OPINI
Info Tak Valid: Mahfud MD Minta Diangkat Menjadi KSAD
Sekarang, publik sudah paham apa yang terjadi. Alangkah naifnya Pak Mahfud MD yang terlalu cepat mengumbar pernyataan bahwa TNI kecolongan. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menyusul keputusan KSAD Jenderal Andika Perkasa untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie sebagai taruna akademi militer (akmil) di Magelang, tersiar kabar kabur bahwa Mahfud MD meminta agar dia diangkat menjadi KSAD. Perkembangan dramatis ini terjadi karena Mahfud, menurut kabar burung, berkeras agar Enzo tetap dipecat dari daftar calon taruna. Disebutkan, Mahfud perlu satu hari saja menjadi KSAD. Hanya untuk memecat Enzo. Sumber-sumber yang tak bertanggung jawab menyebutkan bahwa Mahfud mengancam akan pindah ke negara lain jika Enzo tidak dikeluarkan dari akmil. Menurut info tak valid, Mahfud meminta agar dia segera dilantik menjadi KSAD supaya bisa mengambil tindakan tegas untuk memecat Enzo. Mahfud benar-benar kesal melihat kecolongan yang terjadi di lingkungan TNI. Mahfud mengatakan di Yogyakarta, Jumat (9/8/2019) bahwa TNI kecolongan dengan lolosnya Enzo masuk ke akmil. Mahfud memang sangat sigap mengeluarkan statement. Lebih tangkas dari para petinggi militer dan Hankam dalam hal Enzo. Ketika para petinggi TNI AD berhati-hati menangani kasus Enzo yang disebut-sebut punya kemungkinan keterkaitan dengan HTI, Mahfud malah langsung menyimpulkan TNI kecolongan. Seperti diketahui, Enzo Zenz Allie diduga punya foto dengan adegan memegang bendera tauhid yang mirip dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dari sinilah dia, secara semberono, dikait-kaitkan dengan organisasi yang telah dibubarkan penguasa itu. Kembali ke tuntutan Mahfud MD agar dia diangkat menjadi KSAD. Sejumlah pihak mengusulkan agar dibuatkan acara tentara-tentaraan di halaman sebuah taman kanak-kanak. Di situ, Mahfud MD bisa dipakaikan seregam TNI AD dengan tanda pangkat bintang empat. Kemudian, langsung seorang presiden-presidenan meminpin acara serahterima jabatan “KSAD” dari “Jenderal Andika Perkasa” kepada “Jenderal Mahfud MD”. Setelah itu, “Jenderal Mahfud” dibawa ke kelas utama TK. Di sana telah menunggu “Enzo Zenz Allie” dengan seragam taruna akmil. “Jenderal Mahfud” langsung membacakan surat pemecatan “Enzo”. Kemudian dia mencopot seragam tarunanya. Selesai upacara pemecatan, “Jenderal Mahfud” pun melepas seragam TNI AD yang dipakainya. Hajat telah tertunaikan. Dia kemudian langsung berwudu, dan mengajukan surat pengunduran diri dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dia pun tak jadi pindah ke negara lain. Alhamdulillah, pemecatan Enzo Zenz Allie versi Mahfud MD telah berjalan dengan lancar. Begitulah, mungkin, keinginan Mahfud MD. Tapi, TNI memiliki prosedur baku dalam mengambil tindakan terhadap taruna akmil yang bermasalah. KSAD Jenderal Andika Perkasa mengatakan, Enzo dipertahankan sebagai taruna setelah hasil pemeriksaan yang ilmiah berupa analisis moderasi keberagamaan menunjukkan dia lulus. Angka kelulusan analisis moderasi Enzo sangat bagus. Semua taruna baru diperiksa. Enzo mencatat skor 84%. Dalam skala maksimum angka 7, Enzo mendapat nilai 5.9. Skor ini mendekati kesempurnaan. Sekarang, publik sudah paham apa yang terjadi. Alangkah naifnya Pak Mahfud MD yang terlalu cepat mengumbar pernyataan bahwa TNI kecolongan. Semua orang mungkin paham tujuan Pak Mahfud, yaitu menjaga agar NKRI ini aman dari radikalisme. Namun sekarang, pernyataan Mahfud itulah yang justru terlalu radikal. Anda, Prof, nyaris saja menzolimi seorang taruna andaikata kesimpulan Anda tentang kecolongan TNI itu direspon dengan gegabah oleh pimpinan TNI. Untunglah pimpinan TNI, kelihatannya, sudah hafal tentang Mahfud MD. End
Walikota Bekasi Terpapar Paham Radikal
Siap mati demi prinsip adalah ciri radikalisme. Jadi, tidaklah keliru menyebut Pepen seorang penganut paham radikal. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Radikalisme tampaknya sudah merasuki birokrasi pemerintahan. Walikota Bekasi, Rahmat Effendy, termasuk salah seorang pejabat yang terpapar radikalisme kelas berat. Dia, lebih dua tahun silam, sempat mengatakan di depan publik bahwa lebih baik kepalanya ditembak ketimbang mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) sebuah rumah ibadah. Rahmat Effendy, yang sering dipanggil Pepen, mengatakan di acara Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, 16 Maret 2017, dia melawan habis desakan masyarakat agar izin pembangunan geraja Santa Clara di Bekasi dibatalkan. Pepen menggoreskan kesan bahwa dia siap mati demi gereja itu. Sikap ini mendapat penghargaan dari Komnas HAM. Siap mati demi prinsip adalah ciri radikalisme. Jadi, tidaklah keliru menyebut Pepen seorang penganut paham radikal. Di hari Idul Adha barusan (11/8/2019), Walikota Pepen kembali menunjukkan radikalisme yang dia anut. Dia memilih tidak sholat Id di Masjid Agung al-Barkah di Bekasi. Berbagai laporan media menyebutkan dia mewakilkan kehadirannya di Masjid Agung kepada pejabat Bagian Kesos Pemko Bekasi. Sedangkan Pepen dikatakan ikut sholat Id di masjid dekat rumahnya di Pekayon. Berbagai media memberitakan bahwa Pepen tidak sholat Id di Masjid Agung karena meresmikan gereja Santa Clara tepat pada hari Idul Adha 1440 H. Tetapi, pihak Pepen membantah. Ketidakhadirannya di Masjid Agung untuk sholat Id bukan karena meresmikan gereja Santa Clara, melainkan karena kelelahan setelah hari sebelumnya mengikuti rapat di DPRD hingga subuh. Hebatnya, ada berita yang dimuat Tempo online (12/8/2019) bahwa Pepen tak sholat Id di Masjid Agung al-Barkah gara-gara meresmikan geraja Katolik itu adalah hoax. Ada kesan berita Tempo itu seolah menyebutkan bahwa peresmian geraja Santa Clara oleh Pepen di hari Idul Adha itu, juga hoax. Padahal, memang benar Pepen meresmikan Santa Clara pada hari Idul Adha (11/8/2019). Baik, kita cukupkan sampai di sini soal apakah Pepen tak sholat Id di Masjid Agung gara-gara dia harus meresmikan gejara Santa Clara, atau karena dia kelelahan. Mari kita kembali fokus ke radikalisme Pak Walikota dalam membela kepentingan non-muslim. Tentu sikap beliau ini sangat terpuji bagi kalangan minoritas dan kalangan yang benci Islam. Kalangan yang benci Islam itu bisa non-muslim, bisa juga orang Islam sendiri alias para munafiqun. Radikalisme minoritas Pepen itu tampak dari (1)semangat dia yang sangat keras untuk meresmikan Santa Clara; (2)ketiadaan semangatnya untuk sholat Idul Adha di Masjid Agung hanya karena kelelahan. Dari sini boleh disimpulkan bahwa untuk kepentingan minorits, Pepen siap ditembak kepalanya demi membela minoritas Dan dan dia siap datang ke mana saja dan jam berapa saja ke acara mereka. Pepen tidak takut mati. Tidak ada istilah kelelahan demi minoritas. Dia siap ditembak kepalanya demi IMB Santa Clara. Itulah paham radikal yang dianut Pepen. Radikalisme minoritas. Radikalisme model ini tentu mendapat nilai yang sangat tinggi di mata banyak pihak yang tak suka Islam. Radikalisme yang sedang trendy. Banyak pejabat dan politisi yang “berbaiat” kepada radikalisme minoritas. Sebaliknya, perjuangan radikal untuk menyuarakan sikap antikorupsi dianggap sesuatu yang tak baik. Perjuangan untuk menegakkan keadilan bagi umat Islam, selalu dikategorikan sebagai “paham radikal yang terlarang”. Apa saja yang berkonten membela umat, hampir pasti distempel sebagai “radikalisme terlarang”. Radikalisme yang dianut Pepen kelihatannya akan semakin berkembang. Banyak yang mendukung dan banyak yang siap menjadi penganutnya. End
Kasus Taruna Enzo: Pak Mahfud MD Segeralah Minta Maaf
Jadi Mahfud bukanlah figur ecek-ecek. Kelasnya jauh berbeda dibandingkan para buzzer yang mencari makan dari kegaduhan dan kekisruhan politik. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ingar bingar dan kegaduhan status taruna Akademi Militer (Akmil) Enzo Allie berakhir. Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa menyatakan Enzo bukanlah simpatisan HTI. Pemuda blasteran Perancis itu juga tidak terpapar paham “radikal.” "Kami, Angkatan Darat, memutuskan, untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu, sejumlah 364 orang," ujar Andika di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa (13/8). Berdasarkan hasil tes obyektif lanjutan, indeks moderasi bernegara Enzo adalah 5,9 dari tujuh. Enzo, mendapat persentase skor 84 persen. Andika menjamin akurasi dan validitas tes obyektif lanjutan yang dilakukan terhadap Enzo. TNI telah bertahun-tahun menggunakan instrumen tes itu untuk memastikan kesadaran bernegara para taruna. Pernyataan Andika ini bukan hanya kabar baik bagi Enzo dan keluarganya. Ini juga kabar baik bagi TNI AD, umat Islam, dan tentu saja yang paling penting bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Hanya gara-gara kedapatan pernah membawa bendara tauhid dan diposting di akun facebooknya, Enzo digoreng oleh buzzer sebagai pendukung kelompok radikal. Statusnya dikait-kaitkan dengan ibunya, seorang anggota emak-emak militan yang menjadi pendukung Prabowo-Sandi. Yang lebih menyedihkan Mahfud MD ikut memperkeruh situasi dengan menyebut TNI KECOLONGAN. Dia juga meminta TNI segera memecat dan memberhentikan Enzo dari Akmil. Secara insinuatif dia memperkirakan, kalau tidak dipecat, Enzo tidak akan kerasan karena kasusnya sudah ramai di media. Pernyataan Mahfud tentu tidak bisa diremehkan begitu saja. Karirnya sangat mencorong. Dia pernah menjadi Menhan, Menkumham —walau hanya tiga hari—, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Jangan dilupakan pula statusnya saat ini sebagai anggota Dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sebuah lembaga yang membantu presiden untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan idiologi Pancasila. Gak main-main. Jadi Mahfud bukanlah figur ecek-ecek. Kelasnya jauh berbeda dibandingkan para buzzer yang mencari makan dari kegaduhan dan kekisruhan politik. Kalau toh ucapan dan sikapnya belakangan ini tekesan seperti buzzer, jelas dia bukan buzzer sembarangan. Kualifikasinya: kelas berat! Harus Jentelmen Dengan keputusan TNI AD, akan sangat baik, terhormat, bertanggung jawab, jentelmen bila Mahfud MD segera minta maaf. Pertama, kepada Enzo dan keluarganya. Gara-gara pernyataannya Enzo menghadapi tekanan psikologis yang luar biasa. Mahfud telah mem-bully seorang remaja berprestasi dan unggul. Masa depan Enzo terancam. Pemuda yang bercita-cita menjadi prajurit komando ini seperti divonis hukuman mati. Dipecat. Kedua, kepada lembaga TNI, khususnya TNI AD yang disebutnya telah kecolongan.Tudingan ini tidak main-main dan bisa dilihat sebagai sikap meremehkan TNI secara kelembagaan. Untuk menjadi taruna Akmil —semua angkatan— proses seleksinya sangat ketat dan berjenjang. Mulai di daerah (Kodim, Kodam), sampai di tingkat pusat berupa penentuan tahap akhir (Pantohir). Seorang calon taruna dinyatakan lolos setelah melewati pemeriksaan administrasi, test kesehatan, kesemaptaan jasmani, mental ideologi, psikologi dan test kesehatan. Siapapun yang lolos telah melalui tahapan ini. Seperti dikatakan Andika, prosesnya telah teruji. Soal mental idiologi di masa lalu dikenal persyaratan bersih diri dan bersih lingkungan. Bukan hanya sang calon secara pribadi, tapi juga keluarga dan lingkungannya. Enzo berhasil lolos semua ujian tersebut. Angkanya juga di atas rata-rata, kalau tidak boleh dikatakan sempurna (A). Enzo adalah taruna yang memenuhi semua persyaratan. Secara fisik jempolan, secara linguistik hebat. Dia juga punya bekal keagamaan yang kuat. Dari hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik. Enzo juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik. Selain bahasa Indonesia dia memguasai empat bahasa asing: Inggris, Perancis, Italia, dan Arab. Satu hal yang juga akan menjadi bekal istimewa Enzo, dia pernah menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Serang, Banten. Bayangkan bila sampai TNI tunduk pada tekanan buzzer dan Mahfud MD. Mereka akan kehilangan calon perwira yang cemerlang dan tidak menutup kemungkinan menjadi pimpinan TNI di masa depan. Dengan paras rupawan dan berbagai keunggulan fisik lainnya, Enzo sesungguhnya bisa menempuh jalur pintas menjadi sukses, terkenal dan kaya raya. Seperti remaja Indo lainnya, dunia industri hiburan dipastikan akan dengan tangan terbuka menyambutnya. Namun Enzo memilih jalan lain. Jalan terjal berupa pengabdian kepada bangsa dan negara. Bangsa dan negara tempat Ibu kandungnya dilahirkan. Dia memilih bermandi peluh dan darah, ketimbang sorotan dan kilau lampu-lampu kamera. Dia memilih medan latihan dan medan tempur ketimbang panggung-panggung pertunjukkan. Di tengah semakin sedikitnya pemuda yang ingin mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara melalui jalur militer, Enzo seharusnya mendapat salut dan aplaus yang meriah, bukan malah di-bully. Ketiga, Mahfud harus meminta maaf kepada umat Islam. Gara-gara statemennya stigma radikal terhadap umat Islam semakin kuat. Semangat keberagamaan yang tinggi disamakan dengan sikap radikal. Kalimat sahadat mengakui ke Esa-an Allah SWT identik dengan organisasi terlarang. Keempat, Mahfud harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Pasca Pilpres 2019 rakyat Indonesia terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan. Pernyataannya dapat kian memperparah pembelahan itu. Masyarakat akan terus gontok-gontokan. Para elit politik, cerdik pandai harus benar-benar berhati-hati mengelola bangsa ini, termasuk menjaga ucapan maupun tindakannya. Jangan hanya karena kepentingan jangka pendek, kepentingan politik, kepentingan kuasa, persatuan dan kesatuan bangsa dikorbankan. Semuanya sekarang terpulang kepada Mahfud MD, apakah dia cukup rendah hati, punya jiwa besar memberi contoh dan tauladan kepada bangsa ini, terutama anak-anak muda seperti Enzo. Meminta maaf, mengakui kesalahan, adalah sikap yang terhormat. Atau seperti kebanyakan buzzer, memilih ngeles dan menyalahkan media karena salah kutip. End
Megawati Mainkan “Psy-War”, Jokowi Takluk?
PDIP dan Megawati Soekarnoputri merasa “dipecundangi” pada periode kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Agar tak terulang, Megawati pun lontarkan psy-war. Pesannya jelas: Jokowi harus ikuti apa kemauan PDIP. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN- Jika kita menyimak pidato Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri saat Kongres V PDIP di Denpasar, 8-10 Agustus 2019, ada hal menarik yang bisa dikaji lebih mendalam. Terutama terkait “jatah kursi” menteri dan Ketua DPR dari PDIP. Diawali dari cerita, saat PDIP memenangkan Pemilu 1999, mestinya dirinyalah yang menjadi presiden. Tapi tidak bisa. Dikalahkan di DPR. Yang jadi justru KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu belum ada pemilihan langsung. Ketua DPR saat itu dipegang Golkar (Akbar Tanjung). Ketua MPR dijabat oleh Amien Rais (utusan Golongan). Pemilu lima tahun lalu PDIP menang lagi. Tapi jabatan ketua DPR jatuh ke Partai Golkar. Melalui penciptaan UU MD3. “Saya ditipu terus. Dikerjain terus,” ungkap Megawati. “Tapi kita jalan terus. Suatu saat pasti mencapai kemenangan,” tambahnya. Itulah yang dimaksud dengan “kesabaran revolusioner”. Kalimat ini tidak ada dalam teks pidato Megawati. Pada Pemilu 2019, 17 April 2019, PDIP menang lagi. Apakah PDIP dan Megawati juga akan ditipu dan dikerjai di DPR lagi? “Kali ini tidak mau, tidak mau, tidak mau!” tegasnya. Tidak maunya sampai perlu diucapkan Megawati tiga kali. Ucapan Megawati itu disampaikan dengan penuh perasaan. Yang kemudian diikuti pula oleh perasaan kader partai yang hadir. “Tidak mau, tidak mau, tidak mau!” teriak peserta kongres serentak. Ternyata, PDIP ngincar posisi Ketua DPR. Megawati kemudian memasuki perihal susunan Kabinet Indonesia Kerja (KIK) mendatang. Sambil menyebut nama Presiden Joko Widodo, Megawati mengatakan nanti tidak bisa lagi Presiden Jokowi beralasan soal jumlah kursi PDIP. Misalnya, sebut Megawati, PDIP sudah mendapat banyak posisi, seperti Ketua DPR, maka jumlah menteri PDIP empat orang saja. Itu pun sudah lebih banyak dari yang lain (Koalisi Jokowi), yang hanya mendapat kursi dua menteri saja. “Tidak mau!” tegasnya. Megawati mengingatkan kembali betapa beratnya memenangkan pemilu di Jateng. Sampai harus turun sendiri ke lapangan. “Waktu itu kami sudah begini-begini,” katanya memberi isyarat dengan jari-jemarinya. Maksudnya, ia sudah khawatir kalah. Begitu juga TKN paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin. “Itu gara-gara Mas Bowo mau pindah posko ke Jateng,” katanya, sambil mengarahkan wajah ke Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang duduk di depan. Prabowo yang duduk di sebelah Ma’ruf Amin, tampak tersenyum, sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. “Wong sudah tahu Jateng itu kandang banteng saya. Kok mau diganggu,” kata Megawati sambil senyum lepas. Hadirin pun tertawa. “Terpaksa saya turun sendiri,” lanjutnya. Padahal, Megawati memberi isyarat bahwa PDIP sudah tahu diri, tidak mengganggu Jabar dan Banten, karena kandangnya Prabowo. Pada Pilpres 2014, Prabowo menang telak di sini. “Saya pun terpaksa menyerukan Jawa Tengah. Hayo! Bantengnya jangan hanya merumput terus. Asah tanduk kalian!” katanya. Megawati pun menyebut Puan Maharani. “Tahu nggak dia anak siapa?“ tanya Megawati saat kampanye di Jateng dulu. “Puan harus mendapat suara lebih 500.000 (suara),” tegas Megawati. PDIP akhirnya menjadi pemenang Pemilu 2019. Puan Maharani terpilih menjadi anggota DPR dengan suara terbesar. Maka kali ini tidak akan mau lagi kalau Puan tidak jadi Ketua DPR. Menekan Jokowi? Sayangnya, pidato Megawati selama sekitar sejam itu sama sekali tidak menyentuh persoalan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, ekonomi, ancaman TKA China, dan visi ke depan dari pemerintahan ke depan yang dimenangkan Jokowi – Ma’ruf. Apa yang disampaikan Megawati seolah hanya berupa sosialisasi bagaimana PDIP berjuang untuk “memangkan” Pilpres 2019 atas paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Apalagi, Jokowi sampai bilang, di Bali kita menang telak “sekian” persen. Presiden Jokowi mungkin lupa, Prabowo datang itu atas undangan khusus dari Megawati saat berkunjung ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Apalagi, Prabowo mendapat tempat khusus di pembukaan Kongres V PDIP di Denpasar tersebut. Prabowo menempati kursi kehormatan di deretan terdepan bersama Ma’ruf Amin, Megawati, Presiden Jokowi, dan Wapres Jusuf Kalla. Bukan hanya di sebelah siapa ia didudukkan. Tapi nama Prabowo disebut sampai lima kali dalam pidato sejam lebih itu. Megawati sampai perlu mengucapkan terima kasih atas kehadiran Prabowo. “Waktu saya bertemu yang heboh itu, sebenarnya saya hanya mengatakan... Mas, apakah mau hadir kalau saya undang ke kongres,” ujar Megawati disambut gerrr hadirin. “Sekarang ini yang tidak diundang pun minta diundang. Begitulah kalau menjadi pemenang Pemilu,” timpal Megawati. Begitu pentingkah kehadiran Prabowo dalam Kongres V PDIP? Jelas, sangat, sangat, dan sangat penting untuk sebuah legitimasi. Apalagi, pasca pertemuan Teuku Umar antara Prabowo dengan Megawati. Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus yang dilakukan sebelumnya, setidaknya telah membuat terjadinya friksi di Koalisi Jokowi. Format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo jelas sangat mengkhawatirkan Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP. Karena, jika rekonsiliasi berna-benar terjadi, maka jatah kursi mereka bakal berkurang, termasuk PDIP tentunya. Karena, Prabowo akan memasukkan kader-kadernya dalam Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf mendatang. Setidaknya, minimal 8 kursi dalam kabinet. Boleh jadi, inilah yang kemudian membuat Surya Paloh mengadakan pertemuan, di luar PDIP. Manuver Paloh mengumpulkan anggota Koalisi Jokowi minus PDIP, karena mereka tetap khawatir dengan kehadiran “mitra koalisi” barunya, Gerindra. Sementara itu, di sisi lainnya, PDIP dan tentu saja Jokowi – Ma’ruf perlu legitimasi Prabowo. PDIP sendiri, kabarnya, lebih senang bermitra dengan Gerindra. Di sini jelas sekali, adanya sinyal bahwa jika Jokowi tak menuruti permintaan Megawati soal jatah menteri untuk PDIP, maka bisa saja setiap saat PDIP dan Megawati meninggalkannya. Apalagi, kabarnya, sekarang ini memang sedang ada pembicaraan antara elit PDIP dengan Gerindra perihal bagi-bagi jatah kursi pimpinan DPR-MPR. Untuk Ketua DPR diberikan ke PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019. Ketua MPR jatah Gerindra. Posisi Wakil Ketua DPR maupun MPR diserahkan pada partai pemenang urutan berikutnya. Di sini jelas sekali, apa yang diinginkan Megawati pasti bakal tercapai. Puan Maharani calon kuat Ketua DPR. Setelah posisi di legislatif diraihnya, kini menteri. PDIP yang semula seakan tak peduli dengan pembagian kursi dan jatah menteri, kali ini jelas menunjukkan penolakannya jika hanya diberi jatah sedikit. PDIP telah menunjukkan wajah aslinya. Megawati meminta lebih banyak menteri nantinya. “Mesti lebih banyak. Orang kita ini pemenang pemilu dua kali,” tegas Megawati lagi. Lebih banyak yang dimaksud ini tentu jumlahnya lebih dari yang sekarang dan mesti lebih banyak dari partai anggota koalisi lainnya. Karena PDIP pemenang pemilu. Megawati dengan tegas mengatakan akan menolak jika Presiden Jokowi hanya memberikan sedikit jatah kursi menteri untuk diisi kader PDIP. “Jangan nanti, Ibu Mega, saya kira karena PDIP sudah banyak kemenangan, sudah di DPR, saya kasih empat,” ujarnya. “Emoh, tidak mau, tidak mau, tidak mau,” tegas Megawati. Saat mendapat giliran berpidato, Presiden Jokowi menjanjikan kursi menteri terbanyak untuk PDIP. “Yang jelas, PDIP pasti yang terbanyak. Jaminannya saya,” jawab Presiden Jokowi. Apakah pernyataan keras perihal jatah menteri yang disampaikan Megawati itu tidak lain psy-war kepada para pihak yang selama ini mendikte Presiden Jokowi, setelah akhirnya diketahui oleh Megawati setelah berjalan sekian tahun Jokowi berkuasa? Apalagi, melalui Kepala BIN Budi Gunawan, Megawati sudah tahu bahwa kemenangan yang diperoleh Jokowi – Ma’ruf atas Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019 penuh kecurangan TSM, meski secara yuridis formal MK sudah memenangkan mereka. Lebih tegas lagi adalah sikap Ijtima Ulama IV di Jakarta yang tidak mengakui Jokowi sebagai Presiden Terpilih karena penuh dengan pencurangan TSM. Joked2019 @Joked2019 menulis, karenanya tak bisa dilantik, apalagi tak memenuhi syarat pasal 6A UUD 2002. “Mustahil dilakukan pelantikan yang paradoks terhadap konstitusi. Kian membesar gerakan tolak lantik,” lanjut twiter Joko Edy. Megawati pun pasti juga tahu soal syarat pasal 6A UUD 2002 tersebut. Di sinilah Prabowo punya posisi yang sangat kuat. Kalau yang dikejar cuma kursi menteri, jika Prabowo yang dilantik menjadi presiden, dapat dipastikan ia akan menuruti Megawati dan PDIP. ***
Kasus Enzo, Untung Saja Mahfud MD Gagal Jadi Cawapres
Sungguh disayangkan figur terhormat seperti Mahfud MD berperilaku seperti buzzer. Hanya bermodal info medsos yang digoreng buzzer langsung mengambil kesimpulan seperti itu. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Kalau saja Mahfud MD tidak gagal jadi cawapres, ceritanya pasti akan berbeda. Bangsa Indonesia yang sudah terbelah dalam dua poros 01 dan 02 , akan terpuruk kian dalam. Pernyataan Mahfud bahwa TNI KECOLONGAN karena meloloskan Enzo Allie menjadi calon taruna Akademi Militer (Akmil) menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Di media sosial para buzzer paslon 01 dan 02 kembali bertempur. Mereka kembali saling serang. Di media massa isu Enzo juga menyita perhatian. Sejumlah tokoh mulai dari Menhan Ryamizard Ryacudu, KSP Moeldoko, sampai KSAD Jenderal TNI Andhika Perkasa diburu media. Mereka dimintai pendapatnya. Enzo Zenz Allie (18) seorang remaja blasteran Perancis (Ayah) dan Indonesia (Ibu) ramai diperbincangkan. Videonya berdialog dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam bahasa Perancis, viral. Selain bahasa Perancis, Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan tentu bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa Arabnya dia peroleh di pesantren. Secara fisik Enzo juga jempolan. Dari hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik. Enzo juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik. Dilihat dari kecerdasan linguistik dan ketangguhan fisik, Enzo diperkirakan akan menjadi prajurit yang mumpuni. Paripurna. Cocok dengan cita-citanya menjadi prajurit komando. Satu lagi modalnya yang jarang dimiliki calon taruna, adalah pemahaman keagamaannya. Dia pernah menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Serang, Banten. Digoreng Buzzer Tak lama setelah video Enzo viral, buzzer yang terinditifikasi dengan paslon 01 mulai menggoreng isu Enzo. Mereka menemukan di akun medsosnya, Enzo berfoto dengan bendera hitam bertulis kalimat tauhid (Tiada Tuhan selain Allah). Bendera bernama Ar-Rayah itu merupakan panji perang di masa Rasululloh Muhammad SAW. “Temuan” itu kemudian dikait-kaitkan dengan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga mempunyai bendera yang mirip. Enzo diduga sebagai pemuda yang terpapar kelompok radikal. Stigma yang bisa menjadi hukuman mati bagi karir militernya. Para buzzer ini juga menelusuri akun media sosial Hadiati Basjuni Allie. Di akun Hadiati yang tergabung dalam emak-emak militan Prabowo-Sandi ini juga didapati memposting sejumlah bendera tauhid. Namun tidak ada kalimat spesifik yang menyatakan dukungannya terhadap HTI. Tak ada ampun, Enzo dan ibunya digoreng habis para buzzer. Sayangnya sejumlah tokoh termasuk Mahfud MD bukan meredakan kehebohan, namun malah terlibat menambah bara kebencian. Mahfud menyebut TNI kecolongan. Karena itu dia menyarankan TNI segera memecat dan memberhentikan Enzo karena telah terpapar paham radikal. Kalau toh tidak dipecat, Enzo diperkirakan Mahfud bakal tidak kerasan di Akmil setelah diberitakan besar-besaran. “Kalau sudah diberitakan seperti itu masih kerasan, maka perlu dipertanyakan benar motivasinya,” tambahnya. Sungguh disayangkan figur terhormat seperti Mahfud MD berperilaku seperti buzzer. Hanya bermodal info medsos yang digoreng buzzer langsung mengambil kesimpulan seperti itu. Kalau buzzer motivasinya sangat jelas. Ekonomi dan kebencian. Mereka hanya bisa hidup ketika situasi politik gaduh dan keruh. Apakah Mahfud sudah terjerembab dalam motivasi serupa yang sangat rendah? Atau ada motif lain, berupa motif kuasa? Masa iya figur seperti dia serendah itu? Masa depan seorang anak muda dia korbankan dengan statemennya yang sangat gegabah. Pernyataannya juga bisa mendorong publik makin membenci bendera tauhid yang dia asosiasikan sebagai kelompok radikal. Soal ini jauh lebih serius. Menimbulkan stigma buruk bagi umat Islam Untungnya para petinggi militer tidak begitu saja menelan mentah-mentah saran Mahfud yang pernah menjadi Menhan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Menhan Ryamizard Ryacudu mempercayakan sepenuhnya kepada TNI AD. Sementara KSAD Jenderal Andhika menyatakan phaknya sedang melakukan penelitian secara scientific. Jadi tidak asal main pecat. Dalam era post truth dan masyarakat yang terbelah seperti Indonesia saat ini, sangat baik bila semua pihak menahan diri. Tidak mudah mengumbar pernyataan, apalagi isu yang hanya membuat masyarakat kian terbelah. Tidak ada gunanya bila di level elit politik terjadi proses “rekonsiliasi.” Sementara di level bawah, level akar rumput masyarakat terjerembab pembelahan yang kian dalam. Pasti bukan bangsa seperti ini yang kita bayangkan ketika para wakil rakyat, cerdik pandai mengadopsi sistem demokrasi langsung. Sekali lagi: Untung saja Mahfud MD gagal menjadi cawapres. Andai saja saat ini dia yang terpilih menjadi capres, bukan Ma’ruf Amin. Apa jadinya bangsa ini? End
Jurus "Pendekar Mabuk" Prabowo dan Isu "Penumpang Gelap"
Ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan garis lurus. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Oleh : A. Sofiyanto (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya, perilaku elit Partai Gerindra semakin membingungkan kawan dan lawan. Setelah Prabowo ujug-ujug melakukan jurus ‘pendekar mabuk’ dengan “pertemuan MRT dengan Jokowi” disusul “pertemuan nasi goreng bersama Megawati’ jelas membuat pentolan Gerindra ini mengecewakan pendukung militan capres 02 Prabowo-Sandi melawan capres 01 Jokowi-Maruf. Jurus pendekar mabuk yang sulit ditebak ke mana arah pukulannya, juga mengejutkan lawan politik Prabowo. Dalam sejarah politik di negeri ini, baru pertama terjadi rival politik yang sedang dalam persaingan memanas mendadak sontak berangkulan. Wajarlah jika pendukung militan 02 kaget dan kecewa berat. Pasalnya, mereka merasa capres 02 itu dikalahkan secara curang oleh kubu capres petahana dalam Pilpres 2019. Untuk mendinginkan kemarahan pendukungnya, katanya Prabowo berjanji akan mendatangi mereka terutama emak-emak yang kecewa dengan merapatnya Prabowo ke Jokowi. Janji sowan ke pendukungnya belum dipenuhi Prabowo, kini malah elit Gerindra melempar rumor atau isu “penumpang gelap”. Sehingga malah membuat emak-emak, ulama “garis lurus” dan Alumni 212 sebagai pendukung militan Prabowo semakin kecewa. Adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco yang melontarkan isu bahwa ada ‘penumpang gelap” di barisan Prabowo-Sandi saat Pilpres 2019 yang mencoba memanfaatkan Prabowo untuk kepentingan mereka. Namun, menurut Dasco, Prabowo kemudian mengambil tindakan karena sadar telah dimanfaatkan, dan para penumpang gelap itu kemudian "gigit jari" karena Prabowo segera mengetahuinya dan tidak mau dimanfaatkan. Yang bikin aneh, Dasco tak menyebut nama siapa saja sebenarnya orang, kelompok atau organisasi yang termasuk ke dalam penumpang gelap tersebut. Karuan saja pernyataan si Dasco ini bikin gaduh dan bikin saling curiga. Banyak yang bertanya siapa penumpang gelap sebenarnya, bahkan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang sempat diperkirakan adalah pihak yang dimaksud Dasco langsung memberikan konfirmasi. Melalui Ketuanya Slamet Maarif, PA212 tidak merasa menjadi penumpang gelap seperti yang dimaksud elit Gerindra. "Jadi kami yakin yang dimaksud Gerindra bukan kalangan kita dan ulama," tepis Slamet Maarif kepada wartawan, Jumat (9/8/2019). Apabila elit Gerindra itu hanya usil melontar isu tapi tidak menyebut siapa yang dimaksud, maka sebenarnya tidak ada penumpang gelap itu. Sebab, para pendukung militan Prabowo hanya bersemangat dan berjuang demi kehidupan masa depan bangsa ini agar tidak ada kecurangan, kejahatan politik dan ekonomi serta pembohongan dan pembodohan publik di negeri tercinta ini. Apakah politikus memang biasa ngeles (menghindar) pada saat terjepit mesti mencari “kambing hitam” atau ‘cari aman’ agar kepentingan pribadi dan kelompoknya tetap survive. Andai pun ada penumpang gelap, mestinya harus disingkirkan sejak awal Pilpres. Jangan seenak udelnya sendiri, dukungan dari para “penumpang gelap” itu dipakai tetapi setelah selesai pilpres disingkirkan dan dipermalukan pula. Kalaupun yang dianggap pemumpang gelap itu misalnya massa militan yang melakukan aksi demo di depan Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang sengketa Pilpres 2019 yang dilarang/dicegah oleh Prabowo, maka itu juga tidak relevan. Pasalnya, yang memimpin demo tersebut adalah mantan ketua penasihat KPK Abdullah Hehamahua yang sudah tua dan merupakan orang jujur serta tidak gila jabatan. Dia hanya sekadar ingin menegakkan hukum dan menyingkirkan kecurangan di negeri ini. Jadi, tidak tepat kalau tokoh semacam Abdullah Hehamahua dicap sebagai “penumpang gelap”. Kenyataan bagi pendukung militan capres 02 tentu sangat menyakitkan untuk menerima "kemenangan" yang diwarnai kecurangan. Pedih dan perih serta kecewa dan menyesal berjuang 10 bulan berjuang untuk capres 02 setelah melihat Prabowo merapat ke Jokowi. Maklum, para pejuang itu bertekad menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan di negeri ini. Bukan kecurangan, kebohongan dan kejahatan. Pendukungnya telah mengorbakan waktu, biaya, tenaga dan fikiran. Prabowo pun dianggap meremehkan pengorbanan emak-emak, serta mengesampingkan ulama yang ditangkap, diusir, berjuang untuk perubahan yang lebih baik bagi ummat dan bangsa dengan pemimpin yang mewujudkan adil dan makmur. Sebaiknya, Prabowo dengan Gerindranya jangan melakukan ‘bunuh diri politik’. Yang jelas, jutaan emak-emak dan para pendukung militan 02 marah, protes dan kecewa berat serta ada pula yang menuduh Prabowo berkhianat. Karena mereka telah berkorban moril dan materiel bahkan ada korban nyawa saat selama 10 bulan berjuang memenangkan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Maka sangat wajar kalau pendukung militan Prabowo terutama emak-emak sangat marah kepada Prabowo setelah merasa kaget ibarat disambar petir tiba-tiba mendadak sontak terjadi "perselingkuhan" di MRT antara Prabowo dengan Jokowi. Mereka tidak pernah diajak bicara sebelumnya dan bahkan tidak diberikan penjelasan setelahnya oleh Prabowo. Fakta telah terjadi, pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus disusul pertemuan dengan Megawati di Teuku Umar, dan dilanjutkan ketua umum Gerindra itu diundang oleh Megawati untuk menghadiri Kongres ke-5 PDIP di Bali pada Rabu (7/8). Dikabarkan pula, Prabowo ditawari oleh Megawati untuk siap bertarung kembali menjadi capres di Pilpres 2024. Sebenarnya tawaran dulu sudah pernah saat Prabowo bersedia menjadi cawapres pendamping Megawati di Pilpres 2009 dengan imbalan akan didukung jadi cawapres di Pilpres 2014. Namun imbalan yang tersirat dalam “Pernjanjian Batutulis” tersebut ternyata lewat karena PDI-P pimpinan Megawati mengusung Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2014. Prabowo dikibuli ketua umum PDI-P? Karena itu, harus ada perjanjian hitam putih agar jangan sampai dikibuli kedua kalinya. Karena orang pintar bukan keledai. Apakah pertemuan Prabowo - Megawati akan membawa koalisi baru PDI-P dan Gerindra sekaligus bagi-bagi jatah kursi menteri? Dalam silaturahmi ke kediaman Megawati di Teuku Umar yang bertajuk pertemuan makan nasi goreng itu, Prabowo mengaku tidak membahas bagi-bagi kursi jatah menteri ataupun negosiasi politik pasca Pilpres 2019. Meski Prabowo sempat bicara empat mata dengan Megawati dalam pertemuan tertutup. Mudah-mudahan Prabowo tidak bohong dan sikap keluguannya sama ketika capres 02 ini melayat Bu Ani (Alm) mengutip omongan SBY bahwa isterinya mendukung Prabowo di Pilpres 2019, hingga bikin SBY tersipu-sipu yang akhirnya “meralat” pernyataan Prabowo. Yang terjadi sekarang, pasca pertemuan MRT Prabowo dengan Jokowi dilanjutkan dengan Megawati, telah memecah belah masing-masing kubu. Yakni, kubu pendukung Prabowo berantem sendiri di medsos, ada yang membela Prabowo dan ada yang mengecam Prabowo. Fatalnya pula, ada yang menuduh penumpang gelap terhadap sesama pendukung 02. Sedangkan koalisi Jokowi juga terpecah, setelah Prabowo ketemu Megawati langsung memporak-porandakan elit partai koalisi Jokowi hingga “berantem” sendiri, bahkan bersitegang rebutan kursi. Ada pula rekaan sekaligus asumsi bahwa pertemuan Megawati dan Prabowo bakal memunculkan peta politik baru. Koalisi PDI-P yang mengandeng Gerindra bakal berhadapan dengan koalisi Nasdemnya Surya Paloh dengan partai-partai yang tidak setuju Gerindra masuk kabinet Jokowi. Yang jelas pertemuan Mega – Prabowo bikin kubu 01 bersitegang dan terancam retak. Pasalnya, Partai Nasdem melalui para elitnya menyatakan tidak setuju kalau Praowo bergabung di koalisi Jokowi. Inilah setidakntya menjadi alasan mengapa kubu Surya Paloh melakukan “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Mega-Prabowo. Maka berkumpullah di DPP Nasdem empat pimpinan partai di koalisi Jokowi, yaitu Ketum PKB Muhaimin, Ketum Golkar Airlangga, Plt Ketum PPP Suharso dan Ketum Nasdem Surya Paloh. Silakan berkilah dan berdalih segala macam, namun publik kadung menerka bahwa ini sebagai “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Teuku Umar. Surya Paloh merasa terancam bahwa jatahnya akan dikikis, sehinnga berlagak main ancam pada mitra koalisi dengan berpura-pura akan mendaulat Anies Baswedan sebagai capres 2024. SBY yang selama ini dikenal sebagai musuh Megawati pun, juga terdepak. SBY dan Partai Demokrat terancam tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Harapan SBY untuk majukan anaknya, AHY di Pilpres 2024 pun menjadi mimpi. Maklum, ketua umum PDI-P tersebut tidak suka juga perngaruh SBY sangat besar terhadap Jokowi. Pasalnya, SBY yang diduga merekayasa Pilpres 2014 memenangkan Jokowi serta beruhasa memenangkan Jokowi lagi di Pilpres 2019. Jenderal Hendropriyono, Luhut, Moeldoko, Wiranto dan SBY yang selama ini terkesan “menjegal” Prabowo juga tak bisa berkutik lagi begitu mantan Danjen Kopassus itu bertemu Megawati. Apalagi, konon Nasdem tetap meminta jatah jabatan jaksa agung untuk kabinet mendatang jadi tidak tergapai. Ada bagusnya jika kubu Nasdem pecah kongsi dengan PDI-P, agar tidak semua partai bergabun menjadi satu di koalisi pemerintahan Jokowi. Bagi rakyat, sangalah merugikan jika tidak ada oposisi yang kritis terhadap penguasa. Jika semua partai berada di satu sisi, yaitu sisi penguasa, maka negara ini hanyalah milik segelintir penguasa. Jika semua memilih ber-rekonsiliasi dan ogah jadi opoisisi, maka kediktatoran akan makin menguat. Jika tidak ada oposisi, lebih baik bikin saja Partai tunggal seperti di negeri komunis. Maka tidak perlu ada pemilu dan pilpres yang menelan duit rakyat lebih dari Rp25 triliun yang mestinya bisa digunakan sebagai modal untuk menampung jutaan pengangguran yang marak di negeri ini. Dengan kumpul Megawati, memang ada hal yang menguntungkan bagi Prabowo meski mengecewakan pendukung militannya. Menguntungkan karena bisa membungkam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang selama ini dikenal sebagai “the real presiden” serta pengaruh Surya Paloh dan Hendropriyono yang diduga sebagai elit pembisik Jokowi. Megawati merangkul Prabowo ke kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk LBP yang dianggap ‘ngrecoki’ pemerintahan Jokowi. Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Setelah sadar dirinya bakal terdepak, LBP tiba-tiba melow dan mendadak ziarah kubur Benny Moerdani dan menulis “puisi” curhat di medsos. “Padahal biasanya, jangankan kuburan, akhirat pun berani dia buldozer,” sindir pegiat medsos, Hizbullah Ivan. Kita belum tahu, apa ending dari jurus pendekar mabuk Prabowo sekarang ini. Apakah ini jurus Prabowo untuk bisa membalikkan hasil pilpres yang dinilai curang? Ataukah malah kepintaran pihak ‘lawan politik’ yang berhasil menaklukkan Prabowo dengan siasat yang dibungkus “pertemuan”? Semoga saja ini kepiawaian mantan Danjen Kopassus tersebut. Kalau tidak, maka akan membuat pendukung militanya di Pilpres 2019 semakin kecewa lemas. Tapi awas... Prabowo harus ingat nazarnya, lebih baik mati ketimbang khianati rakyat. Aspirasi rakyat itu di antaranya menuntaskan skandal BLBI, kasus penyiraman Novel Baswedan, stop utang luar negeri, berantas mafia impor, dan lain-lain. Kalau setelah melakukan “jurus mabuk” Prabowo tidak menghasilkan manfaat konkrit buat rakyat, maka Prabowo akan dihukum sosial dan Gerindra erancam jadi partai gurem di Pemilu 2024. Prabowo juga harus ingat jangan mengabaikan 700 nyawa anggota KPPS yang meninggal di Pilpres 2019, ribuan yang sakit, sekitar 10 massa aksi 21-22 Mei yang tewas, ratusan terluka, dan puluhan lainnya dikabarkan “hilang”. Kabarnya, ada tawaran dari rezim petahana ataupun klaim dari kubu Prabowo bahwa “rekonsiliasi” dengan kubu Jokowi adalah untuk membebaskan para tahanan maupun ulama pendukungnya yang dikriminalisasi dan dimasukkan penjara. Apa benar? Hingga kini belum ada pengumuman siapa saja yang dibebaskan dari tahanan. Mereka masih mendekam di penjara, termasuk Kivlan Zen. Dalam video pidato Prabowo yang diunggah Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule di akun Facebook pribadinya yang diunggah Jumat (12/7), Prabowo yang tampak sedang berbicara dengan para pendukungnya menegaskan bahwa Gerindra akan selalu ingat pada rakyat dan tidak pernah berkhianat. Dia juga memastikan bahwa dirinya akan memilih mati ketimbang harus mengkhianati perjuangan rakyat. “Saya katakan kepada kalian. Lebih baik Prabowo mati daripada berkhianat kepada rakyat Indonesia,” tegas Prabowo yang sontak mendapat tepuk tangan dari seisi gedung. Bilamana koalisi dengan PDI-P, yang dilakukan Gerindra sekadar miripkan dengan kecenderungan PDI-P yang tidak ramah dengan kepentingan Islam, misalnya ada politikus PDI-P yang mengusulkan penghapusan pelajaran agama di sekolah, penolakan Perda syariah, dan lain-lain. Maka, Gerindra akan ditingalkan pemilih dari kalangan ummat Islam. Jadi, Gerindra harus tetap memperjuangkan aspirasi ulama karena dukungan mereka dalam meningkatkan perolehan suara Gerindra di Pemilu 2019 cukup signifikan. Prabowo juga harus mencegah jangan terjadi kriminalisasi ulama sekaligus mendorong kepulangan Habib Rizieq ke tanah air sesuai kedekatan Prabowo dengan pemimpin FPI tersebut jelang Pilpres. Dan semoga saja tidak benar kabar yang mengungkapkan bahwa ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan “garis lurus”. Perlu diwaspadai mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan ummat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Apalagi, di era rezim ini ummat Islam merasa “dirugikan” alias tidak diuntungkan seperti di era-era sebelumnya. Ada pendapat yang menganggap bahwa Prabowo akan memporak-porandakan kubu 01, setelah pertemuan dengan Jokowi dan kemudian mendatangi rumah Megawati. Benarkah Prabowo bakal berhasil mengacak-acak kubu 01 serta “menghancurkan” Jokowi dan para sekutunya? Lihat saja nanti! Jika benar, maka Prabowo adalah ahli strategi yang hebat. Tapi kalau ujung-ujungnya Jokowi tetap dilantik jadi presiden pada Oktober 2019 dan Gerindra ikut bergabung dengan partai koalisi pemerintah Jokowi serta cuma mendapat segelintir kursi menteri yang trivial, maka artinya jurus ‘pendekar mabuk’ Prabowo ternyata adalah jurus mabuk beneran. He...he...hee... (***)
Rasa-rasanya Luhut Memang Bakal Tersingkir
Episode Luhut nyekar ke makam LB Moerdani, menunjukkan sinyak kuat bahwa dia menyadari akan tersingkir. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Janur kuning belum menghiasi pelaminan. Masih ada waktu untuk melamar menjadi menteri. Boleh jadi, begitulah tekad pada pemimpin partai politik saat ini. Hanya saja, belakangan publik dibikin bertanya-tanya: mengapa Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sering uring-uringan, seakan-akan kursi-kursi kabinet sudah diplot Jokowi dan partainya tidak kebagian secara memadai? Lalu, Luhut Binsar Panjaitan juga begitu. Menko Maritim ini seakan sudah mati arang, menunjukkan bahwa pada Kabinet Kerja II Jokowi, ia bakal tersisih? Hanya Surya dan Luhut yang tahu apa masalah yang menimpa diri mereka itu. Namun, belakangan memang sudah beredar semacam draft susunan anggota Kabinet Kerja II Jokowo-Ma’ruf Amin. Dalam selebaran yang viral itu, tak ada nama Luhut. Ia digantikan Susi Pudjiastuti sebagai Menko Maritim. Lalu, Faisal Basri diplot menjadi Menteri ESDM. Ada nama-nama lain, kebanyakan wajah baru di kabinet. PDIP dapat jatah terbanyak. Celakanya bagi Partai Nadem, tak ada satu pun kadernya yang nongkrong di sana. Tapi jangan percaya dengan selebaran begituan. Itu bukan kitab suci yang patut dijadikan referensi. Anggap saja itu sampah, berita palsu, atau hoaks. Lagi pula asal-usul selebaran itu juga tidak jelas. Bisa jadi itu dibuat orang iseng. Namun, bisa juga dibuat pihak Istana untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk mengukur tingkat penerimaan atau penolakan publik terhadap tokoh-tokoh yang bakal dipasang. Bagaimana pun, selebaran ini membuat penasaran banyak orang. Begitu juga di kalangan wartawan. Seorang wartawan senior mengaku penasaran sehingga terdorong melakukan cek and ricek. Ia jumpai beberapa nama yang disebut dalam selebaran itu. Sebagain dari mereka cuma senyum-senyum, sebagian lagi geleng-geleng kepala. Ada juga yang menjawab “Aamiin’. Dari hasil memulung itu, ada informasi penting yang belum banyak tersiar. Kabarnya, Presiden Jokowi telah memanggil calon menteri koordinator. Mereka diajak bicara untuk ikut menyusun menteri-menteri di bawah jajarannya. Susi kabarnya adalah salah satu menko itu. Lalu, di bawah koordinassi Susi ada nama Faisal Basri. Ekonom yang sempat ditunjuk menjadi Ketua Antimafia Migas ini diplot menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Duet Susi dan Faisal ini, menurut sumber tadi akan menjadi "Buldozer" Jokowi dalam mengatasi kekisruhan tata kelola pertambangan di Indonesia. Susi dan Feisal dinilai punya nyali untu melawan para mafia pertambangan. Susi dalam kabinet Kerja I dianggap berhasil menumpas mafia di laut, di kabinet berikutnya dia ditugaskan menumpas mafia di lautan dan daratan. Kelas informasi ini adalah A2. Maknanya, kesahihannya di bawah A1. Kebenarannya tinggal tunggu pengumuman kabinet resmi. Tapi boleh jadi, inilah yang membuat Surya Paloh dan Luhut agak emosional belakangan ini. Surya misalnya bermanuver mengumpulkan anggota partai koalisi minus PDIP, dan Luhut membuat status “perpisahan” saat nyekar ke makam LB Moerdani. Surya dan Luhut sama-sama sudah menyadari mereka bakal tersingkir. Bahkan PDI Perjuangan yang awalnya terkesan jaim alias jaga imej dalam kaitan kursi menteri, pada Kamis (8/8) kemarin menunjukkan wajah aslinya. Tanpa tedeng aling-aling, Megawati Soekarnoputri meminta lebih banyak menteri nantinya. “Mesti lebih banyak,” tuntut Ketua Umum partai berlambang banteng moncong putih ini kepada Presiden Joko Widodo saat ia berpidato dalam Kongres V PDI-P di Grand Inna Beach, Denpasar, Bali. Lebih banyak yang dimaksud Mega tentulah jumlahnya lebih dari yang sekarang dan jumlah itu mesti lebih banyak dari partai anggota koalisi lainnya. Dalil Mega, PDIP adalah pemenang pemilu. "Orang kita ini pemenang pemilu dua kali," kata Mega. Mega dengan tegas mengatakan bakal menolak apabila Presiden Jokowi hanya memberikan sedikit jatah kursi menteri untuk diisi kader PDI-P. "Jangan nanti (Jokowi mengatakan), Ibu Mega, saya kira karena PDI-P sudah banyak kemenangan, sudah di DPR, saya kasih empat (kursi menteri). Emoh, tidak mau, tidak mau, tidak mau," ujarnya. Saat mendapat giliran berpidato, Jokowi menjanjikan kursi menteri terbanyak bagi PDIP. "Yang jelas, PDIP pasti yang terbanyak. Jaminannya saya," jawabnya. Mega telah menunjukkan keperkasaannya pada hari itu. Ia juga telah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Ia pandai memanfaatkan momentum. Dia tahu kapan bicara dan tahu kapan harus diam. Mega tentu sudah menduga jawaban apa yang bakal disampaikan Jokowi. Pada saat itu, Mega di atas semua yang hadir dalam Kongres PDIP, termasuk Jokowi. Nah, sampai di sini publik bisa membaca, PDIP nantinya akan mendominasi kabinet. Selain itu, Jokowi pernah bilang akan memilih menteri dari kalangan anak-anak muda. Dari pernyataan ini saja sudah cukup jelas, Luhut bukan dari generasi yang disebut Jokowi itu. Jadi, siap-siap saja berpamitan dengan pensiunan jenderal yang oleh banyak pengusaha papan atas dijuluki "Prime Minister".
Save Taruna Enzo!
Lebih bahaya lagi jika ada pihak lain memanfaatkan rasa sakit hati Enzo. Dia akan jadi senjata mematikan jika dimanfaatkan melawan negara ini. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Berparas tampan. Wajah bule. Usia 18 tahun. Cerdas berprestasi. Muslim taat pinter mengaji. Bisa 4 bahasa asing. Inggris, Prancis, Jerman, Jepang. Itulah Enzo Zenz Allie. Namanya tiba-tiba viral setelah TNI AD mengunggah videonya. TNI angkat bicara mengenai isu viral yang menuduh taruna Enzo terkait dengan organisasi HTI. Foto yang mendasari isu miring Enzo itu bisa jadi betul, bisa jadi salah. Meski begitu, TNI langsung turun tangan melakukan penelusuran. Yang disoal netizen adalah salah seorang calon taruna – yang diduga Enzo – terlihat pernah berfoto membawa Bendera Tauhid. Maaf, jangan mengalihkan hal yang tak pernah terjadi menjadi suatu ketakutan yang baru. Musuh TNI jelas! Yakni: Komunis! Karena di sana sudah ada aturan dan undang-undang yang mengaturnya. Apalagi, partai komunis di negara ini pernah memberontak pada pemerintahan yang sah. Pemberontakan butuh kekuatan politik dan bersenjata. “Jangan alihkan kewaspadaan kami terhadap komunis dengan memunculkan musuh baru bernama Khilafah,” tegas seorang alumni Akmil yang kini berpangkat Kapten itu. Komunis memberontak seluruh dunia juga pernah dan telah terjadi. Sebutkan di negara mana kelompok pendukung Khilafah memberontak. Menggunakan cara kriminal pembunuhan penghalalan segala cara seperti komunis? Terorisme? Pasti ada yang jawab itu. Terorisme itu muatan politis dan bukan karena agama. Di Inggris ada IRA, di Srilangka ada gerilyawan Macan Tamil dan lain-lain. Apa pernah kita sebut agamanya. Hanya di negara kita yang mayoritas beragama Islam malah penduduknya sebagian percaya terorisme berdasar agama Islam. Malahan serius, teroris di negara ini belum pernah ada pihak yang klaim bertanggung jawab. Lucu sih kalau dibandingkan dengan teroris luar negeri setelah aksi ada yang klaim sehingga jelas tujuannya. Mungkin cuma iseng atau teroris magang. Belum punya kelompok. Dan hanya mengisi waktu daripada nganggur. Yang jelas memang ada yang berusaha benturkan dan takut pada Khilafah cuma satu. Mereka takut hukum Islam diterapkan di negara ini. Jangan beralasan bahwa nanti yang non muslim dimusuhi. Bahkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, bukan umat ku seseorang yang tidak baik dengan tetangganya walaupun beragama lain. Nabi pernah menyuapi pengemis buta bangsa Yahudi yang setiap hari memaki Rasulullah. Nah gimana itu. Yang takut hukum Islam itu kadang memang ada bakat maling, bakat hobi maksiat, bakat mabuk, bakat ke lokalisasi dan lain-lain. Karena mereka takut tangan dipotong atau dirajam. Dan, ingat mereka yang ketakutan sama Khilafah, sudah banyak yang masuk penjara karena terkait kasus korupsi. Terakhir, anggota DPR dari PDIP I Nyoman Damantra ditangkap KPK. Kritik Mahfud Masalah Enzo makin melebar setelah anggota BPIP Prof. Mahfud MD meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mungkin Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhih itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap sholat. Dan, ingat dan catat! Bahwa kalimat tauhid itu selalu dibaca dalam setiap sholat umat Islam. Karena, kalimat tauhid itu juga selalu tertanam dalam dada setiap Muslim di manapun, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh belahan dunia. Jauh sebelum HTI lahir, kalimat tauhid itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Yang terpapar paham radikal itu adalah yang berani membakar bendera tauhid, sebab siapapun, yang anti agama itu cuma paham komunis yang anti Pancasila. Pernyataan Mahfud tentang Enzo agar TNI memecat Enzo sungguh menyakitkan hati ibu-ibu dan umat Muslim. “Anda zholim memperlakukan Anak Yatim,” tulis seorang netizen Tinoy Riady. “Enzo itu ganteng Prof, gampang baginya atau Ibunya menjadikannya seorang Artis,” lanjut Tinoy. Tapi, Enzo lebih memilih untuk membela Tanah Air dan membanggakan orangtuanya untuk menjadi anggota TNI sebagai garda terdepan dalam membela bangsa. “Dia rela habiskan masa mudanya untuk Latihan Militer. Lagipula, TNI sudah membantah bahwa Enzo terpapar radikalisme, begitu juga pihak Pesantren. Kesholehan dan berbaktinya ia kepada ibunya adalah bonus tiada tara dari Allah,” tulis Tinoy. “Harusnya Indonesia bangga kepada Enzo, bukan malah nyinyir dan nuduh macam-macam kepada Anak Yatim berprestasi ini. Yang harus dikhawatirkan adalah ideologi komunis prof, bukan Bendera Tauhid,” tegas Tinoy. Kepala Sekolah Ponpes Al Bayan, Deden Ramdhani, juga membantah blasteran Prancis itu anggota HTI. Deden mengatakan, pesantren yang diasuhnya juga bercorak ahlussunnah wal jamaah (aswaja) serta menyatakan setia kepada NKRI. “Sebagai lembaga tentu pemahaman kami ahlussunnah wal jamaah dan NKRI harga mati,” kata Deden Ramdhani saat ditemui wartawan di Anyer, Serang, Banten, Rabu (7/8/2019). Deden menilai santrinya tak mungkin masuk Akmil jika punya keterkaitan dengan HTI. Sebab, seleksi di TNI begitu ketat. “Enzo sudah jelas Pancasilais dan cinta NKRI,” ujarnya. Ibunda Enzo, Siti Hadiati Nahriah, bahagia putranya lolos seleksi Akmil TNI. Karena, dia mengatakan menjadi prajurit TNI adalah cita-cita Enzo sejak kecil. “Menjadi prajurit TNI, merupakan cita-citanya semenjak kecil,” kata Siti dalam situs resmi TNI AD, yang dilansir detikcom, Selasa (6/8/2019). Siti mengungkapkan, ayah kandungnya, Jeans Paul Francois Allie, meninggal dunia karena serangan jantung. Sejak saat itu, Siti memutuskan pindah dari Prancis ke Indonesia bersama Enzo. Di Indonesia Siti menyekolahkan Enzo di pesantren. Setelah lulus, barulah itu mengikuti tes penerimaan Taruna Akmil di Magelang. Dan, lolos! Ucapan Mahfud belakangan ini memang cukup kontroversial dalam setiap kali menanggapi suatu masalah. Setelah kemarin dengan enteng mengatakan daerah yang mendukung paslon 02 terpapar Islam garis keras, sekarang mencoba naikkan nama untuk kasus Enzo. Ketika pembahasan tentang radikalisme dan HTI, raut muka Mahfud memang agak berbeda. Dan, kata-kata yang kau keluarkan jauh dari bidang ilmu yang dikuasai. Seharusnya sebagai orang yang dekat dengan pemerintah dan berpengalaman di bidang hukum, dia lebih paham status hukum HTI dan perlakuan pada bendera tauhid. Apakah HTI dinyatakan ormas terlarang? Apakah bendera Tauhid juga dinyatakan terlarang negara ini? Jika dinyatakan terlarang, dia seharusnya berbicara dengan membawa landasan hukumnya, bukan opini yang akan dianggap kebenaran oleh sebagian orang. Mungkin Mahfud lupa, pembicaraan di twitter ketika ada orang yang menanyakan, apakah eks anggota HTI boleh bekerja masuk pemerintahan? Dengan indahnya Mahfud menjawab dengan mengambil contoh anak-anak eks PKI boleh menjadi caleg. Padahal PKI dinyatakan terlarang melalui ketetapan MPRS. Dan, Mahfud pun berkata bahwa eks HTI masih boleh berkecimpung di pemerintahan, misalnya menjadi PNS atau menjadi apapun. Karena HTI berbeda dengan PKI. HTI itu hanya dicabut status administrasinya, dan pencabutan itu tidak menjadikan HTI sebagai ormas terlarang. Untuk turunan PKI saja negara masih menerima mereka sebagai caleg, mengapa untuk Enzo, Mahfud menjadi berbelok? Ironis. Hanya dengan bermodalkan jejak digital, Mahfud bisa berlaku lebih kejam melebihi hakim di persidangan yang minta bukti otentik selain postingan di sosmed. Padahal, Mahfud sendiri adalah mantan Hakim. Andaikan benar Enzo dan ibunya adalah eks HTI, apakah cara yang dikatakan Mahfud itu bisa dinilai benar? Mengapa Mahfud meminta Enzo harus dikeluarkan? Pernyatan Mahfud jelas sangat tendensius. Seharusnya Mahfud meminta TNI menyelidiki dulu apakah benar Enzo terpapar radikalisasi dan HTI. Jika benar, tak seharusnya juga ia dikeluarkan dari TNI. Justru TNI harus mampu membina Enzo untuk kembali berpikiran jernih atas ideologi bangsa ini. “Enzo itu seorang taruna yang fenomenal, kemampuan bahasa asing dan hasil tes fisik yang di atas rata-rata, menjadikan dirinya sosok spesial. Bahaya jika kita berlaku tidak adil pada diri Enzo. Ia akan sakit hati!” tulis Setiawan Budi. Dan lebih bahaya lagi jika ada pihak lain memanfaatkan rasa sakit hati Enzo. Dia akan jadi senjata mematikan jika dimanfaatkan melawan negara ini. Ada rangkulan dan ada pelukan bila benar penyelidikannya mengatakan Enzo terlibat HTI. Bukan malah memperlakukannya bak pelaku PKI. Itu jika benar, jika tak benar, bagaimana? Perlakuan pada diri Enzo, sudah di luar logika. Pembunuhan karakter atas dirinya dan nama ibunya, benar-benar sudah mencerminkan, slogan Pancasila itu hanya pemanis saja. #SaveEnzo! ***
Surat Terbuka untuk Prof Empud tentang Enzo
Oleh Tinoy Riady Jakarta, FNN - Sebagai seorang ibu, saya merasa geram dengan pernyataan salah satu anggota BPIP (Badan Penafsir Ideologi Pancasila) Prof. Macfud MD tentang Enzo, seorang anak yatim blasteran Perancis, jebolan salah satu pesantren di Banten, hanya karena fotonya yang viral memegang bendera tauhid. Mungkin sang Profesor lupa bahwa bendera tauhid itu adalah bendera Rasulullah dan kalimat tauhid itu termasuk dalam Pancasila sila ke 1. Lalu apa yang radikal dari endera tersebut? Di mana anti Pancasilanya? Umat Islam sangat Pancasilais Prof, karena Pancasila adalah gambaran dari keseluruhan kehidupan masyarakat muslim. Pernyataan Anda tentang Enzo agar TNI memecat Enzo sungguh menyakitkan hati ibu-ibu dan ummat muslim Prof. Anda zholim memperlakukan anak yatim. Enzo itu ganteng Prof, gampang baginya atau ibunya menjadikannya seorang artis. Namun Enzo lebih memilih untuk membela Tanah Air dan membanggakan orangtuanya untuk menjadi TNI sebagai garda terdepan dalam membela Bangsa. Dia rela habiskan masa mudanya untuk latihan militer. Lagi pula TNI sudah membantah bahwa Enzo terpapar radikalisme, begitu juga pihak pesantren. Kesholehannya dan berbaktinya ia kepada mamanya adalah bonus tiada tara dari Allah. Harusnya Indonesia bangga kepada Enzo, bukan malah nyinyir dan menuduh macam-macam kepada anak yatim berprestasi ini. Yang harus di Khawatirkan adalah ideologiomunis Prof, bukan bendera tauhid. Bendera tauhid itu bukan bendera HTI, setiap muslim bangga mengibarkan panji Rasulullah. Komunis itu musuh yang nyata Prof. Orang yang berideologi komunis saja bisa masuk DPR, masa pemuda sholeh yang berjiwa tauhid tidak bisa ikut membela NKRI? Apa Anda sudah ikut-ikutan menjadi Islamphobia?
Maling Teriak Maling di Ketiak Prabowo
Relawan garis lurus dituduh menjadi penumpang gelap oleh penjilat Prabowo. Ayo sebut saja, jangan bikin polemik. Oleh Azwar Siregar Jakarta, FNN - Ada yang kenal gak sama di Dasco-nyet ini. Tolong sampaikan sama si Dasco-nyet dan para penjilat yang lain jangan terus-menerus melempar fitnah dan membuat polemik di antara pendukung Prabowo Subianto. Poros ketigalah, penumpang gelaplah, residulah dan entah sebutan apalagi tapi tidak pernah berani menunjuk jari: Siapa pengkhianatnya? Walaupun sangat kecewa tapi saya berusaha diam dengan semua strategi "sepak bola-nya" Prabowo. Saya berusaha mendamaikan jiwa dengan menganggap kami tetap satu tujuan biarpun sudah berbeda jalan, demi negeri ini. Tapi setiap tuduhan dan fitnah recehan yang tidak jantan kepada pendukung atau relawan Prabowo di Pilpres yang lalu akan saya lawan. Saya adalah bagian relawan yang ikhlas mengeluarkan uang, tenaga dan semua kemampuan saya untuk memenangkan Prabowo. Saya bahkan tidak peduli tidak dikenal siapa-siapa, bahkan oleh Prabowo sendiri, tapi saya dikenal banyak masyarakat yang saya ajak untuk memilih dia. Saya juga banyak mengenal sahabat-sahabat saya dan rakyat jelata yang juga tidak kalah militannya mendukung Prabowo. Mulai pengusaha yang membantu dana, tukang sablon yang memberikan diskon khusus, penjual gado-gado yang memberikan gado-gado gratis sampai anak buah saya yang kerja sukarelawan memasang spanduk dan sticker. Sekarang kami dan orang-orang ini difitnah sebagai penumpang gelap? Monyet kalian. Iya kalian para bangsat yang makan dari kaki Prabowo dan selama ini cuma duduk tenang dan santai menunggu kemenangan. Andaipun Prabowo kemarin tidak dikalahkan KPU, sebenarnya kami tidak dapat apa-apa. Kalian yang akan jadi Menteri, jadi Dubes, jadi Komisaris BUMN. Kami cuma meminta dan berharap Indonesia dikelola dengan baik. Sekarang Prabowo kalah karena ulah internalnya sendiri yang brengsek, kalian mau cuci tangan dan balik badan demi menjilat si pemenang agar tetap dapat jabatan. Silahkan...!!!, tapi jangan menyakiti lagi hati kami. Tidak ada relawan yang jadi penumpang gelapa. Kalianlah bangsat-bangsat penjilat yang jadi penumpang gelap. Jangan berkali-kali menyalahkan rakyat dan korban yang jatuh di demo MK. Bukankah yang setuju ke MK Prabowo Sendiri? Rakyat menonton dan melihat sandiwara keadilan di MK, rakyat marah dan berunjuk rasa. Kenapa kemudian rakyat yang disalahkan? Sekali lagi silahkan bergabung dengan si pemenang. Tapi tidak perlu harus angkat-angkat telor dan cari-cari muka sampai mengorbankan para relawan yang dulu berjuang bersama kalian. Tentu saja kecuali kalian dan Prabowo memang ngga punya telor dan ngga punya muka. Badjingan !!!