Pencalonan Wagub DKI, Anies Harus Bagimana?

Oleh Dr. Margarito Kamis

Jakarta, FNN - Jabatan Wakil Gubernur DKI, tak terisi sejak Sandiaga Uno, Wagubnya Anies Baswedan meninggalkannya. Sandi meninggalkan Wagub DKI, karena mengikuti pilpres sebagai wakilnya Pak Prabowo. Sejak itu, sekali lagi, jabatan ini tak terisi. Sejak itu juga kekosongan pemangku jabatan ini muncul menjadi persoalan hukum dan politik.

Siapa yang berhak mencalonkan wagub? Kapan harus diajukan, dan siapa yang berhak memilihnya? Semuanya sejauh ini terpola menjadi sepenuhnya politik. Yang sialnya, terlihat tak menemukan ujung final pemecahannya. Satu masalah muncul, dan sesudahnya disusul masalah lain yang jauh lebih rumit.

Ahmad Syaiku dan Agung Yulianto yang telah disepakati Gerindra dan PKS. Dua gabungan partai pengusung nama ini untuk dicalonkan (Antara, 1/3/2019). Dua nama telah disampaikan kepada Gubernur Anies untuk diteruskan ke DPRD DKI. Entah bagaimana jalan pikiran Gerindra, pada bulan Oktober mereka mengusulkan, tanpa PKS tentu saja, empat nama lain.

Mereka yang diusulkan itu adalah Arnest Lukman, Ferry Jullianto, Ahmad Riza Patria dan Saefullah (Detikcom, 09/11/2019). Fakta ini menarik dari semua sisinya. Tetapi itu bukan karena Saefullah adalah Sekretaris Daerah (Sekda) DKI. Juga Ketua TIM Anggaran Pemda DKI, sekaligus Plt Dinas Pendidikan. Dinas ini teridentifikasi dalam kisruh rancangan besaran anggaran pada KUA-PPAS DKI tahun angaran 2020. Benar-benar bukan karena itu.

Tidak Sah

Lain hukum, lain pula politik. Dalam hukum norma atau kaidah muncul ditempat paling awal sebagai penuntun. Juga sebagai pengendali dan pengarah tindakan-tindakan, termasuk tindakan politik. Hukum tak mengenal manufer. Manufer itu, begitu sering dikenali oleh ilmuan politik menjadi tipikal politik. Bukan hukum. Manufer tanpa kaidah hukum jelas liar. Setidaknya suka-suka.

Itu karena panduan dalam manufer politik bersandar pada serangkaian fariabel. Misalnya kepentingan. Itupun fariabel didalamnya tidak tunggal. Faribelnya bisa berupa campuran antara kepentingan pribadi dan kelompok. Kelompok saya, kita atau bukan. Saya atau kita menang, untung atau saya atau kita kalah dan rugi. Hukum disisi lain tak begitu. Hukum memandu tindakan dan pertimbangan politik dengan norma. Sesuai atau tidak dengan norma. Tidak lebih.

Politisi cerdas mengambil dan menggunakan panduan hukum itu. Merancang dan melakukan manufer politik juga dengan panduan hukum. Pada titik itu, politisi dalam kasus tarikan tanpa ujung pengisian jabatan Wagub. Itulah indahnya, berpijak. Memijaki panduan itu, politisi terutama Gerindra harus tahu lebih dari yang dituntut bahwa “pencalonan wagub” tidak bisa secara hukum, dilakukan terpisah.

Tidak sah dua partai ini “Gerindra dan PKS” secara sendiri-sendiri atau terpisah-pisah satu sama lain mengajukan calon wagub. Sekali lagi, tidak bisa. Tidak ada hukumnya. Hukum yang tersedia saaat ini, yang memandu tindakan mencalonkan Wagub yang sedang tak terisi adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 176 ayat (1) UU No 10 di atas tegas isinya. Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota berhalangan tetap, berhenti atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari partai politik/Gabungan Partai Politik Pengusung.

Soal hukumnya adalah apakah Anies dan Sandi dicalonkan hanya, dalam arti secara terpisah-pisah oleh Gerindra atau hanya oleh PKS? Faktanya Anies dan Sandi dicalonkan oleh oleh gabungan Gerindra dan PKS. Oleh karena faktanya sejelas dan setegas seperti itu, maka hukumnya adalah baik Gerindra maupun PKS tidak bisa, dengan atau tanpa alasan apapun mencalonkan Wagub secara sendiri atau secara terpisah. Sekali lagi itu tidak bisa.

Hukumnya adalah pencalonan yang dilakukan secara terpisah itu tidak sah. Apapun argumentasi yang disodorkannya. Sejauh pasal ini tidak berubah, maka sejauh itu pula kaidah pencalonan wakil gubernur DKI Jakarta tidak berubah. Konsekuensinya, suka atau tidak, dengan menggunakan demokrasi atau apapun namanya yang lain, termasuk kepentingan rakyat dan jumlah rakyat Jakarta, tidak sah.

Sikap Anies

Anies harus bersikap apa? Bila, sekali lagi, bila Gerindra dan PKS secara gabungan telah mengajukan Ahmad Syaiku dan Agung Yulianto ke Anies, maka hukum mewajibkan Anies meneruskan kedua nama itu ke DPRD untuk dipilih. Titik. Tidak ada sikap lain selain itu.

Apakah Anies telah memenuhi kewajiban itu atau belum? Hukum tidak menyediakan landasan kepada Anies untuk memperhitungkan konfigurasi dan atmosfir politik di DPRD. Kewajiban hukum Anies adalah bila kedua partai ini telah secara bersama mengajukan calon Wagub, maka Anies wajib meneruskannya ke DPRD untuk dipilih. Hanya itu saja, titik.

Apa konsekuensi yang timbul dan dipikul DPRD bila Anies telah mengajukan dua nama itu ke DPRD? DPRD, dengan atau tanpa alasan wajib dalam kesempatan pertama mengadakan rapat paripurna istimewa pemilihan Wagub. Tidak lebih dan tidak kurang.

Apa hukumnya bila Tata Tertib pemilihan belum ada? Saya tak berani berspekulasi soal ini. Apakah DPRD sejauh ini tidak memilik Peraturan Tertib yang materi-muatannya mengatur tata tertib pemilihan Wakil Gubernur? Secara penalaran logis, jawabannya mesti ada.

DPRD dengan alasan apapun, tidak dapat menolak, termasuk tidak bisa mengembalikan calon Wagub yang diajukan gabungan partai pengusung. Yang diserahkan oleh Gubernur ke DPRD. Kewajiban DPRD secara hukum, tidak lebih dan tidak kurang, mengadakan rapat paripurna istimewa untuk memilih wakil gubernur. Tidak lebih. Itu saja secara hukum.

Haruskah DPRD membentuk Peraturan Tata Tertib baru yang khusus, terpisah dari Peraturan Tata Tertib yang ada, untuk dijadikan dasar pemilihan Wakil Gubernur? Tidak. Sama sekali tidak. Hanya ada satu peraturan tertib yang berlaku di DPRD. Karena DPRD periode 2019-2024 telah resmi bekerja, maka cukup beralasan menyatakan DPRD telah memiliki Peraturan Tertib.

Masalahnya apakah soal-soal hukum yang menjadi penyebab yang melilit, dengan level kerumitan tak terhingga dalam urusan ini? Sejauh data yang bertebaran, yang dapat dicek secara objektif, cukup meyakinkan untuk menunjuk politik. Bukan hukum yang menjadi masalah terbesarnya. Politik, sekali lagi, menjadi masalah terbesarnya.

Sayangnya kearifan dan kebijaksanaan politik politisi yang diminta hukum untuk digunakan dalam urusan ini tersembunyi. Entah dimana sembunyinya. Dengan mantel yang bentuknya terlampau rumit untuk dibayangkan. Bila mantelnya adalah ketentuan hukum yang menyatakan kekosongan kursi Wagub kurang dari 18 bulan tak perlu terisi, jelas bukan mantel yang benar, alias salah secara hukum.

Waktu 18 bulan itu dihitung sejak jabatan itu kosong. Bukan sejak atau karena prosesnya rumit, memakan waktu berbulan-bulan. Sehingga mengakibatkan waktu tersisa kurang dari 18 bulan. Dalam kasus kekosongan jabatan Wagub DKI, hukumnya adalah pemilihan wakil gubernur wajib dilakukan sekalipun waktunya tersisa sebulan.

Tetapi di atas semua itu, satu hal menarik sedang bicara dengan tipikalnya. Siapa bermain dibalik kerumitan tak berkesudahan ini. Hantu? Tidaklah. Ah rumit itu. Sudahlah lupakan itu. Menariknya tidak terdengar suara pemerintah pusat dalam urusan ini. Entah menikmati dengan nada apapun kekisruhan ini atau tidak, tetapi sikap diam pemerintah pusat mengundang tanya.

Jangan diam. Bicaralah. Elok dan manis sekali bila Menteri Dalam Negeri mau bicara. Mengenali dan mengelola masalah ini. Dengan kapasitas sebagai pembina pemerintahan daerah. Saran saya kepada Menteri Dalam Negeri masuk dan selesaikanlah. Bila berkenaan, rangsanglah dengan intensitas tinggi Pemda –Gubernur dan DPRD. Hidupkan kearifan mereka menyudahi praktek tak bagus dan konyol ini.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

333

Related Post