Surya Paloh Tak Perlulah “Baperan Seperti Anak TK”

By Kisman Latumakulita
Penulis Kader Partai Nasdem & Wartawan Senior

Jakarta, FNN - Bapak Surya Paloh. Yang kalau kita lihat, malam hari ini beliau lebih cerah dari biasanya. Sehabis pertemuan beliau dengan Pak Sohibil Iman di PKS. Wajahnya cerah setelah beliau berdua berangkulan dengan Pak Sobibul Imam. Saya tidak tahu maknanya apa? Tetapi rangkulannya tidak seperti biasanya. Tidak pernah. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya seerat beliau merangkul Pak Sohibul Imam.

Inilah penggalan pidato yang mengawali sambutan Prasiden Jokowi di ulang tahun Partai Golkar, di Hotel Sultan Rabu malam (06/11/2019). Hadirin terlihat bersemangat bertepuk tangan, disertai suara gemuruh. Tampak banyak hadirin yang tertawa, dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Presiden Jokowi tampak senyum-senyum sambil melanjutkan sambutannya.

Penggalan sambutan Presiden Jokowi itu, sebagai respons atas pertemuan DPP Partai Nasdem dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kantor PKS Senin (04/11/2019). Dari gambar foto yang beredar di media massa, tampak Surya Paloh berangkulan dengan Presiden PKS Sohibul Iman.

Sekilas yang bisa terbaca oleh nalar, sambutan Presiden Jokowi pada bagian yang khusus kepada Ketua Umum Partai Nasdem adalah candaan biasa-biasa. Walaupun demikian, publik bisa membacanya dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya, dilihat sebagai peringatan yang biasa-biasa saja dari Jokowi. Sebaliknya, bisa juga bukan peringatan yang bukan biasanya.

Surya Paloh menanggapi cadaan Jokowi dengan retorika yang khas, ketika membuka Munas ke-II Partai Nasdem di Jakarta Internasional Expo Kemayoran. Dengan gaya pidatonya yang biasanya menguasai panggung, Surya Paloh menanggapi sindiran Presiden Jokowi dua hari sebelumnya.

Kata Surya Paloh “tingkat diskursus politik yang paling picisan di negeri ini. Hubungan rangkulan, tali silaturrahmi dimaknai dengan berbagai tafsir dan kecurigaan (detiknes 8/11/2019). Tepuk tangan kader Nasdem gemuruh dan membahana di arena kongres.

Paloh menjelaskan, bangsa Indonesia sudah lelah dengan segala intrik yang mengundang sinisme satu sama lain. “Bangsa ini juga sudah lelah dengan kecurigaan satu sama lain. Sehingga ketika kita berkunjung ke kawan pun mengundang kecurigaan. Ini bangsa model apa yang seperti ini," tanya Paloh dengan bertanya-tanya. Tepuk tangan kader Nasadem kembali membahana.

Berkoalisi dengan Prabowo

Suka atau tidak, bahwa tanggapan Paloh ini tertuju pada pidato Presiden Jokowi dua hari sebelumnya di Holtel Sultan. Paloh sepertinya tidak terima candaan dari Presiden Jokowi itu. Padahal, jika dicerna dengan nalar yang jernih dan bersih, candaan Jokowi sangat terpuji, santun, indah dan berkelas.

Mungkin Surya Paloh pura-pura budeg, bahwa pemerintah Presiden Jokowi periode kedua ini dibangun di atas rekonsiliasi yang basah keringat dan berdarah-darah. Banyak luka dan pilu yang sampai hari ini masih membekas dan menganga. Pemilu 2019 yang menghasilkan diameteral yang tajam di masyarakat, sampai sekarang belum pulih.

Fakta politik di masyarakat ini, makin diperparah dengan pertumbuhan ekonimi Indonesia yang mandheg di angka 5%. Perang dagang raksasa ekonimi dunia Amerika vs Cina membuat Indonesia dan negara berkembang terjepit di tengah. Kenyataan ini diperparah dengan Shortfall pajak dalam negeri juga jauh dari target yang ditetapkan APBN 2019.

Semua fakta politik dan ekonomi ini membuat Jokowi harus korbankan egoisme pribadinya. Jokowi perlu membuka tangan selebar-lebarnya, dan mengajak rivalnya Prabowo masuk dalam pemerintahnya lima tahun ke depan. Langkah Jokowi ini sebagai upaya awal mendinginkan suhu politik. Sehingga diharapkan berdampak secara sistemik kepada stabilitas pertumbuhan ekonomi ke depan.

Sayangnya, di tengah Jokowi bekerja keras meyakinkan investor dunia untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Caranya, dengan mengajak Prabowo masuk sebagai anggota koalisi, Surya Paloh malah bertingkah seperti anak kecil. Surya Paloh membangun aliansi strategis dengan PKS.

Padahal PKS sudah memantapkan posisinya sebagai oposisi. PKS berada di luar pemerintahan Jokowi untuk lima tahun ke depan. Bagi PKS yang dominan warna-warna ke-Islaman, kedatangan Surya Paloh dan Nasdem tentu saja diterima dengan senang hati. Tafaddol, dan ahlan wasahlan.

Politisi yang bukan Islam saja diterima PKS dengan tangan terbuka. Apalagi yang datang ini masih sesama Islam. Walaupun berbeda garis politik, PKS tak mungkin menolak kedatangan Surya Paloh dan Nasdem. Garis politik PKS adalah nasionalis religius. Sedangkan Nasdem nasional sekuler.

PKS sebagai partai da’wah juga mau bilang kepada publik bahwa “al-Islaamu rahmatal lil ‘aalamin”. Artinya, Islam itu rahmat untuk seluruh isi alam. Sehingga PKS membuka diri dan pintu lebar-lebar kepada siapa saja yang mau bersilaturrahmi ke PKS. Bukan sebaliknya “al-Islaamu rahmatan lil muslimin. Artinya, Islam itu bukan hanya rahmat untuk kaum mulimin.

Koalisi Rapuh

Sebagai anggota koalisi pemerintah, langkah liar Surya Paloh dan Nasdem menggalang kemitraan strategis dengan PKS bisa menimbulkan pertanyaan di ruang publik. Investor tentu bertanya-tanya tentang kemungkinan rapuhnya pemerintahan koalisi Jokowi di awal-awal. Langkah Paloh ini bisa membuat investor mengambil posisi wait and see untuk masuk ke Indonesia.

Pemerintah Jokowi saat ini membutuhkan investasi asing dalam jumlah besar. Untuk itu dibutuhkan iklim politik yang kondusif dan sejuk. Sehingga tidak membuat investor ragu.

Langkah pertama adalah berkoalisi dengan rivalnya Prabowo. Sebab, faktanya belum lama ini sekitar 60 lebih perusahaan besar yang keluar dari Cina,. Namun sayangnya, tidak satupun yang mau mampir ke Indonesia.

Untuk itu, Paloh agar lebih dewasa dalam berpolitik. Paloh harus lebih wise sebagai politisi di usianya yang sudah uzur itu. Tidak perlulah “baperan” (bewah perasaan) kaya anak Taman Kanak-Kanah (TK). Perbedaan yang terjadi di dalam koalisi, sebaiknya didiskusikan atau dibicarakan saja ke dalam.

Jangan hanya karena keinginan untuk mendapatkan pos jabatan atau kementerian tententu tidak bisa dipenuhi Pak Jokowi, lantas berulah seperti anak kecil. Seperti anak yang masih Taman Kanak-Kanak.

Kebiasaan anak-anak kecil itu, kalau ada perminataannya atau keinginannya yang tidak bisa dipenuhi orang tuanya, suka bertingkah aneh-aneh. Suka lempar rumah, dan tidak mau pulang ke rumah. Kalau pulang ke rumah pun, tidak mau makan.

Terdengar kabar yang mungkin saja tak benar validitasnya, Surya Paloh meminta kepada Jokowi agar Nasdem tetap di posisi Jaksa Agung. Selain itu, minta agar Kementerian ESDM diberikan kepada Nasdem. Kementerian ESDM ini sebagai kompensasi hilangnya Kementerian Perdagangan dari genggaman kader Nasdem.

Kalau mau belajar tentang kedewasaan, maka sebaiknya balajarlah dari kami orang Maluku. Sudah lebih 41 tahun, kami orang Maluku tidak dikasih posisi menteri di kabinet. Menteri terakhir yang dari putra Maluku adalah dokter Gerrit Augutinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978.

Padahal kami orang Maluku adalah pemegang saham pendiri bangsa ini. Satu di antara delapan provinsi yang mendirikan bangsa Indonesia ini di tahun 1945 adalah Maluku.

Toh, kami orang Maluku tidak baperan tuh. Kami tidak juga meminta untuk dilakukan referendum. Tidak berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun sebaliknya, kami orang Maluku tetatp setia dan mencintai NKRI ini.

Pagi Tempe Sore Dele

Sebagai politisi senior, Surya Paloh juga harus konsisten dengan ucapannya. Kalau dalam bahasa agama harus lebih tawaddu dengan yang diucapkan. Agar bisa diteladani dan dikenang sebagai politisi yang berkarakter. Sebab banyak perilaku politik Surya Paloh yang tak sesuai dengan ucapannya.

Contoh yang paling nyata bisa dlihat di manifesto politik Partai Nasdem. Awalnya, Nasdem menolak Pilkada dilakukan secara langsung. Berbagai alasan dikemukakan sebagai dalil pembenar atas sikap politik Partai Nasdem tersebut.

Namun setelah memiliki kursi di DPR. Giliran Partai Nasdem yang paling getol dan menikmati Pilkada langsung tersebut. Tagline Partai Nasdem ketika itu adalah “Pilkada Tanpa Mahar atau Politik Tanpa Mahar”

Tahun 2014, Surya Paloh mengatakan di depan pertemuan kader Partai Nasdem di Ancol membuat pernyataan yang luar biasa hebat. Ketika itu Surya Paloh bilang “kalau tidak masuk tiga besar, dipastikan Nasdem tidak mengajukan calon presiden”.

Namun, baru hari pertama Pemilu 2014, dan masih dalam hitungan cepat lembaga survei, Nasdem ketika itu di urutan 9 partai yang lolos ke DPR. Hari itu juga Nasdem dan PDPI sudah mengadakan pertemuan di kantor Nasdem untuk mengajukan Jokowi sebagai calon Presiden.

Begitu juga ketika mengajukan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Salah satu alasan mencalonkan Ahok yang sering dikemukakan kader-kader Nasdem adalah menolak politik identitas.

Dengan alasan itu juga, stasiun televisi milik Surya Paloh, Metro TV tidak memberitakan kegiatan Reuni Akbar 212 2018. Acara yang diperkirakan dihadiri sekitar 13 juta manusia itu sepi dari pemberitaan Metro TV.

Kegiatan Reuni Akbar 212 tidak diberitakan Metro TV, karena dianggap berkait erat dengan politik identitas. Padahal secara personal, orang-orang PKS adalah bagian penting, bahkan sangat kental dalam kegiatan Reuni Akbar 212 tersebut.

Kumpulan politik identitas inilah yang memenangkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017. Setelah itu kumpulan politik identitas juga yang berdiri di belakang dan mencalonkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden melawan Jokowi di Pilpres 2019.

Kini giliran Surya Paloh dan Partai Nasdem berangkulan erat dengan Presiden PKS Sohibul Imam. Fakta inilah yang mendorong Presiden Jokowi mengomentarinya, dengan berbagai sudut pandang. Padahal tidak bisa dipungkiri, bahwa PKS sejak kelahirannya sudah kental warna politik identitas. Itu kenyataan dan fakta yang ada.

Kalau prilaku politik Surya Paloh, yang “pagi tempe sore dele” begitu bisa berdampak negatif. Apa kata dunia Bang Surya Paloh? Bagaimana juga dengan puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu kader Nasdem yang sudah ikut sekolah Akademi Bela Negara Nasdem (ABNN) itu? Janganlah warisi perilaku yang tidak konsisten, yang kurang bijak seperti itu kepada generasi muda bangsa ini.

Abang Surya Paloh kan politisi senior yang hebat. Abang juga wartawan senior yang hebat. Kalau perilaku politik Bang Surya Paloh yang berubah-ubah dan kekanak-kanakan tersebut, karena faktor umur, yaa bisalah dipahami dan diterima. Namu jangan juga sampai “janji satu sebelas yang meleset bang”. End

1997

Related Post