OPINI
Gandhi, Spirit Swadesi dan Perang Dagang Indonesia-Tiongkok
Gandhi mengajarkan gerakan swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Oleh Haris Rusly Moti Jakarta, FNN - Garam dan Mahatma Gandhi tak bisa dipisahkan. Gandhi dan para pengikutnya pernah melakukan civil disobedience. Mereka memprotes monopoli garam oleh pemerintah kolonial Inggris. “Satyagraha” adalah salah satu ajaran Gandhi tentang civil disobedience atau pembangkangan sipil. Gandhi memperkenalkan ajaran pembangkangan sipil yang dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, disebut “ahimsa”. Kata orang Jawa “ndilalah”, kebutulan pada tahun 1930, di waktu Gandhi melancarkan protes itu. Ketika itu juga sedang terjadi the great depression (depresi akbar) yang mengguncang negara-negera kapitalis imperialis, Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di Indonesia pada tahun 1929 itu, “ndilalah” Bung Karno juga ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Ketika itu Bung Karno masih 28 tahun. Pada 30 Desember 1930 itu, ketika “gempa malaise” meruntuhkan pasar-pasar saham di negeri barat. Di dalam ruang sidang, Bung Karno dengan lantang membacakan pledoinya. Di depan hakim pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, Bung Karno meneriakan: “Indonesia Menggugat”. Dua tahun sebelumnya, 1928. Satu tahun sebelum gempa ekonomi the great depression. Di atas tanah negeri Belanda, Bung Hatta lebih dulu diadili. Ketika itu, Bung Hatta masih berumur 26 tahun. Bung Hatta membacakan pembelaannya di depan pengadilan dengan judul yang menantang negara penjajah, “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij). Dalam pidato pembelaan itu, Bung Hatta mengecam keras kejahatan dan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia. Berbeda sudut pandang dengan pledoinya Bung Karno, yang menentang penghisapan dan penindasan oleh sistem kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Gandhi dan Spirit Swadesi Jika mengacu pada ajaran Hindu, maka sosok Gandhi dapat saja dikatakan sebagai salah satu bentuk reinkarnasi spirit Wisnu. Wisnu pernah reinkarnasi di dalam wujud Rama yang menentang Rahwana raja durjana. Pada episode yang lainnya, Wisnu juga pernah reinkarnasi di dalam wujud Sre Kresna dalam kisah Mahabarta. Reinkarnasi Wisnu dalam berbagai wujud biasanya dikaitkan dengan ketidakseimbangan kehidupan akibat keserakahan, penghisapan dan penindasan. Reinkarnasi Wisnu mengandung misi menegakan kembali keseimbangan kehidupan, meluruskan kembali yang dibengkokan. Kata Wisnu dalam wujud Sre Kresna kepada Arjuna, “...kapanpun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, aku pasti turun menjelma. Demi tegak kembali kebenaran, aku sendiri akan menjelma dari zaman ke zaman". Keserakahan kapitalisme serta eksploitasi kolonialisme dan imperialisme di Asia dan Afrika adalah sebab utama yang mengakibatkan runtuhnya keseimbangan kehidupan umat manusia. Kata Qur’an, “...dan langit telah ditinggikannya dan Dia letakkan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu…” (surat Ar-Rahman). Pada waktu itu, di India, melalui Undang-Undang Garam, pemerintah kolonial Inggris membuat kebijakan untuk memonopoli produksi dan penjualan garam. UU Monopoli Garam itu diantaranya melarang kaum pribumi di India untuk memproduksi atau menjual garam. Rakyat India kemudian dipaksa membeli garam dari tangan pemerintah kolonial Inggris. Harga garam ketika itu dibanderol sangat mencekik. Mahal tak terjangkau. Itu akibat monopoli dan pengenaan pajak penjualan yang sangat tinggi. Momentum itu membangkitkan Gandhi. Bersama 79 orang pengikutnya, Gandhi kemudian melakukan longmarch. Dimulai dari tempat tinggalnya di Sabarmati Ashram di Gujarat menuju kota Dandi di pesisir Laut Arab. Sekitar 387 kilometer jauhnya. Banyak kaum pribumi yang kemudian ikut bergabung dalam perjalanan panjang longmarch itu. Pada tahap berikutnya, Gandhi dan para pengikutnya kemudian melancarkan protes dengan cara membuat sendiri garam dari air laut. Gerakan pembuatan garam yang dipelopori oleh Gandhi itu segera meluas menjadi sebuah gerakan nasional. Rakyat di sejumlah wilayah lain di India juga mengikuti gerakan Gandhi tersebut. Gandhi mengajarkan gerakan swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Gandhi menuliskan “...satu negara yang rakyatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangannya secara mandiri, tidak akan bisa mencapai atau menikmati Swarajya (kemerdekaan) yang sesungguhnya...” Pada prinsipnya, sebuah bangsa yang tidak mandiri secara ekonomi, mustahil dapat berdaulat secara politik. Karakter dan kepribadian bangsa itu juga otomatis hancur dengan sendirinya jika senantiasa bergantung secara ekonomi, baik ketergantungan modal maupun produk bangsa lain. Gandhi bukan yang pertama melancarkan gerakan swadesi. Istilah swadesi memang dari Gandhi. Namun spirit dan metode gerakan swadesi itu sendiri sebetulnya diinspirasi oleh “Lokmanya” Bal Gangadhar Tilak, seorang pejuang kemerdekaan India. “Lokmanya” adalah sebutan penghormatan untuk Tilak, artinya “pemimpin rakyat yang terkasih”. Tilak yang mempelopori gerakan pasif melawan kolonialisme Inggris, antara tahun 1900-1905. Bentuk gerakan pasif itu adalah boikot produk Inggris. Diantaranya Tilak mengajak tuan-tuan tanah untuk tidak menjual kapas hasil panen ke Inggris. Bentuk yang lainnya adalah mengajak rakyat untuk tidak membeli, memakan dan memakai produk industri Inggris. Aksi boikot terhadap produk Inggris yang dipelopori Tilak ketika itu mendapat dukungan luas secara nasional. Kaum cendekiawan, tuan-tuan tanah, saudagar besar dan kecil, emak-emak, hingga rakyat jelata, buruh dan tani mendukung dan terlibat dalam gerakan itu. Aksi boikot produk Inggris itu dilatarbelakangi oleh kebijakan yang mengharuskan penjualan kapas hasil perkebunan milik tuan-tuan tanah ke pemerintah kolonial Inggris dengan harga yang sangat murah. Kapas hasil perkebunan di India itu kemudian diolah oleh industri di Inggris menjadi tekstil dan produk tekstil, lalu dijual kembali ke India dengan harga yang sangat mahal. Perang Dagang dengan Tiongkok Spirit swadesi yang dilancarkan oleh Gandhi dan Tilak itu perlu dikobarkan kembali di negeri kita saat ini. Ketika bangsa Indonesia dibanjiri oleh produk impor, khususnya dari Tiongkok. Memang dulu, baik Bung Karno maupun Bung Hatta, pernah mengkritik “copy paste” metode gerakan swadesi itu oleh sejumlah pejuang kemerdekaan. Di zaman itu, Bung Karno memang tidak setuju dengan metode gerakan swadesi, atau boikot produk penjajah. Menurut Bung Karno, gerakan swadesi tidak menemukan alas teori yang kuat untuk dipraktekan di Indonesia pada tahun-tahun itu. Kata Bung Karno, kolonialisme Belanda di Indonesia adalah bentuk kolonialisme paling primitif yang membumihanguskan industri di dalam negeri Indonesia. Akibatnya industri di dalam negeri Indonesia tidak tumbuh seperti di India. Belanda ketika itu bukanlah sebuah negara industri. Karena itu, Belanda hanya menjadikan Indonesia sebagai sumber eksploitasi bahan mentah untuk dijual ke Eropa. Sejumlah industri di dalam negeri Indonesia yang pernah tumbuh sebelumnya justru musnah di era penjajahan Belanda. Karena itu, kata Bung Karno, kita tidak mungkin mencapai kemerdekaan atau “swarajya” melalui metode swadesi. Berbeda dengan India, yang dijajah oleh Inggris, sebuah negara industri maju. Sebagai negara industri, Inggris selain menjadikan India sebagai sumber eksploitasi bahan mentah, seperti kapas, dll. Inggris juga menempatkan India sebagai pasar bagi produk industrinya. Karena itu, Inggris juga membutuhkan meningkatnya daya beli di tanah jajahan. Maka tumbuhlah sejumlah industri, seperti industri pertanian, industri baja, industri tekstil. Pabrik-pabrik tumbuh untuk menyerap lapangan pekerjaan. Institusi pendidikan untuk mendidik rakyat juga didorong oleh pemerintahan kolonial Inggris. Tenaga terdidik dan terampil itu akan dijadikan sebagai penopang industri, yang akan turut mendongkrak daya beli masyarakat. Ketika Tilak melancarkan boikot produk Inggris untuk mencapai kemerdekaan, gerakan ini menemukan alas teoritiknya. Gerakan ini ditopang oleh basis kekuatan politik dari industri dalam negeri India yang sedang tumbuh, yaitu kaum terpelajar, tuan-tuan tanah, saudagar, pengrajin kecil, petani dan buruh yang dirugikan oleh kebijakan kolonialisme Inggris. Bagaimana dengan keadaan bangsa kita saat ini? Ketergantungan bangsa kita pada modal (utang) dan produk asing (impor) telah memasuki tahap yang mulai mencelakakan bangsa kita sendiri. Industri nasional milik anak-anak bangsa kita sebelumnya mulai tumbuh dan mekar. Namun kini, industri itu mulai runtuh berkeping-keping digempur oleh kebijakan perdagangan bebas, paket kebijakan liberalisasi investasi, hingga liberalisasi impor. Sebetulnya sejak ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) efektif dijalankan pada tahun 2010, mulai saat itu industri nasional kita tidak bisa lagi tegak berdiri di kaki sendiri. Produk China seperti tekstil, makanan, minuman, kosmetik, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, kerajinan rotan, permesinan, besi serta baja merajalela pasar dalam negeri. Semuanya hampir dipasarkan dengan harga murah (low price), lebih murah ketimbang produk dalam negeri kita. Kini sejumlah industri nasional, baik milik kaum pribumi maupun punya orang tionghoa, yang telah runtuh itu mulai diubah menjadi gudang-gudang untuk menampung produk barang impor, terutama produk impor yang datang dari negeri Tiongkok yang sedang membanjiri pasar kita. Sama sekali tidak ada perlindungan atau proteksi dari pemerintah yang berkuasa. Padahal, di dalam Pembukaan UUD 1945 diantaranya telah mengamanatkan salah satu tujuan membentuk pemerintah negara Indonesia, yaitu “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Perwujudan amanat konstitusi tersebut di bidang ekonomi adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi atau memproteksi industri nasional kita dari gempuran produk industri asing. Pemerintah juga wajib melindungi pekerja nasional dari serbuan pekerja dari Tiongkok. Karena itu, tidak salah jika gagasan penulis untuk mendorong pemerintah melancarkan perang dagang Indonesia dengan Tiongkok sebagai bentuk baru dari gerakan swadesi. Perang dagang Indonesia dengan Tiongkok yang disertai gerakan boikot produk Tiongkok sangat tepat dan menemukan alas teoritik maupun legitimasi konstitusionalnya. Sekali merdeka, tetap merdeka!! * Haris Rusly Moti, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community
Perlu Diaudit: Kekayaan Para Mantan Presiden, Wapres, Menteri, Dirut BUMN
Audit dan pemeriksaan kekayaan itu akan membersihkan para mantan pejabat negara dari sangkaan negatif publik. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sambil merenungkan makna kemerdekaan Indonesia yang ke-74, pantas juga kita diskusikan sangkaan negatif terhadap para mantan presiden, wapres, menteri, dan para pejabat tinggi lainnya. Yaitu, kecurigaan terhadap harta kekayaan mereka. Ada baiknya sangkaan negatif itu segera dilenyapkan. Untuk menghilangkan kecurigaan itu, tampaknya perlu diusulkan agar kekayaan para mantan pejabat tinggi diaudit. Deperiksa, diselidiki secara detail. Dengan langkah audit ini, para mantan pejabat tinggi tidak lagi menjadi sasaran kecurigaan dan gosip. Sebagai contoh, semua rekening bank mereka dan sanak keluarga mereka diperiksa. Semua tansaksi diteliti dan ditelusuri oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bersama-sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPATK bisa mengungkap semua transaksi. Bisa dipastikan publik sangat mendukung. Dan para mantan pejabat pun pasti lega. Karena mereka bisa menunjukkan integritas dan nama baik mereka. Audit dan pemeriksaan kakayaan itu akan membersihkan para mantan pejabat negara dari sangkaan negatif publik. Begitu pula dengan para mantan menteri, pejabat setingkat menteri, dirut BUMN, dlsb. Setelah audit menyatakan mereka bersih, maka tim penyelidik khusus (TPK) bisa mengumumkan kepada publik bahwa kekayaan para mantan pejabat tinggi negara, tidak perlu diragukan. Rekening mereka dan sanak keluarga mereka sudah periksa. Terbukti bersih dari transaksi yang mencurigakan. Dengan begini, masyarakat tahu bahwa orang-orang yang disangsikan harta kekayaannya ternyata tidak bersalah. Mengapa audit ini perlu dilakukan? Kebijakan pemerintah untuk memulihkan perekonomian dan keuangan akibat krisis moneter 1998, sangat rentan untuk dikorupsi. Salah satunya adalah proses reformasi dan penyelamatan sektor perbankan. Waktu itu, banyak bank yang terancam gulung tikar. Negara mengambil tindakan untuk menertibakan sistem perbankan dan menolong bank-bank yang sedang kolaps. Masa-masa pemerintahan para presiden yang silih berganti setelah kejatuhan Pak Harto, adalah periode yang sangat labil. Sangat banyak peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sebagai contoh adalah kebijakan Presiden Megawati Soekarnoputri ketika menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI dikeluarkan untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan uang (likuiditas) menyusul krisis moneter 1997-1998 itu. Untuk memantau BLBI, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) beberapa bulan sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Megawati berakibat fatal, kata mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie. “SKL sangat berbahaya dan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar," kata Kwik saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi BLBI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 5 Juli 2018. Kwik bersaksi untuk terdakwa eks-Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, yang kemudian dihukum 15 tahun penjara. Namun, anehnya, Syafruddin Temenggung akhirnya dinyatakan bebas oleh MA setelah menerima permohonan kasasi dari terpidana. Tetapi, Syafruddin tetap disebut melakukan korupsi. KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara Rp 4.58 triliun lewat penerbitan SKL. Kwik, sebagai menteri yang berintegritas di kabinet Megawati, tiga kali menentang penerbitan Inpres 8/2002. Tapi, kata Kwik, akhirnya dia dikalahkan oleh suara para menteri lain yaitu Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri Keuangan Boediono (yang kemudian menjadi wapres di era SBY), Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Jaksa Agung MA Rahman. Kwik, tampaknya, punya firasat yang kuat tentang kemungkinan peluang korupsi di balik SKL untuk para obligor BLBI. Sebab, SKL dapat saja diterbitkan untuk obligor (penerima BLBI) yang pura-pura kooperatif tetapi sebetulnya mereka penipu. Audit BPK menemukan 95% dana BLBI atau sekitar 144 triliun sulit dipertanggungjawabkan. Ternyata, dalam penyelidikan ulang kasus BLBI, pihak KPK bisa membuktikan korupsi sebesar 4.5 triliun rupiah. Kwik Kian Gie benar. Sekarang ini, publik masih ingin mengetahui secara tuntas dan transparan apakah Inpres 8/2002 itu memberikan keuntungan pribadi atau tidak kepada para pejabat tinggi waktu itu. Khususnya kepada para menteri yang “mengeroyok” Kwik di sidang kabinet. Atau, apakah Syafruddin Temenggung sendirian yang mengantungi korupsi BLBI sebesar 4.5 triliun itu? Kelihatannya, kecil kemungkinan Syafruddin menggarap sendirian uang BLBI sebanyak 4.5 triliun. Sangat tidak mungkin. Jika demikian, apakah para pejabat tinggi yang disebut-sebut mendukung penerbitan Inpres 8/2002 patut disangka ikut menikmati korupsi BLBI? Kita berharap KPK akan terus menggiring kasus ini ke sana. Jelas sekali ada suasana yang sangat “menggairahkan” di sekitar penerbitan Inpres 8/2002 tsb. Lantas, bagaimana dengan posisi Presiden Megawati di pusaran kasus korupsi BLBI? Wallahu a’lam. Yang pasti, kita menghendaki agar Bu Mega dinyatakan bebas dari “virus BLBI”. Yakni, dinyatakan tidak terlibat penyelewenangan dana BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank swasta yang mengalami masalah waktu itu. Dalam rangka menyatakan bebas “virus BLBI” itulah kita mendorong agar Bu Megawati melakukan pemeriksaan sukarela di KPK. Pemeriksaan di KPK itu termasuklah meneliti dengan cermat semua rekening atas nama Bu Mega dan sanak keluarga dekat beliau. Dengan begini, akan bisa dipastikan Bu Mega tidak tersangkut. Sekali lagi, ini penting dilakukan agar sangkaan-sangkaan negatif terhadap Bu Mega terkait kasus korupsi BLBI, bisa dituntaskan. Langkah ini akan memberikan kebaikan kepada Bu Mega sendiri. Adik beliau, Ibu Rachmawati, termasuk yang meminta agar KPK memeriksa Bu Mega. Kalau penyelidikan dilaksanakan, maka semua kekayaan finansial beliau bisa dipastikan statusnya. Dalam skandal BLBI, juga perlu diperiksa jejak transaksi keuangan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan mantan Jaksa Agung MA Rachman. Tidak hanya Megawati dan para pejabat di era beliau yang perlu diteliti sejarah keuangan mereka. Rakyat juga ingin agar mantan Presiden SBY pun merelakan diri untuk diperiksa semua rekening bank pribadi beliau dan seluruh sanak keluarga. Ini sangat baik dilakukan agar keterkaitan nama Pak SBY dengan skandal Bank Century (BC) bisa diselesaikan tuntas untuk selamanya. Sehingga, tidak perlu ada lagi keraguan terhadap kekayaan finansial dan kekayaan aset beliau. Dalam kasus korupsi BC, Robert Tantular (RT) terbukti di pengadilan sebagai pihak yang mencuri dana talangan BC sebesar ratusan miliar rupiah. RT sendiri menegaskan bahwa dia tidak tahu ke mana dana FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek) sebanyak 6.7 triliun itu mengalir. Seperti dikutip koran online Kompas-com edisi 24 April 2014, RT meminta agar dana talangan itu diusut tuntas. "Rp 6,7 triliunnya ke mana dong? Ini yang enggak pernah dibuka," ujar Robert saat bersaksi di sidang terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 24/4/2014. Yang juga perlu diselidiki adalah kekayaan mantan Wapres Boediono. Sebab, beliau menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) ketika terjadi skandal Bank Century. Dengan cara audit transparan itulah kita, mungkin, bisa melepaskan diri dari bayang-bayang skandal BLBI dan Bank Century. Untuk selamanyna. Ini tidak bisa dianggap remeh. Rakyat akan mengenang mereka semua dengan memori yang buruk kalau tidak ada penelitian tuntas yang mengukuhkan nama baik mereka.*** (18 Agustus 2019)
KSAD Akhiri Polemik, Mahfud Sayembara Tauhid!
Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN -Apresiasi patut diberikan kepada KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa. Akhirnya TNI telah memutuskan untuk mempertahankan calon perwira Enzo Zenz Allie. Menurut Jenderal Andika, taruna Akmil yang dipersoalkan karena sempat dicurigai terlibat HTI ini, lulus dalam tes obyektif lanjutan yang dilakukan untuk mengukur kadar kesadaran bernegara Enzo. “Kami, Angkatan Darat, memutuskan, untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu, sejumlah 364 orang,” ujar Jenderal Andika di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2019. Jenderal Andika menyampaikan, berdasarkan hasil tes obyektif lanjutan, indeks moderasi bernegara Enzo adalah 5,9 dari tujuh. Enzo, seorang WNI yang juga keturunan Perancis, mendapat persentase skor 84 persen. “Enzo (ketika) dilihat dari indeks moderasi bernegara, itu ternyata kalau dikonversi menjadi persentase, itu memiliki nilai 84 persen,” lanjut Jenderal Andika, seperti dilansir Viva.co.id, Selasa (13/8/2019). Menurut Jenderal Andika, tes obyektif lanjutan yang dilakukan pada Enzo, bisa dipastikan akurasi dan validitasnya. TNI telah bertahun-tahun juga menggunakan instrumen tes untuk memastikan kesadaran bernegara para taruna. “Akurasi, validasi, bisa dipertanggungjawabkan, karena sudah digunakan beberapa tahun,” ujar Jenderal Andika. Nama Taruna Enzo Zenz Allie menjadi viral ketika video percakapan menggunakan bahasa Prancis dengan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto diunggah di medsos. Fisiknya yang rupawan membuat blesteran Prancis-Indonesia itu akhirnya banyak mendapat sorotan. Video yang diunggah Puspen TNI dalam akunnya di Instagram menyebut bahwa Enzo adalah remaja yang berbakat. Putra almarhum Jean Paul Francois-Siti Hajjah Tilaria itu menguasai lima bahasa: Indonesia, Arab, Inggris, Prancis, dan Italia. Remaja 18 tahun itu juga mengantongi sejumlah penghargaan lari dan renang serta memiliki fisik kuat. Berdasarkan uji seleksi, dia dinyatakan lulus seleksi Akmil 2019. Namun, tak lama setelah itu, muncul foto Enzo dengan membawa bendera Tauhid. Foto Enzo membawa bendera Tauhid itu kemudian diunggah seorang netizen. Bendera yang “diindentikkan” dengan Bendera HTI yang dibawa cowok tampan berprestasi ini pun seketika menjadi kontroversi. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD yang juga anggota Dewan Pengarah BPIP ini sampai berkomentar bahwa TNI kecolongan dengan menerima Enzo sebagai salah satu dari 364 Taruna Akmil yang lolos seleksi. Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mungkin Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Jadi, jauh sebelum HTI terbentuk, kalimat tauhid itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Yang terpapar paham radikal itu sebenarnya adalah yang berani membakar bendera tauhid, sebab siapapun, yang anti agama itu cuma paham komunis anti Pancasila. Kepala Sekolah Ponpes Al Bayan, Deden Ramdhani, juga membantah blasteran Prancis itu anggota HTI. Deden mengatakan, pesantren yang diasuhnya juga bercorak ahlussunnah wal jamaah (aswaja) serta menyatakan setia kepada NKRI. “Sebagai lembaga tentu pemahaman kami ahlussunnah wal jamaah dan NKRI harga mati,” kata Deden Ramdhani saat ditemui wartawan di Anyer, Serang, Banten, Rabu (7/8/2019). Deden menilai santrinya tak mungkin masuk Akmil jika punya keterkaitan dengan HTI. Sebab, seleksi di TNI begitu ketat. “Enzo sudah jelas Pancasilais dan cinta NKRI,” ujarnya. Ibunda Enzo, Siti Hadiati Nahriah, bahagia putranya lolos seleksi Akmil TNI. Karena, dia mengatakan menjadi prajurit TNI adalah cita-cita Enzo sejak kecil. Sayembara Mahfud Polemik Enzo telah membuat Mahfud MD akhirnya membuat sayembara. Di akun sosmed twitter-nya Mahfud mentwit sayembara “Mahfud MD Bakal Kasih Rp 10 Juta ke Pihak yang Bisa Buktikan Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Adalah Prof. Katana Suteki yang langsung merespon tantangan Mahfud. Suteki justru tantang balik Mahfud yang merasa yakin tidak pernah mempermasalahkan Bendera Tauhid. Menurut Suteki, ia sejak awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini. “Kalau saya sendiri memang dari awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini, tapi saya malah dituduh terpapar radikalisme dan terkait organisasi radikal. Piye jal? Pusing kan?” begitu komentar Suteki dalam akun FB-nya. “Sebagai bukti bahwa Prof Mahfudz tidak mempersoalkan Bendera Tauhid, apakah kira-kira beliau sebagai Pimpinan BPIP sanggup menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang saya lakukan berikut ini?” tantang Suteki. Mestinya berani karena tidak ada persoalan dengan Bendera Tauhid. Mahfud ditantang, bila berani menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang Suteki lakukan, “Akan saya “aturi hadiah” sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) – maaf sesuai dengan kemampuan saya saat ini – tunai.” Menurut Suteki, apakah dengan menyandang bendera Tauhid ini lalu dirinya akan dikatakan Terpapar Radikalisme? “Jika saya berdalih pada pendapat Prof Mahfudz, seharusnya dengan menyandang Bendera Tauhid ini tidak boleh dikatakan bahwa Prof Suteki terpapar tadikalisme. Begitu kan logika berpikir yang benar?” tegas Suteki. Sebelumnya, seorang warganet juga menantang Mahfud untuk mengibarkan Bendera Tauhid dengan imbalan Rp 18 juta. Awalnya, si pemuda ini menantang Mahfud dengan nilai sebesar Rp 12 juta, lebih besar Rp 2 juta daripada sayembara Mahfud. “Sayembara pak, sy ksh 12jt kalau bapak pake pose begini. Saya yakin bapak tidak anti kalimat tauhid. Gpp pak, sy lagi kere... Tp bslah saya carikan 12jt asal bapak buktikan dgn begini.. jadi clear bapak tdk anti kalimat tauhid,” tulis @ArLex_Wu di akun twitternya. Ia kemudian mentwit lagi jika total sayembara menjadi Rp 18 juta. “Pak @mohmahfudmd total sayembara jadi 18jt. Ada kawan2 yg ikutan nyumbang. Piye pak?” tulisnya meralat tawaran nilai sayembara yang disampaikan sebelumnya. Bahkan, belakangan, ada juga yang sampai berani menawarkan sayembara dengan nilai yang setara dengan gaji Mahfud di BPIP lebih dari Rp 100 juta. Semoga Mahfud segera sadar diri bahwa tidak sepatutnya Bendera Tauhid disayembarakan. Rasanya tidak perlu cari bukti “Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Karena setiap Muslim ketika meninggal nanti kerandanya pasti ditutupi kain bertuliskan kalimat Tauhid! Dan, untungnya Jenderal Andika sudah mengakhiri polemik Enzo. Bravo TNI! ***
Siapa Bilang Mereka Sudah Merdeka?
Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebagaimana ritual mewah-meriah setiap tahun di Istana Negara, Istana Gubernur, Istana Bupati, Istana Walikota, hari ini juga akan berlangsung peringatan kemerdekaan RI ke-74. Dengan segala tayangan kehebatan segelintir orang. Mereka itulah yang sudah lama dan sudah banyak menikmati kemerdekaan. Mereka datang ke Istana dengan kendaraan supermewah. Dengan busana serba baru dan ‘high class’. Tas tangan puluhan juta. Sepatu belasan juta. Jam tangan ratusan juta. Mereka telah lama menikmati kemerdekaan di atas penderitaan rakyat miskin. Ada yang menyandang sebutan konglomerat, pengusaha besar, presiden, mantan presiden, ketua DPR, menteri, mantan menteri, ketua MA, ketua MK, dirut BUMN, komisaris BUMN, gubernur, bupati, anggota badan-badan negara, para petinggi berbintang yang memiliki piaraan, dan banyak lagi. Mereka memiliki kekayaan tunai miliaran, belasan miliar, puluhan miliar, ratusan miliar, sampai triliunan. Mereka itulah yang sudah merdeka. Merdeka dari kekurangan. Merdeka dari kesulitan hidup. Yang telah lama merdeka dari panas terik matahari. Merdeka menikmati fasilitas perawatan medis kelas dunia. Merdeka menggunakan pesawat jet pribadi, terbang dengan first class, business class. Duduk-duduk di lounge bandara dengan sajian makanan-minuman serba mewah dan melimpah-ruah. Merekalah yang telah mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara. Cara yang halal, setengah halal, atau dengan segala cara. Banyak mereka yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang haram dan sangat tidak terhormat. Merekalah yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri. Membeli rumah atau apartemen mewah di kota-kota mahal. Memiliki rekening bank dalam dollar, pound-sterling, euru, yuan, yen, dll. Berliburan secara reguler dengan fasilitas serba luks. Merekalah yang sudah lama merdeka. Telah lama merdeka menipu rakyat, memeras rakyat, menzalimi rakyat. Tetapi, setelah 74 tahun, masih banyak rakyat Indonesia yang belum merdeka. Belum merdeka dari kemiskinan. Belum merdeka dari kesulitan hidup dan himpitan ekonomi. Belum merdeka dari profesi pemulung sampah. Belum merdeka dari status gelandangan. Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Tidak bisa menikmati air bersih. Masih banyak yang harus berdagang asongan pada usia sekolah. Atau terpaksa putus sekolah demi membantu keluarga. Masih banyak yang belum merdeka di tengah kemeriahan upacara dan acara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2019 ini. Petani kecil, petani buruhan, petani sawit dan karet satu hektaran atau lebih kecil lagi, masih belum merdeka dari kesewenangan harga. Semua petani kecil masih belum merdeka dari apa yang disebut dengan bangga sebagai ‘mekanisme pasar’ oleh para liberalis-kapitalis. Silih berganti pemeritah membanggakan prestasi mereka. Ada yang bangga dengan proyek-proyek infrastruktur utangan. Bangga dengan tol laut dan tol darat yang sama sekali tidak terkait dengan rakyat miskin. Bangga mengundang investor RRC yang membawa tenaga kerja mereka sendiri. Bangga dengan BUMN yang seharusnya memakmurkan rakyat tetapi malah menyusahkan. Ada yang bangga membantu bank-bank pengkhianat dengan uang BLBI, tapi akhirnya ratusan triliun lenyap begitu saja dan kasusnya dianggap kedaluarsa. Ada yang bangga membantu Bank Century 6.7 tirliun tapi ternyata sebagian besar ditilap oleh penerima bantuan. Hari ini, rakyat miskin tidak berubah. Mereka tak mampu meng-upgrade dan meng-update status hidup mereka. Mereka masih bergelut di sekitar beras 2 kilo sehari. Masih terus kucing-kucingan dengan penagih sewa rumpet (rumah petak) 600 ribu sebulan di daerah atau sejuta di Jakarta. Itulah rakyat Anda, wahai para penguasa yang sedang merayakan hari kemerdekaan. Mereka itulah saudara sebangsa dan setanah air Anda, wahai para konglomerat, wahai para pengusaha kaya-raya. Hari ini, sebagai basa-basi nasionalisme, kalian teriakkan “Merdeka!” dengan kepalan tinju. Tapi mereka, rakyat kecil itu, seseungguhnya belum merdeka seperti kalian. Siapa bilang mereka sudah merdeka? (17 Agustus 2019)
Gimana Kalau Serangan Siber Mandiri Ternyata Benar Adanya?
Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebuah website yang tulisan opininya banyak diisi oleh wartawan senior dari berbagai media bernama fnn.co.id (FNN-Forum News Network) dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya oleh Bank Mandiri. FNN dilaporkan pihak Mandiri karena diduga menyebarkan berita hoax terkait Bank Mandiri yang akan bangkrut dan mengalami kerugian mencapai Rp 9 triliun. Inilah yang kemudian menyebar di media sosial dan grup-grup WA. “Kami menyatakan bahwa 100 persen berita yang terpampang di FNN.xx.id itu adalah berita hoax dan tidak ada yang kami alami seperti yang disampaikan,” kata Senior Vice President Bank Mandiri Rohan Hafas, Kamis (15/8/2019). Melansir Detik.com, Kamis (15 Agustus 2019, 14:20 WIB), Rohan menyebut laporan sudah dibuat pada hari Rabu (14/8/2019) lalu. Berita hoax yang menyebut Bank Mandiri rugi dan akan bangkrut merugikan perusahaannya. Sebab, kepercayaan nasabah ataupun masyarakat bisa berkurang akibat pemberitaan tersebut. “(Kerugian Bank Mandiri) kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat paling penting dari industri perbankan,” ungkap Rohan. “Karena dengan kepercayaan itulah orang nabung di sebuah bank kan,” lanjut Rohan. Ia menyebut berita dari media online itu pertama kali muncul pada Selasa (13/8/2019). Berita itu lalu di-repost di media sosial Facebook oleh sejumlah akun. Isinya, “Bank Mandiri mengalami kerugian ada serangan cyber sehingga mengakibatkan kerugian Rp 9 triliun,” kata Rohan. “Kemudian dari dampaknya adalah Bank Mandiri akan bangkrut dan diambil oleh China,” lanjutnya. “Itu berita garis besarnya seperti itu dan nggak tahu motifnya, tapi itu sangat nggak ada dasar apa pun, tidak ada kerugian dialami dan tidak ada serangan cyber, tidak ada China yang ambil Bank Mandiri,” sambung Ronan. Dalam kesempatan yang sama, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyebut pihaknya sudah menerima laporan itu. Pihaknya hari ini juga sudah memeriksa saksi dari pihak Bank Mandiri. “Ini pernyataan kepolisian, sudah kita terima laporannya dan kita lakukan penyelidikan. Nanti kita klarifikasi terlapor seperti apa dan saksi-saksi yang lain dan barbuknya seperti apa,” kata Argo. Latar belakang dari keluarnya pernyataan Rohan ini adalah tulisan berjudul “Dijebol Siber Rp 9 Triliun, Bank Mandiri Segera Bangkrut?” yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di fnn.co.id, Selasa (13/8/2019). Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Informasi ini didasarkan pada pernyataan sumber di internal Bank Mandiri yang tidak disebutkan identitasnya di dalam tulisan. Ia juga menyebut, kebangkrutan ini terjadi karena secara teknis keamanan, sistem Informasi dan Teknologi (IT) Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini pun dinilai murni akibat serangan dari dalam Bank Mandiri sendiri. Namun, yang perlu dicatat, mengutip berita Tempo.co, Rabu (14/8/2019), dalam tulisan ini sama sekali tidak disebutkan Bank Mandiri akan diambil Cina, seperti yang disampaikan Rohan. Di sini Rohan justru menyebar hoax soal “akan diambil Cina”. Menurut Rohan, Bank Mandiri merupakan bank milik pemerintah terbesar di Indonesia dan diawasi langsung oleh OJK dan BI. “Dengan kondisi ini, tidak mungkin segala kejadian tidak dimonitor dan diawasi oleh kedua institusi tersebut,” ujarnya. Saat ini, ia menyebut Bank Mandiri akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindak pelaku penyebaran isu itu. Bank Mandiri pun mengimbau masyarakat tidak ikut menyebarkan berita bohong karena bisa melanggar UU Nomor Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disebut UU ITE. Raibnya 9 Triliun? Mengutip fnn.co.id, Raibnya saldo nasabah Bank Mandiri dan blackout-nya PLN Jawa-Bali bukan perkara yang saling bebas. Tetapi saling berkelindan. Namun, tulisan ini hanya mau mengungkap keanehan pada Bank Mandiri. Keanehan utamanya adalah sampai detik ini pemerintah selaku pemegang saham pengendali tidak melakukan pemecatan terhadap Direksi Bank Mandiri. Tidak juga ada pemberhentian sementara terhadap minimal Direktur Teknologi Informasi (IT) Bank Mandiri. Sampai saat ini peristiwa “blackout” di Bank Mandiri juga tidak ada kelanjutannya. Padahal kabarnya Menteri BUMN Rini Soemarno dan pihak OJK telah memanggil Direksi Bank Mandiri. Tidak jelas, apakah pemanggilan itu terkait dengan sanksi atau siasat untuk meredam gejolak di publik. Tampaknya lebih untuk meredam gejolak publik. Karena hingga saat ini belum terpublikasi soal adanya sanksi terhadap Bank Mandiri dan Direksi Bank Mandiri. Selain Kementerian BUMN dan OJK, Ombudsman Indonesia juga sudah memanggil Direksi Bank Mandiri. Namun itupun hanya sekadar penjelasan mengapa terjadi dan bagaimana pemulihannya. Terus pemulihannya bagaimana? Selentingan sumber menyebutkan, hingga saat ini Bank Mandiri konon sudah jebol Rp 9 Triliun. Bank Mandiri juga tidak mampu untuk melakukan trackback atas dana-dana yang hilang dari tabungan nasabah. Dari peristiwa blackout-nya saldo rekening nasabah Bank Mandiri, sekitar 19 – 20 Juli 2019 lalu, Bank Mandiri telah melakukan trackback berhari-hari. Bahkan sampai seminggu lebih. “Hari Sabtu dan Minggu ini (28 Juli 2019, red), tim IT Mandiri masih melakukan trackback dan belum berhasil,” ujar sumber tersebut. Sampai selesai pemanggilan di Ombudsman, Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunadi menjelaskan, akibat gangguan itu, ada sekitar 2.600 nasabah yang saldonya bertambah. Sekitar 90% dari 2.600 rekening nasabah sudah kembali normal. Saat ini hanya tinggal sekitar 5-10% saldo lebih yang belum dikembalikan ke bank. “Masih tinggal 5-10% lagi yang belum kembali. Jumlah kerugiannya ya sekitar Rp 10 miliar,” kata Hery dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta (29/7/2019). Untuk mendapatkan kembali dana tersebut, bank gencar mendekati nasabah secara persuasif pada nasabah yang telah melakukan penarikan. “Karena rekening kan milik mereka, mereka berhak kelola. Yang kelebihan 2.600 itu sudah dikembalikan sekitar 90%. Kalau diomongin nasabah pasti mengerti,” jelas dia. Menurut sumber, Bank Mandiri bukan hanya rugi Rp 10 miliar saja. Namun, Bank Mandiri kehilangan dana pihak ketiga hingga Rp 9 triliun. Hingga minggu pertama Agustus ini, dana Rp 9 triliun itu belum bisa di-trackback ke Bank Mandiri. Kalau soal Bank Mandiri rugi Rp 10 miliar itu perkara yang mudah. Sedangkan bagaimana dengan yang Rp 9 triliun itu? Tampaknya tim IT bank pelat merah ini sepertinya memang tidak mampu mengembalikannya lagi ke Bank Mandiri. Peristiwa “blackout”, Bank Mandiri ini bermula dari kericuhan di media sosial, Sabtu 20 Juli 2019. Sejumlah nasabahnya mengeluhkan saldo tabungannya. Mereka mengeluh lantaran nominal saldonya berubah drastis. Banyak nasabah Bank Mandiri mengeluhkan saldonya berkurang. Namun, ada juga nasabah yang saldonya bertambah. Kejadian ini juga membuat nasabah bingung. Kemudian Bank Mandiri meresponnya seketika pada Sabtu, 20 Juli 2019. Bank Mandiri menggelar konferensi pers perihal gangguan jaringan Bank Mandiri yang lagi bermasalah, sehingga menyebabkan saldo nasabah berubah drastis. Ada saldo yang menjadi nol rupiah (Rp 0). Ada juga yang mendadak bertambah. Melalui akun twitter resmi, Bank Mandiri menyatakan, pihaknya telah melakukan investigasi dan meminta nasabah tidak perlu khawatir perihal saldonya. Dipastikan saldo nasabah tidak berkurang. Apa lacur, malah Bank Mandiri yang konon kehilangan Rp 9 triliun. Bank Mandiri yang terkena blackout akibat serangan siber. Menurut sumber di dalam, Bank Mandiri memang sedang menuju liang kebangkrutan. Pasalnya, secara teknis keamanan, sistem IT Bank Mandiri sangat tidak mungkin untuk bisa dipulihkan. Kejadian ini murni akibat serangan dari dalam Mandiri sendiri. Pelaku penyerangan diduga dari dalam Bank Mandiri. “Saya meyakini orang dalamlah yang menjadi pemain utamanya,” ujar seorang sumber yang sangat paham dengan seluk-buluk IT Bank Mandiri tersebut. Lalu, apakah pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN terlibat? Besar kemungkinan juga ikut terlibat. Indikasinya adalah hingga saat ini tidak ada sanksi apapun dari pemerintah sebagai pemegang saham pengendali kepada direksi Bank Mandiri. Kejadian blackout Bank Mandiri itu sangat mempengaruhi kepercayaan publik pada sistem perbankan nasional, khususnya sistem IT. Untuk itu pihak pemegang saham pengendali, yaitu pemerintah yang diwakili Kementerian Bank BUMN harus segera memberikan sanksi atau bahkan memecat Direktur IT Bank Mandiri. Manajemen Bank Mandiri seharusnya tidak gegabah dengan langsung melaporkan FNN ke Polisi. Bahkan, menuding sebagai penyebar hoax. Padahal, Ronan sendiri telah menyebar hoax soal Bank Mandiri “akan diambil Cina”. Bagaimana kalau yang ditulis oleh Luqman Ibrahim Soemay di FNN tersebut ternyata benar adanya? Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya tulisan itu sudah 48.503 kali dilihat, 1.889 kali dilihat hari ini. Agar lebih jelas terkait dengan dugaan rabibnya duit Rp 9 triliun yang disebutkan Luqman itu, seharusnya PPATK dan BPK turun tangan. Orang bijak mengatakan, janganlah lihat siapa atau media yang menulisnya. Tapi, lihatlah apa isi tulisannya! End.
Abaikan Larangan Jokowi, Enggar dan Rini Membangkang?
Ada kesan perintah dan larangan Presiden Jokowi yang sudah dipublish itu hanya sebagai pemanis di bibir saja oleh para menterinya, setidak-tidaknya oleh Enggar dan Rini. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah dan larangan kepada seluruh menteri, pada saat sidang kabinet beberapa waktu lalu. Seluruh menteri Kabinet Kerja dilarang mengeluarkan kebijakan strategis. Selain itu, dilarang mengganti jajaran direksi BUMN ataupun jabatan dirjen di lingkungan kementerian. Belakangan, perintah dan larangan ini berlalu begitu saja. Bungen tuwo, orang Jawa bilang: mlebu kuping tengen, metu kuping kiwo. Nggak didengar. Nyatanya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, pada 6 Agustus lalu merombak jajaran pejabat eselon I di Kementerian Perdagangan sedangkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, berencana merombak direksi di empat BUMN. Kesannya, perintah dan larangan Presiden Jokowi yang sudah dipublish itu hanya sebagai pemanis di bibir saja oleh para menterinya, setidak-tidaknya oleh Enggar dan Rini. Padahal keputusan Presiden yang melarang para menteri mengeluarkan kebijakan strategis jelang masa kabinet berakhir itu merupakan keputusan yang baik. "Periode akhir dari suatu pemerintahan tradisi dan etiknya adalah sebagai lame duck government,” ungkap ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, mengomentari larangan presiden itu. “Ini kebijaksanaan yang baik,” lanjutnya. Bagi Didik, kebijakan strategis yang diambil menteri di penghujung waktu akan berpengaruh pada menteri selanjutnya, sehingga hal itu harus dihindari. "Jika buruk direksi yang dipilih, maka itu akan mempengaruhi bertahun-tahun kemudian," tandasnya. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menjelaskan permintaan presiden itu didasari karena pemerintahan tinggal beberapa bulan sampai pelantikan. Mantan panglima TNI itu menyebut Jokowi tak ingin ada beban pada periode keduanya nanti. "Jadi jangan sampai nanti punya beban ke depannya. Itu aja sebenarnya," tuturnya seperti dikutip RMOL. Keputusan Presiden Toh, Enggar tetap melantik tujuh pejabat eselon I di kementeriannya pada Selasa (6/8) lalu. Salah satu pejabat yang dilantik adalah Oke Nurwan, menjadi Sekretaris Jenderal. Sebelumnya, Oke menjabat sebagai Direktur Perdagangan Luar Negeri. Pejabat lain yang diubah jabatannya ialah Suhanto. Sebelumnya, ia menjabat Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga. Pada Selasa pekan lalu itu ia dilantik menjadi Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Enggar juga melantik Indrasari Wisnu Wardhana sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, dari sebelumnya Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Sedangkan posisi Wisnu terdahulu diisi oleh Tjahya Widayanti. Selain itu, Enggar mengangkat Dody Edward sebagai Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional. Ia juga mengukuhkan Arlinda menjadi Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional. Lalu, Karyanto Suprih menjabat Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga. Enggar optimistis bahwa formulasi pejabat eselon I baru tersebut dapat memenuhi kebutuhan Kemendag dalam menjalankan tugas sehari-hari. Pemangku jabatan di posisi ini, menurutnya, harus berani mengambil risiko dalam membuat keputusan yang tepat dan cepat. "Sebagai pemimpin, loyalitas yang paling utama adalah kepada Merah Putih, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus mempunyai hubungan yang baik dengan semua, loyal terhadap atasan, rekan, dan bawahan, serta saling bahu membahu satu sama lainnya," kata Enggar dalam rilisnya. Pelantikan ini berlangsung pada hari yang sama saat Moeldoko mengatakan bahwa Presiden menyerukan para pejabat untuk tidak mengeluarkan kebijakan strategis atau penggantian jabatan tertentu. Kepala Biro Humas Kemendag Fajarini Puntodewi menjelaskan mutasi pejabat eselon I di Kemendag itu sudah berdasarkan dengan Keputusan Presiden yang diterbitkan pada Juli lalu. "Dasarnya Keputusan Presiden nomor 78/TPA yang dikeluarkan tanggal 15 Juli 2019. Jadi sudah jauh sebelumnya," kata Fajarini, Rabu (7/8) Lima BUMN Sementara itu, sebanyak lima perusahaan BUMN juga akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) secara simultan dan berurutan sejak 28 Agustus hingga 2 September mendatang. Berdasarkan data keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (12/8), agenda RUPSLB itu sama, yakni evaluasi kinerja semester I-2019 dan perubahan susunan pengurus. Kelima BUMN yang akan menggelar RUPSLB yakni PT Perusahaan Gas Negara Tbk., PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Rencana perombakan direksi BUMN jelas-jelas melanggar perintah yang pernah disampaikan Presiden Jokowi. "Itu perintah. Apa yang disampaikan dalam sidang kabinet kan perintah. Harus diikuti. Mestinya begitu," kata Moeldoko, Senin (12/8). Moeldoko menegaskan setiap menteri Kabinet Kerja harus mematuhi instruksi langsung yang diberikan kepala negara. Termasuk dalam hal perombakan jabatan maupun direksi BUMN. "Itu kan moral obligation bagi pejabat negara begitu," tegasnya. Enggar dan Rini toh melenggang saja melompati perintah dan larangan presiden. Kalau sudah begitu, Presiden mau apa? End
Para Pelaku Sejarah: Marsekal Hadi, Jenderal Andika, dan Enzo?
Enzo adalah amunisi baru bagi mereka. Enzo mereka presentasikan seperti RPG (rocket-propelled grenade). Granat berpeluncur roket yang siap menghancurkan sasaran. Mungkin juga ada yang menggambarkan Enzo sebagai bom waktu. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sungguh di luar dugaan semua orang. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal Andika Perkasa mengambil kebijakan yang tak disangka-sangka. Istilah lainnya, “out of the box”. Alias, tidak mengikuti serbuan opini, komentar, dan masukan yang menyesatkan terkait prahara yang melanda taruna akademi militer (akmil), Enzo Zenz Allie. Di tengah hujatan para buzzer pembenci Enzo, Panglima TNI dan KSAD memutuskan untuk mempertahankan Enzo sebagai taruna akmil. Enzo dibenci hanya gara-gara dugaan bahwa Enzo memiliki bendera tauhid. Kehadirannya di akmil disebut sebagai kecolongan, ancaman terhadap NKRI, ancaman terhadap Pancasila, dlsb. Tetapi, Marsekal Hadi dan Jenderal Andika bukan tipe pemimpin yang cepat terpengaruh oleh hembusan angin. Apalagi cuma angin kebencian yang tak berdasar (baseless hatred). Kalau dilihat dalam “slow motion”, kedua petinggi TNI ini tampak seperti melawan arus. Dan, memang, mereka melawan arus. Yaitu, arus yang datang dari pusat sistem kebencian terhadap Islam. What? Ada pusat sistem kebencian terhadap Islam? Yes, it’s whiter than white. Lebih dari putih. Jelas kok itu. Kalau bukan karena bendera tauhid, tentu caci-maki, hujatan, labelisasi, prediksi negatif, dll, tidak seriuh yang dialami oleh Enzo. Lihat saja. Begitu banyak orang-orang yang merasa dirinya sangat pancasilais, langsung berkomentar penuh horor. Seolah Enzo akan menghancurkan TNI, menghancurkan Pancasila. Seolah Enzo akan menjadi panglima perang Hizbut Tahrir. Begitulah cara kerja pusat sistem kebencian terhadap Islam. Di mana markasnya? Ada di mana-mana. Ada di benak setiap orang yang dengki terhadap Islam dan umat Islam. Mereka itu bisa siapa saja. Bahkan, uniknya, untuk Indonesia, mereka yang dengki itu adalah orang Islam sendiri. Tak masuk akal? Memang tak masuk akal. Tapi, begitulah cara kerja pusat sistem kebencian terhadap Islam. Sistem itu kuat dan sudah menggurita. Apa alasannya? Sangat sederhana. Mereka tak rela umat Islam menjadi kuat secara politis dalam menjaga NKRI dan kebinekaan. Mereka lebih senang melihat umat Islam terus-menerus diaosiasikan dengan terorisme, radikalisme, dlsb. Dengan semua label-label yang sengaja dibingkai sebagai momok yang menakutkan. Enzo adalah amunisi baru bagi mereka. Enzo mereka presentasikan seperti RPG (rocket-propelled grenade). Granat berpeluncur roket yang siap menghancurkan sasaran. Mungkin juga ada yang menggambarkan Enzo sebagai bom waktu. Alhamdulillah, Marsekal Hadi dan Jenderal Andika tidak sepicik para pembenci Enzo yang notabene pembenci Islam. Mereka berdua berani mengambil risiko berseberangan dengan para pembenci. Mereka berdua menunjukkan bahwa hal-ihwal ke-TNI-an adalah domain mereka. Mereka tahu apa yang harus dilakukan oleh TNI dan bagaimana cara melakukannya. Tindakan kedua petinggi TNI itu terasa di luar logika hankam. Tetapi, beliau berdua ini tentu memiliki “the sixth sense”. Marsekal Hadi dan Jenderal Andika menggunakan “indera keenam”. Ada “bacaan lain” mereka tentang situasi Indonesia. Kalau dipikir-pikir, dengan segala macam komentar berkolesterol tinggi yang dilontarkan oleh para pembenci, yang banyak diantaranya adalah para intelektual, pastilah kedua petinggi TNI itu akan mengambil tindakan “riskless” (tak berisiko). Yaitu, memecat Enzo. Inilah tindakan yang paling aman bagi Pak Hadi dan Pak Andika kalau referensinya adalah hujatan para pembenci. Tetapi, Panglima dan KSAD lebih memilih jalan historikal. Mereka lebih arif dari Pak Mahfud MD. Mereka, tanpa sengaja, memutuskan untuk menggoreskan nama mereka di lembaran sejarah cemerlang TNI. Marsekal Hadi dan Jenderal Andika lebih suka menjadi pelaku sejarah. Boleh jadi beliau berdua teringat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Pak Dirman sangat kental ketauhidannya tetapi sangat kental juga nasionalismenya. End
Direksi Bank Mandiri Tidak Perlu “Jemawa lah”
Semua anak bangsa harus punya keresahan tinggi terhadap peristiwa blackout yang menimpa Bank Mandiri. Toh seandainya Bank Mandiri bangkrut atau bermasalah, para direksi dan karyawannya masih tetap menerima gaji yang tinggi dan besar. Bahkan, masih bisa terima bonus-bonus akhir tahun seperti tantiem, fasilitas kesehatan, dan sejumlah fasilitas lainnya. Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Kasus terjadinya blackout yang menimpa Bank Mandiri harus dijadikan pelajaran berharga untuk melakukan perbaikan ke dalam. Bukan sebaliknya mencari-cari celah sana-sini untuk menghindar dari kegagalan melindungi dana nasabah. Sebab bukan pihak-pihak dari eksternal yang membuat publik tidak percaya kepada Bank Mandiri. Publik selama ini percaya terhadap Bank Mandiri. Sebaliknya, direksi Bank Mandiri sendiri yang mendorong publik, termasuk penulis untuk tidak percaya dengan Bank Mandiri sekarang. Buktinya, terjadinya balckout itulah sebagai contoh paling nyata. Sebenarnya masih banyak kasus lain yang membuat publik menjadi tidak percaya. Semua akibat ulah dari internal Bank Mandiri sendiri. Cuma selama ini publik diam, karena mengganggap masih dalam batas-batas yang wajar. Namun begitu terjadi peristiwa blackout, maka sempurnalah perilaku internal Bank Mandiri membangun ketidakpercayaan publik tersebut. Yang mungkin saja tidak disadari oleh direksi dan pengelola sekarang adalah membangun kembali kepercayaan publik kepada Bank Mandiri. Sebelumnya kepencayaan publik itu hancur berantakan sejak dari empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri. Keempat bank tersebut adalah Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor (Bank Exim), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Bumi Daya (BBD). Empat bank BUMN tersebut adalah bank-bank dengan kategori hebat. Kehebatan dari empat bank asal Mandiri tersebut, bukan saja diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sayangnya, harus berantakan, dan tidak dipercaya publik. Sejarah kelam masa lalu ini yang mungkin tidak diketahui dan dipelajari oleh direksi dan pengelola Bank Mandiri sekarang. Salah satu sifat buruk yang penulis kenal dari direksi dan pengelola empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri tersebut adalah suka arogan, sombong, dan angkuh. Kebetulan saja penulis kenal dengan mereka. Direksinya merasa paling benar sendiri. Bahkan kadang-kadang menjadi pemilik kebenaran kalau bicara soal perbankan. Pokoknya pendapat orang lain itu salah saja. Direksi keempat bank tersebut juga suka alergi terhadap kritik yang datang dari publik eksternal. Kalau ada kritik, maka itu dianggap sebagai upaya mendiskreditkan. Tujuannya untuk merusak kepercayaan masyarakat kepada Bank Mandiri. Hampir sama persis dengan keterangan Direksi Bank Mandiri yang disampaikan Corporate Secretary Rohan Hafas yang beredar di media sosial WhatsApp. Malah Direksi Bank Mandiri sekarang menuduh kritik dari penulis merupakan upaya untuk mendiskreditkan pemerintah dan perekonomian Indonesia. Hampir sama persis juga dengan di era Orde Baru. Dulu, direksi empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri kalau dikritik, cara ngejawabnya gampang bangat. Misalnya, “ah kritik itu kan sebagai upaya untuk mendiskreditkan dan merusak kepercayaan masyarakat kepada bank”. Selain itu, mantan direksi empat bank juga sukan bilang, “kritik itu sebagai upaya untuk merusak kepercayaan masyarakat kepada perekonomian nasional dan pemerintah yang sah”. Hampir sama persis dengan yang dulu penulis dengar dari mulut direksi keempat bank yang dimerger tersebut. Hanya bedanya, dulu itu di eranya Orde Baru. Sekarang eranya Orde Reformasi. Sekadar mengingatkan saja bahwa mantan Direktur Utama Bapindo Towil Heryoto berakhir di penjara. Sementara Direktur Utama Bank Bumi Daya Syahrial juga mengalami nasib yang sama, di penjara. Terakhir mantan Dirut Bank Mandiri Edi C.W. Neloe. Hampir semuanya karena merasa paling benar sendiri dan alergi terhadap kritik dari publik. Ya mereka juga jemawa. Sayangnya sekarang sudah eranya reformasi. Namun direksi Bank Mandiri masih suka dan senang menggunakan pendekatan pola-pola zaman bahula Orde Baru. Kritik dan saran dari publik bukannya diterima sebagai bentuk rasa memiliki Bank Mandiri. Sebaliknya, kritik dianggap sebagai “upaya mendiskreditkan dan merusak kepencayaan masyarakat kepada Bank Mandiri”. Kalau memang lupa dan tidak tahu, penulis mengingatkan direksi Bank Mandiri bahwa sebagai mantan direksi empat bank yang dimerger menajadi Bank Mandiri itu berakhir di penjara. Banknya juga bermasalah, sehingga dimerger menjadi Bank Mandiri. Salah satu penyebabnya mereka sombong, angkuh, dan arogan terhadap kritik publik. Namun itu wajar saja, karena mereka menjadi direksi bank di era Ode Baru. Kalau sekarang direksi Bank Mandiri alergi terhadap kritik dari publik, mudah-mudahan saja tidak sedang membuat bank BUMN ini bernasib sama dengan empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri dulu. Untuk itu, direksi Bank Mandiri tidak perlu “jemawa lah”. Karena penyangga utama Orde Baru saja sudah berubah jauh bangat. Mereka dulu serba otoriter, sekarang sudah bisa menerima kritik dan masukan sebagai vitamin untuk perbaikan-perbaikan ke depan. Pilar utama penyokong Orde Baru adalah TNI, Polri, Partai Golkar dan Bank Indonesia sudah sangat familiar dan terbuka menerima kritik publik. Keempat lembaga ini juga sangat aware terhadap kritik masyarakat. Anehnya, direksi Bank Mandiri malah sebaliknya. Nyatanya mata direksi Bank Mandiri, kritik itu adalah ”mendiskeditkan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap Bank Mandiri, perekonomian nasional dan pemerintahan yang sah”. Luar biasa direksi Bank Mandiri ini. Wajar juga kalau direksi Bank Mandiri masih menerapkan pola-pola warisan Orde Baru. Sebab dari direksi dan komisaris, termasuk Senior Vice President Bank Mandiri adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah berkeringat di reformasi 1998. Mereka tidak ikut menjatuhkan Soeharto dan Orde Baru dari singgasana 32 tahun kekuasaan. Bahkan sangat mungkin mereka menjadi bagian atau penikmat dari kekuasaan Orde Baru. Direksi Bank Mandiri terdiri dari Direktur Utama Kartika Wirjiatmodjo, Wakil Direktur Utama Sulaiman Arif Arianto. Sedangkan jajaran Direktur adalah Royke Tumilar, Harry Gunadi, Ahamd Siddik Badrudin, Darmawan Junaidi, Alexandra Askandar, Agyus Dwi Handaya, Panji Irawan, Donsuwan Simatupang, Riduan dan Rico Usthavia Frans. Pada jajaran komisaris, terdiri dari Komisaris Utama Hartadi Agus Sarwono, Wakil Komisaris Utama Imam Apriyanto Putro. Sedangkan jajaran Komisaris adalah Askolani, Bangun Sarwiro Kusmulyono, Goei Siauw Hong, Ardan Adiperdana, Makmur Kaliat, dan R. Widyo Pramono. Pada 20 Juli 2019 lalu Bank Mandiri mengakui bahwa kesalahan sistem teknologi informasi telah menyebabkan perubahan saldo pada 1,5 juta rekening nasabah. Total nasabah Bank Mandiri saat ini ada 20 juta. Ada sekitar 2.600 nasabah yang saldonya bertambah. Namun jajaran Bank Mandiri tidak menjelaskan berapa banyak nasabah yang saldonya berkurang. Padahal kejadian ini adalah fakta dan peristiwa hukum yang terjadi akibat kesalahan dari pengelolanya. Kejadian blackout ini adalah peristiwa hukum. Akibatnya, kepercayaan publik kepada Bank Mandiri bisa berkurang dengan sendirinya. Jadi, sebenarnya tidak butuh orang lain untuk meyakinkan publik. Sebab jajaran Mandiri sendiri telah berhasil meyakinkan publik bahwa sistem IT milik Bank Mandiri tidak menjamin kenyamanan uang para nasabah. Kepercayaan nasabah dan publik itu tidak dibangun di atas banyak atau sedikitnya saldo nasabah yang berkurang atau bertambah. Satu saja saldo nasabah yang bertambah atau berkurang sudah membuat kepercayaan publik dan kepada Bank Mandiri bermasalah. Apalagi ini jutaan orang. Nasabah Bank Mandiri tentu saja tidak pernah berharap saldo uangnya di Bank Mandiri ditambah atau dikurangi. Jadi, sebenarnya yang merecoki kepercayaan publik itu, ya jajaran direksi dan pengelola Bank Mandiri sendiri. Siapa penanggung jawab bidang IT Bank Mandiri? Direksi Bank Mandiri juga perlu belajar dari skandal Asuransi Bumiputra dan Bank Century. Karena cara-cara pengelolaan yang tertutup dan alergi terhadap kritik, Bumiputra kejeblos jurang sebesar Rp 40 Triliun sekarang. Kalau sudah begini, apa cukup hanya dengan meminta tanggung jawab direksi Bumiputra? Direksi Bumiputra mungkin saja setiap saat bisa dijeblosin ke penjara. Namun apakah itu serta-merta bisa menyelesaikan masalah Rp 40 Triliun tersebut? Begitu juga dengan skandal Bank Century di akhir pemerintahan SBY periode pertama. Skandal bank dengan nilai penjarahan Rp 6,7 Triliun tersebut, hampir saja membuat pemerintahan SBY tergelincir dari kekuasaan. Toh, masalahnya tidak selesai hanya dengan menjebloskan direksi dan pemiliknya Robert Tantular ke dalam penjara. Sampai dengan akhir 2018, total aset Bank Mandiri adalah Rp 1.202,25 Triliun. Sementara itu total kewajiban atau liabilities Bank Mandiri mencapai Rp 941,95 Triliun atau setara dengan 78,34%. Artinya, Bank Mandiri harus kerja keras memelihara asetnya. Sebab dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 767,76 Triliun atau sekitar 63,86% berupa kredit kepada debitur. Rasio aset likiut terhadap total aset pada 2018 juga turun menjadi 6,84% bila dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 13,26%. Dengan demikian, ada penurunan likuiditas Bank Mandiri. Resiko likuiditas yang meningkat juga berdampak terhadap ketidakmampuan Bank Mandiri memelihara kewajiban yang jatuh tempo. Begitu juga dengan rasio total aset likuit terhadap pendanaan jangka pendek tahun 2018, yang turun drastis dari 8,19% menjadi 9,59%. Pada tahun 2017 rasio total aset likuit terhadap pendanaan jangka pendek sebesar 17,78%. Kenyataan ini menandakan adanya risiko likuiditas Bank Mandiri terhadap pendanaan jangka pendeknya. Direksi Bank Mandiri tidak perlulah bapper. Tidak perlu juga jemawa terhadap kritik masyarakat. Berlajarlah yang banyak kepada TNI, Polri, Golkar dan Bank Indonesia, yang dikritik habis-habisan dengan sangat keras dan menusuk. Namun semua kritik itu diterima dengan lapang dada. Dianggap sebagai masukan atau warning untuk perbaikan ke depan. Semua anak bangsa harus punya keresahan tinggi terhadap peristiwa blackout yang menimpa Bank Mandiri. Toh seandainya Bank Mandiri bangkrut atau bermasalah, para direksi dan karyawannya masih tetap menerima gaji yang tinggi dan besar ko. Bahkan masih bisa terima bonus-bonus akhir tahun seperti tantiem, fasilitas kesehatan dan sejumlah fasilitas lainnya dari Bank Mandiri. Untuk itu direksi Bank Mandiri tidak perlu jemawa lah. Lebih baik belajar dari kejadian yang menimpa direksi empat bank yang dimerger menjadi Bank Mandiri. Sebab mereka adalah bankir-bankir hebat di eranya dulu. Namun mereka tergelincir juga, karena jemawa terhadap kritik. Padahal penulis sudah sering mengingatkan mereka seperti ini. Semoga saja bermanfaat, aamiin aamiin dan aamiin.
Tidak Pecat Enzo : Salut dan Hormat Kepada KSAD dan TNI
Bayangkan bila sampai TNI AD tunduk pada tekanan para buzzer. Tunduk pada tekanan tokoh sekaliber Mahfud MD. Apa jadinya bangsa ini? Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Kalau ada tokoh dan lembaga yang dalam pekan-pekan ini pantas mendapat salut, penghormatan tinggi dari bangsa dan negara, maka pilihannya tidak akan terlalu sulit. Dapat dipastikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, dan TNI khususnya TNI AD adalah pilihan yang tepat. Tidak perlu ada perdebatan. Keputusan Jenderal Andika dan TNI AD mempertahankan Enzo Zenz Allie sebagai taruna Akademi Militer (Akmil) adalah keputusan yang tepat, bijak, dan berani. Sebuah keputusan yang akan membuat pondasi kehidupan berbangsa dan negara semakin kokoh. Sekalipun selama ini mencoba bersikap netral, tidak mudah bagi TNI AD untuk mengabaikan begitu saja tekanan para buzzer dan tokoh sekelas Mahfud MD. Para buzzer ini adalah pendukung garis keras pemerintah c/q Jokowi-Ma’ruf. Sementara Enzo diketahui merupakan putera seorang emak-emak militan pendukung Prabowo-Sandi. Karena itulah ketika di akun medsosnya Enzo kedapatan memasang fotonya dengan bendera tauhid, tidak ada ampun. Dia langsung di-bully habis. Mantan Menhan Mahfud MD bahkan menyebut TNI kecolongan. Enzo harus dipecat! Pilihannya bagi Andika sebenarnya sangat mudah. Kalau mau main aman. Pecat Enzo. Beres! Tapi itu tidak dilakukannya. Residu Pilpres Kasus Enzo menjadi heboh tidak bisa dilepaskan dari sisa-sisa limbah (residu) pertarungan antara dua kubu pada Pilpres 2019: kubu paslon 01 dengan 02. Bayangkan bila sampai TNI AD tunduk pada tekanan para buzzer. Tunduk pada tekanan tokoh sekaliber Mahfud MD. Apa jadinya bangsa ini? Isu Enzo tidak boleh dilihat sebagai soal remeh. Hanya soal seorang remaja blasteran yang dicap sebagai terpapar kelompok radikal. Karena itu dia tak boleh diberi ampun. Harus dipecat sebagai taruna Akmil. Isu ini telah menyentuh perasaan paling dalam umat Islam. Keyakinan yang paling mendasar. Konsep tauhid yang mengakui ke-Esaan Allah SWT. Kalimat tauhid tidak boleh dibuat main-main. Umat Islam rela mati untuk mempertahankan rukun Islam pertama itu. Melihat reaksi publik yang tercermin di media dan medsos, bila sampai Enzo dipecat bakal memunculkan kegaduhan baru. Kegaduhan yang sangat besar. Bukan tidak mungkin muncul Aksi Bela Islam (ABI) jilid baru. Umat Islam sebagai mayoritas merasa kian dipinggirkan. Merasa kian dimusuhi oleh rezim pemerintahan Jokowi. Upaya rekonsiliasi yang coba dibangun oleh Presiden Jokowi akan sia-sia. Sebagai lembaga, TNI juga akan kehilangan kepercayaan dari umat Islam. Anak muda Islam tak berani masuk ke akademi militer. Takut dipecat karena stigma radikal. TNI akan terpecah belah dalam perkubuan : TNI Pancasilais, TNI Hijau, TNI Merah, dan entah TNI apalagi. Masyarakat kita akan kembali terbelah dan terpuruk kian dalam. Sebuah permusuhan yang tidak berkesudahan. Tidak pada tempatnya mempertentangan semangat keberagamaan yang tinggi dengan standar profesionalisme TNI. Sebagai prajurit, mereka terikat pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan 8 Wajib TNI. Dalam Sapta Marga pada poin ketiga tegas disebutkan : Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Seorang prajurit TNI haruslah seorang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana mungkin seorang taruna dipecat karena menjunjung tinggi kalimat tauhid. Kalimat pengakuan, sebuah kesaksian atas ke-Agungan dan ke-Esaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sumpah prajurit dan 8 Wajib TNI juga dimulai dengan kalimat : Demi Allah saya bersumpah/berjanji. Jadi semua sikap, perilaku dan keseluruhan hidup seorang prajurit TNI harus dijiwai oleh semangat keberagamaan yang tinggi. Semangat yang digariskan dan diwariskan oleh Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Untunglah KSAD dan TNI telah bersikap profesional, menjaga akal sehat. Tidak tunduk begitu saja kepada tekanan buzzer dan Mahfud MD. Tidak tunduk dan larut dalam arus kebencian yang meracuni masyarakat. Sekali lagi salut dan hormat setinggi-tingginya. End
Setelah Megawati, PDIP Terancam Gulung Tikar
Puan atau Prananda ini tak mungkin memakai nama Soekarno. Agak aneh kalau Puan dan Prananda disoekarnokan menjadi Puan Soekarnocucu atau Prananda Soekarnocucu. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Megawati Soekarnoputri dipaksakan dan diikhlaskan lagi menjadi ketua umum PDIP. Itulah yang terjadi di Kongres ke-5 Partai Banteng di Bali, Kamis (9/8/2019). Kok bisa “paksa” dan “ikhlas” berada di satu situasi? Tentu saja bisa. Khususnya di PDIP. Di habitat Banteng ini, Megawati adalah “queen that can do everything”. Beliau adalah Ratu yang bisa melakukan apa saja. Di kerajaan partainya. Jadi, kalau beliau dipaksakan menjadi ketua umum lagi, maka dia harus diikhlaskan untuk jabatan itu. Dengan demikian, “paksa”dan “ikhlas” adalah dua kata yang berlawanan makna, tetapi tidak pernah bertentangan di lingkungan PDIP. Semoga tidak membingungkan. Baik. Kongres di Bali didominasi oleh kesoekarnoan ketua umumnya. Dari sini terbaca bahwa partai itu tidak punya kepercayaan diri untuk berjalan tanpa nama Soekarno. Mereka masih akan mengandalkan DNA politik presiden pertama itu. Lantas, apa yang bisa digambarkan tentang masa depan PDIP setelah pimpinan tertingginya berganti dan tidak bisa menyandang nama Soekarno? Secara umum, parpol-parpol yang mengandalkan ketokohan atau karisma seseorang, akan terancam gulung tikar. Mereka akan mengecil dari pemilu ke pemilu. Tak terkecuali PDIP. Partai ini akan mengalami kesulitan ketika, suatu hari nanti, tidak lagi dipimpin oleh Megawati. Mereka sudah bisa merasakan ini, Itulah sebabnya Bu Mega masih dipaksa atau terpaksa menjadi ketua umum lagi. Bu Mega dipaksa atau memaksakan diri karena misi beliau belum selesai. Yaitu, memindahkan saham mayoritas Bu Mega di PDIP kepada salah seorang anak beliau. Puan Maharani atau Prananda Prabowo. Yang menjadi masalah, kalaupun transfer saham mayoritas itu bisa dilakukan kepada Puan atau Prananda, mereka ini diperkirakan tidak akan memiliki otoritas pribadi yang bisa menyamai Bu Mega. Dan sangat tak mungkin menyulap Puan atau Prananda menjadi figur yang diandalkan sebagai ‘vote getter’ (pengumpul suara) dalam waktu singkat. Megawati telah melakukan ini sejak pemilu 1999. Sampai detik ini, hanya Megawati dengan embel-embel Soekarnoputri-nya yang bisa menyulut grass-root (akar rumput) “versi pokok-e” untuk terus mendukung Banteng. Ke depan nanti, basis massa “versi pokok-e” akan semakin mengecil jumlahnya sejalan dengan pertumbuhan di bidang pendidikan dan intelektualitas. Ini bermakna bahwa kesoekarnoan pimpinan PDIP hampir pasti tidak bisa lagi diandalkan untuk menambang suara di masa-masa selanjutnya. Meskipun, misalnya, Bu Mega bisa bertahan 50 tahu lagi di kursi ketua umum dengan Soekarnoputri-nya. Nah, apalagai kalau Bu Mega digantikan oleh Puan atau Prananda. Mereka ini tak mungkin memakai nama Soekarno. Agak aneh kalau Puan dan Prananda disoekarnokan menjadi Puan Soekarnocucu atau Prananda Soekarnocucu. Sudah bisa diperkirakan bagaimana postur Banteng nantinya kalau Puan Maharani atau Prananda Prabowo memimpin PDIP. Akan sangat berat jika sistem dinasti dikukuhkan sebagai model kepemimpinan partai. Inilah yang tampaknya merisaukan Bu Mega dan para senior partai. Di satu sisi, Mega ingin agar anak-anak beliau memimpin PDIP. Tetapi, di sisi lain, Mega sadar bahwa embel-embel Soekarno tidak bisa disematkan ke kedua cucu proklamator itu. Jadi, ada dua faktor yang membuat PDIP unggul saat ini. Pertama, akar rumput “versi pokok-e” yang relatif masih besar jumlahnya. Kedua, nama Megawati yang menyandang Soekarnoputri. Seperti disebutkan tadi, kedua faktor penentu ini akan segera sirna. Tak terelakkan. PDIP akan kehilangan “drive” untuk tetap bisa mempertahankan keunggulannya. Bahkan, sangat mungkin akan mejadi partai yang gulung tikar. Dalam arti, blok-blok politik dinasti yang unggul hari ini akan berubah menjadi partai gurem, partai 5 persenan. Megawati sendiri, dulu, muncul menjadi tokoh karena ‘dibesarkan’ oleh penindasan era Orde Baru. Penindasan terhadap PDIP membuat Mega menjadi ‘pahlawan’. Kepahlawanan itulah yang kemudian membawa keberuntungan bagi PDIP. Partai ini langsung menang hampir 34% di pemilu 1999, pemilu pertama era Reformasi. Golkar tergeser ke posisi kedua dengan perolehan suara 22.5%. Tetapi, di pemilu 2004, PDIP hanya merebut 18.5%. Golkar malah di urutan teratas dengan perolehan 21.5%. Penurunan drastis perolehan suara PDIP dari 34% di tahun 1999 menjadi 18.5% di tahun 2004 menunjukkan bahwa dukungan besar kepada PDIP itu hanya “protest vote” (suara protes) terhadap para penguasa otoriter saat itu. Suara besar PDIP pada pemilu 1999 itu tak bertahan. Setelah ini, Banteng tak pernah mencapai di atas 20% di pemilu-pemilu berikutnya. Pada pileg 2019, PDIP memperoleh 19.3%. Perolehan besar ini sangat disangsikan kemurniannya. Patut diduga, PDIP bisa menduduki posisi teratas karena banyak melakukan praktik yang bertentangan dengan asas-asas pemilu. Mereka leluasa melakukan itu karena sedang memegang kekuasaan. Kembali ke peralihan kepemimpinan dari Mega kepada kedua anak beliau. Proses transfer kepemilikan PDIP pasti bisa lancar. Tidak akan ada yang berani menentang kalau Bu Mega mendudukkan Puan atau Prananda sebagai ketua umum. Sangat mudah. Sebab, PDIP tidak beda dengan “perusahaan keluarga” yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Bu Mega. Artinya, orang-orang yang disebut kader atau politisi di situ sama seperti pegawai perusahaan. Mereka bisa dipromosikan atau didemosikan kapan saja oleh pemilik perusahaan. Tidak ada yang bisa mencegah atau berkeberatan. Tidak ada rapat umum pemegang saham (RUPS). Dalam arti, tidak ada suara lain di PDIP kecuali suara Bu Mega. Beliau adalah suara tunggal. Apa saja gagasan, usulan, atau keputusan di lingkungan partai bisa diveto oleh Ibu Ketum. Sebaliknya, apa saja yang diinginkan Bu Mega, harus dilaksanakan. Kalaupun ada rapat, munas, kongres, dll, itu hanya sekadar menjabarkan AD/ART saja. Proforma belaka. Di era post-millenial, anak-anak muda Indonesia tidak akan menoleh ke parpol “perusahaan keluarga” model PDIP. Generasi penerus tak akan ‘nyambung’ dengan praktik seperti itu. PDIP akan tergerus dengan sendirinya. Diperkirakan, inilah awal dari stagnasi perolehan suara yang kemudian memburuk menjadi penciutan secara konstan. Banteng akan semakin kurus. PDIP akan mengalami deflasasi pengikut dan pemilih dari pemilu ke pemilu. Itulah ancaman gulung tikar kalau para pemimpin di partai ini tidak segera melakukan tindakan radikal. Tindakan yang indektik dengan mentalitas generasi muda post-millenial yang sangat kontras dengan watak para politisi ‘old-style’ (model lama) yang bermentalitas korup (corrupt mentality). Jadi, dengan cara pengelolaan yang ada saat ini, PDIP kelihatannya tidak akan bisa bertahan lama. Partai-partai lain yang akan mengalami nasib yang sama termasuk Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan PKB. Sedangkan Hanura dan PPP sudah lebih dulu mengerdil. Diperkirakan, hanya Golkar dan PKS yang bisa bertahan karena mereka tidak bersandar pada ketokohan satu-dua orang. Mereka adalah partai yang rasional dengan sistem siapa bagus dia naik (merit system). Bukan karena suka atau tak suka pimpinan. PKS, khususnya, akan menjadi partai modern yang mengkombinasikan pembinaan mentalitas mandiri dengan loyalitas, antikorup dan antikarat. Kalau PKS konsisten sebagai partai prorakyat, dan pemilu berjaan tanpa kecurangan, mereka berpeluang untuk menjulang tinggi. End