisan menarik berjudul Korupsi Telkom – TBIG & Kriminalisasi Raden Nuh – Edi Syahputra di Kompasiana.com, Minggu (22 Okt 2019, 15:09 WIB), yang ditulis oleh Ridha Taqaballah menyingkap tabir gelap “permainan” Wahyu Sakti Trenggono. Akun yang menyebut diri sebagai “Tukang Bongkar Korupsi” itu mengungkap banyak hal terkait sepak terjang Wahyu Trenggono yang kini diangkat Presiden Jokowi menjadi Wakil Menteri Pertahanan, wakilnya Menhan Prabowo Subianto. Penunjukan mantan Bendahara TKN Joko Widodo – Ma’ruf Amin ini, untuk ngurusi terkait industri pertahanan, melenceng dari bisnis yang ditekuni Wisnu Trenggono selama ini. Entah mengapa pada akhirnya Presiden Jokowi memilihnya. Bagaimana ceritanya Wisnu Trenggono dan Abdul Satar (PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk/TBIG – PT Solusindo Kreasi Pratama) bersama Arief Yahya (PT Telkom) sampai akhirnya bisa “menyingkirkan” Direksi PT Telkom. Berawal dari Keputusan RUPS PT Telkom pada 11 April 2012 yang menetapkan bahwa PT Telkom43e selaku Holding Company PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) akan berusaha mewujudkan Mitratel sebagai Perusahaan Terbesar di Asia Tenggara di sektor infrastruktur telekomunikasi/BTS Provider pada 2014. Dengan rencana itu akan diwujudkan melalui aksi korporasi strategis berikut: Merealisasi rencana Mitratel Go Public (IPO) pada akhir 2012; Telkom selaku holding company akan menambah Ekuitas Rp 2 triliun untuk Mitratel sebagai tambahan modal investasi; Menambah portofolio kredit perbankan untuk modal kerja dan investasi Mitratel hingga Rp 10 triliun; Mengalihkan pengelolaan menara BTS Telkom Group (Telkom, Telkomsel, Flexy dan lain-lain) yang berjumlah > 50.000 unit secara bertahap ke Mitratel hingga menjadikan Mitratel sebagai perusahaan pengelola menara BTS terbesar di Asia Tenggara; Terakhir, dengan mengakuisisi perusahaan sejenis seperti PT Tower Bersama, Protelindo, dan lain-lain. Keputusan RUPS Telkom terkait pengembangan bisnis Mitratel tersebut sudah disetujui dewan komisaris dan pemegang saham/pemerintah. Direksi Telkom sendiri menargetkan kapitalisasi market Mitratel melalui IPO dan seterusnya sebagaimana diputuskan RUPS Telkom 11 April 2012 akan mencapai Rp 100 triliun pada 2013, Rp 250 triliun pada akhir 2014; Dan, Rp 400 triliun pada Rp 2016 dengan penguasaan pangsa pasar di atas 80 persen dengan realisasi seluruh rencana aksi koporasi Telkom terkait Mitratel termasuk rencana mengakuisi TBIG, Protelindo, dan lain-lain. Jelas, rencana itu merupakan ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup/eksistensi/bisnis kompetitornya /perusahaan sejenis: PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk dan PT Solusindo Kreasi Pratama (milik Wahyu Trenggono/Abdul Satar Cs), Protelindo, dan seterusnya. Rencana mewujudkan Mitratel sebagai perusahaan infrastruktur telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara terbukti telah digagalkan melalui perubahan mendadak di jajaran manajemen puncak/Direksi PT Telkom Indonesia Tbk. Rinaldi Firmansyah, Dirut Telkom dan 5 direksi Telkom lainnya diberhentikan mendadak, digantikan oleh Arief Yahya yang sebelumnya Direktur Enterprise Whole Sales PT Telkom, melalui RUPSLB 9 Mei 2012 (kurang sebulan setelah RUPS Telkom 11 April 2012). Alasan resmi penggantian tersebut tidak pernah diketahui secara pasti, padahal Rinaldi Firmansyah Cs baru diperpanjang masa jabatannya sebagai Direksi Telkom untuk periode kedua karena kinerjanya yang sangat memuaskan. Berdasarkan pengakuan langsung Wahyu Trenggono dan Abdul Satar, pihaknyalah yang jadi aktor intelektual pemecatan Rinaldi Cs secara mendadak tersebut. Wahyu Trenggono melobi intensif Menteri Perekonomian dan Menteri BUMN. Posisi Wahyu Trenggono sebagai Bendahara PAN saat itu, sumbangan Rp 15 miliar ke PAN dan komitmen Wahyu Trenggono akan membantu likuiditas logistik PAN, sumbangan Rp 15 miliar untuk kegiatan Menteri BUMN yang disalurkannya melalui Staf Menteri BUMN Budi Rahman Hakim, menjadi faktor utama keberhasilannya menggusur Rinaldi dari jabatan Dirut Telkom. Wahyu Trenggono berhasil memperdaya Menko Perekonomian Hatta Rajasa guna mengganti Rinaldi Firmansyah Cs dengan Arief Yahya Cs. Melalui uang suap Rp 30 miliar (untuk PAN dan Menteri BUMN) dalam rangka memuluskan pemecatan Rinaldi Firmansyah Cs dan menjadikan Arief Yahya 'boneka' Wahyu Trenggono/ Abdul Satar sebagai Dirut Telkom. Uang itu berasal dari uang hasil korupsi Proyek Mobil Penyedia Layanan Internet (MPLIK) BP3TI Kementerian Kominfo yang paketnya dimenangkan PT Telkom, yaitu Rp 520 miliar dari total proyek Rp 1,4 triliun TA 2011. Uang suap Rp 30 miliar untuk PAN (Menko Perekonomian) dan Menteri BUMN itu, Rp 28,5 miliar berasal dari uang muka proyek MPLIK Telkom yang dibayar PT Telkom kepada rekanan PT Telkom dalam pengerjaan proyek MPLIK, yakni PT Geosys Alexindo. Sisanya, ditalangi oleh Wahyu Trenggono dan Abdul Satar. PT Geosys sendiri diduga adalah milik Wahyu Trenggono dan Alex J Sinaga (eks Dirut PT Pramindo Ikat Nusantara/sekarang Dirut Telkomsel). Berdasarkan temuan internal audit dan LHP BPK diketahui PT Geosys Alexindo ternyata perusahaan fiktif/abal-abal, ditunjuk sebagai rekanan dalam pengerjaan proyek MPLIK oleh Arief Yahya, Direktur EWS Telkom dan Abdus Somad, VP EWS Telkom secara melanggar hukum dan prosedur di PT Telkom serta tanpa sepengetahuan dewan direksi Telkom. Temuan audit internal Telkom dan LHP BPK, diketahui penunjukan dan penandatangan kontrak PT Telkom - PT Geosys Alexindo dilakukan Arief Yahya - Abdussomad tanpa melibatkan dan/atau tanpa persetujuan rapat Dewan Direksi Telkom. Demikian juga pembayaran uang muka proyek MPLIK Rp 28,5 miliar dari Telkom kepada PT Geosys dilakukan atas perintah Arief Yahya yang bukan merupakan kewenangannya selaku Direktur EWS Telkom. Belakangan diketahui PT Geosys Alexindo memang direncanakan sebagai SPV (special purpose vehicle) untuk mendapat cash money dalam rangka menyuap Menko Perekonomian/PAN dan Menteri BUMN agar Rinaldi Firmansyah Cs dipecat dan Arief Yahya Cs ditunjuk sebagai pengganti Dirut/Direksi Telkom. Temuan audit internal Telkom dan LHP PK terkait pelanggaran hukum dan korupsi Arief Yahya, Abdus Somad, Wahyu Sakti Trenggono dan Abdul Satar pada proyek MPLIK BP3TI Kementerian Kominfo di PT Telkom Indonesia Tbk ini sudah disidik oleh Kejaksaan Agung. Penyidik Kejagung sudah memanggil Arief Yahya pada 27 Desember 2013 dan 27 Januari 2014, namun Arief Yahya mangkir atau menolak hadir diperiksa di Kejagung. Janji Jaksa Agung, Jampidsus, dan Dirdik Jampidsus untuk memanggil paksa Arief Yahya pada awal 2014 dan penetapan sebagai tersangka tidak pernah ditepati. Anehnya, penyidik Kejagung tiba-tiba menghentikan penyidikan atas Arief Yahya, Abdus Somad, Wahyu Trenggono, dan Alex J Sinaga. Benarkah yang ditulis Ridha Taqaballah di Kompasiana.com tersebut? Jika Kejagung sudah menghentikan penyidikan skandal ini, KPK wajib turun tangan! Ingat, pesan Presiden Jokowi, jangan korupsi! (SELESAI). Penulis adalah wartawan senior. ***
E-Budgeting DKI Memang Payah
Bekerjalah dengan sungguh dan selalu riang Mas Anies. Senangkanlah orang-orang kecil itu dengan rasa keadilan. Dengan keberpihakan yang nyata dan terukur. Datangkanlah senyuman kepada mereka di sepanjang hari. Sepanjang mereka berada di lorong-lorong, dan di gang-gang. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Anies Rasyid Baswedan, terkenal sebagai pria yang santun dengan tutur kata. Anies juga lembut, sangat terukur dan ternalar dalam ucapannya. Sanking terukur itu, sampai menurut Pak Zufkifli Hasan, mantan Ketua MPR, Anies adalah gubernur rasa presiden. Entah karena, rasa itu atau bukan. Namun yang terlihat belakangan ini, Anies cukup sering menjadi sasaran kritik hanya untuk hal yang sebenarnya lucu-lucu. Misalnya, kritik atas rencana anggaran lem aibon dan pulpen, yang lucu selucu-lucunya. Tetapi menjadi menarik. Karena laki-laki penyandang gelar PhD ini menyongsong, menerima dan merespon sejauh yang bisa menjadi cirinya. Selalu saja dengan perspektif yang khas. Kalimatnya, yang tertata penuh nalar dan emosinya yang terjaga. Dalam isu “lem aibon” yang tak masuk akal itu, Anies pria yang berperhitungan jauh. Dia begitu detail dalam meresponsnya. Begitulah cara dia. Salah Memahami Aanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2020, belum ditetapkan oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perda DKI tentang APBD untuk tahun 2020, sampai hari ini, juga belum ada. Itu jelas, dan bukan mengada-ada. Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), bukanlah anggaran. Bila KUA-PPAS mau dilihat dari sudut pandang hukum. Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dan Dokumen Pelaksanaan Anggara (DPA) SKPD juga pasti belum ada. Tidak ada satupun ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, yang mengategorikan KUA-PPAS sebagai anggaran. Itu sebabnya, dilihat dari sudut pandang hukum keuangan negara, kebijakan rencana anggaran yang dituangkan dalam KUA-PPAS, sekali lagi, tidak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai anggaran. Itu sangat jelas dan pasti. Tidak butuh penafsiran yang macam-macam. KUA-PPAS yang telah dibahas dan disepakati bersama Pemrov dengan DPRD, dituangkan dalam Nota kesepakatan berasama Pemrov dan DPRD. Nota ini harus ditandatangani pada waktu yang bersamaan. Nota inilah yang menjadi dasar bagi Pemprov dalam penyusunan RKA-SKPD. Setelah KUA-PPAS ditandatangani, Sekertaris Daerah sebagai Ketua TIM Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyiapkan rancangan Surat Edaran tentang Pedoman penyusunan RKA-SKPD. Isinya mencakup prioritas pembangunan daerah dan program atau kegiatan. Misalnya, RKA-SKPD mengenai alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program atau kegiatan. Selain itu, analisis mengenai standar belanja dan standar satuan harga barang yang akan dipergunakan. Berbekal itulah kepala SKPD menyusun RKA-SKPD. Sudah jadikah APBD tersebut? Tidak juga. RKA-SKPD itu harus disampaikan lagi ke Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) untuk diteliti. Setelah diteliti, barulah disetujui oleh TAPD. Bila RKA itu telah sesuai dengan KUA-PPAS, prakiraan maju pada RKA-SKPD tahun berjalan. Disiapkan juga dokumen perencanaan lainnya, termasuk rencana anggaran dengan standar analisis biaya, standar satuan harga. Juga kelengkapan kinerja, proyeksi prakiraan dan sinkronisasi program dan kegiatan antar RKA-SKPD. Semua itu dijadikan lampiran rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD dan dibahas bersama-sama dengan DPRD. Setelah semuanya beres, barulah Rancangan Peraturan APBD disampaikan kepada DPRD. Untuk selanjutnya dibahas bersama. Kemudian disetujui bersama, dan ditetapkan bersama menjadi Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang APBD tahun 2020. Apakah dengan selesainya Peraturan Daerah tentang APBD DKI tahun 2020, dari aspek hukum, SKPD telah dapat melaksanakan APBD tersebut? Ternyata belum bisa juga. Sebab masih harus diserahkan dulu kepada Kementerian Dalam Negeri untuk diteliti. Taruhlah Kementerian Dalam Negeri menyetujui APBD yang telah diperdakan itu. Apakah demi hukum APBD serta-merta dapat dilaksanakan? Lagi-lagi belom bisa juga. Sebab Kepala SKPD masih harus menyiapkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD. DPA SKPD tersebut harus diteliti lagi oleh PPKD, dengan persetujuan Sekretaris Daerah. Setelah dievalusi oleh TAPD, barulah diterbitkan peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD. Setelah selesai tahapan ini, barulah APBD bisa dilaksanakan. Pada tahap ini barulah bicara mengenai anggaran. Misalnya, berapa besar anggaran untuk “lem aibon dan pulpen.” Pada tahap inilah baru angka angggaran menjadi fix. Angka ini mempunyai nilai, kapsitas dan resiko hukum, sehingga sudah dapat dibelanjakan. Sepanjang belum ada dokumen pelaksanaan anggarannya dari SKPD, maka APBD yang telah disahkan itu tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk belanja. Begitulah seharusnya membaca, memperlajari dan memahami tata urusan perundang-undangan mengenai penggunaan APBD DKI Jakarta tahun 2020 Perbaiki Sesuai Hukum Begitulah panduan singkat nilai, norma dan standar teknis penyusunan RAPBD. Soalnya apakah “puluhan bahkan, ratusan milyar rupiah untuk belanja lem aibon dan pulpen yang lucu, aneh dan ajaib itu” telah disusun sesuai nilai, norma dan standar di atas? Pasti tidak, atau belum sesuai. Angka-angka besaran nilai anggaran yang tertuang dalam sistem elektronik budgeting itu, pasti bukan angka otoritatif. Pasti juga bukanlah angka yang telah disetujui bersama-sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD DKI Jakarta. Bagaimana mungkin sistem e-budgeting Pemprov DKI bisa menerima angka-angka konyol itu? Apakah sistem ini dirancang untuk hanya menampung materi-materi KUA – PPAS dari Pemprov saja? Apakah sistem ini tidak dirancang untuk memasukan KUA-PPAS yang telah dibahas dan disetujui bersama-sama antara Pemerintah Provinsi dengan DPRD DKI? Apakah e-budgeting juga tidak memasukan RKA-SKPD yang telah dibahas dan disetujui bersama Pemprov DKI dengan DPRD? Apakah e-budgeting juga tidak menampung DPA-SKPD? Bagaimana mungkin sistem itu tidak dapat menunjukan perbedaan angka yang dirancang dan angka yang telah ada pada DPA? Bila begini nyatanya, maka sistem ini betul-betul tak layak. Malapetaka yang sangat fatal. Menariknya, ruang rancangan APBD dengan segala lapisan teknisnya berhimpit, dan bercampur dengan politik. Campurannya, terlepas dari deteilnya, menjadi ruang yang sudut-sudutnya beragam dan menggairahkan. Seperti tabiat bawaannya, gairah akan membawa siapapun kemanapun yang dikehendaki. Acapkali membawanya tergulung dalam gelombang mematikan. Memuluskan jalan kawan menuju puncak politik di satu sisi, dan mematikan lawan disisi lain bisa muncul dalam ruang tarung politik RAPBD, dimanapun. Anies, pernah ramai dirumorkan di detik-detik akhir pendaftaran capres-cawapres kemarin, sebagai cawapres Prabowo. Mungkin Anies masih teridentifikasi sebagai sosok yang berpeluang luas di 2024. Terlalu mahal, tentu saja, untuk disepelekan. Politik memang tidak melulu bertalian dengan citra. Tetapi merusak citra lawan adalah tabiat klasik dalam politik. Menutup semua kesempatan yang memungkinkan pesaing memperoleh, memupuk dan memperbesar citra manis, harus dikerjakan dengan sesistimatis dan seawal mungkin. Itu cukup sering terlihat sebagai hal biasa. Sudahlah Mas Anies. Terimalah semua itu sebagai bagian problematis yang terwariskan dari sistem e-budgeting ini. Perbaikilah semua itu. Adaptasikan, dan sesuaikan dengan prosedur hukum tahapan pembentukan RAPBD sampai menjadi APBD. Pastikan perbaikannya, sehingga sistem ini dapat menunjukan dengan terang-benderan semua informasi, sejak perencanaan anggaran hingga anggaran dalam DPA-SKPD. Bekerjalah dengan sungguh dan selalu riang Mas Anies. Senangkanlah orang-orang kecil itu dengan rasa keadilan. Dengan keberpihakan yang nyata dan terukur. Datangkanlah senyuman kepada mereka di sepanjang hari. Sepanjang mereka berada di lorong-lorong, dan di gang-gang. Mas Anies, datanglah kesana untuk menemui mereka. Sapalah mereka dengan senyumanmu yang khas itu. Bikinlah mereka agar selalu tersenyum, meskipun kehidupan mereka masih pas-pasan, bahkan serba kekurangan. Matahari dan rembulan ada dalam doa mereka. Gapailah doa itu bersama mereka. Mengalirlah terus dengan tatapan yang menyejukan, dan wajah bersih itu. Wajah yang selalu dibasah dan dibasuh dengan air wudhu. Jaga silaturrahimlah yang terus-menerus dengan semua orang. Termasuk dengan lawan sekalipun “bila ada”. Jangan pernah minta simpati. Jangan juga minta dimengerti dan dipahami. Jadilah pemasar kebaikan dan keadilan yang tanpa batas. Biarkan roda kebaikan dan kedashatan doa orang kecil itu berputar memimpin dirimu. Doa yang membawa dan mengemudikan takdirmu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Bismillahirrahim, Pak Idham di Puncak Polri
Itulah ayat ke-65 dari Surat Yasin. Yang terjemahannya “pada hari ini Kami tutup mulut mereka. Tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Akan datang waktu mulut terkunci, kaki bicara, tangan bicara. Tidak ada kata-kata. Begitulah sepenggal syair lagu almarhum Crisye, yang ditulis Pak Taufik Ismail, yang diilhami ayat ini. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Innasshalati wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati lillahirabbil ‘alamin. Artinya, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Yang penting kita jalan saja. Tancapkan niat baik. Insya Allah Tuhan akan sayang kita. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nasir. Artinya, cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baiknya penolong kami. Kira-kira seperti itu yang “saya yakini” tanda petik dari penulis, sampai saya ada dengan keluarga (Vivan.co.id, 30/10). Kalaimat-kalimat di atas, disampaikan Pak Jendral Idham Aziz pada sesi mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR beberapa hari lalu. Ini pernyataan yang sangat berkelas dari seorang calon Kapolri. Jarang terdengar dari mulut calon pemimpin di era modern. Yang sangat meterialistis sekarang Kalimat-kalimat itu, sejauh fakta empiris yang bisa bicara, harus dinilai dengan hal yang tidak biasa. Beda, dan memang sangat berbeda. Keyakinan religius ditampilkan sebegitu jelas sebagai panduaan, tuntunan dan pemandu dirinya memasuki puncak pimpinan Polri. Alhamdulillah. Bismillahirrahim Tidak banyak bicara. Begitutulah sososk ini dikenal oleh sebagian orang. Tetapi begitu dia bicara, terlihat jelas kelasnya. Dalam sidang itu, Jendral yang tak akan menggunakan rumah dinasnya untuk menerima anggota polisi itu, meminjam kalimat yang penuh nuansa kepasrahan kepada Dia. Pasrah kepada Yang Maha Tahu dan Maha Memberi Pentujuk. Kalimat itu ditemukan dalam buku almarhum Pak Habibie, semoga selalu dalam pelukan kasih-Nya yang tak berbatas untuk direnungkan. Kalimat apa itu? Kepada Tuhan saya tidak akan bertanya mengapa, kenapa, dan bagaimana? Namun jika hamba diperkenankan mengajukan satu permohonan, maka berilah hamba petunjuk serta kekuatan untuk mengambil jalan yang benar sesuai dengan kehendak-Mu. Bismillahrirahmanirrahim (kumparan, 30/10). Jalan yang benar, dan cukup jelas. Bukan jalan sembarangan. Jalan ini tak lembut, juga tak kasar. Jalan ini juga bukan jalan emosi. Bukan pula jalan korps, jalan kekuasaan, dan jalan kawan serta lawan. Bukan, jelas sekali bukan. Sebab jalan ini teran seterang Dia membuat terang dunia. Seterang siang dan malam. Ini jalan yang unik. Tak bisa dititi hanya dengan akal hebat dan kecerdasan otak Pak Jendral. Jalan ini tidak pernah gelap dari Dia, Allah Yang Maha Tahu, Maha Melihat, yang Pak Jendral “maaf” mohon diberi petunjuk. Tak ada, sekecil apapun yang bisa disembunyikan dari-Nya. Bila ada yang disembunyijkan, saya haqqulyakin Pak Jendral tahu. Hal yang disembunyikan itu, akan sesuai takdir alamiahnya mendatangi. Memasuki setiap sudut alam bathin Pak Jendral. Langgamnya pasti mengusik. Pak Jendral, saya gembira lebih dari yang bisa dibayangkan. Karena Pak Jendral secara terang-benderang juga memandu diri dengan surat Yasin. Dalam keterangan dilansir oleh Viva.co.id, tertulis Pak Jenderal mengutip salah satu ayatnya. Sekali lagi saya gembira Pak Jenderal. Mengapa? Saya yakin Pak Jendral juga tahu ayat lain dalam surat ini. Ayat yang mengilhami Pak Taufik Ismail, sastrawan langka ini, menulis syair lagu yang dinyanyikan oleh almarhim Crisye. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan kasih dan rahmat-Nya yang tak terlukiskan itu. Itulah ayat ke-65 dari Surat Yasin. Yang terjemahannya “pada hari ini Kami tutup mulut mereka. Tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Akan datang waktu mulut terkunci, kaki bicara, tangan bicara. Tidak ada kata-kata. Begitulah sepenggal syair lagu almarhum Crisye, yang ditulis Pak Taufik Ismail, yang diilhami ayat ini. Bismillahirrahmanirrahim Pak Jendral. Dunia hukum di tangan Pak Jendral. Insyaa Allah menjadi dunia yang indah. Insyaa Allah keadilan menemukan jalan untuk mekar. Bicaralah dengan bahasa hati yang tak pernah berbohong. Bismillahirrahmanirrahim Pak Jendral. Tuntunlah hukum di negeri ini dengan mata hati. Mata yang bening. Sebening dan seindah keadilan dari Dia Yang Maha Adil. Konsekuensi James Comey, Direktur FBI pada awal pemerintahan Presiden Trump, dipecat oleh sang Presiden pada tanggal 15 Mei 2017. Apa penyebabnya? Tanggal 8 Juni, dari pukul 10.00 hingga pukul 13.00 siang itu, mantan Direktrur FBI Comey memberi kesaksian terbuka dihadapan Komite Intelijen Senat. Apa yang diterangkan Comey? Menurut Micahel Wolf, ucapan Comey sangat jelas, Presiden Trump menganggap Direktur FBI bekerja langsung untuknya. Karena sudah memberi pekerjaan, lanjut Comey, Presiden menginginkan imbalan. Menurut penuturan Comey, tulis Wolf lebih lanjut, Presiden ingin FBI menjauh dari Micahel Flynn. Trump ingin FBI berhenti melakukan investigasi terkait Rusia. Intinya sangat jelas. Jika Presiden mencoba memaksa Direktur FBI melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena khawatir penyelidikan terhadap Micahel Flynn akan membahayakan dirinya. Itu berarti sudah terjadi upaya menghalagi keadilan. Comey, untuk alasan apapun, saya berpendapat, merupakan pria dengan keteguhan moral top. Comey punya harga diri, dan semua yang sejenis untuk seorang laki-laki yang berkelas. Dia tak mundur dari investigasi “membahayakan” Presiden Trump. Comey, malah terus bekerja, sampai dengan Presiden Trump menggunakan otoritasnya, mengeluarkan Comey dari jabatannya. James Comey, bukanlah almarhum Pak Hoegeng. Mantan Kepala Polisi yang dikenang sepanjang masa ini. Yang mirip dengan Comey, almarhum Pak Hoegeng juga tersingkir dari jabatannya. Lurus dalam menegakan hukum, menjadi penanda moralitas hukum tak terbantahkan dari pria berpembawaan sederhana tersebut. Almarhum Pak Hoegeng yang hebat dan berkelas itu. Semoga Allah Subahanhu Wata’ala selalu merahmatinya. Dia tak peduli siapa yang dihadapinya. Sikap teguhnya, membawa dirinya keluar dari jabatan yang diinginkan oleh sebagian besar jendral polisi. Pak Hoegeng memang hebat, dan sangat hebat. Hukum bukan soal teks semata. Hukum itu juga soal hati. Soal moralitas dari penegaknya, dan soal bagaimana penegak hukum mendefenisikan diri mereka. Termasuk mendefenisikan hari esok yang akan dilaluinya. Itu perkara yang besar. Perkara hari esok itu, terlalu besar untuk. Tak cukup hanya ditimbang dengan mata akal dan mata bathin. Sebab hanya dengan cara itulah, jalan kebenaran yang dirindukan oleh Pak Jendral, terbentang disepanjang masa jabatan ini ke depan. Hukum juga bukan soal siapa kuat dan siapa lemah. Hukum itu bukan soal siapa kelompok kita dan lawan kita. Sama sekali bukan itu. Hukum itu hadir dan ada, untuk memastikan orang kuat bisa menjadi lemah, dan orang lemah bisa menjadi kuat. Hukum diperlukan untuk menuntun kehidupan yang fana ini menjadi indah untuk semua ummat manusia. Itulah inti dari pidato pertama Sayyidina Umar Bin Khattab saat menerima amanah menjadi pemimpin. Luruslah di jalan ini Pak Jendral, dengan semua konsekuensinya. Bismillahirrahmanirrahim Pak Jendral. Selamat bertugas. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Dosen Gila di Depok?
Seorang akademisi seharusnya melihat fenomena carut marut penganggaran pada level DKI Jakarta sebagai bahan observasi yang penting. Kemudian selanjutnya meningkatkan keingintahuan intelektual. Apakah carut marut anggaran ini bersifat nasional? Dan terjadi pada semua lembaga? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Ade Armando, AA, dosen Fisip Universitas Indonesia di Depok. Kelihatannya dia sudah gila? Pada hari ini, seperti diberitakan media, dia mengakui mengunggah foto Anies Baswedan, Gubernur Jakarta. Foto Anies diunggah dengan wajah Joker. Wajah Joker ini adalah wajah yang memerankan dunia kejahatan, manusia gila, psikopat, anarkis dan tega membunuh ibunya sendiri. Fahira Idris, wakil rakyat Jakarta untuk Dewan Perwakilan Daerah RI, melaporkan AA ke polisi. Dia dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina Gubernur Jakarta itu. Mengapa AA dapat disebut dosen gila? Dia mungkin gila karena terobsesi pada manusia gila. Joker hanya ada didunia film hiburan, untuk disematkan pada sosok manusia di dunia nyata. Selain terobsesi pada sosok dan peran gila itu, Ade Armando juga nenyematkan karakter orang gila dan jahat tersebut kepada seorang Gubernur. Penstempelannya juga dilakukan Ade Armando secara membabi buta. John Hinkley misalnya, dulu karena terinspirasi dari film "Taxi Driver", yang menembak Presiden Amerika, Ronald Reagan. Hinkley kemudian diketahui menjadi gila atau mental illness. Ade Armando sendiri sering dilaporkan polisi karena menjadi orang utama dalam memproduksi "hate speech" beberapa tahun belakangan ini. Namun, dalam penjelasannya ke masyarakat, Fahira Idris berharap Idham Azis, Kapolri baru, yang menurut Fahira lebih relegius, dapat memproses secara hukum untuk "hate speech" AA terkait Anies ini. Selama ini terkesan polisi melindungi Ade. Menurut Dr. Ahmad Yani, SH, mantan anggota Komisi III DPR RI, Ade dapat dijerat dengan pasal berlapis. Dalam diskusi di Menteng Club sore tadi, Ahmad Yani siap ditunjuk untuk menjadi pengacara Anies Baswedan. Ade Armando menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan. Dia menyebarkan fitnah dan kebohongan. Dia melakukan pencemaran nama baik dan makar terhadap pemerintahan Provinsi DKI. Dalam masyarakat akademis, khususnya dosen, verifikasi dan falsifikasi adalah instrumen objektif untuk menjelaskan suatu peristiwa atau observasi. Tuduhan yang disematkan kepada Gubernur Anies, oleh Ade Armando terkait kacau balau anggaran di DKI. Ade, yang merefer kebenciannya kepada Anies Baswedan dihubungkan dengan berbagai item satuan anggaran dalam budget APBD DKI 2020. Isu yang berkembang awalnya seolah-olah Anies tidak becus pada perencanaan anggaran tersebut. Padahal isu ini berkembang dari DPRD-DKI. Yang merupakan penanggung jawab bersama Pemda perihal APBD. Anies memperlihatkan pada publik bagaimana kerusakan penyusunan anggaran ini adalah warisan dari Ahok atau sudah berlangsung di masa Ahok menjadi Gubernur. Dan Anies saat ini justru ingin penyusunan anggaran transparan. Seorang akademisi seharusnya melihat fenomena carut marut penganggaran pada level DKI Jakarta sebagai bahan observasi yang penting. Kemudian selanjutnya meningkatkan keingintahuan intelektual. Apakah carut marut anggaran ini bersifat nasional? Dan terjadi pada semua lembaga? Namun, Ade tidak tertarik dengan observasi. Tanpa verifikasi dan falsifikasi, Ade spontan menghakimi bahwa Anies adalah penjahat. Padahal, sudah dua tahun ini memimpin, Anies mendapatkan penilaian WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Selian itu, ada tiga penghargaan lain yang diperoleh Pemda DKI. Anies dapat penghargaan pengendalian gratifikasi terbaik. Pemda juga dapat penghargaan aplikasi pelayanan publik dan lampiran Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi, seorang "simple minded, closed minded", bukanlah sikap akademisi sejati. Apalagi jika membandingkan perolehan WTP dari BPK baru terjadi lagi di eanya Anies. Penutup Benarkah Ade Armando gila? Dari sisi dunia akademis, seorang dosen umumnya dikaitkan dengan keinginan tahuan atas sebuah kebenaran. Jika ada seorang dosen yang kerjanya menyebarkan kebohongan dan fitnah, tentunya dosen tersebut diperkirakan sakit jiwa. Jika dikaitkan dengan Ade, tentu kita lebih meyakini bahwa dia cenderung sudah gila. Karena imaginasi yang diperoleh untuk kegilaannya itu berasal dari film horror, Joker. Padahal film ini yang paling banyak dikecam oleh dunia pendidikan. Lalu bagaimana Anies Baswedan menyikapi Ade Armando? Tentu sebagai Gubernur DKI yang waras, akan menjadi gila pula jika mengurusi orang gila. Karena Ade dosen di Depok, di luar juridiksi kekuasaan Anies, susah juga bagi Anies menawarkan Ade untuk berobat di Rumah Sakit Jiwa Grogol. Oleh karena itu, lebih baik buat Anies tidak menanggapi hal ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Mengintai 24 Jam, Musuh Gubernur Anies Seperti Piranha Lapar
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mereka berlomba-lomba mau menjadi pahlawan untuk menjatuhkan Gubernur Anies Baswedan. Kali ini, amunisinya adalah soal anggaran untuk membeli lem Aibon sebesar 82 miliar dan pena ballpoint sebesar 124 miliar. Jumlahnya memang tak masuk akal. In kesalahan besar. Semua sepakat. Tetapi, harap diingat, jumlah ini baru pada tahap pengajuan. Pengajuannya pun asal-asalan saja. Kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang tidak cermat. Bisa jadi juga malas. Bahkan, mungkin saja ada yang sedang menjalankan misi untuk menjelekkan Anies. Tapi, anggaplah ini kekeliruan Anies. Tidak masalah. Akan menjadi pelajaran bagi Gubernur santun ini ke depannya. Agar tidak lagi percaya 100 persen kepada staf yang memasukkan angka-angka anggaran ke dalam sistem e-budgeting. Yang harus diingat tiap saat oleh Anies adalah bahwa dia diincar 24 jam oleh orang-orang yang tidak suka padanya. Para musuh politik Anies menunggu kesalahan itu bagaikan ikan piranha yang sedang lapar. Begitu ada aroma yang mirip bau darah, ikan-ikan piranha itu langsung meluncur secepat kilat ke TKP. Memang mengerikan. Inilah yang harus diwaspadai oleh Gubernur Anies. Dia harus awas 24 jam juga, sebagaimana para musuh mengincar 24 jam. Khusus soal anggaran belanja, persoalannya sangat sensitif. Pasti menjadi fokus intipan musuh-musuh politik yang ingin sekali melihat Anies diserang dari segala arah. Sekali lagi, mereka itu mengintai 24 jam. Anies harus semakin hati-hati lagi. Dan ini tentunya bagus sekali. Alhamdulillah, Gubernur Anies sangat sigap. Dia mengumpulkan stafnya untuk membicarakan keanehan anggarapan lem Aibon dan ballpoint itu pada 23 Oktober. Jauh sebelum para musuh politiknya menggelar jumpa pers PSI yang kental untuk cari panggung. Rapat yang dipimpin Anies untuk membicarakan keanehan mata anggaran itu baru diunggah ke kanal YouTube pemprov pada 29 Oktober. Seperti dijelaskan oleh Gubernur, dia tidak mau mengumumkan itu kepada publik. Apalagi sambil menunjukkan kemarahan di depan kamera. Atau sambil memaki-maki staf yang didapati bersalah. Anies cukup mengatakan bahwa mereka yang tak berniat kerja dengan profesional akan dikeluarkan dari barisan. Tidak harus membentak-bentak. Tidak harus tunjuk-tunjuk pertanda jagoan, dlsb. Jadi, ke depan nanti Bung Anies hendaklah ekstra hati-hati. Tak salah kalau diturunkan staf yang khusus bertugas untuk mengawasi angka-angka yang dimasukkan ke sistem e-budgeting. Percayalah, ada orang yang terus-menerus mengincar kesalahan Gubernur Anies. Anda tidak perlu merasa terganggu oleh insiden lem Aibon dan ballpoint itu. Bukan Anda yang membuat kesalahan itu, kok. Semua orang paham. Itu hanya ulah gerombolan piranha yang sedang lapar. 31 Oktober 2019 Penulis Adalah Wartawan Senior
Idham Azis Cukup Menghibur Umat Islam
Semoga saja dengan Kapolri di tangan beliau, hubungan Umat Islam dengan polisi yang sempat merenggang dan retak itu, bisa terrajut dan tersambung kembali. Semoga Umat Islam bisa kembali menjadi mitra aktif dari polisi. Hubungan yang saling membutuhkan untuk bersama-sama menjaga keamanan negeri ini, agar tetap aman dan kondusif. Oleh M. Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Statement ini tampaknya cukup menghibur hati umat Islam. Pernyataan itu datang dari mulut calon Kapolri Idham Izis. Kenapa dibilang cukup menghibur? Karena melihat perkawanan polisi dengan umat Islam mengalami kerenggangan, yang begitu jauuuh. Padahal sebelumnya umat Islam menjadi mitra aktif polisi dalam menjaga keamanan negeri ini. Penangkapan para Ulama, Ustadz dan Habaib merupakan bukti nyata adanya kerenggangan hubungan antara polisi dengan umat Islam. Adapun orang-orang yang dekat dengan penguasa dan pendukung penguasa seperti Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armado dan para penista Agama Islam yang lain, toh mereka aman dan tentram saja. Padahal sudah lebih dari puluhan laporan polisi masuk ke polisi dan. Namun alhamdulillah mereka tidak diproses. Bang Idham, begitu panggilan para aktivis pada beliau. Dia manusia yang cukup religius. Beliau suka membantu teman-teman dalam kesusahan, terutama kepada kalangan aktivis jalanan. Beliau tidak memilih dan memilah bila membantu seseorang. Mungkin inilah kekuatan akhlaq beliau, yang sangat suka memberi dan membantu kepada orang lain. Dampaknya, bang Idham dipilih Presiden untuk menakhodai Polisi Indonesia dalam empat belas bulan ke depan. Sampai dengan Januari 2021 nanti Suatu waktu, penulis pernah bersama dengan bang Idham mendampingi Pak Makbul Padmanegara, ketika itu sebagai Kabareskrim. Kami berkunjung ke Tentena Poso yang saat itu lagi bergejolak. Penulis menyaksikan gaya bang Idham. Orangnya tenang, fokus, detail. Tidak terlalu banyak bicara, namun sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Wajar saja kalau sekarang ini beliau diamanahkan untuk menjadi orang nomor satu di tubuh Polisi. Karena punya talenta untuk menjadi pimpinan. Sudah terlatih sejak berpangkat mayor polisi. Itu sekilas cerita tentang bang Idham yang penulias saksikan sendiri. Semoga saja dengan Kapolri di tangan beliau, hubungan Umat Islam dengan polisi yang sempat merenggang dan retak itu, bisa terrajut dan tersambung kembali. Semoga Umat Islam bisa kembali menjadi mitra aktif dari polisi. Hubungan yang saling membutuhkan untuk bersama-sama menjaga keamanan negeri ini, agar tetap aman dan kondusif. Polisi yang baik, dan dianggap sukses itu bukan karena dia bisa menangkap penjahat. Tetapi lebih dari itu, bagaimana polisi bisa menjadikan para penjahat itu menjadi malu dan takut untuk melakukan kejahatankembali. Dan penulis yakin, bang Idham Azis bisa melakukan itu. Semoga Allah memudahkan segala tugas dan urusan Kapolri baru. Terutama dalam menjaga keamanan negeri ini tanpa harus mencederai umat beragama. Siapapun umat beragama itu. Semoga saja. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Insyaa Allaah. Penulis adalah Aktivis dan Ustadz Kampung
Soal Radikalisme, Idham Azis Tampak Cerdik
Tidak gampang memang membicarakan soal radikalisme itu. Apalagi sampai sekarang, belum jelas, apa saja definisi atau batasan yang terang dan jelas. Apa itu pengertian radikalime dan intolerasi? Dengan pemahaman yang seperti apakah, sebutan soal radikalisme dan instolerasi itu ditempelkan kepada seseorang atau kelompok orang? By Luqman Ibrahim Soemay Jakakrta FNN - Soal redikalisme, terlihat Kapolri Jendral Polisi Drs. Idham Azis punya sikap yang jelas dan tegas. Idham mengatakan, redikalime tidak bisa diindentikan dengan Agama Islam. Radikalisme itu adalah persoalan pribadi setiap orang. Bahkan ada juga kelompok orang yang berpaham radikalisme. Yang bisa dipastikan adalah radikalisme bukan itu Agama Islam Jendral Polisi Drs. Idham Azis membuat penegasan itu ketika mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Uji kapatutan dan kelayakan adalah syarat yang harus dilewati dan diikuti Idham untuk bisa menjadi Kapolri. Kegiatan fit and profer test juga terbuka untuk diikuti masyarakat umum. Bisa dilihat, didengar dan disaksikan siapa saja. Selama menjalani rangkain fit and profer test di Komisi III sebagai calon Kapolri, tampaknya radikalisme adalah salah satu isu yang paling menarik dan penting disampaikan Idham. Radikalisme, satu diantara tujuh program kerja Idham Azis bila terpilih menjadi Kapolri. Dengan ruang sisa waktu, yang hanya empat belas bulan, Idham perlu kerja keras untuk bisa merealisasikan tujuh program kerja lainnya . Cara memilih tempat yang pas untuk menyampaikan persoalan radikalisme dan Islam, sejauh ini tampak Kapolri Idham Azis mengerti dan memahami betul masalah yang sangat sensitiv tersebut. Sebab bila keliru mengelola isu sensitiv ini, bisa jadi bukan menyelesaikan masalah, atau memperkecil masalah. Sebaliknya, bisa memproduksi dan manambah masalah baru. “Tidak boleh radikalisme itu diidentikkan dengan Agama Islam. Sebab radikalisme itu hanya ulah dari perorangan atau kelompok orang yang bersifat kejahatan, ”tegas Idham. Ini pernyataan hebat dan berkelas dari seorang Kapolri. Pernyataan itu menggambarkan, Idham orang yang mengerti dan faham, bagaimana memilih diksi dan tempat yang pas untuk membahasakan radikalisme ke publik. Memang tidak gampang bicara persoalan radikalisme. Apalagi sampai sekarang, belum jelas apa saja definisi atau batasan yang terang dan jelas soal radikalisme. Apa itu pengertian radikalime dan intolerasi? Dengan pemahaman yang seperti apakah, sebutan soal radikalisme dan instolerasi itu ditempelkan kepada seseorang atau kelompok orang? Walaupun demikian, isu sekitar radikalime telah memperlihatkan relasi determinan kepada Agama. Dan determinan yang saat ini terlihat mengarah kepada Agama Islam. Bila tidak pas dalam memilih diksi dan tempat untuk membicarakannya, soal ini bisa meluber ke mana-mana. Banyak orang yang awalnya tidak marah dan tersinggung, bisa bersikap sebaliknya. Paktanya hari ini, isu radikalime dan intoleransi itu, yang sekarang ini mengakibatkan pernyataan membahana terjadi di masyarakat. Pernyataan yang telah membelah realitas kemesraan tradisional antara Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, melawan Kementerian Agama, “ujar Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Bicara soal radikalime itu, Pak Din Syamsudin pun menanggapinya. Apalagi Kementerian Agama ditugaskan Presiden Jokowi untuk nmengurusi radikalime. Profesor pintar dan berintegritas top ini mengatakan, “seharusnya Kementerian Agama bukan hanya mengurus radikalisme”. Kementerian Agama itu memiliki peranan yang jauh lebih penting dan besar, daripada sekedar hanya mengurusi soal radikalisme. Kementerian Agama juga jangan sampai disalahfungsikan. Tugasnya lebih luas, yaitu membangun moral bangsa. Sebab radikalisme tidak hanya ada di seputaran agama saja. Lebih jaun dan kritis, tampaknya Pak Din mendorong isu radikalime ke dalam pemahaman konstitusi bernegara. Misalnya, mengapa tidak boleh disebut radikalime ekonomi? Padahal mereka yang melakukan kekerasan dan pelarian modal. Sangatlah pas dan pantas saja untuk mereka disebut sebagai pelaku atau lelompok radikalisme. Sebab perbuatan mereka telah menimbulkan kesenjangan ekonomi. Mereka yang memperlebar jurang antara yang kaya dengan miskin. Yang kaya kamin kaya. Sebaliknya, yang miskin makin miskin. Mengapa juga mereka tidak disebut dengan radikalisme politik atau radikalime hukum? Padahal dua bentuk radikalime ini bisa mengakibatkan bangsa dan negara berantakan. Contohnya, banyaknya politisi yang dijebloskan KPK ke penjara. Kenyataan itu membuktikan bahwa radikalisme di bidang hukum dan politik sangat masif dan membahayakan. Itu bisa terjadi karena menipisnya moral bangsa. Melihat resksi yang kuat tentang radikalism itu, Jendral Idham Azis terlihat cukup cerdik dan pandai dalam memilih tempat, waktu dan pilihan diksi untuk berbicara tentang radikalisme. Idham juga tampaknya faham bagaiamana menangani radikalisme. Sebab bila salah dalam membuat treatment, hampir dipastikan akan menambah masalah baru. Itulah yang harus dihindari Penulis adalah Wartawan Senior
Jokowi Apakan Itu Partai-Partai Non DPR dan NU?
Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Urusan apa dan dengan siapa? Urusan dengan partai politik tertentu, dan Nahdatul Ulama (NU). Mereka tak diperlakukan sama dengan partai-partai lain. Sampai sejauh ini tanpa ada penjelasan dari Pak Jokowi. Entah kenapa demikian? Apakah hanya karena mereka tidak memiliki kursi di DPR, atau ada hal lainnya? Juga tidak jelas. Serba gelap. Kenapa mereka tak diangkat menjadi menteri atau diberikan jabatan lain? Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian memang terbatas. Tetapi kenapa juga tidak menggunakan keterbatasan tersebut untuk memprioritaskan mereka? Kenapa hanya memprioritaskan yang lain? Lalu juga dengan mereka yang tidak berpartai? Tak ada penjelasan yang selayaknya dari Pak Jokowi. Telah Bekerja Dilihat dari sudut pandang hukum, cara pembentukan kabinet dalam sistem presidensial, memang berbeda dengan parlementer. Sistem presidensial menyerahkan kewenangan pembentukan kabinet sepenuhnya pada presiden secara personal. Partai tidak diikutkan dalam urusan yang satu ini. Beda betul dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, ini partai-partai, tentu saja yang memiliki kursi di DPR, yang sedari awal berkoalisi dengan Pak Jokowi, ikut membicarakan masalah menteri di kabinet. Dalam makna partai ikut menentukan formasi kabinetnya Pak Jokowi. Tetapi soalnya tidak disitu. Ini bukan soal hukum. Ini persoalan politik. Penentuan mengenai siapa, dan dapat apa, itu adalah soal politik, dan bukan hukum. Mengapa sebagian partai, bukan hanya diikutkan, tetapi dijatahi jabatan. Sementara sebagian partai yang lain tidak dijatahi jabatan? Toh dalam kenyataannya, mereka telah menjadi lebih dari Jokowi dan Kiyai M’ruf. Sepanjang jalan dalam pelaksanaan kampanye yang bergelombang dan berat, mereka telah memperlihatkan kesungguhannya untuk memenangkan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Lagi-lagi, ini bukan masalah hukum. Namun ini sepenuhnya masalah politik. Merekalah yang menyukseskan Pak Jokowi menjadi presiden. Pada merekalah Presiden berhutang. Hutangnya pasti sangat tak bisa diperhitungkan. Mereka telah bersekutu, setidaknya menjadi pendukung non ideologis Pak Jokowi dengan segala emosinya. Mereka bukan sekutu asal-asalan. Mereka sekutu yang paling top. Apalagi sayap NU. Politik memang dunianya tersendiri. Dunia yang bisa saja sangat kejam. Dunia ini, seperti Churchil, pria yang pernah menjadi PM Ingris pada perang dunia kedua dulu. Pria yang sangat bergairah menghadapi tantangan. Terkadang mengabaikan yang detail. Churchil juga mudah mengubah kebijakan lukiskan sebagai dunia yang membuat seseorang bisa mati berkali-kali. Disitulah bedanya dengan perang, katanya. Dalam perang orang hanya mati sekali. Sementara dalam politik, bisa mati berkali-kali. Itukah yang sedang dipaksa untuk dialami partai-partai ini dan NU? Diabaikan setelah bekerja, tanpa adanya penjelasan? Padahal mereka adalah fungsionaris-fungsionaris utama partai-partai yang berkelas lebih dari kubu pendukung Pak Jokowi. Orang-orang ini terlihat jelas dalam semua hal. Mereka telah tampil paling depan untuk berbicara dalam banyak tingkatan isu aktual. Mereka juga arif dalam banyak hal. Apakah mungkin karena mereka arif itulah, sehingga menjauhkan mereka dari hasrat menjadi lawan untuk Pak Jokowi sepagi ini? Kearifan mereka, mungkn dapat diharapkan tidak membuat mereka mempertalikan politik dengan harga diri. Ketika politik dan harga diri dipertalikan. Atau politik dilihat sebagai permainan yang melibatkan harga diri, emosi dan fanatisme, maka goresan kecil sekalipun terhadap mereka, sama dengan memanggil badai datang secepat kilat. Begitulah yang tersirat dari kata-kata bijak,” satu lawan menjadi terlalu banyak dari seribu kawan”. Rumit Memang Partai-partai ini dan NU pasti tidak meminta jabatan apapun, dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya sangat yakin itu. Itu dapat dipastikan. Toh dulu, hampir setiap saat mereka secara terbuka mengatakan memberikan bahwa dukungan yang mereka berikan kepada Pak Jokowi tanpa syarat. Apalagi harus memegang jabatan ini atau itu. Mereka, saya menduga, juga tidak sedang menyuruh dengan cara yang khas agar Pak Jokowi memahami mereka. Betapa politik tidak pernah terlepas dari kredo “kami berikan apa dan apa imbalannya”. Mereka adalah orang-orang yang sangat tahu bahwa dunia politik tidak pernah cukup jauh dari permainan siapa yang menunggangi siapa? Walaupun demikian, saya cukup yakin bahwa mereka sangat tahu politik juga bukan dunia yang tidak terjalin dengan kebijakanaan dan kearifan. Politik sangat membutuhkan sisi kebijakan dan kearifan tersebut. Disitulah Jokowi seharusnya berada. Rumit memang. Tetapi serumit itu sekalipun, Pak Jokowi harus menemukan cara solusi untuk dapat menyenangkan mereka. Pemecahan yang menyenangkan itu tidak berbentuk meminta mereka untuk memahami kesulitan Pak Jokowi. Sudah terlalu lama. Bahkan terlalu sering selama kampanye, mereka memahami Pak Jokowi. Juga memahami Kiyai Ma’ruf. Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Pak Jokowi pasti sangatlah mengetahui itu. Dan politik sangat mengharuskan presiden untuk tahu tentang keinginan mereka. Sebab faktanya mereka sudah bekerja siang dan malam, dan tertatih-tatih untuk menjadikan Pak Jokowi menjadi Presiden. Haruskah memberikan mereka jabatan? Padahal mereka juga tidak meminta. Namun apa iya? Apa Pak Jokwi tak mengetahui bahwa bagi partai politik, berada dalam kekuasaan pemerintahan itu menjadi sejenis kehormatan. Ini memang gengsi yang kecil. Soal ini memang sangat krusial. Karena semua kementerian telah terisi. Jabatan lain juga sudah terisi. Berhentikan mereka yang sedang menjabat? Apa alasannya? Mereka juga, dengan cara yang minimal sekalipun telah bekerja membawa Pak Jokowi menjadi Presiden. Bentuk lembaga baru untuk mereka? Oke saja. Tetapi duit sedang susah. Hutang sedang terus digali. BPJS kesehatan sudah dinaikan. Kerumitan-kerumitan kecil itu, dalam kenyataannya berhimpit dengan formasi kabinet yang jauh dari segaris dengan kearifan konstitusional selama bertahun-tahun. Kearifan konstitusional itulah yang membuat PP Muhammadiah dan PB NU bertahun-tahun berada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Kini kedua ormas terbesar di Indonesia itu tersingikir dari dua kementerian tersebut. Padahal NU, setidaknya melalui sayapnya, seperti juga partai-partai sudah habis-habisan di sepanjang jalan kampanye pilpres yang berat. Pantaskah NU harus menemukan kenyataan yang pahit ini? Yaitu tersingikir dari puncak Kementerian Agama? Akankah semua kerumitan itu menghasilkan jalan terjal bagi Pak Jokowi? Yang bisa dijelaskan, urusan Pak Jokowi dengan mereka jauh dari selesai. Memecahkannya sangat rumit. Namun tidak segera memecahkannya juga lebih rumit lagi. Bembiarkannya, sama saja dengan membuat spektrum politik menjadi serba negative ke depan. Rumit, tapi tidak kusut memang. Akankah Pak Jokowi mendatangi mereka dengan paket pemecahan masalah yang menyenangkan? Dan apakah selaras dengan keadaan bangsa ini? Infrastruktur tak punya hati. Manusia punya hati yang bisa merasa. Juga punya emosi dan punya mimpi. Terburu-buru akan menghasilkan solusi yang rapuh. Tetapi berlama-lama justru dapat memanggil fenomena James Comey, Direktur FBI yang disingkirkan Trump dari jabatannya. Anda tahu? Comey muncul di depan Komite Inteljen DPR menjahit secara rapih berbagai cerita tentang isu keterlibatan Rusia dalam pemilu yang menghasilkan Trump sebagai Presiden. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Guru Besar Marah, Nadiem Hanya Setara Dengan Guru Paling “Dlosor”
Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Oleh M. Juhri Jakarta, FNN - Bila Guru Besar itu Jenderal, maka Mendikbud Nadiem yang baru dilantik ini masih berpangkat Letenan. Bagi sebagian orang, hal itu tak soal. Alasannya bisa saja nanti Nadiem lebih hebat dari para Guru Besar. Tetapi yang begini jangan ditanya ke militer atau polisi. Sebab bisa ditempeleng. Mana mau Jenderal dipimpin oleh panglima yang pangkatnya hanya seorang Letenan. Oh, ternyata itu sama. Guru Besar juga begitu sebenarnya. Meraka Marah. Ya para Guru Besar marah. Hanya mereka tak bersuara, karena rejim ini terbukti represif. Beberapa profesor yang kritis di periode pertama Jokowi berkuasa, banyak yang diamputasi dari tugas pengabdian akademiknya. Bukan hanya Guru Besar yang gelar akademisnya profesor yang marah. Banyak pemangku kepentingan pendidikan, termasuk emak-emak juga marah. Mereka tidak suka dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Memang, pengangkatan Nadiem sesuai dengan janji Jokowi di periode pertama yang mau mengangkat Mendikbud dari Persastuan Guru Reoublik Indonesia (PGRI). Nadiem juga PGRI. Malah Nadiem pendiri malah. Tetapi, Nadiem bukan dari organisasi guru pejuang atau PGRI. Nadiem berasal dari Persatuan Gojek Republik Indonesia. PGRI juga yang oleh pejabat Malaysia saja dianggap "hina”. Flashback ke cerita lama. Dulu, di sebuah perguruan tinggi negeri, mahasiswanya ogah lulus hanya karena rektornya belum profesor. Banyak mahasiswa dilama-lamain kuliahnya menunggu rektornya berganti dengan professor. Tidak masalah harus menghabiskan waktu tujuh tahun di kampus menunggu rektor profesor. Meskipun sang rektor bergelar S1 Belanda. Dokterandur di jaman dulu sudah sangat hebat. Mahasiswa tidak mau ternoda ijazahnya dengan tandatangan rektor yang hanya bergelar dokterandus tanpa embel-embel gelar profesor. Meskipun untuk itu mereka rela berlama-lama, hanya mengambil empat Satuan Kreditr Semester (SKS) untuk satu semester lagi. PPL atau KKN yang bisa diambil dalam satu semester, dipisah menjadi sendiri-sendiri. Untuk semester berikutnya 7 SKS metodologi penelitian dan seminar. Lalu lanjut ke semester berikutnya, yaitu skripsi yang ditempuhnya bisa dua semester. Kalau strategi berlama-lama ini susah dipenuhi, maka mahasiswa merubah strategi. Mahasiswa biasanya memilih mengambil cuti dua semester tidak berturut-turut. Dulu, cara ini bisa dilakukan, karena SPP hanya Rp 60.000 per semester. Ya demi ijazah harus ditandatangani oleh rector yang bergelar profesor. Kalau sekarang, berlama-lama di bangku kuliah, bisa membuat bangkrut orang tua. Saking mahalnya biasa kuliah per semester. Gambaran para mahasiswa itu, kini menjadi kegundahan yang melanda para calon Guru Besar. Betapa tidak, nanti Surat Keputusan (SK) pengangkatan Guru Besarnya ditandatangani oleh oknum yang setara dengan pangkat guru paling "dlosor", alias paling bawah. Dengan persyaratan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dinaikkan, maka pangkat paling dlosor itu bukan hanya guru SMP dan SMA saja. Namun guru SD juga dlosor. Malah tidak sedikit guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK) yang sudah S1, pangkatnya sekarang setara dengan golongasn IIIa. Jadi kalau Mendikbud Nadiem Makarim yang usianya 35 tahun ini diangkat PNS, maka termasuk Aparat Sipil Negara (ASN) yang baru diangkat. Nilai angka kreditnya 100 untuk pendidikan yang S1 bergelar BA. Sedngkan S2-nya yang bergelar MBA, angka kreditnya 50. Jadi total kreditnya baru 150. Itu pun harus memperoleh persyaratan penyetaraan lulusan luar negeri. Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Bandingkan dengan profesor pemula, Pembina Utama Madya yang golongan IVd. Profesor pemula yang naik dari doktor atau gelar S3, sudah jadi syarat pendidikan formal dengan Kum angka kreditnya 850. Sedangkan Kum 1.050 wajib untuk guru besar dengan pangkat Pembina Utama golongan IVe. Itu pun dengan syarat minimal 35% adalah pengajaran, dan 45% penelitian. Tidak boleh lebih 10% pengabdian dan tidak boleh lebih 10% penunjang. Syarat penting yang sering menjadi kendala diangkatnya dosen sebagai Guru Besar adalah tulisan di jurnal Internasional yang berindeks scopus. Nilai angka kreditnya harus memenuhi 0,15 yang masuk kategori Q3 atau Q4. Dengan mengikuti angka kredit di Perguruan Tinggi ini, maka jabatan yang paling pas untuk Nadiem Makarim hanya Asisten Ahli, dengan pangkat Penata Muda Tingkat I golongan IIIb. Jabatan ini juga termasuk yang paling dlosor di antara sesame dosen. Jauh di bawah Guru Besar yang dipimpinnya. Aneh memang, sebab professor Pembina Utama akan dibina oleh Mendikbud yang masih Asisten Ahli. Soal Mendikbud yang belum profesor ini sebenarnya bukan hal baru. Dulu, Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menjadi profesor setelah menjadi Mendikbud. Tetapi mendongkraknya tidak terlalu menimbulkan kecemburuan yang besar, karena dari usia dan pengabdiannya mencukupi. Mendikbud kelahiran Pamekasan ini bertutur dalam Buku Biografinya berjudul “Sepanjang Jalan Kenangan”. Seperti ini Wardiman berujar “ketika itu, Wardiman sudah sepuluh tahun memperoleh gelar doktor dari Technische Hogeshool (TH) Delft Belanda. Namun ditegor oleh BJ Habibie, ‘Man, kenapa tidak sekalian menjadi profesor?” Kata Wardiman, yaya hanya mengangguk dan tersenyum. Saat itu, saya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya pun menanyakan tentang persyaratan untuk diangkat menjadi guru besar. Staf Wardiman di Depdikbud mengatakan, Kum saya sudah melebihi kriteria sebagai guru besar. Wardiman lalu menghubungi Rektor Universitas Padjajaran. Apakah tidak keberatan menjadi tempat bagi promosi gelar profesor bagi saya? Wardimana minta ditetapkan sebagai Guru Besar, dan akan menyampaikan orasi ilmiah dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar tahun 1994. Padahal Wardiman diangkat menjadi Mendikbud untuk periode 1993 – 1998. Namun untuk Mendikbud Nadiem hanya yang setara dengan pangkat atau golongan guru dan dosen yang paling dlosor ini, yaitu Asisten Ahli. Kalau langsung diangkat sebagai professor, akan menimbulkan gonjang-ganjing pada tatanan kepangkatan fungsional di Kemendikbud. Bisa saja sebagai pemegang kuasa, Nadiem bisa saja "meminta" Perguruan Tinggi (PT) memberinya gelar Guru Besar Kehormatan, seperti Puan Maharani, yang diprotes oleh Guru Gesar. Atau mungkin seperti SBY yang mendapat gelar profesor tidak tetap. Entah apa maksudnya dengan profesor tidak tetap tersebut. Apa guru besar belum permanen? Bisa saja gelar Guru Besarnya berubah-ubah. Kadang bisa mengecil, kadang juga bisa membesar. Bila MenPan-RB mempersyaratkan dosen dengan angka kredit yang ketat sebagai ukuran kualitas dosen dan perguruan tinggi. Dipastikan Mendikbud Nadiem sebagai pimpinan para rektor, para guru besar tidak memenuhi standar mutu. Dengan begitu, seharusnya MenPAN-RB mengkategorikan Kemendikbud sebagai kementerian yang tidak bermutu dari sisi reformasi birokrasi. Dengan syarat yang begitu berat tersebut, Jokowi sama sekali tidak bertenggang rasa dengan para profesor di Indonesia, karena mengangkat Nadiem menjadi Mendikbud. Karena untuk menjadi professor itu, tidak mudah. Tahun lalu 2018 lalu, ada 2.750 dosen tidak memenuhi syarat sebagai guru besar. Sedangkan dengan karya inovatif Gojek tersebut, sebanarnya banyak guru besar yang tidak kalah hebatnya. Banyak Guru Besar yang menjadi memegang banyak hak paten. Sementara ijazah luar negeri pun tidaklah memperoleh pengakuan penyetaraan di dalam negeri. Seharusnya, dengan diangkatnya Nadiem menjadi Mendikbud, maka sepertinya semua syarat-syarat untuk menjadi Guru Besar juga harus dibebaskan. Guru dikembalikan kepada kenaikan pangkat otomatis berkala. Dihitung dari tahun pengabdian sang guru. Perguruan Tinggi juga perlu diberikan kebebasan bebas sebebasnya. Mereka bisa sesuka sukanya saja mengangkat sesorang menjadi Guru Sesar. Toh, sama seperti Pak Jokowi yang suka-sukanya mengakat Nadiem sebagai Mendikbud. Kata orang Jawa seenak udele dewe. Penulis adalah Wartawan Senior
PKS Dalam Pelukan Surya Paloh
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Picture of the week! Foto Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan erat dengan Presiden PKS M Sohibul Iman, layak dinobatkan sebagai “Foto pilihan pekan ini.” Foto keduanya dalam pose berpelukan ala teletubbies, beredar secara cepat di medsos. Lengkap dengan berbagai komentar. Komentar yang muncul kebanyakan mengundang senyum. Ada juga yang membuat meme. Foto itu disandingkan dengan foto Prabowo sedang berwelfie ria bersama Megawati dan Puan Maharani. Captionnya: Cinta yang tertukar! Secara visual, foto yang diabadikan ketika Surya Paloh berkunjung ke kantor DPP PKS itu memang sangat kuat. Apalagi tafsir politiknya. Jauh lebih menarik dan multi tafsir. PKS adalah satu-satunya partai yang sejak awal menyatakan oposisi terhadap Jokowi. Sementara Nasdem partai pendukung Jokowi yang berkali-kali menyatakan siap menjadi oposisi. Walau akhirnya tetap masuk kabinet, dan menempatkan tiga orang menteri. Dari sisi positioning, secara politis keduanya berada dalam kubu berseberangan. Sebelumnya sulit membayangkan mereka akan berpeluk-ria, apalagi sampai membuat beberapa kesepakatan. Tapi itulah fenomena politik kontemporer Indonesia. Tempat adagium bahwa politik sebagai the art of possibility benar-benar diterapkan. Kemungkinannya bahkan jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Beyond our imagination. Prabowo saja bisa masuk kabinet Jokowi dan menjadi Menhan. Mengapa pula Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa berpeluk-mesra dan membuat blok baru oposisi? Gak perlu baper Pertemuan antara Surya Paloh dan Sohibul Iman ini kian menyadarkan kita, jangan terlalu baper dalam melihat politik Indonesia. Ojo kagetan. Ojo gumunan. Dengan begitu kita tidak perlu kaget, marah, apalagi sakit hati ketika tiba-tiba tokoh atau partai yang kita dukung berubah haluan di tengah jalan. Woles saja. Namanya juga politisi. Mari kita simak beberapa fakta dan fenomena berikut ini: Pertama, batas antara penguasa dan oposisi sangat kabur. Bisa saja oposisi kemudian bergabung dengan penguasa. Sebaliknya yang berada dalam pemerintahan karena kepentingannya kurang/tidak terakomodasi, berancang-ancang menjadi oposisi. Kedua, karena adanya kepentingan yang sama, pemerintah dan oposisi bisa saling bahu membahu dan saling mendukung. Tidak peduli suara pemilih, suara rakyat. Pengesahan UU KPK adalah contoh nyata. Semua fraksi di DPR sepakat mendukung, kendati mendapat perlawanan keras dari masyarakat, mahasiswa dan pelajar. Imbalannya semua fraksi mendapat jatah kursi wakil ketua MPR, termasuk PKS. Caranya dengan mengubah Pasal 15 UU Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ketiga, kabinet besar dan gemuk Jokowi berpotensi pecah di tengah jalan. Kabinet yang dimaksudkan membuat semua happy, “disini senang, dis senang,” berubah menjadi “di sini senang, di sana berang.” Banyak yang tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Nasdem sudah menyatakan secara terbuka. Mereka keberatan dengan masuknya Gerindra, apalagi mendapat pos penting sebagai Menhan. Keempat, Jokowi tampaknya harus sudah bersiap-siap menghadapi oposisi yang cukup kuat di DPR, termasuk dari partai pengusungnya. Nasdem sudah mengisyaratkan kemungkinan akan menjalin kerjasama dengan PKS di DPR. PDIP juga tampaknya tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Apalagi Luhut Panjaitan ternyata masih berperan besar di pemerintahan. Bukan tidak mungkin PDIP juga akan menjadi oposisi terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Oposisi di DPR akan kian besar dengan tidak diakomodasinya PAN dan Demokrat di kabinet. Kelima, tiga tahun, atau paling lambat dua tahun jelang Pemilu 2024 sudah mulai terbentuk konfigurasi kekuatan politik baru. Parpol pendukung Jokowi bisa bubar jalan, atau setidaknya mulai mencari jagoan masing-masing. Pertemuan PKS dan Nasdem bisa menjadi indikator mulai terbentuknya embrio baru koalisi parpol pada Pilpres 2024. Pertemuan ini bisa dilihat sebagai sebuah lanjutan dari pertemuan Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu. Waktu dan kepentingan politik akan menentukan apakah kemesraan ala *_teletubbies_* itu berlanjut sampai 2024, atau hanya manuver sesaat. Publik pasti belum lupa bagaimana Prabowo dan Surya Paloh juga baku rangkul menjelang pembentukan kabinet. Saat itu Surya menyatakan kepentingan negara di atas kepentingan parpol. Ternyata Nasdem menyabot kursi Menteri Pertanian yang sudah lama diincar Gerindra. Sebaliknya Gerindra yang mematok harga mati kursi Mentan, tetap bersedia masuk kabinet dengan kompensasi kursi Menteri Kelautan dan Perikanan. end